Chapter 14 - Natal Mereka Berdua
Keesokan harinya, Mahiru tiba di apartemen AMane, tampak
sedikit khawatir.
Dia merasa gugup pergi ke rumah lawan jenis pada hari
libur ... atau tidak. Mahiru benar-benar menantikan bisa bermain game, dan
dia tidak bisa menahan kegembiraannya.
Bisa dibilang ini adalah pertama kalinya dia bermain
video game, dan dalam hal ini, orang mungkin memanggilnya Putri yang tidak
memahami cara kerja dunia.
“Aku akan mulai membuat makan siang kalau begitu.”
“Nn, tolong masak telurnya sedikit lebih banyak, ya.”
“Aku mengerti.”
Meski pelanggan itu sangat menuntut, suasana hatinya
tidak berkurang ketika dia buru-buru mengenakan celemek, bergegas ke dapur, dan
mulai menyiapkan makan siang. Tentunya dia dalam suasana hati yang sangat
baik.
Amane merasa sedikit tersipu mengetahui kalau dia
benar-benar menantikan ini.
(Yah, dia hanya ingin bermain game.)
Jelas-jelas bukan karena dia tidak sabar untuk bermain
game bersamanya.
Jadi Amane tersenyum masam sambil menatap ekor kuda yang
bergoyang.
“... Bagaimana aku mengendalikan ini?”
Setelah makan siang, mereka duduk di sofa didepan TV,
menatap layar.
Amane mencoba bertanya pada Mahiru game apa yang ingin
dia mainkan, tapi begitu Ia tahu kalau Mahiru tidak tahu genre, Ia tidak punya
pilihan selain memilih game 2D yang terkenal secara nasional, dan menyerahkan
controller itu ... seperti yang diharapkan, si Tenshi asal memencet tombol ,
tidak tahu harus berbuat apa.
“Erm, pertama-tama, jika kau ingin bergerak, gunakan
tongkat ini, dan gunakan tombol ini untuk melompat ...”
Mahiru yang biasanya begitu tenang, namun pada titik ini,
dia melihat bolak-balik antara di TV dan pengontrol dengan kebingungan,
mengendalikannya, dan Amane merasa sangat tersembuhkan karena suatu alasan.
Dia tidak terbiasa bermain game, tapi itu adalah pertama
kalinya Amane melihat seseorang bermain begitu santai.
Setelah melihat dia tidak dapat menghindari serangan musuh
beberapa kali dan mati, Amane menyadari bahwa bahkan si Tenshi sendiri memiliki
beberapa hal yang tidak bisa dia kuasai.
“…Aku tidak bisa menang.”
“Kau tidak mengalahkan musuh, apalagi menyelesaikan
permainan.”
“Kamu berisik.”
“Yah, biasakan saja. Ini semua memori otot.”
Semuanya itu tantangan, begitu dia mendengar kata-kata
tersebut, Mahiru berniat untuk memainkan permainan lagi.
Amane merasa sedikit terdorong melihat Mahiru menantang
permainan yang menghibur dengan wajah serius, dan menunjukkan senyum.
Namun, dia selalu kalah dari musuh pertama, dan begitu
Amane melihat bahwa Mahiru tidak pernah berkembang, Ia mulai merasa tidak
nyaman, bukannya bingung.
Mahiru lalu melihat ke arahnya.
Muuuu, Amane bisa mendengar efek suara dari wajahnya, tapi Ia
mungkin terlalu banyak berpikir.
“Ahh lihat, beginilah caramu melakukannya.”
Jika mereka berhenti di sini, motivasinya akan terkuras,
jadi Amane meletakkan tangannya di controller yang dipegangnya, menunjukkan caranya.
Amane sendiri sudah menyelesaikan game ini beberapa kali,
dan dengan mudah menyelesaikan area yang sulit Mahiru taklukkan.
Bahkan, dia benar-benar mengerikan dalam hal ini, dan
bahkan orang biasa tidak akan terjebak di sini ... tetapi Amane hanya
menyimpannya dalam hati.
“Lihat, musuh ini bergerak secara acak dengan kecepatan
yang sama, tetapi begitu kau melihatnya, kecepatannya menuju karaktermu, pada
waktu di sini dan lompat ...”
Amane mengoperasikan controller, hampir menutupi tangan
kecil Mahiru saat membuat beberapa penjelasan, menunjukkan padanya.
Di layar, karakter melakukan seperti yang dijelaskan
Amane, dan menghindari musuh.
Itu bukan langkah yang luar biasa, tapi itu adalah
pengalaman baru bagi Mahiru yang terus gagal, “Woah.” Suara kagumnya
keluar tanpa berpikir.
Mata yang dihiasi alis panjang terlihat melebar,
ekspresinya tampak ceria.
Ketika Amane mengendalikan jarak yang begitu dekat dengan
Mahiru, Ia menemukan bahwa bulu mata bagian bawahnya sangat panjang, dan tersenyum
sedikit ketika Ia melihat Mahiru terlihat sangat gembira.
Ia menatap wajah sampingnya yang cantik, dan Mahiru
mungkin memperhatikan tatapannya, karena dia memalingkan matanya ke arah Amane.
Amane mencondongkan diri padanya, supaya bisa mencapai
controller di tangannya, jadi mereka jauh lebih dekat daripada yang Ia
bayangkan. Siku mereka sudah bersentuhan, dan mereka sangat dekat, Amane
bisa merasakan napasnya melalui kulitnya. Dengan demikian, kehangatan dan aroma
manis Mahiru mencapai dirinya.
“Maaf.”
Begitu Ia menyadari bahwa tangannya menyelimuti tangan
Mahiru, Ia buru-buru menarik tubuhnya kembali, dan barulah kemudian Mahiru
tampaknya menyadari, berkedip beberapa kali, matanya mulai linglung.
“Ti ... Tidak apa-apa. Seharusnya aku yang minta
maaf. ”
Begitu Amane menyadari wajah Mahiru mulai memerah, Ia
merasa menyesal.
Dia tidak mnyukai kontak tubuh, dan betapapun akrabnya
mereka berdua, dia mungkin merasa tidak senang karena tangannya disentuh.
Dia tampak agak malu-malu, namun dia tidak merasa jijik.
“Aku benar-benar minta maaf.”
“Erm, aku benar-benar tidak keberatan, tahu?”
“Kau tidak membencinya?”
“... Tadi memang mengejutkanku, tapi bukannya aku
membencinya. Kamu bukan seseorang yang tidak aku kenal. ”
Tampaknya Tenshi yang murah hati telah memaafkan
kekurangajarannya.
Karena dia memutuskan untuk membiarkan yang sudah
terjadi, Amane merasa lega, dan mereka memainkan permainan lagi.
Kali ini, Ia memutuskan untuk membiarkan Mahiru bermain
sendiri, dan melihat ke arah layar ... hanya untuk melihatnya mati
lagi. Pada saat itu, Ia serius kebingungan bagaimana Ia harus meningkatkan
keterampilan bermain game-nya.
Hasilnya adalah dia berhasil melewati tahap pertama, dan
Amane memutuskan untuk tidak memainkan game ini.
Rasanya tak mengenakan bagi seorang pemula yang terus
mati, jadi Amane berniat untuk mencoba permainan yang berbeda untuk mengurangi
stres.
“Mahiru, kau memiringkan tubuhmu lagi.”
Mereka memutuskan untuk memainkan game balapan, yang
biasa di dunia nyata ... dan Mahiru memiringkan tubuhnya.
Game ini tidak dikendalikan oleh tenaga gyro, dan
pengontrolnya sendiri tidak memiliki sensor gyro.
Seharusnya dia tidak untuk memiringkan tubuhnya ... tapi
mungkin itu adalah tindakan bawah sadar saat dia memiring ke kiri dan kanan
sambil memegang controller.
Dia fokus pada permainan, dan tidak menjawab Amane.
Berbeda dengan game sebelumnya, game ini sepertinya lebih
mudah dimainkan, karena orang-orang belakangan ini tampaknya memiliki lebih
sedikit peluang untuk mengendarai mobil. Keterampilannya mengerikan, tapi
setidaknya, dia bisa bermain.
Dia mengayunkan tubuhnya dengan tatapan yang sangat
serius, mencoba yang terbaik untuk menggerakan mobil.
(Dia benar-benar sangat imut.)
Anehnya rasanya imut melihat Mahiru berguling-guling
seperti orang gemuk, dan ekspresi serius di wajahnya saat dia berjuang untuk
memainkan permainan dengan semua kemampuan yang dimilikinya.
Begitu ada trotoar besar, Mahiru secara alami melompatkan
tubuhnya.
Pomf, begitu Mahiru mendarat di paha Amane, Ia berjuang untuk
tidak tertawa.
“... Sebenarnya, kau tidak perlu menggerakkan tubuhmu,
tahu?”
“Ak-Aku tidak melakukan ini dengan sengaja.”
“Ya, aku tahu itu, tapi kau masih menggerakannya.”
Amane mencoba yang terbaik untuk menghentikan bibirnya yang
bergetar, dan mengangkat Mahiru.
Tapi itu sudah diduga, mengingat betapa halus dan
ringannya dia. Salah satu alasannya adalah dia berbadan mungil, tapi
tubuhnya sangat ramping, Amane merasa itu bisa hancur kapan saja, dan merasa
ragu-ragu apakah Ia harus menyentuhnya.
Mahiru, yang diangkat oleh Amane, gemetaran karena malu
dengan pipinya yang merah.
Dia benar-benar menggemaskan seperti binatang kecil, dan
Amane akhirnya tertawa terbahak-bahak.
“Apa kamu menganggapku bodoh?”
“Tidak, tidak, tidak, aku hanya ingin tersenyum.”
“Jadi kamu menganggapku bodoh.”
“Apa kau pikir aku akan menganggap orang serius sebagai
orang bodoh?”
“Kurasa tidak ...”
“Lihat? Aku hanya menyadari betapa lucunya kau.”
“... Lucu yang kamu maksud pasti mengacu pada bagaimana
kamu ingin tersenyum pada anak kecil, ‘kan.”
Dia tampak cemberut ketika mengatakan ini, dan mungkin benar-benar
tidak senang jika Ia terlalu berlebihan, jadi Amane memutuskan untuk berhenti
mengungkapkan pikirannya pada saat ini.
Kurasa
tidak masalah untuk tidak menunjukkan apa yang aku pikirkan, Amane diam-diam berpikir.
Mahiru tampak sedikit tidak senang, dan ketika Amane
tersenyum padanya, dia berbalik dengan hmph.
zzzz
Ada beberapa situasi di mana si Tenshi nyaris membuat
keributan, tapi begitu dia kembali bermain, dia membuang semua pikiran ini dan
kembali terlihat serius lagi.
Dia mulai terbiasa dengan permainan, setelah terhambat di
awal, dan akhirnya bisa bermain sedikit, mengejar kecepatan.
Itu karena yang dia mainkan adalah permainan yang berbeda
dari yang dia mainkan pada awalnya, permainan mengendalikan mobil.
Dia sering menabrak jalan atau dinding, tapi dia bisa
mendorong mobil ke depan.
Amane khawatir bahwa Mahiru, yang buruk dalam permainan,
akan pergi ke arah yang berlawanan, tetapi dia melakukan lebih baik dari yang
diharapkan, Jadi Ia merasa lega.
Lalu Amane membagi layar menjadi dua, bergabung dalam
permainan, tapi gerakan bawah sadar yang Mahiru lakukan membuatnya sedikit
tidak nyaman.
Dia secara alami memiringkan tubuhnya, terkadang
menempatkan kepalanya di dekat sikunya, dan kemudian berbalik, mengulangi gerakan
tersebut berulang-ulang.
Dan setiap kali itu terjadi, aroma harum akan tercium,
membuat Amane tidak bisa tetap tenang.
Yah, mereka masih berpacu pada kesulitan terendah, jadi
Amane masih terus-terusan menang.
“... Bagaimana kamu cepat begitu?”
“Yah, karena sudah terbiasa.”
Setelah bermain beberapa kali, Ia mengingat jalur, dan
belokan menjadi lebih mudah. Bahkan ketika lawan berusaha menghalangi, Ia
bisa menyesuaikan sudut kameranya atau hambatan untuk menghentikan mereka.
Ia menunjukkan senyum masam sementara Mahiru terlihat
tidak percaya, sebelum kembali ke mode single player.
Mengingat kurangnya pengalaman, Amane merasa dia harus
berlatih lebih banyak di layar lebar. Lebih baik baginya untuk bertanding
melawan NPC daripada bertanding dengannya dan kehilangan kepercayaan.
Untungnya, Masih masih termotivasi, dan terus menatap
monitor dengan serius bahkan dalam mode pemain tunggal
Jika dia terus begini, dia pasti bisa berurusan dengan
NPS, entah bagaimana.
Amane lega melihat statusnya sebagai pekerja keras
diterapkan pada permainan juga, dan terkekeh. Tampaknya Mahiru juga
menyadari hal ini, ketika dia menepak pahanya beberapa kali.
Reaksi lucu Mahiru membuat Amane terkekeh, jadi dia
mengerutkan kening, dan bergumam "Amane-kun
no baka".
zzzz
“Aku menang.”
Setelah dua jam berjuang.
Mahiru menatap tajam pada kata-kata mengkilap yang
menunjukkan kalau dia menempati posisi pertama, dan memandang ke arah Amane
dengan bangga.
Setelah pertempuran panjang melawan TV, dia memenangkan
tempat pertama yang mulia.
Setelah pengalaman yang tak terhitung jumlahnya, dia terus
berdiri di trek balap meski selalu menempati posisi terakhir, perlahan-lahan
meningkatkan peringkatnya, dan akhirnya menang. Tentunya dia benar-benar
tersentuh.
Aku
akhirnya melakukannya, ada ekspresi bangga di wajahnya, dan Amane
sungguh-sungguh bertepuk tangan padanya.
“Itu hebat. Aku menyaksikan kerja kerasmu.”
“Iya.”
Dia senang dipuji, dan tampak malu-malu, ekspresinya yang
biasanya sedikit melembut.
Itu bukan senyum sederhana, tapi senyum penuh
kegembiraan. Senyum yang sangat manis tak terbayangkan dibandingkan dengan
sikap acuh tak acuh yang biasa dia tunjukkan.
Baru-baru ini, wajahnya yang menyendiri akan menunjukkan
ekspresi yang sesuai dengan gadis seusianya, tapi pada hari ini, ekspresi ini
lebih pas dari biasanya, dan benar-benar menggemaskan.
Itu adalah senyum polos dan murni, mengikis kewarasan
Amane, dan keinginan untuk mengelus kepalanya pun muncul.
Pikirannya tanpa sadar memerintahkan lengannya seiring
dengan dorongan untuk mengelusnya seperti anak kucing ... sebelum dia buru-buru
menarik tangan yang tanpa sadar Ia angkat.
“Ada apa?”
“Ah, tidak apa-apa. Cuma berpikir kau bermain terlalu
banyak. ”
“Apa aku sudah membaik?”
“Ya, ya. Jauh lebih baik daripada saat kau baru
mulai.”
“Terima kasih banyak. Aku menikmati diriku sendiri,
dan mulai bekerja keras. ”
Fufu, Mahiru terkekeh, tetapi Amane tidak bisa terus
menatapnya ketika dia mencoba untuk menyamarkan motifnya, mengeluarkan kotak
kecil dari keranjang di lemari.
“Ini hadiahmu karena sudah menang.”
“Eh, erm, tidak perlu untuk itu.”
“Jika kau tidak menginginkan hadiah, anggap saja kau
mendapatkannya dari kakek berjanggut putih gemuk tertentu.”
Ya, itu adalah hadiah Natal yang lupa Amane berikan pada
hari sebelumnya.
Sulit baginya untuk memilih hadiah, mengingat seberapa
dekat hari ulang tahunnya dengan Natal, tetapi Ia kebetulan menyukai sebuah
barang, dan tidak terlalu menderita seperti yang Ia lakukan pada ulang
tahunnya.
Begitu Mahiru mendengar kata-kata hadiah Natal, tampaknya
dia diingatkan bahwa sekarang adalah Natal ketika dia berkedip beberapa kali,
sebelum dengan hati-hati menerima barang tersebut.
Kau
boleh membukanya sekarang, ujar Amane, dan dia
dengan hati-hati membongkar barang itu.
(Yah, ini bukan masalah besar.)
Dia membuka kotak itu, dan perlahan-lahan mengambil kotak
kunci kulit.
Mahiru akan bermasalah jika Amane memberinya barang
mahal, jadi Ia tidak memilih barang bermerek, hanya barang dengan desain
sederhana, sesuai dengan selera Mahiru.
Itu adalah benda sederhana yang diukir dengan bunga dan
tanaman merambat, yang dirancang agar cocok untuk penggunaan
sehari-hari. Amane tidak terbiasa dengan bunga, dan tidak tahu apa yang
diukir, tetapi begitu Ia melihat bentuk yang indah dan merasa itu akan cocok
dengan Mahiru, Ia lalu memilihnya.
“Yah, aku sudah memberimu kunci cadangan. Kau tidak
harus menggunakan ini. ”
“Tidak, aku akan dengan senang hati menggunakan
ini. Kamu punya penglihatan yang lebih tajam dari yang aku duga,
Amane-kun. ”
“Apa maksudmu, lebih darri kau duga?”
“Kamu biasanya mengenakan kaus dan jaket olahraga, jadi
kupikir kamu punya masalah dengan selera fashionmu.”
“Aku tidak punya pakaian praktis lain.”
Lagipula, Amane tidak pernah mendapat kesempatan untuk
menunjukkan dirinya berpakaian, dan Ia akan menghindari hal itu mengingat
betapa repotnya itu. Dengan demikian, satu-satunya mode yang Ia pakai
adalah mengenakan seragam sekolah, dan di rumah yang hangat.
Jadi, Ia mungkin telah memberinya kesan mengerikan
tentang selera busananya, tetapi itu takkan mudah menghilang, karena itu
benar-benar mengerikan.
“... Kamu terlihat tampan saat sedikit
berdandan. Kamu pernah melakukan itu saat kamu masih di SMP, Amane-kun. ”
“Ibu yang memaksaku untuk ... tunggu, bagaimana kau bisa
tahu?”
“Shihoko-san mengirimiku foto, dan bilang『 Anak itu terlihat seperti ini ketika
didandani sedikit 』...”
“Sialan dia.”
Ada saat dimana Ia dipaksa untuk mengenakan pakaian luar
karena pekerjaan ibunya. Amane tidak pernah menyangka dia membocorkan
foto, dan diam-diam menyembunyikan banyak keluhan padanya.
“... Pakaian itu tidak cocok untukku.”
“Benarkah? Aku pikir kamu hanya menghindari tatapan
orang lain dan menyembunyikan matamu di belakang ponimu, Amane-kun, tetapi wajahmu
relatif tampan, kok ...”
Tangan kecilnya terulur ke wajah Amane.
Telapak tangannya yang putih mengangkat poni, dan
menyentuh dahinya, pandangannya menjadi lebih lebar dari sebelumnya.
Sudah lama sejak penglihatannya begitu luas, kecuali saat
memasuki kamar mandi. Matanya memandang ke arah Mahiru, yang tampak
sedikit terkejut.
Amane merasa itu bukan sesuatu yang pantas untuk
dikagetkan, dan meski tidak terlalu tampan, Ia punya wajah yang biasa. Ia
tidak yakin mengapa Mahiru menatapnya.
“…Apa?”
“Bukan apa-apa. Aku hanya menyadari
matamu jauh lebih hidup daripada sebelumnya. "
Beberapa bulan yang lalu, Mahiru pernah mengatakan kalau
matanya tampak mati, dan meski pernyataan itu benar-benar kasar, Ia tidak dapat
menyangkal hal itu. Pada titik ini, dia menatap Amane.
Mana mungkin Ia menjadi lebih tampan semakin dia menatap,
tapi dia terus menatap Amane diam-diam.
Amane merasa tersipu karena ditatap terus-terusan oleh
lawan jenis, terutama gadis yang sangat cantik.
Namun, dIa bukan orang yang menerima hukumannya sendiri,
dan sebagai balasannya, Amane menyambar rambut samping di pipinya Mahiru,
menunjukkan wajahnya yang cantik.
Sementara Ia merasa khawatir menyentuhnya, karena Mahiru
menyentuh rambutnya tanpa berpikir, Ia seharusnya baik-baik
saja. Bagaimanapun, Amane hanya menyentuh kepalanya, dan berharap kalau Ia
aman.
(Tapi seriusan, dia benar-benar cantik.)
Melihatnya sekali lagi, Amane kagum dengan betapa
cantiknya Mahiru.
Dia mungkin jauh lebih cantik daripada wanita cantik di
majalah yang tersebar di sekitar apartemennya, bahkan jauh lebih menarik.
Lagi pula, foto tidak dapat dipercaya.
Mereka hanya mengabadikan momen, dan bisa
diedit. Orang bisa memposting apa adanya, mempercantik, atau bahkan
memalsukannya.
Pada titik ini, kecantikan dan kelucuan Mahiru tidak
berdokumen.
Saat Ia terus menatap wajah cantik yang takkan membuat bosan
ini, pandangan matanya mulai kabur.
Kenapa bisa begitu? Saat Amane keheranan, Mahiru
mulai melepaskan tangannya dari rambutnya, dan melihat ke bawah.
Dia bertingkah gelisah, tampak sangat tidak
nyaman. Dia menurunkan controller-nya, dan mengangkat bantal di
sebelahnya.
“Erm. Baiklah. Aku juga punya hadiah Natal
untukmu.”
“O-oh, terima kasih.”
Sebelum Amane bisa bertanya apa yang sedang terjadi,
Mahiru mengeluarkan barang yang dibungkus dari tas yang dia tutupi di samping.
“Aku akan menyiapkan, makan malam kalau begitu.”
“Eh? A-ah oke ...? ”
Ucap Mahiru, dan bergegas untuk berdiri. Menghadapi perkembangan
yang terlalu cepat ini, Amane kebingungan mengenai apa yang sebenarnya terjadi.
zzzz
Setelah makan malam, Amane mencuci piring, lalu kembali
ke ruang tamu, dan melihat Mahiru menjadi sedikit cemas.
Sementara dia sudah terbiasa duduk di sebelah Amane
baru-baru ini, dia menjadi gelisah. Bahkan selama makan malam, Mahiru
sering mengalihkan pandangannya.
Mahiru tidak memiliki kesadaran tentang dirinya sampai
saat ini. Setelah mengingat apa yang terjadi, Ia merasakan bahwa itu
karena Mahiru membelikannya hadiah. Amane juga gelisah ketika memberi
Mahiru boneka beruang. Mungkin dia penasaran seperti apa reaksinya.
“Berbicara tentang ini, boleh aku membukanya sekarang?”
“Te-Tentu saja, silahkan.”
Amane mengangkat hadiahnya dari meja, dan Mahiru tergagap
sedikit, tapi dia mengangguk.
Aku
kira dia benar-benar gugup memberikan hadiah, jadi
Amane menyimpulkan, dan membuka pita.
Hadiahnya tidak terlalu berat, dan Ia bisa merasakan itu
terbuat dari kain, tetapi Ia tidak pernah menyangka itu akan menjadi kain
dengan pola zigzag yang monoton.
Apa ini, Amane bertanya-tanya saat Ia membentangkannya,
dan mengerti tujuannya.
“Syal?”
Barang lembut dan halus yang harus dililitkan di leher
supaya tetap hangat.
“... Kamu tidak peduli dengan penampilanmu, Amane-kun, dan
kamu selalu terlihat dingin.”
“Memang sangat praktis. Terasa lembut saat disentuh
juga. ”
“Sentuhan itu penting, karena kamu akan sering
menggunakan ini.”
Dia mungkin benar, karena kualitas barangnya
bagus. Dia tidak akan berhemat hanya untuk menghemat uang, dan lebih suka
membeli sesuatu yang berkualitas lebih tinggi untuk digunakan dalam jangka waktu
yang lebih lama. Apa pun yang dia pilih akan bagus.
Amane pun menyentuhnya, dan merasa nyaman. Itu
halus, sangat halus bahkan untuk mereka yang punya alergi kulit, dan pasti akan
merasa enak.
Ia terkesan dengan bagaimana Mahiru memilih sesuatu yang
cocok dengan kualitasnya ketika memandang ke arahnya, yang balik menatap dengan
tegang, dan mengguncang syal.
“Boleh aku memakai ini?”
“Aku sudah memberikannya padamu, Amane-kun. Pakailah.
”
“Baiklah.”
Setelah mendengar jawaban itu, Ia menunjukkan senyum
masam saat menerima niat baiknya, lalu melilitkan syal di lehernya.
Karena betapa kurus lehernya, Amane bisa merasakan
kainnya. Rasanya lembut, tidak mengiritasi kulit, membiarkan aliran udara,
dan membuatnya hangat, lalu menghangatkan pipinya.
Efeknya tidak terlalu bila di dalam ruangan, tapi Ia pasti
bisa merasa hangat jika mengenakannya di luar ruangan.
“Ya, ini benar-benar hangat.”
“Syukurlah.”
Amane menunjukkan senyum ramah, dan Mahiru tampak lega
karena dia juga ikut tersenyum.
Baru-baru ini, Mahiru sering menunjukkan berbagai jenis
senyum, dan Amane secara tidak sengaja menatap senyumnya yang cantik.
(... Bila melihatnya sekarang, dia benar-benar seorang
Malaikat (Tenshi).)
Bukan karena senyum yang dia tunjukkan di sekolah tidak
seperti senyum Tenshi, tetapi senyum tulus yang diperlihatkannya jauh lebih
memikat.
“A-Ada apa?”
Mahiru sepertinya menyadari kalau Amane menatapnya,
matanya melihat kesana-kemari saat menanyakan itu.
“Tidak, rasanya ekspresimu jauh lebih lembut ketimbang saat
kita pertama kali bertemu.”
“…Benarkah?”
Aku tidak pernah menyadari ini, Itulah yang tersirat saat
dia melebarkan matanya, menepuk wajahnya. Amane lalu tersenyum.
“Ya, lebih seperti kau jauh lebih galak sebelumnya, sama
sekali tidak lucu,”
“Maaf karena tidak lucu.”
“Jangan cemberut begitu ... yah, aku pikir kau jauh lebih
baik dari sebelumnya. Seperti, kau memiliki senyum yang imut, sayang
sekali. ”
Amane sudah tahu kalau Mahiru punya penampilan cantik
yang luar biasa, tapi perbedaan ekspresi akan memberikan kesan yang berbeda.
Senyum ala Tenshi di sekolah hanya untuk dilihat,
kecantikan yang rapuh dan tak tersentuh.
Ekspresi dingin yang Amane lihat pertama kali darinya
adalah kecantikan yang paling tidak dapat didekati dan berduri.
Pada titik ini, dia menunjukkan senyum lembut dan polos
yang sesuai dengan wajahnya, yang akan mengumpulkan keinginan untuk menyentuh,
untuk disayangi.
Begitu Amane memikirkan perubahan kecil yang terjadi ketika
mereka semakin dekat, Ia merasakan sesuatu yang gatal merangkak naik ke
dadanya, dan menyerang pipinya.
“Aku senang kau sekarang bisa tersenyum secara alami
seperti ini, dan terbiasa dengan itu ... apa yang sedang kau lakukan?”
Tanpa Ia sadari, pandangannya tertutupi oleh sebuah
objek.
Ketika sedang berbicara, untuk suatu alasan, Mahiru
mengambil syal longgar di lehernya dan menutupi matanya. Amane benar-benar
bingung mengapa dia melakukan ini, rasa penasarannya masih besar.
Untungnya, dia hanya mengangkat syalnya dan tidak
mengencangkannya, jadi Amane tidak menderita. Namun, nafas yang hangat
membuatnya sedikit panas.
“... Tolong jangan katakan apa-apa lagi.”
“Apa, apanya?”
“…Bukan apa-apa.”
Karena matanya terhalang tanpa alasan, Amane meraih
tangan yang memegang syal, dan menariknya ke bawah. Kemudian, Ia mulai
melihat warna rami dalam visinya yang melebar.
Saat mendongak, Ia melihat tubuh Mahiru gemetaran dan
pipinya memerah seperti tomat.
Meskipun dia tidak terlalu merah, tapi ada merah menyala
padanya. Begitu dia melihat Amane, pipinya jadi tambah memerah.
Kenapa begitu— Amane bertanya-tanya, dan hanya ada satu
alasan yang bisa Ia pikirkan.
“…Apa kau merasa malu?”
“Berisik.”
Mendengar pertanyaan Amane, Mahiru langsung memalingkan
wajahnya. Dia masih sangat galak, begitu pikir Amane, dan tertawa
terbahak-bahak.
“Aku akan pergi mencari udara segar.” Gumam Mahiru,
dan pergi ke beranda.
Amane melihat ke jendela, dan menemukan kepingan salju
jatuh persis seperti yang mereka lakukan pada hari sebelumnya, tapi dia tidak
keberatan saat dia keluar.
Udara dingin bertiup ke arah Amane.
Jendela ditutup, menutup udara luar, tapi udara dingin
yang tersisa akan membuatnya menggigil jika Ia tidak siap.
Meski begitu, Mahiru tetap pergi ke beranda, dan Amane
menghela nafas.
Tak masalah baginya untuk malu dan melarikan diri, tapi
dia harus mengenakan sesuatu yang hangat. Pakaian yang dia kenakan lebih
seperti mode, baik untuk keperluan di dalam ruangan, atau disertai dengan
jaket. Tentunya, tubuh mungilnya akan menggigil bila berada di luar.
Astaga, jadi Amane mengumpat, dan mengambil selimut yang
tergeletak di sofa.
Salju terus turun, dan itu akan membunuh dirinya bila
terus tinggal di luar begitu lama sementara berpakaian yang sangat tipis.
Amane mengenakan mantel saat Ia pergi ke beranda,
meletakkan selimut di pundak Mahiru. Orang yang dikasih selimut kemudian
memutar kepalanya tiba-tiba.
“Kau boleh keluar dan mencari udara segar, tapi jangan sampai
masuk angin.”
“... Itu kata-kataku, bukan?”
Tampaknya dia sudah agak tenang, dan menjawab dengan
ekspresi dan sikapnya yang biasa. Namun, ada rasa sebal dalam jawabannya.
Dia mengisyaratkan pada percakapan pertama mereka.
“Hmm ... yah, karena aku tidak mandi air hangat, dan menjadi
ceroboh di sana.”
“Hangatkan tubuhmu dengan benar pada saat kamu basah
kuyup karena hujan. Aku akan mendepakmu ke bak mandi jika itu terserah aku.”
“Apa kau ini ibuku?”
Ketika Mahiru mengatakan sesuatu yang mengingatkan
ibunya, Ia berdecak ketika mengingat pertemuan mereka.
Pertemuan itu terjadi ketika musim gugur mulai dingin, mungkin
pertengahan Oktober. Suhunya jauh lebih dingin daripada di kota asalnya,
jadi Ia ceroboh, dan tidak pernah menyangka dirinya berbaring di tempat tidur
dalam keadaan demam hanya karena basah kuyup.
Dan, yang paling tidak terduga adalah Mahiru yang merawatnya.
“... Omong-omong, sudah dua bulan berlalu sejak
percakapan itu terjadi, ya.”
“Ya . Apartemenmu benar-benar kotor saat itu,
Amane-kun ... tidak, ini bukan ingatan yang baik, namun tetap saja itu bagian
dari kenangan. ”
“Berisik. Kita sudah membersihkannya sekarang, ‘kan?
”
“Memangnya itu berkat siapa?”
“Terima kasih banyak, Mahiru-sama. Aku ingin
langsung bersujud demi mengungkapkan rasa terima kasihku.”
“Sudah kubilang jangan, serius.”
Dulu, rasanya sulit dipercaya untuk berpikir bahwa mereka
bisa membuat lelucon seperti itu. Sedikit waktu berlalu, dan itu relatif
baru, tapi ada banyak hal yang terjadi selama dua bulan terakhir, dan waktu
tampaknya berlalu dengan cepat.
Mereka berdua terdiam, dan ada keheningan di sekitar
mereka.
Salju sudah mulai turun sejak hari kemarin, dan berhenti
sejenak. Pada titik ini, kepingan-kepingan putih itu terus melayang pelan di
langit, melapisi rumah-rumah di sekitarnya dengan warna putih.
Terdengar beberapa mobil yang berdengung, karena itu
adalah area perumahan, dan juga Natal. Amane bisa mendengar beberapa lagu
Natal dari beberapa rumah lain, tetapi tidak ada yang terlalu berdengung di
sana.
Haa, Mahiru menghela udara putih, dan itu terdengar lebih
keras dari mereka.
“... Rasanya aneh karena suatu alasan.”
Orang yang memecah keheningan singkat ini adalah suara
Mahiru;
“Awalnya, aku penasaran orang seperti apa kamu ini.”
“Yah, tentu saja kau merasa penasaran, Mahiru. Aku
mendorong payung padamu, jadi tidak heran kau merasa curiga ... dan sekarang?”
“…Aku tidak tahu. Mungkin kamu hanya seseorang yang
perlu diurus. ”
“Kau tidak salah.”
Dia tidak memberikan jawaban yang jelas, dan memalingkan
muka. Amane tersenyum ke arahnya, dan bersandar pada pegangan beranda.
“... Aku juga tak pernah menyangka bahwa kita akan
memiliki hubungan baik untuk makan bersama. Sebenarnya, aku pikir kau
hanya sosok yang cuma bisa dipandang dan dikagumi. Tidak mengira kita akan
terlibat begini. ”
“Jadi, kamu mengakuinya, meskipun aku sudah tahu.”
Inilah
sebabnya aku percaya padamu, dia menyindir, dan Amane
menggeleng sambil tersenyum.
Ia tahu bahwa itu karena Ia tidak tertarik pada Mahiru
maka dia menerimanya. Dan sebaliknya pula juga begitu.
“Tapi yah, aku pikir itu bagus untuk saling mengenal
begitu lama. Kebiasaan hidupku jadi meningkat, aku bisa makan makanan lezat,
dan bisa bergaul denganmu. ”
“…begitukah.”
“Aku benar-benar merasa bersyukur selama dua bulan
terakhir. Terima kasih.”
Tidak ada kepura-puraan dalam ucapan syukur ini.
Berkat Mahiru, Ia meningkatkan standar hidupnya, dan
benar-benar menikmati setiap waktu makan. Selain itu, dia orangnya
blak-blakan, dan Amane merasa nyaman saat berbicaa dengannya. Itu menjadi
kepuasan sehari-hari.
Ketika Amane sesekali menggoda Mahiru, reaksinya lucu,
dan I tidak merasa bosan dengan itu.
(Dia lebih sering tersenyum belakangan ini.)
Ia barusan berpikir bahwa Mahiru menunjukkan lebih banyak
emosi, dan menggelitik keinginannya untuk memanjakan. Tentu saja, Ia tidak
bisa melakukan itu, tapi Amane merasa tersembuhkan hanya dengan melihat itu.
Begitu dia mendengar kata-katanya, Mahiru membelalakkan
matanya, dan kemudian menunduk ke bawah.
Orang merasa kebingungan ketika melihat pipinya memerah
karena kedinginan, atau malu.
“Aku juga sama, terima kasih banyak.”
“Tapi aku tidak pernah melakukan apa pun.”
Orang mungkin mengatakan bahwa Amane sudah diurus terus
oleh Mahiru, tetapi dia perlahan menggelengkan kepalanya, menyangkal gagasan
itu.
“... Aku berterima kasih padamu, Amane-kun, dengan cara
yang tidak kamu ketahui.”
“Hmm ... tapi yah, saling berterima kasih pasti terasa
seperti suasan akhir tahun. Yah, kita akan memasuki suasana akhir tahun
besok, jadi itu tidaklah aneh. ”
Entah kenapa, mereka berdua mulai saling berterima
kasih. Masih ada 6 hari lagi sampai Tahun Baru, cukup dekat.
Begitu Mahiru mendengar kata-kata akhir tahun, dia
mengedipkan matanya, dan tersenyum dengan sungguh-sungguh.
“Fufu, ya ... ini sedikit lebih cepat, tapi tolong jaga
aku lagi di tahun mendatang.”
“... Ahh, tolong lakukan hal yang sama di tahun depan
juga.”
Begitu Amane mendengar permintaan ini , dia mengangguk, dan
tersenyum sama seperti dia. “Di sini mulai dingin. Kita harus
kembali.” Pinta Mahiru, dan berbalik untuk membuka jendela menuju ruang
tamu.
Udara dingin menyebabkan telinganya mulai memerah, jadi
lebih baik bagi Amane juga untuk kembali ke dalam apartemen sebelum masuk angin.
(... Kurasa aku memang menyukai gaya hidup seperti ini.)
Dan itulah mengapa hatinya terasa sangat hangat.
Amane mengikuti Mahiru ke dalam ruangan, menatap rambut
berwarna rami yang bergoyang, dan bibirnya menyungging.
Tampaknya untuk selanjutnya, Ia akan terus bergaul dengan Malaikat (Tenshi) di sebelah apartemennya.
Baca novel gini emang bikin adem ayem
BalasHapusIlustrasinya itu loh, ahhh sini tukeran biar bisa gue peluk tuh tenshi. Anehnya gue tidak bisa berpikiran senonoh
BalasHapusSama g bisa berpikir yg engga2, mungkin krna trlalu adem LNnya
BalasHapusBersyukur banget, gaya bahasa translate nya enak dan nyaman untuk dibaca. Thanks admin
BalasHapusSama-sama, mimin ikutan senang kalo hasil terjemahan mmin disukai para pembaca.
BalasHapusHuh https://uploads.disquscdn.com/images/ad5338d4e0ae6469850947635b9777c6153db1fee980a9404c09fe2c4cebe9a4.jpg
BalasHapus