Otonari no Tenshi-sama Vol.1 Chapter 5 Bahasa Indonesia

Chapter 05 – Tenshi dan Operasi Bersih-Bersih

 

Amane tak pandai dalam semua jenis pekerjaan rumah, dan yang terburuk adalah mengenai beres-beres.

Ia bisa memasak, jika definisi juru masak adalah bahwa Ia bisa terluka, dan mengabaikan penampilan dan rasanya.

Jika Ia memasak dengan gagasan kalau Ia tinggal memanaskan dan memasukkannya ke dalam perutnya, Ia memang bisa, terlepas dari rasa dan penampilan masakannya, tapi itu bukan karena Amane tidak bisa memasak.

Jika Ia tidak bisa mencuci pakaian, Ia benar-benar akan mengalami kesulitan dalam hidupnya; tapi setidaknya Amane masih bisa melakukannya. Bahkan jika Ia tidak bisa, masih ada toko laundy di dekat apartemennya. Ia tinggal menaruh pakaiannya ke dalam mesin cuci, menambahkan deterjen dan air, dan membiarkannya berputar, jadi itu masih baik-baik saja.

Namun, Amane benar-benar putus asa bila mengenai bersih-bersih.

“Apa yang harus aku lakukan dengan ini?”

Sekarang adalah hari libur, dan Amane, setelah diungkit terus oleh Mahiru dan Itsuki, akhirnya memutuskan untuk mulai membersihkan ruangan apartemennya, tapi Ia tidak tahu harus mulai dari mana.

Amane tahu kalau ini salahnya sendiri, tapi ada terlalu banyak barang yang berserakan, dan tidak tahu bagaimana Ia harus melakukannya.

Untuk saat ini, Ia mencuci futonnya, dan mengeringkannya.

Dan kemudian, Ia tidak tahu bagaimana memulai beres-beres.

Baju dan majalahnya tergeletak di mana-mana, dan Ia tidak punya tempat untuk melangkah.

Hal yang baik dari situasi ini ialah setiap sampah yang berhubungan dengan makanan akan berbau busuk sudah Amane buang, jadi tidak ada noda minyak atau bau busuk. Yah, meski ruangan itu sendiri masih berantakan.

Meski begitu, kekacauan tersebut adalah masalah yang paling mengganggunya.

Dan sementara Ia menghela nafas, ada bunyi bel dari pintu masuk.

Ah, celetuk Amane tanpa berpikir.

Orang yang muncul di sana adalah pengunjung yang sudah lama Ia kenal, atau lebih tepatnya, berkah dari Surga, keberadaan seperti tukang antar yang akan kembali setelah setiap pengiriman. Baginya, dia mirip seperti sosok penyelamat.

Amane segera bergegas menuju pintu masuk, hampir terpleset karena tidak ada tempat untuk menginjakkan kaki, dan menyangga tubuhnya di dinding ketika Ia membuka pintu.

“Maaf, aku di sini untuk mengambil tupperware terakhir ... apa yang sedang kamu lakukan?”

“... Bersiap-siap untuk beres-beres.”

Mahiru melihatnya hampir jatuh, dan menatap wajahnya dengan putus asa.

“Kupikir ada suara keras tadi.”

“... Aku hampir jatuh.”

“Kurasa juga begitu. Kamu belum mulai beres-beresnya, ‘kan?”

“Aku tidak tahu harus mulai dari mana.”

“Sudah kuduga.”

Sangat sulit untuk memulai ketika semuanya sangat berantakan, jadi Mahiru mengomentari dengan blak-blakan seperti biasa, wajah Amane berkedut, tapi Ia tidak bisa menyangkalnya.

Lebih penting lagi, jika Ia benar-benar berdebat dengannya sampai akhir, Ia takkan tahu bagaimana memulai buat beres-beres.

Tapi ngomong-ngomong, bagaimana kalau Ia bertanya?

Amane ingin menanyakan tips beres-beres, tapi apakah dia benar-benar bersedia memberikan ... jadi Amane menatap ke arah Mahiru ragu-ragu, dan dia melihat ke belakang Amane, menuju pintu masuk yang berantakan.

Uwaah, begitu Mahiru melihat ke arah kehancuran di belakangnya, pandangan matanya pada dasarnya berteriak seperti itu. Baginya, tampaknya pintu masuknya terlalu berantakan.

“Tolong izinkan aku ... untuk membersihkan ruangan apartemen ini sepenuhnya.”

“Hah?”

Amane berpikir rasanya terlalu lancang baginya untuk meminta Mahiru membantu, jadi Ia hanya berniat bertanya padanya tentang cara beres-beres.

Tapi Ia tidak pernah menyangka kalau Mahiru justru menawarkan bantuannya.

“Rasanya tak tertahankan untuk berpikir kalau tetanggaku punya kamar yang begitu kotor."

Kata-katanya selalu pedas, dan karenanya, Ia tidak marah. Lagi pula, dia mengatakan yang sebenarnya, dan Amane tidak berniat untuk membantah.

“Dan kamu tinggal sendirian tanpa bisa melakukan pekerjaan rumahmu? Aku kira kamu menghabiskan keseharianmu dengan pola pikir optimis, berpikir kalau kamu akan terbiasa dengannya. Saat ini, kamu tidak bisa melakukan apa pun. Bagaimana kalau kamu sedikit merenungkan gaya hidupmu? ”

Amane hanya bisa diam seribu bahasa.

Ibunya pernah bilang kalau rasanya akan mudah jika Ia mengerjakan pekerjaan rumahnya dengan rajin, tapi dia selalu membiarkannya, yang mana mengakibatkan situasi ini. Ia juga menyadari bahwa Ia menuai apa yang dia tabur.

“Terlebih lagi, ini takkan terjadi jika kamu beres-beres setiap hari. Ini menunjukkan akibat rasa malasmu setiap hari. ”

“…Kau benar.”

Salah satu alasan Ia tidak marah meski Mahiru mengatakan demikian, ialah karena dia telah merawatnya, dan Amane tidak punya kebanggaan untuk melawannya. Bagaimanapun juga, dia benar-benar mampu menebak pikiran dan tingkah lakunya di masa lalu.

Semuanya berakhir seperti ini karena Ia membiarkannya, berpikir kalau Ia bisa menyelesaikannya, dan Amane hanya bisa diam-diam mengangguk pada apa yang dikatakannya.

“Boleh aku membersihkan apartemen ini?”

“... Apa aku boleh memintamu untuk melakukannya?”

“Tentu saja, karena akulah yang menyarankannya. Terus, aku mau memulai persiapan. Yang terbaik adalah jika kamu menyimpan barang-barang pribadi yang ingin kamu sembunyikan, atau barang berharga di gudang.”

“Kau tidak perlu mencemaskan hal itu."

Sungguh ironis, sementara kata-katanya terdengar kasar, dia begitu tulus dalam menawarkan bantuannya, dan Amane tidak perlu khawatir kalau Mahiru akan mencuri apa pun.

Lagi pula, dia, yang begitu taat pada akal sehat dan suka ikut campur, mana mungkin melakukan yang tidak-tidak.

“... Apa kamu tidak merasa khawatir?”

“Kau ‘kan bukan tipe orang yang melakukan itu.”

“Bukan itu ... apa kamu tidak merasa khawatir kalau aku akan melihat hal-hal yang kamu ingin sembunyikan sebagai cowok?”

“Maaf tentang itu, tapi aku tidak punya barang seperti itu.”

“Yah, kalau kamu bilang begitu. Aku akan mengganti bajuku dan membawa alat kebersihanku ... Aku akan membersihkan apartemen ini, secara menyeluruh.”

Mahiru mengangkat bahu, dan kembali ke apartemennya. Dari belakang, Amane melihatnya pergi dengan senyum masam di wajahnya.

 

zzzz

 

Mahiru kembali ke apartemen Amane dengan pakaian yang berbeda, Kaos putih panjang, dan celana kargo khaki.

Kaos yang dikenakan benar-benar menekankan tubuhnya yang berlekuk.

Dia menyanggul rambutnya, menunjukkan tengkuk putih, yang mana hal tersebut membuat Amane menjadi sedikit tidak nyaman.

Biasanya, Mahiru selalu mengenakan gaun one piece atau rok, jadi ini pemandangan baru bagi Amane.

Ia penasaram apakah penampilan tomboy begini akan cocok untuk Mahiru, tapi sepertinya Ia terlalu memikirkannya. Karena, saat itulah Amane benar-benar menyadari kalau gadis cantik akan terlihat bagus dalam pakaian apa saja yang mereka kenakan.

Meski begitu, walau baju tersebut dipakai buat memudahan untuk bergerak, itu bisa dipakai di luar. Amane penasaran apakah dia baik-baik saja kalau baju itu menjadi kotor.

“Apa kau baik-baik saja kalau bajumu jadi kotor?”

“Aku bermaksud membuangnya nanti. Tidak masalah meskipun kotor. ”

Jawab Mahiru ketika dia melihat ke sekeliling ruangan yang penuh berantakan, dan menghela nafas.

“Cuma untuk jaga-jaga, kita melakukan ini sepenuhnya, mengerti?”

“…Oke.”

“Jika kamu mengerti, ayo kita bergegas. Aku tidak akan menahan diri, dan tidak akan membiarkan mu berkompromi.”

Apa itu baik-baik saja? Begitulah pesan yang tersirat dalam perkataan Mahiru, "Ya." Dan Amane hanya bisa patuh mengangguk.

Maka dimulailah operasi pembersihan yang diluncurkan oleh si Tenshi.

“Pertama-tama, bawa pakaian ke keranjang cucian. Yang namanya pembersihan harus dilakukan dari atas ke bawah, tapi jika kita ingin menggunakan penyedot debu, kita harus memilahnya. Ada begitu banyak pakaian, jadi kita harus memisahkannya dalam tumpukan. Dan, bagi yang sudah kamu pakai dan yang belum. Kita bisa mencuci semuanya, kan?”

“Ahh lakukan saja apa yang kau inginkan ...”

Seperti yang diharapkan, meski mereka memiliki penyedot debu, mereka harus membereskan dulu kekacauan yang ada di permukaan lantai.

“... Kamu tidak punya pakaian dalam yang berserakan, ‘kan?”

“Setidaknya aku akan menyimpannya di lemari.”

“Bagus. Kita akan berurusan dengan pakaian nanti. Bahkan jika kita mencuci dan mengeringkannya sekarang, debu akan beterbangan ketika kita membersihkannya. Tidak ada cukup ruang untuk mengeringkan pakaian. Jika kamu tidak terlalu membutuhkannya, kita bisa mencucinya begitu selesai membersihkan ruangan ini. ”

“Iya.”

“... Lalu, majalah bisa dibuang. Bukan jadi masalah kalau kamu mau mengumpulkan mereka, tapi kurasa tidak begitu melihat bagaimana majalah-malaha tersebut tersebar di mana-mana. Gunting halaman yang ingin kamu simpan, dan urus sisanya. Ikat mereka, dan bawa ke tempat pengumpulan sampah.”

Mahiru dengan cekatan mulai bersih-bersih, menginstruksikan Amane untuk menyimpan pakaiannya di keranjang cucian saat dia menumpuk majalah satu per satu.

Dia bertanya apakah Amane punya majalah yang benar-benar ingin Ia simpan, tapi itu bukan yang Ia khawatirkan, jadi Amane membalas dengan menggelengkan kepalanya. Melihat responnya, Mahiru menumpuk majalah dengan tali vinil yang dibawanya dari tempatnya.

“Setelah selesai dengan pakaian, tolong ke sini dulu dan memilah barang-barang lainnya di lantai. Hal yang sama berlaku untuk mereka, pilah apa yang kamu inginkan dan tidak inginkan, dan buang yang tidak kamu inginkan. Paham? ”

“…Oh.”

“Jika kamu tidak senang dengan sesuatu, katakan saja dengan jujur.”

“Tidak, tidak juga ... hanya saja kelihatannya sangat teratur.”

“Kita tidak akan punya cukup waktu jika kita tidak melakukannya. Aku tidak ingin melihat kamarmu berantakan. ”

“Kau benar.”

Meski sekarang adalah hari libur mereka, tapi waktu yang ada sangatlah terbatas. Mengingat bahwa suara penyedot debu bisa mengganggu tetangga mereka, mereka hanya bisa melakukannya di siang hari.

Dan tugas sebelum menyedot debu ialah pekerjaan fisik seperti itu. Mahiru mengerti hal ini, dan menyuruhnya cepat-cepat berkemas.

Amane minta maaf karena sudah menyusahkan Mahiru, tetapi berkat dia, ada lebih banyak ruang untuk pijakan, dan Ia benar-benar terkesan.

“Instruktur Shiina ...”

“Karena kamu memanggilku instruktur, cepat dan pelajari. Aku tidak bisa menentukan mana barang-barang pribadimu, jadi tolong pilah yang kamu butuhkan. ”

“Siap, pak.”

“Tolong jangan perlakukanku seperti laki-laki.”

Balas si Tenshi dengan wajah suram ketika dia beres-beres dengan tangannya yang gesit, memilah hal-hal yang bisa dia tentukan.

Amane sendiri punya keinginan untuk menyimpan apa saja dan segala sesuatu, dan dengan demikian Ia bersyukur dan iri bahwa dia bisa begitu tegas.

Ini adalah kamar orang lain, tapi Mahiru benar-benar tanpa ampun membersihkannya secara menyeluruh. Dia benar-benar bertindak seperti ibu rumah tangga, dengan cara yang sederhana.

Gerakannya yang teratur membuatnya sepertinya bisa dengan mudah membersihkan apartemen ini sendiri.

Tapi dia mungkin terlalu tergesa-gesa, karena dia tidak memperhatikan pijakan kakinya.

Apa yang terjadi tidak diragukan lagi adalah kesalahan Amane, karena Mahiru menginjak pakaian yang ada di lantai dan kehilangan keseimbangan.

"Ah."  Mahiru berkata tanpa sadar, dan pada saat itu, Amane secara naluriah meluncur ke lantai yang mana dia akan jatuh.

Amane merasakan sensasi lembut dan aroma wangi, bersamaan dengan bau debu, yang mungkin disebabkan ketika Ia bergegas.

Pantatnya merasakan sakit tumpul saat  mendarat, tapi itu masih bisa ditahan, dan Ia hanya sedikit mengerang. Pada saat yang sama, Ia bisa merasakan berat badan Mahiru yang menindihnya.

Amane beruntung bahwa Ia bisa menghentikannya saat itu juga.

“…… Fujimiya-san”

Mahiru mendongakkan wajahnya, menatapnya dengan tatapan tertegun. Dia tampaknya tidak marah, tapi tampaknya dia punya banyak hal untuk dikatakan.

“Maaf karena terpleset jatuh. Yah, karena kita sedang sedang membersihkan ruangan apartmen jadi hal ini bisa terjadi.”

“Aku benar-benar minta maaf. Aku merenungkan hal ini ... Apa kau terluka?”

“Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah menangkapku. Seharusnya aku yang minta maaf. ”

“Tidak, ini karena salahku ...”

Amane sudah menerima makan malam darinya, dan sekarang Ia menerima bantuan untuk membersihkan ruangan apartemennya. Rasanya akan bersalah jika Mahiru terluka karena ini.

Amane sangat meminta maaf, Ia tidak berani menatap wajah Mahiru.

Jika Mahiru menyuruhnya, Amane akan mempertimbangkan untuk bersujud padanya, tapi sepertinya dia tidak punya niat untuk menyalahkan Amane.

“Kita sedang membersihkan ruangan ini supaya mencegah hal begini terjadi, kau tahu?”

“Aku tahu. Aku sangat menyesal.”

“... Tidak, kamu tidak perlu minta maaf. Aku datang ke sini untuk membantu. ”

Mahiru sedikit panik ketika dia menatapnya.

Dia menatap Amane dari dekat dengan mata gelisah sambil berpegangan padanya, dan Ia merasa sangat sulit untuk tenang.

Amane, yang tidak punya hoki dengan wanita, sudah mengalami serangan jantung pada jarak sedekat ini, apalagi seorang gadis cantik dalam kontak dekat dengannya.

Tak satu pun dari mereka saling jatuh cinta, tapi Ia merasa itu tidak pantas.

Mahiru sendiri tampaknya tidak menyadari posisi tubuhnya, jadi Amane dengan lembut meraih bahunya, menjauhkannya, dan berdiri sebelum rasa malu mencapai wajahnya.

“... Bagaimana kalau kita lanjutkan?”

“Ya.”

Untungnya, tampaknya Mahiru tidak menyadari Amane goyah, dan dia memegang tangan Amane ketika dia berdiri.

Wajahnya masih sama seperti biasa, tidak mempedulikan bahwa mereka baru saja melakukan kontak fisik.

Amane sendiri berpikir bahwa gadis seperti Mahiru tidak gampang malu mengingat begitu banyak anak laki-laki menghujaninya dengan kasih sayang, menyingkirkan masalah ini.

Ia memandang Mahiru dengan senyum masam, meminta maaf karena telah membantunya, jadi Ia memotivasi dirinya sendiri dan mulai beres-beres lagi.

“... Itu mengejutkanku.”

Masalah bersih-bersih selalu merepotkan bagi Amane, mengingat Ia tidak terbiasa dengan itu.

Dan dengan demikian, Amane tidak pernah menyadari bisikan kecil Mahiru dan mata yang sedikit memerah di bawah rambut raminya.

 

zzzz

 

“... Fuuu, akhirnya bersih juga.”

Pada akhirnya, mereka menghabiskan waktu sepanjang hari untuk membersihkan ruangan apartemen Amane.

Mereka membereskan barang-barang pribadi di lantai setelah beberapa jam, mencuci pakaian, mengelap lampu, jendela, menyedot debu lantai, dan pada saat mereka selesai, matahari sudah berada di ujung barat.

Pancaran matahari bisa terlihat ketika Mahiru memasuki rumah, dan ini adalah bukti yang cukup mengenai berapa lama mereka bekerja keras dalam beres-beres.

Tetapi karena alasan inilah rumah Amane terlihat rapih sekali lagi.

Lantai dibersihkan dari sesuatu yang tidak perlu, dibersihkan secara menyeluruh. Jendela dan kusen bersih dari debu, begitu pula lampu-lampu, tampak lebih terang dari sebelumnya.

Kamar Amane juga sudah dibersihkan, jadi tidak ada yang berserakan di lantai, dan Ia bisa beristirahat dengan nyaman di sana.

“Kita menghabiskan seharian penuh untuk ini.”

“Yah, karena terlalu berantakan ...”

“Semua berkat dirimu.”

“Kamu benar.”

Amane tidak bisa mengangkat kepalanya ke arah sang penyelamat, dan hanya bisa melihat ke arah Mahiru dengan hormat, mengingat bahwa dia sudah banyak membantunya.

Ya ampun, gumam Mahiru ketika dia mengikat kantong sampah, setelah menghabiskan hari liburnya yang berharga untuk hal ini.

Dia mungkin terdengar brutal, tapi dia tidak terlihat tidak senang, malah terlihat puas. Walau begitu, dia terlihat agak lesu, dan itu sudah diduga karena dia bekerja keras sepanjang hari.

Amane tidak punya sifat kurang ajar untuk meminta Mahiru membuat makan malam setelah ini.

Kesampingkan apakah Mahiru mau memasak bagiannya, Amane akan merasa tak enak jika Ia membiarkannya bekerja dalam keadaan lelah.

“Aku tidak mau keluar dan membeli makan malam sekarang, jadi ayo kita pesan pizza saja. Biar aku yang mentraktir hari ini, karena aku sudah merepotkanmu.”

“Eh, tapi….”

“Jika kau tidak mau memakannya bersamaku, kau bisa mengambil beberapa potong untuk dimakan di apartemenmu.”

Amane tidak bisa memaksa Mahiru jika dia tidak ingin makan bersamanya, tetapi dia bisa membawanya pulang.

Ketimbang ingin makan bersamanya, Amane hanya ingin menunjukkan balas budi kepada Mahiru, jadi Ia tak keberatan jika makan sendirian.

“…Tidak. Aku belum pernah memesan pizza sebelumnya, jadi aku sedikit kaget. ”

“Eh, kau belum pernah sama sekali?”

“Aku belum memesan pizza sejak aku tinggal sendirian ... meski aku pernah membuatnya sendiri.”

“Rasanya menakjubkan bagaimana kau berpikir bisa membuat pizza sendiri.”

Biasanya, orang akan memesan pizza take-out, atau memesan dari tiga pilihan. Mungkin ada beberapa jenis orang seperti Mahiru yang akan menghabiskan upaya untuk memulai dari adonan.

“Itu normal untuk memesan take-out. Aku sering melakukannya sendiri. Tunggu, kau bukan tipe orang yang pergi ke restoran keluarga sendirian, ‘kan? ”

“Aku belum pernah ke sana.”

“Jarang mendengar itu. Aku memang pergi sendiri, terutama ketika orang tuaku malas melakukannya. Apa orang tuamu tidak suka makan di luar?”

“... Pembantu di rumah akan memasak untuk kita.”

“Pembantu? Tidak heran.”

Amane sudah menduga kalau Mahiru adalah orang kaya.

Etiket, pakaian, dan barang-barangnya tampak mewah.

Mengingat bagaimana dia punya aura yang elegan, tidak aneh untuk berasumsi begitu.

Dan begitu dia mengakui begitu, Amane menunjukkan senyum.

“Kurasa kau relatif kaya.”

Tetapi Ia segera menyesali kata-kata tersebut, karena senyum di wajah Mahiru lebih mirip dengan mencemooh diri sendiri daripada sukacita dan kebanggan.

Mahiru menanggapi dengan diam ketika Amane mengungkit tentang orang tuanya, jadi sepertinya dia punya hubungan buruk dengan mereka.

Tampaknya dia benar-benar tidak ingin membicarakan itu, jadi Amane tidak punya niat untuk menyelidiki lebih jauh lagi.

Setiap orang memiliki satu atau dua hal yang tidak ingin disebutkan atau dibicarakan dengan orang lain. Tidak bertanya tentang hal-hal tertentu mungkin merupakan rasa hormat kepada seseorang yang relatif tidak dikenalnya.

“Yah, anggap saja itu sebagai pengalaman. ini, silahkan pilih yang kau inginkan.”

Amane memutuskan untuk tidak membicarakan tentang orang tuanya, dan menunjukkan lembaran daftar menu pizza padanya.

Pizza yang di pesan berasal dari toko yang sering dikunjungi Amane, mencicipi layanan pengiriman yang dikenalnya di area ini.

Tentu saja itu tidak sebagus yang dipanggang pada kiln pizza, tapi topping yang sangat bervariasi dari standar sehingga menarik minat anak-anak, dan tentunya ada beberapa yang sesuai dengan selera Mahiru.

Menanggapi perubahan topik, Mahiru mengambil lembaran menu, dan dengan cepat memindai isi menu.

Pupil mata yang mirip warna teh tampak menatap gambar berbagai pizza.

Mata itu, yang selalu tanpa emosi, tampak berkilau dengan kehidupan.

(... Tunggu, apa dia benar-benar menantikan ini?)

Mungkin Amane terlalu banyak berpikir, tapi Mahiru tampak sedikit bersemangat, karena begitu dia melihat menu, dia menunjuk empat pizza rasa yang biasanya ditemukan di pesta-pesta, "Ini yang aku inginkan." menyiratkan demikian.

Mahiru mengintip ke arahnya, dan begitu Amane setuju, cahaya mulai bersinar di matanya.

Amane tersenyum masam melihat wajahnya yang terlihat gembira, dan dengan satu tangan, Ia menelpon nomor yang tertera di lembaran menu.

Sekitar satu jam kemudian, pesanan pizza tiba, dan Mahiru dengan cepat memakannya.

Ada empat rasa di dalam pizza tersebut, dan dia sepertinya kesulitan menentukan yang mana yang harus dipilih, dan memulai dengan bacon dan sosis.

Tidak disangka, dia menunjukkan sisi seperti seorang putri saat dia mengunyah pizza dengan gigitan kecil.

Dia memegangnya di tangan, tetapi ada rasa keanggunan bagaimana dia memakan pizza tersebut, dan tampaknya dia dibesarkan untuk melakukannya.

Tapi pada saat yang sama, Amane merasa kalau dia sama menggemaskannya seperti binatang kecil.

Dia menyipitkan matanya pada untaian keju yang membentang, pipinya yang mengunyah makanan tampak menggemaskan.

Biasanya, dia terlihat seperti orang dewasa, bahkan tampak percaya diri, tapi pada saat ini, dia bertingkah sesuai dengan usianya.

Dan ketika dia mengunyah pizza dengan gigitan kecil, Amane memiliki dorongan untuk mengelus kepalanya.

“…Apa?”

“Tidak ada. Hanya saja kau terlihat seperti sedang menikmati ini.”

“Tolong jangan terus-terusan menatapku.”

Tapi kerutan tidak senangnya tidak lucu sama sekali.

“... Yah, untuk mengatakan ini, kau sama sekali tidak imut.”

“Itu tidak masalah. Sebenarnya, kau pasti merasa tidak nyaman dengan tingkahku yang sama saat di sekolah, ‘kan?”

“Ya begitulah. Aku lebih terbiasa denganmu yang begini daripada yang di sekolah. ”

Amane tidak pernah berinteraksi dengan Mahiru di sekolah, dan tidak pernah berbicara dengannya.

Yang bisa dilihat Amane hanyalah senyum menawan, ramah, dan sempurna yang ditunjukkannya kepada semua orang.

Dan sebaliknya, dia tidak memedulikan orang lain saat ini.

Ini mungkin sosok Mahiru yang sebenarnya, dan gerakannya di sekolah hanyalah mode 'luar'.

“Bagiku, bagian dirimu yang saat ini tidak melelahkan.”

“Bagian yang tidak imut?”

“Jangan dendam begitu... tapi yah, aku tidak tahu apa yang kau pikirkan saat di sekolah.”

“Sebagian besar makanan dan pelajaran.”

“Kau masih berpuara-pura?”

Amane menyiratkan bahwa Mahiru menyembunyikan sesuatu, tapi orangnya sendiri malah menganggapnya sesuai apa yang dikatakan.

Tampaknya dia sedang tidak berpura-pura, dan menatap Amane dengan pandangan tidak senang.

“Tidak, bukan itu yang aku maksud. Maksudku, aku tidak bisa melihat hatimu, jadi aku tidak tahu apa yang kau pikirkan di sekolah, dan kau masih tidak bersahabat sekarang, tapi rasanya lebih mudah untuk berinteraksi denganmu ketika kau mengungkapkan perasaanmu dengan jujur. ”

“... Apa perilakuku di sekolah tidak pantas?”

“Begitulah caramu menangani urusanmu, dan kurasa itu bukanlah yang buruk. Tapi apa kau tidak merasa lelah?”

“Tidak. Aku sudah seperti ini sejak kecil.”

“Sepertinya itu sudah mendarah daging, ya.”

Jika dia sudah bertingkah dengan mentalitas itu sejak kecil, etiketnya bisa dimengerti. Namun, ini berarti bahwa dia secara sadar bertindak seperti 'anak yang ideal', dan melakukannya karena dia tidak punya pilihan lain.

Tapi Amane tidak memaksakan diri untuk bertanya lebih lanjut tentang detail keluarga seperti yang secara samar dia isyaratkan.

“Yah, sekali-sekali bisa santai, enak ‘kan? Aku berhasil menghilangkan beberapa stres darimu.”

“... Aku tidak bisa bersantai ketika kamu begitu putus asa.”

“Kalau yang itu, maaf.”

Saat Amane mengangkat bahu dengan cara yang berlebihan, Mahiru terkikih.





close

1 Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama