Chapter 08 – Awal Mula Dari Makan Malam Bersama
Ketika Mahiru setuju untuk memasak di apartemen Amane, dia
mengajukan persyaratan berikut ini:
Ø Amane harus membayar setengah harga bahan makanan,
bersamaan dengan biaya tenaga kerja.
Ø Jika mereka tidak bisa makan bersama, salah satu pihak
harus memberi tahu yang lain sehari sebelumnya.
Ø Kedua belah pihak akan memiliki tanggung jawab yang sama
untuk membeli bahan dan membersihkan.
Biaya tenaga kerja adalahh syarat pertama yang disarankan
oleh Amane, yang merasa tidak enakan karena memanfaatkan Mahiru. Orangnya
sendiri berkompromi dalam hal ini, dan tidak ada banyak perselisihan mengenai
sisanya, sehingga mereka berhasil menyelesaikan rincian ini.
Sudah ditetapkan kalau Mahiru akan menjadi orang yang
memasak, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Pada hari setelah diputuskan, Mahiru tiba dengan membawa
tas belanjaan, atau lebih tepatnya, membawanya dengan dua tangan saat dia
bersiap untuk memasak.
“... Ini benar-benar baru dan tidak digunakan ...”
“Iya, ada masalah?”
Dengan seorang gadis yang mengenakan celemek di apartemennya,
Amane secara praktis hidup dalam impian lelaki manapun, tapi karena alasan
tertentu, Ia jadi merasa gelisah.
Salah satu alasannya adalah karena Ia tidak terbiasa
dengan pemandangan itu. Namun, alasan utamanya ialah karena Mahiru
menunjuk pada dapur yang tidak pernah digunakan.
“Ada banyak peralatan bagus di sini, dan kau
membiarkannya berkarat.”
“Mereka takkan berkarat saat kau menggunakannya, ‘kan?”
“Itu akan menjadi hasilnya. Peralatan ini menangis
karena tidak digunakan. ”
“Jadi, gunakan keterampilan memasakmu untuk membuat
mereka berhenti menangis.”
Aku
tidak bisa melakukan itu, Amane mengakui dengan
blak-blakan, dan dia menatapnya. Dia mungkin sudah menduga hal itu, karena
dia hanya menghela nafas dan tidak banyak mengomel.
“Jadi, kamu masih punya bumbu juga ya.”
“Tentu saja, kau pikir aku ini idiot? Tidak ada
masalah dengan penyimpanan dan kedaluwarsanya.”
“Oh, itu mengejutkan.”
“Mereka masih belum pernah dibuka, itu sebabnya.”
“Itu bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Jika tidak
cukup, aku bisa kembali ke apartemenku untuk mengambilnya. ”
“Terima kasih atas bantuannya.”
“Aku harus bisa memasak sesuatu dengan bumbu
dasar. Ah, akulah yang memutuskan menunya, kamu tidak keberatan, ‘kan? ”
“Aku tidak terlalu mengerti ini, jadi aku akan makan apa
pun yang ada. Aku juga bukan tipe yang pilih-pilih. ”
“Begitu ya. Kalau begitu, aku akan mulai ... tolong
beritahu aku di mana letak bumbunya.”
“Di keranjang ini.”
“Beneran belum dibuka ...”
Dia memandang bumbu, dan mengerutkan kening dengan
bingung, tapi dia dengan cepat kembali ke ekspresinya yang biasa ketika Amane
memberi pengarahan sebelumnya, dan dia pergi ke keran untuk mencuci tangannya.
“Aku akan mulai memasak. Kamu bisa menunggu di ruang
tamu atau kamar tidur. ”
“Tentu. Lagipula aku tidak berguna di sini. ”
“Itu benar-benar sikap jujur darimu. Tapi
memang benar kalau aku akan kesulitan memasak dengan adanya kehadiran dirimu. ”
“Kamu sendiri cukup blak-blakan.”
“Tapi memang itu faktanya. Aku tidak perlu
menyembunyikan tentang hal itu.”
Seperti yang dikatakan Mahiru, Amane hanya akan menjadi
penghalang, jadi Ia langsung pergi ke ruang tamu, dan mengawasinya dari
belakang saat dia memasak.
Setelah dia mencuci tangannya, Mahiru buru-buru menangani
bumbu.
Amane tidak tahu apa yang akan dibuatnya, tapi dilihat dari
bahan-bahannya, itu mungkin masakan Jepang.
Ia masih tidak percaya bahwa Ia bisa mengundang Mahiru ke
apartemennya untuk memasak hidangan lezat itu, dan bertanya-tanya apakah Ia
sedang bermimpi. Namun begitu Amane melihat rambut panjang Mahiru berayun,
Ia tahu kalau ini adalah kenyataan.
(... Kenapa rasanya aku jadi punya istri?)
Mereka berdua tidak memiliki perasaan seperti itu satu
sama lain, tapi situasi saat ini terlihat bahwa dia telah membuat tempat ini
menjadi rumahnya, dan Amane hanya bisa membayangkannya.
Ia benar-benar tidak punya ketertarikan pada Mahiru, tapi
melihat gadis cantik yang memasak di apartemennya, situasi saat ini membuat
imajinasinya menjadi liar.
Seperti yang diharapkan, terlepas dari Amane punya
perasaan padanya atau tidak, melihat seorang gadis cantik yang bersedia memasak
untuknya menyebabkan hatinya jadi cenat-cenut sedikit.
“... Kamu tidak memikirkan sesuatu yang aneh-aneh, ‘kan?”
“Jangan asal menebak coba.”
Mahiru bertanya tanpa menoleh ke belakang, dan wajah
Amane jadi berkedut karena ditanya begitu, tapi karena dia tidak melihat ke
belakang, tipu muslihatnya tidak ketahuan.
Dia
orang yang peka, gumam Amane, rasa menggigil melanda
punggungnya ketika hati lelaki yang masih polos memandanginya dari belakang.
zzzz
Satu jam kemudian, hidangan mulai muncul di atas meja
makan.
Mahiru adalah orang yang menentukan hidangan pada hari
ini, dan hasilnya adalah makanan Jepang sehat yang mendukung gizi.
“Peralatan dan bumbu ini lumayan berguna, dan aku tidak
perlu banyak. Aku pasti bisa membuat hidangan yang lebih lezat mulai
besok.”
“Yah, aku bersyukur kau mau memasak untukku.”
Mahiru tidak yakin seberapa banyak peralatan dan bumbu
yang bisa dia gunakan, jadi hidangan yang ada relatif sederhana. Walau
begitu, makanan yang disajikan penuh warna dan menggugah selera.
Ada ikan kukus, sayuran dengan topping, telur dadar
dengan miso, dan berbagai hidangan Jepang yang tidak pernah diimpikannya.
Amane sendiri sebenarnya bukan tipe yang pilih-pilih
makanan, tapi Ia suka makanan Jepang. Begitu Ia melihat betapa menyesalnya
Mahiru, Ia berkata kalau Ia ingin memakan ini.
“... Ini terlihat sangat enak.”
“Terimakasih atas pujiannya. Mari kita makan sebelum
dingin. ”
Ucap Mahiru sambil duduk di kursi. Amane kemudian
menduduki kursi di seberangnya.
Meja makan untuk satu orang ukurannya lumayan kecil, dan
keduanya duduk berdekatan.
Untungnya, dia punya dua kursi cadangan untuk tamu, tapi
ada sesuatu yang tak terlukiskan tentang seorang gadis cantik yang duduk di
depannya.
Namun, begitu Amane mulai makan, kecantikan Mahiru tidak
menjadi masalah.
Itadakimasu, ucap Amane, dan mencoba sup miso dulu.
Saat bibirnya menyentuh sup, Ia menikmati miso dan kaldu
ikan di mulutnya, rasa menyebar bersama dengan aroma sedap yang menggelitik
hidungnya.
Rasanya yang lembut berbeda dari sup miso instan. Rasa
misonya sendiri tidak terlalu kaya, dan rasa ikannya masih tetap ada, bahkan terpadu
dengan rasa asin.
Rasa pertama agak hambar, mungkin karena miso digunakan
dalam hidangan lain. Hanya setelah meminum sup sepenuhnya, Ia baru
menemukan rasa yang cukup terkonsentrasi.
Lebih dari kekurangan, itu adalah rasa melegakan yang
menggugah selera makan nasi dan hidangan lainnya.
“Sangat enak.”
“Terima kasih banyak.”
Ia mengakui kesannya dengan jujur, dan Mahiru merasa lega
sambil menyipitkan matanya.
Sementara Amane memuji hidangannya, Mahiru mungkin merasa
gugup tentang Amane yang menyatakan pikirannya secara langsung.
Mahiru, yang khawatir tentang reaksi Amane, mulai makan,
dan di sisi lain juga meraih sumpit.
Setelah mencicipi semua hidangan di atas meja, Ia
mendapati masakan Mahiru benar-benar enak.
Ikan kukusnya benar-benar nikmat, karena kelembapan
daging terjaga.
Kelembaban akan hilang jika dia memanaskannya terlalu
lama. Itu akan membuat ikan terlalu kering, tetapi ikan yang dikukus
benar-benar lembut dan halus.
Telur dadar memiliki cita rasa yang sangat Amane sukai.
Terpikat oleh warna kuning cerah, Ia mengambil sedikit,
dan mencicipi rasa kaldu ikan yang lembut.
Ada beberapa yang suka omelet manis, ada juga suka yang
asin, tapi yang di sini terbuat dari kaldu ikan, jadi rasanya sedikit manis.
Manis dan lembut yang mungkin dari madu.
Tampaknya tidak banyak yang ditambahkan, tapi rasa manis
yang tersisa menambah kekayaan rasa.
Amane tidak membenci omelet manis atau asin, tapi Ia
menyukai yang memiliki kaldu, dengan sedikit rasa manis, dan jumlah bumbu yang
sempurna. Ia sangat tersentuh sehingga Ia bisa makan telur dadar yang
ideal.
Lezatnya, gumam Amane pada dirinya sendiri, menyantap hidangan
lagi.
Kontrol apinya sangat sempurna. Ia perlahan
mengunyah telur dadar lembut dengan kaldu ikan, menikmati rasa yang terkandung
di dalamnya.
Jelas
lebih baik daripada ibuku, Amane diam-diam berpikir
sendiri hal-hal kurang ajar ini kepada ibunya saat Ia makan. Kemudian, Ia
melihat Mahiru menatapnya dengan seksama.
“... Sepertinya kamu menikmatinya.”
“Lagipula ini lezat. Aku harus berterima kasih atas
makanan yang enak.”
“Ya, itu benar.”
“Dan yah, lebih baik makan dengan tampilan jujur ketimbang merengut. Kita berdua sama–sama senang, kan? ”
Meski makanannya mungkin lezat, juru masak akan merasa
gelisah dan ingin tahu jika seseorang tidak mengungkapkan perasaannya dengan
jujur. Terkadang, mengatakan itu enak dengan kerutan akan membuat koki
penasaran apa yang dikatakannya tulus atau tidak.
Yang lebih penting lagi, lebih baik bagi mereka berdua
untuk mengekspresikan perasaan mereka secara langsung. Orang yang
berterima kasih dan yang menerima terima kasih memang sedang dalam suasana hati
yang baik.
“…Aku rasa begitu.”
Tampaknya Mahiru telah menerima penjelasan Amane saat dia
menunjukkan sedikit senyum.
Senyum lembut yang tampaknya mengungkapkan kelegaan, dan
dia sangat menggemaskan, Amane menyadari kalau Ia sedikit melamun.
“Fujimiya-san?”
“Ah ... tidak, bukan apa-apa.”
Ia terpesona olehnya, tetapi tentu saja, Amane tidak bisa
mengatakan ini. Ia menekan rasa malu yang muncul dalam dirinya saat Ia
terus makan, berusaha untuk tidak ingin ketahuan.
“... Terima kasih atas makanannya.”
“Syukurlah kamu menyukainya.”
Amane menghabiskan makanan di atas meja, menunjukkan Ia
kenyang, dan Mahiru menjawab dengan singkat.
Meski begitu, Mahiru tampak tenang, mungkin gembira bahwa
Amane menghabiskan makanan sepenuhnya, tidak meninggalkan sebutir nasi secuil
pun.
“Itu enak sekali.”
“Aku bisa tahu dari itu.”
“Lebih baik daripada ibuku.”
“Aku pikir itu tabu untuk membandingkan masakan seorang
gadis dengan ibu seseorang.”
“Hanya ketika aku mencoba menghina,
oke? Ngomong-ngomong, apa kau ingin tahu tentang itu? ”
“Tidak juga.”
“Baiklah kalau begitu. Faktanya masakanmu
benar-benar lezat.”
Keterampilan memasak Mahiru bukan diasah hanya dengan
beberapa pengalaman.
Ibu Amane memiliki pengalaman memasak lebih banyak, tapi
dia memiliki selera rasa yang berbeda, dan merasa bosan tentang hal itu, jadi
mana mungkin dia bisa memperbaiki rasanya seperti yang dilakukan Mahiru.
Ayahnya bahkan mungkin lebih baik daripada ibunya,
apalagi dia.
“... Yah aku pikir aku merasa sangat beruntung di
sini. Bagaimanapun juga, aku bisa memakannya setiap hari. ”
“Hanya ketika kita berdua tidak punya urusan lain.”
“... Apa kita serius makan bersama setiap hari?”
“Aku akan menyarankan nanti jika itu tidak terjadi.”
“Yah, itu benar.”
Amane tahu betul bahwa orang yang jujur seperti Mahiru tidak akan menyarankan begitu jika dia
tidak menyukainya, tapi meskipun begitu, Ia penasaran apa ini baik-baik saja.
Ia membayar setengah dari bahan makanan, bersama dengan
biaya tenaga kerja, tapi Ia khawatir kalau itu masih terlalu membebani Mahiru.
“... Apa kau biasanya memasak untuk orang yang tidak kau
sukai?”
“Gaya hidupmu terlalu tidak sehat. Lagian, aku suka
memasak, dan aku tidak membenci melihatmu menikmati makanan buatanku.”
“Tapi…”
“Jika kamu masih mengkhawatirkan tentang itu, apa aku
harus berhenti memasak untukmu?”
“Tidak, tolong memasaklah untukku, terima kasih banyak.”
Amane secara naluriah menjawab, dan itu menunjukkan
betapa banyak kemampuan memasak Mahiru adalah suatu keharusan, sesuatu yang Ia
sukai.
Baginya, mendapatkan masakan Mahiru adalah masalah hidup
dan mati.
Ia memiliki kesadaran akan perutnya sendiri, tapi masalahnya
adalah masakan Mahiru terlalu lezat. Mungkin jika Ia kembali makan lauk
dari minimarket, setiap hari akan terasa hambar, dan itu membuatnya takut.
Begitu dia mendengar jawaban instan Amane yang mudah
dimengerti, Mahiru menunjukkan senyum masam.
“Terimalah dengan patuh.”
“…Oh.”
Amane mendesah dengan kegembiraan, antisipasi dan rasa bersalah, memikirkan bagaimana keseharian makan bersama Tenshi yang agung ini akan berlanjut.
Enak ya...
BalasHapusDimakasin ama cewe cantik 🤕
Pengen jadi mcnya 😅
BalasHapusNikmat mana lagi yang kau dustakan 😍
BalasHapusenak banget wkwkwk
BalasHapusNtahlah bro, gw Tiap hari cma makan semur kangkung https://uploads.disquscdn.com/images/ad5338d4e0ae6469850947635b9777c6153db1fee980a9404c09fe2c4cebe9a4.jpg
BalasHapus