Sachiusukei Bishoujo Chapter 12


Chapter 12

Sayangnya, hujan turun saat istirahat makan siang hari ini.
Karena mereka berjanji untuk tidak saling mengunjungi kelas masing-masing, makan siang Tooru hanyalah makanan beku. 
Ia makan siang dengan Jun dan teman lainnya, memikirkan bagaimana menikmati hari ini sepulang sekolah karena Ia sedang libur kerja, lalu tiba-tiba suasana di luar kelas berubah menjadi gaduh. 
Tooru melihat ke tempat dimana kegaduhan itu terjadi. Lalu, matanya terbuka lebar.
Amane berdiri di sana dan tersenyum manis pada Tooru.
“Whoa, itu Amane di dekat pintu sana.” 
“Ya, tapi kenapa dia ada di kelas kita?”
Teman-temannya saling berbicara, lalu Jun berbisik pada Tooru.
“Hei, apa yang akan kau lakukan?” 
“Tidak ada. Bukannya aku tidak tahu, ” Tooru balas berbisik.
Di sudut matanya, Akane mengeluarkan catatannya dan mulai mencatat seolah-olah itu urusannya.
Mungkin lelah menunggu Tooru untuk datang ke arahnya, Amane — dengan senyum yang menghias wajahnya — malah menghampirinya. 
Sementara itu cowok-cowok lain di kelas gemetar ketakutan karena mereka tahu betul tentang desas-desus mengenai diriya, Tooru menatap Amane tanpa ragu-ragu. Senyumnya palsu — itu sudah jelas.
“Ada apa, Miyamoto?” 
“Aku hanya ingin mampir untuk menyapa dan berterima kasih karena selalu memperlakukan adikku dengan sangat baik. Hmm ... kamu cuma orang bodoh, cowok biasa. Yah tidak terlalu mengejutkan. ”
Disebutkannya nama Satsuki makin membuat gaduh kerumunan.
“Hei bung, apa yang sudah kamu lakukan dengan Satsuki tanpa sepengetahuan kita ?!”
“Aku akan menggantikanmu, sob.”
“Ini bukan urusanmu, kan? Miyamoto ada di sini untuk berbicara denganku.” 
“Oh, jadi itu bukan rahasia ya.”
Amane menyilangkan tangan dan matanya menatap Tooru dari  atas sampai ke bawah. Ini mungkin sedikit mengintimidasi, tapi Tooru tidak takut menatapnya balik. 
Sosok Tooru terpantul dari mata cokelatnya yang gelap. Keberadaannya di sini bukanlah pertanda yang baik, melainkan seperti pemangsa yang memburu mangsanya.
“Jadi? Apa yang kau inginkan dariku?” 
“Apa kita bisa ... pergi ke suatu tempat yang lebih tenang?”
Amane bertepuk tangan di depan wajahnya.
Tooru merasakan jantungnya berdebar kencang; keributan dari kelas juga tidak membantu.
Tenang. Dia tidak akan melakukan apa-apa padamu di sini. Aku hanya bertanya dengan jelas apa yang dia inginkan dariku.
Tooru menyilangkan lengannya juga, tapi itu untuk menyembunyikan telapak tangannya yang berkeringat. 
Ia tahu kalau ini bakal terjadi,  tapi siapa yang mengira kalau dia akan menghampirinya langsung mengenai apa yang Tooru dan Satsuki bicarakan kemarin.
“… baik. Jadi ke mana kita harus pergi?” 
“Ayo kita ke lorong di luar ruangan penjaga di mana hampir tidak ada orang. Dengan begitu tidak ada orang yang akan mendengarnya.”
Dia ingin berbicara tatap muka, satu lawan satu dan sepertinya Tooru tidak punya pilihan lain selain meladeninya.
“Tepat di luar kamar penjaga. Oke.” 
“Kenapa kita tidak pergi bersama sekarang?”
“Santai. Aku tidak akan kabur atau melarikan diri.”
Karena itu, Tooru memimpin jalan. Ia hampir bisa merasakan Amane terkikik pelan di belakang punggungnya, tapi dia mengabaikannya dan menatap lurus ke depan. 
Ruangan penjaga tepat di sudut setelah menuruni tangga. Tooru membawa Amane ke area penyimpanan di bawah tangga.
“Jika kau punya sesuatu untuk dikatakan kepadaku, cepat katakan saja.” 
“... Memangnya kamu punya hak untuk memberitahuku apa yang harus kulakukan?”
Ekspresi Amane langsung berubah 180 derajat dari sebelumnya dan tubuh Tooru menegang. 
Apa yang dia pikirkan, tidak ada yang tahu, tapi setelah diseret ke sini, sesuatu yang tidak baik pasti akan terjadi.
Tiba-tiba, Amane mendekatinya untuk menutup jarak, menekan tubuhnya yang tinggi dan dadanya yang indah ke tubuh Tooru. 
Secara naluriah, Tooru melangkah mundur tapi Amane mendekap pinggangnya, menarik tubuh Tooru ke payudaranya.
Sangat lembut. 
Cowok lain pasti akan mimisan sekarang, tapi Tooru tidak bisa merasakan apa-apa selain dari rasa permusuhan Amane terhadapnya. Apa yang ada di benaknya saat ini?
“Hentikan itu.”
“Hmm?”
Begitu Tooru mencoba memaksa keluar dari cengkeramannya, Amane melepaskannya dan menjauh. Lalu, dia menjilat bibirnya saat dia menatap Tooru.
“Cowok mana pun pasti merasa senang dengan situasi seperti itu, tapi kurasa kau cowok impoten karena kau tidak membalas rayuanku tadi.” 
“Jangan bercanda. Tiba-tiba disambar begitu siapa saja pasti merasa ngeri. Ngomong-ngomong, aku tidak berpikir kita di sini hanya untuk saling sentuh, jadi kenapa kau tidak mengatakan apa yang ingin kau katakan?”
Amane memasang senyum manis di wajahnya. Dia melangkah lebih dekat ke Tooru lagi dan meraih tangan kanannya. Rasa dingin menusuk tulang punggungnya dan membuatnya merinding.
“Hei, kenapa kamu tidak berpacaran denganku?”
Jantungnya berdegup kencang menanggapi pernyataannya.
Apa yang baru saja dia katakan? Berpacaran dengannya? Bagaimana bisa seseorang bisa mengatakan hal seperti itu dengan santainya?  Ia tersentak dari kebodohannya.
Melihat reaksinya, Amane melangkah lebih dekat dan menatapnya. Sosoknya yang seperti itu mengingatkannya pada Satsuki, tetapi Ia dengan cepat menyingkirkan gambaran itu dari benaknya.
“... Miyamoto, apa begini caramu mengajak cowok berpacaran?” 
“Kenapa? Cinta tidak perlu alasan, ‘kan? Atau apa kamu tipe cowok yang perlu penisnya basah duluan? ”
Kata-katanya membuatnya geram.
Tooru mendorongnya dan memelototinya.
“Persetan dengan itu. Aku bukan cowok seperti itu.”
“Omong besar dari seseorang yang meniduri adikku. Apa? Kamu akan berpacaran dengan adikku tetapi bukan diriku?” 
“Ya. Atau setidaknya aku tidak punya keinginan untuk berpacaran dengan kalian berdua. Satsuki adalah temanku, kau dan aku baru saja bertemu. Aku tidak bisa berpacaran dengan kalian berdua.”
Menolaknya malah membuatnya semakin marah; wajahnya seperti iblis.
“... beraninya kamu menolakku? Kamu sebaiknya berhati-hati.” 
“Hmph. Selama kamu tidak melakukan apa pun pada Satsuki, aku siap kapan saja. ”
Amane menunjukkan niatnya yang sebenarnya. Sikap ramahnya berubah menjadi tatapan tajam. 
Dia tampak terkejut, tetapi dengan cepat kembali ke sikap merendahkannya.
“Heh. Kamu sudah siap, ya?”
“Ya. Aku tahu dari awal saat terlibat dengan Satsuki berarti terlibat juga denganmu. Ayo, siapa takut.”
Saat Tooru selesai berbicara, Amane tertawa terbahak-bahak.
“Haha, ahaha. Ahahaha!”
“Apanya yang lucu?”
“si Bajingan itu benar-benar menyukaimu juga.”
“Kau, tarik kembali ucapanmu.” 
“Tutup mulutmu. Bukan urusanmu bagaimana aku memanggil adikku.”
Nada suaranya terdengar sangat dingin sekali. 
Sayang sekali Tooru tidak bisa menggampar Amane karena memanggil Satsuki seperti itu. Tapi siapa yang menyerang duluan dia yang kalah. 
Kabar burung yang beredar pernah ada satu kali, salah satu teman sekelas Amane tidak tahan dengan intimidasi dan membalas. Sebagai imbalannya, Amane memanggil teman-temannya untuk memukul mereka tapi ditangguhkan karena itu.
Menilai situasinya sekarang, rumor itu bukan cuma sekedar rumor lagi bagi Tooru.
Rumor lain seputar Amane hampir semuanya sama. Tooru menurunkan kakinya dan menahan diri. 
Melihatnya melakukan itu, Amane tiba-tiba beralih ke wajah yang dingin dan tenang. Dia menyilangkan lengannya dan menatap ke arah Tooru lagi.
“Kamu cowok yang menarik.” 
“Hah?” 
“Sudah kubilang — kamu cowok yang menarik. Kalau orang lain pasti sudah  berlutut sekarang, tetapi kamu berbeda. Senang punya alasan untuk menempatkanmu di daftar targetku.”
Semua indranya sekarang memperingatkannya tentang bahaya. 
Gadis ini berbahaya. Dia tahu betul bagaimana cara menghancurkan mental seseorang dan menghancurkan mereka dari dalam.
Meski begitu, Tooru tidak bisa kalah. Pemandangan senyuman sekilas Satsuki terus muncul di benaknya. 
Tak peduli kesulitan macam apa yang akan datang jika itu berarti bisa melindungi senyum itu. 
Amane mencibir dan sebelum berpaling, dia menendang ember yang ada di dekatnya. Ember dan pel di dalamnya jatuh, membuatnya berantakan.
“Baiklah, kalau begitu, semoga harimu menyenangkan. Aku harap setiap hari mulai sekarang dipenuhi dengan kesenangan dan kegembiraan. ”
Amane berbalik darinya dan melambaikan tangannya saat dia berjalan menaiki tangga.
Mendengar suara keras itu, penjaga keluar dari ruangannya.
Dia melihat pel dan ember yang basah dan kemudian melihat ke Tooru.
“Hey apa yang kau lakukan?! Apa kau yang melakukan ini ?!” 
“ ... Ya.”
“Aku tidak tahu apa yang kau punya masalah apa, tapi jangan merusak peralatan sekolah. Sekarang, bertanggung jawab dan cepat bersihkan.”
“Baik, pak.”
Bukannya dia berusaha melindungi Amane.
Tapi dia adalah gadis paling berbakat di sekolah dan semua guru menyukainya. Tidak ada yang akan percaya pada Tooru jika dialah pelakunya.
Tooru bersandar di dinding yang ada di belakangnya dan merosot ke bawah.
Amane menantangnya dan Tooru meladeninya. Tooru tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi Ia yakin tidak ada hal baik yang akan terjadi padanya mulai besok. 
Selamat tinggal, kedamaian dan ketenangan. Halo, neraka kenyataan.
Tooru membereskan pel dan ember sebelum kembali ke ruang kelasnya.



close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama