Otonari no Tenshi-sama Vol.1 Chapter 10 Bahasa Indonesia

Chapter 10 - Serangan Ibu


Ini mungkin kesalahan saat Amane berencana untuk menerima buah dari ibunya.

“A – mane~.” Begitu Ia mendengar bel pintu dan suara nyaring serta bernada tinggi, Amane langsung menyadari situasinya, dan memegangi kepalanya.

Ia bersyukur bahwa Mahiru mampir ke apartemennya untuk memasak makan siang pada hari Sabtu, dan berpikir kalau itu adalah berkah dari surga.

Faktanya, carbonara buatannya benar-benar enak. Saus kental dan lada hitam sangat berpadu, dan itu benar-benar lezat.

Sebenarnya itu bukan salah Mahiru. Ya, dia benar-benar tidak bersalah.

Kesalahannya adalah bahwa Amane disuruh tinggal di rumah, dan tidak menyadari mengapa──bersama dengan wanita berhubungan darah ini yang suka membuat kejutan dan hal-hal luar biasa.

“... Erm, Fujimiya-san? Ini bukan pengiriman ...”

“Tidak. Ibu punya kuncinya dan melewati gerbang ...”

Kalau dipikir-pikir lagi, Amane lah yang salah karena menganggap ibunya datang cuma melihat keadaaannya saja.

Tidak mungkin ibunya tidak akan melakukan sesuatu.

“... Eh, ibu ??”

“Kemungkinan besar, ibu ingin melihat apa keadaanku baik-baik saja akhir-akhir ini ... dia tidak memberitahuku lebih dulu karena aku akan mencoba kabur darinya.”

“Ahh…”

“Aku merasa jengkel dengan bagaimana kau terlihat seperti kau setuju, tapi ini tidak penting.”

Masalahnya ialah, bagaimana Ia berurusan dengan Mahiru yang ada di sini.

Jika ibunya masih ada di gerbang, Amane bisa meminta Mahiru untuk pulang. Namun, karena dia sudah ada di pintu depan, Amane tidak bisa melakukannya. Tapi jika Amane membawa ibunya masuk, dia pasti akan bertemu Mahiru, dan akan ada kesalahpahaman. Mahiru juga tidak mau menginginkan hal yang sama.

Apa yang harus aku lakukan? Sementara Amane kegalapan akan situasi yang menimpanya, jarak waktu antara bel pintu berdering semakin pendek.

(──Ahh ya ampun.)

“…… Maaf Shiina, masuklah ke kamarku dulu. Kumohon.”

“Eh, ba-baiklah?”

“Pegang ini. Aku akan berusaha membuat ibuku di luar, dan kemudian kau bisa pulang. Maaf tentang ini, tapi tolong mengertilah.”

Amane benar-benar tidak punya pilihan lain selain menyembunyikan keberadaan Mahiru.

Adapun makan siang yang dibuat, mereka sudah membersihkan tempat itu, jadi itu baik-baik saja.

Sepatu bisa disembunyikan di dalam rak sepatu, dan Amane akan membawa selimut Mahiru dan barang-barang pribadi lainnya ke dalam ruangan.

Ketika Mahiru berada di kamar tidur Amane, Ia akan menawarkan makanan begitu ibunya selesai memeriksa, dan dia mungkin akan setuju untuk itu. Namun Amane akan menolaknya jika ibunya menuntut untuk memeriksa kamar.

Amane akan meminta untuk dibuatkan hidangan dengan menggunakan bahan-bahan yang bukan dari lemari es, dan mereka akan pergi berbelanja bersama. Itu akan menjadi saat dimana Mahiru akan melarikan diri, atau begitulah rencana Amane.

Aku tidak punya pilihan lain, jadi Ia memberitahu Mahiru, menyerahkan kunci cadangan dan memohon padanya. Sementara Mahiru membalas , “Y-ya.” Dia mengangguk dengan wajah tampak bermasalah.

Mereka tidak menggunakan ruang penyimpanan, tapi di musim ini, rasanya akan sangat dingin bila tidak ada pemanas.

Ada pemanas dan bantal empuk di kamar Amane, jadi Mahiru tidak perlu duduk di lantai yang dingin.

“... Kalau begitu aku akan menyerahkannya padamu. Aku akan berurusan dengan ibuku dulu...”

Amane sudah merasa lelah bahkan sebelum bertemu ibunya. Begitu Ia pergi ke pintu depan, Mahiru diam-diam menyelinap ke kamar tidur Amane.

Begitu Ia yakin Mahiru sudah masuk, Amane membuka pintu dengan enggan.

“Ya ampun - Amane, lama sekali sih. Aku pikir kamu sedang tidur, tapi kamu terlihat sangat bersemangat.”

Yang muncul di hadapannya adalah ibunya, yang belum pernah dilihatnya sejak liburan musim panas.

Dia adalah ibunya, tetapi penampilannya tidak sesuai dengan usianya, dan dia masih mengenakan penampilan ceria seperti biasa di rumah. Seseorang akan mengatakan bahwa itu bukan hanya penampilannya yang menentang usianya, tapi juga tingkah lakunya.

“Ya ya aku baik-baik saja, jadi bisakah ibu kembali sekarang?”

“Begitukah caramu memperlakukan ibumu? Aku menghabiskan waktu berjam-jam untuk datang ke sini, tahu? Bagaimana dengan sedikit hadiah buat ibumu ini? ”

“Terima kasih banyak sudah melakukan perjalanan panjang ke sini, tolong kembalilah.”

“Masih mengatakan hal seperti itu? Kamu benar-benar tidak lucu, tidak seperti Shuuto-san ”

“Aku cowok, mengapa aku harus lucu?”

