Otonari no Tenshi-sama Vol.1 Chapter 3 Bahasa Indonesia

Chapter 03 - Sang Tenshi Membagi

 

Seperti yang sudah dinyatakan, hubungan antara Amane dan Mahiru tetap menjadi orang asing.

Ia pun pulih setelah beristirahat seharian, dan kebetulan berpapasan dengan Mahiru saat berbelanja di minimarket, tapi mereka tidak benar-benar berinteraksi. Tampaknya Mahiru merasa sedikit lega melihat Amane terlihat baik-baik saja.

Pelajaran dimulai pada hari Senin, dan tidak ada yang berubah. Sama untuk yang lain.

Tapi bila ada sedikit perubahan, itu adalah ketika Ia pergi ke sekolah, Ia akan menundukkan kepalanya sambil menyapa orang lain di sekolah.

“Ohh, kau terlihat sehat-sehat saja, Amane.”

“Terima kasih atas perhatiannya.”

Itsuki merasa khawatir melihat Amane setengah mati pada minggu sebelumnya ketika mereka pulang ke rumah, jadi Ia menunggu Amane di gerbang masuk sekolah, supaya bisa memeriksa keadaaannya. Selama akhir pekan, Itsuki mengiriminya pesan, “Kau belum mati, ‘kan?”

Amane membalas balik, memberitahu kalau Ia baik-baik saja, tapi Itsuki tetap skeptis, dan hanya setelah melihat Amane masih hidup, Ia menghela nafas dengan gerakan yang berlebihan.

“Yah, bahkan aku akan merasa khawatir melihatmu seperti itu. Untungnya kau sudah lebih baik sekarang, tapi kau harus lebih memperhatikan bagaimana gaya hidupmu. Mulai dari menjaga kebersihan.”

“Kedengarannya seperti apa yang orang lain katakan.”

“Hmm?”

“Ah, bukan apa-apa ... Aku sudah tahu hal itu. Aku akan membersihkannya nanti.”

Tidak, kau harus melakukannya sekarang, balas Itsuki, tapi Amane mengabaikannya.

Hal tersebut mungkin tidak bisa dilakukan dalam setengah hari.

Jadi Ia menggelengkan kepalanya, dan Itsuki tidak menggali masalah ini lebih jauh, malah terlihat terheran.

“Yah, karena itu ruanganmu, jadi lakukan sesukamu. Pastikan ada cukup ruang untuk berjalan saat aku pergi ke sana berikutnya, oke. ”

“... Aku akan melihat bagaimana kelanjutannya.”

Sementara Amane mengerutkan kening saat Ia berganti ke sepatu indoor, Ia mendengar keributan di kelas sebelah, dan secara tidak sengaja melihat ke atas.

Terlihat melalui jendela, Ia menemukan Mahiru memamerkan kecantikannya yang biasa, dikelilingi oleh anak laki-laki dan perempuan.

Dia tersenyum dengan tenang saat dia menanggapi mereka, namun dia terlihat sangat berbeda dari Mahiru beberapa hari yang lalu, pikir Amane dengan senyum masam.

Dan Itsuki, setelah melihat ekspresi Amane, ikut menoleh juga, dan langsung memahami begitu Ia melihat Mahiru.

“Ahh, Shiina-san? Masih sepopuler seperti biasanya. Lagipula, dia memang gadis yang cantik.”

“Yah, bagaimanapun juga dia seperti Tenshi ... apa kau menganggap Shiina juga imut, Itsuki?”

“Tentu saja. Karena aku punya Chii, jadi dia ada di sana untuk dikagumi.”

“berhenti buat pamer.”

Chii yang dibicarakan oleh Itsuki adalah pacarnya, Chitose Shirakawa.

Keduanya adalah pasangan yang terus mesra-mesraan, dan setiap kali mereka bersama, rasanya terlalu menyilaukan untuk mata Amane.

Berhentilah buat pamer, ucap Amane dengan ketus sambil melambai pada Itsuki, tetapi Itsuki tidak terlihat sedih. Lagipula, itu normal bagi mereka, “Nih orang sudah ngga punya harapan.” Ujarnya tertawa.

“Kau sendiri bagaimana, Amane? Apa kau tidak menganggap Shiina itu imut ??”

“Dia memang cantik. Tapi cuma itu saja.”

“Membosankan sekali.”

“Yah, dia itu bunga di puncak bukit yang tidak bisa kita raih. Tidak ada alasan bagi kita untuk terlibat dengannya, jadi yang bisa kita lakukan hanyalah melihatnya dari jauh. ”

“Tidak salah juga, sih.”

Sementara Amane menyembunyikan fakta kalau Mahiru merawatnya beberapa hari yang lalu karena peristiwa tertentu, mereka berdua hidup di dunia yang berbeda.

Amane tidak bisa membayangkan dirinya cocok dengan Mahiru. Manusia yang luar biasa hanya akan cocok dengan manusia luar biasa lainnya.

Dan Amane, yang dengan susah payah sadar akan betapa tidak berguna dirinya, mana mungkin bisa berhubungan dengan Mahiru, seorang gadis yang begitu manis dan cakap.

Ya, Amane sendiri mengira Ia takkan pernah terlibat lagi dengannya.

 

zzzz

 

“…Apa yang kamu makan?”

Dan gagasan tersebut langsung hancur lebur ketika Amane bersantai di beranda, sedang meminum jus jelinya sambil menikmati pemandangan luar.

Ia merasa malas untuk pergi ke minimarket dekat apartemen, dan menyedot minuman jeli yang biasanya Ia simpan di rumah, bersandar di pagar saat menghirup udara di luar, Amane malah menemukan Mahiru muncul di berandanya sendiri.

Begitu Mahiru melihat Amane, dia bersandar di beranda, menyadari jus jeli yang Ia minum, dan sedikit mengernyitan keningnya.

Amane tidak pernah menyangka dirinya didekati, dan hanya bisa berdiam diri untuk sementara waktu.

“Kau bisa lihat sendiri, ‘kan? Ini adalah jeli yang mengisi kembali energiku dalam beberapa puluh detik nanti.”

“... Apa kamu berencana untuk makan ini untuk makan malam?”

“Memangnya apa lagi?”

“Cowok SMA yang biasanya punya selera makan besar sedang memakan ini?”

“Berhentilah menjadi orang yang suka ikut campur.”

Biasanya, Ia akan makan dengan bento yang di jual dari toko, atau yang dari supermarket, dan tidak makan sesedikit itu. Namun pada hari ini, Amane terlalu malas untuk memasak makan malam, dan tidak berminat untuk ramen, jadi Ia memutuskan untuk mengambil jus jelly sebagai penggantinya.

Bukannya Ia akan merasa kenyang, dan setelah ini, Ia mungkin akan makan snack atau yang manis-manis.

“Memasak ... kurasa aku tidak perlu bertanya lagi. Kamu sepertinya tidak mampu melakukan itu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kamu bisa hidup sendirian saat kamu tidak bisa memasak atau bersih-bersih ...”

“Diam. Ini tidak ada hubungannya denganmu, ‘kan?”

Kebenaran pahit menghantam dirinya, jadi Amane mengerutkan kening dan menghabiskan jus jeli-nya.

Ia sudah menerima karmanya, dan berencana untuk beres-beres ruangannya beberapa hari yang lalu, tapi diberitahu begitu membuat motivasinya jadi berlawan.

Amane malah jadi merasa penasaran kenapa Mahiru menjadi sedikit cerewet; dia balik menatapnya, dan menghela nafas sedikit.

“... Tolong tunggu sebentar.”

Sebelum Ia bisa menjawab atau menyangkal, Mahiru sudah meninggalkan beranda, dan masuk kembali ke apartemennya.

Setelah mendengar bunyi jendela ditutup, "Apa-apaan itu." Amane bertanya.

Meski dia mengatakan itu, tapi sebenarnya apa yang dia ingin Amane tunggu?

Ia memandang ke arah apartemen Mahiru dengan terkejut, tapi tentu saja, tidak ada jawaban sama sekali.

(Kurasa aku sudah tenang, saatnya untuk kembali.)

Ia sedang menunggu Mahiru, seperti yang disuruhnya, tapi malam musim dingin lebih dingin dari yang Ia kira. Sweter yang Amane pakai saja tidak cukup untuk menghalau cuaca dingin.

Bagaimanapun juga, Ia tidak tahu mengapa Ia menunggu dengan patuh.

Suhunya cukup dingin sampai-sampai nafas yang keluar berubah jadi putih. Amane menghela napas, dan ada suara bel berdengung dari koridor.

Ia segera berbalik ke arah pintu begitu mendengar suara bel.

Hanya ada satu pengunjung yang Ia harapkan untuk datang.

Amane tidak tahu mengapa dia akan muncul, tapi Ia menghindari tumpukan pakaian dan majalah yang berantakan saat menuju ke koridor.

Bahkan tanpa melihat melalui lubang intip, Ia tahu siapa yang bertamu padanya. Amane menyeret sandalnya ke arah pintu, melepaskannya──dan seperti yang diharapkan, di hadapannya ada sosok dengan rambut berwarna rami sedang berdiri di sana.

“…Apa yang sedang kau lakukan?”

“Aku sudah tidak tahan melihat betapa tidak terurusnya kamu ... ini ada sisa makanan, tapi ini, terimalah.”

Mahiru membalas dengan singkat ketika dia mengulurkan tangannya ke arah Amane.

Tangan yang jauh lebih kecil dari Amane memegang tupperware. Tutup transparan samar-samar menunjukkan makanan yang ada di dalam.

Isinya masih hangat, dan ada beberapa tetesan air di tutupnya. Terlihat tidak jelas, tapi pasti ada makanan yang dimasak di dalam wadah tersebut.

Amane berkedip beberapa kali, dan begitu dia melihat matanya mencoba memahami mengapa, Mahiru menghela nafas panjang.

“Kamu tidak makan dengan benar. Suplemen hanyalah suplemen, tidak bisa dianggap sebagai makanan pokok.”

“Memangnya kau ini ibuku?”

“Aku pikir apa yang aku tegaskan di sini adalah normal. Dan, kamu harus membersihkan apartemenmu, bukan? Kelihatannya sulit buat berdiri di sana.”

Mahiru menengok ke belakang Amane, dan menyipitkan matanya dengan jengkel, membuat Amane tak bisa berkata-kata.

“... masih ada ruang buat berjalan.”

“Tidak juga. Pakaian biasanya mana mungkin bisa ada di lantai.”

“Yah, karena itu baru saja jatuh.”

“Pakaian takkan jadi begitu jika kamu mencuci, mengeringkan dan melipatnya dengan benar. Tolong kemasi semua majalah yang sudah kamu baca. Akan merepotkan nantinya jika kamu terpeleset dan jatuh.”

Dalam nada suaranya tercampur rasa dengki di dalam kata-kata itu, tapi Amane tahu betul bahwa Mahiru menunjukkan kekhawatirannya karena suatu alasan, dan tidak bisa membantahnya.

Memang benar bahwa terakhir kali dia merawatnya, mereka berdua hampir terpleset karena ruangan itu terlalu berantakan, dan tidak heran Ia disuruh keluar.

Grrr, Amane, yang tidak bisa membalas, menunjukkan seringai, bibirnya mengerucut ketika menerima wadah tupperware dari Mahiru.

Rasa hangat dari wadah perlahan-lahan menyebar melalui telapak tangannya, dan itu terasa nyaman di tengah-tengah cuaca dingin ini.

“Jadi, aku boleh memakan ini?”

“Aku akan membuangnya jika kamu tidak mau.”

“Tidak, tidak, tidak, aku akan memakannya. Jarang sekali bisa mendapatkan makan malam biasa yang dibuat oleh Tenshi sendiri.”

“... Tolong jangan panggil aku dengan julukan itu. Serius.”

Amane mencoba membalasnya dengan menggunakan nama panggilannya di sekolah, tetapi wajah putih Mahiru jelas-jelas mulai memerah.

Tampaknya, memanggilnya Tenshi benar-benar membuatnya malu. Melihat dari sudut pandangnya, Amane juga merasa tidak nyaman tentang hal itu, dan itu sudah diduga.

Pipinya memerah, dan dia memelototinya dengan tatapan berlinang air mata, yang mana Amane hanya bisa menyeringai.

“Maaf. Aku tidak akan memanggilmu begitu lagi.”

Bila lebih dari ini, Amane akan benar-benar merusak suasana hatinya, jadi tidak pantas baginya untuk bercanda lagi tentang ini. Selain itu, mereka tidak punya hubungan dekat sampai-sampai mereka bisa bercanda, dan akan lebih baik untuk tidak berlebihan.

Tampaknya Mahiru benar-benar tidak ingin dipanggil seperti itu, dan dia berdeham untuk mencairkan suasana.

Namun, pipinya masih tetap memerah, dan terlihat tidak terlalu berbeda dari sebelumnya.

“Yah, aku akan menerima ini dengan senang hati. Kau tidak perlu menyesal karena aku sakit.”

“Tidak juga. Hubungan kita masih sama bahkan setelah aku merawatmu. Aku melakukan ini untuk kepuasan diri ... tapi aku masih khawatir dengan dirimu yang menjalani gaya hidup yang tidak sehat.”

“Aku mengerti.”

Amane selalu dalam keadaan malang setiap kali Mahiru melihatnya, dan keputusannya mungkin karena dari sudut pandang tersebut.

Bahkan pada titik ini, pintu masuk di belakang Amane benar-benar berantakan, dan Mahiru sudah melihat semuanya ketika dia merawatnya. Tidak ada gunanya untuk menyembunyikannya.

“... makanlah dengan benar dan jalani gaya hidup yang sehat, oke?”

“Memangnya kau ini ibuku?”

Sementara Mahiru mengomel dengan tatapan yang benar-benar serius, Amane membalas dengan lelah.

Ia membawa hadiah yang diberikan padanya, membeli untuk sumpit sekali pakai dari supermarket, dan duduk di sofa ruang tamu.

Bagaimana rasa makanan yang diserahkan Mahiru padanya?

Amane berpikir kalau bubur tempo hari juga terasa enak. Lidahnya tidak peka karena hawa dingin, tetapi rasa bubur yang dimasak dari nasi, masuk ke perutnya dengan lembut.

Sepertinya, makanan yang diberi Mahiru rasanya enak begitu saja, bagaimana rasanya sekarang?

Dengan harap-harap cemas, Ia membuka tutup wadah tupperware dengan ragu-ragu, dan yang keluar tanpa diragukan lagi adalah aroma dari makanan yang dimasak.

Isinya berupa tumis sayuran dan ayam. Supnya berwarna ringan, jelas menunjukkan warna-warni cerah wortel dan kacang hijau.

Makanan dengan berbagai warna dipotong menjadi ukuran langsung gigit, menggugah selera Amane yang hanya minum jeli.

Ia dengan cepat membelah sumpit, dan pertama-tama mencicipi wortel dulu.

“Hm…enak.”

Rasanya langsung memanjakan lidahnya.

Seperti yang diharapkan dari Mahiru yang sadar akan kesehatan, bumbu yang dipakai cukup ringan, tapi umami ikannya terasa kaya. Ini bukan rasa bumbu instan yang biasanya dibeli dari supermarket. Stok itu direbus dari bonito flakes dan kelp. Rasanya sangat berbeda.

Amane perlahan-lahan mengunyahnya, menikmati kaldu, bumbu dan sayuran yang menyebar di mulutnya.

Kesegaran dari sayuran sangat ditekankan, sementara rasa sup diserap. Amane sendiri tidak suka makan sayur, tapi sekarang Ia bisa menikmati rasanya.

Makanlah lebih banyak sayuran, begitulah pesan yang tersirat, karena ada sedikit ayam di dalamnya. Rasa ayamnya benar-benar segar dan empuk, tidak berlebihan, dan tidak ada yang perlu dikesampingkan selain dari kuantitas.
Bahan-bahannya relatif sederhana untuk masakan seorang gadis SMA, namun itu jelas menekankan keterampilannya.

Orang bisa mengatakan kalau itu perbedaan yang nyata dari mereka yang baru belajar memasak.

Andai saja jika ada nasi atau miso atau kecap, pikir Amane, tapi sayangnya Ia tidak memasak nasi… atau lebih tepatnya, Ia menghabiskan nasi, dan keinginan kecil ini tidak terpenuhi.

Sudah terlambat untuk mengatakannya, tapi Amane menyesal tidak membeli dua paket beras.

“Tenshi memang benar-benar luar biasa.”

Amane memuji manusia super yang sempurna dalam belajar, olahraga, beres-beres rumah, namun takut dan tidak suka dipanggil seperti itu. Ia terus menikmati cita rasa sayuran yang dimasak oleh Mahiru.

 

zzzz

 

“Aku mau mengembalikan ini. Rasanya benar-benar enak. ”

Keesokan malamnya, Amane membawa tupperware yang dipinjamkan saat Ia mengunjungi ruangan Mahiru.

Amane benar-benar buruk dalam melakukan beres-beres, tapi Ia masih bisa buat mencuci. Bagaimanapun juga, ini adalah tata karma yang lumrah untuk mencuci sebelum mengembalikan. Jadi Ia berpikir begitu sambil membawa tupperware yang sudah dicuci dan dikeringkan.

Mahiru mungkin sudah mengira kalau itu Amane yang akan membunyikan bel, karena dia membuka pintu tanpa memeriksa.

Dia mengenakan gaun one piece rajutan merah bordeaux, dan menyipitkan matanya sedikit ketika dia melihat Amane.

Dia melirik tupperware, "Sungguh mengesankan kamu mencucinya dengan baik." dan memujinya seperti yang dia lakukan terhadap anak kecil, menyebabkan Amane mengerutkan kening tanpa berpikir.

“Terima kasih sudah melakukan ini banyak. Ini buatmu.”

Mahiru menerima tupperware, dan itu tidak masalah, tapi kemudian, dia menyerahkan tupperware lain ke tangan Amane.

Seperti yang sudah diduga, atau begitulah tampaknya, Tupperware tersbut masih hangat.

Di dalamnya mungkin ada babi goreng dan terong. Itu sedikit lebih dingin, jadi tutupnya tidak tertutup uap, dan melalui tutupnya, dia bisa melihat terong, daging yang dimasak, dan biji wijen yang ditaburkan.

Bila dilihat warnanya, sepertinya saus itu terbuat dari miso. Terong yang sedikit hangus dan dagingnya yang mengkilap tampak membangkitkan selera.

Ini benar-benar terlihat lezat, begitu pikir Amane.

Tapi Ia tidak bisa memahami kenapa Mahiru membawakannya makanan lagi.

“Tidak…ummm, aku di sini hanya untuk mengembalikan tupperware.”

“Ini adalah makan malam untuk malam ini.”

“Aku tahu itu, tapi….”

“Cuma buat jaga-jaga, kamu tidak punya alergi, ‘kan? Aku tidak peduli dengan preferensi makananmu.”

“Tidak juga? Tetapi jika aku terus mengambil lebih darimu.”

Bagaimana jadinya jika Amane mendapat makan malam dua kali berturut-turut darinya?

Amane merasa benar-benar berterima kasih, terutama mengingat keseimbangan gizinya yang tidak tepat, dan masakan Mahiro jauh lebih unggul daripada gadis seusianya. Rasanya akan sangat luar biasa.

Begitu juga makanan di dalam tupperware ini pasti terasa lezat.

Tapi itu akan menjadi tragedi jika orang-orang dari sekolahnya melihat ini. Tentu saja, tragedi itu akan terjadi pada kehidupan sekolah Amane yang damai.

Setiap ruangan apartemen di sini menampung seseorang, namun mengingat fasilitas dan lokasi geografis, biaya sewanya sangatlah mahal. Tidak ada teman sekolah lain selain Mahiru di dekatnya, dan Ia tidak perlu khawatir mereka tertangkap basah, tapi Ia merasa ragu tentang hubungan seperti itu bakal terungkap.

“Aku membuat sedikit terlalu banyak untuk diriku sendiri. Aku merasa senang jika kamu menerima sebagian milikku.”

“... Yah, aku senang menerima ini, tapi biasanya, ini akan memberi kesan yang salah pada orang lain bahwa kamu menyukai mereka, tau.”

“Kamu berpikir begitu?”

“Tidak, tidak sama sekali.”

Memangnya kamu ini idiot? Mengingat Mahiru membuat wajah seperti itu, Amane tidak punya alasan untuk terlalu memikirkannya.

Selain itu, Si cantik jenius Mahiru menunjukkan kekhawatiran setelah menyaksikan bagaimana Amane sangat tidak berguna dalam beres-beres, dan mustahil untuk membayangkan kalau dia memiliki niat baik kepadanya.

Memang benar bahwa menerima makan malam dari tetangga yang cantik akan sesuai dengan perkembangan manga romcom, tapi tidak ada cinta di antara mereka, dan sulit untuk menemukan elemen komedinya. Sebagai catatan, Amane tidak punya beras di apartemennya.

Satu-satunya aspek yang ada hanyalah kata-kata pedas Tenshi dan belas kasihan yang menyedihkan.

“Seharusnya tidak apa-apa. Kamu berencana membeli beberapa bento dari toko swalayan atau lauk pauk di supermarket, ‘kan? ”

“Bagaimana kau bisa tahu?”

“Dapurmu sepertinya tidak pernah digunakan dengan benar, dan ada banyak sumpit sekali pakai dari toko swalayan dan supermarket. Dan, siapa pun bisa menebaknya, mengingat betapa tidak sehatnya penampilanmu. Wajahmu jelas-jelas terlihat tidak sehat. ”

Dia melihat semuanya dengan hanya sekali berkunjung di apartemennya, dan wajah Amane berkedut. Namun itu adalah fakta yang tak terbantahkan, jadi Ia tidak bisa mengatakan apa-apa.

“... Kalau begitu, aku akan kembali.”

Gedebuk, begitu dia selesai dengan apa yang ingin dia katakan dan berikan, Mahiru kembali masuk ke apartemennya.

Klik. Rantai di belakang pintu terkunci, dan Amane melihat ke arah tupperware di tangannya.

Di telapak tangannya ada makan malam yang masih hangat, dan Ia menghela napas sebelum kembali ke apartemennya.

Terong dan daging babi dengan biji wijen benar-benar nikmat, dan Ia sangat menginginkan nasi.

 

zzzz

 

Jadi, setiap hari, Ia akan menukar tupperware kosong dengan makanan, nutrisi makanannya berubah drastis menjadi lebih baik.

Masakan Mahiru tidak terlalu istimewa dalam bumbu, tapi rasanya sangat menggugah selera, jadi setiap makan malam, Ia akan menyiapkan nasi yang sudah dimasak untuk dimakan dengan hidangan tersebut.

Ada berbagai hidangan yang berbeda setiap hari, entah itu masakan Jepang, Barat, atau Cina, dan semuanya lezat, mana mungkin Amane bisa menolaknya.

Kesempatan untuk makan ini setiap hari membuat Amane menantikan hidangan tersebut. Ia minta maaf tentang itu, tapi sepertinya Ia sudah dijinakkan, Amane akan merasa melankolis jika Ia tidak pernah bisa memakan makanan buatan Mahiru  lagi.

Mungkin masakan buatan Tenshi benar-benar membuat ketagihan. Sambil berpikir kalau ini bukan hal yang baik, Amane dengan patuh menerima tupperware, dan memanjakan dirinya dalam makanan.

“... Kau terlihat sehat baru-baru ini. Apa selera makanmu sudah meningkat?”

Wajah Amane terlihat jauh lebih baik, mungkin karena memakan hidangan bernutrisi dari makan malam dalam beberapa hari ini. Itu adalah waktu istirahat makan siang ketika Itsuki menatap wajahnya.

Amane sedang memakan udon di kantin sekolah, dan mengeluarkan keringat dingin di hadapan perspektif Itsuki yang biasa.

“Itsuki, aku pikir kau terlihat menakutkan.”

“Apa, apa tebakanku tepat sasaran?”

“Tidak ... yah, aku harus merenungkan itu.”

Ia akan diberitahu kapan pun Ia bertemu Mahiru di apartemen, dan mengingat bahwa Ia menerima makan malam dari Mahiru, jelas saja kalau kualitas hidupnya telah meningkat.

Ia ingin mengucapkan terima kasih kepada si Tenshi, tapi pada saat yang sama, Ia merasa kalau gadis itu terlalu ikut campur.

Jadi Amane hanya mengkonfirmasi dengan balasan ambigu, dan Itsuki dengan gembira terkikik.

“Tentu saja. Tampang tidak sehatmu yang dulu adalah karena kebiasaan hidupmu. ”

“Berisik kau.”

“Tapi kau berhasil memperbaikinya begitu saja?”

“... Aku dipaksa, semacam itu?”

“Ha ha. Ibumu tahu?”

“... Bisa dibilang tidak juga.”

Nada bicara Mahiru memang mirip dengan ibunya.

Dia terlalu muda dan imut untuk dipanggil ibunya, tapi Amane tidak ingin menolak Mahiru, yang sudah merawatnya selama ini.

“Hei Itsuki. Apa aku memang terlihat sangat tidak sehat, ya?”

“Ya. Sebagian besar karena kau terlihat terlalu pucat. Kamu tinggi, tapi sangat kurus, dan wajahmu terlihat tidak sehat.”

“Tapi wajahku memang seperti ini."

“Aku tahu. Tapi kau bisa lebih banyak mengekspresikan wajahmu. ”

“Itu mustahil ... Begitu ya, wajah yang tampak mati ...?”

Karena Ia jarang-jarang memeriksa wajahnya di cermin, Amane hampir tidak tahu bagaimana penampilannya, tapi bagi orang lain, Ia tampak sangat sakit.

Mungkin Mahiru merasa khawatir tentang Amane karena Ia biasanya terlihat mati.

“Amane, kau harus lebih memperhatikan bagaimana orang lain memandangmu. Kau selalu menunduk ke bawah, dan tidak terlalu mudah didekati. Kau tidak benar-benar aktif untuk berinteraksi dengan orang lain, dan yang lain menganggap kalau kau itu membosankan.”

“Apa kau hanya menceramahiku?”

“Tidak, apa lagi yang bisa aku lakukan tanpa mengatakannya dengan jelas?”

Itsuki mengambil kesempatan untuk membujuk Amane agar fokus pada kesehatan dan penampilannya, "Ini bukan urusanmu." tetapi Ia hanya membalas dan membuang muka.





close

5 Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

  1. Min tiap klik next chap selalu buka tap baru, tolong d perbaiki ya

    BalasHapus
  2. tapi mengarahkannya bener 'kan ke chapter selanjutnya? kalo bener sih engga usah dibenerin

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama