Chapter 09 - Penyimpangan Tenshi dan Kebenaran
Bagi mereka yang tidak memiliki kegiatan khusus, liburan
musim semi adalah periode yang agak membosankan.
Amane sendiri tidak punya banyak hobi dan kegiatan,
kebanyakan hanya membaca dan berjalan-jalan; teman-teman sekelasnya
memberinya senyum masam, keheranan mengapa Ia punya hobi seperti itu.
Karena hobi ini, Ia tidak mengambil inisiatif untuk
melakukan kegiatan di luar ruangan, atau menghadiri fasilitas rekreasi apa
pun. Jika Amane tidak diundang, Ia cuma joging, berjalan-jalan, membeli
bahan-bahan makanan dan sebagainya.
Itsuki tercengang, dan bertanya-tanya apa baik-baik saja
buat Amane untuk tidak menikmati masa mudanya meski Ia masih SMA. Amane
merasa kalau Ia sudah memperhatikan kesehatannya, dan telah berolahraga, jadi
seharusnya baik-baik saja.
Mahiru juga tidak menunjukkan tanda-tanda mau pergi ke
mana pun.
Tentu saja, Amane sesekali melihat dia berolahraga, atau
berbelanja kebutuhan. Namun, dia jarang pergi ke mana pun untuk bermain.
“Apa ada tempat yang mau kau kunjungi?”
Amane sendiri tidak punya hak untuk mengkritik, tapi Ia
panasaran apakah baik-baik saja untuk gadis SMA di masa pubertas menjadi
seperti ini ... jadi setelah makan malam, Amane bertanya kepada Mahiru, dan
setelah beberapa pertimbangan, dia menunjukkan senyum masam.
“Tempat yang ingin aku kunjungi….. yah, aku belum
memikirkan apa-apa. Aku lebih suka tinggal di apartemen.”
“Yah, aku juga sama. Rasanya tidak ada banyak hal di
luar ruangan.”
“... Tidak pulang ke kampung halamanmu?”
“Kami baru saja bertemu di Tahun Baru, jadi tidak
apa-apa. Kita akan pulang ke sana selama liburan musim panas. Itu
berarti aku tidak bisa memakan masakanmu, Mahiru, dan itu membosankan. ”
“... Be-Begitu ya.”
Amane sudah terbiasa dengan masakan Mahiru, sampai pada
titik merasa tak sanggup jika Ia tidak pernah makan; setiap hari,
keinginan untuk makan masakannya meningkat. Pada saat yang sama, Ia mulai
terbiasa dengan kehadiran Mahiru di sebelahnya, keberadaan Mahiru ialah hal
yang semestinya, yang merupakan alasan lain mengapa Amane tidak ingin pulang.
Disamping lucu dan menggemaskan, kehadiran Mahiru bisa
menenangkannya. Mungkin karena aura di sekelilingnya cocok dengan
kepribadiannya.
“Yah, jika aku pulang ke sana, mereka akan menyeretku ke
sana-sini, dan itu sepertinya melelahkan.”
“…Ke sana-sini?”
“Seperti, tempat wisata, belanja, dan
sebagainya. Jika aku tidak membuat rencana, mereka akan menyeretku ke
tempat tertentu. Aku ingat pergi ke perjalanan air panas selama liburan
musim dinginku saat SMP dulu. ”
Shihoko suka tinggal di rumah, dan juga suka keluar. Siapapun
bisa mengetakan kalau dia adalah orang yang sangat energik, senang melakukan
apa saja.
Selain itu, dia sangat menghargai waktu
keluarga. Dia akan menyeret Amane ke mana saja selama Ia tidak punya janji
sebelumnya, atau jika Amane benar-benar membencinya. Dia memang punya
sedikit hati nurani untuk memberi Amane beberapa pilihan, tapi begitu Amane
menjawab, dia akan menyingkirkannya.
Taman hiburan dan pusat perbelanjaan masihlah mudah, tapi
jika mereka pergi melakukan sawanobori atau survival
game, Ibunya akan menyarankan bahwa mereka harus menantang segalanya, dan
Amane akan dipaksa untuk berpartisipasi, yang sangat sulit baginya. Ia
bertanya-tanya bagaimana tubuh halus itu mengandung begitu banyak energi.
Berkat itu, Amane mempelajari banyak hal, dan tubuhnya dilatih
sampai batas tertentu. Ia tidak dapat menyangkal bahwa karena
kelemahannya, hobinya lebih individualistis dan santai.
“... Kedengarannya kamu bersenang-senang.”
“Rasanya sangat melelahkan untuk melakukan itu selama
beberapa hari berturut-turut. Antusiasme tersebut membuatku sangat lelah,
dan aku harus memulai semester baru seperti itu.”
“Fufu, aku bisa membayangkan itu.”
“Kau bisa tahu kalau mengunjungi keluargaku. Meski, mungkin
perhatiannya akan tertuju padamu. ”
“It-Itu benar ...”
Jika Mahiru benar-benar datang, Shihoko akan dengan
senang hati menyeretnya keluar.
Dia mungkin takkan membiarkan Mahiru melakukan sesuatu
yang berbahaya, tapi dia pasti akan menyeret Mahiru untuk berbelanja atau ke tempat
rekreasi lainnya. Ibunya selalu menginginkan seorang anak perempuan, jadi
dia akan sangat senang membesarkan seorang gadis seusia ini.
“Kau akan segera tahu saat musim panas nanti. Ibu
mungkin akan membawamu keluar dan membuatmu memakai semua jenis pakaian seperti
boneka. ”
“…Musim panas.”
“Dia akan memastikan aku buat membawamu.”
Memang benar bahwa Ibunya telah memberikan tekanan
terbuka padanya dengan matanya, untuk membawa Mahiru.
Tampaknya selama liburan musim panas, Mahiru akan
diundang secara pribadi oleh Shihoko.
“Ah, aku bisa menolaknya jika kau tidak mau.”
“A-Aku tidak membencinya! Aku merasa senang tentang
itu.”
Mahiru menggelengkan kepalanya dengan kuat, rambutnya
berkibar seperti ombak, aroma sampo menyengat hidungnya.
“Hmm, aku akan bertanya pada ibuku, meski dia mungkin
lebih dari senang untuk menyambutmu.”
“…Terima kasih banyak.”
“Akulah yang seharusnya berterima kasih padamu karena
telah membantuku meringankan beban penderitaan.”
“Astaga.”
Amane ditampar ringan pada siku.
Tentu saja, Amane tidak merasa sakit, hanya sejumput,
tapi itu sedikit buruk untuk hatinya.
Ketika Mahiru mulai sedikit melakukan skinship, jantungnya mulai berdebar
kencang.
“... Amane-kun?”
“Ti-Tidak, bu-bukan apa-apa.”
“Kamu mengatakan itu, tapi pandangan matamu kemana-mana
...”
“Tidak juga. Ah, lihat, kau mendapat pesan. ”
Amane tidak ingin menunjukkan betapa goyahnya dirinya
ketika mencoba mengubah topik pembicaraan, dan menunjuk ke smartphone yang
bergetar dan berkedip.
“Apa ini?” Mahiru tampak tak percaya ketika dia
mengarahkan perhatiannya ke tempat lain, dan membuka aplikasi smartphone.
Amane pikir tidak sopan rasanya melihat pesan itu, dan Ia
benar-benar tidak ingin menatap mata Mahiru, jadi Amane melihat ke tempat lain
... lalu kemudian mendengar bunyi gedebuk, dan mengalihkan pandangannya kembali
ke arah Mahiru.
Ia pensaran apa yang terjadi, dan menoleh padanya, lalu
tertegun.
Mahiru menjatuhkan
smartphone-nya ke bantal di bawah lututnya, memberikan tampilan seperti seorang
anak yang hilang.
Dia tidak berlinang air mata, dan tidak mengerutkan
bibirnya ... tapi kesan yang dia berikan adalah bahwa dia bisa hancur kapan
saja bila disentuh.
Kapan terakhir kali Amane melihat wajah Mahiru yang seperti
itu?
Ya, itu sangat mirip saat mereka pertama kali berbicara
satu sama lain—
“... Mahiru?”
“Tidak, bukan apa-apa. Tolong jangan khawatir.”
Sebelum Amane bisa bertanya apa pun, dia menjawab dengan
suara kaku.
“Maaf, aku harus kembali sekarang. Aku punya
sesuatu, dan aku tidak bisa membuat makan malam. Aku benar-benar minta
maaf.”
Mahiru memberitahu sebelum Amane bisa menyela, dan dia
dengan cepat membereskan barang-barangnya sebelum pergi.
Tangan Amane terentang, tetapi orang harus bertanya-tanya
apakah dia menyadarinya, atau pura-pura tidak. Telapak tangannya yang
terentang hanya meraih udara kosong.
(... Kenapa tiba-tiba dia berubah begitu?)
Pasti pemicunya adalah pesan yang barusan dia terima.
Amane tahu hanya ada satu kemungkinan mengapa Mahiru
membuat ekspresi seperti itu.
“... Orang tuanya.”
Mahiru tidak memberi tahu orang lain tentang cara
menghubunginya, dan hanya sedikit yang tahu ID-nya.
Amaen tahu yang punya ID-nya cuma ada dirinya, Shihoko,
Chitose, Itsuki, dan beberapa gadis berbibir rapat. Satu-satunya yang lain
adalah orang tuanya.
Dengan asumsi bahwa orang tuanya telah menghubunginya.
Sampai hari sebelumnya, dia tidak mengatakan
apa-apa. Dia tiba-tiba berkata dia punya sesuatu yang mendesak, dan
lari; mungkin dia ingin bertemu orang tuanya
Amane tahu dia punya hubungan buruk dengan orang tuanya,
dan hanya bisa menyimpulkan bahwa merekalah alasan dibalik ekspresinya tadi.
Ia bisa menyimpulkan, namun tidak bisa melakukan apa-apa.
“... Mahiru.”
Ketika Amane melihat dia pergi, dia melihat wajah
berkerut. Meski begitu, Ia tidak bisa mengatakan apa-apa.
Ia hanya bisa bergumam pasrah pada nama seorang gadis
yang tidak ada, dan membanting tinju ke bantal yang pernah mengangkat lututnya.
Cuaca hari itu sangatlah buruk.
Awan gelap bisa terlihat di luar jendela, tidak ada sinar
matahari yang terlihat. Jika ada sesuatu yang jatuh dari langit, itu pasti
akan menjadi hujan daripada cahaya.
Jadi, meski sekarang berada di paruh akhir bulan Maret,
Amane merasa sedikit kedinginan.
Ia menyalakan pemanas, dan duduk di sofa, tetapi sangat
gelisah. Matanya akan melihat ke arah apartemen Mahiru.
Kemungkinan orang tua Mahiru berencana untuk bertemu
dengannya.
Mahiru bilang dia takkan mampir untuk membuat makan
malam, karena dia tidak ingin menunjukkan emosinya setelah pertemuan,
sepertinya.
Amane merasa tidak nyaman memikirkan bagaimana Mahiru
akan terlihat terluka, seolah-olah ada duri di dalam dirinya.
Ia benar-benar khawatir, dan bahkan mengiriminya pesan 『jika terjadi sesuatu, hubungi aku』.
Amane tidak bisa gelisah terus, jadi untuk saat ini, Ia
pergi ke supermarket untuk mengamankan makan malamnya.
Tapi bahkan saat berbelanja, ekspresi Mahiru tetap
terbayang-bayang di pikirannya. Akan agak menyakitkan baginya untuk menunjukkan
wajah seperti itu kepada orang tuanya.
Amane secara naluriah menggigit bibirnya ketika mengingat
ekspresi Mahiru yang tampak takut akan sesuatu.
Ia mengubah ekspresinya menjadi normal agar tidak
terlihat mencurigakan, tapi suasana hatinya tidak membaik.
Amane secara agresif memasukkan lauk ke dalam keranjang
belanja, dan menyesalinya karena sedikit hancur.
Haa, Ia
menghela nafas, menyelesaikan pembayaran untuk barang-barang belanjaan, dan
perlahan-lahan kembali ke rumah di bawah langit mendung. Kemudian, ketika
Ia hendak masuk lift, Ia melihat ada sesuatu yang salah.
Ia pindah dari koridor menuju apartemennya, dan
bersembunyi.
Ada dua orang berdiri di luar apartemen Mahiru.
Salah satunya adalah gadis dengan rambut berwarna rami
yang biasa dilihatnya, Mahiru.
Yang lainnya adalah seorang wanita yang tidak dikenal.
Meski Amane melihat dari jauh, wanita itu bisa dikatakan
cukup cantik.
Wanita itu menghadap ke Mahiru yang mungil, dan tampak
agak tinggi. Mempertimbangkan perbedaan ketinggian melawan Mahiru,
sepertinya dia setinggi pria biasa.
Meski begitu, wanita itu tampaknya tidak tinggi atau
kekar, mungkin karena proporsi tubuhnya. Dia memakai setelan bisnis yang
pas menunjukkan tubuh yang seimbang dan melengkung yang bisa disebut tipe tubuh
wanita ideal.
Rambut coklat semi-panjang yang cerah ada di pundaknya,
dan dia tampak agak muram.
Bahkan tanpa riasannya, mata yang ditutupi eyeliners
menyoroti kepribadiannya yang kuat. Tatapan tajamnya tidak pernah
menunjukkan tanda-tanda lemah saat dia menghadapi Mahiru.
Dia agak cantik, dan elok, tapi penampilan dan wataknya
jelas sangat tegas, seperti wanita karier.
Jika Mahiru bisa dikatakan lily yang polos, wanita itu
adalah mawar yang bersemangat dan glamor. Disposisi dan penampilan wanita
itu sangat berbeda.
“Kamu benar-benar tidak lucu sama sekali. Sama
seperti pria itu. Tidak ada yang lebih menyebalkan dari itu.”
Amane membelalakkan matanya begitu mendengar cacian
seperti itu dari bibir merah wanita itu.
Mengingat bagaimana dia berbicara dengan Mahiru,
tampaknya dia adalah ibunya, tapi Amane tertegun mendengar Ibu Mahiru
benar-benar mempermalukan putrinya sendiri.
Wajah dan kata-kata tersebut seharusnya tidak boleh dikatakan
orang tua kepada putrinya.
Siapa pun akan merasa terluka melihat sikap seperti itu
dari orangtua. Apa Mahiru menanggung perasaan seperti itu dari dulu?
“Mending kalau kamu menyerupai aku ... tapi kamu malah
menyerupai pria itu. Masa bodo, lagipula kita tidak akan berhubungan lagi setelah
kamu lulus dari universitas, tidak ada gunanya cari-cari kesalahan. Kirimkan
saja dokumen yang diperlukan seperti biasa. ”
“…Iya.”
“Itu saja. Jangan ganggu aku dengan hal yang tidak
perlu. ”
Mahiru menjawab dengan lembut, dan wanita itu mendengus
sebelum berbalik untuk pergi.
Dia berjalan ke aula lift, dan Amane pergi ke koridor
dengan suasana yang sedikit canggung.
Ketika mereka lewat, wanita itu melirik ke arahnya,
sebelum pergi tanpa mengatakan apa-apa.
Mahiru berdiri di sana, terdiam dan meringis.
“... Kamu mendengarnya?”
“Maaf.”
Amane tidak mau berbohong, dan meminta maaf dengan jujur.
Ia tidak berniat menguping, tapi tidak bisa pergi begitu
saja.
Dan Ia tidak bisa meninggalkan Mahiru sendirian.
“Ummm, dia siapa?”
“... Sayo Shiina. Ibu kandungku.”
Akhir-akhir ini, Mahiru sering menunjukkan ekspresi
lembut, tetapi dia tampak lebih pendiam daripada pertemuan pertama mereka,
seolah-olah akan ada derit setiap kali dia berbicara.
“Cuma memberitahu, dia sudah seperti ini dari dulu. Aku
sudah terbiasa dengan itu.”
Mahiru dengan tenang menyatakannya sebelum Amane bisa bertanya
tentang ibunya.
“Aku dibenci ibuku sejak awal. Tidak ada gunanya
mengkhawatirkannya sekarang. ”
Suaranya terdengar datar dan monoton.
Dia hanya bertindak kuat. Amane menyimpulkan jadi
setelah mendengar menghabiskan banyak waktu bersamanya, mengawasinya.
Penderitaan, rasa sakit, kesedihan — jelas sekali kalau
dia menekan emosi seperti itu.
Saat Mahiru diam-diam masuk ke kamarnya, Amane secara
naluriah meraih tangannya.
Tapi insting itu mungkin adalah pilihan yang tepat.
Jika dia membiarkan Mahiru, pikirannya mungkin berubah
menjadi yang terburuk.
Mahiru agak tercengang, dan menunjukkan senyum tipis dan
lemah, ingin melepaskan tangannya. Amane mencengkram kuat, tidak ingin
melepaskan sama sekali.
Ia memegangi pergelangan tangannya yang sangat lemah dan
tak berdaya dengan kuat, namun tidak dengan paksa. Lalu...
“Ikutlah bersamaku.”
Amane bilang kepada Mahiru dengan nada tegas, yang
biasanya tidak akan dia gunakan, dan Mahiru menunjukkan senyum canggung pada
wajahnya yang berkerut.
“... Aku, baik-baik saja, oke? Kamu tidak perlu
khawatir, Amane-kun. ”
“Aku bilang begini karena aku ingin bersamamu.”
Bahkan Amanee sendiri merasa terlalu arogan, tapi Ia
tidak punya niat untuk menarik kembali kata-katanya.
Ia menatap Mahiru dengan kuat, dan wajahnya menunjukkan
senyum yang sangat lemah, sebelum dia berhenti melawan.
Amane menganggap itu sebagai persetujuan, meraih tangan
Mahiru, dan berjalan ke tempatnya.
Ia mengundang Mahiru ke apartemennya, dan mendudukkannya
di sofa.
Dia menunjukkan senyum lemah, di ambang jatuh. Amane
duduk sambil memegang tangan Mahiru, dan memindahkan tangannya dari pergelangan
tangannya ke telapak tangannya, seakan-akan ingin membungkusnya.
Amane dengan lembut memegang tangan kecil Mahiru, dan
alisnya terkulai.
“... Apa kamu mau mendengar kata-kata tak berguna dari aku?”
Sepuluh menit berlalu sejak mereka tiba di apartemen
Amane, sebelum Mahiru mulai mengaku.
“Orang tuaku tidak menikah karena cinta. Aku tidak
akan menyebutkan detailnya, tapi mereka menikah karena masalah keluarga, dan
kepentingan bersama. ”
Mahiru dengan tegas mengaku, tapi alasan pernikahan
seperti itu semakin jarang terjadi di jaman modern begini.
Biasanya, orang akan menikah karena cinta. Bukan
tidak mungkin untuk menikah karena kepentingan bersama, tapi akan terasa sangat
kuno di jaman sekarang.
Sepertinya Mahiru adalah seseorang dari kalangan atas,
jadi tentu saja orang tuanya sama. Amane tidak bisa mengatakan itu
benar-benar mustahil bagi mereka untuk menikah karena alasan seperti itu .....
tapi meski begitu, Ia merasa hal tersebut masih sulit dipercaya.
“Jadi… sebenarnya, mereka tidak ingin punya anak, tapi
terjadilah ketidaksengajaan. Mereka melahirkan aku, dan mereka tidak punya
pilihan selain menawarkan uang. Mereka tidak pernah punya niat untuk
membesarkan aku.”
“Dari awal, mereka tidak ingin membesarkan anak.”
“... Biasanya, mereka tidak pulang. Walau mereka
pulang, mereka hanya memperlakukan rumah
itu sebagai hotel.”
Aku jarang melihat wajah orangtuaku sejak aku
masih kecil, gumam Mahiru, terlihat sangat lemah.
“Aku tidak ingat mereka melakukan sesuatu yang khas dari
orangtua. Orang tua yang membesarkanku sebenarnya adalah pembantu rumah
tangga. Ibu berselingkuh di luar, jadi dia mencari di sana; Ayah
sering sibuk dengan pekerjaannya, dan tidak mau menatapku. Mungkin Ia juga
berselingkuh ... yang mereka lakukan hanyalah memberiku uang dan
menyingkirkanku. Aku tidak dibutuhkan. Tidak peduli bagaimana aku
bekerja keras, tidak peduli bagaimana aku mencoba menjadi anak yang baik, mereka
tidak akan melihatku. ”
Pada titik ini, Amane akhirnya mengerti mengapa Mahiru
memproyeksikan dirinya sebagai gadis baik.
Mahiru merindukan orang tuanya untuk melihatnya, walau
sedikit.
Jika dia bertingkah sebagai anak yang baik, mereka
mungkin menunjukkan kepedulian padanya, dan memuji dia — bahkan dengan harapan
yang samar itu, dia mempertahankan perilaku seperti itu, dan bahkan sampai saat
ini, tak bisa berhenti.
Dia terus melanjutkan bertingkah anak baik karena dia
masih berpegang teguh pada kemungkinan kecil itu, atau mungkin itu adalah
topeng yang harus dia pakai agar tidak ada yang bisa melihat isi hatinya.
Amane tidak tahu alasannya, Ia mengerti bahwa Mahiru
benar-benar tidak menginginkannya.
“Pada akhirnya, mereka tidak ingin melihatku. Meski aku
telah tumbuh menjadi cantik, pandai dalam belajar, mahir dalam olahraga dan
pekerjaan rumah tangga, orang-orang itu tidak pernah memandangku ... kerja
kerasku terbuang sia-sia, tapi aku masih bekerja keras. Aku ini bodoh,
bukan? ”
Meski aku tahu kalau kerja kerasku tak pernah
terbalas.
Ratapan ini menyayat hati Amane.
“Mereka berdua tidak bisa bercerai karena masih ada
aku. Mereka tidak mau menjadi waliku, karena itu akan menimbulkan masalah
bagi urusan mereka dan pekerjaan mereka. Aku tidak bisa melihat kakek
nenekku. Aku telah menunggu sampai aku lulus dari universitas. Begitu
aku bisa mandiri, aku tidak punya hubungan lagi dengan mereka.”
“Itu…”
“... Aku terkejut saat mendengar ... dari ibuku kalau aku
adalah anak yang tidak diinginkan. Pikiranku jadi kosong, dan pergi ke
ayunan di tengah hujan.”
Setelah mendengar kata-kata itu, Amane akhirnya mengerti
mengapa dia berada di bawah guyuran hujan di taman beberapa bulan yang lalu.
Saat itu, Mahiru terguncang oleh kata-kata orang tuanya,
berkeliaran dengan sedih, dan tiba di sana.
Dia merasa tidak punya tempat untuk pergi, dan menunjukkan
wajah seperti itu — ekspresi seperti anak yang hilang, tidak dewasa dan
kepasrahan.
Dia tidak punya siapa-siapa untuk diminta bantuan, dan
tidak bisa menerima kata-kata kejam seperti itu. Dia bingung, jadi dia
pergi dan berakhir ada di sana.
Amane membayangkan pikirannya saat itu, rasa getir
menyebar di mulutnya.
Sepertinya Ia tanpa sadar menggigit bibirnya, rasa sakit
kecil dan aroma unik menyebar di mulut. Kebenaran yang tidak masuk akal tersebut
mungkin secara tidak sengaja menyebabkan kemarahan muncul di dalam hatinya.
“... Jika mereka merasa tidak nyaman, mereka seharusnya
tidak melahirkan aku.”
Gumaman yang benar-benar lemah tampak sama menyakitkannya
seperti pasak yang dipalu ke dadanya, membuat Amane tidak bisa bergerak sama
sekali.
Pada titik ini, hatinya dipenuhi dengan amarah yang
membuat pikirannya kosong, diarahkan ke arah orang tua kandung Mahiru.
Dia menjadi sangat baik karena dia tidak pernah menerima
cinta dari orang tuanya, tidak mampu menunjukkan betapa rapuhnya dia. Dia
bertingkah tangguh, tapi jauh di lubuk hatinya, dia menangis, dan tidak bisa
meminta bantuan kepada siapa pun.
Dia melepas topengnya sebagai anak yang baik, dan
terlihat sangat rapuh dan hampa, di ambang kehancuran.
(Tega-teganya mereka melakukan ini sampai segitunya?)
Amane ingin bertanya dengan lantang, tapi dua orang yang
menelantarkan Mahiru sama sekali tidak hadir.
Terlebih lagi, Ia tidak tahu harus berbuat apa.
Ia sangat marah pada lingkungan keluarga yang keras, tapi
Amane hanyalah orang luar bagi Mahiru.
Tidak baik bagi Amane untuk mencampuri urusan keluarga
Mahiru, dan bahkan mungkin membuatnya makin rumit. Ia tidak bisa melakukan
apa pun karena Amane menganggap bahwa apa pun yang dikatakannya berpotensi
menyakiti perasaan Mahiru.
Tapi jika Ia meninggalkan Mahiru terus seperti ini,
tampaknya dia akan lenyap di telan udara — Amane meletakkan selimut di
sebelahnya di atas kepala Mahiru.
Ia menutupi dirinya, wajahnya tersembunyi di bawah
bayangan. Sementara Mahiru tetap kebingungan, Amane membawa tubuh rapuh
tersebut ke dalam pelukannya.
Ini adalah pertama kalinya Amane mengambil inisiatif
untuk mendekap, tubuh mungil tak berdaya yang sepertinya cenderung akan rusak jika
Ia menggunakan terlalu banyak tenaga.
Amane memeluk Mahiru dalam cengkeramannya, Mahiru tidak
pernah mengandalkan siapa pun, dan
selalu bertahan sendirian.
“Eh, Am-Amane-kun ...?”
“... Aku pikir aku mulai mengerti mengapa kepribadianmu
seperti ini.”
“Bagian tentang diriku yang tidak lucu?”
“Bukan itu ... lebih tepatnya, seberapa sabarnya kau,
tapi begitu keras kepala.”
Dia harus bertahan, karena jika pernah menunjukkan
kelemahan, dia pasti akan tumbang.
Pengurus rumah tersebut tampaknya benar-benar peduli pada
Mahiru, tapi dia hanya orang luar yang disewa, tidak mampu membantu Mahiru.
Jadi Mahiru hanya bisa menahan ini diam-diam, tanpa bisa
meminta bantuan pada siapa pun, dan karena itu, dia akhirnya menipu dirinya
sendiri.
“... Aku tidak bisa mencampuri keluargamu, jadi aku tidak
akan menceramahimu.”
Sebagai orang luar, Amane tidak boleh berbicara tentang
sesuatu yang sepenting masalah keluarga.
Tapi bukan berarti Ia tidak bisa membantu dan mendukung
Mahiru.
“... Aku akan pura-pura tidak melihat, jadi menangislah
sesukamu. Kau akan tercekik bila menahan semuanya dengan wajahmu itu.”
Sejujurnya, Amane benar-benar tidak ingin Mahiru
menangis.
Tapi jika beban ini terus menumpuk, dia akan hancur
berantakan suatu hari nanti.
Oleh karena itu, Amane berharap dia
menangis; menumpahkan semua stres yang dia alami.
Jika Mahiru merasa menderita, Amane ingin dia
membicarakannya; jika Mahiru merasa kesepian, Amane ingin dia
mengekspresikan kesepiannya. Hanya dengan begitu Amane bisa berada di
sisinya, dan mendengarkannya.
Amane tidak bisa berbuat apa-apa terhadap penderitaannya,
tapi setidaknya, Ia bisa berbagi sebagian dari beban yang Mahiru pikul.
Pada satu titik, Amane menganggap dirinya terlalu
songong, tetapi Mahiru mulai bergerak dalam pelukannya, membenamkan wajahnya ke
dada Amane, dan menghilangkan semua kekhawatirannya.
“... Kamu bersumpah akan merahasiakannya?”
“Aku tidak melihat. Aku tidak tahu. “
“... Kalau begitu, pinjami aku ... sebentar.”
Amane tidak menjawab gumamannya yang bergetar, hanya
meletakkan selimut di atas kepalanya sekali lagi sebelum merangkul kembali
orang yang tak berdaya di hadapannya.
Setelah beberapa saat, dia bisa mendengar isakan samar.
Tidak keras, tapi jelas ada suara isak tangis, dari
Mahiru.
Mahiru tidak pernah meratapi nasibnya, dan menanggungnya
sendirian. Setelah mendengarnya memohon padanya untuk 'mendukung', Amane sendiri
merasa ingin menangis ketika Ia memeluk punggung kecilnya.
“... Kamu masi melihatnya.”
Dia tidak menangis lama.
Amane tidak melihat jam, tapi mungkin sekitar sepuluh
menit atau lebih.
Ia merasa tak masalah buat Mahiru untuk melepaskan semua
beban dan penderitaan selama 16 tahun yang dia alami, tapi dia mungkin terlalu
lelah karena menangis begitu lama, dan tubuhnya menghentikan air
mata. Kelelahan mental mungkin melekat pada kelelahan fisiknya, dan otaknya
mungkin terpaksa tidur.
Mahiru mengangkat wajahnya ke arah Amane, matanya masih
lembab, tapi telah mendapatkan kembali sedikit kesegaran ketika menatap mata
Amane.
“Yah, karena kau ada di dadaku. Aku memastikan untuk
tidak melihat sebelum kau mulai menangis.”
Amane melepas selimut yang menutupi kepala Mahiru, dan
melihat senyum kecil di wajahnya.
“Amane-kun.”
“Apa?”
“…Terima kasih banyak.”
“Aku tidak tahu, untuk apa?”
Aku ingin melakukan ini, dan aku tidak ingat
melakukan hal special yang layak untuk berterima kasih kepadaku. Amane memalingkan kepalanya, dan sekali lagi, Mahiru
membenamkan wajahnya ke dadanya.
“Tolong biarkan aku melakukannya sedikit lebih lama
lagi.”
“…Oh.”
Ia tidak bisa meninggalkan Mahiru karena dia sedang dalam
kondisi ini. Bagaimanapun juga, Amane ingin mendukungnya.
Amane mencoba bersikap keren saat memeluknya dengan erat,
dan dengan lembut mengelus kepalanya.
Jika tidak ada orang lain yang memuji Mahiru, Amane akan
melakukan peran kehormatan itu.
Kau benar-benar bekerja keras. Kau tidak
harus memaksakan diri di depanku. Pikir
Amane sambil membelai kepalanya dengan lembut. Sepertinya Mahiru sudah lumayan
tenang, menatap Amane dengan ekspresi mirip seperti seseorang yang kekuatan
yang dihisap darinya.
Tapi mungkin dia hanya sedikit terlalu khawatir tentang
berbagai hal, karena dia tampaknya tidak ceria.
“... Apa yang harus aku lakukan di masa depan nanti?”
Mahiru bergumam pelan, menunjukkan senyum gelisah ke mata
Amane.
“Aku sudah berusaha keras, tapi mereka berdua tidak
pernah peduli padaku. Yang lain juga memanggilku Tenshi, tapi mereka tidak
pernah benar-benar membutuhkan u. Yang mereka sukai adalah apa yang mereka
butuhkan, Tenshi Mahiru Shiina ... bukan diriku yang sebenarnya. Aku adalah
alasan untuk hasil ini, tapi itu hal yang bodoh, bukan? Aku menderita
karena ini.”
Aku sendiri yang membuat diriku putus asa, ujarnya dengan pahit, dan bersandar di dada Amane.
“Diriku yang sebenarnya sama sekali tidak lucu, pemalu
egois, dan punya kepribadian tidak menyenangkan ... aku sama sekali tidak
menarik dalam hal apa pun.”
“Yah, tapi aku menyukai itu.”
Amane tanpa sadar mengatakan apa yang Ia pikirkan.
Mahiru langsung berkedip, dan Amane balas menatapnya, terus
melanjutkan,
“Yah, ada kalanya kau tidak imut, tapi aku sering
berpikir bahwa ya, kau itu imut, aku ingin melindungimu. Selain itu,
kepribadianmu yang terus terang adalah sesuatu yang aku sukai, dan mana ada
orang yang punya kepribadian buruk akan benar-benar mencemaskan hal itu.”
Pemikiranku terlalu pesimis, Amane menjentikkan dahi Mahiru dengan
ringan. Mahiru agak tercengang, ekspresi negatif langsung lenyap dari
wajahnya.
.
Bagi Amane, penghinaan diri Mahiru benar-benar sesuatu yang tidak bisa Ia
mengerti sama sekali.
Tidak peduli siapa yang melihatnya, semua orang bisa tahu
kalau dia adalah gadis yang pekerja keras dan baik hati. Dia mungkin
sedikit terlalu blak-blakan dalam perkataannya, tapi dia masih bersikap masuk
akal, dan mengatakan hal yang cerewet demi kebaikan orang lain.
Dia bilang kalau dia pemalu, tapi itu bukan hal yang buruk. Dia
hanya terlalu sering tersakiti, dan bersikap defensif sehingga dia takkan
terluka lagi.
Dan jika dia benar-benar tidak lucu, Amane takkan menjadi
begitu gelisah dan gugup karena dia.
Sebaliknya, Amane berharap dia menyadari bahwa dia lebih
manis jika menjadi dirinya sendiri.
“Jangan meremehkan dirimu sendiri. Ada satu cowok di
depanmu yang suka melihat dirimu yang sebenarnya. ”
Mahiru mungkin kurang memiliki harga diri karena dia merasa
tidak dicintai. Namun, Amane bukan satu-satunya yang menyukainya. Ada
banyak orang di sekitarnya yang merasakan hal yang sama, dan Amane benar-benar
menyesali kepercayaannya yang besar.
Chitose juga merasa bahwa Mahiru yang asli itu imut, dan terus
menempel pada. Chitose tidak sekadar melihat penampilan orang saja, tidak
peduli bagaimana Ia memikirkannya.
Amane menatap mata berwarna karamel Mahiru, menyiratkan
begitu, dan pandangan Mahiru mulai berkeliaran kemana-mana.
Selanjutnya, ada warna merah kecil di sudut matanya, dan
Mahiru langsung menutupi wajahnya.
Siapapun bisa mengatakan kalau wajahnya sama merahnya
dengan warna mawar, dan pada saat Amane menyadari kalau warna merah di
mukaMahiru mungkin karena malu, dia mengerut, matanya hanya berkeliaran.
Melihat keadaan Mahiru, Amane menyadari bahwa Ia mungkin
mengatakan kata-kata yang kurang tepat, dan wajahnya juga ikutan memerah.
“Ti-Tidak, kau tahu ‘kan, Chitose dan yang lainnya
merasakan hal yang sama juga! Ak-Aku tidak bermaksud hal lain, kok! Bukan
hanya aku! Ibu, ayah, Chitose dan Itsuki menyukai dirimu apa adanya! Jadi,
sebenarnya, aku pikir ... kepribadianmu lebih populer daripada yang Kau
pikirkan.”
Amane buru-buru menjelaskan, dan Mahiru akhirnya
menatapnya.
Walau untuk sesaat, fakta bahwa kesalahpahaman terjadi
tidak pernah berubah, dan dia bergetar dengan wajah memerah, mungkin merasa
tersipu dengan kata-kata Amane. Amane juga merasa sangat malu, tetapi
Mahiru mungkin lebih merasa malu ketimbang dirinya, karena dia yang mendengar
kata-kata ini.
“Erm, jika kau tidak bisa menahannnya, atau sudah tidak
sudi dengan orang tua itu, kau bisa bersembunyi di rumah kami. Orang tuaku
akan melindungimu begitu mereka mengetahui situasimu. Baiklah, anggap saja
itu sebagai penyembuhan. ”
“... Nn.”
“Orang tuaku sangat menyukaimu, dan aku merasa mereka
akan membiarkanmu tinggal bersama mereka selamanya ... sepertinya mereka tidak
akan membiarkanmu pergi sampai kau mendapatkan kebahagiaan. Kami tidak
dapat mengganggu urusan keluarga mu, tetapi kami akan terus melindungimu sampai
kau mengambil keputusan, atau mendukungmu sepenuhnya.”
“Nn ...”
Amane melakukan yang terbaik untuk menjelaskan dan
memadamkan kesalahpahaman, dan Mahiru sekali lagi meneteskan air mata.
“Ke-Kenapa kau malah menangis lagi?”
“Karena aku merasa diberkati ...”
“Yah, karena dari dulu kau belum beruntung, jadi kau bisa
sedikit lebih egois.”
Dia kaya secara finansial, namun tidak menerima apa
pun. Dia tidak menerima cinta yang layak diterimanya, dan sungguh
menakjubkan bahwa dia berhasil tumbuh dengan kepribadian baik seperti sekarang
ini.
Amane merasa bahwa Mahiru bisa mencintai siapa saja
sesuka hatinya, dan menjadi impulsif, setelah semua kesulitan yang dia
derita. Karena tidak ada orang lain yang mendengar kata-katanya, Amane memutuskan
untuk menebusnya, walaupun sedikit.
“... Jadi, boleh aku meminta sesuatu?”
“Apa?”
Selama aku bisa melakukannya, dia menyindir, tetapiMahiru hanya tersenyum, “ini
adalah sesuatu yang hanya bisa di lakukan olehmu, Amane-kun” dan bergumam,
“Tolong lihatlah aku lagi.”
“Aku melihatmu bekerja keras. Aku takkan tahu ke
mana kau akan lari jika aku membuang muka, jadi aku akan terus mengawasimu. ”
“... Tolong tangkap aku dengan baik.”
“Aku akan memegang tanganmu kalau begitu.”
Apa itu saja? Amane melihat ke arah wajah Mahiru, yang balas menatap,
sebelum mulai malu-malu.
“Untuk hari ini, tolong tangkap aku dengan tubuhmu.”
Begitu dia mengatakan itu, Mahiru memeluk erat-erat Amane, membenamkan wajahnya ke dada Amane. Jantung Amane berdebar sesaat, tapi Ia pikir tidak baik punya pemikiran jahat dalam situasi yang begini, jadi Amane menekan pemikiran itu sebelum merangkul tubuh mungil itu sekali lagi.
Dude
BalasHapusternyata masalah miharu lebih kelam dari pada yg we bayangin
sungguh mengharukan...
BalasHapusT_T parah si orang tuanya,dah lah kasih ae miharu ke amane
BalasHapusBanyak kalimat yg pengen banget dilontarkan setelah baca ini, ada sudut pandang Ku yang berkata "beginilah sebab Mahiru benar-benar cinta pada Amane, karena Mahiru yang gak pernah dapat cinta sedari kecil selain dari pembantu rumah tangga nya"
BalasHapusDilain sisi juga "Waduhh terharu banget, memang sudah menerka seberapa kelam masa lalu Mahiru, dan ngomong-ngomong juga Amane kalimat nya udah kayak Lamaran banget sih btw, malah tinggal Lamar aja itu"
Speechless, hanya bisa diam tak berkata-kata
BalasHapusBuat ane, permasalahannya cukup standar dan si Author pengen Maen aman.
BalasHapusBisa aja permasalahannya lebih bermasalah sampe bisa menghalangi cinta mereka berdua, dan si author bisa pake efek jembatan Gantung buat memperdalam story. Tapi ini cman Romcom bukan drama berat, dan secara untuk Modern society hal ini sering terjadi dikalangan atas tapi nggak untuk menengah kebawah yang punya masalah finansial ketimbang Psikologis.
Kok dada gua nyesek ??
BalasHapusKenapa sudah dilamar malah elu beralasan Amane-kun, jadilah otoko sejati bhahahaha
BalasHapusDada gue cok
BalasHapusMantap
BalasHapusChapter ini bener2 nyentuh banget sampai gak sadar gw ikutan nangis walaupun gw cowok awoakwowk.. apresiasi banget buat authornya yang buat ceritanya jadi semenyentuh ini, gak nyangka permasalahan Mahiru lebih berat dari yang gw prediksi
BalasHapusIy, coba dia di jodohin sma orng lain g kuat gua bacanya
BalasHapusT_T
BalasHapusAda rasa nyesek dihati, saat bener² mendalami ceritanya menjadi MC.
BalasHapusNenanginnya kek lamaran dong
BalasHapusKalo di adaptasi di animnya parah si ni chapter, denger backstorynya mahiru bener" bikin sedih+terharu
BalasHapushttps://uploads.disquscdn.com/images/0c429eaf72fcf053ecdf24902c8f61dbc80613fdf4dc92c578ef111b642b6f38.png
BalasHapusParah emak nya
BalasHapusUwu(tapi sad njir)
BalasHapusortu mahiru buta anj, ngelakuin itu hanya untuk ke egoisan masing2
BalasHapusIni genre nya Romcom gan, bukan romance drama, jadi pas lah nggak terlalu bikin drama yg berat.
BalasHapusAmane kun skida ><
BalasHapuskesian mahiru
BalasHapusUwooogh
BalasHapus