Ack, Amane merasa ingin muntah, tapi ibunya——Shihoko tidak merusak suasana hatinya, "Masih dalam usia pubertas." karena dia hanya terkikik dan menerimanya.

“Boleh aku masuk?”

“Tunggu, aku belum mengatakan apa-apa.”

“Sewa apartemen ini dibayar oleh Shuuto-san dan aku, tahu?”

Begitu ibunya mengatakan itu, Amane tidak punya alasan untuk menolak, dan Ia hanya bisa membuka pintu dengan cemberut, mengundang Shihoko masuk.

Tentu saja, Amane berjalan di sepanjang dinding tempat kamar tidurnya, menghentikan Ibunya dari memasuki saat Ia membawanya ke ruang tamu.

“Katakan ibu, teleponlah sebelum kau mampir. Aku ‘kan sudah dewasa.”

“Ya ampun, jika aku tidak mampir untuk pemeriksaan mendadak, aku tidak bisa tahu jika putraku baik-baik saja atau tidak, tahu?”

“Gr ... kau tahu, di sini aman-aman saja. Semuanya beres dan rapi.”

“Tentu saja. Itu mengejutkanku. Kamu tidak pernah melakukan ini di rumah, Amane, tetapi kamu sendiri cukup mampu. Aku tidak pernah menyangkanya.”

Shihoko mengamati ruang tamu, mengangguk seolah-olah dia terkagum.

Tentu saja, Amane bekerja sama dengan Mahiru untuk membersihkan apartemennya, dan berhasil mempertahankannya seperti ini karena saran dan pengingat Mahiru. Itu semua berkat kontribusinya, tapi Amane tidak bisa menyebutkannya kepada Shihoko pada saat ini.

“Kulitmu terlihat bagus. Sepertinya kamu sudah mengonsumsi nutrisi yang tepat. ”

“…Ya.”

Amane mengalihkan pandangannya, karena itu juga berkat Mahiru.

“Sepertinya kamu bisa memasak ... huh, porsi dua orang?”

Ibunya mengarahkan jarinya yang terawat ke sendok garpu.

Dua orang makan siang, jadi ada dua piring. Amane ceroboh karena tidak menyadarinya, tapi Shihoko tampaknya tak masalah dengan itu.

“Ada teman mampir untuk bermain.”

Ia tidak bohong.

Amane tidak yakin, tetapi mereka sudah pada tingkat teman, jadi kata-katanya tidak salah, sepertinya. Ia tidak pernah mengatakan jenis kelamin temannya.

Ia mencoba yang terbaik untuk tidak terlihat gugup menjawab. “Hmm.” Shihoko menjawab, tampaknya tidak percaya ketika dia melihat ke ruang tamu.

Entah bagaimana, Amane berhasil mengelabuinya, tetapi Ia meneteskan keringat dingin.

“Yah, lumayan ... rasanya bukan seperti anak cowok yang hidup sendirian.”

Shihoko melihat sekeliling, mengajukan beberapa pertanyaan, mendapat beberapa jawaban, dan menduga demikian.

Dalam arti tertentu, itu yang diharapkan. Karena itu semua berkat Mahiru yang sudah banyak melakukan tugas beres-beres di apartemen Amane.

“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan sekarang ‘kan, Bu?”

“Iya. Itu benar-benar mengejutkanku. Padahal kamu tidak dapat melakukan apa pun saat di rumah. Sepertinya kamu sudah tumbuh dewasa. ”

“... Yah tentu saja.”

Dari mulut siapa kata-kata itu berasal, Amane diam-diam mencela dirinya sendiri saat Ia menjawab. "Kamu sudah bekerja keras ya."  Shihoko memujinya dengan wajah berseri-seri.

Amane tidak menghargai pujian itu, karena bukan Ia yang melakukannya.

Tapi Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya, dan hanya bisa bertahan dan memohon padanya untuk pulang.

Paling tidak, Ibunya sudah selesai memeriksa keadaannya.

Mungkin dia akan kembali tanpa aku memintanya untuk memasak buatku──tapi ketika Amane memikirkan hal ini.

“Dan sekarang aku akan memeriksa kamar tidurmu.”

Bom terakhir pun mendarat, dan Amane melebarkan matanya.

Memeriksa kamarnya. Dengan kata lain, ... kamar tidurnya.

Tentu saja, Mahiru ada di dalam. Jika dia ditemukan, Amane bisa mudah membayangkan bagaimana situasinya akan berakhir jauh lebih buruk ketimbang rencana awal mereka untuk bertemu.

“Hei, apa. Kau tidak bisa masuk meski kau ibuku. ”

“Oh, ada sesuatu yang tidak sedap dipandang di sana?”

“Seorang anak SMA yang normal akan memiliki satu atau dua hal yang tidak sedap dipandang di sana.”

“Kamu mengakui itu, ya.”

“Ya aku mengakuinya, jadi jangan masuk.”

Di sinilah Amane harus menghentikan Ibunya dengan segala cara. Bahkan jika harga dirinya hancur, Ia harus menyembunyikan keberadaan Mahiru sampai akhir.

Pada titik ini, jika Mahiru terlihat di kamar Amane, Shihoko pasti akan memiliki delusi yang bahagia, dan itu adalah sesuatu yang ingin Ia hindari bagaimanapun caranya.

Amane dengan keras kepala menolak untuk membiarkan Shihoko masuk, pada dasarnya berteriak tidak ketika Ia berdiri di depan pintu. Shihoko dengan cepat menyimpulkan bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di dalam kamar anaknya. “Kamu menyembunyikan sesuatu dari ibu ya~." dia berseri-seri saat dia menjulang.

Aku benar-benar minta maaf, tapi aku harus menghentikanmu walau dengan cara paksa, begitulah sikapnya saat berhadapan Ibunya.

Tapi ada bunyi gedebuk dari dalam kamarnya.

“Amane.”

“Iya?”

“Apa yang kamu sembunyikan di dalam?”

“... Tidak ada hubungannya denganmu, bu.”

“Hoo. Begitu rupanya.”

Senyum Shihoko semakin lebar.

Itu memiliki tekanan yang tak tertahankan, dan setiap kali Ia melihat senyum ini, Amane mendapati dirinya merasa tidak nyaman, keinginannya untuk menolak semakin ciut.

Itu adalah kekuatan kebiasaan, sesuatu yang tidak bisa Ia ubah.

Gu, sementara Amane mengerang, Shihoko mengambil kesempatan untuk meletakkan tangannya di pintu.

Uh oh. Sudah terlambat untuk menyesal.

Shihoko melewati Amane untuk memeriksa suara, dan membuka pintu.

Dan di balik pintu── ada seorang gadis cantik bersandar di tempat tidur, menangkupkan bantal di lututnya.

Matanya terpejam, napasnya stabil ... pada dasarnya, Mahiru sedang tertidur.

Tidur siang adalah contoh umum.

Dia berada di ruangan yang hangat dengan pemanas, dan baru saja makan siang. Kedua kondisi ini sangat penting baginya untuk tertidur.

Apa dia biasanya tidur di kamar anak cowok?  Untuk sesaat, Amane memiliki pemikiran seperti itu, tetapi karena Mahiru menganggapnya tidak bersalah, Mahiru mungkin tidak sengaja tertidur.

Dia tidak bisa disalahkan untuk ini. Rasa bosan menunggu tanpa membuat suara, dan beberapa hal terjadi begitu saja.

Alasan mengapa kepalanya ditangkupkan adalah karena ibunya Shihoko menerobos masuk ke kamarnya saat ini, dan menyaksikannya di keadaan ini.

Sungguh, ada kesalahpahaman.

Jika Ia melihat dari perspektif orang lain, Amane juga akan salah paham, berpikir bahwa mereka punya hubungan baik, sampai-sampai si gadis bisa cukup ceroboh untuk tidur di kamar cowok.

Wajahnya berkedut saat dia melirik ibunya, dan mendapati tatapan ibunya terlihat berbinar-binar saat menatap Mahiru. "Aduh, aduh." jadi hatinya mulai berdetak kencang, atau mungkin Amane hanya membayangkan hal itu.

“Aduh, Amane, kamu punya pacar yang imut! Kamu benar-benar tidak bisa diremehkan! ”

Kyaa, dia menjerit dengan suara yang tidak sesuai usianya, dan kepala Amane mulai terasa pening.

Ibunya benar-benar salah paham, dan sangat bersemangat.

Biasanya, mana ada orang tua yang begitu bersemangat melihat putranya membawa pacarnya ke dalam kamar.

Tapi dia sangat bersemangat, pasti karena dia menyukai hal-hal lucu.

Yah, memang benar kalau Mahiru mempunyai penampilan gadis yang sangat cantik.

Dia benar-benar tak berdaya ketika tidur, tampang dingin yang biasa luruh, dan yang paling penting, ekspresi dan tindakannya jelas terlihat.

Wajah yang putih mulus itu dalam keadaan santai dan damai.

Amane sudah terbiasa dengan itu, tapi setiap kali dia melihat Mahiru, dia menemukan wajahnya yang cantik nan indah tersebut sangat menggemaskan. Wajah tertidur yang polos itu begitu tak berdaya, begitu menggemaskan sehingga Ia memiliki keinginan untuk mengelusnya.

Cara dia memeluk bantal Amane sangat membangkitkan hasrat yang tidak ingin dibicarakan Amane.

Buat Shihoko, gadis yang begitu cantik sehingga Amane yang sudah akrab harus mengakuinya, tampaknya adalah pacar putranya (untuk saat ini).

Kemungkinan inilah alasan dari kegembiraannya.

“Jadi kamu tidak ingin ibu masuk karena pacarmu ada di dalam? Ya ampun, kamu sudah menjadi lelaki dewasa tanpa ibu menyadarinya! ”

“Tidak! Benar-benar tidak! Dia bukan pacarku, kami tidak punya hubungan apa-apa! ”

“Ahh, kamu tidak perlu mencari-cari alasan segala, oke? Ibu tidak keberatan dengan siapa yang kamu pilih, Amane.”

“Eh tidak, bukan itu masalahnya di sini! Kami tidak pacaran! Tidak sama sekali!!”

“Kamu bilang tidak, tapi dia ada di kamarmu, tahu?”

“Itu karena Ibu tiba-tiba muncul! Bahkan jika dia ada di ruang tamu, kamu akan salah paham!”

“Yah, masalah utamanya adalah jika kamu tidak pernah berniat, kamu takkan mengundang seorang gadis ke apartemenmu. Jika gadis itu tidak menyukaimu, dia takkan berada di dalam sini, ‘kan? ”

Setelah ditunjukkan, Ia mencoba memikirkan alasan, tapi tidak bisa memikirkan apa pun.

Seperti yang Shihoko katakan, Amane biasanya memperlakukan apartemennya sebagai wilayahnya sendiri, dan tidak mau mengundang orang lain masuk.

Awalnya, Ia membiarkan Mahiru masuk karena berbagai kejadian, tapi sejak saat itu, mengesampingkan memasak, Amane membiarkan Mahiru masuk ke apartemennya karena Ia tertarik pada kepribadiannya.

(Baiklah, aku mengakui kalau aku menyukainya.)

Bahkan tanpa membicarakan penampilannya, Amane benar-benar menyukai gadis yang bernama Mahiru.

Dia memiliki kepribadian kontradiktif yang biasanya tidak dia tunjukkan di sekolah, kejam, terus terang, dan tidak jujur; dia tampak menyendiri, namun dia suka merawat orang lain; dia tidak pernah sungkan; setiap kali hal yang tak terduga ditunjukkan, dia akan panik dan menunjukkan tampilan yang sesuai dengan usianya; Kadang-kadang, dia akan menunjukkan senyum polos. Pada titik ini, Amane merasa ini semua pesona Mahiru

Perasaan tersebut tidak bisa digambarkan sebagai cinta, tapi paling tidak, Amane menemukan kalau Mahiru adalah gadis yang sangat menarik.

“Aku suka dia sebagai teman, tapi jangan menganggapnya sebagai cinta untuk lawan jenis. Lagian, dia tidak tertarik padaku. ”

Mereka tidak begitu dekat dengannya untuk setuju dengan Shihoko. Sejujurnya, Mahiru mungkin tidak senang disalahpahami, bahwa dia punya perasaan untuk Amane.

“Ya ampun, kamu tidak bisa mengatakan itu? Kamu tidak menjadi sedikit songong hanya karena kamu pikir memahami perasaan kompleks seorang gadis, kan? ”

“Sudah berapa kali, Bu, harus kukatakan padamu kita tidak punya hubungan seperti itu ... Shiina, tolong, bangun ...”

Bahkan setelah mengatakan semua yang Ia bisa, Shihoko terus berbicara tentang cinta, dan Amane hanya bisa menepak keningnya.

Amane benar-benar berharap kalau Mahiru bisa bangun lebih awal.

“Nn ...”

Permohonannya mungkin terkabul, atau mungkin Mahiru bangun karena mendengar keributan.

Mahiru perlahan mengangkat kelopak matanya, membuat suara manis saat dia mengangkat wajahnya.

Rambutnya yang berwarna rami tergerai dari bahunya.

Mata karamelnya tampak buram dan lembab, ketidakberdayaan seperti itu membuat Amane tidak bisa menatapnya.

Dia menatap Amane dengan mata mengantuk, mungkin sadar kalau dia tidak sepenuhnya bangun, dan Amane sedikit mengalihkan pandangannya.

“Shiina, lupakan bagaimana kamu tertidur, tolong bantu aku meluruskan kesalahpahaman ini.”

“Salah paham…?”

“Hei, hei, Kanojo-san, siapa namamu?” (TN : Kanojo = Pacar)

Mahiru yang lembut merefleksikan arti dari kata-kata itu, dan Shihoko mendekatinya tanpa menahan diri, menyeringai seperti orang sok dekat.

Mahiru sendiri bingung setelah bangun tidur, dan dihadapkan dengan senyum dan keramahan yang tak tersaring, matanya tampak bingung.

“Eh, e-erm.”

“Senang bertemu denganmu. Itu penting untuk saling memperkenalkan diri, tahu! ”

“Eh, Ma-Mahiru Shiina ...”

“Ya ampun, Mahiru-chan, nama yang menggemaskan! Aku Shihoko, kamu bisa memanggilku dengan namaku.”

Mahiru dipaksa untuk memberikan namanya, dan dia memandang ke arah Amane, dan mengkode “Selamatkan aku, Fujimiya-san”. Amane sendiri berharap bahwa ada orang lain akan menyelamatkannya, dan karena Ia tidak bisa membantu, Amane hanya menggelengkan kepalanya untuk menolak.

Ia sangat mengenal ibunya dengan sangat baik, bahwa begitu dia kehilangan kendali, tidak ada yang bisa menghentikannya.

Melihat betapa menariknya minat, tampaknya dia ingin melakukan percakapan dengan Mahiru untuk pertama kalinya.

Walau dia mungkin tidak menyadari kalau Mahirunya sendiri terlihat bermasalah.

“E-erm, ibu.”

“Oh! Jadi kamu mengakuiku sebagai ibu? ”

“Fujimiya-san!”

“Nama Fujimiya mungkin merujuk pada Amane dan aku. Hei, Amane.”

“Bu, kau bikin repot Shiina.”

“Amane, kamu tidak bisa memanggil pacarmu dengan nama lain selain namanya, tahu?”

Amane mengerutkan kening, karena Shihoko benar-benar tidak mendengarkannya, tapi Shihoko tidak terlihat keberatan ketika dia terus tersenyum. Dia orang yang berani, atau setidaknya tak punya urat malu.

“E-erm, Shihoko-san.”

“Apa~?”

“Sebenarnya, Fujimiya dan A-Aku,”

“Yang mana yang kamu maksudkan ~?”

“... A-Aku tidak punya hubungan seperti itu dengan A-Amane-kun.”

Mahiru jelas-jelas tersipu oleh kata-kata Shihoko yang mengejek, tapi dia melakukan yang terbaik untuk menyangkalnya

Dengan dorongan Shihoko, Mahiru mengucapkan nama Amane setelah banyak keraguan, meliriknya beberapa kali. Shihoko sendiri malah berseri-seri sekarang karena dia berhasil membuat Mahiru memanggil nama Amane.

“Oh, apakah ini akan menjadi hubungan seperti itu di masa depan nanti?”

“Eh, e-erm, bukan itu.”

“Oh astaga, apa aku cuma jadi pengganggu di sini?”

“E-erm, tolong izinkan aku menjelaskannya! Aku tidak punya hubungan semacam ini dengan Amane, kun. Kita berdua cuma makan bersama. Karena Amane-kun sama sekali tidak bisa memasak. ”

“Kamu adalah pengantin yang baik, Mahiru-chan. Amane kami ini harus hidup sendiri tanpa tahu bagaimana melakukan pekerjaan rumah. Jika demikian, tolong terus mendukungnya.”

“Ah, itu.”

Amane merasa Mahiru sudah melakukan yang terbaik.

Tapi itu mustahil untuk melawan momentum Shihoko dan menjelaskan keadaannya.

Mata Shihoko berkilauan lebih dari sebelumnya begitu dia tahu kalau Mahiru sering mampir ke apartemennya, memasak untuknya, dan makan bersama dengannya.

Pada titik ini, Amane tidak bisa menghentikan Shihoko. Satu-satunya yang bisa hanyalah ayahnya, Shuuto.

“... Menyerahlah, Shiina. Ibuku tidak akan mendengarkan saat dia bersemangat begini.”

“Itu…”

Amane berada pada titik pencerahan, dan hanya bisa menyerah dan menjelaskan, sedikit menatap ibunya yang berada di luar kendali.

“Ngomong-ngomong, ibu terkejut melihat kamu punya pacar yang cantik, Amane.”

Amane terlalu lelah untuk menyangkalnya, dan dia tetap diam bersama Mahiru, yang tidak tahu harus berbuat apa.

Shihoko menganggap diam sebagai persetujuan ... atau lebih tepatnya, tidak peduli apa yang mereka katakan, dia akan berpikir mereka menyembunyikan kecanggungan mereka. Dengan mata penasaran, dia menatap Mahiru dengan seksama.

“Bagaimana, Mahiru-chan? Apa Amane baik-baik saja belakangan ini?”

“Eh ... yah sebenarnya ... Aku tidak berpikir Ia akan mati ...”

“Langsung mengatakan sesuatu yang bagus, ya.”

“Tapi ketika aku pertama kali datang ke apartemen ini, tempat ini sangat kosong dan berantakan.”

“Jangan terlalu keras sekarang. Lihat, sekarang sudah bersih, kan? ”

“Tapi, itu karena aku membantu membersihkannya.”

“Ya, ya, harus berterima kasih atas segalanya, dari makanan sampai bersih-bersih segala.”

Amane benar-benar tidak bisa mengangkat kepalanya ke Mahiru saat sampai pada ini.

Itu karena berkat kehadirannya sehingga Amane bisa menjalani kehidupan yang nyaman sampai saat ini, dan Ia akan bersujud dan mengucapkan terima kasih tanpa ragu-ragu, tetapi Ia tidak melakukannya karena Mahiru tidak menginginkan itu. Namun, Amane memang berniat bekerja keras setiap hari untuk membalas kebaikan Mahiru.

Tapi itu hanya karena Shihoko menganggap kata-kata ini ke arah yang tidak terlalu baik.

“Yah, Amane, kamu membiarkan Mahiru-chan membantumu terus, dan bukan hanya sekali ini saja, ‘kan? Kamu benar-benar anak yang menyusahkan ... kedengarannya seperti kalian berdua tinggal bersama. ”

“Bukan itu !! Bagaimana Ibu bisa mengambil kesimpulam seperti itu !? Dia hanya tinggal di sebelah! ”

“Ya ampun, ini adalah pertemuan yang ditakdirkan! Sangat menyenangkan bukan, Amane, kamu memiliki gadis cantik dan cakap yang merawatmu. ”

“Aku tidak bisa menyangkal bahwa dia itu cantik dan cakap, aku harus berdebat tentang masalah pertemuan yang ditakdirkan.”

“Kedengarannya romantis, bukan?”

“Bukan itu maksudku! Aku sudah bilang kalau kami tidak pacaran!”

“Sudah, sudah, tidak perlu malu-malu begitu.”

Shihoko pasti berpikir Amane berusaha menyembunyikan rasa malunya, sementara pipi Amane berkedut karena menahan rasa jengkel.

Dia selalu menganggap acara sebagai makanan untuk khayalannya yang menakjubkan, dan putra yang telah disiksa oleh seorang ibu yang tak terhitung jumlahnya mengeluarkan desahan terberat dalam beberapa bulan.

Dan Mahiru, yang kewalahan oleh tekanan yang mencengangkan ini, memandang bolak-balik antara Amane dan Shihoko, jelas-jelas kebingungan mengenai apa yang harus dilakukan.

“Mahiru-chan, Mahiru-chan, aku mungkin orang tua yang bias pada putranya; Amane kami punya mulut yang kotor dan tidak jujur, tapi Ia benar-benar berterus terang dan sopan, sehingga kamu bisa menganggapnya kalau kamu membeli barang yang bagus. Dia tidak punya pengalaman dengan lawan jenis, jadi kamu harus hati-hati mengendalikannya, Mahiru-chan. ”

“Apa yang kamu katakan sekarang Bu, tutup mulutmu.”

Bagian terakhir jelas-jelas tidak perlu.

“Tapi aku mengatakan yang sebenarnya di sini. Sebenarnya, kenapa kamu tidak mencari pacar sejak awal. Untungnya kamu terlihat mirip dengan Shuuto-san; mungkin itu karena kamu terlihat kasar?”

“Berhentilah jadi orang yang suka ikut campur.”

“Mungkin kamu harus menunjukkan sisi kerenmu pada Mahiru-chan?”

“Aku tidak akan menunjukkannya, dan dia tidak ingin melihatnya.”

“Baiklah, kita lanjut lagi. Ahh, Mahiru-chan, apa aku harus mendandaninya dengan cara yang kamu suka? Amane cukup tampan jika Ia berias sedikit, tahu?”

Mahiru melihat Shihoko menyeringai ketika dia mendorong Amane, dan tersenyum bermasalah.

Dalam artian tertentu, Shihoko benar-benar menakutkan sampai bisa mengintimidasi Tenshi yang biasanya selalu tenang sejauh ini.

“Bu, kau benar-benar merepotkan Shiina. Cepat berkemas dan kembali pulang. ”

“Kamu sudah dewasa sekarang, ya? Mau cepat-cepat aku kembali.”

“Serius, aku mohon padamu. Lihat, Shiina terlihat bermasalah.”

“Benarkah? Mahiru-chan?”

“Jangan tanya dia sekarang. Dia pasti cuma bersikap sopan. Kembalilah sekarang, kita bisa membahas ini nanti.”

“Yah, karena kamu sudah banyak bicara, oke. Memang benar aku mengganggu waktumu dengan pacarmu ... kau benar-benar tidak ingin aku mengganggu waktumu bersama, ya? ”

“Apapun yang kamu pikirkan tentang itu. Sudah kembalilah sana. ​“

Amane terlalu lelah untuk menyangkalnya, dan Mahiru juga pasti lelah karena sikap kegirangan Shihoko.

Ia melihat ke arah Mahiru, dan melihatnya sedikit lelah.

Amane memutuskan untuk menghiburnya ketika Ia melambaikan tangannya, mengantar Shihoko keluar dari pintu. Ibunya terakhir terlihat agak tidak senang, tetapi dia tidak mengatakan dia akan tinggal, mungkin karena khawatir, meskipun dalam arah yang jelas berbeda.

“Ah, Mahiru-chan, ayo tukeran nomor. Katakan padaku bagaimana kabar Amane kita nanti. ”

“E-Eh, i-ya ...?”

Akhirnya, Shihoko menjalin hubungan yang membuat Amane memohon belas kasihan, dan Ia meletakkan tangannya di dahinya.

Mahiru dengan patuh bertukar nomor melalui telepon, mengikuti arus.

Tidak diragukan lagi kalau Shihoko akan mulai ikut campur dengan Mahiru.

“Kami akan menyerahkan Amane kami padamu sekarang.” Ujar Shihoko memegang tangan Mahiru dengan seringai kucing, dan Amane memutuskan untuk mengirim pesan kepada ayahnya, "Tolong hukum ibu sedikit."

 

zzzz

 

“Aku lelah…”

“Maaf, atas kekacauan tadi.”

Shihoko tidak berkunjung lama, tetapi mereka berdua sudah lelah secara mental dan sedang duduk berdampingan di sofa.

Amane menyandarkan diri ke sofa, menutupi wajahnya sambil menghela nafas panjang. Mahiru sedikit lebih berhati-hati, tapi punggungnya yang biasanya lurus juga lebih melengkung dari biasanya.

Dia, yang biasanya paling tenang dari semua orang, benar-benar lelah oleh Shihoko. Amane tidak tahu apakah harus takut pada Shihoko, atau meminta maaf kepada Mahiru sebagai putranya.

“Aku benar-benar minta maaf karena mengirimnya tanpa menyelesaikan kesalahpahaman.”

“Tidak, yah, tidak banyak yang kalah ...”

“Tidak juga, ada kerusakan ... sepertinya dia benar-benar tertarik padamu, Shiina ... dia akan mengganggumu dengan banyak hal mulai sekarang ...”

Ia menyebabkan masalah lagi buat Mahiru, dan benar-benar meminta maaf padanya.

Shihoko melihat pacar putranya (meskipun itu kesalahpahaman), dan dia benar-benar menyukai hal-hal yang lucu, jadi dia benar-benar tertarik pada Mahiru, dan akan benar-benar mengurusinya, ke tingkat sampai ikut campur.

“Sepertinya Shihoko-san benar-benar peduli padamu, Fujimiya-san.”

“Itu cara yang bagus untuk menggambarkannya, tapi dia menyebalkan ...”

Bukannya dia benar-benar idiot, tetapi kasih sayang yang Ibunya tunjukkan adalah sesuatu yang tidak Amane inginkan.

Amane juga salah karena terlalu ceroboh, jadi Ia tidak bisa berkomentar banyak tentang ini, tapi bahkan Amane yang sebagai anaknya juga merasa kalau ibunya agak keterlaluan.

Ia benar-benar bersyukur atas perasaan ibunya, tetapi jujur ​​saja, Ia merepotkan dan seseorang yang ingin Ia jauhi.

“…Itu bagus.”

Mahiru bergumam, dan Amane memandangnya.

“Apa?”

“Ibumu cukup riuh, tapi dia baik.”

“Itu cuma berisik dan usil.”

“... Tapi itu juga baik-baik saja.”

Dia tidak hanya bersikap sopan melainkan juga menunjukkan ekspresi iri. Dia bergumam dengan sekilas, dan menurunkan pandangan matanya.

Bila dilihat secara jelas, wajahnya terlihat melankolis dan di ambang kehancuran saat disentuh. Siapa pun akan menyadari kalau dia agak rapuh.

Dia tidak hanya terlihat lelah, tapi juga lemas dan tak berdaya. Mahiru sepertinya merasakan tatapan Amane ketika dia tiba-tiba mengangkat kepalanya, tersenyum.

Ekspresinya berubah kembali seperti biasa, seolah-olah tidak ada yang terjadi, dan dengan gerakan yang langka, bersandar ke sofa.

“Mahiru-chan, ya?”

“... Apa-apaan mendadak bilang begitu.”

“Tidak… rasanya sudah lama sejak seseorang memanggilku dengan namaku. Mereka biasanya memanggilku Shiina. ”

Amane terkejut mengetahui bahwa tidak ada yang menyapa si Tenshi dengan namanya sendiri, tapi itu mungkin karena semua orang terlalu terintimidasi untuk memanggilnya dengan nama aslinya.

Dia adalah sosok yang sempurna di sekolah, dan tidak ada yang berani memanggilnya begitu.

Dan, ada beberapa yang memanggilnya dengan nama julukannya, walau dia sendiri membencinya.

“Jika bukan teman baikmu, berarti orang tuamu.”

“Orang tuaku tidak memanggilku begitu. Benar-benar tidak.”

Balasan sekejap yang sangat dingin.

Amane secara tidak sengaja menatap wajah Mahiru, dan mendapati itu tanpa warna.

Wajahnya tanpa emosi, seolah-olah ditanggali, bahkan tampak seperti benda yang tidak hidup. Karena wajah yang sempurna di hadapannya, Amane sempat mengira kalau dia adalah boneka.

Tapi itu hanya berlangsung sesaat, lalu sekali lagi Mahiru menyadari tatapan Amane, dia mengunci pandangan yang tenang, mengerutkan kening seolah-olah ada sesuatu yang mengganggunya.

“... Pokoknya, itu jarang terjadi.”

Dia diam-diam bergumam, dan menghela nafas.

Amane bisa mengatakan kalau Mahiru punya hubungan buruk dengan orang tuanya.

Mahiru sesekali akan menunjukkan tatapan dingin setiap kali orang tuanya diungkit. Dia tidak pernah keluar untuk makan bersama orang tuanya, membenci hari ulang tahunnya, dan dari apa yang dia katakan, orang dapat membayangkan dia memiliki masalah keluarga──tapi Amane tidak pernah membayangkan orang tuanya tidak memanggilnya dengan namanya.

Itu bagus.

Seseorang pasti mempertanyakan apa yang dia rasakan saat menggumamkan itu.

“Mahiru.”

Amane secara alami memanggil nama yang tidak pernah Ia panggil sebelumnya.

Mata berwarna karamel itu berkedip sekali.

Karena terlalu mendadak, jadi dia tampak melamun, menunjukkan ketidakdewasaan yang tersembunyi di bawah sikap dan ekspresinya yang biasa. Akan lebih tepat untuk mengatakan kalau dia terkejut.

“Tidak ada yang memanggil namamu, ‘kan?”

“... Yah, kamu benar.”

Amane menyindir dengan kaku, dan setelah beberapa saat, senyum tipis muncul.

Senyum lega membentuk riak di hatinya.

“...... Amane-kun.”

Mahiru membisikkan namanya, dan riak-riak itu tumbuh lebih lebar.

Beberapa saat yang lalu, Amane tidak terlalu memperhatikan karena Mahiru hanya menggunakannya ketika berbicara dengan ibunya ... tapi ketika dia memanggilnya demikian, Ia merasa ada rasa gatal yang berputar-putar, sesuatu dalam hatinya.

“Tolong jangan panggil aku begitu di luar.”

“…Aku tahu itu. Kau pun sebaliknya tidak boleh membiarkan mulutmu nyeletuk di luar.”

“Aku mengerti. Ini rahasia.”

Amane tidak berani menatap langsung ke arah Mahiru yang tersenyum.

“Ya.” Dan Ia hanya menjawab singkat, melihat ke samping sambil berpura-pura mengubah postur, menghindari senyum itu.

 

zzzz

 

Sejak serangan mendadak dari ibunya pada hari Sabtu, ada perubahan dalam cara Amane dan Mahiru saling berbicara, namun tidak ada hal lain yang benar-benar istimewa.

Hubungan diantaranya juga tidak berubah, tapi ketika mereka mulai saling berbicara sedikit dengan intim, sikap Mahiru agak melunak.

“... Erm, Amane-kun.”

Pada Minggu malam, Mahiru muncul sedikit lebih awal, wajahnya menunjukkan rasa canggung, atau khawatir.

Amane membiarkannya masuk, tapi Ia tidak tahu mengapa Mahiru menunjukkan sikap yang ambigu begitu.

Ia penasaran apa Mahiru punya masalah dengan dirinya yang memanggil namanya, tapi Mahiru sendiri tidak ragu-ragu memanggil namanya, jadi sepertinya ada sesuatu yang lain

Keduanya duduk di sofa. Amane memandang ke arah Mahiru, dan melihat dia mengeluarkan sapu tangan dari saku celemeknya.

Sementara Amane bertanya ada apa gerangan, Mahiru membuka saputangan yang terlipat rapi, dan mengeluarkan kunci yang terbungkus di dalamnya, memantulkan cahaya redup.

Amane punya kesan kunci ini, karena itu yang Ia berikan pada Mahiru hari sebelumnya.

“Aku mengembalikan kunci ini, karena aku tidak sempat melakukannya tadi malam. Erm, aku lupa tentang itu, jadi aku melewatkan kesempatan untuk mengembalikannya padamu ... aku benar-benar minta maaf.”

“Begitu ya.”

Tampaknya dia khawatir mengenai dirinya mengambil kunci rumah tanpa mengembalikannya.

Begitu Amane mengerti mengapa Mahiru bertingkah aneh, Ia melihat ke arah kunci di saputangan.

Bila dipikir-pikir lagi, Amane menyadari kalau Mahiru akan mampir setiap hari untuk memasak makan malam. Sementara Amane akan membukakan pintu untuknya, ada saat-saat dimana Ia akan pulang agak terlambat, dan tidak di apartemen, jadi Mahiru harus menunggu di luar sebentar.

Rasanya akan terlalu kasar untuk membuat seseorang menunggu di pintu masuk, apalagi seorang wanita.

Dikatakan bahwa musuh terbesar bagi tubuh wanita adalah kedinginan, dan menempatkan dirinya pada posisinya, Ia juga takkan merasa nyaman.

Yah, karena Mahiru akan mampir setiap hari, akan lebih mudah baginya untuk menyerahkan kuncinya.

“Yah, kurasa tidak apa-apa kalau kau menyimpannya.”

“Eh?”

“Kau bisa mengembalikannya saat kita tidak ada hubungan satu sama lain.”

Sejujurnya, jika Amane meninggalkan kunci ke Mahiru, itu berarti dia harus mengurusinya untuk sementara waktu, tapi Mahiru malah menatapnya dengan cemas, karena Amane tidak mau menerima kunci.

“Ta-Tapi.”

“Atau lebih tepatnya, rasanya terlalu merepotkan buat terus-terusan membuka pintu setiap kali kau datang.”

“Niatmu yang sebenarnya terkuak, tuh.”

“Bukannya kau akan menyalahgunakannya.”

“Meski kamu bilang begitu ...”

Setidaknya, sudah satu bulan berlalu sejak Amane mendapat makan malam dari Mahiru dan menyuruhnya memasak di tempatnya, dan berpikir kalau Ia memahami kepribadiannya dengan baik.

Dia memiliki akal sehat dan hati nurani yang baik, dan kepribadiannya tidak licik.

Meski dia memiliki kunci, dia tidak akan menyerahkannya kepada orang lain, atau menyelinap masuk sementara Amane tidak ada. Dia adalah seseorang yang bisa dipercaya.

“Yah, kau juga merasa kesulitan karena harus menekan bel pintu setiap saat, ‘kan?”

“Bahkan jika kamu mengatakannya, rasanya kamu terlalu ceroboh.”

“Aku memberimu kunci ini karena aku percaya padamu.”

Mata Mahiru melebar begitu dia mendengar kata-kata ini, terdiam, dan kemudian dia mengerutkan kening.

Keragu-raguan di wajahnya disertai dengan emosi yang tidak diketahui yang berbeda.

Tapi Amane hanya menyerahkan kunci ke Mahiru, semuanya untuk kemudahan. Jika dia benar-benar tidak mau, Amane tidak memaksanya juga.

Mahiru melihat bolak-balik antara kunci dan Amane── sebelum dia menghela nafas.

“... Biklah. Aku akan meminjamnya untuk saat ini.”

“Ya.”

“Amane-kun, aku tidak tahu apakah kamu ini murah hati atau ceroboh.”

Astaga, ucap Mahiru berkata dengan sedikit gerutu, dan Amane menanggapi dengan senyum masam.

“Itulah gayaku.”

“Ini bukan giliranmu untuk mengatakan dirimu sendiri.”

Hmph, Mahiru memalingkan muka dengan acuh, malah hanya membuat Amane tersenyum lebih cerah dari sebelumnya.

Tampaknya mereka sudah cukup akrab sampai bisa melakukan percakapan tidak berguna seperti itu.

Tapi, karena dia mengizinkannya menggunakan nama yang diberikan, akan aneh rasanya kalau mereka tidak akrab.

Aku benar-benar sudah cukup dengan orang ini, matanya menyiratkan begitu, tapi pandangannya dipenuhi dengan kehangatan, ketimbang terlihat menyendiri.

Dan Mahiru tahu kalau Amane cuma bercanda.

“Aku akan menerimanya kalau begitu. Aku tidak peduli jika terjadi sesuatu pada apartemenmu.”

“Misalnya?”

“... Misalnya seperti jika aku mampir untuk membersihkan apartemenmu.”

“Aku akan merasa berterima kasih untuk itu.”

“Bagaimana jika aku mengisi kulkasmu dengan makanan?”

“Lalu aku bisa menikmati sarapan, dan ada banyak hal untuk dimakan saat makan malam.”

Lelucon kecil Mahiru benar-benar damai, atau bahkan musik di telinganya, apa yang diinginkannya. Namun demikian, reaksi yang dibungkam itu membuatnya sedikit tidak bahagia.

Ancaman yang diucapkannya itu tidak tampak seperti ancaman, itu menekankan kebaikannya, dan benar-benar sesuatu yang bisa membuatnya tersenyum.

“Aku merasa diperlakukan sebagai orang bodoh.”

“Aku tidak melakukan itu, kok.”

Tampaknya jika Amane terus menggodanya, Mahiru akan marah. Sementara Ia benar-benar ingin melihat wajah cemberut Mahiru, Ia menyunggingkan senyumnya dan menatap Mahiru.





close

10 Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

  1. Selain "Serangan Ibu" ini berefek kepada Amane dan Mahiru. Ini juga membuat damage kepada Ku yang senang membaca / mengikuti cerita RomCom, meski ini adegan yang bisa dibilang 'klise' tapi memang adegan ini adalah selalu yang terbaik, bahkan di Watashi no Shiranai Senpai saat Kouhai-chan berkunjung ke rumah sang Senpai xD

    Ohiya tentang kesan di novel ini, sebenarnya banyak kalimat yang terasa rancu hingga bisa terasa untuk judul yang ini kental dengan MTL nya. Tapi setelah membaca yang versi English (1 chapter) ternyata memang sumber nya saja sudah terasa tidak nyaman.

    Akhir kalimat, sehat selalu ya para Admin dan Translator juga para staff Zerokaito.

    BalasHapus
  2. Kutebak,ibunya seorang milf ara ara

    BalasHapus
  3. Kepercayaan adalah hasil dari perbuatan

    BalasHapus
  4. Kalau cerita cerita romcom emang yang paling menarik pas saat saat ini kalau udah jadian entah mengapa feel-nya agak kurang

    BalasHapus
  5. gila bro kesalahpahamannya buat aing seneng banget (❁´◡`❁)

    BalasHapus
  6. Gak ada ilustrasi emaknya?

    BalasHapus
  7. Pdhl jalan ceritany slow luh tpi entah knp gw bner2 menghayati bngt anjir ini LN

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama