Chapter 13 - Natal Semua Orang
“Hei Amane, apa kita boleh mengadakan pesta Natal di
tempatmu?”
“Tidak.”
Usulan yang tiba-tiba ditolak, dan Chitose menggembungkan
pipinya dengan berlebihan.
Malam Natal akan segera tiba ... dan bagi Amane, yang
tinggal sendirian dan jauh dari keluarganya, itu bukan acara yang berkaitan
dengannya. Chitose dan Itsuki ingin menghabiskannya bersama Amane, dan
mengundangnya.
Jadi Chitose datang berlari ke kelas Amane dan Itsuki saat
jam istirahat siang dengan ide ini, tetapi menggembungkan pipinya terhadap
balasan Amane,
“Tapi kamu akan sendirian, jadi apa masalahnya ... ah,
mungkin ada pacar?”
“Tidak ada, tidak ada yang datang.”
“Kalau begitu tidak masalah ‘kan. Atau apa kamu membencinya?”
“Yah, jika kamu tidak menyukainya, kami baik-baik saja
dengan itu, Amane.”
Mereka mengusulkan begitu karena mengkhawatirkan teman
mereka.
Atau alasan lain adalah bahwa mereka menginginkan tempat
di mana mereka bisa dengan bebas mesra-mesraan.
Tapi wajah meminta maaf mereka membuatnya sedikit tidak
enakan, dan Aamane tidak membenci ide itu.
Alasan mengapa Ia tidak mau adalah karena memalukan
melihat skinship yang tidak biasa di
tempatnya sendiri, dan Ia perlu menghabiskan banyak upaya menjelaskan kepada
Mahiru.
Singkatnya, Ia harus mengatakan pada Mahiru untuk tidak
muncul di apartemennya sebelum mereka pergi, dan Amane harus menghapus semua
jejak keberadaan Mahiru di apartemennya.
“Bukannya aku tidak mau ... baiklah, baiklah, tanggal
24? Kita akan berpisah sebelum malam, jadi kalian bisa bercumbu dan
semacamnya. Hanya saja jangan berlebihan di apartemenku.”
Amane tidak bersikeras untuk menolak mereka, jadi Ia
berjanji. Wajah Chitose menyeringai.
“Kurasa kita tidak punya pilihan. Ini akan menjadi
kesepakatan.”
“Memangnya kau siapa?”
Chitose menjadi agak terlalu terbawa suasana, dan Amane
mencubit pipinya, "Owwieee Ikkkunnnn, Amane nakaaaaaallllll ~" dia
mulai memohon bantuan dengan cara yang cadel.
“Ayolah Amane, berhentilah menjahili Chii. Hanya aku
yang boleh mencubit pipinya.”
“Ya ya, cubit dia untukku.”
“Serahkan padaku!”
“Jangan serahkan itu padanya ー!”
Amane pikir ini akan menjadi kesempatan baik bagi mereka
untuk keluar, jadi Ia memberi Itsuki kesempatan untuk mencubitnya. Dan
seperti yang diharapkan, mereka akhirnya saling mencubit dan bermain-main.
Sambil dicubit, Chitose benar-benar menyeringai, dan
Amane hanya mengangkat bahu pada pemandangan ini.
“... Boleh aku kembali sekarang?”
Amane mengatakan itu, tapi mereka berada di ruang
kelasnya sendiri, dan Ia ingin menarik jaraknya dari mereka.
“Tidak bisa. Kita perlu merencanakan acara
kita. Harus menyiapkan kue dan makanan!”
“Aku tidak bisa melakukan itu.”
Tentu saja, Amane tidak bisa membuat makanan yang cocok
untuk Natal.
Mahiru mungkin bisa membuat beberapa hidangan seperti
biasa, tapi Amane tidak bisa pergi begitu saja untuk meminta bantuannya.
Amane melambaikan tangannya, bersikeras bahwa Ia tidak
bisa melakukannya, tapi untuk beberapa alasan, Chitose malah menatapnya.
“Apa?”
“Ini seperti, kamu tidak bisa memasak, tapi bagaimana
kamu begitu sehat?”
“Jangan mempermasalahkan detail kecil.”
“Yah Chii, Amane juga punya rahasianya sendiri.”
“Ehh, Ikkun juga tahu sesuatu?”
“Ia bilang akan memberitahuku nanti."
“Aku tidak mengatakan itu.”
Jangan
membuat janji seperti itu. Amane memelototi
Itsuki, tetapi yang dipelototi cuma tertawa terbahak-bahak.
Hal yang baik tentang Itsuki adalah bahwa Ia tidak suka
memaksa, yang buruknya adalah bahwa Ia dapat menemukan hal-hal yang paling aneh
secara instan.
“Ya ampun ... well, kita bisa memesan makanan untuk makan
siang, meski kita harus memesan terlebih dahulu.”
Amane mengabaikan pamdangan menyelidik ketika Ia
mengajukan saran yang realistis.
Tentu saja, tanpa mengatakan bahwa Amane tidak bisa
membuat kue, dan tidak bisa memasak, jadi Ia hanya bisa menyarankan makanan
yang sudah dimasak.
“Ah, kalau begitu aku mau pizza! Ayo kita pergi ke
tempat biasa untuk memesan kue. Harus bisa pesan lebih dulu!”
“Kita tidak makan ayam?”
“Tapi kamu lebih suka pizza, Ikkun.”
“Yah, tentu saja, kau sangat mengerti diriku, Chii.”
“Ehehe~”
Mereka mengatakan sendiri kalau mereka ingin memesan
pizza, tapi Amane sendiri tidak membenci ide itu, dan Ia juga merasa itu cocok
untuk pesta.
Kalau terus begini, kemungkinan mereka akan memesan pizza
dari toko yang Amane dan Itsuki pesan dari sana.
Tetapi begitu Ia mendengar kata pizza, tiba-tiba Ia
memikirkan Mahiru.
Melihat dia mengunyahnya seperti binatang kecil
benar-benar menggemaskan, karena Amane biasanya melihatnya makan dengan cara
yang elegan.
Ketika Ia mencoba menyuapi kue untuk Mahiru beberapa hari
yang lalu, dia merasa pipinya agak terbakar.
(Aku tidak pernah melakukan itu lagi.)
Tindakan saling suap yang tak tahu malu seperti itu tidak
mungkin dilakukan lagi. Mereka bukan pasangan mesra seperti Itsuki dan
Chitose, dan mungkin takkan punya kesempatan untuk melakukannya lagi.
“... Amane, ada apa?”
“Ah, tidak ada, bukan apa-apa. Aku akan menyerahkan
preorder kue pada kalian.”
Untuk sesaat, Amane tenggelam dalam pikirannya sendiri,
dan Chitose yang terkejut mencondongkan tubuh ke arahnya dengan cemas. Ia buru-buru
menjauhkan gagasan itu dari benaknya, dan kembali ke ekspresinya yang biasa.
“Iya! Ayo pesan pizza juga !! ”
Chitose menjerit heboh, dan mendengar itu, Amane
memutuskan untuk bertanya pada Mahiru untuk rencana Natalnya.
zzzz
“Rencana Natal? Kurasa tidak ada.”
Setelah selesai mencuci piring, dia duduk di sofa, dan
segera menjawab pertanyaan Amane.
Ia mengira Mahiru punya rencana untuk berkumpul dengan
temannya atau semacamnya, tapi sepertinya dia tidak punya rencana seperti itu.
Mungkin itu karena raut wajah Amane yang terkejut, tetapi
Mahiru balas menatapnya, tampak tercengang.
“Sebagian besar gadis yang berinteraksi denganku punya
pacar, dan aku menolak cowok yang mengajakku keluar. Aku tidak punya
rencana pada saat ini.”
“Cowok-cowok pasti pada menangis ya?”
Pertahanan Mahiru sangat kuat ketika dia berada di luar,
dan anak-anak cowok yang memiliki sedikit harapan untuk mengajaknya keluar
hanya bisa menyeka air mata mereka terhadap pertahanannya yang keras kepala.
Amane merasa kagum bahwa mereka berani mengajaknya
keluar. Jika si cowok tidak percaya diri, Ia pasti takkan berani
mengundang Tenshi yang terenal. Amane benar-benar terkesan dengan
orang-orang yang optimis karena mencoba keberuntungan mereka.
“... Apa mereka benar-benar ingin menghabiskan waktu
bersamaku?”
“Jika mereka beruntung, mereka bisa lebih dekat
denganmu.”
“Untuk alasan apa?”
“Singkatnya, pacaran?”
“Mengapa mereka ingin berpacaran denganku?”
“... Mereka ingin melakukan ini dan itu denganmu setelah
itu.”
“Pemikiran kotor, ya.”
Amane diam-diam mengucapkan doa kepada semua cowok yang
tertolak, "Ah, tapi." dan menambahkan,
“Tidak semua cowok seperti itu, jadi jangan terlalu
curiga. Kau pasti bisa membedakan jenis tatapan yang mereka berikan
kepadamu.”
“Aku rasa begitu. Tidak semua bersikap
kasar. Kamu bukan salah satu dari mereka, ‘kan, Amane-kun?”
“Aku tidak pernah melihatmu dengan mata yang tidak senonoh.”
Meski Amane sering berpikir dia lucu, dan memang punya
pemikiran untuk mengelus kepalanya, Ia tidak punya niat untuk melakukan apa-apa
lebih dari itu.
Lagi pula, jika Ia mau, Mahiru akan menyadari dan
mengucilkannya.
Amane bisa duduk di sebelahnya karena Ia adalah cowok
yang tidak berbahaya. Jika Ia menunjukkan sedikit rasa cabul, Mahiru akan
meninggalkannya. Amane tidak pernah memiliki keinginan untuk punya pacar,
dan baginya, rasa laparnya lebih penting, jadi Ia tidak punya niat untuk
merusak hubungan sekarang.
“Kurasa begitu. Kamu tidak tertarik padaku sejak
awal.”
“Yah...”
“Jadi kamu bisa dipercaya.”
“Aku sangat berterima kasih untuk itu.”
Sebagai cowok, Amane tidak bisa menerima bagaimana Ia
bisa dipercaya seperti ini, tetapi Ia juga tidak benci dianggap cowok yang
aman.
“... Jadi, karena kamu bertanya tentang rencana natalku,
bagaimana dengan rencanamu, Amane-kun?”
“Hmm? Ahh, Itsuki dan pacarnya akan berada di sini
pada tanggal 24. Tidak terlalu berbeda dari biasanya, tapi kami akan
sedikit terlambat untuk makan malam, jadi aku ingin memberitahumu ini
sebelumnya. ”
Akhirnya, mereka kembali ke topik aslinya, jadi Amane menjelaskan
sekali lagi, dan Mahiru mengangguk, sepertinya mengerti.
“Aku mengerti. Hubungi aku begitu pesta Natal
selesai, dan aku akan mampir untuk memasak makan malam. Aku akan membuat
persiapan sebelum itu.”
“Oh, maaf soal itu.”
“Aku baik-baik saja. Silakan bersenang-senang.”
“... Kau tidak merasa kesepian?”
“Aku sudah terbiasa hidup sendirian.”
Amane merasa hatinya sedikit sakit ketika dia menjawab
seolah-olah itu tidak ada hubungannya dengan dia.
Wajah Mahiru menunjukkan senyum pahit mencela diri
sendiri, mungkin karena dia teringat akan orang tuanya.
“... Yah, yah, itu permintaan yang sangat kasar, tapi
bahkan jika kamu tidak bisa melakukannya pada Eve, bisakah kita tetap bersama
untuk Natal, seperti ini?”
Untuk beberapa alasan, perminataan ini membuat Amane
merasa sangat malu.
Ia tidak punya makdus terselubung, tapi undangan khusus
untuk Natal memiliki konotasi khusus tersendiri.
Namun Amane benar-benar tidak punya niat lain.
Ia hanya tidak ingin melihat Mahiru tampak sendirian
dengan kepala tertunduk.
Sebagai tanggapan, Mahiru mengerjapkan matanya.
“Bersama? Melakukan apa?”
“Eh? Ah, sebenarnya tidak ada yang istimewa, maaf. ”
Setelah ini dibilang begitu, Amane tidak bisa membuat
dirinya untuk mengundangnya
Mana mungkin mereka bisa keluar bersama-sama, mengingat
masalah yang akan timbul jika mereka ditemukan oleh orang lain.
Satu-satunya pilihan adalah tinggal di apartemen, tapi
tidak ada yang bisa benar-benar menarik perhatian Mahiru, dan dengan demikian,
mereka hanya bisa memilih untuk tetap bersama dan tidak melakukan apa-apa, tapi
suasananya akan sangat canggung.
Kurasa mungkin lebih baik bagi kita berdua untuk
menghabiskan waktu sendir-sendiri—— tepat ketika Ia hendak menarik kembali
pemikirannya sebelumnya, Amane mendapati Mahiru menatapnya diam-diam.
“... Kalau begitu, aku ingin bermain, itu.”
Tanpa diduga, Mahiru tampak sangat antusias.
Jari rampingnya menunjuk ke televisi.
Atau tepatnya, konsol game di dalam meja TV.
Mahiru sudah sering mampir, dan Amane tidak pernah
menghidupkan permainan, tapi dia tampak sangat tertarik, "Yah, aku belum
pernah mencobanya ..." Dia menggumamkan keinginan kecilnya.
Amane tidak punya alasan untuk menolaknya jika Mahiru
ingin bermain, tapi itu benar-benar tidak nyata bagi dua insan yang berlawanan
jenis menghabiskan Natal bersama, bermain game, ketika mereka bukan sepasang kekasih.
Meskipun Ia tidak memiliki keinginan seperti itu sama
sekali, Ia masih merasa agak bertentangan.
“Tidak, yah, bukan berarti kau tidak bisa ... Kurasa
beberapa game baik-baik saja.”
“Kita tidak bisa?”
“Tidak, bukannya kita tidak bisa.”
“Kalau begitu, itu pasti bagus.”
“Y-ya.”
Apa kau tidak keberatan dengan itu ... Amane ingin
menanyakan itu, tapi karena ini adalah keinginannya, Ia memutuskan untuk
melakukan apa pun yang Ia bisa untuk memenuhinya.
Paling tidak, Amane berharap bisa membawa sedikit
kegembiraan buat Mahiru. Ia sudah dalam perawatannya selama ini, dan
Mahiru sebenarnya tidak pernah meminta apa pun. Jadi Amane tidak masalah
dengan membiarkannya memainkan beberapa permainannya.
Lagian, Ia tidak punya rencana khusus untuk Natal, jadi
makan malam bersama Mahiru adalah bonus tersendiri.
“Yah, siapa yang peduli tentang Natal, mari kita habiskan
waktu apa adanya.”
“Ya.”
Mahiru tersenyum simpul yang mana Amane tidak berani
menatap langsung, dan Ia mengangguk, dengan acuh memalingkan wajahnya.
zzzz
“Selamat Natal!”
Dan begitulah Malam Natal tiba.
Liburan musim dingin sudah dimulai, dan pada hari ini,
setiap orang menghabiskan waktu dengan caranya sendiri. Itsuki dan Chitose
membawa barang-barang mereka saat mereka berkumpul di apartemen Amane.
Waktunya jam 1 siang.
Pizza dan jus dari toko biasa ada di atas
meja. Namun mereka baru memulai pada saat ini karena terlalu banyak
pesanan, dan tidak ada gunanya membuat pre-order,
karena pengirimannya sangat terlambat.
Tapi masih belum terlambat untuk makan siang, dan
lagipula, mereka muncul setelah tengah hari berlalu, dan tidak menunggu
lama. Tidak ada yang benar-benar keberatan.
“Yayaselamatnatal.”
“Amane, kamu tidak terlalu bersemangat! Sekali
lagi!”
“Selamat Natal.”
“Pengucapannya benar, tapi kenapa kamu masih sangat
lesu?"
Amane benar-benar berharap Ia tidak dibandingkan dengan
Chitose yang sudah hiperaktif.
Itsuki menyadari bahwa Amane sudah agak antusias, jadi
dia membujuk Chitose saat Ia menunjukkan senyumnya yang biasa dan agak
sembrono.
“Yah, itu sudah cukup bagus. Ayo makan, main, dan
tidur, oke? ”
“Jangan tidur di apartemenku, idiot."
“Cuma bercanda. Tentu saja aku akan tidur di rumah
Chii.”
“Pastikan orang tuanya tidak ada.”
“Ehh ~, apa
kamu memikirkan sesuatu yang Echhi, Amane ~?”
Chitose menyeringai untuk menggodanya, dan Amane
mengabaikannya ketika Ia pergi ke dapur untuk mengambil peralatan makan dan
cangkir.
Sementara dia mengerutkan bibirnya dan terlihat tidak
senang, aku akan membantu, dia
menyela, dan mengikutinya.
Tentu saja, dapurnya sangat bersih dan rapi. Itu
sudah menjadi wilayah Mahiru, peralatan dan bumbu sudah diatur sesuka hatinya.
“Tak disangka dapurmu bersih.”
“Terima kasih atas pujiannya.”
Amane menjawabnya dengan santai, dan mengambil beberapa
tempat kecil dan gelas dari peralatan, menyerahkan setengahnya ke Chitose,
hanya untuk menemukannya menatap rak dapur.
“…Apa?”
“Bukan apa-apa~?”
Nimaa, Ia punya perasaan bahwa Chitose akan mengganggunya ketika
dia menyeringai, rasa menggigil muncul di tulang punggungnya, tapi Amane
berusaha keras mengabaikannya.
Amane menyadari kalau Chitose memiliki kesalahpahaman
yang serius, tapi Ia tidak bisa mengetahuinya karena Chitose tidak mengatakan
apa itu.
Dia tampak lebih bahagia, dan pipinya menegang. Mereka
lalu kembali ke ruang tamu.
“Tapi apartemen ini benar-benar bersih. Sangat besar
dan rapi.”
Lagu-lagu khas Natal sedang diputar dari speaker
ruangan. Chitose yang hampir selesai makan, melihat sekeliling ruang tamu
yang isinya hanya ada tiga orang, dan bergumam.
Apartemen yang luas itu karena orang tuanya menyewa
tempat ini, dan kerapian tempat ini karena Mahiru membantu
membersihkan. “Terima kasih.” Amane tidak berkomentar apa-apa dan
menjawab begitu.
“Yah, ada kalanya dimana tempat ini benar-benar
berantakan ー. Sungguh menakjubkan kau bisa membersihkannya. ”
“Diam.”
“Ya, ya. Kayak ada aroma cewek gitu~ ”
“Apa yang membuatmu berpikir demikian?”
Amane tidak tahu bagaimana ruangan yang bersih itu ada
hubungannya dengan kehadiran seorang gadis.
“Hmm? Tidak ada yang khusus. Mengingat kepribadianmu,
Amane, rasanya kamu bukan tipe yang akan membersihkan rumah. Ada pula
caramu mengatur buku, kabel, dan caramu meletakkan barang-barang agar tidak
merusaknya. Beberapa peralatan bukan tipe yang kamu suka~ ”
“…Punya ibuku.”
“Hmmm?”
Dia memang menaruh benda-benda itu paling jauh, tapi
tampaknya Chitose menyadarinya saat dia membantu mengeluarkan peralatan makan
Amane sendiri memiliki peralatan makan yang tidak
mencukupi, jadi Mahiru membawa beberapa dari apartemennya sendiri, tapi dia
tidak pernah mengira tukang gosip Chitose memperhatikan rincian yang begitu
bagus.
“Yah, tidak apa-apa sih? Benar ‘kan, Ikkun?”
Amane membuat jeda yang aneh, dan Chitose menatapnya
dengan niat, sebelum menyeringai ketika dia condong ke arah Itsuki.
Itsuki sendiri tidak keberatan karena mungkin sudah
terbiasa, dan Ia mengulurkan tangannya ke Chitose, menyuruhnya duduk di
pahanya, dan memeluknya. Amane sendiri benar-benar tidak bisa untuk
melihatnya.
“Berhenti bermesraaan di apartemen orang lain.”
“Apa kamu cemburu~?”
“Tidak juga”
Ketimbang cemburu, Ia mungkin mengatakan bahwa Ia sudah
cukup, jadi Amane benar-benar ingin mereka untuk mengendalikannya. Mengingat
bahwa ini adalah diri mereka yang biasa, mana mungkin nasihat seperti itu akan
digubris.
Chitose terus menempel di dada Itsuki dengan senang, menatap
langit-langit dan wajah Itsuki.
“... Apa semua orang lagi bermesra-mesraan sekarang?”
“Jangan lupakan orang-orang yang menangis air mata darah
sekarang.”
Mustahil untuk berpikir semua orang melakukan hal yang
sama. Beberapa pasti akan menghabiskan waktu bersama keluarga mereka, dan
teman-teman mereka. Dan ada pula yang menghabiskan waktu sendirian.
Ada banyak yang menganggap kalau melajang sebagai
penghinaan, dan kata-kata Chitose mungkin berbahaya jika diucap sembarangan di
depan publik.
“Apa semua cowok pengen punya pacar?”
“Mungkin tidak. Aku tidak benar-benar
menginginkannya. ”
“Tapi itu karena kamu orang aneh, Amane.”
“Berisik kau.”
“Yah, semua orang tampak gelisah sebelum Natal. Terutama
para cowok jomblo. Omong-omong, ada banyak cowok yang mendatangi Tenshi
dan mengundangnya untuk Natal, tetapi dia menolak mereka semua. Ada
segunung mayat berjalan di sekolah. Dia bilang dia punya janji dengan
seseorang, jadi tidak. ”
“Heh.”
Amane menyadari kalau orang yang Mahiru janjikan adalah
dirinya.
Walau Amane merasa kalau Ia menjadi alasan mengapa mereka
ditolak, tapi Ia tidak keberatan bahwa Mahiru menggunakan alasan ini, mengingat
kesalahannya dia akan menolak mereka. Paling tidak, dia tidak menggunakan
namanya, jadi itu baik-baik saja.
“Muka suram di wajah mereka benar-benar sesuatu. Ini
tidak sopan, tapi aku tak bisa berhenti tertawa. ”
“Jangan menertawakan mereka.”
“Tapi yah, itu mustahil ketika mereka tidak punya
hubungan, dan tiba-tiba ingin bertindak keren selama acara ini, tahu? Rasanya
sudah terlambat ketika mereka tidak pernah menjalin hubungan baik, dan
bagaimana mungkin mengatakan, kita tidak
benar-benar dekat, tapi mari kita menghabiskan waktu bersama dan meningkatkan
hubungan kita. Dan, ada juga tipe orang yang mengatakan mari kita berpesta dan mencari kesempatan untuk berdua saja. Rasanya
menakutkan bagi gadis mana pun, tahu? ”
Mana mungkin dia adalah orang ceroboh yang menerima
undangan apa pun, tambah Chitose mendecakkan lidahnya, mungkin memikirkan
beberapa kenangan buruk saat dia menempel pada Itsuki.
Sementara Chitose dan Mahiru berbeda, yang pertama cantik
sendiri, jadi dia juga punya masalah sendiri. Begitu dia menganggap bahwa
gadis-gadis populer akan terganggu oleh hubungan, Amane mulai mengasihani dia.
“Yah, itu Shiina juga tidak baik, mengingat banyak ajakan
yang dia dapatkan.”
“... Kamu benar-benar tidak tertarik pada si Tenshi ya,
Amane?"
“Yah, begitulah.”
“Tetangga Amane adalah malaikat sejati.”
“Mau aku usir?”
“Ngga mau.”
Kau
menyebalkan. Amane memelototi Chitose, "iyaa menakutkan." dan ditanggapi
Chitose dengan gerakan konyol dan menempel pada Itsuki.
“Tapi kamu tidak bisa menyangkal kalau tetanggamu sudah
banyak merawatmu, ‘kan.”
Guh, Amane hanya bisa terdiam, dan Chitose terkekeh-kekeh.
“Berhenti melotot ~. Maaf.”
Chitose tidak terdengar meminta maaf, jadi Amane
memelototinya lagi, "Kyaa ~"
jadi dia membuat suara yang lucu, menempel pada Itsuki ... dan melihat ke arah
jendela di belakang Itsuki.
Amane melihatnya tertegun, dan penasaran apa yang terjadi
ketika Ia juga mengalihkan pandangannya ke luar. Apa yang dilihatnya
adalah butiran putih yang melayang turun di langit perak.
“... Ah, Ikkun, coba lihat! Salju!”
“Ohh, White
christmas ?”
Karena sekarang akhir Desember, salju itu sendiri adalah
peristiwa yang biasa terjadi.
Jarang-jarang bisa melihat salju turun saat cuaca cerah,
tetapi bagi yang berpacaran, itu adalah sesuatu yang membahagiakan.
Malam belum tiba, tetapi melihat suhunya, itu mungkin
akan turun sampai malam, malam Natal yang dilapisi salju.
Kurasa
yang berpacaran pasti akan bersemangat, pikir
Amane ketika Ia diam-diam menyaksikan pasangan di sebelahnya membuka jendela
dan menuju ke beranda apartemen, berpikir bahwa mereka akan keluar sebentar
sementara dia berdiri──lalu….
“Heh? Ke-kenapa kamu ada di sini? ”
“E-eh?”
“Ah.”
Suara terakhir yang didengarnya adalah suara yang biasa
Amane dengar, suara merdu nan dingin.
Ia merasakan firasat buruk.
Amane merasa duo pasangan bodoh di beranda tampak
terkejut, dan bergegas, hanya untuk melihat Mahiru di beranda, mungkin melihat
salju, dan bertemu dengan mereka.
Ini
mengerikan. Amane memandang ke arah Mahiru yang
duduk di sebelahnya, dan menghela nafas.
Ia tidak punya pilihan, setelah tragedi di beranda, dan
hanya bisa mengundang Mahiru untuk masuk ke apartemennya.
Lagi pula, jika dia mencoba menggertak pasangan itu,
mereka berdua akan mulai membayangkan ide-ide aneh sendiri. Akan lebih
cepat baginya untuk jujur, dan mencegah tebakan dan kesalahpahaman yang tidak
perlu.
Dan jika Amane tidak membungkam mereka dengan benar, apa
yang akan terjadi selanjutnya akan sangat menakutkan.
“... Erm, aku benar-benar minta maaf.”
“Itu bukan salahmu.”
Mahiru terdengar meminta maaf sebanyak yang dia bisa,
tetapi ini bukanlah salahnya.
Itu adalah White
Christmas, salju pertama musim ini, jadi dia mau tidak mau pergi ke beranda
untuk melihat salju turun.
Jika Amane mendengar jendela terbuka, Ia akan bergegas
untuk menghentikan duo pasangan itu, tapi kebetulan ada musik yang menggelegar,
jadi sebenarnya, Ia tidak mendengarnya.
Mahiru sendiri mungkin melakukan yang terbaik untuk tidak
membuat suara, dan Amane tidak menyadarinya.
Melihat pada duo yang merefleksikan tindakan mereka, mata
Chitose langsung berbinar-binar saat dia mendekatkan wajahnya.
“Jadi, tetanggamu itu si Tenshi ya, Amane !?”
“Erm, tolong jangan panggil aku dengan Tenshi jika
memungkinkan ...”
Tampaknya si Tenshi tidak ingin dipanggil begitu, jadi
dia menolak dengan tegas. Namun Chitose menyeringai, dan orang harus
bertanya-tanya apakah dia mendengarkannya atau tidak.
Itsuki sebaliknya hanya menggaruk pipinya saat Ia
mengerutkan kening, memandang bolak-balik antara Amane dan Mahiru.
“Ehh, kalau begitu ... menilik dari apa yang kita ketahui
sejauh ini, Shiina-san tinggal di sebelah Amane, dan sering memasak untuknya,
apa aku benar?”
“…Ya.”
“Ya-Yah ... aku berutang budi kepada Fujimiya-san, dan
aku melihat bahwa dia tidak makan dengan sehat, jadi aku merasa khawatir ...”
Mahiru mulai menjelaskan mengenai bagaimana mereka berdua
bertemu, dan juga bagaimana hubungan berlanjut; “Jadi begitu ya.” Jawab
Itsuki, tetapi wajahnya menunjukkan bahwa Ia tidak bisa menerima penjelasan
ini, entah bagaimana.
Jika Ia berada di posisi Itsuki, Amane juga tidak akan
menerima penjelasan ini.
Mana mungkin cowok biasa seperti Amane akan memiliki
gadis yang luar biasa seperti Mahiru yang mengurusinya.
“Hmm, aku lumayan tahu apa yang sedang terjadi, tapi itu
luar biasa karena kamu tidak punya perasaan lain untuk Amane, Shiina-san. Secara
tidak langsung, kau sudah menjadi istri panggilan buat Amane.”
“Pfft.”
Istilah yang biasanya tidak Amane dengar menyebabkan Ia
mendengus.
Istri panggilan.
Karena Itsuki mengungkitnya, situasinya memang tampak
sama. Setiap hari, Mahiru akan memasak makan malam untuk Amane, dan selama
hari libur, dia akan menemaninya untuk makan siang, dan Mahiru sesekali mampir
untuk membersihkan Apartemennya. Mendengar itu dari Itsuki, sepertinya ini
benar-benar masalahnya.
Perbedaannya ialah tidak ada perasaaan cinta di antara
mereka.
Dan ketika Mahiru mendengar Itsuki mengatakan itu, dia membelalakkan
matanya, kemudian beralih ke senyum luarnya, “Aku tidak punya niat begitu, dan
ini tidak mungkin." dia menyangkalnya.
Amane membayangkan dia berurusan dengan Itsuki dan
Chitose dengan cara yang sama di sekolah, dan merasakan gatal di hatinya.
“Yah, aku tidak punya pikiran buruk sama sekali, itu
sebabnya Shiina mau membantuku.”
“Tidak apa-apa ketika kamu mengatakan ini, Amane, tapi
ini kombinasi yang aneh ... msi jenius memasakkan untukmu ... tunggu, apa
boneka itu diberikan kepada Shiina-san?”
“…Yah, begitulah.”
“Heh.”
“Diam.”
“Tapi aku belum mengatakan apa-apa?”
“Wajahmu menyebalkan.”
“Aduh!”
Chitose menyeringai ... atau lebih tepatnya, cengengesan,
membuat Amane tidak nyaman sementara Ia benar-benar frustrasi.
Mereka memeriksa fakta-fakta, jadi dia tidak menggoda
Amane, tapi Ia tidak mau dia menggodanya, karena itu akan memengaruhi
Mahiru. Jika memungkinkan, dia ingin mengabaikan Chitose.
“Ayo, tenanglah dulu kalian berdua.”
Itsuki sudah melihat perubahan pada Amane sejak awal, dan
tidak menggodanya seperti yang dilakukan Chitose.
Ia adalah tipe orang yang bisa berhenti sebelum semuanya
di luar kendali, dan adalah seorang cowok yang bisa membaca suasana hati dan
menempatkan dirinya pada posisi orang lain. Amane berharap Itsuki akan
berhenti sebelum fakta ini terungkap, tapi tidak ada gunanya pada saat ini.
Setelah membujuk Amane yang sedikit melotot dan Chitose
yang sangat gembira yang telah memecahkan misteri itu, Itsuki membalikkan
tubuhnya ke arah Mahiru dan menundukkan kepalanya karena suatu alasan.
“... Erm, Shiina-san, Amane kami sudah sangat
merepotkanmu.”
“Sejak kapan aku menjadi anakmu?”
“Sama denganmu. Terima kasih banyak sudah
membesarkan Fujimiya-san dengan baik. ”
“Jangan menambahkan itu dan membuatnya terdengar seperti
aku tidak berguna.”
“Tapi kau benar-benar tidak berguna.”
“Dasar kampret.”
Amane punya kesadaran diri, dan Itsuki mengkritiknya karena
terlalu malas ... tapi Ia merasa bertentangan karena dibilang blak-blakkan
seperti ini.
Tampaknya Mahiru juga bisa mengikuti lelucon ini ketika
dia mengambil kesempatan untuk berpura-pura bodoh, tersenyum ketika dia
menyaksikan Amane dan Itsuki bertengkar.
Meskipun senyum itu tidak asli seperti yang dia tunjukkan
hanya kepada Amane, itu tidak sepenuhnya angkuh, dan hal tersebut membuat
Itsuki tercengang.
Berhentilah
menatap gadis lain saat kamu sudah punya pacar, Chitose yang kesal menusuk Itsuki ... tidak, dia
meninju padanya, yang membuatnya menjadi lebih lucu.
Tapi begitu dIa melihat Mahiru memiringkan kepalanya
dalam kebingungan, Amane kembali seperti biasa seolah-olah tidak ada yang
terjadi.
“... Yah, kita tidak punya hubungan yang manis seperti
kalian berdua, dan itu akan merepotkan jika yang lain tahu. Kalian mengerti, ‘kan?
”
“Tentu saja. Kami tidak akan memberitahu siapa pun.”
Amane secara tidak langsung mengancam Itsuki semisalh Ia
memberitahu orang lain, tapi terkejut melihat Ia setuju dengan cepat.
“Kau juga, Chitose.”
“Aku tidak banyak bicara. Tidak ada yang akan percaya
bahwa seorang gadis imut membuatkan makanan untukmu, Amane.”
“Maaf karena sudah jadi orang yang tidak cocok.”
“Aku tidak sampai sejauh itu~”
Chitose benar, dan Ia memiliki kesadaran diri.
Tidak ada yang akan percaya jika cowok biasa dirawat oleh
idola sekolah yang mereka sebut Tenshi.
Dan jika mereka mempercatai itu, mereka akan menghinanya
karena jadi orang yang tidak cocok.
Dan itu karena Amane sudah menduga hak itu, Ia tidak
ingin orang lain tahu. Ia benar-benar tidak mau repot.
Menjadi
rendah hati, ya? Chitose tertawa kecil ketika dia
menatap Amane, tetapi tatapannya tampaknya tertarik pada Mahiru.
Jii, dia menatap Mahiru dengan tatapan penuh gairah,
menghela nafas, dan terus menatap.
Mahiru sendiri merasa tidak nyaman, tidak tahu harus
berbuat apa.
“Erm, ada apa?”
“... Kalau dipikir-pikir lagi, bagaimana kamu bisa begitu
imut, Shiina-san?”
“Eh? Terima kasih banyak……?”
Chitose memuji Mahiru, dan terus menatap wajahnya dengan
penuh perhatian.
“Ini pertama kalinya aku melihatmu dari dekat; kamu
benar-benar sangat cantik, Tenshi (Malaikat) sejati. Wajah cantik, kulit
putih, bulu mata panjang, rambut yang halus, tubuh langsing. ”
“E-erm ...?”
Begitu Ia menyadari kebiasaan buruk Chitose kumat lagi,
Amane hanya bisa menghela nafas panjang.
Amane tidak pandai dalam berurusan dengan Chitose.
Itu bukan karena Ia membencinya, pada kenyataannya, Amane
terkesan dengan kepribadiannya ... tapi ada saat-saat dimana Ia tidak bisa menanganinya. Dia
gampang gembira, kadang-kadanga juga terlalu khawatir, dan Ia merasa terlalu
melelahkan untuk berurusan dengannya. Bagaimanapun, ada orang yang serupa
di rumahnya, jadi kesadaran ini lebih kuat.
Dengan kata lain, kemiripan dengan ibunya membuatnya
tidak bisa berurusan dengannya.
Kepribadian dan kesukaan Chitose mirip dengan ibu Amane
... terutama kegemaran mereka akan hal-hal yang cantik dan imut.
“Ahh, kamu sangat imut saat aku melihatmu dari
dekat. Hei, boleh aku menyentuh rambutmu? Apa rahasianya agar tetap
mulus? Sampo apa yang kamu gunakan? ”
“Tidak, e-erm ... jika kamu bertanya begitu banyak
sekaligus.”
“Kulitmu sangat lembut. Apa yang kamu lakukan untuk
mempertahankan kulit yang seperti ini.”
Sebagai seorang gadis sendiri, Chitose ingin tahu tentang
rahasia kecantikan Mahiru, dan juga memiliki keinginan untuk menyentuh dirinya
yang begitu cantik. Dia mengocehkan banyak pertanyaan saat dia mengulurkan
tangannya ke arah Mahiru.
Mahiru akan sangat menyedihkan jika Amane tidak
menghentikannya, ya ampun, jadi Amane
bergumam saat Ia menjitak kepala Chitose sementara dia mengulurkan tangannya.
Amane tidak menggunakan banyak tenaga saat mencoba
menghentikan Chitose dan membalas, “Owie.” tapi Chitose yang terkejut
mengerang, menarik tangannya kembali dari Mahiru.
Mahiru sendiri merasa tenang karena campur tangan
Amane. Dia biasanya bertindak seperti Tenshi, dan waspada dengan
orang-orang yang tidak dikenalnya. Dia tidak curiga terhadap gadis itu,
seperti Chitose terhadap Amane, tapi dia tampak ketakutan.
“Kamu tidak harus melakukan itu, ‘kan.”
“Dia itu pemalu. Tidak ada skinship sampai kau akrab
dengannya.”
“Jadi tidak apa-apa kalau aku sudah akrab?”
“Tanyai Shiina. Sebelum itu, perhatikan keadaan dan
suasananya. ”
Mahiru jelas-jelas tampak seolah ingin melarikan
diri. Tampaknya itu pilihan yang tepat untuk menghentikan Chitose.
Dan begitu dia melihat betapa terganggunya Mahiru,
Chitose tampaknya telah menyadari alasan mengapa dia menghentikannya.
“Maaf tentang itu. Aku jadi terlalu bersemangat
samapi aku ingin menyentuhmu. ”
“Y-ya ...?”
Pengakuan mendadak Chitose tentang keinginan untuk menyentuh
Mahiru membuatnya bingung. Dia tidak tahu harus berbuat apa, dan memandang
ke arah Amane, memohon bantuan padanya.
"Ah - Shiina, Chitose itu memang aneh, tapi dia
bukan orang jahat ... mungkin.”
“Apa kamu bahkan menjaminku? Kamu cuma menambah
kewaspadaannya, bukan? ”
“Bisakah kau menyangkal hal itu sekarang?”
“Tidaklah!”
Chitose dengan sombong membual, menatap Mahiru dengan
saksama, dan dengan tatapan serius, meraih tangannya.
Kali ini, dia meminta untuk jabat tangan.
“Ayo kita mulai dari menjadi teman. Senang bisa
berteman denganmu. ”
“Eh? Y-ya, aku juga ...? ”
Setelah diminta berjabat tangan, Mahiru mengulurkan
tangannya dengan khawatir.
Chitose ingin berteman dengan siapa saja yang ia minati,
dan dilihat kepribadiannya, rasanya seperti Mahiru akan bergantung pada belas
kasihannya. Yah, karena mereka akan menjadi teman normal, Amane tidak bisa
berkomentar apa-apa.
Dia hanya bisa berharap bahwa Chitose bisa mengendalikan
kegirangannya.
“Supaya bisa lebih akrab, kita perlu memperkenalkan
diri! Kau mungkin sudah tahu tentangku, atau Amane yang memberitahumu, tapi
aku Chitose Shirakawa, pacar teman dekat Amane. Jika itu pantas, Ikkun.”
“Yaa, rasanya memalukan disebut teman dekat.”
“Lalu, kenapa kau membuatnya terdengar sangat menjijikkan?”
“Kamu mengatakan itu sekarang ... Amane, apa kamu tahu
bahwa dunia menyebut sikapmu itu tsundere?”
“Bagaimana kalau aku mengusirmu keluar?”
“Kamu kejam mau mendepakku ke salju.”
“Jika kau cowok, bicaralah dengan jantan."
Ack, Amane memberikan pandangan jijik, dan Itsuki
tertawa.
Melihat ini, Mahiru membelalakkan
matanya. "Ahh, seperti itulah rasanya hubungan
kami." Itsuki sebaliknya melengkungkan bibirnya menjadi senyum
bahagia
“Nah, ijinkan aku memperkenalkan diriku lagi. Aku
Itsuki Akazawa, teman baik dari cowok tidak jujur ini. Jika
Amane melakukan sesuatu yang bodoh atau aneh, kau bisa berbicara denganku.”
“Kau pikir aku ini orang seperti apa.”
“... Fujimiya-san sepertinya tidak tertarik padaku, dan
tidak punya kemampuan bertahan hidup, tetapi Ia memiliki akal sehat. Aku
tidak berpikir Ia akan melakukan sesuatu yang aneh.”
“Mengatakan kalau aku tidak memiliki keterampilan bertahan
hidup tidak perlu di ungkit juga, tapi terima kasih untuk itu.”
Sungguh tragis Amane tidak bisa menyangkalnya, tapi Ia
senang Mahiru menganggapnya sebagai orang yang bisa dipercaya.
Itsuki kemudian mendekat untuk berbisik, “Kau tidak
tertarik pada Shiina-san padahal hubunganmu sudah sangat dekat begini? Apa
kau ini masih cowok? ”, Dan sebagai tanggapan, Amane menampar punggungnya.
Amane tidak bisa bilang kalau Ia tidak tertarik sama
sekali, tapi Ia tidak ingin menjalin hubungan romantis, dan Ia tidak ingin
berpura-pura.
Mahiru sendiri mungkin menginginkan seseorang dari jenis
kelamin yang berbeda, yang bisa sangat dekat dengannya, dan tidak mengejar
hubungan romantis. Bagaimanapun juga, mereka hanya makan bersama, dan
menghabiskan waktu bersama.
Amane memandang ke Mahiru. Tampaknya Chitose merasa
mereka sudah selesai berbicara, dan memberikan lebih banyak pertanyaan kepada
Mahiru, membuatnya sangat kewalahan.
Tapi Mahiru tidak terlihat kesal sama sekali. Cepat
atau lambat, mereka akan mulai terbiasa satu sama lain.
Masih bingung, Mahiru menanggapi dengan sedikit
senyum. Amane sendiri merasa lega ketika Ia melihat mereka mulai akrab.
zzzz
“Aku benar-benar minta maaf tentang itu.”
Sore harinya, setelah Itsuki dan Chitose pergi, dan Amane
meminta maaf kepada Mahiru yang jelas-jelas kelelahan.
Dia dilecehkan oleh orang-orang yang tidak dikenalnya,
dan rahasianya terungkap. Kemungkinan dia juga merasa terganggu dan lelah.
Amane merasa ini adalah deja vu sejak terakhir kali
Shihoko berkunjung.
“Tidak, itu karena aku yang ceroboh.”
“Dia itu berisik, bukan?”
“... Orang yang benar-benar periang.”
“Bisa dibilang dia benar-benar berisik.”
“Dia sedikit energik, tapi menarik, kurasa.”
“Apa maksudmu, sedikit ........ yah, kurasa tidak apa-apa
jika kau tidak keberatan.”
Amane merasa bahwa Mahiru bersikap sopan, meski mengira
bahwa Chitose adalah orang yang lantang, dan itu hanya ekspresi ringan.
Untungnya, sepertinya dia tidak membenci Chitose, tapi Ia
tidak tahu apa mereka bisa menjadi teman yang baik.
Mereka memiliki kepribadian yang berbeda ... dan mungkin
menarik bagi mereka untuk menjadi teman, mungkin.
Tentu saja, jika Chitose mengatakan sesuatu yang membuat
Mahiru bermasalah, Ia bermaksud mengingatkannya, tapi memutuskan untuk hanya
menonton untuk sementara waktu.
“Aku tidak punya orang seperti itu di sekelilingku, jadi
aku merasa sedikit senang.”
“Yah, memang jarang melihat orang yang seperti Chitose
... pukul kepalanya jika dia terlalu agresif, tahu?”
“Ke-Kekerasan itu tidak baik. Aku akan mencoba
membujuknya baik-baik nanti.”
Keduanya merasa Chitose terkadang menjadi gila, dan ada
saat-saat dia akan bersemangat tentang hal-hal aneh, jadi pengingat seperti itu
sangat diperlukan.
Jadi Amane bersumpah untuk mengingatkan Chitose nanti di
dalam hatinya, dan berbalik ke arah jendela, memandangi kepingan salju yang
jatuh.
Jika bukan karena cuaca seperti ini, rahasia ini tidak
akan terungkap kepada pasangan itu ... tetapi salju mungkin menjadi berkah bagi
para kekasih, jadi Ia tidak bisa mengeluh terlalu banyak.
Tampaknya Mahiru juga menyukai salju, dan begitu dia
melihat Amane menatap salju, dia juga menikmati pemandangan tersebut.
Matahari sudah terbenam lebih cepat karena musim dingin,
pemandangan diluar semakin gelap.
Itu cukup gelap sampai bisa disebut malam hari, dan salju
kecil jatuh, sehingga orang bisa melihat salju samar-samar dari lampu di
ruangan
“Ini White
Christmas, ya.”
“Ya begitulah. Tapi itu tidak ada hubungannya dengan
kita.”
“Tapi pemandangan ini cukup cantik. Apa itu saja
tidak bagus?”
Mereka tidak berpacaran, jadi makna White Christmas tidak ada hubungannya bagi mereka ... tetapi karena
Mahiru menyukainya, saljunya sendiri tidak buruk.
Kepingan salju yang turun membentuk lapisan putih ke
dunia yang gelap. Kalau salju turun, tidak akan banyak yang menumpuk.
“Tapi kalau terlalu banyak salju, trasnportasi umum akan
lumpuh. Yang wajar-wajar saja adalah yang terbaik.”
“Kamu bersikap realistis sekarang.”
“Lagipula, orang tidak bisa hidup dalam romansa.”
“Aku rasa begitu.”
Percakapan kecil ini mungkin berkat salju.
Keduanya tertawa simpul, dan lalu Mahiru berdiri.
“Aku akan membawa makan malam.”
“Eh, membawa?”
“Aku membuat sup daging sapi sekarang. Juga, dua
orang saja tidak bisa menghabiskan kalkun panggang. ...”
“Aku tidak pernah berpikir untuk memanggang kalkun
sepenuhnya.”
“Yah, itu karena kamu tidak bisa memasak dengan baik,
Amane-kun. Makan siang besok akan menjadi nasi omelet dengan sup daging
sapi.”
“Kedengarannya enak, tuh ...”
Amane sudah tahu sebelum memakannya kalau itu pasti
rasanya lezat, jadi Ia sudah menantikan makan siang berikutnya sebelum makan
malam ini.
“Aku lebih suka telurnya sedikit lebih matang.”
“Kebetulan sekali. Aku lebih suka gaya tradisional
ini sebagai gantinya. Aku akan membawa pot ke sini.”
Mahiru terhuyung keluar dari apartemen Amane dan kembali
ke apartemennya, dan ketika Ia menatap kosong ke punggungnya, Ia mengingat
keributan yang terjadi pada hari itu.
Benar-benar tidak disangka kalau mereka bakal ketahuan.
Ia sendiri sudah diragukan jadi tak aneh pasangan itu
semakin curiga padanya, ... tapi Amane tidak pernah berharap kalau Mahiru akan
menunjukkan wajahnya pada saat ini.
Hasilnya, mereka menjelaskan diri mereka sendiri, membuat
orang-orang memahami keadaan mereka ... tetapi Ia merasa sedikit bertentangan.
Kalau saja rahasia mereka bisa bertahan sedikit lebih
lama.
(Apa yang sedang aku pikirkan?)
Paling tidak, Ia tidak perlu bermain petak umpet dengan
mereka berdua, dan itu akan lebih mudah dalam hidupnya, namun Amane juga merasa
sedikit suram. Ia juga merasa terganggu, entah apa yang membuatnya merasa
terganggu.
Itu bukan hasil yang buruk, tetapi Ia cuma merasa ada
sesuatu yang salah.
“Apa ada yang salah?”
“…Bukan apa-apa.”
Mahiru kembali dengan pot di tangannya, memiringkan
kepalanya dengan bingung ketika dia menatap Amane, tetapi bagaimanapun juga, Ia
tidak bisa mengungkapkan perasaan ambigu ini kepada gadis di hadapannya.
Ketika Ia berjuang untuk mempertahankan ekspresi yang
sama, Mahiru memiringkan kepalanya dengan bingung, tidak mengerti mengapa Amane
bertingkah seperti itu.
zzzz
“... Haa, enak sekali.”
Seperti biasa, masakan Mahiru rasanya sangat lezat.
Karena perayaan Natal, jadi hidangan yang disajikan
sedikit lebih rumit.
Sup daging sapi yang dibuat oleh Mahiru dikonversi
menjadi pie panci, dan mereka mengiris dan memakannya.
Setelah menikmatinya, kerenyahan yang dipadukan dengan
saus sup daging sapi yang kaya hanya bisa dikatakan sebagai momen yang
membahagiakan.
Tampaknya Mahiru membeli tepung hanya untuk pai, dan
Amane terkesan dengan keterampilannya yang luar biasa, menghela nafas setelah
makan kue kedua untuk hari itu.
Sekadar diketahui, kue itu dibuat oleh Mahiru.
Sambil memanggang pai pot, dia menggunakan tepung
tersebut untuk dipadukan dengan adonan manis, membuat mille-feuille. Dia sudah
berada di tingkat pâtissier.
“Aku senang melihatmu menyukainya ... kamu makan cukup
banyak.”
“Mmm. Karena rasanya sangat lezat.”
“Terima kasih banyak.”
Amane mulai terbiasa dengan senyumnya Mahiru.
Dia akan tersenyum setiap kali Amane memuji masakannya,
dan itu menjadi rutinitas sehari-hari.
Rasanya seperti hak istimewa Amane untuk melihat ekspresi
lembut darinya, dan Ia merasa sensasi geli di dadanya.
“... nasi omelet besok ... aku menantikannya.”
“Kamu benar-benar suka telur, kurasa ... Aku ingat kamu
melahap gulungan telur dan semacamnya.”
“Mau bagaimana lagi, karena itu enak.”
Meski Ia suka hidangan telur, Ia tidak akan memakannya
jika tidak enak. Ia memiliki selera makan yang tinggi karena masakan
Mahiru sangat lezat.
Ia merasa terlalu lancang untuk menjadi egois seperti
ini, tetapi Amane tidak punya niat berbagi masakan Mahiru dengan orang lain,
dan akan terus menikmatinya sampai dia berhenti.
“... Amane-kun, kamu terlihat bahagia saat makan.”
“Baik. Aku merasa senang. Masakanmu benar-benar
lezat, Mahiru. ”
“Terima kasih atas pujiannya, tapi kebahagiaan ini
sungguh kecil.”
“Tidak, itu pujian yang tinggi ... pahami nilaimu sendiri
...”
Lagipula, itu adalah masakan langsung dair si Tenshi, dan
beberapa cowok akan bermimpi memiliki hak istimewa untuk mencicipinya.
“Padahal itu cuma sesuatu yang aku lakukan setiap hari.”
“Tapi aku masih sangat senang dengan itu.”
“…Benarkah?”
“Tentu saja. Aku bisa makan makanan enak setiap
hari. ”
Amane sendiri punya sedikit keinginan material, dan
keinginan yang lebih kuat untuk makan. Kebahagiaan terbesarnya adalah bisa
makan makanan segar dan lezat setiap hari.
“Bagaimana kau bisa membuat masakan seperti itu?”
“Seseorang yang pernah merawatku berkata,『 jika kamu menginginkan seseorang yang bisa memberikanmu
kebahagiaan, taklukkan perutnya 』.”
“Maaf karena membiarkanmu menaklukkan perutku.”
“Anggap saja itu sebagai latihan.”
Mahiru tersenyum, dan hatinya tanpa sadar tersentak.
“... Tapi orang yang membesarkanmu benar-benar luar
biasa.”
“Iya. Masakan orang itu sangat lezat, dan aku tidak
bisa mengalahkannya. Masakannya dipenuhi dengan rasa kebahagiaan. ”
Ketika Ia melihatnya tersenyum lembut dan memandang ke
kejauhan, Amane merasa sedikit lega.
Tampaknya Mahiru benar-benar disayang oleh orang yang
merawatnya, dan jelas sekali kalau dia menghormati orang itu.
Mahiru pasti benar-benar beruntung berada di sisi orang
itu.
“Kedengarannya sangat enak, tapi buatku, buatanmu adalah
rasa kebahagiaan.”
Kesampingkan ibunya, masakan ayahnya juga bagus, tapi selera
makan Amane lebih suka masakan Mahiru.
Masakannya adalah sesuatu yang nyaman, tipe yang tidak
akan membuatnya muak, damai namun membuatnya terus berharap. Amane tidak
akan bosan dengan masakannya, dan bahkan akan meminta lebih dari itu.
Tapi itu terlalu membebani Mahiru, jadi Ia tidak
mengatakan kata-kata ini.
Jadi Amane mengangguk, dan melihat Mahiru tengah
tercengang.
Orang bisa mengatakan kalau mungkin itu tidak terduga
baginya.
Dia balas menatapnya, tampak tidak dewasa dan bingung.
“... Mahiru?”
“Eh ... aku baik-baik saja.”
Begitu dia mendengar suara Amane, Mahiru mtersentak,
menggelengkan kepalanya, dan menunduk ke bawah.
Dia memeluk bantal yang dia sukai, menghembuskan napas
sedikit. Tidak seperti sebelumnya, Amane bisa merasakan pesona aneh
darinya.
“Ada apa?”
“... Aku hanya berpikir, jika aku bisa membuat rasa
bahagia.”
“Yah, aku tidak tahu mengapa kau mencoba jadi rendah
hati, tapi masakan sehari-harimu itu beneran enak, dan aku ingin lebih.”
“Ah, terima kasih banyak”
Mahiru mengintip ke arahnya, tampak sedikit malu, namun
kenyang saat dia tersenyum. Kali ini, Amane yang melihat ke bawah dan
ingin menutupi wajahnya.
Saat dia menunjukkan ekspresi yang sangat langka
miliknya, bahkan hati Amane hanya tersentak, meski Ia tidak menyukainya sebagai
seseorang dari lawan jenis.
Amane tidak ingin memaparkan panas yang naik
perlahan-lahan ini di dalam hatinya, dan akan sangat canggung bagi mereka
berdua untuk malu-malu.
“Ahh, erm ... ya, Mahiru.”
“Iya?”
“Kita mulai dari siang besok, kan?”
Amane mengubah topik, tidak dapat menerima suasana hati
ini, tapi Mahiru tidak keberatan ketika dia mempertimbangkan sarannya.
“Ya, kita sudah setuju, bukan? Makan siang untuk
makan malam, dan kemudian game yang kita janjikan ... ‘kan? ”
“Ya.”
“Erm ... kamu tidak menyukainya?”
“Tidak juga. Aku hanya memastikannya denganmu ...
Malam natal sudah berakhir, tetapi bisakah kita benar-benar menghabiskan Natal
seperti ini? ”
“Aku takkan memintamu jika aku membencinya ... aku
menantikannya.”
Sekali lagi, dia menunjukkan senyum simpul di wajahnya. Amane tidak bisa menatapnya, "oh." hanya bergumam ketika Ia bersandar di sandaran tangan di seberangnya, menyembunyikan rasa malunya.
Aduhh ketauan lagi, rasanya kek bukan rahasia mereka berdua lg
BalasHapusyah ketauan
BalasHapus