Chapter 02 - Cahaya Kunang-Kunang
Jika seseorang sehampa diriku memiliki seorang teman,
teman tersebut pastilah seseorang yang hampa juga; begitulah gambaran
samarku saat masa remaja dulu. Bila aku bertemu seseorang yang memiliki gambaran
"tidak punya" - tidak punya
teman atau kekasih, tidak punya sisi yang bagus atau pengalaman yang
membanggakan, bahkan tidak punya kenangan yang mengharukan - kupikir itu akan
menjadi pertama kalinya bagiku untuk bisa memanggil seseorang sebagai teman.
Emori adalah teman pertamaku - dan mungkin terakhir -, tetapi bertentangan dengan gambaranku, Ia
adalah seseorang yang "punya." Dia punya banyak
teman, sering berganti pasangan, fasih dalam tiga bahasa, dan ditetapkan untuk
bekerja di perusahaan terkemuka pada saat aku bertemu dengannya. Intinya,
dia adalah lawan kebalikanku dari segala hal.
Aku menjadi dekat dengan Emori saat waktu musim panas ketika aku berumur 18
tahun. Pada saat itu, kami memasuki universitas yang sama, serta tinggal di
kompleks apartemen yang sama pula. Aku tinggal di kamar 201 dan Ia di 203,
dua pintu ke bawah, jadi aku sering melihat dia membawa seorang gadis ke
kamarnya. Yang mana sebenarnya sering berganti setiap bulan, dan mereka
semua sangat cantik. Aku juga kadang-kadang melihatnya di kampus, selalu
dikelilingi oleh banyak teman dan tertawa. Ketika ada event kampus, Ia akan menjadi pusat perhatian. Hanya tinggal berdiri
di atas panggung saja sudah banyak membuat orang bersorak sorai untuknya.
Ah, jadi kehidupan
seperti itu beneran ada ya, aku sering berkomentar. Dia hidup di dunia yang tak
pernah bisa aku bayangkan.
Bagaimana rasanya bisa disukai begitu banyak orang?
Alasan kenapa lelaki sepopuler Emori bisa berteman dengan
orang buangan sepertiku, aku sendiri masih tidak tahu. Mungkin ini mirip
seperti semacam pertukaran budaya. Mungkin Ia juga menemukan pada diriku,
sebuah dunia yang tidak bisa Ia bayangkan, dan memutuskan
untuk mengamatiku dari dekat sebagai pembelajaran ilmu sosial.
Jika bukan itu, mungkin Ia menganggapku sebagai seseorang
yang bisa diajak bicara tanpa khawatir bermulut ember. Ia memang punya
banyak teman, tapi bukan berarti semuanya adalah orang baik, mungkin ada juga
yang membenci dirinya. Jadi, mungkin aku adalah mitra ideal untuk
mencurahkan rahasianya tanpa khawatir tersebar.
Apapun alasannya, kita sekarang sudah menjadi teman. Dan
ini adalah hasil dari Emori yang mendekatiku. Ia terlibat denganku tanpa ada
perasaan kalau Ia kemungkinan akan ditolak, dan dengan sikap seperti itu, aku
juga merasa bersalah jika aku menolaknya. Dan seketika aku mendapat
pencerahan, Aha betul juga ya dengan
cara seperti ini, orang yang tumbuh dengan cinta akan menjadi lebih
dicintai.
Aku tidak memiliki topik pembicaraan yang bisa aku
bagikan dengan orang lain, jadi saat kami bersama, hanya Emori saja yang terus
berbicara. Aku hanya mendengarkannya, kadang-kadang juga membalasnya
ketika aku merasa ingin membalasnya. Kupikir dia akan segera merasa kecewa
karena begitu membosankannya diriku dan secara alami menjauh, tapi nyatanya, hubungan
kami masih bertahan hingga hari ini, bahkan setelah ia lulus kuliah dan pergi
menjauh.
Kami bertemu lagi dalam enam bulan . Emori tidak menelepon
dan menanyakan rencanaku atau semacamnya; Ia hanya tiba-tiba muncul di
tempatku. Ketika aku membuka pintu, Ia bilang "Yo" dan mengangkat tas kresek yang dibawanya. Ada dua
bungkus kaleng bir di dalamnya. Bagaimanapun, semuanya sama seperti
dulu. Dalam sekejap, enam bulan kosong itu mulai terisi.
Aku mengambil beberapa makanan ringan sebagai cemilan
bersama minuman bir, mengenakan pakaian santaiku, dan pergi dengan sandal. Emori
mengangguk dan mulai berjalan, lalu aku mengikutinya.
Dia tidak perlu memberitahuku. Tujuan kami adalah
taman terdekat.
Taman yang kami tuju adalah taman yang sepi dan
terbengkalai. Di sana-sini banyak rumput liar yang tumbuh, jadi dari kejauhan
bisa terlihat kalau tempat ini sudah jarang dipakai anak-anak. Semua alat
bermainnya sudah berkarat, jadi rasanya seperti hanya menyentuhnya saja bisa
membuatmu tertular penyakit misterius. Ini adalah kebiasaan kami untuk
mabuk di tempat di mana mimpi masa kecil telah lenyap.
Bulan malam ini terlihat indah. Taman yang sempit
dikelilingi oleh pepohonan ini hanya memiliki satu tiang lampu di depan ayunan,
dan malah sudah mau rusak pula. Namun berkat cahaya bulan, kami masih bisa
melihat tempat alat bermain meski hanya samar-samar.
Kami menerobos semak-semak untuk bisa masuk ke
dalam. Seolah-olah diinstruksikan, Emori duduk di panda, dan aku di
koala. Bangku-bangku yang ada terlalu banyak semak-semak untuk digunakan,
jadi kami menggunakan patung hewan sebagai kursi. Rasanya sangat tidak
stabil dan tidak nyaman, tapi ini lebih baik daripada duduk di tanah.
Setelah membuka penutup pada kaleng, kami mulai minum
tanpa bersulang atau semacamnya. Mungkin dia membelinya agak lama, karena
bir sudah mulai hangat. Tetap saja, rasanya enak diminum ketika berada di
udara terbuka.
Ada sedikit cerita di balik mengapa kami mulai minum-minum
di taman. Setahun sebelum aku mendaftar, seseorang di sekolah kami meninggal
karena alkoholisme akut. Karena almarhum masih di bawah umur, jadi toko
lokal menjadi lebih ketat untuk memeriksa kartu ID. Jadi kami membagi
tugas; Emori membeli bir, aku menyediakan makanan ringan, dan kami berdua minum-minum
di taman.
Karena kami tinggal di gedung apartemen yang sama, kami
hanya bisa minum di salah satu kamar kami, tapi kepercayaan Emori adalah
"bir baru terasa lebih enak ketika kau berada jauh dari rumah." Karena
hal begitulah, kami berdua mencari tempat yang bisa di capai dengan berjalan
kaki dan bisa minum-minum tanpa khawatir ada yang lihat. Lalu, begitulah cara
kami menemukan taman ini.
“Bagaimana akhir-akhir ini? Apa ada hal yang menarik
terjadi?”, Tanya Emori, jelas tidak berharap banyak.
“Tidak ada. Seperti biasa, aku hidup seperti
orang tua yang hidup kesepian,” jawabku. “Bagaimana denganmu, Emori? Apa
ada sesuatu yang menarik terjadi?”
Dia mendongak ke langit malam, dan berpikir
selama sekitar 40 detik.
“Temanku menjadi korban penipuan.”
“Penipuan?”
Ia mengangguk. “Modus penipuan
berpacaran dengan korban. Menggunakan perasaan romantis untuk menjual lukisan,
membuatmu membeli apartemen, atau semacamnya. Itu adalah tipuan yang terlalu
biasa dan membosankan, tapi kesaksian yang diberikan temanku lumayan menarik.”
Korbannya adalah seorang pria bernama Okano,
dan penipu itu adalah seorang wanita yang menyebut dirinya Ikeda.
Beginilah ceritanya. Suatu hari, Okano menerima
pesan di media sosial. Pengirimnya adalah seorang wanita bernama Ikeda, dan pesan
itu tertulis: “Aku adalah teman sekelasmu saat SD dulu. Aku penasaran, apa kamu
masih mengingatku?”
Okano mencoba mengingat-ingatnya, tapi tidak
bisa mengingat seorang gadis yang bernama Ikeda. Ia berpikir kalau ini
mungkin semacam penipuan, dan memutuskan untuk mengabaikannya, selang sehari
kemudian, Ia mendapat pesan dari orang yang sama. "Maafkan aku karena
mendadak mengirim pesan yang aneh begini. Belakangan ini aku sangat kesepian,
dan hal itu membuatku menjadi sedikit gila. Aku senang sekali saat mengetahui ada
teman lama yang tinggal di kota yang sama, jadi aku iseng menulis pesan dan
mengirimnya. Kamu tidak perlu menjawab pesanku.”
Usai membaca pesan itu, perasaan Okano tiba-tiba
gelisah. Mungkin ia melupakannya, dan sebenarnya mengenal seorang gadis yang
bernama Ikeda. Mungkin, bila Ia mengabaikan pesan tersebut, ia nanti akan
menyakitinya. Mungkin Ia mendorong seorang gadis yang tengah putus asa karena
kesepian yang tak tertahankan, bahkan menjerumuskannya lebih dalam lagi.
Semua kekhawatiran ini menggiring dirinya
untuk membalas pesan dari wanita yang menyebut dirinya Ikeda. Dari sanalah,
mereka memulai hubungan. Ikeda adalah gadis yang sangat baik, jadi Okano
jatuh cinta kepada sang gadis tanpa disadarinya.
Dua bulan kemudian, Ia berhasil menjual
lukisan mahal, dan keesokan harinya, gadis bernama Ikeda tersebut lenyap bak
ditelan bumi.
“Biar kuperingati dulu, temanku ini tidaklah
bodoh,” tambah Emori. "Ia adalah lulusan dari sekolah yang cukup
bagus, dan banyak membaca buku. Pikirannya bekerja cepat, dan Ia selalu
waspada. Namun, Ia masih mudah ditipu dengan trik klasik. Menurutmu, kenapa
bisa begitu?”
“Mungkin, karena Ia terlalu baik?”
Emori menggelengkan kepalanya.
“Karena Ia kesepian.”
“Ah.” Setelah memikirkannya sejenak, aku
pun mengangguk setuju.
Emori lalu melanjutkan ceritanya. “Hal
yang paling menarik ialah, meski Ikeda sudah menghapus akun media sosialnya,
Okano masih percaya bahwa gadis tersebut benar-benar teman sekelasnya saat SD
dulu. Di kepalanya, Ia memiliki kenangan tersebut. Ia mampu mengingat masa lalu
yang Ia habiskan di ruang kelas dengan Ikeda kecil . Terlepas dari apakah teman
sekelas tersebut benar-benar ada atau tidak.”
“Maksudmu ... Ia mungkin ditanami Mimori tanpa Ia ketahui?”
“Tidak. Biayanya terlalu mahal, pelaku
penipuan mana mungkin mau melakukan itu.”
“Terus kenapa?”
“Dia mungkin menulis ulang ingatannya sendiri
tanpa sadar,” ucap Emori sambil tertawa. “Kenangan bisa dirubah begitu
mudah tergantung apa yang kau rasakan. Kau tidak perlu nanobots untuk itu -
orang mengubah ingatan mereka setiap hari. Amagai, apakah kau tahu kasus Fells
Acres?”
Aku belum pernah mendengarnya.
"Sederhananya, ini adalah contoh model
tentang bagaimana kesaksian kriminal yang tidak dapat diandalkan. Jika kau
ditanya berulang-ulang" Apa ini
terjadi padamu? ", Kau mulai merasa kalau hal seperti itu memang
benar-benar terjadi padamu. Jadi saat Ikeda bilang pada Okano berulang-ulang
"kamu adalah teman sekelasku,"
Ia mulai mempercayainya. Mungkin Ia menginginkan apa yang dikatakan Ikeda
adalah benar, dan itu memberikan dorongan yang mengubah ingatannya. Meski
seharusnya Ia bisa memeriksa buku kelulusan dan melihat ada tidaknya teman
sekelas yang bernama Ikeda tersebut, tapi Okano tidak melakukan itu. Dengan
kata lain, Ia tertipu karena Ia ingin ditipu. "
Emori mengeluarkan sebatang rokok dari
sakunya dan menyalakannya, lalu menghisapnya dengan santai. Itu adalah merek
yang sama saat Ia merokok sejak kita berdua bertemu pertama kali, dan aroma
manisnya mulai membuatku merasakan realita dari reuni ini.
"Tampaknya penipuan klasik seperti itu
sedang marak belakangan ini. Dan pemuda yang kesepian adalah target yang paling
mudah. Kau juga mungkin nanti akan menjadi target,
Amagai."
"Kurasa aku akan baik-baik saja."
"Apa yang membuatmu begitu
yakin?"
"Aku tidak pernah memiliki seorang teman
pun ketika aku masih kecil. Aku tidak memiliki satu memori yang baik. Jadi,
jika aku dihubungi oleh beberapa teman lama, aku tidak punya alasan untuk
berharap."
Tapi Emori perlahan menggelengkan
kepalanya.
"Kau salah, Amagai. Cara mereka bukan
masuk ke dalam memori, melainkan mereka masuk karena ketiadaan mereka."
uuu
Pada akhirnya, minuman dan makanan yang kami
bawa ke taman masih tidak cukup. Jadi setelah itu, kami menuju stasiun dan
pergi ke bar. Di sana, kami berdua hanya membicarakan omong kosong, dan
berpisah saat jam 9 malam.
Saat aku berjalan pulang melewati distrik
belanja sendirian, salah satu dari episode Mimori
pun dimulai.
Pemicu kali ini adalah lagu yang menandai
waktu penutupan, Auld Lang Syne. Atau lebih tepatnya, versi Jepang dari
lagu yang sama: Hotaru no Hikari.
………
"Kamu terlambat."
Setelah kembali ke ruang kelas usai kegiatan
klub, Touka berbicara padaku dengan tatapan cemberut.
"Pertemuan tadi lama banget,"
ujarku.
"Hmph."
"Kau ‘kan bisa pulang
sendiri."
Dia menatapku dengan tidak puas.
"Salah, Chihiro. Kamu seharusnya bilang
begini," Maaf sudah membuatmu
menunggu"."
"... Maaf sudah membuatmu menunggu. Dan
terima kasih sudah menunggu."
"Bagus." Touka tersenyum puas dan
mengambil tasnya. "Kalau begitu, ayo pulang."
Hanya ada kami berdua yang tersisa di
kelas. Kami memeriksa kunci jendela, mematikan lampu, dan keluar ke lorong. Bau
tajam deodoran yang digunakan oleh klub olahraga menghantam hidungku. Touka
menutupi mulutnya dan terbatuk ringan. Dia memiliki tenggorokan yang
lemah, jadi bahkan rangsangan kecil seperti asap kecil dari rokok atau
pendingin udara bisa membuatnya batuk.
Saat mengganti sepatu di pintu masuk, lagu Hotaru no Hikari diputar untuk menandai
akhir dari jam kegiatan sekolah, dan Touka bernyanyi dengan liriknya
sendiri.
Kunang-kunang yang bersinar terang
Kunang-kunang yang bersinar terang
Menghilang dalam gelap
Begitu cepat berlalu dan tidak berarti,
Sama seperti kerinduan hatiku
Begitu cepat berlalu dan tidak berarti,
Sama seperti kerinduan hatiku
Sungguh lirik yang sangat tragis.
"Kalau dipikir-pikir, aku belum pernah
mendengar lirik aslinya."
"Aku juga. Aku hanya tahu ada bagian tentang
cahaya kunang-kunang."
"Itu sebabnya aku mempertanyakan kenapa
kau menggunakan lirik yang terdengar seperti lagu patah hati."
“Tapi kamu mempelajarinya dengan lirik ini,
kan, Chihiro?"
"Ya. Bahkan jika aku tahu lirik yang
sebenarnya nanti, kapanpun lagu ini diputar, aku mungkin akan mengingat lirikmu
dulu, Touka."
"Dan kamu juga akan mengingat wajahku
bersamaan dengan itu, ‘kan?"
"Ya, mungkin saja."
Aku mungkin akan mengingat percakapan kita hari ini juga, sebagai ingatan yang indah. Pikirku dalam hati.
Aku mungkin akan mengingat percakapan kita hari ini juga, sebagai ingatan yang indah. Pikirku dalam hati.
"Aku pikir hal seperti ini adalah
semacam kutukan."
"...Apa maksudmu?”
"Yasunari Kawabata mengatakannya seperti
ini." Saat kamu hendak mengucapkan
selamat tinggal pada seorang lelaki, ajari Ia nama bunga. Bunga-bunga akan
selalu mekar setiap tahun. ""
Touka berbicara dengan bangga, dengan jari
telunjuknya yang terangkat.
"Selama sisa hidupmu, saat kamu
mendengar lagu Hotaru no Hikari, kamu
akan mengingat lirik yang aku buat, serta diriku juga."
"Yang ini pasti namanya kutukan,"
balasku dengan gelak tawa.
"Yah, bukan berarti aku akan mengucapkan
selamat tinggal padamu, Chihiro," dia tertawa kembali.
………
………
Aku menggelengkan kepala untuk menghentikan memori yang berkelebatan di dalam kelapaku.
Selama beberapa hari terakhir ini, aku terus mengingat
Touka Natsunagi.
Penyebabnya jelas sekali. Itu adalah
insiden saat di kuil.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Yukata yang dikenakannya, hiasan bunganya,
rambutnya, sikapnya, wajahnya, semuanya terlihat sama dengan apa yg ada di
dalam Mimori-ku.
Satu-satunya yang berbeda adalah
usianya. Mimori-ku hanya
mendefinisikan penampilan Touka Natsunagi sampai di usia 15 tahun, tapi gadis
yang aku lihat di kuil saat itu terlihat sedikit lebih dewasa.
Rasanya seperti, teman masa kecil dari Mimori tersebut ikut tumbuh sama seperti
diriku, dan kemudian, muncul di depan mataku.
Ayo pikirkan hal ini lebih teliti. Prinsip
dasar dari Mimori ialah melarang
penggunaan model karakter dari orang asli. Hal tersebut diterapkan karena
demi menghindari masalah yang mungkin timbul dari pencampuran kenyataan dan Mimori. Jadi, begitu keluar dari
gerbang kuil, aku langsung menolak teori kalau Touka Natsunagi didasarkan pada
wanita yang aku lihat. Dan omong kosong seperti dirinya menjadi Touka
Natsunagi sendiri bahkan tidak layak dipertimbangkan.
Kurasa, menganggapnya sebagai kemiripan yang tak
disengaja bukanlah hal yang mustahil. Pada hari itu, ada banyak orang yang
datang dari luar prefektur untuk mengunjungi festival. Kemungkinannya juga
bukan 0% jikalau ada seorang wanita yang tampak seperti Touka
Natsunagi. Bahkan yukata dan bunga-bunga tersebut, kalau dipikirkan dengan
baik-baik, bukanlah desain yang tidak biasa.
Tapi bagaimana aku menjelaskan
reaksinya? Ketika kami melakukan kontak mata, dia terlihat sama
terguncangnya dengan diriku. Penampilannya seolah mengatakan "ini tidak mungkin benar, pasti ada semacam kesalahan." Dan
dia mencoba menerobos kerumunan menuju ke arahku. Apa aku bisa menganggap
itu sebagai kasus kesalahan identitas? Aku hanya kebetulan mengenal
seseorang yang sangat mirip dengannya, dan dia juga hanya kebetulan mengenal
seseorang yang sangat mirip denganku.
Ada lagi satu penjelasan yang lebih
sederhana. Wanita yang aku lihat hanyalah ilusi dari musim panas, tercipta
dari campuran alkohol, rasa kesepian, dan suasana festival yang meriah. Selain
bagian di mana aku harus meragukan kewarasanku sendiri, ini adalah teori yang
sempurna.
Tidak, mungkin dari awal aku tidak perlu
berpikir keras tentang hal ini. Baik itu kesalahan identitas atau
halusinasi, pada akhirnya hanya ada satu tindakan yang harus aku ambil.
Yaitu…. menghapus Mimori.
Jika aku melakukan itu, aku takkan lagi salah
sangka pada seseorang yang mirip dengannya atau berhalusinasi tentang
dirinya.
Dan pikiranku takkan lagi tersiksa dengan
mengingat kembali ingatan yang dari awal memang tidak pernah ada.
Aku tiba di kamarku. Aku mengambil salah
satu dari dua paket Lethe yang aku
simpan di lemari. Bukan untuk menghapus kenangan masa kecilku, tapi untuk
menghapus kenangan Touka Natsunagi. Aku mengisi gelas dengan air, dan
meletakkannya di atas meja tepat di sebelah Lethe.
Aku sudah siap. Satu-satunya yang
tersisa hanyalah membuka paket itu, menuangkan isinya ke dalam air, dan
meminumnya.
Aku mengulurkan tanganku untuk menggapai
paket tersebut.
Jari-jariku gemetaran.
Bukan berarti ini disertai dengan rasa
sakit. Dan juga ini tidaklah pahit. Kau tidak kehilangan kesadaran
atau semacamnya. Apa yang perlu aku takutkan? Ini hanya menghapus
ingatan yang disisipkan secara keliru, lalu membawaku kembali ke kehidupan
normal. Lethe benar-benar sudah
teruji dan aman.
Dan yang terpenting, meski ada suatu
kesalahan, bukan berarti kau memiliki
suatu kenangan tertentu yang harus dikhawatirkan karena hilang.
Aku mengambil paket itu.
Keringat dingin mengalir dari belakang
leherku.
Mungkin ini kesalahan karena mencoba dan
mengatasi ketakutan fisiologis dengan rasionalitas. Aku harus mengubah
pemikiranku. Aku harus mengosongkan pikiranku selama sepuluh
detik. Pada saat nanti, semuanya akan berakhir. Aku tidak perlu
membuat diriku menerimanya 100%. Lompati dengan ceroboh tanpa berpikir,
dan biarkan sisanya pada dirimu di masa depan. Menjadi
kosong. Bukannya itu adalah hal hebat yang paling bisa kau lakukan, iya
‘kan?
Namun, semakin aku mencoba untuk mengosongkan
kepalaku, pemikiran-penikiran aneh merangsek masuk untuk mengisi kekosongan
itu. Misalnya seperti, mencoba membersihkan lensa dengan sidik jari di
atasnya dan membuatnya lebih buram, situasinya semakin memburuk. Untuk
waktu yang lama, aku terus bertanya-tanya pada diriku sendiri.
Lalu,tiba-tiba, aku punya sebuah
ide. Ini tempat yang salah.
Ruangan ini masih kental dengan rasa takut
yang kurasakan di hari itu. Lantai, wallpaper, langit-langit, tempat
tidur, tirai, semuanya ternodai oleh rasa takutku. Bagai bangunan tua yang
berlapis nikotin.
Ada tempat yang tepat untuk semuanya. Aku
perlu mempersiapkan pengaturan yang cocok untuk meminum Lethe. Apa yang
ideal untuk itu?
Jawabannya langsung datang dengan
cepat.
uuuu
Keesokan harinya, usai pekerjaan part-time-ku berakhir, aku naik bus dari
apartemenku. Di dalam saku kantongku ada paket Lethe demi menghapus
ingatanku tentang Touka Natsunagi. Sementara pendingin udara di bus
terlalu dingin, aku mengambil paket itu dan memeriksanya dari berbagai
sudut.
Tak lama, bus mencapai tujuan, jadi aku
meletakkan Lethe di saku dan turun. Di belakang halte bus adalah
kuil.
Aku berjalan melalui torii, lalu memasuki
halaman kuil. Sangat kontras dengan malam festival sebelumnya, hari ini
aku tidak melihat satu orangpun di sini. Jangkrik-jangkrik di area kuil salah
mengira langit yang mendung dengan langit senja dan mulai berdengungan di
mana-mana.
Aku membeli air mineral dari mesin penjual
otomatis dan duduk di tangga batu. Setelah menyentuh saku kantongku untuk
memeriksa Lethe, aku mulai dengan menyalakan sebatang rokok untuk menenangkan
diri.
Ketika aku selesai dan menginjak rokok dengan
sepatuku, aku mendengar ambulans di kejauhan. Pada saat aku menyadari kalau
ini akan berubah menjadi buruk, tapi ini sudah terlambat. Dipicu oleh
suara sirene, aku terhisap ke dalam pusaran ingatan.
…………
Aku lama tidak melihat Touka dengan piyama. Kami
biasa mengunjungi rumah masing-masing dan menginap di malam hari, jadi aku sering
melihatnya dengan piyama dan dengan rambut berantakan yang cukup membuatku
bosan melihatnya. Tapi mulai sekitar usia 11 tahun, kami mulai menahan
diri dari gangguan berlebihan, jadi ada celah yang terbuka dalam pengetahuan
kami tentang satu sama lain.
Pada hari aku melihatnya memakai piyama untuk
pertama kalinya di masa remajaku, dia tampak sangat lemah. Aku yakin kain
putih tipis dari piyama polos tidak terlalu membantu, tapi leher dan lengannya
yang tampak kurus, terlihat bisa dipatahkan dengan bila kau sedikit memakai
kekuatanmu padanya.
Aku melihat anggota badanku sendiri untuk
mengkonfirmasi perbedaan tersebut. Sampai saat ini, tinggi kami hampir
sama, tapi pada titik tertentu aku tumbuh sekitar 10 sentimeter lebih tinggi
darinya. Dengan demikian, setiap kali kami berpegangan tangan atau bersandar
satu sama lain, kami disadarkan akan perbedaan ketinggian, suka atau tidak
suka. Kaki kurus dan punggungnya yang ramping membuatku sangat sadar bahwa
tubuh kami menuju ke arah yang berbeda.
Kesadaran itu,
setidaknya, membuatku tidak nyaman. Meskipun isinya tidak berubah, jika kau
mengubah bentuk wadahnya, itu juga ikut mengubah maksudnya. Kami masih
bertukar percakapan seperti biasanya, tapi aku merasa ada beberapa hal yang terlalu
banyak, dan ada juga hal lain yang terlalu sedikit. Jika kita mengubah
perilaku kita agar sesuai dengan sensasi tersebut, maka akan menghasilkan suatu
kecanggungan tersendiri.
Melihat Touka
memakai piyamanya di hari itu juga membuatku gelisah. Untuk beberapa saat
setelah aku memasuki kamar rumah sakit untuk menjenguknya, aku tidak bisa
bertatap langsung dengan matanya. Sampai surat arafku mengendur, aku
berpura-pura tertarik pada interior ruangan dan hadiah yang dia dapat demi
menghindari tatapannya.
Tentu saja, aku
tidak menemukan sesuatu yang menarik. Itu hanya kamar rumah sakit
biasa. Dengan dinding berwarna putih, tirai yang pudar, lantai berwarna
hijau muda, serta tempat tidur yang sederhana. Ruangan itu bisa menampung
empat orang, tapi tidak ada pasien lain selain Touka. Dia diberi tempat
tidur paling belakang di sebelah kanan, tempat dimana yang bisa mendapatkan paling
banyak pancaran sinar matahari.
"Dokter
mendiagnosis mungkin karena perubahan tekanan udara."
Dia melirik
ke luar jendela seolah-olah untuk memeriksa cuaca.
"Maksudku,
topan itu sudah mendekat, ‘kan? Rupanya hal tersebut membuat tekanan udara menurun
dengan cepat, jadi aku mendapat serangan itu."
Aku ingat
kejadian itu kemarin.
Aku menemukan
Touka tergeletak pingsan pada jam 4 sore. Biasanya sekitar waktu itu, dia
akan membawa PR-nya ke kamarku, namun anehnya dia tidak muncul pada hari
itu. Aku memiliki firasat buruk dan pergi memeriksa ke ruangannya, dan di
sanalah aku menemukannya sedang berjongkok di lantai, tidak dapat
bergerak. Dia memiliki gejala sianosis, dan kau bisa langsung tahu kalau
itu adalah serangan asma. Ada sebuah inhaler
di dekatnya, tapi sepertinya obat itu tidak memiliki efek sama
sekali. Mendengar napasny terengah-engah lebih kasar dari yang pernah aku
dengar sebelumnya, aku segera berlari ke ruang tamu untuk memanggil
ambulans. (TN: Obat pelega napas, biasanya di pake kalau lagi pilek, dan cara
makainya dihirup)
Dokter bilang
kalau itu adalah serangan besar yang menempatkannya di ambang kegagalan
pernafasan.
"Apa
rasanya tidak sakit lagi untuk bernapas ?", Tanyaku.
"Ya, aku
baik-baik saja sekarang. Mereka hanya menempatkanku di rumah sakit untuk
berjaga-jaga kalau aku punya serangan lain, jadi aku tidak merasa buruk atau
semacamnya."
Dia mencoba
bertindak ceria, tapi suaranya begitu pelan dan lemah. Apa benar tidak
apa-apa baginya untuk berbicara? Mungkin dia memaksakan dirinya untuk
melakukannya karena ada aku di dekatnya. Namun, bila aku mencoba bertanya padanya
tentang hal itu, dia akan mencoba menghindar namun penampilan tubuhnya jauh
lebih dipercaya ketimbang sikapnya.
Setidaknya
dia tidak memaksakan suaranya, aku memindahkan kursi sedekat mungkin ke tempat
tidur dan memastikan untuk bisa berbicara dengan suara yang tenang.
"Aku pikir
kalau kau mungkin akan mati kali ini."
"Aku
juga berpikiran begitu," Touka tertawa seolah-olah kita berdua tidak
sedang membicarakan dirinya. "Tapi jika kau terlambat sedetik saja,
Chihiro, mungkin semuanya akan jauh lebih buruk. Pak Dokter memujimu loh.
Beliau bilang, penilaianmu untuk segera memanggil ambulans adalah keputusan
yang tepat."
Aku
mengatakannya dengan jujur. "Itu karena aku sudah terbiasa denganmu
yang punya serangan asma, Touka."
"Kamu
sudah menyelamatkanku. Terima kasih."
"Jangan
khawatirkan itu."
Ada keheningan
sejenak di antara kita.
Lalu, Aku
memutuskan untuk menanyakan sesuatu.
"... Apa
itu bisa disembuhkan?"
Dia
mengerutkan bibirnya, dan menyenderkan kepalanya ke samping.
"Entahlah.
Banyak orang yang tumbuh dari penyakit ini, rupanya, tapi beberapa orang masih
mengidapnya meski sudah dewasa."
"Hah."
"Tapi harus
kubilang ..." Dia dengan sengaja mengubah topik
pembicaraan. "Chihiro, kau benar-benar tahu banyak tentang teknik
bernapas. Kamu seperti dokter saja."
"Aku hanya
kebetulan tahu tentang hal itu."
"Tidak,
kamu mempelajarinya demi diriku, ‘kan?"
Dia
memiringkan kepalanya untuk menatapku dari bawah.
Rambutnya
yang panjang berayun mengikuti gerakannya.
"Ya.
Karena bisa gawat kalau kau mati di depanku."
"Ahaha.
Kurasa itu benar."
Dia tertawa
dengan tatapan cemas.
Mungkin aku
mengucapkannya dengan nada terlalu acuh, aku diam-diam menyesalinya.
"Tapi
bagaimanapun juga, sudah lama sekali sejak kamu menggendongku seperti
bayi," kata Touka sambil bercanda. " Kamu langsung
menggendongku begitu saja. Aku cukup terkejut."
"Aku
tidak bisa memikirkan cara lain untuk melakukannya."
"Tidak
apa-apa, tidak apa-apa. Jika kamu terus melakukan itu setiap kali, lalu mungkin
serangan asma tidak terlalu buruk juga ."
Aku sedikit
menepak kepala Touka saat dia menggodaku. Dia mengerang
"Aduh!" dan secara berlebihan memegangi kepalanya.
"Jangan
lakukan itu lagi. Aku sangat khawatir, kupikir aku akan berhenti bernapas
juga."
Ada jeda yang
aneh. Touka menatapku dengan mulut terbuka, terkaget. Ekspresi itu, meski
perlahan, berubah menjadi senyuman geli.
"Maaf,
maaf. Aku akan mengulanginya," dia mengoreksi diri. "Aku tidak
suka serangan asma. Aku hanya senang bisa merasakan sentuhanmu,
Chihiro."
"Baiklah,
cepat sembuh."
"Um,"
dia mengangguk.
"Tidak apa-apa," jawabku singkat. Sekarang, aku merasa malu dengan apa yang aku katakana tadi, dan bisa merasakan kalau wajahku sedikit memanas.
"Tidak apa-apa," jawabku singkat. Sekarang, aku merasa malu dengan apa yang aku katakana tadi, dan bisa merasakan kalau wajahku sedikit memanas.
……………………..
Perasaan
dingin di leher membawaku kembali ke alam sadar. Ketika aku menyentuhnya
dengan jari-jariku, rasanya sedikit basah. Segera setelah itu, aku melihat
noda hitam kecil menghiasi tangga batu. Angin kencang bertiup menembus
daerah itu.
Hujan mulai
turun.
Rasanya
seperti aku telah diselamatkan. Mana mungkin aku menggunakan Lethe di
tengah badai ini.
Aku mendapat
alasan untuk pulang tanpa melakukan apapun.
Aku
meletakkan tanganku di lututku dan berdiri, lalu menuruni tangga. Cara
berjalanku ringan karena lega.
Untuk saat
ini, Aku akan kembali ke apartemenku dulu. Aku bisa memikirkan hal lain
nanti.
Hari ini bukanlah
hari yang bagus untuk menghapus memori.
Hujan masih turun
dengan deras saat aku menunggu bus datang. Aku terhindar dari hujan di
bawah emperan toko di dekat halte bus, lalu naik ke bus saat tiba lima menit
kemudian. Interiornya dipenuhi dengan udara lembab dari AC berkat jendela
yang tertutup rapat, dan lantainya basah di sana-sini dari air hujan yang menetes
dari payung penumpang.
Aku duduk di
sisi kanan bagian belakang, dan menarik napas lega. Lalu aku dengan santai
melirik ke halte bus di sisi lain jalan. Sepertinya hari ini ada festival juga
di suatu tempat. Seorang gadis yang mengenakan yukata tampak muram menatap
awan. Mungkin dia memikirkan hal seperti, berapa lama hujan ini akan terus
turun? Dan memakai yukata baruku ... Berbicara tentang sial ... Semoga
mereka tidak membatalkan festivalnya.
Roda bus
mulai bergerak.
"Sekarang
kau berhasil," ucap seseorang.
Kau
mengabaikan satu hal yang penting, tahu.
Aku mengelap kabut dari jendela kaca dan
melihat gadis yukata itu lagi.
Rambut hitamnya yang tergerai di bahu.
Dia mengenakan yukata berwarna biru berpola kembang
api.
Dengan kulit pucat yang menarik
perhatian.
Serta bunga krisan merah di rambutnya.
Jariku tanpa sadar menekan tombol
berhenti.
Waktu lima menit sampai perhentian berikutnya
terasa seperti selamanya.
Begitu aku turun dari bus, aku berlari
secepat mungkin ke halte bus sebelumnya. Untuk sekarang, aku mengabaikan semua
pertanyaan yang terus terngiang di dalam pikiranku, dan berlari melewati hujan deras. Para
pejalan kaki menoleh untuk melihatku dan merasa penasaran apa yang terjadi,
namun aku tidak punya waktu untuk mencemaskan hal itu.
Aku berlari begitu cepat sampai-sampai
paru-paruku terasa bisa meledak kapan saja, meski begitu, proses pemikiranku
berjalan tenang. Kapan terakhir kali aku berlari kencang seperti
ini? Setidaknya, sejak aku masuk kuliah, aku tidak pernah melakukannya. Mungkin
aku pernah melakukannya demi kelasku saat SMA. Tidak, kurasa tidak ada
lomba lari di SMA-ku, ‘kan? Bahkan saat pertandingan bisbol, atau saat lari
maraton, atau bahkan saat ujian olahraga, aku tidak pernah berusaha sekuat
tenaga agar tidak merasa lelah. Itu artinya saat aku masih SMP. Sebuah
Ingatan di mana aku berusaha sekuat tenaga demi hidupku ...
Sudah cukup, kenangan yang pertama muncul
dalam pikiranku hanyalah ingatan palsu. Sebuah Mimory dari lomba lari saat aku kelas 3 SMP.
………………………………..
Aku terus tertekan selama seminggu sebelum
acara. Bukannya karena aku tidak atletis. Tapi sebaliknya, fakta kalau
aku kurang layak menyebabkan bencana. Karena beberapa kesalahan, aku
dipilih dari beberapa murid yang jadi anggota klub lari, sebagai pelari
terakhir pada lomba estafet 800 meter. Aku tak pernah menyangka kalau aku
akan mengemban peran sangat penting dalam lomba terakhirku di sekolah SMP. Aku
ingin melarikan diri, tapi aku tidak punya keberanian untuk menolak suara
mayoritas. Dan, aku juga tidak bisa berusaha keras dan mempersiapkan diri,
jadi hari lomba tiba saat aku masih ragu-ragu.
Biasanya, aku tak pernah berkeluh kesah di hadapan Touka, tapi jika aku akan melakukannya suatu hari, hari ini adalah salah satunya. Ini terjadi saat kami di kelas. Sejujurnya, aku ingin kembali ke rumah sekarang; Aku dihancurkan oleh tekanan yang berpotensial menghancurkan kenangan teman-teman sekelasku. Itulah yang aku katakan padanya.
Lalu kemudian, Touka dengan cerianya memukul pundakku, dan dengan polos mengatakan:
"Siapa yang peduli dengan teman sekelasmu? Jika kau ingin berlari demi seseorang, berlarilah untuk diriku."
Karena penyakit asma serius yang dideritanya sepanjang hidup, dia tidak pernah berlari secepat yang dia bisa. Dia selalu menonton dari pinggir saat jam olahraga, dan hampir tak pernah menghadiri kegiatan yang menuntut fisik seperti hiking atau pelajaran ski. Dan di lomba lari ini, sementara dia akan hadir, tapi bukan sebagai peserta. Dia sendiri menolak dipilih supayatidak ingin menimbulkan masalah.
Biasanya, aku tak pernah berkeluh kesah di hadapan Touka, tapi jika aku akan melakukannya suatu hari, hari ini adalah salah satunya. Ini terjadi saat kami di kelas. Sejujurnya, aku ingin kembali ke rumah sekarang; Aku dihancurkan oleh tekanan yang berpotensial menghancurkan kenangan teman-teman sekelasku. Itulah yang aku katakan padanya.
Lalu kemudian, Touka dengan cerianya memukul pundakku, dan dengan polos mengatakan:
"Siapa yang peduli dengan teman sekelasmu? Jika kau ingin berlari demi seseorang, berlarilah untuk diriku."
Karena penyakit asma serius yang dideritanya sepanjang hidup, dia tidak pernah berlari secepat yang dia bisa. Dia selalu menonton dari pinggir saat jam olahraga, dan hampir tak pernah menghadiri kegiatan yang menuntut fisik seperti hiking atau pelajaran ski. Dan di lomba lari ini, sementara dia akan hadir, tapi bukan sebagai peserta. Dia sendiri menolak dipilih supayatidak ingin menimbulkan masalah.
Seketika kalimat "Berlarilah demi diriku"
keluar dari mulutnya, rasanya seolah-olah itu membawa arti yang sangat spesial. Tidak
hanya itu, ucapannya tidak mengandung tekanan sama sekali.
Ya. Apa yang aku takutkan? Touka adalah seseorang yang sangat penting bagiku. Dan Touka takkan kecewa padaku terlepas dari hasil dari lariku. Bahkan, dia pasti akan memujiku apa pun yang terjadi.
Beban yang terus memberati pundakku mulai menghilang.
Dalam lomba lari estafet hari itu, aku melewati dua lawanku dan finish di tempat pertama. Dan kemudian, saat aku kembali ke tempat teman sekelasku, aku pingsan dan dibawa ke ruang UKS. Aku ingat tengah berbaring di tempat tidur sementara Touka duduk di sampingku seraya mengucapkan "itu sangat keren sekali" berulang kali. Tapi kesadaranku memudar setelah kelelahan fisik dan terbebas dari tekanan, jadi aku langsung cepat tertidur. (Ini mungkin terjadi ketika "ciuman ketiga" terjadi.)
Pada saat aku bangun, upacara penutupan sudah selesai dari tadi. Di luar sudah gelap, dan Touka berdiri di samping tempat tidur, menatap wajahku.
"Waktunya pulang?", Ucapnya sambil tersenyum.
………………………………..
Ya. Apa yang aku takutkan? Touka adalah seseorang yang sangat penting bagiku. Dan Touka takkan kecewa padaku terlepas dari hasil dari lariku. Bahkan, dia pasti akan memujiku apa pun yang terjadi.
Beban yang terus memberati pundakku mulai menghilang.
Dalam lomba lari estafet hari itu, aku melewati dua lawanku dan finish di tempat pertama. Dan kemudian, saat aku kembali ke tempat teman sekelasku, aku pingsan dan dibawa ke ruang UKS. Aku ingat tengah berbaring di tempat tidur sementara Touka duduk di sampingku seraya mengucapkan "itu sangat keren sekali" berulang kali. Tapi kesadaranku memudar setelah kelelahan fisik dan terbebas dari tekanan, jadi aku langsung cepat tertidur. (Ini mungkin terjadi ketika "ciuman ketiga" terjadi.)
Pada saat aku bangun, upacara penutupan sudah selesai dari tadi. Di luar sudah gelap, dan Touka berdiri di samping tempat tidur, menatap wajahku.
"Waktunya pulang?", Ucapnya sambil tersenyum.
………………………………..
Aku kembali ke kenyataan.
Yeesh, kau benar-benar tidak memiliki kehidupan sendiri, pikirku, merasa kecewa dengan diriku sendiri.
Jika terus seperti ini, hidupku akan berakhir cepat sekejap mata tanpa memiliki apapun selain kenangan fiktif.
Aku melihat yukata biru tua. Pada saat yang sama, aku melihat bus mendekati halte bus. Aku menghabiskan energi terakhirku untuk berlari ke arahnya. Pada dasarnya aku tidak pernah berolahraga sejak mulai kuliah, dan aku merokok satu bungkus sehari, jadi paru-paru, jantung, dan kakiku didorong hingga batas. Sudut-sudut pandanganku mulai kabur karena kekurangan oksigen, dan tenggorokanku membuat suara kasar karena napas yang ngos-ngosan.
Biasanya, aku mungkin takkan pernah sampai. Tapi melihatku berlari dengan basah kuyup tanpa payung, sang sopir sepertinya menunggu sedikit sebelum menjalankan busnya.
Untungnya, aku berhasil naik bus, tetapi aku tidak langsung berbicara dengannya. Aku meraih pegangan, dan bersandar di atasnya sambil menarik napas. Air hujan menetes dari rambutku ke lantai. Jantungku terus berdegup kencang layaknya pekerja proyek bangunan. Meski tubuhku basah, tapi di dalamnya terasa panas, seolah-olah sel-sel darahku mendidih. Kakiku bergetar dan hampir tidak bisa menahanku, jadi aku hampir jatuh setiap kali bus tersentak.
Akhirnya, begitu aku menarik napas, aku mendongak.
Tentu saja, dia masih di sana.
Dia duduk di kursi bagian belakang, melihat keluar jendela dengan lesu.
Hatiku yang tenang kembali dilemparkan ke dalam kekacauan.
Aku langsung menuju ke arahnya.
Mungkin karena senyawa otak mengeluarkan cairan saat aku berlari, aku merasa seperti aku mampu berbicara dengannya sekarang.
Aku belum memutuskan apa yang harus dibicarakan. Tapi aku yakin semuanya akan berhasil. Begitu aku mulai berbicaranya, sisanya pasti akan mengalir secara alami.
Setidaknya, aku mempunyai iitu.
Usai berhenti tepat di sampingnya, aku meraih pegangan bus.
Aku mengambil nafas dalam-dalam.
"Um."
Hanya kata itu yang bisa kuucapkan.
Sihir musim panas hancur dalam sekejap.
Wanita yang melihat ke luar jendela menengok ke arakhu.
"...Maaf, ada apa?"
Dia menatapku dengan ragu.
Dan dia tidak terlihat seperti “dirinya”.
Dia hanya bisa dibilang mirip dalam fisik dan rambut, dan sisanya tidak, dengan kata lain dia tidak mirip seperti Touka Natsunagi. Hampir seperti seseorang tahu aku akan membuat kesimpulan dan dengan licik menempatkannya di sana sebagai jebakan.
Semakin aku menatapnya, dia terlihat sangat jauh berbeda dari Touka. Aku tidak merasakan sedikit pun kecantikan serta keanggunan wanita yang kulihat di kuil itu.
Yeesh, kau benar-benar tidak memiliki kehidupan sendiri, pikirku, merasa kecewa dengan diriku sendiri.
Jika terus seperti ini, hidupku akan berakhir cepat sekejap mata tanpa memiliki apapun selain kenangan fiktif.
Aku melihat yukata biru tua. Pada saat yang sama, aku melihat bus mendekati halte bus. Aku menghabiskan energi terakhirku untuk berlari ke arahnya. Pada dasarnya aku tidak pernah berolahraga sejak mulai kuliah, dan aku merokok satu bungkus sehari, jadi paru-paru, jantung, dan kakiku didorong hingga batas. Sudut-sudut pandanganku mulai kabur karena kekurangan oksigen, dan tenggorokanku membuat suara kasar karena napas yang ngos-ngosan.
Biasanya, aku mungkin takkan pernah sampai. Tapi melihatku berlari dengan basah kuyup tanpa payung, sang sopir sepertinya menunggu sedikit sebelum menjalankan busnya.
Untungnya, aku berhasil naik bus, tetapi aku tidak langsung berbicara dengannya. Aku meraih pegangan, dan bersandar di atasnya sambil menarik napas. Air hujan menetes dari rambutku ke lantai. Jantungku terus berdegup kencang layaknya pekerja proyek bangunan. Meski tubuhku basah, tapi di dalamnya terasa panas, seolah-olah sel-sel darahku mendidih. Kakiku bergetar dan hampir tidak bisa menahanku, jadi aku hampir jatuh setiap kali bus tersentak.
Akhirnya, begitu aku menarik napas, aku mendongak.
Tentu saja, dia masih di sana.
Dia duduk di kursi bagian belakang, melihat keluar jendela dengan lesu.
Hatiku yang tenang kembali dilemparkan ke dalam kekacauan.
Aku langsung menuju ke arahnya.
Mungkin karena senyawa otak mengeluarkan cairan saat aku berlari, aku merasa seperti aku mampu berbicara dengannya sekarang.
Aku belum memutuskan apa yang harus dibicarakan. Tapi aku yakin semuanya akan berhasil. Begitu aku mulai berbicaranya, sisanya pasti akan mengalir secara alami.
Setidaknya, aku mempunyai iitu.
Usai berhenti tepat di sampingnya, aku meraih pegangan bus.
Aku mengambil nafas dalam-dalam.
"Um."
Hanya kata itu yang bisa kuucapkan.
Sihir musim panas hancur dalam sekejap.
Wanita yang melihat ke luar jendela menengok ke arakhu.
"...Maaf, ada apa?"
Dia menatapku dengan ragu.
Dan dia tidak terlihat seperti “dirinya”.
Dia hanya bisa dibilang mirip dalam fisik dan rambut, dan sisanya tidak, dengan kata lain dia tidak mirip seperti Touka Natsunagi. Hampir seperti seseorang tahu aku akan membuat kesimpulan dan dengan licik menempatkannya di sana sebagai jebakan.
Semakin aku menatapnya, dia terlihat sangat jauh berbeda dari Touka. Aku tidak merasakan sedikit pun kecantikan serta keanggunan wanita yang kulihat di kuil itu.
Bagaimana mungkin aku salah menyangka wanita
ini sebagai “dia”?
"Umm, apa anda butuh
sesuatu?"
Wanita yang mirip Touka menanyaiku lagi dengan
tatapan penuh penasaran. Aku menyadari kalau aku terlalu lama menatap
wajahnya.
Tenanglah, ucapku pada diriku sendiri. Wanita ini
tidak salah apa-apa . Hanya kebetulan memakai kimono yang sama persis
seperti teman masa kecil di Mimories-ku, tidak ada kesalahan sama sekali; hanya
aku yang salah mengiranya.
Ya, aku sendiri yang salah. Aku tahu itu. Meski begitu, aku merasakan kemarahan yang intens. Aku bahkan tidak percaya betapa marahnya diriku. Aku merasa ada lendir hitam yang menyebar di dadaku. Mungkin saja aku tidak pernah marah pada siapa pun dalam hidupku.
Cengkeramanku pada pegangan bus menjadi kencang. Pikiranku memikirkan penghinaan satu demi satu. Beraninya kau memberiku harapan palsu; jangan berpakaian yang bikin salah paham; wanita sepertimu seharusnya tidak diperbolehkan berpakaian seperti itu; Kau bahkan tidak mirip sedikit pun dengan Touka Natsunagi; dan sebagainya.
Tentu saja, aku tidak mengungkapkannya sedikitpun. Aku dengan sopan meminta maaf karena salah mengira orang, lalu turun di pemberhentian berikutnya untuk melarikan diri. Dan aku tanpa berpikir berjalan menembus hujan.
Sambil berlindung dari badai di sebuah bar dan menenggelamkan diri dengan minuman bir murah, aku memikirkan sesuatu.
Aku akan mengakuinya.
Aku jatuh cinta dengan Touka Natsunagi.
Dan aku ingin bertemu dengannya, sampai pada level dimana aku melihat jejaknya pada orang lain yang hanya berpakaian sama.
Terus apa? Tanyaku pada diri sendiri. Seorang teknisi Mimory mendesain Touka Natsunagi sebagai orang yang sangat cocok dengan tipeku, aku tidak punya pilihan selain jatuh cinta padanya.Cuma itu saja. Ini tidak ada bedanya dengan memiliki baju yang cocok dengan tubuhmu. Rasanya akan menjadi aneh jika aku tidak mencintainya.
Mengakui akan hal itu membuatku merasa sedikit lebih baik.
Karena aku merasa lebih baik, aku bisa minum bir dengan lebih nyaman.
Dan benar saja, aku minum bir terlalu banyak.
Dalam proses memuntahkan semua yang aku makan ke toilet, terus memuntahkan, lalu kembali ke tempat dudukku, minum bir lagi, terbaring di atas meja, dan kembali ke kamar mandi untuk muntah lagi, waktu tutup pun datang, dan aku diusir dari bar. Aku berjongkok di luar untuk sementara waktu, tapi aku tahu rasa mual dan sakit kepalaku takkan kunjung membaik dalam waktu dekat, jadi aku memaksakan diri dan mulai berjalan. Jadwal kereta terakhir sudah terlewat, dan aku tidak punya uang untuk memkai taksi. Ini pasti malam yang panjang.
Aku mendengar lagu Hotaru no Hikari dari toko terdekat, dan tanpa sadar aku bersenandung dengan lirik khusus dari Touka.
Kunang-kunang yang bersinar terang
Menghilang ke dalam gelap
Begitu cepat berlalu dan begitu tidak berarti,
Sama seperti hatiku yang penuh rasa rindu.
Besok, aku pasti akan meminum Lethe, pikirku.
Karena, rasanya begitu hampa untuk jatuh cinta dengan seorang gadis yang tak pernah ada.
Ya, aku sendiri yang salah. Aku tahu itu. Meski begitu, aku merasakan kemarahan yang intens. Aku bahkan tidak percaya betapa marahnya diriku. Aku merasa ada lendir hitam yang menyebar di dadaku. Mungkin saja aku tidak pernah marah pada siapa pun dalam hidupku.
Cengkeramanku pada pegangan bus menjadi kencang. Pikiranku memikirkan penghinaan satu demi satu. Beraninya kau memberiku harapan palsu; jangan berpakaian yang bikin salah paham; wanita sepertimu seharusnya tidak diperbolehkan berpakaian seperti itu; Kau bahkan tidak mirip sedikit pun dengan Touka Natsunagi; dan sebagainya.
Tentu saja, aku tidak mengungkapkannya sedikitpun. Aku dengan sopan meminta maaf karena salah mengira orang, lalu turun di pemberhentian berikutnya untuk melarikan diri. Dan aku tanpa berpikir berjalan menembus hujan.
Sambil berlindung dari badai di sebuah bar dan menenggelamkan diri dengan minuman bir murah, aku memikirkan sesuatu.
Aku akan mengakuinya.
Aku jatuh cinta dengan Touka Natsunagi.
Dan aku ingin bertemu dengannya, sampai pada level dimana aku melihat jejaknya pada orang lain yang hanya berpakaian sama.
Terus apa? Tanyaku pada diri sendiri. Seorang teknisi Mimory mendesain Touka Natsunagi sebagai orang yang sangat cocok dengan tipeku, aku tidak punya pilihan selain jatuh cinta padanya.Cuma itu saja. Ini tidak ada bedanya dengan memiliki baju yang cocok dengan tubuhmu. Rasanya akan menjadi aneh jika aku tidak mencintainya.
Mengakui akan hal itu membuatku merasa sedikit lebih baik.
Karena aku merasa lebih baik, aku bisa minum bir dengan lebih nyaman.
Dan benar saja, aku minum bir terlalu banyak.
Dalam proses memuntahkan semua yang aku makan ke toilet, terus memuntahkan, lalu kembali ke tempat dudukku, minum bir lagi, terbaring di atas meja, dan kembali ke kamar mandi untuk muntah lagi, waktu tutup pun datang, dan aku diusir dari bar. Aku berjongkok di luar untuk sementara waktu, tapi aku tahu rasa mual dan sakit kepalaku takkan kunjung membaik dalam waktu dekat, jadi aku memaksakan diri dan mulai berjalan. Jadwal kereta terakhir sudah terlewat, dan aku tidak punya uang untuk memkai taksi. Ini pasti malam yang panjang.
Aku mendengar lagu Hotaru no Hikari dari toko terdekat, dan tanpa sadar aku bersenandung dengan lirik khusus dari Touka.
Kunang-kunang yang bersinar terang
Menghilang ke dalam gelap
Begitu cepat berlalu dan begitu tidak berarti,
Sama seperti hatiku yang penuh rasa rindu.
Besok, aku pasti akan meminum Lethe, pikirku.
Karena, rasanya begitu hampa untuk jatuh cinta dengan seorang gadis yang tak pernah ada.
uuuu
Tentu saja, jatuh cinta dengan seorang gadis
yang asli pun terasa hampa dengan caranya tersendiri.
Dengan kata lain, aku adalah orang yang tidak ada juga. Hampir semua gadis yang pernah aku temui mungkin tak pernah melihatku sebagai calon pasangan romantis. Justru kebanyakan dari mereka mungkin tidak ingat namaku.
Ini adalah masalah yang lebih mendasar daripada disukai atau tidak disukai. Aku bahkan bukan bagian dari alam semesta mereka. Mungkin kita hidup di ruang dan waktu yang sama, tapi kita tidak pernah berpapasan. Aku tidak lebih dari bayangan yang melewati mereka, dan sebaliknya.
Rasanya sangat hampa bagi orang yang ada untuk mencintai orang yang tidak ada, tapi itu sama hampanya bagi orang yang tidak ada untuk mencintai orang yang ada. Dan orang yang tidak ada yang mencintai orang yang tidak ada, itu hanya ketiadaan mutlak.
Cinta adalah sesuatu yang hanya bisa terjadi antara orang yang ada.
Dengan kata lain, aku adalah orang yang tidak ada juga. Hampir semua gadis yang pernah aku temui mungkin tak pernah melihatku sebagai calon pasangan romantis. Justru kebanyakan dari mereka mungkin tidak ingat namaku.
Ini adalah masalah yang lebih mendasar daripada disukai atau tidak disukai. Aku bahkan bukan bagian dari alam semesta mereka. Mungkin kita hidup di ruang dan waktu yang sama, tapi kita tidak pernah berpapasan. Aku tidak lebih dari bayangan yang melewati mereka, dan sebaliknya.
Rasanya sangat hampa bagi orang yang ada untuk mencintai orang yang tidak ada, tapi itu sama hampanya bagi orang yang tidak ada untuk mencintai orang yang ada. Dan orang yang tidak ada yang mencintai orang yang tidak ada, itu hanya ketiadaan mutlak.
Cinta adalah sesuatu yang hanya bisa terjadi antara orang yang ada.
uuuu
Matahari sudah naik dari ufuk timur saat aku
tiba di apartemenku.
Aku bersumpah pada diriku sendiri kalau aku takkan pernah minum lagi, tapi pada saat yang sama aku menyadari kalau aku takkan pernah kapok dan akan minum lagi dalam waktu dekat. Pria yang suka minum-minum dan pria yang mabuk itu seperti orang yang berbeda, jadi pelajaran yang dipetik oleh seseorang takkan berlaku untuk yang lain. Satu aku hanya belajar kesenangan minum, sementara yang lain belajar pahitnya.
Tidak ada tanda-tanda orang di daerah pemukiman ini pagi-pagi. Seekor kucing liar yang tinggal di belakang kedai camilan dengan santainya berjalan melewatiku. Biasanya dia akan lari begitu melihatku, tapi mungkin mengetahui keadaanku yang lemah, itu tidak menunjukkan tanda-tanda peringatan hari ini. Seekor gagak di suatu tempat berteriak, dan seolah-olah sebagai tanggapan, seekor burung merpati di tempat lain juga ikut berkicau.
Aku bersumpah pada diriku sendiri kalau aku takkan pernah minum lagi, tapi pada saat yang sama aku menyadari kalau aku takkan pernah kapok dan akan minum lagi dalam waktu dekat. Pria yang suka minum-minum dan pria yang mabuk itu seperti orang yang berbeda, jadi pelajaran yang dipetik oleh seseorang takkan berlaku untuk yang lain. Satu aku hanya belajar kesenangan minum, sementara yang lain belajar pahitnya.
Tidak ada tanda-tanda orang di daerah pemukiman ini pagi-pagi. Seekor kucing liar yang tinggal di belakang kedai camilan dengan santainya berjalan melewatiku. Biasanya dia akan lari begitu melihatku, tapi mungkin mengetahui keadaanku yang lemah, itu tidak menunjukkan tanda-tanda peringatan hari ini. Seekor gagak di suatu tempat berteriak, dan seolah-olah sebagai tanggapan, seekor burung merpati di tempat lain juga ikut berkicau.
Dengan susah payah aku menaiki tangga dan
mencapai pintu. Aku merogoh-rogoh saku untuk mencari kunci, dan kutemukan
di antara barang yang ada di
saku. Tugas sederhana ini membutuhkan konsentrasi yang
besar. Dengan perjuangan yang cukup untuk membuatku berpikir kalau aku
sedang merusak sebuah brankas, aku lalu membuka pintu.
Saat aku meletakkan tanganku di gagang pintu,
pintu di ruang 202 terbuka, dan penghuninya perlahan keluar. Aku melihat
ke arah tetanggaku di tengah-tengah membuka pintu. Aku tidak tahu siapa
yang tinggal di sebelah ruanganku, jadi kupikir aku akan melihat seperti apa
mereka demi memuaskan hasrat penasaranku.
Dia adalah seorang gadis. Dilihat dari
penampilannya, dia berusia sekitar 17 sampai 20 tahunan. Dia berpakaian seperti
dia akan pergi keluar untuk membeli minuman ringan. Anggota badannya,
samar-samar menyala, seperti putih transparan, dan rambut hitamnya yang panjang
nan lembut tertiup oleh angin.
….dan seperti yang terjadi pada hari itu,
waktu seakan-akan berhenti.
Sebuah paku yang tak terlihat seolah-olah memaku
kami di tempat, diriku dalam pose membuka pintu, dan dia menutup pintu dengan
tangannya.
Tidak ada yukata biru tua, atau bunga krisan
merah di rambutnya.
Namun, aku tahu itu.
Seolah-olah kehilangan konsep kata-kata, kita
saling memandang untuk waktu yang lama.
Hal pertama untuk melanjutkan gerakan adalah
mulutnya.
“... Chihiro?”
Dia menyebut namaku.
“... Touka?”
Balasku tanpa sadar.
………………………………………………………
………………………………………………………
…………………………
Aku
memiliki seorang teman masa kecil yang tidak pernah aku temui. Aku tak pernah
melihat wajahnya, tak pernah mendengarnya berbicara. Bahkan, aku tak pernah menyentuhnya. Meski begitu, aku tahu
seberapa rupawan wajahnya, seberapa lembut suaranya. Serta, Aku tahu betul
kehangatan telapak tangannya.
Ternyata, Sihir musim panas masih berjalan.
Tags:
Kimi no Hanashi
Joshep Joestart : OH MY GOD!!!
BalasHapusLanjut?..
BalasHapus