Chapter 03 - Sang Tenshi Membagi
Seperti yang sudah dinyatakan, hubungan antara Amane dan
Mahiru tetap menjadi orang asing.
Ia pun pulih setelah beristirahat seharian, dan kebetulan
berpapasan dengan Mahiru saat berbelanja di minimarket, tapi mereka tidak
benar-benar berinteraksi. Tampaknya Mahiru merasa sedikit lega melihat
Amane terlihat baik-baik saja.
Pelajaran dimulai pada hari Senin, dan tidak ada yang
berubah. Sama untuk yang lain.
Tapi bila ada sedikit perubahan, itu adalah ketika Ia
pergi ke sekolah, Ia akan menundukkan kepalanya sambil menyapa orang lain di
sekolah.
“Ohh, kau terlihat sehat-sehat saja, Amane.”
“Terima kasih atas perhatiannya.”
Itsuki merasa khawatir melihat Amane setengah mati pada minggu
sebelumnya ketika mereka pulang ke rumah, jadi Ia menunggu Amane di gerbang
masuk sekolah, supaya bisa memeriksa keadaaannya. Selama akhir pekan,
Itsuki mengiriminya pesan, “Kau belum
mati, ‘kan?”
Amane membalas balik, memberitahu kalau Ia baik-baik
saja, tapi Itsuki tetap skeptis, dan hanya setelah melihat Amane masih hidup, Ia
menghela nafas dengan gerakan yang berlebihan.
“Yah, bahkan aku akan merasa khawatir melihatmu seperti
itu. Untungnya kau sudah lebih baik sekarang, tapi kau harus lebih
memperhatikan bagaimana gaya hidupmu. Mulai dari menjaga kebersihan.”
“Kedengarannya seperti apa yang orang lain katakan.”
“Hmm?”
“Ah, bukan apa-apa ... Aku sudah tahu hal itu. Aku
akan membersihkannya nanti.”
Tidak,
kau harus melakukannya sekarang, balas
Itsuki, tapi Amane mengabaikannya.
Hal tersebut mungkin tidak bisa dilakukan dalam setengah
hari.
Jadi Ia menggelengkan kepalanya, dan Itsuki tidak
menggali masalah ini lebih jauh, malah terlihat terheran.
“Yah, karena itu ruanganmu, jadi lakukan
sesukamu. Pastikan ada cukup ruang untuk berjalan saat aku pergi ke sana
berikutnya, oke. ”
“... Aku akan melihat bagaimana kelanjutannya.”
Sementara Amane mengerutkan kening saat Ia berganti ke
sepatu indoor, Ia mendengar keributan
di kelas sebelah, dan secara tidak sengaja melihat ke atas.
Terlihat melalui jendela, Ia menemukan Mahiru memamerkan
kecantikannya yang biasa, dikelilingi oleh anak laki-laki dan perempuan.
Dia tersenyum dengan tenang saat dia menanggapi mereka,
namun dia terlihat sangat berbeda dari Mahiru beberapa hari yang lalu, pikir Amane
dengan senyum masam.
Dan Itsuki, setelah melihat ekspresi Amane, ikut menoleh
juga, dan langsung memahami begitu Ia melihat Mahiru.
“Ahh, Shiina-san? Masih sepopuler seperti
biasanya. Lagipula, dia memang gadis yang cantik.”
“Yah, bagaimanapun juga dia seperti Tenshi ... apa kau
menganggap Shiina juga imut, Itsuki?”
“Tentu saja. Karena aku punya Chii, jadi dia ada di
sana untuk dikagumi.”
“berhenti buat pamer.”
Chii yang dibicarakan oleh Itsuki adalah pacarnya,
Chitose Shirakawa.
Keduanya adalah pasangan yang terus mesra-mesraan, dan setiap
kali mereka bersama, rasanya terlalu menyilaukan untuk mata Amane.
Berhentilah buat pamer, ucap Amane dengan ketus sambil melambai
pada Itsuki, tetapi Itsuki tidak terlihat sedih. Lagipula, itu normal bagi
mereka, “Nih orang sudah ngga punya harapan.” Ujarnya tertawa.
“Kau sendiri bagaimana, Amane? Apa kau tidak
menganggap Shiina itu imut ??”
“Dia memang cantik. Tapi cuma itu saja.”
“Membosankan sekali.”
“Yah, dia itu bunga di puncak bukit yang tidak bisa kita
raih. Tidak ada alasan bagi kita untuk terlibat dengannya, jadi yang bisa
kita lakukan hanyalah melihatnya dari jauh. ”
“Tidak salah juga, sih.”
Sementara Amane menyembunyikan fakta kalau Mahiru
merawatnya beberapa hari yang lalu karena peristiwa tertentu, mereka berdua hidup
di dunia yang berbeda.
Amane tidak bisa membayangkan dirinya cocok dengan
Mahiru. Manusia yang luar biasa hanya akan cocok dengan manusia luar biasa
lainnya.
Dan Amane, yang dengan susah payah sadar akan betapa
tidak berguna dirinya, mana mungkin bisa berhubungan dengan Mahiru, seorang
gadis yang begitu manis dan cakap.
Ya, Amane sendiri mengira Ia takkan pernah terlibat lagi
dengannya.
zzzz
“…Apa yang kamu makan?”
Dan gagasan tersebut langsung hancur lebur ketika Amane
bersantai di beranda, sedang meminum jus jelinya sambil menikmati pemandangan luar.
Ia merasa malas untuk pergi ke minimarket dekat
apartemen, dan menyedot minuman jeli yang biasanya Ia simpan di rumah, bersandar
di pagar saat menghirup udara di luar, Amane malah menemukan Mahiru muncul di
berandanya sendiri.
Begitu Mahiru melihat Amane, dia bersandar di beranda, menyadari
jus jeli yang Ia minum, dan sedikit mengernyitan keningnya.
Amane tidak pernah menyangka dirinya didekati, dan hanya bisa
berdiam diri untuk sementara waktu.
“Kau bisa lihat sendiri, ‘kan? Ini adalah jeli yang
mengisi kembali energiku dalam beberapa puluh detik nanti.”
“... Apa kamu berencana untuk makan ini untuk makan
malam?”
“Memangnya apa lagi?”
“Cowok SMA yang biasanya punya selera makan besar sedang memakan
ini?”
“Berhentilah menjadi orang yang suka ikut campur.”
Biasanya, Ia akan makan dengan bento yang di jual dari
toko, atau yang dari supermarket, dan tidak makan sesedikit itu. Namun
pada hari ini, Amane terlalu malas untuk memasak makan malam, dan tidak
berminat untuk ramen, jadi Ia memutuskan untuk mengambil jus jelly sebagai penggantinya.
Bukannya Ia akan merasa kenyang, dan setelah ini, Ia
mungkin akan makan snack atau yang manis-manis.
“Memasak ... kurasa aku tidak perlu bertanya lagi. Kamu
sepertinya tidak mampu melakukan itu. Aku tidak bisa membayangkan
bagaimana kamu bisa hidup sendirian saat kamu tidak bisa memasak atau
bersih-bersih ...”
“Diam. Ini tidak ada hubungannya denganmu, ‘kan?”
Kebenaran pahit menghantam dirinya, jadi Amane
mengerutkan kening dan menghabiskan jus jeli-nya.
Ia sudah menerima karmanya, dan berencana untuk
beres-beres ruangannya beberapa hari yang lalu, tapi diberitahu begitu membuat
motivasinya jadi berlawan.
Amane malah jadi merasa penasaran kenapa Mahiru menjadi
sedikit cerewet; dia balik menatapnya, dan menghela nafas sedikit.
“... Tolong tunggu sebentar.”
Sebelum Ia bisa menjawab atau menyangkal, Mahiru sudah meninggalkan
beranda, dan masuk kembali ke apartemennya.
Setelah mendengar bunyi jendela ditutup, "Apa-apaan
itu." Amane bertanya.
Meski dia mengatakan itu, tapi sebenarnya apa yang dia
ingin Amane tunggu?
Ia memandang ke arah apartemen Mahiru dengan terkejut, tapi
tentu saja, tidak ada jawaban sama sekali.
(Kurasa aku sudah tenang, saatnya untuk kembali.)
Ia sedang menunggu Mahiru, seperti yang disuruhnya, tapi
malam musim dingin lebih dingin dari yang Ia kira. Sweter yang Amane pakai
saja tidak cukup untuk menghalau cuaca dingin.
Bagaimanapun juga, Ia tidak tahu mengapa Ia menunggu
dengan patuh.
Suhunya cukup dingin sampai-sampai nafas yang keluar
berubah jadi putih. Amane menghela napas, dan ada suara bel berdengung dari
koridor.
Ia segera berbalik ke arah pintu begitu mendengar suara bel.
Hanya ada satu pengunjung yang Ia harapkan untuk datang.
Amane tidak tahu mengapa dia akan muncul, tapi Ia
menghindari tumpukan pakaian dan majalah yang berantakan saat menuju ke koridor.
Bahkan tanpa melihat melalui lubang intip, Ia tahu siapa
yang bertamu padanya. Amane menyeret sandalnya ke arah pintu,
melepaskannya──dan seperti yang diharapkan, di hadapannya ada sosok dengan rambut
berwarna rami sedang berdiri di sana.
“…Apa yang sedang kau lakukan?”
“Aku sudah tidak tahan melihat betapa tidak terurusnya kamu
... ini ada sisa makanan, tapi ini, terimalah.”
Mahiru membalas dengan singkat ketika dia mengulurkan
tangannya ke arah Amane.
Tangan yang jauh lebih kecil dari Amane memegang
tupperware. Tutup transparan samar-samar menunjukkan makanan yang ada di
dalam.
Isinya masih hangat, dan ada beberapa tetesan air di
tutupnya. Terlihat tidak jelas, tapi pasti ada makanan yang dimasak di
dalam wadah tersebut.
Amane berkedip beberapa kali, dan begitu dia melihat
matanya mencoba memahami mengapa, Mahiru menghela nafas panjang.
“Kamu tidak makan dengan benar. Suplemen hanyalah
suplemen, tidak bisa dianggap sebagai makanan pokok.”
“Memangnya kau ini ibuku?”
“Aku pikir apa yang aku tegaskan di sini adalah
normal. Dan, kamu harus membersihkan apartemenmu, bukan? Kelihatannya
sulit buat berdiri di sana.”
Mahiru menengok ke belakang Amane, dan menyipitkan
matanya dengan jengkel, membuat Amane tak bisa berkata-kata.
“... masih ada ruang buat berjalan.”
“Tidak juga. Pakaian biasanya mana mungkin bisa ada
di lantai.”
“Yah, karena itu baru saja jatuh.”
“Pakaian takkan jadi begitu jika kamu mencuci,
mengeringkan dan melipatnya dengan benar. Tolong kemasi semua majalah yang
sudah kamu baca. Akan merepotkan nantinya jika kamu terpeleset dan jatuh.”
Dalam nada suaranya tercampur rasa dengki di dalam
kata-kata itu, tapi Amane tahu betul bahwa Mahiru menunjukkan kekhawatirannya
karena suatu alasan, dan tidak bisa membantahnya.
Memang benar bahwa terakhir kali dia merawatnya, mereka
berdua hampir terpleset karena ruangan itu terlalu berantakan, dan tidak heran
Ia disuruh keluar.
Grrr, Amane, yang tidak bisa membalas, menunjukkan seringai,
bibirnya mengerucut ketika menerima wadah tupperware
dari Mahiru.
Rasa hangat dari wadah perlahan-lahan menyebar melalui
telapak tangannya, dan itu terasa nyaman di tengah-tengah cuaca dingin ini.
“Jadi, aku boleh memakan ini?”
“Aku akan membuangnya jika kamu tidak mau.”
“Tidak, tidak, tidak, aku akan memakannya. Jarang sekali
bisa mendapatkan makan malam biasa yang dibuat oleh Tenshi sendiri.”
“... Tolong jangan panggil aku dengan julukan
itu. Serius.”
Amane mencoba membalasnya dengan menggunakan nama
panggilannya di sekolah, tetapi wajah putih Mahiru jelas-jelas mulai memerah.
Tampaknya, memanggilnya Tenshi benar-benar membuatnya
malu. Melihat dari sudut pandangnya, Amane juga merasa tidak nyaman
tentang hal itu, dan itu sudah diduga.
Pipinya memerah, dan dia memelototinya dengan tatapan
berlinang air mata, yang mana Amane hanya bisa menyeringai.
“Maaf. Aku tidak akan memanggilmu begitu lagi.”
Bila lebih dari ini, Amane akan benar-benar merusak
suasana hatinya, jadi tidak pantas baginya untuk bercanda lagi tentang
ini. Selain itu, mereka tidak punya hubungan dekat sampai-sampai mereka
bisa bercanda, dan akan lebih baik untuk tidak berlebihan.
Tampaknya Mahiru benar-benar tidak ingin dipanggil
seperti itu, dan dia berdeham untuk mencairkan suasana.
Namun, pipinya masih tetap memerah, dan terlihat tidak
terlalu berbeda dari sebelumnya.
“Yah, aku akan menerima ini dengan senang hati. Kau
tidak perlu menyesal karena aku sakit.”
“Tidak juga. Hubungan kita masih sama bahkan setelah
aku merawatmu. Aku melakukan ini untuk kepuasan diri ... tapi aku masih
khawatir dengan dirimu yang menjalani gaya hidup yang tidak sehat.”
“Aku mengerti.”
Amane selalu dalam keadaan malang setiap kali Mahiru
melihatnya, dan keputusannya mungkin karena dari sudut pandang tersebut.
Bahkan pada titik ini, pintu masuk di belakang Amane
benar-benar berantakan, dan Mahiru sudah melihat semuanya ketika dia merawatnya. Tidak
ada gunanya untuk menyembunyikannya.
“... makanlah dengan benar dan jalani gaya hidup yang
sehat, oke?”
“Memangnya kau ini ibuku?”
Sementara Mahiru mengomel dengan tatapan yang benar-benar
serius, Amane membalas dengan lelah.
Ia membawa hadiah yang diberikan padanya, membeli untuk
sumpit sekali pakai dari supermarket, dan duduk di sofa ruang tamu.
Bagaimana rasa makanan yang diserahkan Mahiru padanya?
Amane berpikir kalau bubur tempo hari juga terasa
enak. Lidahnya tidak peka karena hawa dingin, tetapi rasa bubur yang
dimasak dari nasi, masuk ke perutnya dengan lembut.
Sepertinya, makanan yang diberi Mahiru rasanya enak
begitu saja, bagaimana rasanya sekarang?
Dengan harap-harap cemas, Ia membuka tutup wadah tupperware dengan ragu-ragu, dan yang keluar
tanpa diragukan lagi adalah aroma dari makanan yang dimasak.
Isinya berupa tumis sayuran dan ayam. Supnya
berwarna ringan, jelas menunjukkan warna-warni cerah wortel dan kacang hijau.
Makanan dengan berbagai warna dipotong menjadi ukuran
langsung gigit, menggugah selera Amane yang hanya minum jeli.
Ia dengan cepat membelah sumpit, dan pertama-tama
mencicipi wortel dulu.
“Hm…enak.”
Rasanya langsung memanjakan lidahnya.
Seperti yang diharapkan dari Mahiru yang sadar akan
kesehatan, bumbu yang dipakai cukup ringan, tapi umami ikannya terasa
kaya. Ini bukan rasa bumbu instan yang biasanya dibeli dari
supermarket. Stok itu direbus dari bonito flakes dan kelp. Rasanya sangat
berbeda.
Amane perlahan-lahan mengunyahnya, menikmati kaldu, bumbu
dan sayuran yang menyebar di mulutnya.
Kesegaran dari sayuran sangat ditekankan, sementara rasa
sup diserap. Amane sendiri tidak suka makan sayur, tapi sekarang Ia bisa
menikmati rasanya.
Makanlah lebih banyak sayuran, begitulah pesan yang
tersirat, karena ada sedikit ayam di dalamnya. Rasa ayamnya benar-benar
segar dan empuk, tidak berlebihan, dan tidak ada yang perlu dikesampingkan
selain dari kuantitas.
Bahan-bahannya relatif sederhana untuk masakan seorang gadis SMA, namun itu
jelas menekankan keterampilannya.
Orang bisa mengatakan kalau itu perbedaan yang nyata dari
mereka yang baru belajar memasak.
Andai saja jika ada nasi atau miso atau kecap, pikir
Amane, tapi sayangnya Ia tidak memasak nasi… atau lebih tepatnya, Ia
menghabiskan nasi, dan keinginan kecil ini tidak terpenuhi.
Sudah terlambat untuk mengatakannya, tapi Amane menyesal
tidak membeli dua paket beras.
“Tenshi memang benar-benar luar biasa.”
Amane memuji manusia super yang sempurna dalam belajar, olahraga,
beres-beres rumah, namun takut dan tidak suka dipanggil seperti itu. Ia
terus menikmati cita rasa sayuran yang dimasak oleh Mahiru.
zzzz
“Aku mau mengembalikan ini. Rasanya benar-benar
enak. ”
Keesokan malamnya, Amane membawa tupperware yang
dipinjamkan saat Ia mengunjungi ruangan Mahiru.
Amane benar-benar buruk dalam melakukan beres-beres, tapi
Ia masih bisa buat mencuci. Bagaimanapun juga, ini adalah tata karma yang
lumrah untuk mencuci sebelum mengembalikan. Jadi Ia berpikir begitu sambil
membawa tupperware yang sudah dicuci dan dikeringkan.
Mahiru mungkin sudah mengira kalau itu Amane yang akan
membunyikan bel, karena dia membuka pintu tanpa memeriksa.
Dia mengenakan gaun one piece rajutan merah bordeaux, dan
menyipitkan matanya sedikit ketika dia melihat Amane.
Dia melirik tupperware, "Sungguh mengesankan kamu mencucinya dengan baik." dan
memujinya seperti yang dia lakukan terhadap anak kecil, menyebabkan Amane
mengerutkan kening tanpa berpikir.
“Terima kasih sudah melakukan ini banyak. Ini
buatmu.”
Mahiru menerima tupperware, dan itu tidak masalah, tapi
kemudian, dia menyerahkan tupperware lain ke tangan Amane.
Seperti yang sudah diduga, atau begitulah tampaknya,
Tupperware tersbut masih hangat.
Di dalamnya mungkin ada babi goreng dan terong. Itu
sedikit lebih dingin, jadi tutupnya tidak tertutup uap, dan melalui tutupnya,
dia bisa melihat terong, daging yang dimasak, dan biji wijen yang ditaburkan.
Bila dilihat warnanya, sepertinya saus itu terbuat dari
miso. Terong yang sedikit hangus dan dagingnya yang mengkilap tampak
membangkitkan selera.
Ini
benar-benar terlihat lezat, begitu pikir Amane.
Tapi Ia tidak bisa memahami kenapa Mahiru membawakannya
makanan lagi.
“Tidak…ummm, aku di sini hanya untuk mengembalikan
tupperware.”
“Ini adalah makan malam untuk malam ini.”
“Aku tahu itu, tapi….”
“Cuma buat jaga-jaga, kamu tidak punya alergi, ‘kan? Aku
tidak peduli dengan preferensi makananmu.”
“Tidak juga? Tetapi jika aku terus mengambil lebih
darimu.”
Bagaimana jadinya jika Amane mendapat makan malam dua
kali berturut-turut darinya?
Amane merasa benar-benar berterima kasih, terutama
mengingat keseimbangan gizinya yang tidak tepat, dan masakan Mahiro jauh lebih
unggul daripada gadis seusianya. Rasanya akan sangat luar biasa.
Begitu juga makanan di dalam tupperware ini pasti terasa
lezat.
Tapi itu akan menjadi tragedi jika orang-orang dari
sekolahnya melihat ini. Tentu saja, tragedi itu akan terjadi pada
kehidupan sekolah Amane yang damai.
Setiap ruangan apartemen di sini menampung seseorang,
namun mengingat fasilitas dan lokasi geografis, biaya sewanya sangatlah mahal. Tidak
ada teman sekolah lain selain Mahiru di dekatnya, dan Ia tidak perlu khawatir
mereka tertangkap basah, tapi Ia merasa ragu tentang hubungan seperti itu bakal
terungkap.
“Aku membuat sedikit terlalu banyak untuk diriku
sendiri. Aku merasa senang jika kamu menerima sebagian milikku.”
“... Yah, aku senang menerima ini, tapi biasanya, ini akan
memberi kesan yang salah pada orang lain bahwa kamu menyukai mereka, tau.”
“Kamu berpikir begitu?”
“Tidak, tidak sama sekali.”
Memangnya kamu ini idiot? Mengingat Mahiru membuat
wajah seperti itu, Amane tidak punya alasan untuk terlalu memikirkannya.
Selain itu, Si cantik jenius Mahiru menunjukkan kekhawatiran
setelah menyaksikan bagaimana Amane sangat tidak berguna dalam beres-beres, dan
mustahil untuk membayangkan kalau dia memiliki niat baik kepadanya.
Memang benar bahwa menerima makan malam dari tetangga
yang cantik akan sesuai dengan perkembangan manga romcom, tapi tidak ada cinta
di antara mereka, dan sulit untuk menemukan elemen komedinya. Sebagai
catatan, Amane tidak punya beras di apartemennya.
Satu-satunya aspek yang ada hanyalah kata-kata pedas Tenshi
dan belas kasihan yang menyedihkan.
“Seharusnya tidak apa-apa. Kamu berencana membeli
beberapa bento dari toko swalayan atau lauk pauk di supermarket, ‘kan? ”
“Bagaimana kau bisa tahu?”
“Dapurmu sepertinya tidak pernah digunakan dengan benar,
dan ada banyak sumpit sekali pakai dari toko swalayan dan supermarket. Dan,
siapa pun bisa menebaknya, mengingat betapa tidak sehatnya penampilanmu. Wajahmu
jelas-jelas terlihat tidak sehat. ”
Dia melihat semuanya dengan hanya sekali berkunjung di
apartemennya, dan wajah Amane berkedut. Namun itu adalah fakta yang tak
terbantahkan, jadi Ia tidak bisa mengatakan apa-apa.
“... Kalau begitu, aku akan kembali.”
Gedebuk, begitu dia selesai dengan apa yang ingin dia katakan
dan berikan, Mahiru kembali masuk ke apartemennya.
Klik. Rantai di belakang pintu terkunci, dan Amane
melihat ke arah tupperware di tangannya.
Di telapak tangannya ada makan malam yang masih hangat,
dan Ia menghela napas sebelum kembali ke apartemennya.
Terong dan daging babi dengan biji wijen benar-benar
nikmat, dan Ia sangat menginginkan nasi.
zzzz
Jadi, setiap hari, Ia akan menukar tupperware kosong
dengan makanan, nutrisi makanannya berubah drastis menjadi lebih baik.
Masakan Mahiru tidak terlalu istimewa dalam bumbu, tapi
rasanya sangat menggugah selera, jadi setiap makan malam, Ia akan menyiapkan
nasi yang sudah dimasak untuk dimakan dengan hidangan tersebut.
Ada berbagai hidangan yang berbeda setiap hari, entah itu
masakan Jepang, Barat, atau Cina, dan semuanya lezat, mana mungkin Amane bisa
menolaknya.
Kesempatan untuk makan ini setiap hari membuat Amane
menantikan hidangan tersebut. Ia minta maaf tentang itu, tapi sepertinya Ia
sudah dijinakkan, Amane akan merasa melankolis jika Ia tidak pernah bisa memakan
makanan buatan Mahiru lagi.
Mungkin masakan buatan Tenshi benar-benar membuat
ketagihan. Sambil berpikir kalau ini bukan hal yang baik, Amane dengan patuh
menerima tupperware, dan memanjakan dirinya dalam makanan.
“... Kau terlihat sehat baru-baru ini. Apa selera
makanmu sudah meningkat?”
Wajah Amane terlihat jauh lebih baik, mungkin karena
memakan hidangan bernutrisi dari makan malam dalam beberapa hari ini. Itu
adalah waktu istirahat makan siang ketika Itsuki menatap wajahnya.
Amane sedang memakan udon di kantin sekolah, dan
mengeluarkan keringat dingin di hadapan perspektif Itsuki yang biasa.
“Itsuki, aku pikir kau terlihat menakutkan.”
“Apa, apa tebakanku tepat sasaran?”
“Tidak ... yah, aku harus merenungkan itu.”
Ia akan diberitahu kapan pun Ia bertemu Mahiru di
apartemen, dan mengingat bahwa Ia menerima makan malam dari Mahiru, jelas saja
kalau kualitas hidupnya telah meningkat.
Ia ingin mengucapkan terima kasih kepada si Tenshi, tapi
pada saat yang sama, Ia merasa kalau gadis itu terlalu ikut campur.
Jadi Amane hanya mengkonfirmasi dengan balasan ambigu,
dan Itsuki dengan gembira terkikik.
“Tentu saja. Tampang tidak sehatmu yang dulu adalah
karena kebiasaan hidupmu. ”
“Berisik kau.”
“Tapi kau berhasil memperbaikinya begitu saja?”
“... Aku dipaksa, semacam itu?”
“Ha ha. Ibumu tahu?”
“... Bisa dibilang tidak juga.”
Nada bicara Mahiru memang mirip dengan ibunya.
Dia terlalu muda dan imut untuk dipanggil ibunya, tapi
Amane tidak ingin menolak Mahiru, yang sudah merawatnya selama ini.
“Hei Itsuki. Apa aku memang terlihat sangat tidak
sehat, ya?”
“Ya. Sebagian besar karena kau terlihat terlalu
pucat. Kamu tinggi, tapi sangat kurus, dan wajahmu terlihat tidak sehat.”
“Tapi wajahku memang seperti ini."
“Aku tahu. Tapi kau bisa lebih banyak
mengekspresikan wajahmu. ”
“Itu mustahil ... Begitu ya, wajah yang tampak mati ...?”
Karena Ia jarang-jarang memeriksa wajahnya di cermin,
Amane hampir tidak tahu bagaimana penampilannya, tapi bagi orang lain, Ia
tampak sangat sakit.
Mungkin Mahiru merasa khawatir tentang Amane karena Ia
biasanya terlihat mati.
“Amane, kau harus lebih memperhatikan bagaimana orang
lain memandangmu. Kau selalu menunduk ke bawah, dan tidak terlalu mudah
didekati. Kau tidak benar-benar aktif untuk berinteraksi dengan orang
lain, dan yang lain menganggap kalau kau itu membosankan.”
“Apa kau hanya menceramahiku?”
“Tidak, apa lagi yang bisa aku lakukan tanpa
mengatakannya dengan jelas?”
Itsuki mengambil kesempatan untuk membujuk Amane agar fokus pada kesehatan dan penampilannya, "Ini bukan urusanmu." tetapi Ia hanya membalas dan membuang muka.
gud ini,mcnya peka bngt njer
BalasHapusMin tiap klik next chap selalu buka tap baru, tolong d perbaiki ya
BalasHapustapi mengarahkannya bener 'kan ke chapter selanjutnya? kalo bener sih engga usah dibenerin
BalasHapusBener sih min
BalasHapus👌🗿
BalasHapus