Chapter 05 – Tenshi sedang tidak enak badan
Hal ini terjadi pada hari Jumat sebelum memasuki bulan Februari.
“... Hmm?”
Setelah makan malam, Amane kembali ke ruang tamu, dan
melihat wajah Mahiru yang sedikit memerah.
Ia penasaran apa Ia mengatur alat pemanas terlalu tinggi,
tetapi nyatanya suhunya tetap yang biasa, dan Mahiru tidak berpakaian
berlebihan. Matanya tidak memiliki kekuatan, bahkan goyah, napasnya agak
ngos-ngosan.
Mahiru berusaha bersikap normal, tapi tak diragukan lagi
kalau ada yang salah dengan tubuhnya.
Omong-omong, belakangan ini suhu udara terasa dingin, dan
sebagai siswa teladan, Mahiru sering diminta untuk membantu para guru. Dia
juga harus melakukan pekerjaan rumah dan memasak makan malam seporsi dua
orang. Wajar saja baginya untuk jatuh sakit.
Amane seharusnya lebih memperhatikan Mahiru; andai
saja Ia menyadari ini sebelumnya, Amane merasa menyesal saat mendekatkan
wajahnya ke wajah Mahiru.
“Mahiru, wajahmu memerah. Apa kau demam?”
“Aku tidak demam.”
Ia bertanya karena khawatir, tapi malah ditolak dengan
suara keras.
Mahiru menggelengkan kepalanya dengan cemberut, mungkin
sadar kalau Amane sedang menatapnya, tapi kemerahan di wajahnya jelas sekali terlihat.
Kata-katanya tidak bisa dipercaya. Amane tahu kalau
tindakannya tidak sopan, tapi Ia menyisir poni Mahiru dengan tangannya.
Seperti yang sudah diduga, suhunya agak lebih panas
daripada tangannya. Dia biasanya tidak lebih panas darinya, jadi Amane
yakin kalau Mahiru sedang demam.
“Apa kau tidak merasa panas sekarang?”
“…tidak.”
“Lalu, periksalah suhu tubuhmu.”
“Tidak butuh. Jangan lakukan sesuatu yang tidak
perlu. ”
Suara yang biasanya kasar telah kehilangan semua
keseriusan.
“Katakan, jelas-jelas kau kena demam sekarang, oke?”
“Aku cuma merasa sedikit panas saja.”
“Kalau begitu, kau harus membuktikannya dengan
termometer.”
Amane berdiri, lalu mengambil termometer dari kotak P3K
di rak ruang tamu, dan kembali ke Mahiru, yang memalingkan wajahnya.
Siapapun pasti keheranan apakah dia tidak mau mengakui kalau
dia kena demam, atau dia cuma bertingkah sok kuat.
Mungkin dari keduanya. Pokoknya, Amane tidak bisa
melanjutkan jika tidak mengukur suhu tubuh Mahiru.
Amane berdiri di hadapan Mahiru, yang memalingkan
wajahnya, dan meletakkan termometer di telapak tangannya.
“Mahiru, apa kau ingin aku melepas bajumu dan menyelipkannya
di bawah ketiakmu, atau kau mau melakukannya sendiri? ... mana yang kau pilih.”
Amane berkata dengan suara sok serius, "Uu" dan Mahiru mengerang,
berbalik ke arah sandaran sofa.
Sepertinya dia menyerah saat Amane mendengar termometer
diaktifkan, dan untuk berjaga-jaga, Ia berbalik, lalu mendengar bunyi bip
elektronik lain.
Amane tidak melihat ke belakang segera, dan baru berbalik
setelah Mahiru selesai memakai bajunya. Mahiru menaruh termometer kembali
ke dalam kotak, dan memandang Amane dengan tatapan tabah.
“... 37.2 ° C. Demam rendah.”
“Hmm.”
“Demam rendah; Aku punya sesuatu yang harus aku
lakukan ...”
Amane mengambil termometer dari tangan Mahiru, dan
mengeluarkannya dari bungkusan.
Termometer bisa menunjukkan catatan suhu terakhir. Ia
menyalakannya lagi — dan menemukan kalau angka yang ditunjukkan jauh lebih
tinggi daripada yang dilaporkan Mahiru.
“Oh, tapi kok aku melihat 38,4 ° C.”
Mahiru langsung membuang mukanya.
“Mahiru, kau sudah berkali-kali memberitahuku untuk
beristirahat, dan kau sendiri malah kelelahan? Beristirahatlah untuk besok
dan lusa. Bersikap baiklah sekarang. ”
Ketika Amane menderita demam, Mahiru menyuruhnya
berbaring, menyuruhnya berganti pakaian, dan memasakkan bubur untuknya, tapi
dia tidak melakukannya ketika perannya terbalik. Itu sungguh ironi.
Amane sendiri merasa lebih baik, dan pulih setelah tidur
siang sedikit. Jika Mahiru terus bekerja keras tanpa istirahat, penyakit
yang bisa diobati tidak akan pernah bisa diobati. Dia juga harus beristirahat. Pada
dasarnya, orang sakit harus patuh tinggal di rumah dan beristirahat.
Tapi mata Mahiru masih terus melihat kesana-kemari, dan
sepertinya dia tidak akan mendengarkan perkataan Amane.
(... Dia sangat keras kepala.)
Apa boleh buat, jadi Amane mengulurkan tangannya ke Mahiru.
Mungkin tidak terduga baginya, karena Mahiru yang demam
terlambat bereaksi, pikirannya jadi sedikit tumpul.
Setidaknya dia tidak melawan, Amane merangkul dan meletakkan tangannya di bawah
lutut Mahiru, dan mengangkatnya.
Amane mengangkatnya Mahiru, mendengar derak kunci di
sakunya, dan pergi ke koridor.
“Eh, A-Amane-kun ...?”
Mahiru akhirnya menyadari kalau dia sedang diangkat, dan
memanggil dengan sedih di dalam dekapannya.
Amane berhenti sejenak, dan menatap Mahiru, yang wajahnya
tetap memerah saat dia menatapnya dengan kebingungan.
“Karena kau akan main-main, jadi aku akan memastikan kau
tidur.”
“Ap-Apa kamu mau memasuki kamar seorang gadis?”
“Atau kau mau tidur di kamarku?”
“... Apa ada pilihan untuk membiarkanku?”
“Itu mungkin saja bila kau beristirahat dengan patuh
sejak awal.”
Amane juga tahu walau hubungan mereka semakin dekat, rasanya
masih tidak sopan baginya untuk memasuki apartemen seorang gadis, apalagi melihatanyanya
tidur di kamarnya; akan lebih baik jika Ia tidak melakukannya.
Namun pada titik ini, Mahiru akan terus melakukan sesuatu
setelah kembali ke apartemennya. Melihat ari sikapnya, itu mungkin benar.
Mahiru pernah memaksa dirinya ke apartemen Amane, jadi
kali ini, Amane akan melakukan tindakan yang sama kuat pada dirinya.
“Jadi, mana yang kau pilih? Apartemenku atau
apartemenmu? ”
“... Aku tidak suka kedua-duanya.”
“Aku akan masuk ke apartemenmu dan memaksamu ke tempat
tidur kalau begitu.”
“... Kamarmu saja tak masalah, Amane-kun ...”
Sepertinya dia tidak ingin Amane memasuki kamarnya
bagaimanapun juga, dan lebih memilih untuk beristirahat di kamar Amane sebagai
gantinya.
Dapat dimengerti kenapa seorang wanita tidak ingin lawan
jenisnya masuk ke kamarnya, dan Amane tidak keberatan dengan
pilihannya. Namun karena dia sangat tidak mau, Amane berharap dia akan
tinggal di rumah dengan patuh sejak awal.
Ia menghela nafas frustrasi dan lega, lalu membawa Mahiru
ke kamarnya.
Terakhir kali Mahiru ke sini ialah saat Tahun Baru
kemarin.
Ia membaringkan Mahiru ke tempat tidur, dan menggeledah
lemarinya. Amane tidak bisa membiarkannya tidur begitu saja, dan harus
mengganti pakaiannya suapaya dia berkeringat.
Dia memilih baju dan celana pendek sekecil mungkin, dan
meletakkannya di sebelahnya.
“Ini, gantilah bajumu.”
“…Tapi.”
“Atau apa kau mau aku yang melakukannya?”
“Aku akan ganti ...”
Tentu saja, Mahiru akan dengan tegas menolak idenya untuk
menanggalkan pakaiannya, jadi dia menerima baju ganti dengan enggan.
Amane juga merasa akan sangat memalukan bagi Mahiru untuk
berganti di hadapannya, dan dia pasti akan membencinya. Amane benar-benar
tidak ingin dibeci, dan untungnya, Mahiru mendengarkannya, jadi Ia merasa lega.
Tentu saja, Amane tidak bisa melihat Mahiru ganti baju,
jadi Ia bergegas keluar dari ruangan, dan mengeluarkan minuman isotonik yang
biasanya Ia siapkan di rak.
Amane sudah menyiapkan bubur instan dan minuman isotonik
sejak Ia kena demam, dan kebetulan dapat berguna kali ini.
Dia mengambil selimut pendingin yang dibelinya, minuman
isotonik, handuk, dan obat-obatan. Amane mengetuk pintu kamarnya sendiri, “Aku sudah selesai ganti baju. ” Dan
mendengar jawaban lembut dari dalam.
Ia lalu memasuki ruanga dan melihat Mahiru duduk di
tempat tidur, setelah berganti pakaian. Seperti yang diharapkan, pakaian
kecil itu masih terlalu besar untuknya, bahkan terlalu longgar.
Mahiru masih terlihat manis meski mengenakan pakaian yang
tidak cocok untuknya, tapi Ia menyingkirkan pikiran-pikiran ini dari benaknya,
berjalan ke meja samping, dan meletakkan minuman isotonik dan handuk di sana.
“Mau obat? Tapi itu di atas meja. ”
“…Iya. Aku juga punya beberapa di apartemen, jadi aku
pikir aku akan baik-baik saja.”
“Hmm.”
Amane lalu kembali ke dapur, menuangkan air, dan mengeluarkan
bantal es dari lemari es. Mencegah itu lebih baik daripada diobati, pikir
Amane sambil tersenyum masam, karena kata-kata ini menjadi kenyataan.
Ia kembali ke kamar, menyerahkannya ke Mahiru, mengambil
obat, dan meletakkannya di tangan kosong Mahiru.
“Minumlah ini, isi kembali cairanmu, dan tidurlah.”
Sementara Mahiru sedang minum obat, Amane membungkus
handuk di atas bantal es, meletakkannya di bantal, “... cerewet sekali.” dan mendengar Mahiru menggerutu,
“Hanya melakukan apa yang kau lakukan padaku.”
Pada dasarnya, Amane cuma meniru bagaimana Mahiru
merawatnya. Karena Ia sendiri baik-baik saja, Ia harus melakukan ini
untuknya.
“Ngomong-ngomong, kenapa kau memaksakan dirimu sendiri?”
“... Aku belum mengkondisikan diriku dengan baik.”
“Perhatikan kondisimu dengan biak, berhentilah saat kau
harus berhenti. Kau bekerja sangat keras, yang mana bisa merusak
tubuhmu. Yah, itu karena salahku juga, jadi, maaf. ”
Mahiru akan memasak makan malam untuk Amane, dan itu
memberi Mahiru beban. Dia sudah punya banyak urusan untuk dilakukan, dan
Amane benar-benar minta maaf karena membiarkannya merawatnya.
Demam ini mungkin disebabkan oleh kelelahan fisiknya,
jadi Ia berharap untuk merawatnya, dan membiarkannya beristirahat.
“... Aku tidak pernah berpikir kalau kamu adalah beban,
Amane-kun.”
“Begitu ya ... tapi ambil kesempatan ini untuk
beristirahat.”
Amane senang mendengarnya mengatakan itu bukan masalah
hidup bersamanya, dan sedikit menyesal; Ia bertanya-tanya apakah Amane
membuat Mahiru terlalu khawatir
Jadi yang bisa dilakukan Amane adalah membiarkan Mahiru
beristirahat. Mungkin lebih baik baginya untuk kembali ke apartemennya
sendiri, tapi Ia khawatir akan terjadi apa-apa, dan berharap untuk berjaga di
sampingnya.
Meski merasa sedikit ragu, Mahiru tetap berbaring.
Begitu selimut menutupi semua yang ada di bawah
kepalanya, dia menatap Amane.
Dia tampak sedikit malu-malu, atau mungkin tidak ingin
ditatap saat dia tidur. Sepertinya tidak baik melihat wajah seorang
gadis yang tertidur, pikir Amane ketika berniat keluar ruangan, namun
ada sesuatu yang menarik lengan bajunya.
Ia menatap lengan bajunya, dan menemukan tangan kecil
Mahiru menariknya.
Amane membelalakkan matanya, dan melihat ke
arahnya. Dia secara naluriah memandang tangannya, dan kemudian buru-buru
melepaskannya sebelum menggeliat di bawah futon.
Mata berwarna karamel goyah dengan gelisah, jadi dia
menutupi wajahnya dengan futon.
“…Selamat malam.”
Mahiru bergumam pelan saat bersembunyi di dalam
futon. Amane menggaruk pipinya, tidak tahu harus berbuat apa.
(... Kurasa dia merasa tidak nyaman karena sakit.)
Apa aku boleh.. Amane dengan lembut mengangkat selimut, menemukan
telapak tangan Mahiru, dan meraihnya.
Amane dengan lembut memegang tangan Mahiru, dan dia
menunjukkan wajahnya dari kasur, tampak mencolok. Namun demikian,
sepertinya wajahnya karena malu, bukannya keengganan.
“... Aku bukan anak kecil.”
“Aku tahu. Aku hanya memegang tanganmu, memastikan supaya
kau tidak melarikan diri. Abaikan saja aku. ”
“... Aku tidak akan lari sekarang karena aku seperti
ini.”
“Siapa tahu? Jangan khawatir, aku akan pergi begitu
kau tertidur. Jika kau ingin aku melepaskannya, cepat pergi tidur. ”
Dia berkata dengan suara dingin yang disengaja, dan
Mahiru dengan patuh masuk ke futon.
Tangan yang dipegang itu sepertinya merindukan Amane saat
meraih kembali. Menyadari hal ini, Amane merasa sedikit gatal di dalam
hatinya.
Amane tampak bahagia sekaligus malu, dan untuk beberapa
alasan, merasa cemas.
Ia merasakan kecemasan ini menggelitik hatinya, memegangi
jari-jari Mahiru yang ramping sampai dia tertidur.
uuuu
Keesokan harinya, Amane bangun di sofa. Ia
meregangkan tubuhnya yang agak kaku saat melihat ke arah jam.
Sudah lewat jam 8 pagi, hari libur, dan Ia tidak perlu
menjalani aktivitasnya yang biasa. Namun, Ia harus memeriksa Mahiru pada
saat ini. Amane sudah memeriksanya di tengah malam, jadi Ia penasaran
bagaimana keadaannya sekarang.
Ia meregangkan punggungnya, berdiri, dan berjalan ke
kamarnya, diam-diam membuka pintu.
Amane tidak mengetuk pintu karena dia mengira Mahiru masih
tidur; Ia membuka pintu dan mendapati gadis itu duduk tegak.
Wajahnya masih ada sedikit kemerahan di pipinya, tapi
tidak sejelas di hari sebelumnya.
Mahiru tampak agak linglung, dan matanya menyipit saat
melihat Amane.
“Pagi. Bagaimana keadaanmu sekarang? Jangan
bohong.”
“... Masih agak lelah.”
“Aku akan pergi membeli sarapan di toko, dan sesuatu
untukmu juga.”
Amane masih punya bubur di dapurnya, tetapi Ia merasa si pasien
akan lebih mudah makan jeli dan buah persik kalengan, jadi Ia ingin membelinya.
Setelah melihat Mahiru menjadi sedikit lebih energik dari
yang diharapkan, Amane menghela napas lega, mengeluarkan beberapa pakaian dari
lemari, dan meletakkannya di tempat tidur.
“Aku akan meninggalkan pakaian di sini. Ukur suhu
tubuhmu. Ada satu baskom air dan handuk untuk mengelap keringatmu. ”
Amane menunjuk air yang sudah Ia siapkan setelah dengan
lembut menyeka wajah Mahiru di malam hari, dan meninggalkan ruangan.
Ia mengambil dompetnya, dan meninggalkan komplek
apartemen.
Amane meluangkan waktu berjalan untuk memastikan bahwa Mahiru,
yang sedikit lemas karena demamnya, punya waktu untuk berganti pakaian dan
menyeka keringatnya. Minimarket yang ada sangat dekat dengan apartemennya,
cuma butuh waktu beberapa menit berjalan kaki, tapi Ia memutuskan untuk
menghabiskan lebih banyak waktu berbelanja.
Setelah 20 menit, Ia membeli barang-barangnya, dan
kembali lagi, memasukkan barang-barang
ke dalam kulkas, dan memeriksa Mahiru lagi. Dan si pasien selesai
ganti baju, dan sedang menunggunya.
Sepertinya dia sadar, dan terlihat lebih sehat daripada
sebelumnya, jadi dia tersenyum padanya,
“Berapa suhunya?”
“37,5 ° C.”
“Hm, masih sedikit demam ... jangan bergerak-gerak dulu.”
“Me-Mengerti.”
“Kau punya nafsu makan? Aku membuat bubur, dan
membeli beberapa puding dan jeli. ”
Amane tidak bisa membiarkannya makan sesuatu yang sulit
dicerna, jadi Ia membeli makanan yang mudah dikunyah lidah, tapi Ia harus
memeriksa nafsu makan Mahiru.
“Erm, aku minta maaf karena membuatmu kesal,”
“Mohon maaf untuk apa? Kau pernah melakukan ini
padaku juga. Jadi, mau puding atau jeli?”
“…Jeli.”
“Oke. Apa kau bisa makan bubur?”
“…Iya.”
“Kalau begitu aku akan memanaskannya dulu. Tunggulah
sebentar.”
Tampaknya Mahiru masih mencemaskan hal itu. Amane
dibungkam olehnya ketika dia meninggalkan ruangan. Ia menambahkan air ke
bubur instan, disajikan dalam mangkuk, dan membawanya ke Mahiru.
Akan lebih baik untuk memasaknya secara langsung seperti
yang dilakukan Mahiru, tapi siapapun akan ragu kalau Amane bisa memasak bubur
dengan aman, jadi Ia mencari alternatif yang aman yaitu bubur instan.
Walau tidak lebih baik dari yang dimasak, tapi setidaknya
masih bisa dimakan daripada tidak.
“Ini. Apa kau bisa memakannya sendiri? ”
Amane menyerahkan sendok saat Ia bertanya dengan nada menggoda,
dan menunggu dia menerima bubur. Mahiru merengut tidak senang.
“Apa kamu menganggapku bodoh? Apa kamu berniat
menyuapiku jika aku bilang kalau aku tidak bisa? ”
“Eh, yah ...”
Aku akan menyuapimu jika kau mau, Amane menyindir, dan wajah Mahiru memerah, seolah-olah
gejala demamnya menyerang kembali.
“... A-Aku akan memakannya sendiri.”
“O-oh.”
Mahiru menerima mangkuk dari Amane, dan memakan bubur,
kemerahan di wajahnya tidak pernah pudar sampai dia selesai makan.
Dia tampaknya punya sedikit nafsu makan, jadi Amane
mengambil jeli, menyuruhnya menghabiskannya, dan menghela nafas.
Keadaannya jauh lebih baik, jadi yang tersisa hanyalah beristirahat
dan pulih. Begitu Amane melihat wajah Mahiru terlihat lebih segar, Ia merasa
lega.
“Ada lagi yang kau ingin aku lakukan?”
“... Tidak ada, untuk sekarang.”
“Begitu ya.”
Beristirahatlah sedikit lebih lama lagi, Amane berdiri, bersiap meninggalkan
ruangan; Mahiru perlahan mengangkat wajahnya ke arahnya.
Matanya yang goyah menatap Amane, seakan-akan meminta
sesuatu.
Amane bisa merasakan kegelisahan yang timbul di mata
berwarna karamel itu, dan harus duduk di tempat.
“... Amane-kun?”
“Tidak apa-apa.”
Kau terlihat kesepian, jika Amane mengatakan itu padanya, Mahiru pasti
akan menyangkal dan mengatakan tidak demikian, dan mengusirnya.
Oleh karena itu, Amane diam-diam duduk di sebelahnya di
samping tempat tidur, mengangkat kepalanya ke arah Mahiru yang duduk tegak.
“Aku sedang bosan, jadi bisakah kita mengobrol sampai kau
tidur?”
“…Iya.”
Amane bersandar di tempat tidur, tersenyum, dan Mahiru
tersenyum tipis dengan ekspresi lega.
“... Ini adalah pertama kalinya seseorang merawatku ...
paling-paling, Koyuki-san melakukannya sampai tiba waktu baginya untuk pergi.”
“Koyuki-san?”
“Pembantu di rumah lamaku.”
“Ahh, orang yang mengajarimu cara memasak.”
“... Pagi dan malam, aku selalu sendirian ...”
“Yah, kau ada aku hari ini. Aku akan terganggu jika kau
tidak segera sembuh. ”
“... Aku minta maaf karena tertidur. Adapun
makananmu ...”
“Aku tidak bermaksud seperti itu ... hanya berpikir jika
kau membenci orang yang selalu bersamamu itu begitu tidak bernyawa.”
Mereka akrar belum terlalu lama, tapi Amane berniat untuk
menghabiskan waktunya bersamanya cukup lama. Tentunya, Ia akan khawatir
setelah melihatnya sakit.
Itu bukan karena Mahiru selalu mengurusnya; sebagai
teman, wajar bagi Amane untuk khawatir.
“Selain itu, aku bukan tipe orang yang senang melihat
seseorang jatuh sakit.”
“... Kamu orang yang baik, Amane-kun, aku tahu itu.”
“Benarkah?”
Amane merasa sedikit geli dipuji karena bersikap baik.
“Baiklah, waktunya tidur ... tidur sampai kau merasa
sudah enakan, dan kau akan baik-baik saja.”
“…Iya.”
“Apa kau ingin aku menemanimu tidur?”
Amane menggodanya kembali untuk menyembunyikan rasa
malunya. Mahiru berkedip.
“... Kalau begitu, tolong lakukan itu.”
“Eh?”
“Kamu sendiri yang bilang begitu, Amane-kun.”
“Memang sih, tapi…”
Amane tidak pernah menyangka Mahiru meladeni
perkataannya; Amane pikir dia akan menolak dengan wajah memerah. Ia
membelalakkan matanya, dan sebaliknya, giliran Mahiru yang membuat senyum
nakal.
“Atau apa kamu akan menarik kembali perkataanmu sebagai
seorang cowok?”
“…Tidak. Ayo saja.”
Kau menang kali ini, Amane bergumam sambil memegang tangan Mahiru, dan
dia berbaring, meringkuk ke dalam futon.
Kemudian, Mahiru meraih tangan Amane, matanya terlihat
lebih lembut.
“... Hangatnya.”
“Kau cukup mendinginkan tempat tidur, jadi kau tidak sepanas
itu ... sekarang tidur.”
“Iya.”
Dia memegang tangan Amane, menunjukkan wajah yang tenang
saat dia memejamkan matanya; sepertinya dia merasa lega karena ada Amane
di sisinya.
Segera setelah itu, Amane mendengar napas berirama dari
Mahiru.
(... idiot.)
Ia mengerang saat menutupi wajahnya dengan tangannya yang
lain.
Mahiru merindukan sentuhan, mungkin karena dia sangat
lemah, dan jadinya Amane benar-benar gelisah. Jantungnya berdebar sangat kencang,
wajahnya seperti terinfeksi demam Mahiru.
Tubuhnya memanas. Siapa pun pasti keheranan mana di
antara mereka yang demam.
(... Serius, dia buruk untuk hatiku.)
Amane melirik ke wajah Mahiru, yang terakhir tidur
nyenyak, tidak mengetahui kekacauan batinnya.
Astaga, Amane
menggerutu, dan membenamkan wajahnya ke ranjang.
Itu adalah tempat tidurnya sendiri, tetapi ada aroma
wangi yang bukan miliknya.
uuuu
Pada saat Amane bangun, kehangatan di sebelahnya sudah menghilang.
Tangan yang harus dipegangnya sudah tidak ada, dan
wajahnya tergeletak di tempat tidur.
Ia buru-buru mengangkat wajahnya, dan tidak menemukan
sosok Mahiru di tempat tidur.
Ia melihat jam di meja samping, dan melihat jam 2
siang; Amane sadar kalau Ia tertidur lama, mungkin karena menghabiskan
sepanjang malam untuk bangun dan memeriksa Mahiru. Amane tidak mengira
akan tidur terlalu lama, jadi Ia buru-buru berdiri dan pergi ke ruang tamu.
Setelah bergegas keluar, Amane mendapati Mahiru duduk di
sofa ruang tamu. Dia tidak mengenakan baju dan celana pendek Amane, tapi
pakaiannya sendiri. Sepertinya dia pulang ke apartemennya untuk ganti baju.
“Amane-kun, kamu sudah bangun.”
“Ya. Karena melihatmu tidak ada. Itu membuatku
takut. “
“Maaf. Aku pergi karena ingin mandi. ”
Mungkin karena itulah dia pergi untuk ganti baju. Dia
tampak cukup bersemangat untuk mandi, setidaknya. Usai merasa lega, Amane
mengelus dahi Mahiru dengan telapak tangannya, dan mendapati bahwa suhu
tubuhnya sudah kembali normal.
“Yup, tidak demam. Itu bagus.”
“... Aku membuatmu khawatir.”
“Memang. Aku akan melakukan hal yang sama jika kau
tidak jujur lagi tentang hal ini.”
Amane lalu duduk di sebelahnya dan mengatakan ini, dan
Mahiru menunduk dengan cemas.
“Aku akan mengingat itu ... Amane-kun, apa kamu tidak
merasa marah jika aku menyusahkanmu lagi?”
“Menyusahkan?”
“Seperti merawatku ...”
“Mana mungkin aku merasa begitu. Apa aku terlihat
seperti orang yang kejam? ”
“…Tidak sama sekali. Aku tidak tahu apa aku bisa
meminta pertolonganmu lagi.”
“Tanyakan kapan kau harus bertanya. Kau selalu
menyimpan semuanya untuk dirimu sendiri. ”
Mereka sudah menghabiskan waktu berbulan-bulan hidup bersama,
tapi Amane memahami kepribadian Mahiru dengan baik
Mahiru tidak meminta bantuan pada orang lain, dan akan
menyimpan semuanya di dalam hatinya, tidak mengungkapkan pikirannya yang sebenarnya. Dia
membangun penghalang, tidak ingin ada orang lain masuk, dan mencoba memisahkan
dirinya dari orang lain.
“Yah, jika kau tidak bisa percaya padaku, itu berarti aku
tidak bisa diandalkan.”
“It-Itu tidak benar! Aku benar-benar percaya padamu,
Amane-kun. ”
“Hmm. Kalau begitu jangan sungkan-sungkan, oke?”
Amane secara naluriah membelai kepala Mahiru, menunggu
sampai dia diam, dan menyadari kesalahannya sendiri.
“Maaf. Kau tidak menyukai ini ‘kan, ya.”
“... bukan itu, maksudku.”
Ujar Mahiru, menggelengkan kepalanya, bukan untuk
melepaskan tangannya, tetapi untuk menyangkal. Dia kemudian meletakkan
dahinya di siku Amane.
Amane merasakan sedikit beban yang bersandar padanya, dan jantungnya berdetak kencang. Ia diam-diam mengelus kepala Mahiru, dan mendengar bisikan yang sangat, sangat lembut “... terima kasih banyak”.
🤕🤕
BalasHapusUnyu Unyu manisnya dua sejoli ini
BalasHapusTerimakasih banyak
BalasHapusMakin seru!!
BalasHapusDah ini namanya sudah kekasih yang belum dikonfirmasi 😅
BalasHapusJustru seru yang begini kalau udah confirm beda feelnya😄
BalasHapusChapter ini sukses membuat saya melempar hp saya ke tembok dan loncat" gak jelas wkwkwkwk
BalasHapusSituasi yg di impikan bagi semua laki" remaja wkwkwk
BalasHapusSiksaan batin
BalasHapusmakasih banyak min
BalasHapusTch, sialan kalian anak muda https://uploads.disquscdn.com/images/ad5338d4e0ae6469850947635b9777c6153db1fee980a9404c09fe2c4cebe9a4.jpg
BalasHapusAsli iri anjir gw😙😙
BalasHapusPERCAYALAH YANG DITUNGGU TUNGGU OLEH PEMBACA LN ADALAH KETIKA SI MC/HEROINE SAKIT.. IRI GW :')
BalasHapus