Chapter 02 - Tenshi yang tak berdaya dan Tahun Baru
Keesokan paginya, Amane bangun dengan tanpa adanya suara
harian.
Apartemennya begitu sunyi, burung-burung terdengar
berkicau di luar, dan Mahiru, yang tidur di kamar Amane, tidak menunjukkan tanda-tanda
bangun.
Waktu fajar sudah lama terlewat, tapi dia mungkin tidur
nyenyak karena terlalu lelah pada hari sebelumnya.
Amane sendiri juga tertidur, tetapi Ia tidak bisa tidur
nyenyak karena Ia mengingat Mahiru ada di kamarnya, dan terbangun dari tidur
nyenyak saat ini.
Tubuhnya tidak merasa tidak nyaman, tetapi Ia menderita
karena hal yang lain.
Ini adalah pertama kalinya ada seorang gadis yang
menginap di apartemennya, dan di tempat tidurnya. Mana mungkin Ia tidak
merasa gugup.
(... Rasanya menyusahkan mengingat betapa tidak berdayanya
dia.)
Amane menyadari kalau Mahiru tidur tanpa khawatir karena
dia menganggap Amane benar-benar tidak berbahaya, lagipula Ia adalah cowok, dan
Mahiru harus sedikit lebih waspada.
Ia menyesal tidak membangunkan Mahiru dan memaksanya
untuk kembali, tapi nasi sudah menjadi bubur.
Haa, Ia menghela nafas, dan mendesah dalam-dalam,
meregangkan tubuhnya yang kaku karena tidur di sofa, sebelum perlahan-lahan
bangun.
Untuk saat ini, Ia akan memeriksa Mahiru terlebih
dahulu. Tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan pakaian ganti, tapi Amane
pikir Ia harus memeriksanya saat melakukannya.
Ssss ,
Amane membuka pintu ke kamarnya.
Suasan di dalam benar-benar sepi, dan Mahiru masih tidur
nyenyak di atas kasur.
Satu-satunya perbedaan adalah dia sudah membolak-balik
beberapa kali dalam tidurnya, dan berbaring miring, rambutnya tergerai mengalir
di tempat tidur seperti sungai.
Kuu,
kuu, dia membuat suara tidur yang menggemaskan
saat Amane berjongkok untuk melihat.
Dia benar-benar terlihat menggemaskan saat tidur seperti
itu.
Dia selalu memasang topeng berwajah dingin, mungkin
karena dia begitu tegang ... tapi wajahnya yang tidur terlihat sangat santai,
dan menggemaskan.
Dia
begitu manis, Amane punya keinginan untuk membelai dia.
(... Dia benar-benar imut ketika tidur.)
Tentu saja, dia adalah gadis yang cantik, masih menggemaskan
bahkan ketika bangun, tetapi pada titik ini, perasaannya lebih mirip seperti
mengamati hewan peliharaan.
Dia ingin mengelus rambutnya yang halus, dan menyodok
pipinya yang lembut.
Biasanya, Mahiru tidak akan pernah membiarkan penjagaannya
lengah, tetapi karena dia menjadi tidak berdaya ini, Amane memiliki keinginan
untuk menggodanya.
Tanpa berpikir lagi, Amane mengulurkan tangannya ke pipi
lembutnya, lalu menyentuhnya.
Pipi kenyal itu malih selembut seperti hari
sebelumnya. Begitu lembut, Amane ingin terus menyentuhnya, dan Ia mulai
menyolek dengan jarinya.
Amane menyentuhnya selembut yang Ia bisa, tetapi
sementara Ia membelai pipinya yang imut dengan lembut, “Hmm ...” Mahiru, yang
dari tadi tidur tenang, mengeluarkan suara yang manis.
Dan sebelum Amane bisa menggerakkan tangannya ke samping,
Mahiru perlahan-lahan mulai membuka matanya.
Mata berwarna karamel yang lembab dan tidak fokus menatap
Amane ... atau tepatnya, ke arahnya.
Ekspresinya yang lembut menunjukkan jejak wajah muda yang
mengantuk, dan menunjukkan banyak keluguan. Mata mengantuknya memiliki
beberapa kesadaran meski dalam keadaan linglung, dan dia tampak lkurang dewasa
daripada ketika dia mengantuk.
Dia menunjukkan ekspresi ceroboh, benar-benar rentan, dan
kemudian menurunkan kelopak matanya, memejamkan matanya lagi.
Amane ingin menarik jari-jarinya, tetapi Mahiru
mendekatkan wajahnya ke jari-jari Amane, dan menggesekkan pipinya, tenggorokannya
yang tipis mengeluarkan suara yang manis.
Tolong jangan tinggalkan aku, itulah yang tersirat muncul saat Amane mengusap
pipinya.
“……”
Amane sadar betul kalau Mahiru sedang mengigau.
Tidak ada alasan bagi Mahiru untuk bertingkah begitu di hadapan
Amane, dan biasanya, dia tidak akan menunjukkan ekspresi dan gerakan yang
begitu santai.
Meski begitu — dia bertindak seperti anak kucing yang
menjilat, dan hatiserta kewarasan Amane tengah diuji.
Haruskah Ia menarik tangannya, atau mengikuti arus dan menyolek
pipinya dengan gembira?
Secara emosional, Ia condong ke pilihan terakhir.
Jarang-jarang Ia bisa melihat Mahiru yang begitu lembut,
dan Ia tertarik untuk mengetahui seberapa banyak dia akan bertingkah begitu.
Tapi Amane punya perasaan bahwa begitu Ia melakukannya,
Mahiru akan mulai cemberut dan mengacuhkannya begitu kesadarannya
kembali. Amane tahu dia akan merasa sangat malu, dan tidak tahu harus
berbuat apa.
Bagaimanapun juga, dia benar-benar menggemaskan, jadi Ia
memutuskan untuk berhenti dan hanya menatapnya.
Kesadarannya sebagian besar telah kembali, tapi karena
dia agak grogi, atau dia tidak pernah memperhatikan tangan Amane, dia mendekatkan
kepalanya ke jari-jari Amane.
Amane hanya berniat memeriksanya dan mengambil baju
ganti, tapi karena suatu alasan, ada kontak seperti itu. Hatinya dipenuhi
dengan rasa gatal yang tak terkatakan, dan panas mulai berkumpul di pipinya.
“Nn, nn…”
Setelah beberapa saat, Mahiru akhirnya membuka matanya,
sepertinya kali ini dia beneran terbangun….
“……eh,”
Tatapan mata mereka bertemu.
Dia mengalihkan pandangannya ke Amane yang begitu dekat,
bersamaan dengan jari yang disentuh pipinya, dan dia membeku.
Momen selanjutnya, Mahiru melompat kaget.
“Selamat pagi.”
“... Selamat pagi, untukmu ...”
“Kau tertidur di apartemenku, jadi aku memindahkanmu ke
sini. Cuma itu saja. Kupikir kau harus berterima kasih kepadaku
karena tidak melakukan apa-apa. ”
Amane memanfaatkan momen itu untuk menjelaskan mengapa
dia ada di tempat tidur; Mahiru tidak cemberut, dan malah mendengarkan
dengan patuh.
Namun, kenyataan bahwa dia tidur di ranjang anak cowok
menyebabkan wajahnya memerah, dan dia meraih selimut, dan menariknya sampai ke
bibirnya.
Sikap itu anehnya juga menggemaskan, dan Amane
mengalihkan tatapannya.
(Apa-apaan dengan situasi ini?)
Ia hanya meminjamkan tempat tidurnya, tapi karena suatu
alasan, Amane merasa kalau Ia yang bersalah.
Amane menyesal telah menyolek pipinya, tapi hanya
sedikit, dan Ia tidak punya niat melakukan apa-apa lagi.
Jantungnya berdetak kencang karena betapa manisnya
Mahiru, dan perih karena rasa bersalah. Ia merasa sangat bertentangan di
dalam hatinya. Amane memandang ke arah Mahiru, dan melihat wajahnya masih
memerah, sedikit tidak senang ... tidak terlalu buruk dengan sendirinya, tapi
tampaknya Mahiru punya sesuatu untuk dikatakan ketika dia membalas tatapan
Amane.
“... Amane-kun, apa kamu suka menyentuh pipi orang?”
“Eh?”
“Yah, kamu melakukan hal yang sama pada malam Natal, dan
sebelum aku tidur tadi malam.”
“... Kau sudah bangun saat itu?”
Amane melakukannya pada hari kemarin saat dia seharusnya sudah
tidur nyenyak, jadi seharusnya Mahiru tidak sadar saat itu.
Karena dia tahu akan hal itu, artinya saat itu Mahiru
masih bangun.
“... Se-Sebenarnya, yah ... aku sudah bangun ketika kamu
membaringkanku di tempat tidur ... apa lagi yang bisa aku lakukan selain
berpura-pura tidur?”
“Apa kau tidak takut kalau aku melakukan sesuatu padamu?”
“... Aku tidak berpikir kamu akan melakukan hal seperti
itu, Amane-kun ... dan aku berpura-pura tidur, untuk memastikan, itu.”
Tampaknya, Mahiru menguji kepercayaannya pada Amane.
Untungnya, tampaknya Ia dapat dipercaya, tetapi Amane
benar-benar berharap bahwa di masa depan, Mahiru tidak akan bertindak begitu
ceroboh untuk benar-benar tidur di depan cowok.
Bahkan Amane tidak menjamin kalau itu cuma menyolek pipi
saja pada saat itu terjadi. Ia akan bermasalah jika Mahiru tidak waspada
sedikit pun.
“... Yah, aku merasa senang bisa dipercaya, tapi jangan
lakukan ini lagi. Lagipula aku masih seorang cowok.”
“Uu, aku tahu itu, ya.”
“Atau kau menginginkan sesuatu yang lebih dariku ??”
“Tidak mungkin, tidak mungkin.”
Mahiru membantahnya dengan wajah yang benar-benar memerah,
dan menyelinap ke dalam selimut. Hei, itu kasurku, Amane ingin
membalas, dan cuma menelan kembali kata-katanya.
Dia tetap menggeliat di dalam selimut hingga rasa malunya
mereda, dan Amane memutuskan untuk meninggalkannya.
uuuu
Begitu dia pulih dari rasa malunya, Mahiru kembali ke
apartemennya, berganti pakaian, dan kembali ke apartemen Amane.
Tapi dia tetap merasa malu, dan akan memandang dengan canggung
setiap kali dia menatap Amane, yang mana membuatnya merasa canggung juga.
Untungnya, Mahiru tidak keberatan dengan duduk di
sebelahnya di sofa, tetapi Ia merasa tak tertahankan.
“…Aku minta maaf.”
Merasa sudah tidak tahan dengan situasinya, Amane secara
naluriah meminta maaf pada Mahiru, yang melirik ke arahnya, dan menghela nafas.
Rasa malunya mungkin sudah agak mereda, karena
ekspresinya kembali seperti biasa.
“Aku tidak marah padamu. Kamu tidak perlu meminta
maaf padaku, Amane-kun. ”
“Tapi tetap saja.”
“Aku menyesali kecerobohanku sendiri. Aku sudah
menunjukkan tampilan yang tidak sedap dipandang padamu.”
“Ini bukan tidak sedap dipandang ... melainkan lucu.”
Wajah tidurnya benar-benar sesuai dengan julukannya
sebagai Tenshi, dan dia tampak sangat imut, terlepas itu mata mengantuk begitu
dia baru terbangun, atau wajah polos yang tidak berdaya.
Itu sangat bertentangan dengan ekspresi yang biasanya
tenang dan menyendiri, sebuah penemuan baru dari ekspresi yang benar-benar
polos.
Wajahnya sangat menggemaskan, Amane memiliki keinginan
untuk terus melihatnya, tetapi Mahiru mungkin tidak ingin menunjukkan tampilan
yang ceroboh.
Amane tidak menganggap itu tidak senonoh, atau tidak enak
dilihat, jadi Ia ingin menyangkal hal itu; entah kenapa, Mahiru menggigit
bibirnya, dan memukulnya dengan bantal.
Itu tidak menyakitkan, dan Mahiru mungkin tidak serius,
tetapi Amane tidak tahu mengapa dia mendadak melakukan itu.
“Apa?”
“... Kamu benar-benar tidak bisa diharapkan dalam hal
ini, Amane-kun.”
“Seriusan ... apa yang kau ingin aku lakukan?”
“Kamu seharusnya tidak boleh mengatakan kata-kata seperti
itu dengan enteng.”
“Bukannya aku mengatakan ini pada sembarang orang ...”
Satu-satunya gadis yang dekat dengan Amane hanyalah
Mahiru dan Chitose.
Chitose relatif imut, memang, tapi Amane secara naluriah
merasa kesulitan untuk menyebutkannya, dan tidak perlu memujinya secara langsung. Jadi,
tidak ada yang bisa Ia puji selain Mahiru.
Mahiru tertegun, dan Amane merasa skeptis sambil
mengangkat bahu,
“Kamu sudah terbiasa mendengar itu dari orang lain, ‘kan? Tidak
ada banyak perbedaan sekarang.”
Amane pernah memanggil Mahiru lucu beberapa kali, dan
merasa aneh kalau dia baru memperhatikan hal itu pada saat ini.
Mahiru seharusnya tahu betul betapa cantiknya dia, dan pasti
sudah terbiasa menerima pujian.
Tidak ada alasan baginya untuk menjadi sangat gugup hanya
karena Amane mengucapkan beberapa kata pujian.
Begitulah yang dipikirkan Amane, dan untuk suatu alasan,
Mahiru mengerutkan keningnya.
“Seriusan, kau ini kenapa sih?”
“... Tidak ada sama sekali.”
Akhirnya, Mahiru meluncurkan serangan fisik lainnya
dengan bantal, humph, sebelum
memalingkan wajahnya. “Aku akan membuat Ozoni sekarang.” Dia lalu
mengenakan celemek, dan memasuki dapur.
Amane mengambil bantal yang didorong ke dirinya, dan
hanya bisa menatap Mahiru yang sedang sebal.
uuuu
Setelah mereka menghabiskan Ozoni, Mahiru kembali ke
ekspresinya yang biasa.
Dia cemberut ketika mereka mulai makan, dan Amane sedikit
tidak nyaman dengan itu, tapi Ozoni dan Osechi benar-benar lezat, dan mendapati
dirinya terpesona. Tanpa Ia sadari, Ia melihat Mahiru tampak kembali
normal.
Semuanya kembali normal ketika mereka meninggalkan meja
makan dan kembali ke sofa.
“Ngomong-ngomong, apa kau berniat melakukan Hatsumode,
Mahiru?”
“Hatsumode? Aku tidak benar-benar ingin pergi ... Aku
tidak suka tempat yang ramai. Rasanya seperti aku diawasi. ”
“Yah, itu karena ...”
Kau adalah gadis yang luar biasa cantik, Amane ingin mengatakan itu, tapi Ia ingat Ia baru
saja merusak suasana hatinya, jadi Ia menelan kembali kata-katanya. “Yah,
sudah kuduga.” Jawab Amane.
“Amane-kun, apa kamu akan pergi ke Hatsumode?”
“Saat di kota asalku dulu, aku pergi dengan orang tuaku,
tetapi aku belum memutuskan. Aku pikir tidak perlu berdesakan pada Hari
Tahun Baru itu sendiri.”
“Sepakat.”
“Sepertinya kelompok Chitose terikat kembali ke rumah
dengan keluarganya, dan anak muda jaman sekarang tidak benar-benar pergi untuk
Hatsumōde. Kita bisa pergi nanti.”
Dibandingkan dengan masa lalu ... lebih sedikit yang
lebih muda, terutama yang berusia remaja dan dua puluhan, akan menghadiri
Hatsumōde, bukan karena Amane dan yang lainnya aneh atau semacamnya.
Bukannya Amane tidak ingin pergi, tapi Ia mengerti kalau
sekarang pasti akan ramai di sana, dan Ia cuma dapat lelah hanya pergi ke
sana. Amane pikir lebih baik pergi nanti ketika tidak ada banyak orang.
“Selain itu, aku ingin bersantai selama tiga hari
ini. Aku tidak terlalu peduli tentang acara Tahun Baru. ”
“Padahal, aku tertarik menerima paket tahun baru… ”
“Kau ingin pergi ke pusat perbelanjaan?”
“... Aku tidak punya keberanian untuk menyerang kerumunan
di sana.”
“Sepakat. ”
Amane menjawab seperti yang Mahiru lakukan, dan berandar
ke sofa.
Mereka tidak diperintah untuk pergi ke mana pun di Tahun
Baru.
Amane biasanya berharap untuk menghindari hal-hal yang
menyusahkan, dan tak keberatan menghabiskan sepanjang hari dengan
bermalas-malasan. Tampaknya Mahiru berniat untuk menghabiskan seluruh periode
Tahun Baru di tempat Amane, demi kenyamanan memasak. Mereka tidak perlu
khawatir untuk makanan, atau seseorang untuk diajak bicara.
Ini adalah Tahun Baru yang spesial , pikir Amane sambil melirik Mahiru, lalu tertawa kecil.
Mantap minn
BalasHapusNi novel buat ane cengar cengir
Lanjut min 👍👍👍👍
Rasanya ngena banget ceritanya
BalasHapusTernyata sudah bangun. Semua pria adalah serigala katakanlah itu pada Amane-sama bhahahaha
BalasHapustemen rasa pacar kek gini :V
BalasHapusDuhh aing telat setahun lebih.. tapi gak apa deh, sangat manis sekali ceritanya wokwok
BalasHapusRasa bini lebih tepatnya:D
BalasHapusAndai ada animenya
BalasHapusmantap makasih min
BalasHapushttps://uploads.disquscdn.com/images/83b3bed165fffdba9b1641f35a47da1cee14cc49537c003fddb4ca36ca450b77.jpg
BalasHapus