Otonari no Tenshi-sama Vol.1 Chapter 2 Bahasa Indonesia

Chapter 02 – Demam dan Perawatan sang Tenshi

 

“Amane, hidungmu berisik.”

“Kau yang berisik."

Keesokan harinya, Amane kena masuk angin.

Teman sekelasnya, dan terutama, teman buruk Itsuki Akazawa mengeluh tentang Amane, yang ingin mendengus kembali, namun gagal.

Sebaliknya, Ia jadi meler ketika mencoba bernapas melalui hidung, menyebabkan suaranya jadi sengau.

Ia merasa sangat tidak sehat, dan kepalanya terasa pusing, entah karena hidungnya tersumbat, atau karena hawa dingin yang menyebabkannya.

Ia sudah minum obat demam, tapi tetap berakhir seperti ini, tidak mampu menurunkan demamnya sama sekali.

Ahhh, wajahnya berkerut saat hidungnya menemani tisu itu lagi. Itsuki khususnya tampak lebih tercengang ketimbang khawatir.

“Bukannya kemarin kau sehat-sehat saja?”

“Kemarin kehujanan.”

“Apa kau baik-baik saja? Kau tidak membawa payung kemarin?”

“... Aku pinjami ke seseorang.”

Tentu saja, Ia tidak bisa menyebutkan bahwa Ia meminjamkannya ke Mahiru, jadi Ia hanya membalas dengan kata-kata ambigu dan menepisnya.

Di samping itu, Ia menemukan Mahiru di sekolah tampak baik-baik saja dan energik. Itu menggelikan baginya, terutama ketika Ia sendiri orang yang menyerahkan payung padanya.

Tapi Ia benar-benar pantas menerima ini, karena Amane tidak mandi air panas sesudahnya.

“Tapi seriusan deh, minjamin payung ke orang padahal hujannya deras begitu? Bukannya kamu terlalu baik jadi orang?”

“Tidak seperti aku punya pilihan. Aku hanya meminjamkannya kepada orang lain.”

“Kau pinjamkan kepada siapa sampai kau rela mengambil risiko masuk angin?”

“... Anak yang tersesat?”

Yah, itu lebih baik daripada mengatakan seseorang dengan tubuh seperti anak kecil, tapi kenyataannya, Mahiru memang satu angkatan dengan Ia.

(...... Ahh, begitu. Dia memang terlihat seperti anak yang tersesat.)

Hanya ketika Ia mengatakan begitu Amane baru menyadari apa itu.

Saat itu, ekspresi Mahiru tampak seperti anak yang tersesat yang mencari orang tuanya.

“Kau memang cowok yang baik.”

Itsuki tidak tahu apa-apa tentang perasaan Amane, yang terakhir memikirkan Mahiru, dan terkikih menggoda.

“Yah, aku tidak tahu kepada siapa kau meminjamkan payungmu, tapi kau hanya mengelap tubuhmu dan tidak mandi air hangat, ‘kan? Itu sebabnya kau masuk angin.”

“…Bagaimana kau bisa tahu?”

“Siapa pun bisa tahu betapa sedikitnya kau mempedulikan dirimu hanya dengan melihat rumahmu.”

Itu sebabnya kau jadi masuk angin, bodoh. Begitu Ia diberitahu, Amane hanya bisa terdiam.

Seperti yang Itsuki katakan, Amane tidak terlalu peduli dengan situasinya sendiri.

Tepatnya, Ia tidak pandai bersih-bersih, dan kamarnya berantakan. Ia biasanya makan bekal dan suplemen dari toko-toko di luar.

Dan kau bilang sendiri kalau kau tinggal sendirian, ujar Itsuki menatap dengan keheranan.

Bagi Itsuki, tak heran Amane masuk angin ketika gaya hidupnya terlalu lalai.

“Cepat pulang dan beristirahatlah. Sebentar lagi akhir pekan. Semoga cepat sembuh.”

“Yeah…”

“Akan menyenangkan jika kau punya pacar yang bisa merawatmu.”

“Kau berisik. Dan kau punya pacar. Jadi tutup mulutmu.”

