Chapter 03 - Kunjungan orang tua dan Hatsumode
『Bisakah
kita mampir di tempatmu besok, Amane?』
Ayah Amane mengirim pesan ini pada jam 10 malam, pada
hari ketiga tahun ini. Mereka sudah selesai makan malam, dan Mahiru telah
kembali ke apartemennya sendiri.
『Tidak
masalah kalau kau tidak pulang, Amane, tapi aku ingin melihat wajahmu. Dan juga, aku sudah mendengar dari kalian berdua, jadi
aku pikir aku harus menyapa tetanggamu. 』
Sang ayah — Shuuto tahu Amane dirawat oleh Mahiru, dan
ingin menyapanya sebagai orang tuanya.
Amane akan menolak dengan sekuat tenaga jika Shihoko
tidak tahu tentang Mahiru, tapi karena dia sudah tahu, dan Mahiru sendiri sudah
menghubungi Shihoko sedikit, jadi tidak ada gunanya untuk menolak.
Tidak ada yang disembunyikan, jadi Ia tidak keberatan
dengan gagasan orang tuanya memeriksa anak yang tidak pulang kembali.
Jika Shuuto muncul dengan Shihoko, Ia pasti bisa mengendalikan
Ibunya yang kegirangan.
Bahkan, tanpa ada Ayahnya, itu hanya akan menjadi
pengulangan kekacauan beberapa hari yang lalu yang mana membuat Amane dan
Mahiru kewalahan; akan merepotkan jika Shuuto tidak memaksakan dirinya.
Amane memutuskan bahwa jika Ia menolak, Shihoko akan
dengan berani mengunjungi Mahiru lagi, jadi Ia menyetujui permintaan ayahnya,
sebelum mengirim pesan kepada Mahiru.
uuuu
“Erm, apa beneran aku boleh di sini untuk ikut reuni
keluargamu?”
Keesokan harinya, Mahiru muncul di apartemen Amane sejak
pagi, dan tampak sedikit gugup.
Wajar saja dia bertingkah seperti itu, dalam arti
tertentu, karena yang berkunjung adalah orang tua dari cowok yang diurusnya ...
sedikit salah di sini, cowok yang menghabiskan banyak waktu dengannya. (TN : Kayak pengenalan calon mantu sama calon
mertua : wkwkwkwkwk)
Tampaknya Shihoko sudah menghubungi Mahiru
sebelumnya; malah, mereka sudah kenal baik karena terus berhubungan lewat
pesan.
Takkan menjadi masalah jika Shihoko yang berkunjung, tapi
kali ini, ayahnya akan menemani, dan tidak heran Mahiru begitu tegang.
“Yah, ayahku hanya ingin menyapamu, dan ibu benar-benar
tertarik padamu, jadi aku ingin kau ada di sini. Sebenarnya, kau harus
berada di sini.”
“Me-Meski kamu bilang begitu ...”
“Aku mengerti kalau kau merasa enggan, tapi aku harap kau
akan menanggungnya untuk saat ini.”
Mungkin ini adalah situasi yang tidak nyata bagi Mahiru
untuk menyapa orangtua Amane, tetapi karena mereka ingin bertemu, Ia berharap
mereka tidak punya pilihan lain.
Amane menyesal sudah menyita waktu Mahiru, tapi
kepribadian ayahnya seperti itu sehingga Ia akan merasa gelisah jika Ia tidak
pernah menyapa Mahiru, jadi Amane berharap kalau Mahiru akan bertahan untuk
sementara waktu.
“... Bagaimana Shihoko-san memperkenalkanku?”
“Santai saja. Ayah terus bilang kalau kau orang yang
dermawan. Ia sudah tahu kalau kita tidak memiliki hubungan seperti yang
diimajinasikan ibuku. ”
Tampaknya Shihoko menganggap Mahiru sebagai calon menantu,
bahkan anak perempuan yang imut, sehingga Amane dengan keras membantahnya.
Shuuto meringis sedikit, 『Kebiasaan buruk Shihoko-san mulai berulah lagi』 saat Ia mengirim pesan dengan penuh
pengertian, jadi seharusnya tidak ada kesalahpahaman.
Saat Ia melihat Mahiru tampak sedikit lega ketika dia
meletakkan tangannya di dada, “Maaf.” Amane menunggu dengan senyum
masam. Tepat pada waktunya, bel pintu berdering.
Orang tuanya punya kunci pintu masuk, jadi Amane mengira
mereka langsung masuk.
Mahiru sangat tersentak, dan Amane tersenyum ketika
menghiburnya, sebelum menuju pintu dan membuka kunci rantai.
Ia membuka pintu, dan menemukan orang tuanya yang biasa Ia
lihat.
“Sudah setengah tahun, Amane.”
“Ya, sudah lama tidak bertemu, ayah.”
Shuuto menunjukkan senyum tenang, dan Amane juga
tersenyum lega.
Shuuto adalah orang yang memiliki aura menenangkan
padanya, tipe yang bisa dengan mudah menenangkan orang-orang di
sekitarnya. Amane merasa santai begitu Ia bertemu ayahnya lagi.
“Kamu memperlakukan ibumu dengan sangat berbeda ...”
“Itu karena Ibu tiba-tiba muncul. Aku akan
menyambutmu dengan baik jika Ibu memberitahuku lebih dulu.”
Yang paling penting, itu karena ada Mahiru, dan Amane
akan jauh lebih santai jika Ia sendirian saat itu.
“Pokoknya, masuk saja dulu... apa itu?”
“Barang-barang ibu~. Selain itu, di mana
Mahiru-chan? ”
“Dia ada di dalam.”
Amane menjawab dengan singkat, dan memandu orang tuanya. Mahiru
yang tampak gelisah duduk di sana, memandangi mereka — dan dia membelalakkan
matanya.
Wajar saja bagi Mahiru untuk terkejut.
Penampilan muda Shuuto membantah kenyataan kalau Ia
berusia menjelang 40-an. Bahkan jika dia mengabaikan perbandingan yang
menguntungkan terhadap putranya, Shuuto memiliki wajah seorang pria yang berusia
sekitar tiga puluh tahun.
Ia memiliki wajah muda, bahkan cenderung baby face, dan untuk kesekian kalinya,
Amane berharap Ia bisa mewarisi lebih banyak gen-gen dari ayahnya.
Tidak seperti Amane, ayahnya memiliki ekspresi kalem,
wajah yang ramah (walaupun Ia setengah
baya), banyak yang sering bertanya-tanya apakah mereka benar-benar
berhubungan darah. Namun, ketika mereka berjalan bersama, mereka mirip
seperti kakak dan adik dengan perbedaan usia yang terlampau jauh.
“Mahiru-chan, sudah lama tidak ketemu.”
“Sudah cukup lama? Belum sebulan. ”
“Itu sudah cukup lama bagiku.”
Mahiru melihat Shihoko berlari ke arahnya dengan wajah
berseri-seri, "Sudah lama." Mahiru
menjawab dengan senyum yang ditunjukkan kepada orang luar, memperbaiki postur
duduknya.
Namun, dia tampak sedikit gelisah terhadap Shuuto, dan yang
terakhir memperhatikan tatapannya, lalu berdiri di sebelah Shihoko dengan
senyum tenang.
“Senang bertemu denganmu. Aku ayah Amane, Shuuto Fujimiya. Aku
sudah mendengar mengenai dirimu dari Shihoko-san, Shiina-san. Katanya kau
sudah merawat putra kami.”
“Senang bertemu dengan Anda. Saya Shiina
Mahiru. Saya sudah dalam perawatan Amane-kun. ”
Shuuto membungkuk formal dengan indah, dan Mahiru
mengikutinya dengan ucapan resmi.
Tampaknya Mahiru khawatir jika Shuuto akan memiliki
kepribadian yang mirip dengan Shihoko, tapi Shuuto adalah orang yang baik dengan
akal sehat, dan Mahiru langsung merasa
tenang.
Shuuto adalah satu-satunya yang bisa mengerem Shihoko,
dan yang terakhir lemah terhadap Shuuto. Salah satu alasannya adalah dia
sangat menyukainya.
“Kenapa, kamu tidak harus begitu rendah hati? Toh
Amane itu ceroboh. ”
“Maaf karena sudah menjadi ceroboh.”
“Sudah Shihoko-san, jangan katakan itu sekarang ...
Amane, apa kau sudah mengucapkan terima kasih dengan benar pada Shiina-san
karena sudah merawatmu selama ini?”
“Aku melakukan yang terbaik.”
“Itu bagus.”
Wanita harus diperlakukan dengan hormat, Shuuto telah mengajari putranya begitu, dan mungkin
khawatir jika yang terakhir tidak berterima kasih pada Mahiru dengan benar.
Lagipula, Amane merasa tidak nyaman dengan menyerahkan
segalanya kepada Mahiru sementara Ia cuma dapat enaknya saja, dan tentu saja,
Amane merasa Ia melakukan semua yang Ia bisa untuknya.
Shuuto lega mendengar jawaban Amane, dan kembali berbalik
untuk menatap Mahiru.
“... Sungguh, bagaimana aku harus berterima kasih di
sini? Sepertinya kau sudah melakukan semua masakan sehari-hari, dan bahkan
Osechi ... ”
“Aku selalu berterima kasih padanya, dan aku juga ikut
membantunya.”
“Ya ... secara mengejutkan, Amane-kun agak peduli
padaku.”
“Seberapa mengejutkannya menurutmu?”
“Yah…”
Ia mungkin terlihat kasar, tapi Ia
memperhatikan rincian, puji Mahiru, dan
Amane terdiam, tidak dapat menyangkal fakta bahwa Ia punya lidah yang kasar; Shuuto
menunjukkan senyum ramah.
“Sepertinya kalian berdua benar-benar berhubungan
baik. Jangan menyebabkan Shiina-san terlalu banyak masalah di sini.”
“…Oke.”
“Hal yang sama berlaku padamu, Shiina-san, lakukan
koreksi pada Amane jika ada sesuatu yang tidak dilakukannya dengan baik. Ia
mungkin tidak terlihat seperti itu, tapi Ia anak yang sangat jujur. Marahi
saja jika ada sesuatu yang tidak kamu sukai darinya. ”
“Amane-kun orangnya sangat baik; Adapun yang aku
tidak suka ... erm, hanya sedikit.”
“Jadi ada.”
“... Daripada tidak suka ... bisa dibilang
kekurangannya.”
Mahiru tampak gagap saat mengucapkan kata-kata tersebut,
dan jika Amane bertanya apa yang buruk tentang dirinya ... Mahiru tidak akan
bisa menjawab.
Untuk beberapa alasan,
"Hahan" Shihoko tampaknya memiliki ide saat dia tertawa
terbahak-bahak, lalu memandang ke arah Amane. Sekarang apa lagi, itulah
satu-satunya jawaban yang bisa dikerahkan Amane.
uuuu
“Silahkan dicicipi.”
Meski mereka adalah orang tua Amane, mereka masih tamu,
dan sangat penting untuk melayani mereka. Namun, Mahiru bersikeras
menyajikan teh, jadi Amane menyerahkan tugas tersebut kepadanya. (TN : Udah kayak calon menantu aja wkwkwk
:v)
Amane tidak pernah menyangka bahwa perlengkapan cangkir
teh dan teh hitam yang Mahiru bawa untuk diminum akan digunakan dalam situasi
ini.
Orang tuanya duduk di sofa yang biasanya mereka duduki, dan
tampak berseri-seri.
“Wah, terima kasih banyak, Mahiru-chan. Kamu benar-benar
terbiasa dengan ini.”
“Y-ya.”
“Biasanya, Amane yang harus melakukan ini, kan?”
Jika Amane yang menyeduh teh, cuma ada rasa pahit yang
dirasa, jadi Mahiru yang mengambil alih. Tapi, Shihoko tampak sedikit
tercengang.
“Tidak, aku sendiri yang ingin melakukan ini ...”
“Yah, jika Amane yang melakukan ini, tehnya mungkin
kurang sedap. Wajar saja.”
Sementara yang dikatakan ibunya benar, Amane kesal karena
dikritik karenanya.
Namun, Ia tidak bisa menyangkal ini, dan hanya bisa diam,
lalu Shihoko yang memandang ke arahnya, menyeringai.
“Ngomong-ngomong, Amane, kamu sudah bisa memanggil Mahiru-chan
dengan namanya sekarang.”
Begitu dia tiba-tiba mengungkit hal ini, Amane dan Mahiru
membeku serempak.
Amane lupa tentang ini karena Ia sudah menyapa Mahiru
dengan alami. Ketika ibunya berkunjung terakhir kali, Amane belum
memanggil nama Mahiru, dan Mahiru gelisah ketika dia memanggilnya kembali.
Pada saat ini, mereka berdua sudah bisa memanggil nama
satu sama lain secara alami, dan Shihoko secara alami akan membiarkan imajinasinya
menjadi liar.
“... Tidak apa-apa, kan?”
“Itu bagus, aku pikir. Bagus untuk menjadi intim.”
Shihoko sengaja untuk tidak menekan masalah lebih lanjut,
cuma melihat ke arah Amane dengan seringai, dan Amane merasakan pipinya berkedut.
Mungkin lebih baik dia menggodanya. Setiap kali
Shihoko dalam keadaan seperti itu, pikirannya akan membayangkan semua jenis
situasi yang bahagia.
“Shihoko-san, berhenti menggoda Amane.”
Tapi Shuuto menginjak rem di sini.
“Ini kebiasaan burukmu, Shihoko-san. Jangan terlalu
menggodanya. ”
“Ya, terlalu buruk, tapi aku harus berhenti.”
Shihoko hanya akan mendengarkan perkataan Shuuto, dan
sebagai putra yang tersiksa, Amane sangat berterima kasih untuk itu.
“Tapi senang rasanya melihat putra kami bisa dekat dengan
gadis yang sangat imut.”
“Aku khawatir kebiasaan burukmu akan menjadi liar,
Shihoko-san.”
“Oh, apa kamu mau menghentikanku sekarang, Shuuto-san?”
"Aku pikir itu baik bagimu untuk berubah saaat masih
memiliki kesadaran diri, tapi aku tidak bisa membantumu ketika ini adalah hal
lain yang kusukai darimu.”
“Ya ampun ... Shuuto-san.”
Sementara Ia menghentikannya, orang tua Amane mulai
terlena ke dalam dunia mereka sendiri, untuk beberapa alasan aneh, dan Amane
menghela nafas dengan terang-terangan.
Shuuto biasanya orang yang rasional, tetapi Ia secara
naluriah akan menyayangi istrinya, menghasilkan getaran yang tak dapat didekati
di sekitarnya dari waktu ke waktu.
Untungnya, Ia hanya melakukannya di depan keluarganya,
dan tidak akan begitu berani di luar rumah. Mungkin Ia merasa santai,
karena mereka ada di apartemen Amane.
Putranya tak keberatan dengan orang tuanya yang masih
saling sayang setelah bertahun-tahun, tetapi Amane berharap kalau mereka
setidaknya menyadari di mana mereka berada, mempertimbangkan situasi karena ada
orang lain yang melihat.
Amane tidak ingin ikut campur begitu Ia melihat mereka
berakhir pada yang itu, jadi Ia hanya duduk ke kursi yang diambilnya dari ruang
makan, dan mendesah keras lagi.
Mahiru juga menyiapkan kursi di sebelahnya, dan diam-diam
melihat pasangan paruh baya.
“... Orang tuamu benar-benar berhubungan baik.”
“Yah begitulah. Mereka tidak seperti ini di luar,
tapi seperti itulah tingkah mereka bila di rumah.”
“Begitu ya.”
Amane menjawab dengan senyum masam, dan Mahiru
menyipitkan matanya pada Shihoko dan Shuuto.
Pandangannya bukan pandangan tidak senang; lebih
tepatnya, sepertinya dia sedang melihat sesuatu yang menyilaukan.
Matanya penuh dengan kekaguman dan kecemburuan,
seolah-olah dia sedang melihat sesuatu yang berharga.
Saat dia melihat mereka dengan senyum tipis yang hanya bisa
digambarkan sebagai sesaat, Amane mengulurkan tangannya ke arah Mahiru tanpa
berpikir—.
“Oh Amane, ada apa?”
Shihoko tampaknya telah kembali sadar ke dunia nyata, dan
Amane menarik tangannya setelah mendengar suaranya.
“Apa maksudmu apa? Karena kalian berdua sibuk di
duniamu sendiri, kami benar-benar gelisah, bu.”
“Oh, kamu cemburu?”
“Tidak cemburu sama sekali. Lakukan saja hal seperti
itu di rumah. ”
Sepertinya mereka tidak memperhatikan Amane hampir
memegangi tangan Mahiru, dan begitu pula Mahiru, jadi dia hanya bisa tersenyum
masam pada kata-katanya.
Amane tidak tahu kenapa Ia mengulurkan tangannya.
Tapi sepertinya ... Ia tidak ingin Mahiru merasa
sendirian.
Amane lega melihat Mahiru kembali ke normal, dan
mempertahankan muka cemberut biasa agar tidak ketahuan.
“Jadi, apakah kalian berdua sudah puas melihat putramu
sendiri sekarang?”
“Ketimbang kamu, Amane, kami merasa puas melihat
Mahiru-chan ...”
“Oy.”
“Cuma setengah bercanda. Kami belum selesai dengan
tujuan kami di sini. ”
“Tujuan?”
Amane pikir tujuan Shihiko hanyalah untuk melakukan
kunjungan Tahun Baru, dan untuk menyapa Mahiru, tapi tampaknya Shihoko punya
rencana lain.
“Amane, kalian berdua belum melakukan Hatsumode, kan?”
“Kami akan pergi ketika orang-orangnya sudah sedikit.”
“Kurasa begitu. Kamu belum pergi juga,
Mahiru-chan? Itulah yang kamu tulis dalam pesan.”
“Iya.”
“Karena aku sudah menduga ini, jadi aku membawa kimono ~”
Tampaknya Shihoko ingin menghadiri Hatsumode dengan Mahiru.
Amane menyadari pada saat ini mengapa dia menyeringai dan
membawa barang sebanyak itu, dan menghela napas lagi untuk kesekian kalinya
pada hari ini.
Shihoko menyukai hal-hal yang lucu, dan suka mendandani
orang. Tentunya dia tidak akan melewatkan kesempatan ini.
Amane tahu ada beberapa kimono di rumahnya, dan tampaknya
ibunya membawa semuanya.
“Aku bermimpi punya seorang putri yang mengenakan kimono
untuk Hatsumode ... aku pikir itu akan cocok dengan Mahiru-chan.”
“Bu, kamu hanya ingin boneka untuk didandani ...”
“Tidak benar, kok? Alasan terbesarnya ialah karena aku
ingin Mahiru-chan memakainya. ”
Bagaimanapun juga itu akan benar-benar cocok
untuknya, Shihoko sangat percaya diri kalau dia
benar.
Meski kelihatannya tidak ada pakaian yang tidak cocok
untuk Mahiru.
Sejauh yang diketahui Amane, dia sudah mengenakan pakaian
agak tomboy, pakaian seperti putri, baju dengan hiasan dan renda beberapa kali,
dan semuanya terlihat cocok untuknya. Tampaknya seorang gadis cantik akan
terlihat cantik terkepas dari apapun yang mereka pakai.
Dan kimono juga, sepertinya.
Keluarga Fujimiya hanya memiliki satu putra, dan Shihoko
tidak pernah membiarkan kesempatan untuk mendandani seorang gadis lewat begitu
saja.
“... Baiklah, jika Mahiru tak keberatan dengan itu, kau
bisa mendandaninya.”
“Kenapa nada bicaramu membuatnya terdengar seperti kau
tidak pergi?”
“Yah, itu akan merepotkan jika orang-orang di sekolah
melihatku berjalan bersamanya.”
Jika orang tuanya pergi bersama Mahiru ke Hatsumode,
mereka mungkin terlihat seperti keluarga, jadi itu tidak masalah.
Tapi itu akan menjadi masalah jika Amane sendiri ikut bergabung.
Jika orang-orang di sekolah melihat Amane yang tidak
mengesankan bersama dengan Mahiru selama kunjungan kuil, Ia dapat membayangkan
adegan neraka dari derita yang menyakitkan setelah liburan musim dingin
berakhir.
Lagipula, Amane tidak ingin melakukan Hatsumode sambil
menanggung risiko seperti itu.
“Jadi kamu bersedia pergi asalkan tidak diketahuan, ‘kan?”
“Jika tidak, tapi biasanya, kita akan …...bu, jangan bilang
kalau ibu-?”
“Fufu, situasi ini sudah aku duga, itu sebabnya aku
menyiapkan begitu banyak barang di sini, tahu?”
“Apa maksudmu dengan situasi ini !?”
Ada kimono, juban, dan alat peraga kecil. Amane
merasa dia tidak akan membawa barang sebanyak itu jika itu semua terkait dengan
kimono, jadi sepertinya dia membawa lebih banyak barang cuma untuk mengacaukan
Amane.
“Shuuto-san juga antusias tentang ini.”
“Ayah…”
“Karena ini kesempatan langka, jadi kenapa
tidak? Aku pikir karena ini adalah kegiatan tahunan, kita harus pergi
bersama. ”
Sulit untuk menolak nyasekarang karena ayahnya sudah
berbicara.
Saran Shihoko melibatkan penekanan berat Shuuto pada
keluarga, dan Amane merasa sungkan jika Ia menolak.
“Tapi...”
“Tidak apa-apa. Percayai ibu di sini. Aku pasti
akan mendandanimu sebagai cowok tampan seperti sebelumnya, Amane! ”
“Jadi, maksudmu aku terlihat jelek sekarang?”
“Tentu saja wajahmu mirip wajah Shuuto-san, terlihat
ganteng, tapi gaya rambut dan suasana di sekitarmu terasa begitu
suram. Sangat membosankan, seperti kata mereka. ”
“Diam.”
Amane tahu Ia tampak membosankan, tapi Ia rela berpakaian
seperti itu karena Ia merasa seperti itu — dan tidak ingin menonjol.
“Kamu bisa lebih tampan jika berdandan sedikit,
Amane. Hanya karena kamu merasa terlalu merepotkan ...”
“Berhentilah menjadi orang yang suka ikur campur.”
“Sayang sekali ... hei Mahiru-chan, kamu ingin melihat
Amane berpakaian sedikit lebih baik, ‘kan?”
“Eh?”
Dengan pergantian pembicaraan pada Mahiru, dia
membelalakkan matanya, dan jelas terlihat bingung.
Amane berharap Shihoko tidak akan terlalu menekan Mahiru,
tapi Shihoko terus mendesak tanpa peduli.
“Jika Amane berpakaian lebih baik, aku pikir kamu akan
memiliki pendapat yang berbeda tentang dirinya, Mahiru-chan. Ia benar-benar
terlihat tampan, loh? Kamu tidak jujur dengan
dirimu sendiri, tapi Ia aura memiliki kelembutan Shuuto-san. Sedikit didandani dan Ia akan terlihat seperti pria yang
baik.”
“E-erm ... ap-apa benar begitu ...?”
“Kamu tidak mau pergi Hatsumode bersama-sama?”
“Se-Sebenarnya, aku mau, tapi…”
“Oy jangan jual aku di sini.”
Amane berharap Mahiru akan menolak karena takut akan
situasi yang benar-benar tidak mungkin, dan Mahiru melirik ke sampingnya
setelah Amane memprotes.
“... Tidak apa-apa jika kamu tidak mau, Amane-kun.”
Shuu. Dia
terdengar sedikit mengempis saat dia menurunkan alisnya, dan Amane mendapati
dirinya berjuang untuk bernapas.
Sementara Mahiru berniat menyimpan perasaannya untuk
dirinya sendiri, dia jelas merasa sangat disayangkan. Itu tidak
ditampilkan dengan sengaja, tapi secara alami tersirat.
Dia diam-diam menurunkan bulu matanya yang panjang,
menyebabkan rasa bersalah yang kuat muncul dalam diri Amane.
“Hayo, kamu membuat Mahiru-chan sedih.” Shihoko
memandang Amane dengan tatapan mencela, “Cepat menyerah saja” Shuuto pada
gilirannya memberikan pkaungan seperti itu, grrr,
dan Amane mengeluarkan gerutuan kecil.
Tentunya Ia
terlihat membully Mahiru di sini, ‘kan?
“…Baiklah.”
Menghadapi situasi seperti itu, Amane hanya bisa pasrah.
uuuu
“Oke, kita sudah selesai.”
Shihoko menyisir rambutnya di sana-sini, mencubit
wajahnya, dan mencocokkan pakaiannya, dan Amane merasa sedikit lelah setelah
dibebaskan.
Amane sendiri tidak begitu tertarik pada pakaian, dan
kali ini adalah salah satu yang membuatnya menderita. Namun, Ia melihat ke
cermin, dan mendapati bahwa kerja kerasnya telah membuahkan hasil; cermin
menunjukkan wajah tampan yang tak tertandingi sebelumnya.
Shihoko memilih mantel Chester abu-abu gelap di atas turtleneck putih dan celana panjang
hitam, pakaian yang sederhana, tapi tidak terlalu kasual.
Dia memastikan dia tidak berpakaian terlalu santai,
karena mereka akan mengambil bagian dalam acara perayaan tahun baru, acara saat
ini terlihat sedikit formal.
Amane tidak menyukai pakaian yang terlalu
berwarna; warna monoton, kusam lebih cocok dengan seleranya.
Ia kemudian memeriksa gaya rambutnya; poninya yang
agak panjang dikasih pomade dan ditata, disisir ke samping berkat keterampilan
Shihoko, menunjukkan mata yang biasanya tersembunyi di belakang.
Begitu matanya terbuka, kesan yang Ia berikan tampak jauh
lebih cerah, dan terlebih lagi, rambutnya terlihat lebih padat, memberikan aura
ikemen.
Wajah membosankan yang ibunya dan Itsuki ejek sudah tidak
lagi terlihat, dan berdiri di depan cermin adalah seorang cowok gagah yang sama
sekali berbeda dan segar.
“Kamu bisa terlihat seperti anak yang baik jika kamu
sedikit merapikannya. Kenapa kamu malah tidak mau.”
“Aku tidak tertarik dengan hal itu.”
“Kamu selalu seperti ini, Amane. Kamu tidak bisa
kelihatan segar kalau kamu selalu cemberut. ”
Ia merengut, memaki-makinya karena kata-kata yang tidak
perlu ini, tapi Amane tidak bisa menyangkal fakta itu.
“Nah sekarang, aku akan mendandani Mahiru-chan, jadi
tunggu di ruang tamu sekarang.”
Amane sedang berada di kamarnya ketika ini selesai, dan Ia
tidak tahu bagaimana penampilan Mahiru, karena dia kembali ke apartemennya
untuk berganti pakaian.
Mahiru kembali ke apartemen untuk mengenakan pakaian itu,
karena dia bisa melakukannya sendiri. Mengingat fakta itu, orang bisa
mengerti betapa cakapnya dia.
Amane melihat ibunya meninggalkan ruangan, dan melihat ke
cermin sekali lagi.
Sudah lama sejak Ia berpakaian seperti ini, dan Ia tidak
tampak seperti dirinya sendiri.
“...... Yah, ini tidak terlalu buruk juga.”
Ia mungkin terlihat tidak enak dipandang ketika berdiri
di sebelah Mahiru, tapi itu jauh lebih baik ketimbang dirinya yang biasa.
Tidak buruk juga melakukan ini sekali-kali, gumam Amane sembari mengotak-atik rambutnya yang
tidak terblokir oleh poninya.
uuuu
Setelah menunggu puluhan menit bersama Ayahnya di ruang
tamu, AMANAE mendengar pintu terbuka.
Ia tidak membenci menunggu, karena Ia mendengar kalau
wanita membutuhkan banyak waktu dan usaha untuk berpakaian. Namun, Amane
khawatir jika Mahiru dilecehkan secara seksual oleh Shihoko.
Ia dengan cemas berdiri dari sofa, memandang ke arah
pintu masuk, dan melihat Mahiru diam-diam memasuki ruang tamu.
Amane langsung terpesona pada pandangan pertama.
Biasanya, Mahiru takkan mengenakan pakaian Jepang, dan
Amane tidak punya kesempatan untuk melihat dia memakainya .
Jadi, Amane merasa itu cocok untuknya — tetapi tidak
sebaik ini.
Shihoko bilang bahwa tidak mudah untuk berjalan menembus
kerumunan orang dalam sebuah furisode, jadi dia memilih komon sebagai gantinya. Kimono
pink itu cocok dengan pola plum kecil, dan sangat cocok dengan Mahiru, yang
lihat pasti penasaran apakah pakaian itu adalah pakaian Mahiru.
Mahiru biasanya takkan memakai baju yang berwarna pink,
dan pada titik ini, dia terlihat sangat menawan dan feminin.
Sisi-sisi rambut panjang yang berwarna rami tetap ada,
dan sisanya disanggul oleh penjepit rambut. Leher putih murni dan aksesori
yang menjuntai menekankan kewanitaannya, membuatnya tampak memikat.
Riasan wajah yang cantik sangat sesuai dengan penampilannya
yang sudah elok, dan auranya sebagai gadis cantikyang polos ditekankan
sepenuhnya.
“Bagaimana dengan itu? Aku merasa ini lumayan
manis. Usahaku dalam mendandani Mahiru-chan tidak sia-sia karena dari awal
dia sudah cantik. ”
“Ya, itu cocok untuknya.”
Shuuto memuji sambil tersenyum, dan Mahiru menurunkan
matanya dengan tersipu. Gerakan ini membuatnya begitu memikat; gadis
cantik memang makhluk yang sangat menakutkan.
“Ayo, Amane, kamu harus mengatakan sesuatu juga pada
Mahiru-chan.”
“Yah, itu cocok untukmu.”
Amane tidak bisa memujinya di hadapan orang tuanya, jadi
Ia hanya memberi komentar yang singkat, tapi Shihoko benar-benar tidak senang.
“... Kamu tidak bisa melakukan itu di sini, kamu tahu?”
“Berisik.”
Shihoko mencela kepayahannya, tapi Amane tidak ingin
memuji Mahiru di depan orang tuanya, jadi Ia memalingkan wajahnya.
Tercengang oleh Amane, Shihoko hanya menghela nafas dan
membiarkannya, karena dia memahami kepribadian anaknya dengan baik.
“Ya ampun ... pokoknya Mahiru-chan, bagaimana
menurutmu? Amane terlihat sangat berbeda sekarang, kan?”
“Y-ya. Sangat berbeda dari biasanya ...”
“Ia bisa menjadi populer jika berpakaian seperti ini,
tapi orangnya sendiri malah tidak mau. Sangat disayangkan sekali.”
Amane merasa Shihoko mengatakan hal-hal yang tidak perlu
lagi, tapi Ibunya hanya menghela nafas, seolah-olah itu sangat disayangkan.
“Amane benar-benar menyerupai Shuuto-san, tapi rasanya
sungguh mengecewakan bagaimana da tidak memanfaatnya dengan baik. Sayang
sekali ~ ”
“Sudah cukup Shihoko-san. Amane sedang dalam fase
itu juga, tahu? ”
“Bukankah seharusnya Ia berpikir untuk menjadi lebih
populer?”
“Amane adalah tipe yang tidak masalah asalkan punya satu
orang disisinya. Ia mungkin merasa kesulitan jika punya terlalu banyak. ”
“Ara ara.”
Shuuto ingin membujuk Shihoko, tetapi delusinya semakin
terpicu.
Yah, memang benar kalau Amane lebih suka punya satu orang
di sampingnya ketimbang menjadi populer ... itulah yang Shuuto katakan, dan
Amane sendiri setuju dengan pernyataan ini. tapi dalam situasi ini,
bukankah tampaknya Mahiru adalah seseorang yang special bagi Amane?
Ia hanya bisa memalingkan wajahnya pada senyum cerah
Shihoko.
Mengapa dia membiarkan imajinasinya menjadi
liar? Amane merasa heran, tapi Ia sadar orang lain
akan melihatnya dengan nada yang sama.
Paling tidak, Mahiru adalah sosok yang istimewa bagi Amane,
atau begitulah yang bisa Ia akui.
Tapi, meski benar kalau itu faktanya—
Amane melirik Mahiru, memastikan dia tidak menyadarinya,
dan menghela nafas.
(Yah, kuakui kalau aku menyukainya.)
Amane merasa Ia memang menyukai Mahiru.
Tapi Ia merasa ada perbedaan jauh bahwa apa yang Ia
rasakan adalah perasaan cinta.
“Bu, apa yang kau pikirkan itu tidak pernah
ada. Hentikan omong kosongmu dan siapkan mobil. ”
“Dasar anak tidak ada lucunya sama sekali ... ya ampun. Baiklah
itu tidak apa-apa, Shuuto-san, ayo kita siapkan mobilnya? ”
“Baiklah.”
Tampaknya Amane berhasil mengalihkan topik pembicaraan,
karena keduanya mulai bersiap untuk berjalan.
Amane menyerahkan kuil mana yang ingin dikunjungi kepada
orang tuanya, dan mellihat punggung mereka yang pergi ke tempat parkir tepat di
luar apartemen.
“... Aku sudah membawa semua barang-barangku di tasku,
jadi aku tidak perlu banyak persiapan. Bagaimana denganmu, Mahiru? ”
“Eh, semuanya ada di tas ini.”
“Begitu ya.”
Tiba-tiba, hanya ada mereka berdua saja, dan Amane merasa
sedikit gelisah. Dipenuhi dengan gejolak emosi seperti itu, Ia memeriksa
apakah jendela apertemennya sudah terkunci atau tidak, dan mematikan peralatan
yang tidak digunakan.
Setelah mematikan lampu ruang tamu, dan Amane melihat ke
arah Mahiru lagi.
Seperti yang diduga, dia benar-benar cantik, bahkan jika
Amane tidak terlalu menatapnya. Tidak ada banyak gadis yang cocok dengan
kimono ini.
Meski Ia tidak memujinya dengan benar di hadapan kedua
orang tuanya, tidak diragukan lagi kalau Mahiru adalah sebuah pemandangan yang
bisa menyembuhkan hati siapapun sebagai gadis cantik yang mengenakan kimono.
“Ada apa, Amane-kun?”
Hmm, yah, kimono itu benar-benar cocok
untukmu. Seperti gadis cantik polos dengan kimono. Sangat manis dan
cantik, menurutku. ”
Amane belajar dari Shuuto untuk memuji wanita ketika
mengenai mode, dan Ia seharusnya melakukannya begitu Ia melihatnya, tapi
rasanya terlalu canggung bagi Amane untuk melakukannya di depan orang tuanya.
Jadi begitu Ia menyatakan pikirannya dengan jujur, Mahiru
berkedip beberapa kali, wajahnya perlahan-lahan memerah ketika dia mengerutkan
bibirnya.
Setelah ingat bahwa ini adalah reaksi yang sama dari
sebelumnya, Amane tersenyum masam.
“Ahh, apa kau tidak mau dipuji? Maaf.”
“Bu-Bukan begitu, tapi ... Amane-kun, kamu yang malah..”
“Malah?”
“…Bukan apa-apa.”
Dia memalingkan wajahnya, dan meski Amane merasa bingung,
tampaknya dia tidak punya niat untuk berbicara lebih banyak, jadi Ia menyerah
dan pergi ke koridor di sampingnya.
Setelah mempertimbangkan bahwa mereka akan berjalan,
Mahiru tidak mengenakan geta, tetapi sepatu bot, ala gaya Jepang-Barat. Meski
begitu, Amane bisa melihat betapa lucunya dia. (TN : Geta
= sandal yang terbuat kayu)
Shalan shalan, ornamen stik rambut bergemerincng ketika dia
mengenakan sepatu bot, dan kemudian dia diam-diam berjalan menuju ke arah
Amane, yang pergi ke depan untuk memegang pintu.
Mereka lebih dekat dari yang mereka
kira. Jarang-jarang Mahiru mengambil inisiatif untuk mendekati Amane, dan
dia berjinjit dengan lembut.
Dia ingin aku mendengarkan? Amane penasaran sambil membungkuk di pintu. Mahiru
menangkupkan tangan di depan mulutnya, dan mendekati telinga Amane.
“Amane-kun.”
“Hmm?”
“Umm... Amane-kun, kamu juga terlihat keren, kok?”
Setelah bisikan kecil, Mahiru langsung melesat melewati
Amane, dan bergegas ke aula lift. Bam,
dan Amane membenturkan dahinya ke pintu.
“... Itu komentar yang licik.”
Itu adalah pembalasan, dan jantung Amane berdebar sangat kencang.
Sebelum mengejar Mahiru, Amane membutuhkan waktu cukup
lama untuk mendinginkan wajahnya yang memanas, dan mendapat pandangan skeptis
orang tuanya di tempat parkir.
uuuu
Butuh waktu sekitar satu jam perjalanan dari tempat Amane
tinggal, dan tiba di kuil yang agak terkenal di daerah setempat; ada lebih
sedikit orang dibandingkan dengan apa yang mereka lihat di TV seperti yang
diharapkan, tapi masih lumayan ramai.
“Orang-orangnya jauh lebih sedikit, tapi masih tetap agak
ramai.”
“Ya.”
“Mahiru-chan, jangan sampai tersesat, ya. Kami akan
mengawasimu, dan kamu juga membawa ponsel. Tidak terlalu sulit untuk tetap
saling kontak, tapi lebih baik pergi ke kuil bersama-sama. ”
“Iya.”
Mahiru yang berpakaian kimono punya keterhambatan dalam
berjalan, dan bergerak pelan-pelan meski memakai sepatu; Kimono akan
sangat memperlambatnya, dan itu wajar baginya untuk bergerak perlahan.
Keramaian yang ada tidak di titik dimana mereka harus
berdempetan, tapi masih ada orang-orang yang menabrak bahu, dan mereka harus
saling mengawasi.
“Bagaimana kalau kita pergi?”
Shihoko membawa mereka menerobos kerumunan, pertama ke
Chozuya untuk membilas tangan dan mulut mereka. Seperti yang diharapkan, keberadaan
Mahiru menarik banyak perhatian.
Ada beberapa wanita yang mengenakan kimono juga, dan
secara logis, Mahiru seharusnya tidak terlalu menonjol meski ida memakai kimono
... tapi sepertinya tidak demikian.
Sejujurnya, bahkan dalam seragam sekolah, dan tanpa
aksesoris pun, dia sudah menarik banyak perhatian. Mana mungkin bagi gadis
berpenampilan polos tidak menarik perhatian saat mengenakan pakaian Jepang.
Bahkan cara dia membilas mulutnya sangat elegan, dan
banyak tatapan orang yang tertuju padanya.
“... Apa ada masalah?”
“Tidak juga.”
Amane tidak suka saat ada orang lain menatap Mahiru, tapi
Ia tidak menyuarakannya. Ia membilas tangan dan mulutnya seperti yang
dilakukan orang tuanya, dan mengikuti mereka.
Ia ingin melambat dan menunggu Mahiru, tapi dia
mengenakan kimono, bukan pakaiannya yang biasa, dan sepertinya dia kesulitan
menangani keliman. Karena ada keramaian, dia jadi berjalan lebih lambat
dari biasanya.
“Mahiru, apa kau baik-baik saja?”
“Ini, segini saja gam ... hya!”
Dia kehilangan keseimbangan saat dia tertubruk bahu orang
lain, dan akan jatuh, jadi Amane meraih lengannya.
“Sepertinya kau kerepotan.”
“…Maaf.”
“Oke, ulurkan tanganmu”
Tindakan itu perlu untuk menjaganya, terutama ketika dia
berjalan sementara memakai pakaian seperti itu.
Amane mengulurkan tangannya ke telapak tangan kecil yang
membentang, dan Mahiru menatap matanya.
Melihatnya dalam keadaan seperti itu, Amane hendak
menarik kembali tangannya, mengira dia mungkin tidak mau, tapi Mahiru buru-buru
meletakkan tangannya ke tangan Amane dan menatapnya sekali lagi. Ia dibuat
bingung, dan membalas tatapannya.
Jiii, mereka
saling menatap sebentar, dan Mahiru dulu yang mengalihkan matanya, menggenggam
telapak tangan Amane dengan kuat.
Tidak ada waktu untuk menunjukkan keraguan, dan mereka segera
tiba di depan kotak Saisen. Sambil merasakan sentuhan yang dirasakan dari
tangannya, Amane membenamkan sedikit keraguan ke dalam dadanya.
uuuu
“Kamu butuh waktu cukup lama. Apa yang kamu
harapkan?”
Mereka meninggalkan kerumunan setelah berdoa, dan Amane
bertanya pada Mahiru yang diam-diam berdoa.
Mahiru berdoa dengan pose cantik yang ideal, matanya
terpejam dan menangkup kedua tangannya selama seperti Amane. Ia hampir
terpesona oleh gerakan elegan setelah dia menggerakkan tangannya ke samping,
dan baru kemudian Ia ingat untuk bertanya apa yang Mahiru doakan.
“Cuma berharap bisa selalu sehat atau terhindar dari
bencana.”
“Itu cukup biasa.”
Tapi yah, itu benar-benar gaya khas Mahiru untuk
mengaharapkan itu.
Amane berpikir bahwa dia tidak punya banyak keinginan,
dan penasaran apa lagi yang bisa dia doakan. Seperti yang diharapkan, dan
Ia sedikit kecewa.
“Dan juga.”
“Juga?”
“... Aku ingin menjalani kesehrian yang damai seperti
ini."
Ini benar-benar gaya Mahiru.
Itu adalah sesuatu yang dia harapkan, mengingat dia tidak
menyukai perubahan drastis, dan menyukai kedamaian dan ketenangan.
“Itu tidak akan terjadi dengan adanya ibuku.”
“Tapi itu menyenangkan dengan caranya sendiri ...”
Apakah
begitu…? Pikir Amane, tapi Ia tetap diam setelah
melihat betapa bahagianya Mahiru, dan memegang tangannya dengan tatapan lembut.
Bagaimanapun juga, mereka masih melewati tempat yang
ramai, dan orang tuanya sedang menunggu jauh setelah menyelesaikan kunjungan
mereka. Akan merepotkan jika dia tersandung pada saat ini.
Amane memegang tangannya sambil berpikir begitu, tetapi
Mahiru sedikit berkedip, menurunkan matanya dengan malu-malu saat dia memegang
tangan Amane.
“Kalian berdua, sebelah sini ~”
Suara Shihoko nyaring dan ceria, mudah dibedakan.
Mereka berdua mendekati orang tua seolah diminta, dan
Shihoko melebarkan matanya, tangannya di letakkan pada mulutnya yang tersenyum
saat dia menatap mereka.
“Ara ara.”
“Apa.”
“Kamu sekarang sudah bisa memegang tangan Mahiru-chan,
ya?”
Setelah mendengar perkataan itu, Amane menyadari
kesalahannya dalam berpegangan tangan di hadapan Shihoko.
Apa ini berarti Mahiru adalah seseorang yang
spesial untuk Amane? Shihoko menyeringai, tapi
itu bukan lelucon untuk Amane.
“... Aku hanya tidak ingin dia tersesat. Dan dia
nanti gampang tersandung karena mengenakan kimono.”
“Tentu saja. Sulit untuk berjalan saat pakai kimono,
dan dia membutuhkan pengawalan. Aku melakukan hal yang sama dengan
Shihoko-san. ”
Shuuto mengerti, dan tidak menemukan sesuatu yang salah
tentang dirinya yang sedang memegangi Mahiru. Seperti Amane, Ia dengan
lembut memegang tangan Shihoko.
Rasanya takkan melelahkan jika Ia bisa memegang tangan
dengan gesit seperti yang dilakukan ayahnya, tapi Amane tidak bisa melakukan
itu karena kepribadiannya, jadi dia bersyukur bahwa Mahiru memegang tangannya
dengan patuh.
Setelah melihat bahwa Shihoko mengalihkan perhatiannya ke
Shuuto, Amane menghela nafas lega, tapi Mahiru tidak melepaskan kekuatan di
tangannya.
Kyuu, pegangannya semakin erat, tapi Amane mengerti bahwa
Mahiru tidak mau melepaskan, Ia berbisik padanya, bertanya tentang apa, tapi
Mahiru tidak menjawab, jari-jarinya yang ramping masih memegang Amane.
“Mahiru-chan, Mahiru-chan, aku mendapat minuman
panas. Mana yang kamu sukai, Oshiruko atau Amazake?”
“Aku akan memilih Oshiruko.”
Shihoko menyela Amane yang berusaha melepaskan pegangan
tangannya, jadi Ia hanya bisa terus memegang tangan Mahiru.
“Lalu bagaimana denganmu?”
“... Kalau aku Amazake.”
“Ya ya.”
Tapi Ia bersukur karena setidaknya Mahiru tidak
membenciny, jadi Ia menahan sedikit rasa yang timbul di hatinya ketika Ia mengatakan
pada Shihoko apa yang Ia inginkan, sebelum memegang tangan Mahiru lagi.
Segera setelah itu, Shihoko kembali dari toko, dan
menyerahkan pesanan kepada mereka. Mereka tidak bisa makan tanpa melepaskan
tangan mereka, jadi keduanya memutuskan untuk melepaskan untuk sementara waktu
dan istirahat.
Orang tuanya menikmati Amazake bersama sambil
berseri-seri.
Sementara mereka tidak sendirian di dunia mereka sendiri,
mereka merasa sangat sensitif. Amane sedang tidak ingin berbicara, dan meminum
Amazake yang baru saja Ia terima.
Minuman ini bisa diminum, bergizi, tapi yang dinikmati
Amane adalah rasa manis dan kaya beras yang menyebar di mulutnya, dan Ia tidak
bisa menahan nafas lega dan takjub.
Amane bukan orang yang menyukai manis-manis sebanyak itu,
tetapi Ia menyukai kacang merah, dan Ia benar-benar tidak bisa menyerah memilih
Oshiruko. Tapi mumpung sedang Tahun Baru, dan mempertimbangkan suasana
hati, Ia jadi memilih yang lain. Mengingat preferensi pribadinya, Ia
benar.
Ia lalu melirik Mahiru, dan melihat dia tampak tenang,
menyeruput Oshiruko dari cangkir kertas.
Amane melihatnya menikmati Oshiruko sebanyak itu, dan
semakin membuatnya ingin merasakannya.
(—Aku penasaran apa dia akan
memberiku seteguk.)
Apa dia akan membiarkanku memcicipinya jika
aku meminta? Amane memandang ke arah Mahiru, yang
menyadari tatapannya, dan memiringkan kepalanya dengan bingung. Ornamen di
kepalanya bergemerincing, menyampaikan kepolosan yang tidak bisa diungkapkan
dengan kata-kata.
“Apa Oshiruko enak?”
“Ini enak.”
“Boleh aku mencicipinya?”
Amane bertanya karena Ia juga ingin mencoba Oshiruko,
tetapi Mahiru berhenti begitu tiba-tiba dengan elegan, tampak kerepotan.
“Eh, iy-iya boleh ...”
Jawab Mahiru, tapi dia tidak menyembunyikan betapa terguncangnya
dia saat menatap Amane dengan takut-takut.
“Jika tidak boleh, aku tidak keberatan, kok.”
“Bu-Bukan karena aku tidak mau; Aku tidak bermaksud
begitu... karena itu...”
“Itu?”
“Tidak-tidak, itu baik-baik saja. Ini coba. Aku
juga mau mencicipi Amazake. ”
“O-oh.”
Untuk suatu alasan, Mahiru tampak sedikit geram saat dia
mengambil gelas Amazake, jadi Amane juga mengambil gelas itu dari Mahiru.
Cairan yang agak kental jelas memiliki warna kacang
rebus.
Ada aroma berbeda dari kacang merah, dan Amane membawanya
ke bibirnya. Seperti yang diharapkan, ada aroma manis dan kaya, tapi sedikit
terlalu manis untuknya, karena dari awal Ia bukan tipe yang suka manis-manis.
Rasanya enak, tapi saat itulah Ia sadar kalau kacang
merah paling baik disajikan dengan teh.
Tampaknya Mahiru menyukai permen, dan rasa manis tersebut
sangat cocok untuknya.
Amane melirik ke arahnya, yang menyesap Amazake, wajahnya
sedikit memerah, dan dia tampaknya frustrasi oleh sesuatu.
“Itu tidak sesuai dengan seleramu?”
“Bukan itu ... Amane-kun, kamu menyadarinya saat makan
kue, tapi kenapa kamu tidak menyadarinya sekarang?”
“…Ah.”
Ia menyadari mengapa Mahiru menunjukkan reaksi seperti
itu, dan membeku.
(Aku tidak membuka mulut lebar-lebar, tapi ini masih
dianggap ciuman tidak langsung, ‘kan?)
Ia hanya memikirkan Oshiruko, dan tidak menyadari
ini. Amane baru saja mengusulkan untuk ciuman tidak langsung pada Mahiru.
Walaupun Ia tidak menyadarinya, hal itu akan menyusahkan
Mahiru, yang menunjukkan sikap kerepotan karena hal itu.
“Ma-Maaf atas kesalahan ini. Kau tidak suka ini?”
“Ke-Kenapa kamu malah berpikit begitu? Bukannya tidak
mau, aku hanya ... sedikit malu.”
“Ak-Aku akan mengingatnya lain kali. Maaf.”
Terlepas dari perasaannya, itu adalah fakta bahwa Ia
merepotkan Mahiru, jadi Amane menundukkan kepalanya ke arahnya, dan Mahiru
buru-buru melambaikan tangannya.
“A-aku tidak teralu peduli.”
“Be-Begitu ya? Ngomong-ngomong, maaf, aku terbiasa
begini karena mereka. ”
Itsuki dan Chitose tidak pernah keberatan tentang ini, “Kita ‘kan teman, santai ~ saja ~"
mereka akan menjawab begitu sambil melahap minuman dan makanan Amane.
Itsuki adalah sesama cowok, dan Ia tidak pernah
memperlakukan Chitose sebagai seseorang dari jenis kelamin yang
berbeda. Bahkan saat itu, Ia tidak menganggapnya sebagai ciuman tidak
langsung, cuma merasa tidak senang karena makanannya diambil.
Amane tidak bisa melakukan itu dengan
Mahiru. Kesalahan itu menyangkal kenyataan bahwa ia tidak
memperhatikannya.
“Apa kamu biasanya melakukan itu dengan Akazawa dan yang
lainnya?”
“Y-yah, karena kita teman ...”
“Jadi begitu ya.”
Mahiru tampaknya mengerti, meski masih agak kesal,
memberikan pandangan yang bertentangan saat dia menunduk ke arah Amazake, lalu mengambil
tegukan lagi.
“... Amane-kun dan aku adalah teman. Ini baik-baik saja.”
“O-oh ... tunggu, kau meminum semuanya?”
“Cuma tinggal sedikit.”
Minuman tersebut tiidak mengandung alkohol, tetapi wajah
Mahiru benar-benar merah ketika dia berbalik. Pada gilirannya, Amane
menghabiskan sepertiga sisa Oshiruko milik Mahiru.
Oshiruko harusnya jauh lebih dingin dari sebelumnya, tapi
masih hangat, dan benar-benar manis.
uuuu
“Mahiru-chan, kamu benar-benar bisa memasak.”
Malam hari setelah mereka kembali dari Hatsumōde dan
beristirahat sebentar. Mahiru berganti pakaian dan mulai menyiapkan makan
malam ... tapi Shihoko ingin menginap di apartemen Amane hanya untuk mengamati
masakan Mahiru.
Kampung halaman Amane berjarak beberapa jam perjalanan
dengan mobil dari sini, mereka merasa lelah, dan sepertinya mereka berencana
untuk menginap. Amane berharap mereka mendapat izin dari kepala rumah,
tapi karena ada ayahnya, jadi Ia tidak bisa mengeluh tentang itu.
Untungnya, mereka punya kasur ekstra untuk tamu, dan
mereka mungkin akan membagikannya. Lagi pula orang tuanya tidur bersama di
rumah, jadi tidak ada perbedaan sama sekali.
“Terima kasih banyak.”
“Kamu benar-benar terampil untuk ukuran gadis SMA. Aku
tidak bisa melakukan ini saat aku masih SMA dulu. ”
“Ibu mah tidak seterampil seperti Mahiru sekarang.”
“Hah, apa kamu mengatakan sesuatu?”
“Aku tidak mengatakan apa-apa.”
Amane mendengar suara intimadasi dari dapur, dan
berpura-pura bodoh ketika Ia bersandar ke sofa.
Di sebelahnya, Ayahnya menasehati "Jangan bully ibumu”, tapi biasanya, Amane yang kena bully,
atau lebih tepatnya, diejek. Pembalasan kecil ini seharusnya bisa
diterima.
Sementara Amane berpura-pura bodoh “Dasar kasar”, suara
itu mencapai dirinya dari dapur, tetapi ibunya kembali ke suaranya yang ceria
saat berbicara kepada Mahiru.
Mahiru juga tidak ragu berbicara dengan Shihoko. Sepertinya
dia terbiasa dengan kekuatan dan kepribadian ibu Amane, karena dia terlihat
sangat tenang.
Dari jauh, Amane melihat mereka memasak dengan damai, dan
menghela napas lega.
“Shihoko-san merasa penasaran tentang Shiina-san.”
Shuuto tersenyum ketika Ia juga menatap punggung mereka.
“Yah, dia terampil, manis, dan punya kepribadian yang
baik. Tidak heran kalau ibu ingin tahu tentangnya. ”
“Menurutmu sendiri bagaimana, Amane?”
“... Tidak banyak, hanya saja dia orang yang baik, dan
imut.”
“Begitu ya.”
Amane segera menganggap ayahnya cuma memeriksa dengan
santai, tapi ayahnya tidak menanyakan lebih jauh, jadi sepertinya Ia hanya
tertarik pada apa yang dipikirkan Amane.
Dan Ia tidak menggali lebih dalam pada jawaban Amane.
“Aku tak sabar untuk menikmati masakan yang bisa kau
makan setiap hari, Amane.”
“Aku bisa menjamin rasanya enak. Selama ibu tidak
melakukan sesuatu yang tidak perlu. ”
“Jangan khawatir, Shihoko-san ingin mencoba beberapa
masakan Shiina-san juga. Dia cuma bantu-bantu sedikit saja.”
“Kalau begitu baguslah.”
Bukan berarti masakan Shihoko tidak enak atau semacamnya,
tapi dibandingkan dengan kontrol halus Mahiru terhadap rasa, masakannya relatif
mentah.
Shuuto biasanya bertugas mengendalikan rasa, sementara
Shihoko akan memprioritaskan volume dan kebahagiaan.
Tentu saja, dia adalah ibu rumah tangga yang memiliki
pitra dengan nafsu makan yang meningkat, jadi itu hal yang wajar. Namun,
Amane lebih menyukai selera Mahiru yang dibuat dengan halus, dan akan lebih
bagus jika kharisma masakannya tidak terpengaruh. (TN : Lebih
milih masakan istri dibandingin ibu sendiri :v )
Untungnya, Shihoko hanya membantu Mahiru, dan tidak
lebih. Amane menghela napas lega saat melihat mereka memasak.
uuuu
“Yep, ini enak.”
“Terima kasih banyak.”
Mustahil bagi meja makan untuk dua orang bisa memuat
semuanya, jadi mereka memindahkan meja lipat yang lebih besar yang ada di
gudang untuk makan malam.
Mahiru merasa lega mendengar pujian Shuuto yang tulus, dan
tidak terlihat tegang.
Dia tidak pernah berbagi masakannya dengan siapa pun
selain Amane, kecuali selama kelas memasak, jadi dia sedikit tegang ... tapi
Mahiru merasa nyaman setelah melihat senyum ramah Shuuto.
“Ini sangat lezat. Kurasa kamu tidak perlu khawatir bila
tinggal sendirian atau menikah.”
Shihoko memandang Amane saat dia bergumam. Wajah
Amane hampir merasa bergidik, tetapi Ia menyesap sup miso dengan pandangan
penuh ketabahan.
Ia sudah terbiasa dengan sup yang kaya rasa.
Amane sepenuhnya terperangkap dengan rasa masakan Mahiru,
dan tidak menginginkan apa pun selain makanannya. Ini mungkin kerugian
untuk memakan masakan Mahiru setiap hari.
“Amane, bagaimana komentarmu?”
“Tentu saja enak. Aku selalu berterima kasih padanya
sepanjang waktu.”
Bahkan tanpa desakan Shihoko, Ia berniat untuk
mengucapkan terima kasih, tapi sepertinya Ia diminta melakukannya.
Setiap kali mereka berduaan, Amane tidak pernah lupa
untuk memuji dia, tapi kali ini, Ia menahan diri karena ada orang tuanya, meski
Ia gagal menahan diri.
Amane memuji dia seperti biasa, tetapi Mahiru tampak
sedikit gelisah, atau lebih tepatnya, tidak nyaman “... ya.”balasnya dengan
suara kecil.
Ada sedikit rona merah di wajahnya, mungkin karena ada
orang tuanya.
Meski Mahiru terbiasa mendengar pendapat Amane, mendengar
pujian dari tiga orang akan membuatnya agak malu.
“Kamu benar-benar imut, Mahiru-chan.”
“Shihoko-san, jangan terlalu menggodanya.”
“Aku tidak menggodanya. Serius, aku hanya berpikir kalau
dia itu gadis yang sangat polos, tahu? ”
“Ti-Tidak juga kok ...”
“Ya, memang. Dia itu polos, tulus, katakan apa saja
namanya. ”
“Amane-kun!?”
Dia memang polos. Dia akan memerah bahkan ketika
berhadapan dengan cowok yang tidak
tampan, dengan kemejanya terbuka. Tulus dan naif, mungkin.
“Ya ampun, apa ada sesuatu yang terjadi tanpa kita
sadari?”
“Tidak ada yang khusus.”
“Tidak ada sama sekali!”
Mahiru dengan tegas membantahnya.
Itu bukan merendahkan untuk memanggilnya polos, tetapi
dia sepertinya tidak suka dipanggil begitu karena dia dengan tegas menolaknya,
jadi Amane tidak menggodanya lagi.
“Yah, aku baik-baik saja selama kamu tidak melukai
Shiina-san, Amane. Ada batas seberapa banyak kau bisa menggodanya. ”
“Oke.”
“…Lihat. Bukannya kamu menggodaku sekarang?”
“Tapi, aku beneran serius saat bilang kamu polos, kok.”
Mahiru yang duduk di sebelahnya, menendang kakinya di
bawah meja.
Dia memandang ke arah Amane dengan sedikit imut merah, "Maaf maaf" begitu Amane
meminta maaf, wajah Mahiru yang cantik mulai cemberut, yang membuatnya agak
imut. Namun, Amane menahan keinginan untuk tertawa agar tidak membuatnya
marah lagi.
“... Bagaimana bilangnya ya, lihat, apa yang kita
pamerkan malah sedang dipamerkan di hadapan kita di sini.”
“Bukannya itu baik-baik saja? Amane terlihat senang
dibandingkan dengan biasanya.”
“Apak kalian mengatakan sesuatu?"
“Tidak kok ~”
Untuk beberapa alasan, mereka menebak-nebak, jadi Amane
menanyai mereka, dan hanya dibalas dengan tatapan acuh tak acuh.
uuuu
“Hmm, maaf karena kamu sampai harus memasak untuk orang
tuaku.”
Setelah makan malam, mereka menghabiskan dua jam lebih untuk
mengobrol, sebelum kembali pada malam itu.
Namun, orang tuanya akan tidur di ruang tamu, jadi cuma
Mahiru yang satu-satunya pulang.
Orang tuanya pergi mandi, jadi hanya Amane yang
mengantarnya pergi apartemenya.
Tidak perlu mengantarnya, tetapi Ia melakukannya untuk
berjaga-jaga, dan juga untuk meminta maaf atas kecerobohan orang tuanya untuk
hari ini.
“Tidak, aku baik-baik saja. Aku juga merasa senang
hari ini.”
“Begitu ya.”
Untungnya, tampaknya dia merasa senang juga.
Atau mungkin bisa dikatakan kalau dia sangat gembira.
“Dan juga.”
“Juga?”
“... Aku sudah mengerti rasa kebahagiaan, meski hanya
sedikit.”
Mahiru menunjukkan senyum simpul, disertai dengan suara
lembut selemah nafas.
Senyum sekilas tersebut sepertinya akan lenyap ditiup
angin. Amane bisa merasakan ada rasa kecemburuan di matanya, dan memiliki
gambaran kasar tentang situasi keluarganya.
Amane merasa Ia tidak bisa meninggalkannya, jadi secara
tidak sengaja meletakkan telapak tangannya di rambut Mahiru, sengaja
mengacak-acaknya.
Mahiru tidak terlihat kesal, cuma merasa kaget saat dia
menatap Amane.
“Ad-Ada apa?”
“Bukan apa-apa.”
“Apanya yang ‘bukan
apa-apa’ ... rambutku berantakan.”
“Lagipula kau akan mandi, ‘kan.”
“Kamu benar tentang itu.”
“... Aku tidak boleh melakukan itu?”
“Bu-Bukan berarti tidak boleh ... tapi kamu harusnya
memberitahuku dulu.”
“Tapi aku sudah menyentuhnya.”
“Kamu baru melaporkan setelah itu terjadi.”
“Maaf.”
Jadi kau bersedia membiarkanku menyentuh jika
aku memberitahu dulu, Amane punya pemikiran seperti itu,
tetapi Ia tidak menyuarakannya. Ia meminta maaf, dan Mahiru menghela nafas
sedikit.
“Ya ampun ... aku baik-baik saja dengan itu, tapi kamu
tidak boleh sembarangan menyentuh rambut seorang gadis.”
“Tidak, bukan berarti aku akan menyentuh orang lain ...”
Paling tidak, Amane tahu betul bahwa satu-satunya lawan
jenis yang bisa Ia sentuh adalah mereka yang dekat dengannya. Ia tidak
bisa melakukan skinship dengan
semabarang orang begitu saja.
Amane memperlakukan Mahiru sebagai seseorang yang dekat
dengannya, jadi Ia yakin Mahiru takkan membencinya bila Ia mengelus
kepalanya. Namun, Ia tidak akan melakukan ini kepada siapa pun selain
Mahiru.
Lebih tepatnya, Amane tidak akan menyentuh orang lain,
kecuali ketika menghukum si tukang iseng, Chitose.
Begitu Amane memberitahu kalau Ia tidak menyentuh sembarang
orang, Mahiru jadi terdiam, dan tidak melepaskan tangannya.
“... Sekarang setelah aku melihatmu, aku pikir kamu
benar-benar mirip Shuuto-san, Amane-kun. Aku tahu meski kita baru saja
bertemu. ”
“Dalam bagian apa? Kepribadian dan wajah kami sangat
berbeda. “
“... Kamu terlihat mirip. Sungguh.”
Mahiru menghela napas keras kali ini, dan kali ini, Amane
mengelus kepalanya dengan sedikit frustrasi, tapi tampaknya Mahiru tidak
membencinya.
(... Apa kita benar-benar mirip?)
Ya, memang benar kalau mereka berdiri berdampingan,
mereka akan disalahartikan sebagai kakak adik dengan perbedaan usia yang besar,
tapi aura yang dipancarkan benar-benar berlawanan.
Kepribadian mereka tidak sepenuhnya kontras, tapi mereka
tidak mirip sama sekali
Seseorang pasti penasaran, mengapa dia bilang mereka
mirip satu sama lain?
Amane punya beberapa pertanyaan di benaknya, tapi
tampaknya Mahiru tidak punya niat untuk terus berbicara, matanya menyipit pada
Amane ketika dia meninggalkannya pada saat itu.
Setelah cukup mengelus, Ia menarik tangannya dari kepala
Mahiru, dan dia tiba-tiba terhuyung mundur, sedikit terkejut ketika dia menatap
Amane.
“Apa, kau ingin aku terus mengelusmu?”
Ia bertanya dengan seringai nakal, “tolong hentikan” dan
Mahiru menjawab dengan wajah memerah, jadi Amane berhenti.
Dia tampak agak kesal, tampak tidak senang ketika dia
membuka pintu, dan berjalan masuk.
Sebelum Amane menyesal karena terlalu berlebihan, Mahiru
mengintip melalui celah pintu.
“Amane-kun.”
“Apa?”
“... Amane-kun no baka.”
Pipi Mahiru sedikit merah, dan dia tampak cemberut namun
masih mengumbar kata-kata manis, sebelum menutup pintu.
(... Siapa yang bodoh di sini?)
Itu adalah salah Mahiru karena menyebabkan jantungnya
tiba-tiba berdetak kencang.
Amane menghela nafas sedikit, dan bersandar di dinding
koridor untuk mendinginkan tubuhnya yang panas, sebelum menghela nafas udara
putih.
uuuu
Setelah mengantar Mahiru pulang, Amane kembali ke
apartemennya, dan orang tuanya segera meninggalkan kamar mandi.
Dia memalingkan muka dari TV, dan ke arah suara sandal,
menemukan orang tuanya sudah memakai piyama. Secara alami, mereka
berpegangan tangan, jelas--jelas memamerkan betapa intimnya mereka.
Terlebih lagi, mereka mandi bersama; tidak perlu
menekankan seberapa dekat mereka.
“Kita sudah selesai mandi. Kamu juga cepetan mandi
sana, Amane. ”
“Nn ... ngomong-ngomong, aku terkejut kalian berdua benar-benar
bisa mandi bersama. Bak mandi di sini cukup besar untuk satu orang, tetapi
itu agak terlalu kecil untuk dua orang, bukan? ”
Apartemennya agak luas untuk satu orang, kamar-kamarnya
ditata dengan baik, tapi kamar mandinya tidak seluas itu. Bak mandi itu
tidak cukup besar untuk pria dan wanita dewasa untuk merentangkan kaki bersama.
“Tapi kita baik-baik saja, kok? Kita cuma perlu
berdekatan satu sama lain. ”
Bukankah begitu, Shuuto-san? Shihoko tersenyum ketika dia bersandar pada Shuuto, yang
juga memberikan senyum tenang.
Mereka sudah menikah selama hampir 20 tahun, namun
tingkah mereka seperti pengantin baru. Amane hanya bisa menunjukkan senyum
masam
“Masih mesra seperti biasa.”
“Ara, apa kamu cemburu?”
“Tidak. Aku bisa menikmati waktuku sendirian. Selain
itu, aku tidak punya pasangan.”
“Kalau begitu Mahiru-chan ...”
“Ibu tahu, aku benar-benar tidak punya hubungannya dengan
dia.”
Untuk beberapa alasan, Shihoko benar-benar ingin
mencomblangkan Amane dan Mahiru.
Tidak, Shihoko benar-benar menyukai Mahiru sehingga
menginginkan dia untuk menjadi putrinya, dan Amane bisa mengerti setelah
mendengar ocehannya. Namun, itu tidak terjadi jika dia salah mengira
kepercayaan Amane pada Mahiru sebagai cinta.
“Apa benar begitu?”
“Baiklah, Shihoko-san. Amane sudah di usia segitu,
dan Ia agak sensitif mengenai begituan. Jangan terlalu menggodanya. ”
“Aku tidak menggoda, aku sedang serius ...”
“Ya ya.”
Amane dengan santai menolak kata-kata Shihoko saat Ia
berdiri, dan bersiap-siap untuk memasuki kamar mandi, “Amane.”, Lalu ayahnya
memanggil.
Sepertinya Shuuto tidak akan mencela Amane, tak seperti
Shihoko, dan tidak ada senyum masam; hanya suara serius dan
keras. Amane balas menatapnya dengan tatapan bingung, dan Ia merespons
dengan ekspresi tenang.
“Apa keadaanmu baik sejak tiba di sini, Amane?”
Shuuto menatap Amane, membuat Ia terkejut, tetapi Ia
balas tersenyum pada orang tuanya.
“…Ya. Jauh lebih baik.”
Orang tuanya pasti khawatir.
Mereka mencari berbagai peluang untuk memeriksa
Amane. Jika ada sesuatu, mereka akan mampir untuk melihatnya.
Mereka ingin memastikan bahwa pikiran Amane tenang.
“Begitu ya. Syukurlah.”
“Jangan khawatir. Aku punya seseorang yang bisa
dipercaya di sisiku. ”
Tidak seperti sebelumnya, Ia menelan kata-katanya, “Ahh, Itsuki-kun?” dan
Shihoko menunjukkan senyum hangat.
“Aku belum bertemu dengannya secara langsung, jadi aku
ingin menggunakan kesempatan ini untuk menyapanya juga.”
“Jangan lakukan itu. Kau pasti akan mengatakan
sesuatu yang aneh.”
“Ini bukan aneh, hanya saja kamu begitu imut ketika masih
kecil, Amane ...”
“Itu cukup aneh. Tolong jangan ...”
Jika Ibunya memberitahu Itsuki, informasi tersebut pasti
akan mencapai Chitose, dan itu adalah takdir yang ingin Ia hindari bagaimanapun
juga, jangan-jangan Ia digoda ke neraka dan kembali, atau bahkan dipaksa untuk
menunjukkan foto-foto, yang tidak Ia ingin perlihatkan.
Amane menyerupai gadis yang sangat imut saat masih kecil,
dan Ia pasti akan diejek. Jika ibunya menunjukkan foto-foto crossdressing-nya, Ia mungkin
berguling-guling karena malu.
“Tapi aku hanya ingin menyapa, karena Ia berteman baik
denganmu.”
“Walau ibu bilang begitu, tapi.”
“Ia pasti seseorang yang sangat spesial bagimu, ya.”
“…begitulah. Ia terlalu baik untukku. ”
Amane tidak mengatakan itu kepada Itsuki secara langsung,
tetapi Ia merasa benar-benar berterima kasih.
Ia adalah seorang cowok yang suram, tidak mau
berinteraksi, dan cuma duduk di pojok kelas, mendengarkan musik; Namun
Itsuki terus menghampirinya.
“Aku akan mandi.”
Meski Itsuki sendiri tidak ada, tapi Amane masih merasa malu
karena memuji nya, jadi Ia mencoba untuk mengalihkan perhatian mereka, dan bergegas
untuk mengambil baju dari kamarnya.
Ia mendengar ketawa kecil di belakangnya, bibirnya
meringis saat masuk ke kamarnya sendiri.
uuuu
Keesokan paginya, Amane bangun, merapikan dirinya, dan
pergi ke ruang tamu. Orang tuanya sudah bangun, dan sedang menyiapkan
sarapan.
“Pagi. Sarapan sudah selesai; duduklah dulu.”
Shuuto mengenakan celemek Amane yang tergantung di kursi,
dan memanggil dari dapur. Amane duduk di kursi sambil balas tersenyum
masam.
Shuuto terbiasa dengan dapur yang tidak dikenal segera
setelah tiba, mungkin karena Ia biasanya memasak.
Di rumah, Shihoko dan Shuuto bergiliran memasak, dan
Amane tidak merasa aneh bagi mereka untuk mengenakan celemek.
Shihoko duduk di depan meja dengan gelisah. “Aku akan
menangani ini, jadi duduklah.” Dia mungkin ingin membantu, lalu diberitahu
begitu atau sesuatu.
Amane merasa bahwa dia harus membantu dengan cara lain,
dan bersiap-siap untuk berdiri, tetapi Shuuto tiba dengan nampan berisi nasi
panas dan miso, tanpa memberinya kesempatan.
“Terima kasih, ayah.”
“Tidak usah berterima kasih. Aku tidak berbuat
banyak, hanya menggunakan sisa makanan Shiina-san kemarin. Aku hanya
memanaskannya, membuat sup miso, dan dashi telur dadar. ”
Keluarga Fujimiya memiliki kebijakan untuk sarapan, jadi
mereka tidak mengirit hal itu.
Mahiru meninggalkan sisa makanan yang dia buat tadi malam,
jadi mereka ditambahkan ke dalam menu. Jika tidak, Shuuto akan membuat
hidangan lain.
Dengan senyum masam, Shuuto menyajikan nasi dan sup miso
di hadapan anak dan istrinya.
Dashi telur dadarnya benar-benar nostalgia, menarik
perhatian Amane. Sebelum Ia sadari, Shuuto selesai menata piring, dan
duduk di kursi.
“Ayo makan dulu.”
“Ya. Itadakimasu.”
“Itadakimasu.”
Semua orang menyatakan rasa syukur atas makanan dengan
serempak, dan Amane pertama-tama mengulurkan sumpitnya pada telur dadar.
Terakhir kali dia memakan masakan Shuuto adalah kunjungan
kembali di musim panas. Dengan rasa nostalgia dan antisipasi, Ia mengambil
sepotong, dan perlahan membawanya ke mulutnya.
Rasa dashi menyebar, rasa manis dan kematangan telur itu
sangat nostalgia — pada saat yang sama, Ia merasa ada beberapa
ketidaksempurnaan.
“Ada apa?”
Shuuto bertanya dengan cemas begitu Ia melihat Amane
mengunyah dengan serius.
“Hmm ... yah, bukan apa-apa.”
“Aku tidak membumbuinya dengan baik?”
“Bu-Bukan begitu, rasa tetap enak ... cuma sedikit
berbeda dari masakan Mahiru yang biasa.”
“Ahh, begitu rupanya.”
Sudah setengah tahun sejak Amane tidak memakan masakan
Shuuto, tapi Ia harusnya terbiasa. Ia memakan masakan Mahiru setiap hari
sebagai standar, dan bahkan Ia merasa terkejut dengan itu.
Tentu saja, itu bukan karena masakan Shuuto yang buruk,
hanya saja rasa memasak Mahiru sangat sesuai dengan selera Amane. Meski
begitu, Amane sangat malu karena lidahnya sudah beradaptasi dengan masakan
Mahiru selama beberapa bulan.
“Kau sudah menjadi tahanan Shiina-san.”
“Hanya dalam hal masakannya.”
“Ya ampun, kamu bilang begitu seolah-olah Mahiru-chan
tidak memiliki pesona?”
“Aku tidak bilang begitu. Aku tidak mudah kepancing
juga. ”
Shihoko pasti akan mengalihkan pembicaraan tersebut, dan
Amane tidak punya niat untuk mengikuti percakapan itu.
Tampaknya tujuan Shihoko adalah seperti yang dipikirkan
Amane, dan dia menurunkan alisnya dengan sedih. Amane hanya mendengus,
pura-pura tidak memperhatikan.
uuuu
Orang tuanya akan segera kembali sebelum makan siang.
Karena mereka harus pergi bekerja besok, Amane
menyarankan agar mereka segera kembali untuk beristirahat, atau akan lebih
sulit bagi mereka. Mereka harus mengemudi beberapa jam, dan pasti akan lelah. Akan
lebih baik bergegas pulang untuk beristirahat.
“Aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu berbicara
dengan Mahiru-chan, dan bertemu Itsuki-kun.”
Shihoko mengeluh ketika mereka pergi ke pintu masuk
apartemen.
“Kalau begitu lain kali saja ... Ibu harus memberi tahu
Itsuki sebelumnya. Ia tidak selalu punya waktu luang.”
“Lalu kamu saja yang mengajaknya, Amane.”
“Bila sedang dalam mood.”
Shihoko jelas-jelas tidak senang Amane tidak mau melakukannya,
“Baiklah, baiklah” tetapi setelah Shuuto membujuknya, dia tampak sedikit lebih
baik.
Ketika Amane memandangi mereka, pintu sebelah terbuka
bisa terdengar.
Rambur berwarna rami berkibar, dan mengintip melalui
celah itu adalah wajah Mahiru.
Dia mungkin keluar setelah mendengar suara
Shihoko. Baik atau buruk, suara itu pasti kedengaran olehnya.
“Untunglah. Aku ingin bertemu denganmu di sana ~ ”
Keduanya memperhatikan Mahiru juga, dan pergi ke
apartemennya. Shihoko berseri-seri saat dia beringsut menuju Mahiru.
Mahiru berniat keluar, dan Shihoko segera membungkuk
padanya. Yang pertama agak takut, tetapi tidak langsung menolak; dia
mungkin tidak membencinya.
“Apa anda akan kembali sekarang?”
“Sayangnya ya. Kami ingin tinggal selama dua hari,
tapi kami ada pekerjaan.”
“Ini takkan terjadi jika kita datang lebih awal ...
sangat disayangkan.”
Mahiru diam-diam tersenyum pada orang tua yang
mengungkapkan penyesalan mereka.
“Kita akan bertemu lagi lain kali, tapi nanti itu akan
ada di tempat kita.”
“Ya ya, aku akan kembali ke rumah selama liburan musim
panas.”
Pastikan kamu kembali lain kali, dan sekalian
ajak Mahiru-chan juga, Amane merasakan
tekanan yang luar biasa dari tatapan tajam Shihoko.
Apa
yang ingin dia lakukan dengan Mahiru? Ia
merasa penasaran, tapi berpikir bahwa Mahiru mungkin menghabiskan setiap
liburan panjang sendirian, mungkin itu bukan ide yang untuk mengajaknya. Jika
dia menyetujuinya, tentu saja.
“Kamu benar-benar tidak lucu sama sekali. Benar, ‘kan,
Mahiru-chan? ”
“Eh, to-tolong jangan tanya itu padaku ...”
“Baiklah Shihoko-san, berhenti menyusahkannya ... yah, Ia
tidak sejujur saat masih muda.”
Tampaknya tidak ada yang memihak Amane, dan Ia memutuskan
untuk diam dan mengabaikan mereka. Shuuto lalu menunjukkan kepada Mahiru
senyum tenang yang berbeda dari senyum Shihoko.
“Seperti yang bisa kau lihat, Amane kita ini anak yang
tidak terlalu jujur, tapi kau bisa melihat sendiri kalau Ia punya sifat yang
baik, cowok pengertian. Tolong terus rukun dengannya. ”
“Bisakah kalian tidak mengatakan itu di hadapanku? Ini
rasanaya aneh buatku, tahu? ”
Ia dipuji, tetapi Ia merasa itu tidak
membantunya; itu terasa lebih mirip dengan musuh yang mengejek dan
melemahkan semangatnya.
Amane merasa malu disebut baik dan pengertian.
Ia tidak berbelas kasih, hanya orang yang akan bergaul
dengan orang lain dengan cinta dan hormat yang dibutuhkan. Ia merasakan
gatal di hatinya setelah dipuji seperti itu.
Amane dengan canggung mencoba memalingkan wajahnya, hanya
untuk bertemu tatapan Mahiru. Dia mengedipkan matanya, dan tersenyum
simpul.
“... Aku merasa bahwa Amane-kun adalah orang yang jujur dan baik. Seharusnya
akulah yang mintanya untuk rukun denganku. ”
“Syukurlah kalau begitu. Ini meringankan dalam
banyak hal.”
Amane ingin membalas perkataan ayanhnya, tetapi menolak
pemikiran itu karena Ia merasa bingung dengan kata-kata Mahiru.
Ia merasa sangat canggung saat mengetahui kalau itulah
pandangan Mahiru terhadapnya, dan tidak berani memandang wajahnya secara
langsung.
Melihat hal tersebut, Shihoko tertawa, tetapi Amane tidak
bisa menjawab kecuali menggigit bibirnya dan tutup mulut.
uuuu
“Kau tidak perlu bersikap sopan segala.”
Begitu orang tuanya meninggalkan apartementnya, Amane
berbisik kepada Mahiru di koridor.
Ia mengatakan itu untuk menghilangkan kecanggungan di
sekitar mereka, tetapi untuk beberapa alasan, Mahiru mengangkat alisnya, menatapnya.
Dia tampak tenang, tetapi ada tekanan darinya yang
mengintimidasi Amane.
“Apa kamu pikir aku bersikap sopan di luar kehendakku?”
“Sikapmu tidak sopan padaku, tapi aku tidak tahu apakah
kamu sopan kepada orang tuaku.”
Tampaknya Mahieu tidak senang dianggap memalsukan
kesopanannya.
Amane secara naluriah berusaha membela diri, tetapi Mahiru
tidak senang, ya ampun, sebelum dia
menghela nafas dengan enggan.
“... Kamu tahu, aku percaya kamu karena aku suka
kepribadian mu, dan aku setuju untuk hidup bersama denganmu seperti sekarang. ”
“O-oh…”
Mahiru mengatakan hal-hal yang memalukan seperti itu
dengan berani, dan membuat wajah Amane memerah. Untungnya, Mahiru tidak
menyadarinya.
Amane mengangguk patuh, dan Mahiru tampak senang.
“Bagus, kamu mengerti. Aku sekarang akan menyiapkan
makan siang.”
Tampaknya dia akan menyiapkan makan siang selama tiga
hari pertama tahun ini.
Dia mengtakan itu seolah-olah itu faktanya, dan meraih
daun pintu apartemen Amane. Merasa malu sekaligus senang, Amane melihat
punggung Mahiru yang sedang berjalan masuk.
(... Percaya, ya?)
Amane sendiri ingin mengatakan kalau dia adalah orang
yang dapat dipercaya.
Amane tidak pernah memandang Mahiru sebagai Tenshi, dan
demikian pula, Mahiru memperlakukan Amane sebagai tetangga biasa. Dia memercayainya
karena ini, dan Amane bersyukur untuk ini lebih dari apa pun.
“Syukurlah aku datang ke sini.”
Tampaknya dia hanya mendengarnya bergumam, dan tidak apa yang dikatakan, "Apa kamu mengatakan sesuatu?” Dia berbalik untuk bertanya, “Tidak, bukan apa-apa.” Amane mencoba menyembunyikannya, dan kembali ke apartemennya bersama dengannya.
Thanks for the chapter~
BalasHapusKapan nikahnya?? 🤕
Lanjut tolong min
BalasHapusGasssssskeun
BalasHapushaah~~~sungguh melelahkan mental
BalasHapusPerasaan aja ato chapter ini emang panjang banget~
BalasHapusAhh .. buruk ke hati gua nih
BalasHapusMahiru-chan, entah kenapa nama ini tidak terdengar asing hmmm
BalasHapusSungguh bagus alur ceritanya
BalasHapusNama heroinenya hampir mirip sama sakurasou cuma beda dikit jadi sering salah sebut😂😂
BalasHapusLcd hp gua hampir pecah cuma gara 14 huruf ini doang "Amane-kun no baka"
BalasHapusbisa bisa gw diabetes ini
BalasHapus