Otonari no Tenshi-sama Vol.1 Chapter 7 Bahasa Indonesia

Chapter 07 - Cedera Tenshi Dan Terima Kasih

 

Taman dimana Amane dan Mahiru pertama kali bertemu berada di jalur jalan pulang.

Apartemen tempat Amane tinggal lebih cocok untuk sedikit orang, dan mungkin mengalami kesulitan untuk menampung keluarga; jadi ada beberapa anak di blok apartemennya, dan tampaknya apartemen-apartemen lain juga sama.

Dengan demikian, taman kecil yang tidak terlalu jauh tampak sedikit muram.

Itu adalah tempat kosong dimana anak-anak tidak datang untuk bermain──dan di sanalah Ia melihat Mahiru ketika sedang dalam perjalanan pulang.

“Apa yang sedang kau lakukan di sini?”

“…Bukan apa-apa.”

Mahiru duduk diam di bangku, dan menyipitkan matanya begitu melihat Amane.

Tidak seperti terakhir kali, mereka sudah saling kenal, dan Amane lebih mudah berbicara dengannya, tapi balasannya terlalu singkat. Dia tidak tampak waspada, tapi sepertinya dia tidak bisa mengatakan sesuatu.

“Jika bukan apa-apa, jangan cuma duduk di sana tampak tak berdaya. Apa yang terjadi?”

“…Ini bukan apa-apa…”

Meski Amane penasaran tentang bagaimana dia tampak dalam krisis, namun Mahiru tidak mau mengatakan alasannya.

Ada kesepakatan non-verbal bahwa mereka takkan terlibat di luar apartemen, tapi begitu dia melihat betapa kesusahannya dirinya, Amane mau tak mau jadi berbicara dengannya.

Mahiru mungkin berharap agar Ia tidak jadi orang yang suka ikut campur.

Tidak masalah jika dia tidak mau mengatakannya, pikir Amane saat menatap wajahnya yang kaku, dan menyadari ada beberapa helai putih di blazernya, yang mana sebenarnya itu adalah bulu.

“Di seragammu kok ada bulu. Apa kau bermain-main dengan anjing atau kucing atau sejenisnya?”

“Tidak juga. Aku baru saja menyelamatkan seekor kucing yang tidak bisa turun dari pohon. ”

“Adegan klise yang jadul ... ahh, begitu rupanya.”

“Eh?”

“Tetaplah duduk di sana dan jangan bergerak dulu.”

Begitu Amane mendengar penjelasannya, Ia langsung mengerti mengapa dia duduk di bangku. Dia menghela nafas panjang, dan pergi sejenak.

Mahiru pasti akan tetap duduk di tempat itu.

Atau lebih tepatnya, dia tidak bisa bergerak sama sekali.

Dia selalu bersikap keras karena alasan aneh, gumam Amane dengan menghela nafas ketika Ia pergi ke toko obat terdekat, membeli kain basah dan perban. Ia kemudian pergi ke minimarket, dan membeli es untuk kopi. Ia lalu kembali ke tempat Mahiru dan melihatnya masih berada di tempat yang sama.

“Shiina, cepat lepas stokingmu.”

“Hah?”

Ujar Amane, dan Mahiru membalas dengan suara yang benar-benar dingin,

“Tidak, jangan membuat suara seperti itu ... lihat, tutup saja dengan blazerku dan lepaskan stokingmu. Dinginkan area yang sakit dan tempelkan kain basah di atasnya. ”

Amane mengguncang kantong plastik belanjaan di tangannya, menunjukkan kalau Ia tidak punya fetish melihat dia melepas stokingnya, tetapi wajahnya jelas-jelas tertegun.

“…Bagaimana kamu bisa tahu?”

“Kau melepas satu sepatu, ada sedikit perbedaan antara ukuran pergelangan kakimu, dan kau tidak mau berdiri. Rasanya sangat klise melihat kakimu terpelintir karena mencoba menyelamatkan kucing. ”

“Kamu terlalu banyak bicara.”

“Ya ya. Sekarang lepas stokingmu. Lalu luruskan kakimu. ”

Meski itu sudah jelas, tetapi Mahiru tidak pernah menyangka bakal diperhatikan, dan hanya memalingkan muka.

Namun dia mengambil blazer itu dan menutupi lututnya, mungkin dia bermaksud melakukan apa yang diperintahkan.

Jadi Amane membalikkan tubuhnya membelakangi Mahiru, mengambil cangkir es dari minimarket, dan menuangkan air ke dalamnya.

Ia menutup lubang, mencegah air bocor, dan mengambil handuk dari tasnya, membuat kompres es di tempat sebelum Ia perlahan berbalik.

Seperti yang disuruh, Mahiru melepas stokingnya, dan menunjukkan kakinya yang telanjang.

Kaki yang ditampilkan di hadapan Amane adalah kaki kencang, lembut, dan indah tanpa lemak yang tidak berguna, bersamaan dengan pembengkakan pada pergelangan kaki yang tampak tidak alami.

“Sepertinya itu tidak terlalu buruk, tapi mungki bisa memburuk jika kau terlalu banyak bergerak. Ayo kita rawat cederanya dulu. Kau mungkin merasa sedikit kedinginan. Setelah rasanya tidak begitu menyakitkan, aku akan mengikatkan kain padamu. Istirahatlah saja dulu. ”

“…Terima kasih banyak.”

“Lain kali, jujur ​​saja dan mintalah bantuan. Aku tidak membantumu karena aku ingin kau berutang budi kepadaku.”

Amane sendiri berharap untuk berurusan dengan satu atau dua masalah, berharap untuk membalas budi atas kebaikan yang dia berikan padanya.

Mahiru menaruh kakinya di bangku, dan mendinginkan pergelangan kakinya. Dia tidak menunjukkan perubahan dalam ekspresinya, tapi dia juga tidak menolak niat baik Amane, dan hanya duduk diam.

“Apa rasa sakitnya sudah mereda?”

“…Ya, sudah sedikit lebih baik.”

“Aku akan memberimu kain basah ... jangan marah karena berpikir kalau aku ini cabul atau penguntit, oke?”

“Aku takkan mengatakan itu pada seseorang yang sudah repot-repot menolongku.”

“Itu bagus.”

Amane sekali lagi menekankan bahwa Ia tidak punya pikiran yang tidak senonoh ketika Ia berjongkok di hadapan Mahiro dan membungkus kain basah di atas pergelangan kaki merah Mahiru yang membengkak.

Ia bertanya seberapa banyak rasa sakit yang Mahiru rasakan, dan dia bilang kalau dia bisa berdiri dan berjalan, tapi dia tetap duduk untuk mencegah cedera jadi lebih buruk. Paling tidak, itu masih cedera kecil.

Begitu Ia mengikat kain basah dengan kaset yang dibelinya, Amane menyadari kalau Mahiru menatapnya.

“Tak disangka kamu sangat berguna.”

“Yah, aku bisa mengobati beberapa luka kecil. Kalau masalah masak sih masih mustahil. ”

Dia mengangkat bahu dengan gaya bercanda, dan Mahiru membalasnya dengan tawa kecil.

Selama ini, dia selalu terlihat kaku. Akan lebih baik jika dia bisa santai pada saat-saat seperti ini.

Melihatnya sedikit santai, Amane pun merasa lega, dan mengeluarkan sepasang celana jersey dari tasnya.

“Ini.”

“Eh?”

“Jangan menatapku seperti itu. Kakimu ‘kan telanjang begitu, dan kau tidak bisa mengenakan stoking saat ada kain lembab. Tenang saja, aku belum memakai ini, kok.”

Seikat besar kain dililitkan di pergelangan kakinya, dan akan sulit baginya untuk mengenakan stokingnya. Oleh karena itu, mendingan dia mengenakan celana, untuk melindungi bagian atas rok yang dingin dan terbuka.

Begitu Mahiru menyadari bahwa Amane punya maksud terselubung, dia menerima celananya dengan patuh.

Mahiru mengenakan celana, dan Amane mengambil kembali blazer yang dipinjamkannya padanya. Ia melepas jaket yang Ia kenakan, dan menyerahkannya padanya.

“Ini, pakai ini.”

“Tidak. Memangnya kenapa?”

“Kau ingin orang lain melihatku menggendongmu?”

Dia tidak bisa membiarkan orang yang terluka berjalan pulang sendirian. Lagian, Ia bermaksud melakukan itu sejak awal.

Lagipula, tempat tujuan mereka sama, dan akan lebih efisien untuk menggendongnya dan efektif untuk lukanya.

“Ah maaf, apa kau tidak keberatan membawa tasku? Aku tidak bisa membawa tasku jika aku menggendongmu.”

“Apa tidak ada pilihan untuk tidak menggendongku?”

“Hei, kakimu sedang terkilir tau,  jadi lakukan saja apa yang aku katakan. Mungkin kau bisa pulang sendiri saat tidak ada orang, tapi mumpung aku sudah di sini, manfaatkanlah kakiku yang baik ini.”

“Kaki?”

“Apa? Kau ingin aku menggendongmu di depan? Membawamu secara horizontal?”

“Memangnya kamu benar-benar punya tenaga untuk membawaku pulang?”

“Apa kau meremehkanku? ... Yah, aku sendiri tidak yakin tentang itu. ”

Kesampingkan dulu membawa Mahiru secara horizontal, tapi itu memng tugas yang sangat berat baginya untuk membawanya pulang ke apartemen. Tindakannya itu akan menarik banyak perhatian, dan lebih baik tidak melakukannya.

Ia tahu Mahiru sdang bercanda, dan Ia tidak merasa marah karena diremehkan. Jadi, Amane mendecakkan lidahnya, melihat bahwa Mahiru pasti baik-baik saja mengingat bagaimana dia sedang dalam mood membuat candaan yang seperti itu.

“Dengar, begitu kamu selesai, kenakan tudung dan tasnya. Juga, aku akan membawa tasmu begitu aku mengangkatmu. Aku tidak bisa melakukan itu sekarang. ”

“…Maaf.”

“Tidak udah sungkan-sungkan. Sebagai seorang cowok, aku bukanlah orang yang tidak tahu malu untuk meninggalkan orang yang terluka dan pulang duluan.”

Amane berjongkok, memunggungi gadis itu, dan dia dengan hati-hati mendekatkan tubuhnya ke punggung Amane.

Bahkan melalui parka dan begitu banyak lapisan pakaian, tubuh Mahiru begitu lembut dan halus.

Saat Amane sudah yakin tangan Mahiru melekat erat padanya dan tidak mencekiknya, Ia perlahan-lahan berdiri, menggendongnya.

Seperti yang diharapkan, dia benar-benar ringan.

Meski dia selalu mengomel pada Amane tentang ini dan itu, tubuhnya sangat mungil, orang akan khawatir apa dia sudah makan dengan baik. Itu mungkin karena dia sendiri memiliki sosok mungil dari awal.

Samar,-samar, Ia bisa menghirup semerbak aroma wangi saat dia terus berpegangan erat dengan Amane. Ia mulai diliputi kecemasan, tapi Ia melakukan yang terbaik untuk tetap tabah saat berjalan pulang.

Aksi menggendong seseorang saja sudah menarik banyak perhatian, tapi untungnya, wajah Mahiru tersembunyi di bawah tudung jaket, jadi mereka tidak menarik banyak perhatian.

“Baiklah, kita sudah sampai.”

Mereka tiba di pintu masuk apartemen Mahiru, dan karena Ia bermaksud hanya sampai sejauh ini.

Karena Mahiru mampu menahan diri dengan bantuan tembok dan berdiri dengan benar, lukanya mungkin tidak terlalu buruk. Untungnya, besok adalah hari libur, jadi istirahat beberapa hari akan cukup baginya untuk pulih dan berjalan dengan baik lagi.

“Kau tidak perlu mengkhawatirkan makan malamku hari ini, jadi istirahatlah dengan baik. Bagaimana kalau kau mencoba makan dengan beberapa suplemen juga?”

“Tidak perlu. Aku punya sisa makanan. ”

“Baguslah. Sampai jumpa lagi.”

Syukurlah Ia tidak perlu khawatir tentang makan malam Mahiru. Dan, rasanya sangat melegakan dia bisa berjalan sendiri.

Amane melihat Mahiru pergi ke pintu masuknya dan membuka pintu, dan Ia juga mengambil kuncinya sendiri.

“... Erm.”

“Hm?”

Ia menoleh ke arah Mahiru saat dia berbicara kepadanya. Dia memegang erat-erat tasnya dam dengan malu-malu menatap Amane.

Mata yang sedikit goyah membuat Amane sedikit skeptis. Matanya berkeliaran, tampak agak canggung, tapi sepertinya dia sudah mengambil keputusan saat dia menatap Amane dengan penuh perhatian.

“... Terima kasih banyak untuk hari ini. Kamu benar-benar sangat membantuku. ”

“Ahh tidak apa-apa. Aku hanya melakukan apa yang aku inginkan. Jaga dirimu baik-baik.”

Amane sendiri akan kesulitan jika terlalu peduli tentang Mahiru, jadi Ia hanya mengesampingkan masalah itu. Ia melihat Mahiru menundukkan kepalanya ke arahnya, dan membuka kunci pintunya.

Lalu, Ia ingat jaket dan celananya masih ada di Mahiru, tetapi setelah berpikir bahwa dia mungkin akan pulih dalam beberapa hari, Ia memasuki apartemennya tanpa menengok ke belakang.

 

zzzz

 

“Apa, kau sekarang jadi tipe orang energik yang suka memakai celana pendek sepanjang tahun?”

Amane merasa sedikit melankolis saat di pelajaran olahraga hari Senin. Ia memang tidak berbakat dalam hal itu, dan dalam cuaca yang sangat dingin ini, yang bisa Ia lakukan hanyalah mengenakan celana olahraga pendek.

Memakai baju olahraga lengan panjang adalah hal biasa di musim ini, tapi segala sesuatu di bawah lutut Amane terbuka lebar, dan menonjol di antara mereka.

“Ya tidaklah. Aku cuma lupa.”

“Kau ini memang idiot.”

“Berisik kau.”

Ia tidak pernah bertemu Mahiru selama akhir pekan, dan tidak mengambil kembali celana darinya, sehingga situasinya jadi begini. Tapi Ia tidak bisa mengatakan hal ini pada Itsuki, dan cuma mengatakan kalau Ia lupa.

Ia bisa ditertawakan, tapi ketika Itsuki dengan gembira menepuk punggungnya, Ia membalas perbuatan Itsuki.

Itsuki mengerang seperti biasanya, dan Amane hanya menghela nafas ketika Ia menoleh ke samping.

Mereka berada di lapangan sekolah, tapi gadis-gadis di daerah yang sama, memiliki pelajaran mereka sendiri, jadi mereka bisa melihat gadis-gadis juga. Ada lebih banyak orang, karena ada dua kelas yang mengikuti pelajaran yang sama.

Mereka sedang mengantri lari atau sesuatu, tampak sedang menunggu, jadi mereka melihat ke arah para cowok.

“Lakukan yang terbaik, Kadowaki-kun !!”

Biasanya, saat pelajaran olahraga, anak laki-laki dan perempuan akan dipisah, tapi kehadiran gadis-gadis itu membuat anak laki-laki gusar ... gadis-gadis itu memandang ke arah cowok tampan yang terkenal, teman sekelas Amane, Yuuta Kadowaki.

Amane tidak pernah benar-benar berbicara dengannya, tapi Ia tahu kalau Yuuta benar-benar populer, serba bisa, dan merupakan andalan dari klub lari. Dan, Ia sangat terkenal di kalangan gadis-gadis.

Amane merasa bahwa yeah, mungkin Surga akan memberkati beberapa talenta di sana-sini, tetapi murid yang lain tidak menerimanya dengan baik, bahkan beberapa dari mereka ada yang cemberut.

“Ohh ohh, Yuuta masih sepopuler seperti biasanya.”

“Ya begitulah.”

“Kau tidak merasa penasaran?”

“Buat apa? Bahkan sebagai teman sekelas, kita tidak pernah mengobrol. Apa saja tak masalah.”

Amane merasa bahwa Kadowaki bukanlah ancaman, dan karena mereka tidak punya urusan apa-apa, Ia sama sekali tidak peduli dengan murid yang bernama Yuta Kadowaki.

Amane paham kalau Ia termasuk kalangan minoritas, dan Ia tidak merasa cemburu seperti murid laki-laki lain di kelasnya.

Tidak peduli seberapa sempurnanya Yuuta, Ia merasa tidak ada gunanya untuk cemburu.

“Kau tidak benar-benar merasa iri ya, Amane.”

“Apa, kau ingin aku mengatakan, ‘sial aku sangat iri dengan popularitasnya’,begitu ?”

“Itu bukan karaktermu.”

Amane menatap Itsuki dengan tatapan bosan, dan melihat ke arah Yuuta yang tersenyum, menerima sorak-sorai para gadis.

Bagi yang lain, Yuta memiliki tubuh yang ideal, wajah yang terlihat manis, dan benar-benar menyerupai seorang pangeran (Ouji). Bahkan, nama julukannya adalah Ouji, karena tidak ada kekurangan yang jelas ketika melihatnya secara sekilas.

Ia melambaikan tangannya di hadapan gadis-gadis yang bersemangat dan suara-suara melengking, dan Amane berpikir pada dirinya sendiri bahwa Yuuta benar-benar seorang sosialita.

“Yah, Ia benar-benar populer.”

“Tentu saja. Tidak heran cowok-cowok lain pada cemburu.”

“Ha ha. Tapi cewek-cewek itu benar-benar semangat sekali ~”

Itsuki sendiri tidak tertarik pada gadis-gadis lain karena Ia sangat menyayangi pacarnya, Chitose. Ia berbicara seolah-olah itu tidak ada hubungannya dengan dirinya.

Chitose sendiri tampaknya tidak tertarik pada Yuuta, dan Itsuki mungkin juga tidak memikirkan hal itu.

(Sekolah ini punya banyak nama julukan yang memalukan seperti Ouji dan Tenshi.)

Ngomong-ngomong tentang Tenshi, Mahiru, Ia penasaran apakah dia sudah beristirahat dengan baik.

Tampaknya dia tidak meninggalkan apartemennya pada akhir pekan, dan mungkin beristirahat dengan tenang. Amane tidak tahu bagaimana kabar lukanya.

Kebetulan mereka menghadiri pelajaran olahraga yang sama, jadi Amane melihat ke sekeliling, dan mendapati gadis cantik yang luar biasa itu berada di sudut lapangan, meski dia ada di antara kerumunan.

Dia tidak berganti pakaian olah raga, dan tidak termasuk di antara mereka yang menghadiri pelajaran. Dia mungkin cuma menonton.

Jadi dia duduk di sana dengan tenang, menonton, dan menarik banyak perhatian beberapa anak cowok.

Jarak mereka berdua cukup jauh, tapi saat tatapan mata Amane dan Mahiru bertemu, Ia langsung membuang muka dengan canggung, sementara Mahiru menunjukkan senyuman kecil di bibirnya.

Dan karena senyum itu diarahkan pada Amane, atau lebih tepatnya, sekelompok anak cowok, "Apa dia tersenyum padaku?" "Tentu saja itu aku!" semua anak cowok langsung menbuat keributan.

“Ini kesempatan bagus. Aku harus menunjukkan sisi baikku pada Shiina-san.”

“Jangan Ouji saja yang bisa mencuri perhatian.”

Senyum simpul Mahiru menyebabkan reaksi bersemangat seperti itu, dan orang pasti bertanya-tanya apakah itu luar biasa, atau anak-anak cowok tersebut hanyalah sekumpulan orang bego.

“... Mereka itu gampangan sekali.”

Itsuki menggemakan sentimen yang sama, dan Amane membalasnya dengan tertawa.

“Yah, karena ini memengaruhi nilai kita juga, jadi ayo kita lakukan yang terbaik.”

“Apa, apa kau jadi berusaha keras setelah melihat senyuman Tenshi juga, Amane?”

“Tidak, sudah kubilang aku tidak tertarik padanya.”

“Yah, tentu saja, kau tidak berminat sama sekali.”

Pacarku hebat bukan? Ketika Itsuki mulai membual tentang pacarnya lagi, "Ya, ya." Amane menepisnya saat dia tersenyum masam ke arah Mahiru.

 

zzzz

 

“Terima kasih banyak atas bantuannya tempo hari. Ini, jaket dan celana yang kamu pinjamkan padaku. ”

Hari itu, Mahiru mengantarkan makan malam dengan kemasan tupperware seperti biasa, bersamaan dengan tas.

Amane bisa melihat sesuatu di dalam tas, mungkin jaket dan celana olahraga yang dipinjamkannya pada Jumat kemarin. Sepertinya dia sudah melipatnya dengan rapi.

“Hm, bagaimana dengan lukamu?”

“Rasanya sudah tidak sakit lagi, tapi aku tidak bisa banyak berolahraga sebelum sembuh total.”

“Tidak apa-apa. Aku melihatmu duduk di pinggir lapangan selama kelas olahraga, bukan? ”

“Iya.”

Mahiru hanya menonton selama pelajaran olahraga, sebagai tindakan pencegahan, yang seharusnya menjadi hal yang benar. Dia sepertinya tidak merasa sakit lagi, tapi dia sedikit memperhatikan pergelangan kakinya, jadi mungkin itu belum sembuh sepenuhnya.

Keputusan yang bijak, Amane pun mengangguk, lalu Ia mengingat senyum yang Mahiru tunjukkan saat siang tadi.

“Tapi, kurasa sang Tenshi memang benar-benar sangat populer. Satu senyum saja sudah membuat semua anak cowok jadi antusias.”

“Sudah kubilang jangan panggil aku julukan itu ……. aku juga bermasalah. Apa itu sesuatu yang pantas untuk dibahagiakan?”

“Yah, itulah yang terjadi ketika gadis cantik tersenyum pada mereka. Apa kau tidak melihat gadis-gadis menjerit ketika Kadowaki melambai pada mereka?”

“... Kadowaki ... ahh, cowok yang benar-benar populer itu?”

Mahiru tampak tidak tertarik, atau lebih tepatnya, dia tidak tertarik. Dia tidak bisa mengingatnya, dan hanya mengingatnya setelah mendengar penjelasan Amane.

Ia bukan si Tenshi, tapi Yuuta adalah cowok yang relatif terkenal di sekolah, jadi sungguh mengejutkan rasanya kalau dia tidak tahu hanya dari mendengar namanya.

“Kau tidak tertarik padanya?”

“Tidak. Kami berada di kelas yang berbeda, dan tidak ada banyak kesempatan untuk mengobrol. ”

“Hmmm? Tapi gadis-gadis lain terlihat tertarik padanya, dan sering memujinya kalau Ia keren.”

“Ia memang terlihat tampan. Aku belum berbicara dengannya, dan tidak pernah terlibat dengannya. Ia tidak ada hubungannya denganku.”

“Kau cukup acuh tentang ini.”

“Jika orang bisa jatuh hati hanya karena penampilan, bagaimana kamu masih belum jatuh cinta padaku?”

“Oh, jadi sekarang kau menyadari betapa cantiknya dirimu.”

Tapi apa yang dikatakan Mahiru memang benar.

Penampilan yang baik adalah alasan untuk menyimpan perasaan untuk orang lain, tapi tidak terlalu suka. Setelah menyetujui itu, Ia harus mengakui bahwa Mahiru adalah seorang gadis yang cantik, meski Ia sedikit terkejut kalau dia memiliki kesadaran diri tentang hal tersebut.

“Selalu ada keributan di sekitarku, dan aku akan tahu meski aku tidak mau. Secara obyektif, penampilanku memang lumayan, dan aku tidak mengabaikannya. ”

Mahiru mengatakannya seolah-olah itu adalah fakta, tidak menunjukkan nada kesombongan.

Bahkan, dia mungkin melakukan semua yang dia bisa untuk menjaga kecantikannya.

Wajahnya sendiri sudah cantik, tapi dia masih belum puas dengan hal itu.

Rambutnya tampak memiliki lingkaran cahaya yang cocok dengan julukannya sebagai Tenshi, kulitnya terlihat sempurna dan tidak bercela. Dia selalu melakukan pekerjaan rumah, tapi tangannya masih sangat lembut, dan dia memotong kukunya. Dia memiliki tubuh yang ideal, dan itu bukanlah sesuatu yang bisa dicapai dalam satu hari.

“Kau benar, apa yang baru saja kau katakan adalah kenyataannya, dan bukannya aku merasa tidak nyaman dengan itu. Jadi, apa kau tidak merasa malu saat dipuji? ”

“Jika orang lain terlalu memujiku, aku akan merasa jengkel.”

“Gadis cantik pasti punya masalahnya sendiri.”

“Dan keuntungan yang datang bersamaan dengan itu, jadi tidak semuanya buruk.”

“Kau membuatnya terdengar seperti masalah orang lain ...”

“Apa? Apa kamu ingin aku menjawab "bu-bukan itu masalahnya" dengan wajah malu-malu?”

“Tidak, aku tahu itu terasa sangat aneh untukmu secara pribadi.”

“Aku rasa begitu. Aku juga merasa tidak ada gunanya bermuka dua seperti itu kepadamu.”

“Ya”

Amane akan merasa aneh jika Mahiru harus memperbaiki keterusterangannya, dan akan merasa merinding jika dia memperlakukannya seperti yang dia lakukan kepada orang lain di sekolah. Ia berharap Mahiru tetap seperti itu.

Kebiasaan memang menakutkan. Jika dia bertingkah seperti Tenshi di sekolah di sini, Amane akan merasa seperti sedang bermimpi.

Sosok asli Mahiru yang Amane kenal adalah sosok yang sedang berdiri di hadapannya, bukan sosok palsu yang ada di sekolah.

Mereka berdua menyimpulkan itu untuk merasa lebih baik, jadi Amane melihat ke arah tupperware yang diserahkan padanya.

Ukurannya jauh lebih besar dari biasanya, berisi beberapa hidangan. Itu lebih merupakan kotak bento penuh ketimbang sisa makanan.

“Cukup banyak hari ini.”

“Lagipula kamu sudah menolongku.”

“Bukankah aku sudah memberitahumu kalua kau tidak perlu mencemaskan hal itu ... ooh, ada kroket.”

Seseorang seharusnya tidak pernah meremehkan kroket.

Itu sering dijual sebagai pendamping lauk, dan umumnya dijual, tetapi itu rasanya merepotkan bagi seseorang untuk membuatnya, dan terkenal karena menjadi hidangan rumahan yang paling merepotkan.

Kita harus mengukus kentang, menggorengnya, menambahkan bahan-bahan seperti daging sapi dan bawang, membentuknya, mendinginkannya, melapisi dengan tepung roti dan menggorengnya ... itu adalah deretan tahap biasa namun merepotkan.

Amane, yang tidak bisa memasak, melihat betapa repotnya ketika ibunya membuatnya, dan bersumpah pada dirinya sendiri bahwa Ia takkan pernah memasaknya.

“Aku hanya menggoreng makanan beku.”

“Jadi, kau juga memasak ayam goreng?”

“Iya.”

Satu-satunya makanan goreng yang Amane makan ketika tinggal sendirian adalah pendamping lauk dari toko, dan Ia merasa sangat berterima kasih karena menerima yang buatan tangan.

Jika Ia merasa lebih serakah, Ia akan meminta untuk memakannya ketika masih segar dan renyah, bersama dengan nasi.

“... Tapi aku ingin makan sesuatu yang baru dibuat.”

Karena masalah kehigienisan, Mahiru akan mendinginkan makanan sebelum memasukkannya ke dalam tupperware, dan Amane harus memanaskannya kembali sebelum makan. Panas oven bisa meniru kerenyahan, tapi kualitasnya lebih rendah dari rasa segar yang baru diangkat dari wajan.

Tentu saja, itu juga akan lezat, tetapi alangkah nikmatnya jika Ia bisa memakannya segar dari wajan.

Amane hanya menggumamkan keinginannya sendiri tanpa niat lain, tapi mungkin karena suaranya terlalu keras, membuat Mahiru mengerutkan kening.

“Kamu ingin aku masuk ke apartemenmu?”

“Aku tidak mengatakan itu. Kau sudah bersedia berbagi makanan denganku, dan rasanya akan terlalu lancang jika aku memintamu untuk melakukan itu.”

Untuk menghilangkan semua kecurigaan, Amane mengangkat bahu dan menolaknya. Mahiru meletakkan telapak tangan di bawah dagunya, menunduk.

Dia sepertinya memikirkan sesuatu, dan tidak menatap Amane.

“…Setengah”

“Hm?”

“Jika masing-masing dari kita membayar setengah biaya bahan, aku bisa mempertimbangkan memasak di apartemenmu.”

Mahiru akhirnya berkata begitu, dan kekuatan di matanya membuat mulut Amane ternganga.

Padahal Ia cuma bercanda, atau ide yang Ia celetuk secara tak disengaja, tapi Amane terkejut dengan bagaimana Mahiru dengan serius mempertimbangkan hal tersebut dan menyetujuinya.

Normalnya, apa ada gadis yang mau memasak di rumah cowok yang tidak dikenalnya?

Meski itu lebih efisien, Amane masih dari lawan jenis, dan mereka sama sekali tidak akrab. Secara logika, dia akan merasa gelisah.

“Aku sih setuju-setuju saja untuk berbagi setengah, tapi itu lebih seperti aku mengambil banyak keuntungan darimu, jadi aku merasa sangat senang ... apa kau tidak merasa berbahaya?”

“Jika kamu melakukan sesuatu, aku akan menghancurkanmu. Secara fisik dan tanpa ampun.”

“Woahh, kau membuatku takut.”

“Lagipula, bahkan jika aku tidak melakukannya, kamu takkan melakukan sesuatu yang berisiko. Kamu mengerti posisiku di sekolah, bukan? ”

“Jika aku melakukan sesuatu padamu, aku akan menemui bad end.”

Ada perbedaan besar dalam popularitas antara Amane dan Mahiru, yang terakhir adalah gadis cantik yang serba bisa dan terkenal. Jika Mahiru mengatakan bahwa Amane melakukan sesuatu padanya, tak diragukan lagi kalau Amane takkan pernah masuk sekolah lagi.

Ia tahu apa yang namanya “orang terbuang”, dan tidak akan melakukan apa pun. Lagipula, Ia bukan orang bodoh, bukan orang tanpa mengenal yang namanya menahan diri.

Atau lebih tepatnya, Amane sendiri tidak punya niat seperti itu.

“Dan juga.”

“Dan juga?”

“Kamu sepertinya tidak tertarik pada orang seperti diriku.”

Kesimpulannya, ditambah dengan wajah serius, membuatnya tersenyum masam.

“Bagaimana kalau aku bilang kalau kau adalah tipeku?”

“Kamu akan berbicara tanpa henti, dan aku akan mulai menjauh darimu.”

“Jadi, kurasa kamu mengetahuinya.”

“Yah, aku tahu bahwa kamu adalah orang yang aman untuk saat ini.”

“Terima kasih atas pujiannya.”

Kurasa tidak apa-apa, pikir Amane, tapi Ia benar-benar tidak punya niat untuk melakukan hal yang macam-macam pada Mahiru, jadi Ia tidak menyangkal hal itu.

Secara alami, Amane akan memanfaatkan kesempatan ini untuk menyantap hidangan makan malam yang segar. Sambil meraih gelar cowok yang tidak berbahaya, Ia juga mendapatkan hak istimewa untuk makan bersama dengan Mahiru.





close

3 Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama