Chapter 11 – Hadiah untuk Tenshi
Amane melihat selembar kertas dengan banyak nama siswa
yang ditempel di dinding koridor, "Oh itu sebabnya." dan
bergumam.
Peringkat ujian baru saja diumumkan, dan Amane datang
untuk melihat, bersama dengan teman-teman sekelasnya.
Hasilnya adalah Ia menempati peringkat 21, tidak jauh
berbeda dari biasanya, tidak terlalu menonjol, meski dibilang layak. Amane
tidak merasakan sesuatu yang berbeda ketika menulis, dan melihat bahwa
peringkatnya seperti yang diharapkan, Ia merasa sedikit lega.
Tentu saja, Mahiru tetap menduduki peringkat 1 di
angkatan mereka.
Dia benar-benar seorang gadis yang cerdas, tapi Amane
tahu kalau dia juga berusaha keras, dan hanya bisa kagum melihat betapa
menakjubkannya Mahiru.
Ia melihatnya belajar setelah makan malam.
Yah, dia sudah pandaii sejak awal, tapi apa yang
mengangkatnya ke posisi pertama adalah kerja keras tanpa henti.
“Shiina-san masih peringkat 1 ...”
“Si Tenshi menggunakan pikirannya secara berbeda, seperti
yang diharapkan.”
Amane mendengar suara-suara seperti itu di tengah
keributan, dan melengkungkan bibirnya dengan sedih.
“... Ada apa, Amane? Kau terlihat tidak
senang. Bukannya peringkatmu bagus? ”
Itsuki juga bersama Amane ketika Ia melihat balik Itsuki
dan tampak sedikit terkejut.
Hanya untuk diketahui, peringkat yang diumumkan hanya
sampai 50 besar, jadi Itsuki mana mungkin bisa menemukan namanya
sendiri. Ia hanya mampir untuk menemani Amane.
“Tidak juga. Lumayan di peringkat 21.”
“Ohh, itu lebih baik dari yang terakhir kali.”
“Yah, masih dalam perkiraanku.”
“Yah, orang pintar selalu mengatakan hal yang berbeda.”
Itsuki beringsut kembali saat dia menyeringai
pergi. "Oke, oke." dan Amane menepisnya, sebelum melihat
peringkat lagi.
Dia
benar-benar berusaha keras, begitu pikir Amane.
Mahiru tidak mau menunjukkan kepada siapa pun upaya yang
dia lakukan, dan sementara yang lain berpikir itu yang diharapkan darinya, itu
adalah hasil dari usahanya.
Meski orang-orang di sekitarnya memujinya karena luar
biasa, mereka tidak tahu apa-apa tentang kerja keras dibalik kesuksesannya, dan
tidak bisa memahaminya.
Itu pasti sangat mengganggu bagi Mahiru.
“... Aku akan menebusnya.”
“Hm? Apa kau mengatakan sesuatu?”
“Tidak ada, aku akan kembali ke ruang kelas.”
“Oke.”
zzzz
“Huh, Amane-kun. Apa ini?”
Mahiru sudah berganti pakaian, pergi ke supermarket untuk
membeli bahan-bahan, dan kembali ke apartemennya. Dia berniat untuk
memasukkan bahan ke dalam lemari es, dia lalu memperhatikan kotak putih ini.
“Hm? Ahh, itu kue.”
Ada kue di dalam kotak putih, dan Mahiru mungkin
mengetahuinya SAAT dia melihat bentuknya, tetapi dia ingin
memastikan. Sebagai tambahan, Chitose suka mengunggah foto toko kue favoritnya
di SNS, dan dari situlah Amane membelinya.
“... Kamu suka kue?”
“Tidak terlalu. Itu untukmu.”
“Kenapa lagi?”
“Kau mendapat peringkat pertama di angkatan kita, jadi
ini sedikit perayaan. Selamat atas meraih ranking pertama. ”
Mahiru mengedipkan matanya begitu mendengar kalau kue
tersebut untuknya.
Mungkin itu benar-benar tak terduga baginya.
“Ak-Aku sering menjadi yang pertama. Itu bukan
sesuatu yang layak untuk dirayakan. ”
“Tapi yah, kau sudah bekerja keras, jadi mendapat hadiah
sesekali tidak terlalu buruk juga. Apa kau tidak suka kue stroberi?”
“Eh? A-Aku tidak bisa mengatakan kalau aku tidak
menyukainya ...”
“Hm, itu bagus. Kita akan memakannya setelah makan
malam.”
Walau Ia menyadari kalau Mahiru sedikit terkejut, Amane
memotong pembicaraan.
Mahiru akan merasa bermasalah jika Amane terlalu
perhatian padanya, jadi Ia harus sedikit lebih berhati-hati.
Bagi Amane, Mahiru adalah orang yang mengabdikan diri sepenuhnya
kepada orang lain, tapi sangat ketat untuk dirinya sendiri. Dia adalah
tipe yang tidak santai kecuali terjadi sesuatu yang drastis.
Dia akan menundukkan kepalanya dan melakukan apa yang
harus dia lakukan, bekerja keras tanpa istirahat selama tidak ada yang memuji
dan memanjakannya. Amane merasa bahwa dia tidak tahu bagaimana rasanya
menjadi rusa. Meski mereka tidak menghabiskan banyak waktu bersama, Ia
agak memahami kepribadian Mahiru, dan berharap untuk membalas beberapa upaya
yang dia hindari selama ini.
Amane melihat bahwa Mahiru masih berkutat di dapur,
membuat senyum masam, dan menghela nafas ketika menatapnya sampai dia bergerak
lagi.
Setelah makan malam, Amane melihatnya memotong kue dengan
gugup, dan tertawa terbahak-bahak.
“Ke-Kenapa kamu tertawa?”
“Tidak, bukan apa-apa.”
“Rasanya bukan tidak ada apa-apa.”
“Jangan khawatirkan itu.”
Amane hanya kaget melihat Mahiru bertindak sangat tegang,
dan itu saja.
Tapi jika Ia terlalu banyak tertawa, Ia akan merusak
suasana hatinya, dan tujuannya untuk menghadiahinya akan sia-sia, jadi Amane
berhenti setelah beberapa saat.
Mahiru membawa kopi bersama dengan kue, dan meletakkannya
di atas meja, sebelum duduk di sofa.
Semua tindakan ini membuatnya tampak sangat tidak wajar,
dan Amane merasa ingin tertawa. Namun, orang itu sendiri tepat di
sebelahnya, dan Ia berhasil menanggungnya.
Mahiru menatap Amane dengan cemas.
“Nn, selamat.”
“…Terima kasih banyak. Tapi…”
“Terima sajalah. Kau memang sudah bekerja keras. ”
“Ya itu benar.”
“Ayo, di makan. Sesekali kamu harus santai. ”
Lagipula
aku membelinya untukmu, ujar Amane . Mahiru
tampak sedikit sungkan saat dia mengangguk, mengambil garpu dan piring dengan
kue.
“Aku benar-benar berterima kasih.”
“Silahkan makan.”
Amane melambaikan tangannya, dan Mahiru mengambil garpu,
memotong kue ukuran gigitan dengan hati-hati, dan membawanya ke mulutnya.
Gadis-gadis biasanya memiliki kesan pilih-pilih dengan
kue, tapi seharusnya itu baik-baik saja karena itu dari toko yang sering
dikunjungi Chitose.
Buktinya, begitu Mahiru memakannya, matanya sedikit
melebar, dan mulutnya sedikit rileks.
Dia hampir tidak menunjukkan perubahan dalam ekspresinya,
tapi baru-baru ini, dia mulai menunjukkan sejumlah emosi yang sama.
Mahiru perlahan-lahan memakan kue itu, menunjukkan
ekspresi lembut, dan adegan makan yang satu ini menjadi semacam lukisan.
“...? Apa?”
“Tidak, bukan apa-apa.”
Mahiru menyadari tatapan Amane, dan memiringkan kepalanya
dengan bingung.
Ekspresinya lebih lembut dibandingkan dengan biasanya,
dan Amane, yang dari tadi menatapnya, malah memalingkan muka.
Sebaliknya, justru Mahiru yang menatap Amane. Dia
kemudian tiba-tiba teringat sesuatu, lalu dia menyendok kue lagi,dan mengulurkannya ke arah Amane.
Ahhm, jadi dia akhirnya mencoba menyuapi Amane.
“Eh, ti-tidak, aku tidak terlalu ingin memakannya.”
“Kamu tidak mau?”
“... Tidak, yah, itu ... karena kau memberikannya padaku,
aku akan menerimanya.”
Amane tidak pernah membayangkan adegan ini menjadi
mungkin, jadi jelas, Ia tampak malu-malu, tidak sengaja menyetujui.
Mereka sudah berada pada usia seperti itu, dan dari jenis
kelamin yang berbeda. Terlebih lagi, itu dari gadis cantik yang memberinya
makan, jadi dalam artian tertentu, ia mungkin dianggap beruntung──tapi Amane tidak
berada pada titik di mana Ia bisa membuang rasa malunya dan langsung bahagia.
“Lagipula itu adalah sesuatu yang kamu beli,
Amane-kun. Kamu memiliki hak untuk memakannya.”
Dan Mahiru, yang menyarankan ini, tidak pernah menyadari
ketika dia membawa kue itu ke mulut Amane dengan tampilan yang biasa.
Biasanya, orang akan punya bayangan tertentu apa arti
menyuapi makan untuk lawan jenis, tapi ekspresi Mahiru hanya tampak bingung.
Tidak enak Bagi Amane untuk menolak niat baiknya, jadi Ia
mengambil keputusan dan memakannya.
Apa yang terebar di dalam mulutnya adalah rasa manis yang
tidak bisa dipercaya.
“... Manis sekali.”
“Lagipula itu kue.”
Bukan hanya kue, tapi Mahiru sepertinya tidak
menyadarinya.
Amane makan sedikit, dan merasa sangat
manis. Keadaan mentalnya mungkin sangat mempengaruhi dirinya.
“... Rasanya kamu belum merasakan apa-apa.”
Ia mengalami semua rasa manis, malu, dan gembira di dalam
hatinya, tapi Mahiru sendiri tampak baik-baik saja.
Amane merasa itu sangat menjengkelkan, "Biar aku
pinjam." jadi Ia mengambil garpu dari tangan Mahiru, melakukan gerakan
yang sama padanya ketika Ia mengulurkan kue itu ke mulut si Tenshi.
Dengan ini yang terjadi padanya, bagaimana mungkin Amane
tidak membalas.
“Nn.”
“... Erm.”
“Makanlah.”
Mahiru tampak lebih gelisah ketimbang sebelumnya, karena
nadanya agak kaku.
Tapi karena dia telah melakukan hal yang sama pada Amane,
sepertinya dia tidak punya niat untuk menolak, dan seperti burung yang diberi
makan, dia memakannya dengan patuh.
Mogu,
mogu, dia mulai mengunyah.
Amane menatapnya, dan melihat ekspresi Mahiru berubah
sedikit.
Awalnya, dia masih tampak bingung, tetapi dengan setiap
gigitan, wajahnya menjadi semakin memerah.
Dan ketika dia menelan kue itu, rasa malunya terlihat
jelas.
Wajah mulusnya yang putih seperti susu berwarna merah
seperti apel. Matanya agak lembab, mungkin karena malu ketika mereka
tampak berkaca-kaca.
“Jadi bagaimana menurutmu?”
“Ra-Rasanya enak ...”
“Tidak. Aku bertanya bagaimana perasaanmu tentang
disuapi makan?”
Amane bertanya, mengetahui bahwa dia bisa membayangkan
apa yang dirasakannya. Mahiru menurunkan pandangan matanya, tubuhnya
sedikit gemetar.
“... Bisa dibilang kalau aku merasa sangat malu.”
“Sudah jelas, ‘kan? Kau akan menyebabkan
kesalahpahaman jika kau melakukan ini kepada orang lain. Lakukan di antara
gadis jika perlu. ”
Sekarang kau mengerti bagaimana perasaanku, ucap Amane sambil melihat ke samping,
"Ya." tapi Mahiru menjawab dengan suara memudar.
Dia mungkin melakukannya mungkin karena dia memperlakukan
Amane sebagai orang yang aman.
Tindakan bawah sadarnya membuat Amane benar-benar
khawatir, tapi itu bukan perasaan buruk, jadi tidak ada yang bisa disalahkan
padanya.
Tapi rasa manisnya masih tertinggal di mulutnya.
(Aku akan berada dalam masalah juga jika dia terlalu
ceroboh.)
Amane senang dipercaya oleh Mahiru, tapi tindakan ceroboh
yang tanpa disadarinya benar-benar mencengangkan.
Itulah yang Amane simpulkan ketika Ia melihat ke arah Mahiru yang menciut, mendesah dengan lembut.
mendesah ??
BalasHapusi hate my mind
Pikiran anda khothor
HapusTolong suapi aku saja, dasar Amane sialan ahhhh😂
BalasHapusGua respect banget sih ama mc nya, bener2 pure dan menghargai si mahiru
BalasHapusah gila diabetes lagi
BalasHapusBaru tau kalau bunyi mengunyah kue mogu mogu
BalasHapus