Itsuki tersenyum bangga, dan Amane mengulurkan tangannya ke kotak tisu dengan jengkel.

 

zzzz

 

Waktu pun berlalu, dan kesehatan Amane semakin memburuk.

Gejala demam yang dideritanya adalah sakit kepala dan pilek, tapi sekarang mereka disertai dengan sakit tenggorokan dan kelelahan, yang mendominasi tubuhnya. Sepulang sekolah, Ia melihat ke depan ketika Ia bergegas pulang, tetapi ternyata demamnya lebih buruk dari yang Ia kira, jadi langkahnya terasa sangat berat.

Meskipun begitu, Ia berhasil sampai ke pintu masuk apartemen, menyeret kakinya yang berat ke dalam lift, lalu Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding.

Haa, Ia mendapati dirinya bernafas lebih tidak menentu daripada sebelumnya, suhu tubuhnya terasa lebih panas.

Amane berhasil bertahan di sekolah entah bagaimana, tapi Ia mungkin merasa lebih santai ketika berada di dalam rumah, tubuhnya terasa berat.

Ia biasanya tak masalah dengan kurangnya gravitasi di dalam lift, tapi hal tersebut menjadi menyakitkan baginya.

Namun demikian, Ia hampir mencapai ruangan apartemennya.

Lift berhenti di lantai apartemennya, dan Ia perlahan keluar, menyeret kakinya, lalu Ia membeku di tempat.

Di depan matanya ada seorang gadis dengan rambut berwarna rami, yang Ia anggap takkan pernah diajak bicara lagi.

Penampilannya yang menggemaskan penuh dengan kehidupan, kulitnya terlihat bagus.

Siapa pun akan menganggap bahwa dialah yang terkena flu, tapi kenyataannya, dia masih baik-baik saja. Mungkin itu karena dia biasanya merawat dirinya dengan baik sehingga ada perbedaan besar di antara mereka berdua.

Tangan Mahiru memegang payung yang terlipat rapi yang telah Ia pinjamkan padanya kemarin.

Padahal Amane sudah membertahu untuk tidak perlu mengembalikannya, tapi dia malah tetap melakukannya.

“... Kau tidak perlu mengembalikannya.”

“Tapi aku harus mengembalikan apa yang telah aku pinjam ...?”

Kata-katanya langsung berhenti, karena Mahiru melihat wajah Amane.

“Erm. Apa kamu, kena  demam ...?”

“... Ini tidak ada hubungannya denganmu, ‘kan?”

Dia muncul pada waktu yang paling buruk, jadi Amane mengerutkan keningnya.

Sederhananya, tidak masalah apakah payung itu dikembalikan atau tidak.

Tapi ini bukan saat yang tepat bagi mereka untuk bertemu. Dia cerdas, dan bisa dengan mudah menentukan alasan mengapa Amane kena masuk angin.

“Tapi itu karena aku meminjam payung ...”

“Memang. Tapi itu tidak ada hubungannya dengan ini. “

“Itu benar. Aku ada di sana, jadi kamu masuk angin. ”

“Tidak apa-apa. Kau tidak perlu khawatir. “

Amane tidak ingin orang lain merasa khawatir hanya karena Ia melakukan sesuatu atas kepuasan dirinya.

Namun ternyata Mahiru takkan membiarkannya hanya dengan beberapa patah kata saja. Wajah cantiknya jelas-jelas menunjukkan kekhawatiran.

“…Cukup. Sampai jumpa.”

Amane merasa tidak nyaman untuk ditanyai, jadi Ia memutuskan untuk melarikan diri dari pertanyaan dan kekhawatirannya.

Tersandung, dia menerima payung, dan merogoh sakunya untuk mencari kunci ... yah, Ia baik-baik saja sampai saat ini.

Saat Amane membuka pintu dengan susah payah, Ia tiba-tiba kehilangan tenaga.

Ia mungkin lengah, karena ketika Ia hampir memasuki rumahnya, tubuhnya jadi tersandung.

Uh oh, pikirnya, tapi pagar di koridor itu benar-benar kokoh, dan tidak akan rusak hanya dari sedikit benturan. Itu cukup tinggi, dan mustahil Ia bisa jatuh di luar. Rasanya sedikit menyakitkan karena menabraknya, tapi itu sudah diduga …... jadi Amane menguatkan diri.

Tapi lengannya tiba-tiba ditarik, dan Ia berhasil menyesuaikan postur tubuhnya.

“... Aku tidak bisa meninggalkanmu sama sekali.”

Suara lembut itu memasuki kesadarannya yang agak pingsan.

“Aku akan membalas budi.”

Kepalanya terasa kabur, mungkin karena suhu tubuhnya yang panas, dan Ia tidak bisa memahami kata-katanya.

Karena sebelum Ia bisa memahaminya, Mahiru menyeret tubuh Amane yang lemas, dan membuka pintunya.

“Aku akan masuk. Tolong maafkan aku, tapi aku harus melakukannya.”

Suara tenang tersebut menuntut tidak boleh ada penolakan ..

Amane, yang terkena demam, membiarkan dirinya terseret tanpa perlawanan; itu adalah pertama kalinya dia dibawa pulang oleh seorang gadis seummrannya.

Sementara Ia tidak punya pacar untuk merawatnya saat Ia sakit, tampaknya ada Tenshi yang merawatnya.

 

zzzz

 

Baru kemudian Ia menyesal membiarkan Mahiru masuk, panasnya yang membara membuatnya menyadari terlambatnya situasi di rumahnya sendiri; atau lebih tepatnya, ketika Ia melihat kenyataan di depannya.

Apartemen tempat tinggal Amane adalah 1SLDK.

Ruang tamu yang luas, satu kamar tidur, dan ruang penyimpanan, ruang mewah baggi orang yang tinggal sendirian. Karena orang tuanya cukup mapan, setelah mempertimbangkan keamanan dan kenyamanan transportasi, Ia memutuskan untuk tinggal di sini.

Orang tuanya lah yang menuntut agar Ia tinggal di sini, dan Ia baik-baik saja dengan itu karena Ia sendiri yang meminta untuk tinggal sendirian. Meski begitu, Ia merasa tidak perlu menghabiskan banyak uang. Amane benar-benar tidak bisa menangani apartemen sebesar itu sendirian.

Kesampingkan hal itu, sementara Amane tinggal sendirian, Ia adalah anak lelaki yang tidak pandai dalam hal bersih-bersih rumah.

Tak perlu dikatakan, ruang tamu, dan bahkan kamar tidurnya sangatlah berantakan.

“Ini benar-benar tidak sedap dipandang.”

Sang Tenshi, atau lebih tepatnya, sang penyelamat, tidak berbasa-basi pada Amane meskipun memiliki penampilan yang menggemaskan.

Itu benar-benar mengerikan, dan Amane tidak membantah komenan Mahiru. Jika Ia tahu ada orang lain yang akan datang, Ia akan membereskan beberapa barang, tetapi sudah terlambat untuk itu.

Bibir cerah Mahiru menghela napas, tapi dia tidak kembali, dan malahan memindahkan Amane ke kamar tidur.

Dalam perjalanan ke sana, mereka berdua hampir tersandung. Amane sendiri dengan susah payah menyadari bahwa sebagai orang yang membuat apartemennya sangat berantakan, akan menjadi buruk jika Ia tidak membersihkannya.

“Aku akan pergi sebentar. Ganti bajumu sebelum aku kembali. Itu seharusnya tidak susah, ‘kan? ”

“... Kau akan kembali lagi ke sini?”

“Aku tidak bisa tidur nyenyak kalau meninggalkan orang sakit di tempat tidur.”

Amane memiliki pemikiran yang sama ketika Ia melihat Mahiru basah kuyup, dan Ia tidak mengatakan apa-apa tentang itu.

Begitu Mahiru meninggalkan kamar, Amane menuruti apa yang diperintahkan, mengganti seragamnya dengan pakaian santai.

“Tempat ini sangat berantakan sampai buat jalan saja susah ... bagaimana Ia hidup dengan ini ...”

Amane mendengar gumaman yang gelisah saat berganti pakaian, dan merasa benar-benar minta maaf.

 

zzzz

 

Begitu Amane selesai ganti baju, Ia pun berbaring, dan tampaknya tertidur. Setelah Ia membuka kelopak matanya yang berat dengan susah payah, hal pertama yang Ia lihat adalah rambut berwarna kastanye.

Melihat rambut tersebut, dia menemukan Mahiru berdiri di sana, menatapnya, dan tampaknya itu bukan mimpi.

“…Jam berapa sekarang?"

“Jam 19:00. Kamu tidur beberapa jam.”

Mahiru menjawab dengan singkat, dan tepat ketika Amane duduk, dia menyerahkan secangkir minuman isotonik.

Merasa berterima kasih, Amane membawa cangkir itu ke mulutnya, dan akhirnya bisa melihat ke sekeliling.

Ia mendapati dirinya merasa sedikit lebih baik, mungkin karena sehabis tidur siang.

Dan kemudian, Ia menyadari bahwa kepalanya sedikit dingin. Ia menyentuhnya, dan merasakan sesuatu seperti kain di ujung jarinya, meski agak keras.

Ada selembar pendingin yang ditempelkan padanya, yang mana takkan mungkin ada di ruangan apartemennya, dan setelah memperhatikan itu, Ia menolehkan kepalanya ke arah Mahiru, "Aku membawanya dari ruanganku." Balasnya dengan singkat.

Ruangannya tidak memiliki lembaran pendingin atau minuman isotonik. Tampaknya dia membawa minuman isotonik ke sini.

“... Terima kasih sudah membawanya ke sini.”

“Tidak”

Jawabannya membuat Amane tersenyum lembut.

Kemungkinan besar, Mahiru merawatnya karena rasa bersalah, dan bukannya dia ingin berbicara dengan Amane. Bagaimanapun juga, mustahil untuk berbicara secara intim ketika dia berada di rumah cowok yang baru saja dia temui.

“Ngomong-ngomong, aku menaruh obat di atas meja. Sebaiknya jangan dikonsumsi dengan perut kosong. Apa kamu masih punya nafsu makan?”

“Hm, lumayan ada.”

“Begitu. Aku membuat bubur, jadi silahkan dimakan itu. ”

“... Eh, kau yang membuatnya, Shiina?”

“Terus siapa lagi? Aku akan memakannya jika kamu tidak mau.”

“Tidak, tidak, aku akan memakannya. Tolong, biarkan aku memakannya.”

Ia tidak pernah menyangka dia mau merawatnya, dan bahkan membuat bubur. Amane sedikit tersipu.

Sejujurnya, keterampilan memasak Mahiru masih tidak diketahui olehnya, tetapi Amane tidak pernah mendengar desas-desus tentang Mahiru yang gagal di pelajaran tata boga, jadi mungkin rasanya tidak terlalu buruk.

Amane segera menundukkan kepalanya, meminta untuk memakannya, dan Mahiru menatapnya dengan tatapan kosong, tetapi dia mengangguk ketika dia menyerahkan termometer di meja samping.

“Aku akan membawanya. Ukur suhu badanmu.”

“Baik.”

Ia melakukan apa yang dikatakannya, membuka kancing kemejanya, dan mengambil termometer. Pada saat itu, Mahiru langsung membuang muka.

“Tolong lakukan itu saat aku tidak berada di ruangan ini.”

Dia terdengar agak kalut, dan bila dilihat dari dekat, wajahnya sedikit memerah.

Amane merasa aneh, karena anak cowok tidak perlu menyembunyikan dada mereka, tidak seperti para gadis. Mungkin Mahiru tidak tahan terhadap warna kulit, bagi dirinya yang buru-buru membuang muka saat Ia membuka kancing kemejanya.

Wajah putihnya diwarnai dengan warna memerah, wajahnya masih melihat ke samping saat dia menggigil. Semua orang pasti penasaran apakah itu cum aperasaan Amane, tapi telinga Mahiru juga ikut memerah, menunjukkan betapa malunya dia.

(... Ahh, aku mulai mengerti mengapa mereka semua mengatakan kalau dia itu sangat imut.)

Amane juga merasa bahwa Mahiru adalah gadis yang cantik, tetapi tidak lebih. Tidak diragukan lagi kalau dia cantik dan imut, tapi itu saja kesan Amane.

Dia cantik seperti maha karya. Kesan yang dia berikan mirip dengan karya seni.

Tapi pada titik ini, Mahiru menunjukkan sedikit rasa malu, membuatnya tampak sedikit lebih manusiawi, dan anehnya, menggemaskan.

“... Kalau begitu cepat dan ambil buburnya?”

“Ak-Aku akan melakukannya tanpa kamu beritahu.”

Hubungan mereka tidak cukup dekat baginya untuk menyatakan dengan jelas betapa lucunya dia, dan Mahiru akan menganggapnya aneh, jadi Ia mengubur diam-diam kesannya.

Begitu dia mengatakan itu dengan tidak tertarik, Mahiru terhuyung keluar ruangan.

Dia agak lambat, mungkin goyah, atau mungkin karena ruangan itu terlalu berantakan. Mungkin alasan terakhir lebih masuk akal.

Ketika Ia menyaksikan Mahiru pergi dengan linglung, Amane menghela nafas, bertanya-tanya bagaimana bisa menjadi seperti ini.

(... Yah, kurasa itu karena rasa tanggung jawab dan rasa bersalah.)

Seorang gadis biasanya takkan memasuki rumah seorang cowok yang tidak dikenal hanya untuk merawatnya. Semuanya akan menjadi buruk jika dia diserang.

Namun, Mahiru melakukannya meskip ada risiko begitu, jadi sepertinya dia merasa sangat bersalah. Amane jelas-jelas tidak menunjukkan minat padanya, dan karena alasan inilah yang membuatnya lega.

Bagaimanapun juga, tak diragukan lagi bahwa Mahiru mulai merawatnya karena keadaan dan rasa hutang budi.

“... Aku sudah membawanya.”

Sementara Amane memikirkan hal-hal seperti itu di kepalanya yang sedikit demam, Mahiru mengetuk pintu dengan ragu-ragu.

Sepertinya Mahiru tidak segera masuk, khawatir bahwa Ia tidak berpakaian lengkap. Amane kemudian ingat bahwa Ia melonggarkan bajunya untuk mengukur suhu tubuhnya.

“Aku belum selesai mengukur suhu tubuhku.”

“Maksudku, kamu harus mengukur suhu tubuhmu saat aku tidak ada...”

“Maaf, aku melamun tadi.”

Ia meminta maaf, meletakkan termometer di bawah ketiaknya, dan segera mendengar suara elektronik yang membosankan.

Hiii, Ia lalu mengeluarkannya, dan termometer menunjukkan angka 38,3 ° C. Tidak cukup buruk sampai harus dirawat di rumah sakit, tetapi itu relatif tinggi.

Amane memakai bajunya lagi, "Masuklah." dan memberi tahu Mahiru yang belum masuk. Dia dengan hati-hati masuk dengan membawa nampan.

Dia jelas terlihat santai, karena dia akhirnya mengenakan pakaiannya.

“Suhumu?”

“38,3 ° C. Aku akan sembuh bila minum obat dan tidur.”

“... Obat yang dijual di toko-toko kebanyakan berurusan dengan gejalanya, dan bukan virus itu sendiri. Beristirahatlah dengan baik dan biarkan sistem kekebalanmu bekerja.”

Ketika Ia sedang dicela, Amane tahu bahwa Mahiru hanya menunjukkan kekhawatirannya, dan merasakan sedikit gatal di hatinya.

Ya ampun, ucap Mahiru menghela nafas sambil meletakkan mangkok dan nampan di meja samping, lalu membuka tutupnya.

Isinya ada bubur dengan prem. Buburnya sendiri tidak terlalu kental, mengingat beban di perutnya, dan ada banyak air, perbandingan antara air dan nasinya mungkin sekitaran 7: 1.

Tampaknya tambahan buah prem bukan untuk rasa, melainkan karena punya khasiat baik untuk pilek.

Tidak ada uap yang mengepul, tapi masih ada kehangatan, yang menunjukkan bahwa itu tidak dibuat beberapa saat yang lalu, tetapi sengaja didinginkan sesudahnya.

Sementara Amane menatap bubur tersebut, Mahiru mengabaikannya saat dia menyajikan bubur itu ke dalam mangkuk. Potongan-potongan buah prem itu tersebar dengan lembut di dalamnya, biji-bijinya dikeluarkan dengan hati-hati, daging merah tercampur sedikit menjadi putih.

“Ini. Mungkin tidak panas lagi.”

“Nn, terima kasih.”

Amane menerimanya, lalu menyedok dengan sendok, dan menatapnya. Mahiru terkejut melihat gerakannya.

“... Apa, apa kamu ingin aku menyuapimu? Aku tidak menyediakan layanan yang seperti itu.”

“Tidak ada yang meminta itu …... tidak, aku hanya berpikir bahwa kau tahu cara memasak.”

“Siapa pun yang tinggal sendirian pasti bisa melakukannya.”

Bagi Amane yang tidak pernah bisa menjalani kehidupan yang layak, kata-kata itu sangat menusuk hatinya.

“Fujimiya-san, sebelum kamu memasak, bersihkan kamarmu.”

“Itu juga.”

Tampaknya Mahiru agak tahu apa yang dipikirkan Amane saat dia melanjutkan dengan tugas lain. Ia bergumam, mencoba untuk menyampaikan masalah ini saat Ia membawa sesendok bubur ke mulutnya.

Bubur lengket menyebar di mulutnya, bersama dengan rasa nasi asli dan sedikit garam.

Tapi rasa asam dan asin dari buah prem kering benar-benar lembut, membawa perpaduan umami yang baik.

Amane tidak benar-benar menyukai buah prem kering yang asin, tapi Ia suka sedikit rasa manis dalam asam ringan ini. Jika Ia dalam keadaan sehat, Ia akan meletakkan prem kering ke nasi putih, dan membuatnya jadi chazuke.

“Ini enak.”

“Terima kasih. Tapi siapa pun bisa membuat bubur tanpa banyak perbedaan.”

Mahiru menjawab dengan wajah kosong, ada senyum kecil muncul di bibirnya.

Itu berbeda dari senyum yang kadang-kadang dilihatnya di sekolah. Itu adalah senyum lega, dan tanpa sadar Ia menatapnya.

“... Fujimiya-san?”

“Tidak, bukan apa-apa.”

Senyum yang baik tersebut segera menghilang, dan Ia merasa sangat disayangkan.

Begitulah yang Ia pikir, tapi Amane tidak mengatakan apa-apa ketika dia mencoba untuk menepisnya, memakan bubur dalam sendok kecil.

 

zzzz

 

“... Pokoknya, hari ini istirahatlah dulu, dan banyak-banyak minum air. Gunakan ini untuk mengelap keringatmu. Aku sudah menyiapkan satu baskom air; silakan rendam handuk, peras sampai kering, dan bersihkan. ”

Setelah makan malam, Mahiru dengan cepat membawa sebungkus minuman isotonik lainnya, wastafel, handuk, selembar pendingin, dan meletakkannya di meja samping.

Lagi pula, dia seharusnya tidak tinggal di rumah orang asing, apalagi dari lawan jenis; Amane juga akan merasa canggung, jadi Ia menerima perawatannya.

Dan ketika Amane menatap, Mahiru memeriksa apakah dia telah menghilangkan sesuatu.

(... Untuk seseorang yang melakukan hal ini karena rasa kewajibannya, dia benar-benar menyeluruh sampai mendetail.)

Sulit baginya untuk mengutarakannya, tetapi Mahiru serius dan teliti dalam apa pun yang dia lakukan, hal tersebut membuat Amane tersenyum masam saat Ia mulai terbiasa dengannya.

(Nah, kita takkan terlibat satu sama lain lagi setelah ini. Terima kasih atas perawatannya.)

Sepertinya Ia tidak akan terlibat dengan Mahiru lagi. Bagaimanapun juga, dia hanya merawatnya kali ini saja.

Dan karena mereka takkan berinteraksi lagi di masa depan, Ia akan menggunakan kesempatan ini untuk menanyakan sesuatu yang membuatnya penasaran.

Obatnya mungkin sudah mulai bekerja, karena Amane mulai merasa sedikit lelah, tetapi demamnya sepertinya sudah turun sedikit. Pikirannya lebih jernih dibandingkan sebelum Ia tertidur.

“Yah, boleh aku bertanya sesuatu padamu?”

“Mau nanya apa?”

Setelah semuanya siap, Mahiru memandang Amane,

“Kenapa kamu duduk di ayunan saat hujan? Sedang bertengkar dengan pacarmu? ”

Ia masih ingin tahu tentang kejadian kemarin, yang mana berakhir dengan dirinya dirawat oleh Mahiru.

Mahiru berada di ayunan, basah kuyup karena hujan; kenapa dia ada di sana?

Setelah melihatnya memberi ekspresi anak yang tersesat, Amane jadi khawatir, dan meminjamkan payungnya padanya.

Tapi Amane tidak mengerti mengapa dia menunjukkan ekspresi seperti itu.

Dia tampaknya sedang menunggu seseorang, jadi Amane penasaran apakah dia bertengkar dengan pacarnya atau semacamnya, tetapi Mahiru memandang ke arahnya, tercengang.

“Aku minta maaf, tapi aku tidak punya pacar, dan aku tidak punya niat untuk itu.”

“Hah? Kenapa?”

“Sebaliknya, kenapa kamu berpikir kalau aku punya pacar?”

“Karena kau sangat populer, jadi kupikir setidaknya kau pasti punya satu atau dua.”

Amane, bisa berbicara dengannya seperti ini, merasa dia adalah gadis yang lebih tegas, namun populer. Tampaknya tidak demikian bagi orang-orang di sekitarnya.

Dia adalah gadis yang manis, lugu, penurut dan rendah hati, bertubuh mungil, namun tegas. Dia tampak cukup rapuh sehingga siapa pun akan memiliki keinginan untuk melindunginya, dan gayanya sedemikian rupa sehingga dia jadi sosok ideal bagi laki-laki.

Dia adalah siswa peringkat teratas untuk angkatan ini, mahir dalam olahraga, dan seperti yang baru saja dia pelajari, pandai dalam memasak pula. Tentunya dia akan populer.

Ia pernah melihat orang lain benar-benar menggodanya, dan tahu betul bahwa beberapa teman sekelasnya sangat tertarik pada Mahiru.

Dia dimanja oleh pilihan, dan Amane tidak bisa membayangkan kalau dia tidak berpacaran sama sekali.

Amane menggunakan istilah itu, setidaknya satu atau dua, seperti yang Ia maksudkan, tetapi setelah mendengar hal itu, wajah Mahiru berkerut.

“Tidak juga. Aku tak berpikir aku adalah tipe orang yang berpacaran dengan beberapa cowok sekaligus. Benar-benar tidak.”

Pandangan matanya berubah menjadi dingin ketika dia dengan tegas menyangkalnya, dan Amane segera menyadari bahwa Ia sudah menginjak ranjau darat.

Untuk sesaat, Ia merasa kedinginan, tapi itu mungkin karena demamnya. Entah kenapa, sepertinya ruangan ini mendadak menjadi sangat beku.

“Maaf, bukan seperti itu yang aku maksud. Aku benar-benar minta maaf.”

“... Tidak, aku mungkin sedikit emosian sendiri.”

Tapi begitu dia menundukkan kepalanya, atmosfir yang dingin mulai menyebar.

Ketimbang mengatakan kalau dia emosian, sepertinya ruangan itu dingin seperti badai salju, tetapi Amane tidak berani mengatakan ini.

“Ngomong-ngomong, bukan itu alasannya. Aku hanya ingin mendinginkan kepalaku sedikit ... Aku jadi membuatmu khawatir, dan kamu masuk angin. Aku minta maaf.”

“Tidak apa-apa. Aku cuma jadi orang yang ikut campur. Sebenarnya, aku tidak ingin kau merasa bersalah hanya karena aku. Ngomong-ngomong, hanya sampai di sini kita berhenti terlibat, Shiina. ”

Seperti yang diharapkan, Mahiru merawat Amane karena rasa bersalah, dan begitu dia mendengar perkataan Amane, dia berkedip dan menatap Amane dengan ragu.

Apa dia merasa sangat terganggu karena diberitahu mereka akan berhenti terlibat?

“Tentu saja, karena tidak ada kesamaan di antara kita. Kau adalah Tenshi, gadis cantik jenius yang menjadi ranking teratas pada angkatan kita, dan aku tidak ingin terbawa suasana. Apa kau pikir aku merasa beruntung karena kau berutang budi padaku?”

Mahiru dengan canggung mengalihkan pandangannya, kurasa begitu, pikir Amane dengan senyum masam.

Namun Mahiru mungkin tidak berpikir terlalu banyak, karena itu mungkin terjadi sebelumnya.

Memberi bantuan kepada seorang gadis cantik dan terlibat dalam suatu hubungan mungkin merupakan metode yang ampuh.

Tapi, tampaknya Mahiru punya beberapa pengalaman tentang itu, dan tidak heran dia begitu waspada pada hari kemarin. Karena dia sangat defensif, Amane tidak bisa menyalahkannya untuk itu.

“Yah, itu mungkin merepotkanmu, terlibat dengan cowok yang tidak kau sukai.”

“Aku rasa begitu.”

“Tentu saja, iya ‘kan?”

Amane sedikit kaget mendengar konfirmasinya.

Dia, yang terkenal sebagai murid teladan yang mirip seperti seorang Tenshi, memiliki kesukaan, ketidaksukaan, dan masalahnya sendiri, yang membuatnya sedikit familial dengannya.

Tampaknya, Mahiru mungkin secara tidak sengaja nyeletuk, karena dia memelototi Amane, yang memancingnya untuk mengatakannya, dengan sedikit kebencian.

Ini adalah bukti terbesar sejauh ini bahwa Mahiru adalah manusia dengan emosi.

“Tapi, itu tidak apa-apa, toh? Yah, aku merasa lega melihat bahwa sang Tenshi memiliki masalah seperti manusia.”

“... Tolong jangan panggil aku seperti itu.”

Sepertinya dia merasa malu dipanggil Tenshi, karena dia terus menunjukkan ekspresi kesal.

Amane tertawa sekali lagi, karena merasa hal itu juga lucu.

“Yah, ini bukan hal yang mendesak. Aku tidak punya alasan untuk menjahilimu.”

Ujar Amane, dan Mahiru membelalakkan matanya karena terkejut, menunjukkan senyum masam sendiri.

 

zzzz

 

Amane mengingat Mahiru yang membungkuk dengan serius dan kembali ke apartemennya ketika Ia berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit.

Obatnya efektif, tetapi Ia merasa lelah. Begitu Ia merilekskan badannya, sepertinya rasa kantuknya akan menyerang.

Ia menutup matanya, mengingat peristiwa yang terjadi pada hari ini.

Tidak ada yang akan percaya padanya jika Ia mengatakan kalau Ia dirawat oleh seorang Tenshi (galak), dan itu tidak ada gunanya dibicarakan.

Apa yang terjadi pada hari ini hanya akan menjadi rahasia bagi Amane dan Mahiru.

Rahasia, sesuatu terasa geli saat Ia menggunakan istilah ini, meski Amane memutuskan demikian karena Ia merasa kesulitan untuk menyebutkan ini kepada orang lain.

Keesokan harinya, mereka akan kembali menjadi orang asing.

Jadi Amane meyakinkan dirinya sendiri ketika kesadarannya perlahan memudar.



Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya

close

6 Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

  1. For information: 1 SLDK (storageroom = satu gudang, Living room=ruang keluarga, Dinner room=ruang makan , bathroom=kamar mandi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas penjelasannya, mimin lupa kasih penjelasannya

      Hapus
  2. Ntah kenapa jadi kek kisah ane. Tapi bedanya gak sampe dirawat karena sakit. Cman nolong aja, motornya mogok, tapi.... Tidak berakhir bahagia seperti Novel ini.

    BalasHapus
  3. gan, aing ini baru baca chapter ke 2 aja udh diabetes gimana selanjutnya wkwkwkw.

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama