Chapter 01 - Menghabiskan Malam Tahun Baru bersama
Tenshi
Perayaan natal berlalu, dan dunia berada dalam suasana
akhir tahun.
Sehari setelah Ia menghabiskan Natal bersama Mahiru dan
menghindari sendirian, Amane pergi berbelanja sendirian. Setelah selesai,
Ia kembali ke apartemennya, dan memperhatikan bagaimana pemandangan di
sekitarnya telah berubah.
Kerlap-kerlip lampu malam masih tetap menyala, tapi hiasan
pohon-pohon natal sudah dikemasi lagi, berbagai dekorasi yang cerah diganti
dengan dekorasi bernuansa Jepang.
Toko-toko mulai menjual barang dan makanan khas Tahun
Baru, dan semua tanda-tanda Malam Suci tidak lagi terlihat. Yang tersisa
hanyalah beberapa barang yang tidak terjual setelah Natal, dilabeli sebagai
obral dan dibiarkan di rak dengan harga yang telah ditentukan.
Perubahannya drastis sekali, pikir Amane saat Ia melihat bagaimana semua orang
bersiap-siap menyambut tahun baru di sekitarnya, menutupi wajahnya dengan syal
supaya tetap hangat.
Syal kotak-kotak monoton adalah hadiah Natal yang
diterimanya dari Mahiru.
Penting
untuk berpakaian sampai ke leher juga, jadi
Ia diberitahu begitu, dan menerima hal yang baik darinya. Rasanya
benar-benar nyaman, hebat dalam menjaga hangat, praktis, dan terlihat trendi.
Amane biasanya tidak akan menggunakan syal, jadi Ia
mengenakannya dengan penuh syukur; Ia lalu memeriksa isi tas belanja di
tangannya.
Walau mereka seharusnya membagi tugas belanja, Amane lah
yang biasanya membeli bahan-bahan sesuai dengan catatan yang akan dibawanya,
semua ini dilakukan untuk meringankan beban Mahiru.
Suhu diluar sangat dingin, dan tampaknya hotpot ada di
menu, karena tas yang dibawanya berisi sayuran, jamur, daging, dan
sejenisnya. Ada lebih banyak sayuran, mungkin karena desakan Mahiru demi
nutrisi dan gizi yang seimbang.
Mahiru benar-benar menunjukkan sifat keibuannya dalam
aspek ini; Amane diam-diam memujinya saat dia tidak ada.
Begitu Ia melihat kalau tidak melewatkan bahan apa pun, Ia
pun bergegas pulang, berjalan menggerutu ketika cuaca semakin dingin.
“Selamat datang kembali.”
Waktu sudah menjelang gelap saat Amane kembali, dan
Mahiru menyambutnya di depan pintu masuk.
Itu adalah situasi yang aneh ketika orang asing yang
tidak berhubungan menyambut di apartemennya, tapi belakangan ini, Ia mulai
terbiasa.
“Hmm, aku pulang ... kau tidak keberatan kalau aku membeli
beberapa kue beras, ‘kan?”
“Kamu bermaksud untuk ditambahkan di hotpot?”
“Oh. Aku membeli beberapa ramen untuk nanti juga.”
“... Aku tidak bisa makan sebanyak itu, tahu?”
“Tidak apa-apa, aku akan menghabiskan sebagian besar dari
itu.”
Awalnya Amane bukan pemakan besar, namun berkat masakan
Mahiru, Ia makan banyak saat makan malam.
Asupan makanan Mahiru cukup seimbang untuknya agar tidak
bertambah gemuk, karena dia mungkin khawatir tentang asupan kalori; Amane
sedikit khawatir karena Ia makan lebih banyak darinya, dan mulai melatih
otot-ototnya.
Mungkin Mahiru berpikir kalau Amane harus makan lebih
banyak daging karena Ia sangat kurus. Amane berharap mendapatkan otot, dan
bukannya lemak.
“Yah, tidak apa-apa jika kamu berniat memakan itu,
Amane-kun. Tolong kasih ke aku, aku akan menaruhnya di kulkas. Cuci
tanganmu dengan bersih, Amane-kun. ”
“Oke.”
Amane menyerahkan tas belanja ke Mahiru, dan langsung
pergi ke kamar kecil.
uuuu
“Oh iya Mahiru, bagaimana biasanya kau menghabiskan Tahun
Baru?”
Amane menyantap habis makan malam yang benar-benar lezat,
seperti biasa, dan sedang membersihkan saat Ia tiba-tiba bertanya pada Mahiru.
“Aku merasa tidak ada gunanya untuk pulang selama Tahun Baru
... jadi aku bakal tetap di sini.”
Amane menyadari kesalahannya ketika Ia mendengar nada
datar darinya, tapi Mahiru tampaknya tidak keberatan.
Hubungan Mahiru dengan orang tuanya tampak tidak akur,
jadi dia akan selalu bertindak acuh setiap kali membicarakan keluarganya.
Tapi jika begitu, apa Mahiru akan menghabiskan Tahun Baru
sendirian?
Amane punya janji untuk bertemu keluarganya sendiri
setiap setengah tahunan, dan sebelum Ia bertemu Mahiru, Ia bermaksud untuk
menghabiskan liburan panjang di kota kelahirannya.
“Kamu akan kembali ke kota asalmu ‘kan, Amane-kun?”
“Yah memang. Mereka menyuruhku untuk pulang ke rumah.
”
Amane melirik dia, dan mungkin itu cuma bayangannya saja,
tapi pandangan mata Mahiru tampak lebih dingin dari biasanya.
Tampaknya dia sudah menduga akan menghabiskan Tahun Baru
sendirian, dan tak pernah ragu kalau Amane akan kembali ke kota asalnya.
“... Aku merasa jika aku pulang ke sana, aku akan
ditanyai tentangmu.”
“Itu pasti akan sulit.”
“Aku tinggal perlu menjelaskan kepada ayahku, tapi ibu
mungkin ingin mendengar lebih banyak tentang itu.”
“Rasanya ittu akan aneh mengingat kami sering mengirim
pesan.”
“Seriusan? sejak kapan kau berhubungan akrab dengan ibuku
...?”
Orang pasti merasa penasaran mengapa dan sejak kapan
Mahiru berhubungan baik dengan ibunya, dan untuk beberapa alasan, mereka berbagi
foto dan rahasia ... Amane merasa sedikit lelah hanya dengan memikirkannya, tapi
tampaknya Mahiru rela berinteraksi dengan ibunya, bahkan tampaknya menjadi
akrab, jadi Ia cuma bisa pasrah saja.
Amane harus menekankan poin ke Shihoko untuk tidak
mengatakan sesuatu yang tidak perlu, tapi kesampingkan hal itu, Ia melihat ke
arah Mahiru, tidak tahu harus berbuat apa.
Amane membayangkan sesekali ekspresi hampa dan mata
sedihnya, dan memiliki dorongan …... untuk tidak meninggalkannya sendirian.
“Yah, kamu baru saja bertemu ibu, maaf tentang ayah, tapi
kurasa aku tidak harus kembali ke kota asalku kali ini. Aku akan kembali
selama liburan musim semi nanti. ”
Jadi, jika itu tidak merepotkannya, Amane berharap untuk
makan malam dengannya, seperti biasanya, begitulah pikirnya.
“…Begitu ya.”
“Mmm, aku ingin soba Toshikoshi-mu.”
“Kamu benar-benar rakus.”
“Karena itu masakanmu.”
“... Meski di luar ada yang jual?”
“Itu masih kalah dengan buatanmu.”
Amane baik-baik saja meski itu hanya soba yang dibeli
dari pasar.
Tapi yang lebih penting lagi ialah waktu luang yang bisa
mereka habiskan untuk makan bersama.
“... Kamu ini eksentrik.”
“Berisik kau.”
Mahiru berkata dengan ketus, dan Amane dengan sengaja
merespons dengan jengkel, namun dibalas dengan senyum kecil.
“…Terima kasih banyak.”
“Untuk apa?”
“Untuk segalanya.”
Mahiru tidak mengatakan apa-apa lagi, dan dia memeluk
bantal favoritnya, mungkin merasa agak baikan dari sebelumnya.
uuuu
Lalu, sekarang adalah 31 Desember, Malam Tahun Baru.
Ini adalah hari terakhir pada tahun ini, hari untuk
mengakhiri sepanjang tahun.
Seharusnya hari itu sangat sibuk bagi banyak orang untuk
mempersiapkan Tahun Baru, melakukan bersih-bersih—
“Umm, Mahiru-san, ya?”
“Apa?”
“... Apa beneran baik-baik saja buatku untuk
bermalas-malasan?”
Amane tengan bersantai di sofa ruang tamu, menonton
bagian belakang Mahiru saat dia berdiri di dapur sambil mengenakan celemek.
Mahiru sudah tiba sejak pagi untuk menyiapkan hidangan
Osechi. (TN : Osechi adalah hidangan
tradisional Jepang dalam menyambut tahun baru)
Karena mereka memutuskan untuk menghabiskan malam Tahun
Baru bersama, hidangan Osechi sebanyak dua orang akan menjadi keharusan.
Amane bermaksud membeli beberapa dari toko, tetapi Mahiru
bersikeras membuatnya. Rasanya sangat mengejutkan bagaimana seorang gadis
dapat menangani sesuatu yang sangat merepotkan bahkan untuk ibu rumah tangga.
Amane benar-benar terkesan olehnya, tetapi Mahiru
berkata,
“Kita harus memesannya terlebih dahulu. Jadi rasanya
mustahil untuk membelinya sekarang. ”
Ia mengerti alasan mengapa Mahiru secara pribadi
mempersiapkan mereka begitu Amane mendengar penjelasannya, tapi Ia benar-benar merasa
kagum kepada Mahiru karena melakukan tugas yang begitu melelahkan.
Tentu saja, Mahiru akan memasak seefisien mungkin. Memasak
kacang hitam akan memakan waktu, jadi dia membelinya dari pasar.
“Amane-kun, kamu mungkin merasa tidak nyaman karena tidak
melakukan apa-apa, tapi apa kamu pikir bisa memberikan kontribusi?”
“Tidak.”
“Kurasa begitu. Lebih baik untuk tetap di sana
dengan patuh ketimbang membuatku kesulitan. ”
Jadi Amane tetap duduk di sofa setelah Mahiru menyatakan
sudut pandangnya yang keras, tapi Ia masih merasa gelisah karena tidak ada yang
bisa dilakukan.
Namun, bukan karena Amane tidak pernah melakukan apa pun.
Mereka selesai bersih-bersih di hari sebelumnya, dan
masih punya bahan untuk bertahan sebentar tanpa harus keluar, termasuk yang
akan digunakan untuk Osechi.
Bukannya Amane tidak melakukan apa-apa; Ia tidak
mengerahkan banyak usaha dibandingkan dengan Mahiru pada saat ini.
“Kamu pasti lelah karena memindahkan perabotan dan
peralatan kemarin. Tolong beristirahatlah dengan baik. ”
Mahiru menyuarakan keprihatinannya kepada Amane yang sudah
melakukan pekerjaan berat, saat dia terus memasak tanpa melihat ke arahnya.
Sekadar diketahui, tampaknya Mahiru sudah selesai
membersihkan apartemennya. Dia bilang dia membersihkannya secara teratur,
dan itu tidak memakan banyak waktu.
Apa ini perbedaan dari orang yang melakukannya setiap
hari ... pada titik ini, Amane merasakan perbedaan besar di antara mereka.
“Yah, kau memang mengatakan itu, tapi ... aku merasa
sedikit tidak enakan.”
“Aku tidak merasa lelah karena aku suka memasak.”
“Meski begitu….”
“Tidak usah cemas. Aku sangat menikmati ini, kok.”
Tidak berkeringat, Mahiru menyiratkan begitu saat dia fokus pada
pekerjaannya. Amane menangkupkan kepalanya, tidak tahu harus berbuat apa.
“Mahiru, aku membeli makan siang.”
Amane sadar kalau rasanya agak ngelunjak kalau Ia meminta
Mahiru menyiapkan makan siang ketika dia memasak Osechi, jadi Amane membeli
makan siang dari minimarket. Sebungkus sandwich seharusnya baik-baik saja,
mengingat Mahiru tidak akan makan banyak.
Mahiru melepas celemek, mungkin berniat untuk istirahat,
jadi ini mungkin waktu yang tepat baginya.
“Terima kasih banyak sudah melakukan ini. Maaf aku
tidak punya waktu untuk melakukannya.”
“Tidak juga, akulah yang seharunya minta maaf karena
memintamu melakukan itu ketika kamu membuat Osechi ... ini, makanlah.”
Sudah waktunya istirahat, dan waktu makan siang, jadi
Mahiru dengan patuh kembali ke ruang tamu.
“Sandwich dan café au lait untukmu?”
“Ya terima kasih banyak.”
Dia menerima makan siang dari Amane saat dia mengangguk,
dan duduk di sebelahnya.
“Bagaimana kemajuannya?”
“Beberapa hidangan sudah selesai, karena dapat dari beli,
dan aku hampir selesai karena aku telah menjaga hidangan seminimal mungkin,
kebanyakan dari mereka tinggal menunggu untuk didinginkan. Karena
sepertinya kau suka Datemaki, aku memutuskan untuk membuatnya untukmu,
Amane-kun. ”
“Bagaimana kau bisa tahu?”
“Kamu bilang kamu suka masakan telur, ‘kan? Aku kira
itu termasuk Datemaki.”
Tampaknya dia sudah memanggangnya di oven, karena Amane mendengarnya
digunakan, meski Ia bertanya-tanya untuk apa itu. Sepertinya untuk itu.
“Kurasa kamu suka sedikit rasa manis?”
“Kau benar-benar mengerti seleraku.”
“Kita sudah kenal berbulan-bulan, aku bisa mengingat apa
yang kau suka.”
Entah kenapa, Mahiru terdengar senang ketika mengatakan
itu sambil mengunyah sandwich ham dan selada.
Amane memakan onigiri yang dibelinya saat Ia memandang ke
arah dapur, menatap Jubako yang Mahiru bawa dan tinggalkan di sana. (TN : Wadah kotak yang terbuat dari kayu dan
tersusun untuk menampung hidangan Osechi)
Jubako itu akan digunakan, tampaknya.
Amane tidak pernah menyangka kalau dia punya Jubako meski
dia tinggal sendirian, merasa sedikit terkejut saat Ia menemukan kalau itu
terlihat mewah, dengan pelapisan emas di atasnya.
“Serius, aku harus bersyukur tentang ini ... bagaimana
bilangnya ya, saat aku mulai hidup sendirian, aku tidak pernah berharap bisa
begitu terpelihara pada paruh kedua tahun ini.”
“Aku sendiri malah kagum kalau kamu bisa hidup sampai
hari ini.”
“Kasar sekali. Aku bisa bertahan berkat makanan di
minimarket dan apa yang dijual di sana, tahu? ”
“Tapi itu tidak sehat, ya ampun.”
Mahiru menghela nafas sambil terlihat tercengang, tetapi
ada senyum kecil di balik ekspresi itu, ekspresinya jelas berjalan, kurasa aku
harus melakukan sesuatu, dan itu menyebabkan jantungnya tersentak.
“Dengan adanya aku tinggal di sini, aku takkan membiarkan
adanya kebiasaan makan yang tidak sehat, oke?”
“Memangnya kau ini ibuku?”
“Salahmu sendiri karena tidak berperasaan tentang hal
itu, Amane-kun. Aku memastikan kalau kamu akan makan lebih sehat tahun
depan.”
Mahiru tampak segar kembali karena alasan yang aneh, jadi kita juga akan terus bersama di tahun
depan? Amane merasa sedikit malu, dan mengalihkan pandangannya.
Namun, Mahiru menganggap sikap Amane itu sebagai niat
untuk hidup malas dan leha-leha, dan dia balas menatap dengan jengkel. Butuh
waktu cukup lama bagi Amane dan banyak upaya untuk menjelaskan bahwa Ia tidak
bermaksud demikian.
uuuu
Matahari akan segera terbenam ketika Mahiru selesai
dengan semua hidangan, dan meninggalkannya di Jubako. Kali ini, dia mulai
menyiapkan soba Toshikoshi.
Niatnya begitu, tetapi yang perlu mereka lakukan hanyalah
merebus soba yang sudah dimasak, dan menambahkan bahan-bahan ke dalamnya.
Kamaboko adalah sisa kelebihan yang bisa
ditambahkan. Mereka hanya perlu merebus bayam dan memotong daun bawang.
Pekerjaan yang paling berat adalah menggoreng tempura
udang, tetapi Mahiru terus menggorengnya tanpa terganggu.
“Karena kita punya labu ekstra, ayo kita buat tempura
sekalian juga.”
“Ohh ... itu soba Toshikoshi yang mewah.”
“Sekali-kali tidak masalah.”
Balas Mahiru saat dia menyelesaikan soba Toshikoshi, dan
tentu saja lebih bagus daripada yang dia miliki di rumah.
Masing-masing memiliki dua tempura udang besar, bersama
dengan tempura labu, dan banyak bayam serta daun bawang. Kamaboko
disajikan dalam bentuk kipas.
Tampaknya Mahiru lebih suka menempatkan tempura di atas,
agar tetap renyah; Tempura Amane disajikan secara terpisah di piring lain,
yang membuatnya sangat berterima kasih.
“Oh.”
“Silahkan dinikmati sajiannya.”
Dia menyajikan beberapa hidangan Osechi di piring-piring
kecil, mungkin berpikir Amane tidak punya cukup makanan.
Amane melihat Mahiru duduk, mereka bertepuk tangan untuk
mengucapkan terima kasih, dan mulai memakan soba.
Itu sudah dikemas sebelumnya, tapi aroma soba menyebar
ketika Amane menggigitnya, mungkin karena itu sedikit mahal.
Supnya juga tidak terlalu kental atau terlalu encer, rasa
plum asin yang hangat membuatnya nyaman. Kehangatan menyebar dari perut,
rasanya cocok untuk musim dingin yang keras.
“Haa ー ... sekarang ini terasa seperti akhir tahun ...”
Amane meminum sup ... menghela napas dalam-dalam, dan
bergumam.
Menonton TV di rumah, makan soba, menunggu Tahun Baru; Sungguh
perasaan yang menyenangkan.
Sudah menjadi tradisi tahunan bagi Amane untuk
menghabiskan waktu di rumah untuk makan Toshikoshi soba, menunggu Tahun Baru,
dan menonton kontes, dan Ia bersyukur bisa melakukan hal yang sama tahun ini.
Padahal, yang di sebelahnya bukanlah keluarganya, tapi
seorang gadis kenalan.
“Kau tahu, memakan Toshikoshi soba seperti ini, rasanya
seperti setahun berakhir tanpa kita sadari.”
“Sungguh ... banyak hal yang terjadi tahun ini.”
Meski mereka bilang, tetapi sebagian besar dari ini
adalah interaksinya dengan Mahiru.
Ketika Amane mulai hidup sendirian, Ia tidak pernah
membayangkan ada gadis cantik yang bersedia memasak untuknya, tidak sama
sekali.
“Amane-kun, ini tahun pertamamu tinggal sendirian. Rasanya
pasti berat bagimu.”
“Kau malah tampak terbiasa dengan itu.”
“Yah, aku bisa menangani sebagian besar
urusanku. Tidak bagus bagimu untuk hidup sendiri tanpa tahu bagaimana
melakukan sesuatu, Amane-kun? ”
“Grrr ... yah, kau mengatakan itu.”
“Kamu benar-benar orang yang putus asa, ya ampun.”
Mahiru mencela Amane dengan senyuman, alih-alih terlihat
ketus, wajahnya tampak lembut.
Dia mempertahankan senyum ramah, tidak berpikir bahwa itu
akan merepotkan untuk menjaga Amane.
“... Aku benar-benar dalam perawatanmu tahun ini.”
Mengucapkan apa yang Ia katakan pada Natal, Amane
mengucapkan rasa terima kasihnya lagi pada Mahiru, "Ya ampun." Mahiru membalas dengan terkekeh.
Itu menyengat hatinya untuk menegaskan ini dengan mudah, tapi
untungnya, Mahiru sendiri tampaknya tidak mau.
“... Tolong terus melakukannya tahun depan juga.”
“Dimengerti. Kamu benar-benar tidak berguna dan
payah tanpaku, Amane-kun. ”
“Aku tidak bisa menyangkal itu.”
“... Jika kamu mengerti, kamu harus lebih memperhatikan
itu, tahu?”
“Anggap saja sebagai tujuan untuk tahun depan.”
Meski Amane punya niat melakukannya, tekadnya akan layu
setelah Mahiru merawatnya. Namun Ia merahasiakan pemikiran itu, dan tidak
pernah menyebutkannya.
Tentu saja, Ia akan membereskan barang-barangnya dari
waktu ke waktu — tapi seharusnya tak masalah memintanya untuk memasak.
Amane mendapati dirinya diperbudak oleh masakan Mahiru,
tetapi pada titik ini, itu tidak masalah.
Mahiru memberitahunya untuk berubah menjadi lebih baik, tapi
yang bisa Ia lakukan hanyalah menertawakannya. Ia mempertahankan pandangan
yang tenang, dan Mahiru menunjukkan sedikit senyum di wajahnya.
uuuu
“Tahun baru akan segera tiba.”
“Ya.”
Mereka menghabiskan soba Toshikoshi, dan duduk di sofa,
menonton konser TV. Sebelum mereka menyadarinya, waktu sudah berlalu, dan
hari baru menjelang.
Tampaknya Mahiru tidak akan menonton TV kecuali jika
diperlukan, dan sepertinya tidak terbiasa dengan lagu-lagu yang sedang
trendi. Amane diam-diam melihat Mahiru menikmati konser, dan waktu berlalu
lebih cepat dari yang Ia bayangkan.
Layar di TV kemudian menunjukkan Joya-no-kane, dan Ia
diingatkan sekali lagi bahwa tahun baru akan tiba.
Di sebelahnya, kelopak mata Mahiru jatuh saat dia
diam-diam mendengarkan bel.
Dan setelah mendengar lonceng ke-107—
“Selamat Tahun Baru.”
Saat tanggal berubah, Mahiru menegakkan punggungnya saat
dia berbalik ke arah Amane, membungkuk, dan Amane juga mengikuti ucapan Tahun
Baru ini.
“Selamat Tahun Baru ... rasanya aneh, kita berdua
menghabiskan Tahun Baru bersama seperti ini.”
“Fufu, memang ... tolong terus jaga aku tahun ini.”
“Aku juga ... kurasa seharusnya aku yang meminta itu
padamu."
“Aku tidak bisa menyangkal itu.”
Amane menjawab Mahiru yang cekikikan dengan senyum masam,
dan kemudian melihat smartphone di lututnya bergetar.
Sepertinya Itsuki dan Chitose mengirim beberapa salam
Tahun Baru, ada beberapa nomor di ikon aplikasi.
Mahiru juga mengalami hal yang sama, smartphone-nya terus
bergetar. Dia baru saja mengenal Chitose, dan tidak pernah bertukar ID,
jadi pesan itu seharusnya dari teman yang tidak diketahui Amane.
Baru-baru ini, mengirimkan salam Tahun Baru sebagai pesan
telah menjadi menyenangkan.
“Aku mau membalas beberapa pesan.”
“Aku juga sama.”
Tampaknya Mahiru menerima banyak ucapan salam. Untuk
beberapa alasan, Amane merasa Mahiru tidak pernah memberi tahu cowok-cowok
tentang cara menghubungi dia.
Ketika melihat Mahiru mulai menjawab dengan gesit, “Dia benar-benar seperti gadis SMA biasa”,
pikir Amane saat membalas pesan dari Itsuki dan Chitose.
Pesannya yang Ia terima cukup normal, 『Selamat Tahun Baru』 dan 『Apa kau menghabiskan Tahun Baru dengan Shiina-san? 』Tebakan mereka tepat sasaran, tetapi Amane
tetap menyangkal mereka.
Itsuki segera menjawab dengan 『Sudahlah jangan pake bohong segala』, dan proses menggoda dan menjadi digoda
berulang lagi …. tiba-tiba, ada beban di lengannya.
Amane kemudian mencium aroma harum.
Kontak yang tiba-tiba membuat Amane terkejut. Oh tidak, jadi Ia melihat ke samping dengan
ragu-ragu ... dan melihat Mahiru bersandar padanya dengan mata terpejam.
(—Tunggu, tunggu, tunggu.)
Amane tidak menyuarakannya, tapi Ia merasa kebingungan.
Ada kalanya Mahiru tertidur di apartemennya, tapi siapa
yang mengira dia akan melakukannya di sebelahnya, bersandar padanya pula?
Tak perlu butuh waktu lama untuk memahami mengapa Mahiru jatuh
tertidur.
Sekarang sudah lewat tengah malam.
Kal itu sudah diduga bahwa Mahiru, yang menjalani
kehidupan dengan baik dan benar, tidak akan begadang. Selain itu, dia sudah
sibuk membuat Osechi sepanjang hari, dan meski dia tidak menunjukkannya, dia
pasti benar-benar kelelahan.
Tak diragukan lagi kalau dia tidak bisa melawan rasa
kantuk yang berat.
Amane mengerti alasannya.
Ia memang tahu, tetapi Amane tidak pernah menyangka dia tertidur
pada saat ini.
Mahiru tertidur sambil bersandar pada Amane, mengabaikan
betapa gugup dan gelisahnya Amane saat dia menunjukkan wajah tidur yang tenang.
Alisnya yang panjang, hidung yang mancung, bibir merah
muda semuanya tidak berdaya.
Ini bukan pertama kalinya Ia melihat wajah tidurnya, tapi
itu adalah pertama kalinya Amane melihat dari dekat, dan Ia tertegun.
“Mahiru, bangunlah.”
Ia memanggil dengan khawatir, tetapi tidak ada jawaban.
Mahiru jatuh tertidur lelap, dimakan oleh rasa kantuk
berat karena dia terlalu lelah. Dia tidak menunjukkan tanda-tanda bangun
tidak peduli bagaimana Amane membangunkannya atau mengguncangnya dengan lembut.
Ia menepuk pundak Mahiru dengan lembut, mengguncang
tubuhnya, tetapi dia tidak mau bangun.
Setelah melakukan itu, dia mulai miring sedikit ke depan,
dan Amane buru-buru menahannya ... yang malah akhirnya memeluknya di
cengkeramannya, membuatnya lebih kalut dari sebelumnya.
(... Baunya sangat wangi.)
Mahiru pulang ke apartemennya untuk mandi, atau yang
lainnya, setelah mereka makan. Mungkin aroma bunga sampo telah menyatu
dengan miliknya, karena dia mengeluarkan aroma wangi, membuat Amane sangat
nyaman.
Dan juga, Ia merasakan sesuatu yang lembut padanya, dan
benar-benar gelisah.
Mahiru tidur sangat nyenyak dan Amane tidak tega untuk
membangunkannya. Ia merasa kalau Mahiru tidak akan bangun kecuali
diguncang lebih keras.
(Apa
yang harus aku lakukan sekarang?)
Ini terjadi tepat setelah Tahun Baru dimulai, dan Amane
mendapati dirinya dalam situasi yang mendesak.
Menghadapi situasi yang sulit dipercaya ini, Amane
menoleh ke arah Mahiru dengan tatapan yang bertentangan.
Dia benar-benar tidur sangat nyenyak.
Amane
adalah seseorang yang bisa dia percayai,
begitulah pikir Mahiru, karena dia tidur nyenyak. Merasa cemas dan malu,
kewarasannya berada di ambang kehancuran, dan Ia punya dorongan untuk
membenturkan kepalanya ke dinding.
Amane tidak ingin menyadarinya, tetapi kesadarannya
terfokus pada sentuhannya.
Tubuh halus itu terasa kencang dan lembut, dengan
kelembutan seorang wanita.
Terutama pada bagian-bagian yang bersentuhan, kelembutan
yang memberi bobot pada mereka; mereka tanpa ampun menurunkan kewarasan
Amane.
(-Apa
yang harus aku lakukan sekarang?)
Situasi tak terduga ini melanda Amane bersama dengan
kelembutan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan Ia benar-benar kebingungan.
Jadi ternyata gadis beraroma wangi dan selembut ini ...
itu adalah pertama kalinya Amane mengenali fakta ini, dan Ia sedikit kagum, tapi
kewarasannya menginjak rem untuk mencegah adanya pemikiran buruk.
Semakin Amane merasa kalau Ia seharusnya tidak memikirkan
itu, semakin jelas kelembutan di cengkeramannya, dan pikirannya mulai
menjadi-jadi.
Ia mencoba mencari cara untuk menyelesaikan situasi ini,
tetapi dia merasa tidak mungkin untuk menyelesaikan ini dengan sempurna.
Untuk saat ini, Ia menemukan tiga solusi.
1.
Paksa Mahiru untuk bangun.
2.
Seret Mahiru ke apartemennya.
3.
Buat Mahiru tidur di kasurnya, dan Amane
tidur di sofa.
Nomor 1, masalahnya Ia tidak ingin membangunkan Mahiru
yang kelelahan dan tertidur nyenyak. Amane lah yang menjadi alasan mengapa
dia sangat lelah, dan Ia ingin Mahiru tidur nyenyak jika memungkinkan.
Nomor 2, ini mungkin terlihat sebagai pilihan paling
aman, tapi itu akan memunculkan masalah baru dimana Ia harus mencari kunci
apartemennya di pakaian Mahiru, dan memasuki apartemen seorang gadis. Bahkan
jika itu adalah Mahiru, Amane tahu kalau itu masih tindakan lancang.
Nomor 3, untuk membuatnya tidur di tempat kasurnya. Ini
akan menjadi pilihan yang paling aman, dan paling mudah untuk dieksekusi ...
kecuali Ia percaya Ia akan menderika kerusakan mental setelahnya.
Mereka biasanya bersama, tapi Mahiru pada saat ini
menunjukkan wajah tidur yang menggemaskan yang akan membuat seseorang
terpesona, dan kewarasan Amane, bersama dengan hal-hal lain, akan runtuh jika Ia
meninggalkannya di tempat tidur.
Cowok manapun akan tergoda sepenuhnya oleh pemikiran
adanya seorang gadis tertidur di kasurnya, apalagi seorang gadis yang sangat
pekerja keras dan cantik.
Tidak heran kalau pemikiran Amane mulai aneh.
Namun, ini akan menjadi pilihan teraman, kompromi dan
kesejahteraan terbaik yang bisa dihasilkan Amane untuk saat ini.
Ia mengambil keputusan, dan meletakkan tangan di punggung
Mahiru sementara dia bersandar padanya, tangan satunya di bawah lututnya ketika
Amane perlahan mengangkatnya.
Dia tidur nyenyak, dan ringan seperti bulu - atau tidak,
tapi dia benar-benar ringan.
Mana mungkin Mahiru akan bangun semudah itu, tapi Amane
dengan hati-hati membawanya ke kamarnya, tanpa mengguncangnya. Dengan adanya
dia berbaring, Amane kesulitan membuka pintu, tetapi begitu Ia berhasil menembus
rintangan ini, yang perlu Ia lakukan hanyalah membaringkannya di tempat tidur.
Tubuhnya yang halus langsung tenggelam ke dalam
kelembutan ranjang.
Amane meletakkan selimut dan futon di atas Mahiru, dan
selesai mempersiapkan malam itu.
Tampaknya dia tidak punya niat untuk bangun, napas
berirama dan damai mencuri perhatian Amane.
Ada tanda kenaifan di wajahnya yang cantik, kecantikan
yang mempesona dan wajah polos yang membuat hati Amane tersentak dengan cepat.
Begitu Amane selesai membaringkan Mahiru di tempat tidur
dengan hati-hati, Ia berjongkok di samping tempat tidur.
(... Ini sulit.)
Alasan mengapa Mahiru tidur di tempat tidurnya,
meninggalkan perasaan lembut di cengkeramannya, bersamaan dengan wajah tidur
yang tak berdaya, adalah karena Mahiru cukup percaya padanya untuk tidur di
apartemen cowok.
Tentu saja, Amane merasa senang bisa dipercaya, tapi ini
membuatnya berpikir bahwa Ia tidak dipandang sebagai anak cowok.
Tampaknya dia mengenali Amane sebagai [cowok yang sama sekali tidak berbahaya yang
membutuhkan banyak perhatian ].
Amane melirik ke arahnya, tapi Mahiru tidak tahu tentang
keluhannya saat dia terus tidur dengan damai.
(Dia tidak tahu seberapa repotnya aku di sini.)
Jika dia begitu tak berdaya, haruskah aku
menyelinap tidur di sebelahnya ... sesaat
Amane punya pikiran begitu, tapi membantahnya karena Ia pikir itu akan
keterlaluan, terutama mengingat bahwa mereka tidak pacaran.
Jika Amane melakukannya, Ia punya bayangan bahwa begitu
Mahiru bangun, dia tidak akan berbicara dengannya. Apa yang kamu pikirkan; dia bahkan mungkin menatapnya dengan
pandangan sinis. Karena itu, Ia memutuskan untuk tidak melakukannya demi
kebaikannya sendiri.
Sebaliknya, aku
pikir tidak apa-apa untuk menyentuh wajahnya dengan ringan, jadi Amane
meraih kepala Mahiru.
Halus, halus, mengkilap; dengan jari-jarinya, Ia
membelai rambut panjang halus yang bisa digambarkan demikian, dan helaian
rambutnya mengalir tanpa tertangkap.
Kurasa dia benar-benar merawat ini dengan
baik juga , Amane kagum dan takut kerja keras
seorang wanita saat dia dengan lembut membelai pipi Mahiru dengan ujung
jarinya.
Kulit porselen putih yang lembab tidak terlalu hangat,
dan terasa sedikit dingin di tangan Amane.
Begitu Ia selesai membelai wanita itu dengan ujung
jarinya, Amane menatap wajah tidur Mahiru yang benar-benar damai, tanpa sadar
menunjukkan senyum masam.
“Selamat malam.”
Mahiru mungkin akan kaget begitu dia bangun keesokan
harinya ... atau tepatnya, nanti di pagi hari, pikir Amane, tapi Ia merasa itu
dalam batas yang dapat diterima setelah Mahiru menyebabkan jantungnya berdebar
kencang.
Astaga, kau ini , Amane tesenyum lembut ketika membelai pipi Mahiru
yang lembut sekali lagi.
Catatan Kaki :
1.
Contoh hidangan Osechi, lihat di sini.
2.
Datemaki, di sini.
Sasuga Amane-kun👍
BalasHapusEmang ketiganya pilihan yang sulit wkwkk
BalasHapusanjay
BalasHapusI need ilustrasi!!!
BalasHapusMakasih min
BalasHapus