Kimi no Hanashi Chapter 04 Bahasa Indonesia

Chapter 04 - Tentu Saja, Putih Kosong



Karena aku tidak punya kecenderungan hobi membaca, “perpustakaan” buatku berarti “perpustakaan sekolah,” dan “perpustakaan sekolah” berarti “tempat perlindungan.” Dari SD sampai SMA, perpustakaan adalah semacam tempat perlindungan, serta semacam pusat penahanan. 

Siswa yang tidak memiliki tempat di kelas, tidak dapat menyesuaikan diri dengan yang lain, biasanya melarikan diri ke perpustakaan dulu. Siswa yang tidak punya tempat di perpustakaan akan melarikan diri ke ruang UKS. Mereka yang tidak punya tempat bahkan di UKS akan bersembunyi di rumah. Mirip seperti dari pusat penahanan ke kurungan, dan dari kurungan ke penjara. Setidaknya ada beberapa siswa yang tiba-tiba berhenti hadir, tapi sebagian besar yang tidak kompatibel menjalani proses semacam ini untuk menarik diri dari kehidupan sekolah. Dan kebanyakan dari mereka tidak pernah lagi menginjakkan kaki di ruang kelas. 

Sebagian besar “penghuni perpustakaan” akan kembali ke ruang kelas setelah beberapa jam. Sebagian kecil yang tumpah dari perpustakaan menjadi "penghuni UKS," dan jarang ada yang merangkak keluar dari sana. Siswa yang sering mampir di perpustakaan selama berbulan-bulan hampir tidak pernah ada; kecuali mereka adalah spesies pembaca yang benar-benar terancam punah, atau orang aneh sepertiku yang terlalu cocok untuk perpustakaan. 

Selama masa SMP dan SMA, aku menghabiskan sebagian besar waktu istirahat makan siang panjangku di perpustakaan. Tapi aku tidak bisa mengingat secuil kenangan untuk meminjam salah satu buku di sana. Aku hanya melakukan satu dari dua hal: belajar, atau tidur. 

Salah satu alasannya adalah kurangnya minat pada buku, tapi yang lebih penting, aku merasa seperti aku ingin selalu tetap sadar akan fakta bahwa aku bukanlah seseorang yang menggunakan perpustakaan sebagaimana dimaksud. Aku tidak ingin disamakan dengan orang-orang yang dengan teliti membaca buku-buku dengan wajah yang menyiratkan, “Aku di sini karena aku ingin membaca, bukan seperti para pengecut yang melarikan diri dari kelas.” (Walau dipikir-pikir lagi sekarang, apa yang mereka lakukan dan apa yang aku lakukan pada dasarnya sama.) 

Jadi meski itu adalah satu-satunya bentuk di mana aku peduli keberadaan perpustakaan, pada hari ini, aku datang ke perpustakaan prefektur dengan motif yang jelas. Tentu saja aku tidak datang untuk memeriksa buku. Aku mungkin akhirnya akan melakukannya, tapi ada sesuatu yang ingin aku coba terlebih dahulu. 

Aku menunjukkan kartuku di meja depan dan mengisi formulir untuk meminta izin menggunakan database. Aku bisa mengakses database bisnis medis dari komputer perpustakaan. Itu sebabnya aku tidak pergi ke perpustakaan kota terdekat, tapi ke perpustakaan prefektur yang jauh. Penelitian terkait Mimori telah membuat kemajuan yang paling cepat dalam beberapa tahun terakhir, jadi aku ingin mendapatkan informasi paling terkini yang aku dapat dari majalah teknis. 

Terakhir kali aku datang ke sini, aku meneliti keamanan Lethe. Tujuanku hari ini adalah untuk meneliti bagaimana implan Mimori dapat menyebabkan kekacauan dalam kenangan.

Untuk lebih spesifik, inilah yang ingin aku ketahui. Apa orang bisa salah mengira realitas sebagai Mimori? Apa mungkin mereka bisa jadi yakin bahwa masa kecil mereka yang sebenarnya adalah produk Green Green

Tentu saja, bukannya aku percaya gadis itu. Tapi mengingat keraguanku tadi malam, aku tidak dapat menyangkal ada bagian diriku yang masih ingin mempercayai "teori realitas." Jika aku benar-benar percaya dia penipu, aku seharusnya tidak terlalu buruk. 

Aku ingin bukti yang jelas dan kuat. Aku perlu keyakinan bahwa Mimori adalah Mimori tidak peduli apa, dan tidak ada hubungannya dengan kenyataan. Kalau tidak, cepat atau lambat aku pasti akan ditipu olehnya. 

Tidak, jika ada yang menipuku, itu adalah aku. Keinginanku bahwa semua yang perkataannya adalah benar, keinginanku bahwa gadis yang bernama Touka Natsunagi benar-benar ada, hasrat tersebut secara spontan menyebabkan kekacauan dalam ingatanku. 

Aku harus memotong harapan naifku dari akar. 

Aku mengetik beberapa istilah umum di kolom pencarian dan mencetak setiap materi yang tampak sedikit layak dibaca. Aku mencarinya selama sekitar satu jam, dan setelah memeriksa sebagian besar judul, aku mengambil dokumen-dokumen tercetak dan menuju ke ruang baca. Dan aku menghabiskan setengah hari membaca artikel-artkel itu. 

Aku menemukan beberapa kasus untuk situasi yang berlawanan. Rasanya tidak terlalu aneh untuk salah mempercayai bahwa kejadian di Mimori-mu benar-benar terjadi.Hal tersebut memberitahuku bahwa pada akhirnya, manusia hanya mempercayai apa yang ingin mereka percayai. Ketika mereka tidak sanggup pada kekejaman realitas, orang-orang akan mendistorsi indra mereka. Hal itu lebih mudah dilakukan daripada mengubah kenyataan. 

Di sisi lain, ketika aku mencari-cari lagi, aku tidak menemukan satu pun kasus dimana orang berpikir kejadian nyata adalah Mimori. Aku merasa lega. Aku berhasil menghilangkan setidaknya salah satu kekhawatiranku sejak awal. Ada kemungkinan kalau pendekatan pencarianku dilakukan dengan cara yang salah, tepi hanya mengetahui tidak ada kemungkinan kasus besar dari gejala-gejala itu sangat besar. 

Aku menarik napas dalam-dalam dan bersandar di kursi. Baru saat itulah aku menyadari bahwa di luar sudah gelap gulita. Perpustakaan telah kehilangan sekitar setengah pengunjung dari siang hari. Aku memasukkan dokumen-dokumen ke dalam tasku, memijat mataku dengan lembut, dan berdiri. 

Setelah berjalan dua langkah melewati pintu masuk otomatis, tiba-tiba aku mencium aroma harum dari malam musim panas. Aku merasa sedikit pusing, mungkin dari ketidakmampuanku untuk mengikuti jumlah informasi yang berbau, dengan asosiasi, dibawa ke pikiran. Kenangan musim panas setara 19 tahun mengalir dari ujung ke ujung, berjalan di sisiku. 

Aroma malam musim panas adalah aroma ingatan. Itulah pemikiran yang aku miliki setiap kali musim ini datang. 

Aku menaiki kereta di waktu ketika para pekerja pulang kerja dan para siswa yang pulang dari sekolah berkumpul di kereta. "Jam sibuk” mungkin tidak berarti banyak di daerah pedesaan, tapi berada di ruang tertutup dengan penumpang yang bajunya basah dengan keringat seharian membanjiri suasana hatiku. 

Aku memegang erat tali pegangan, menatap ke luar melalui jendela pada lampu-lampu kota yang lewat. Sekitar setiap lima menit, gelombang kantuk lesu datang dan pergi. Mataku yang terlalu bersemangat itu seakan-akan terjaga sepanjang malam. Namun, ada nilai dalam memiliki semacam kelelahan. Malam ini, aku mungkin bisa menghadapi penipu itu dan bahkan tidak merasa terganggu. 

Kereta berguncang parah karena butuh tikungan. Seorang pria paruh baya berdiri di sampingku kehilangan keseimbangan dan menabrak pundakku. Ia menatapku dengan kesal, tapi setelah itu, aku terpaku pada benda yang bisa aku katakan sebagai semacam majalah gosip. 

Aku pura-pura terdorong oleh seorang penumpang di sisi yang berlawanan untuk mengintip apa yang sedang dibacanya. 

Aku menduga sejak awal bahwa itu akan menjadi artikel yang tidak berharga. 

Namun, judul yang tercetak segera menarik perhatianku. 

Lelaki yang Mengira Istrinya sebagai Pengganti.

Rasa kantukku langsung lenyap dalam sekejap. 

Aku menahan diri untuk tidak berbicara dengannya pada saat itu, menunggu sampai pria itu turun. Ia lalu turun dari satu stasiun sebelum diriku. Aku mengikutinya, dan setelah melewati gerbang tiket, mencoba memanggilnya. 

“Permisi.”

Pria paruh baya itu berbalik. Setelah beberapa detik, Ia sepertinya menyadari aku sebagai penumpang yang berdiri di sampingnya saat di kereta. 

“Ya?”, ujar Pria dengan malu-malu, sangat berbanding terbalik dari sikap arogannya tadi. 

“Um, tentang majalah yang anda baca sebelumnya ...” 

Aku akan menanyakan nama majalah itu, tapi pria itu berkata, “Oh, ada sesuatu yang menarik perhatianmu?”, Dan menyerahkan majalah itu ke arahku. 

“Saya berniat membuangnya, jadi anda bisa memilikinya.”

Aku mengucapkan terima kasih dan mengambil majalah itu. Pria itu mengganti kopernya ke tangannya yang bebas dan pergi dengan anggun. 

Aku kembali melewati gerbang tiket, duduk di bangku pudar peron kereta, dan membuka majalah. Aku menemukan artikel itu dalam waktu singkat. Bahkan tidak sampai setengah halaman, tapi informasi di sana lebih berharga bagiku daripada lusinan dokumen yang sudah kubaca di perpustakaan hari ini. 

Itu adalah kisah mengenai seorang pria muda yang kehilangan istrinya. 

Dia meninggal di depan matanya dengan cara yang brutal. Akhir yang menyedihkan yang menolak rasa hormatnya sebagai manusia, dan akan membuat mereka yang menyaksikannya mengalami kesulitan mengingat bagaimana dia hidup. Tepat setelah istrinya kehilangan nyawanya, pria tersebut mulai membeli Lethe. Karena istrinya mungkin juga tidak mau suaminya terus mengingat kematiannya. 

Ini bukan seperti mereka hanya bisa mengekstrak ingatan yang menyedihkan. Jika hanya bagian kematiannya yang tidak bisa pria itu ingat, itu akan menyebabkan inkonsistensi. Ia kemungkinan akan mencoba untuk mendapatkan ingatan itu kembali. Untuk melupakannya, Ia harus benar-benar lupa semuanya. Segala sesuatu sejak hari Ia bertemu istrinya, sampai pada hari mereka berpisah. 

Dan itulah yang pria itu lakukan. Ia menggunakan Lethe untuk menghapus semua kenangan yang berhubungan dengan istrinya. 

Tapi, meski ingatan itu sudah menghilang, rasa kehilangan yang Ia rasakan masih membekas, seperti kehilangan setengah tubuhnya, tidak pernah menghilang. Meski begitu, Ia tidak berkeinginan untuk menikah lagi (meski Ia pikir ini akan menjadi pernikahan pertamanya). Sama seperti rasa kehilangan, rasa takut kehilangan pasangannya juga terukir sangat dalam di otaknya. 

Pilihan yang diambil pria itu adalah menggunakan Honeymoon; yaitu, untuk mendapatkan Mimori dari perkawinan fiktif. Satu bulan setelah menerima konseling di klinik, Honeymoon yang dibuat berdasarkan keinginan permintaannya tiba. Rasanya pas sempurna ke dalam lubang di hatinya. Ia bahkan tidak bisa merasakan tangan teknisi Mimori di dalamnya. Ini adalah persis kenangan yang aku cari. Pria tersebut mencintai kenangan palsu dari istrinya, dan menemukan kedamaian hati di dalamnya. 

Namun, tak lama kemudian, Ia mulai bermimpi buruk. Ia tidak bisa mengingatnya saat terbangun, tapi Ia setidaknya ingat kalau Ia mengalami hal yang sama berulang kali. Rasanya seperti itu berisi semua kejahatan di dunia, dan Ia menangis di bantalnya sejak Ia tertidur sampai terbangun. 

Dua tahun kemudian, pria tersebut mengetahui bahwa kenangan yang Ia pikir sebagai Mimori adalah masa lalunya yang asli. Apa yang Ia gunakan pada hari itu bukan Honeymoon, tapi Memento. Ia bukan dikirimi nanobots yang menanamkan Mimori, tetapi nanobots yang membawa kembali ingatan terhapus. Pihak klinik mencampuradukkannya dengan pelanggan lain yang memiliki nama yang mirip. Orang yang Ia pikir adalah istri fiksinya, ternyata sebenarnya istri sahnya yang sudah meninggal. 

Sayangnya, artikel itu tidak mengungkit apa yang pria itu lakukan setelah mengingat semua ini - apa Ia memutuskan untuk mengambil Lethe lagi atau tidak. 

Setelah membaca artikel itu tiga kali, aku mendongak ke atas. Kereta yang datang sepuluh menit kemudian sangat lengang, dan semua penumpang tampak kelelahan. Aku duduk di samping, memejamkan mata, dan tenggelam dalam pemikiranku. 

Aku tidak menjamin artikel itu adalah kisah nyata. Mungkin itu hanya karangan yang dibuat oleh penulis, tanpa dasar yang jelas. 

Tapi rasanya masih masuk akal bila hal semacam itu bisa terjadi. Kemampuan Memento untuk memulihkan ingatan yang tidak sempurna. Jika kau masih kehilangan “Ingatan yang menghapus ingatanmu” dan hanya dapat mengingat bagian inti, wajar saja untuk menganggap itu adalah Mimori

Sekarang aku kembali ke titik awal. Tidak, mungkin itu lebih buruk dari yang awal. Aku terpesona oleh teori baru, teori ideal yang aku susun. Mimori yang aku pikir produk Green Green adalah kenangan asli yang diperbaiki oleh Memento; Aku hanya melupakan hal itu sementara karena Lethe. Jadi hari-hari yang menakjubkan itu bukanlah khayalan semata, karena teman masa kecilku, sosok Touka Natsunagi benar-benar ada - sayangnya, kemungkinan itu membuat hatiku berbunga-bunga. 

 

*****

 

Hanya karena aku tidak punya kecenderungan hobi membaca, bukan berarti aku memiliki kecenderungan untuk mendengarkan musik juga. Di malam yang sunyi ini, aku mungkin mendengarkan musik dari stasiun radio, tapi cuma itu saja. Aku tidak pernah menghabiskan uang untuk musik. Jadi aku tidak tahu lagu apa yang populer atau klasik. 

Tapi aku bisa langsung mengingat judul lagu itu. 

Gadis itu menunggu di kamarku lagi hari ini. Sambil berdiri di dapur menyiapkan makan bersama, dia bersenandung. 

Itu lagu lama. Lagu yang sering Touka Natsunagi senandungkan. Ayahnya adalah seorang kolektor piringan hitam, jadi dia punya sedikit pengetahuan tentang musik. 

Kenangan nostalgia menstimulasi Mimori-ku. 

Aku mencium aroma buku-buku tua. 

…………………………

“Ketika aku masih kecil, aku sama sekali tidak mengerti liriknya,” ujar Touka, setelah mengangkat pin rekaman. 

“Lagu ini punya nada yang ceria, jadi aku berharap liriknya juga ceria. Setelah aku bisa membaca bahasa Inggris lebih baik, aku membaca liriknya dan hal itu benar-benar mengejutkanku. Aku tidak percaya aku menyanyikan lagu pesimis semacam itu selama ini.”

Kami berada di ruang belajar ayah Touka. Dia sering mengundangku untuk menyelinap ke sana saat kami punya waktu luang atau bosan belajar. Kemudian, dia akan dengan hati-hati menaruh rekaman pada record player seolah-olah itu adalah ritual suci, dan membuatku mendengarkannya dengan tatapan angkuh di wajahnya. 

Aku tidak tertarik pada musik, tapi aku menyukai waktu yang dihabiskan dalam ruang belajar ini bersama Touka. Itu adalah ruang yang sangat sempit, dengan hanya satu kursi, jadi kami memilih duduk berdekatan di lantai. Begitu kami memasuki masa remaja dan mulai menjaga jarak tertentu, cuma ini satu-satunya waktu yang bisa membuat pengecualian dan tetap bersama. Dia juga berpikir tentang musik sebagai sekunder, dan beberapa kali gagal menyadari kalau dia menggunakan rekaman yang sama dua hari berturut-turut. 

Dengan cara itu, ucapannya “ayo dengar rekaman musik" lebih berarti bagiku daripada kata-kata itu sendiri. ayo dengar rekaman musik” adalah ungkapan yang mengukuhkan kasih sayang tak berdosa dari “Apa tidak apa-apa bagiku untuk menghabiskan banyak waktu bersamamu?” dan “Aku ingin kita punya waktu bersama." 

Tak pelak, aku akhirnya menyukai semua yang terkait dengan penelitian ini. Buku-buku lama, catatan LP, globe, jam pasir, jam mantel, pemberat kertas, foto berdiri, botol vodka (aku ingat itu adalah merek bernama Hysteria Siberiana). Dengan dalih belajar, hal-hal ini terkait dengan kehangatan dan sentuhan Touka. 

Lagu yang dia nyanyikan, aku juga sering menyanyikannya. Ketika kami bersama dan kehabisan hal untuk dibicarakan, salah satu dari kami akan mulai bersenandung bersama. 

“Seperti apa liriknya?”, Aku bertanya. Aku tidak benar-benar peduli tentang lirik, tapi hanya ingin memperpanjang percakapan agar tetap dalam penelitian sedikit lebih lama. 

Touka mendongak selama beberapa detik seolah-olah memeriksa lembar contekan, lalu menjawab. 

“Ada seorang gadis yang menurut si cowok sangat menjengkelkan, tapi begitu pria lain mengambil si gadis, si cowok mulai mencintainya, meratap “tolong kembali padaku,” “beri aku satu kesempatan lagi.” lagu semacam itu.”

“Pada dasarnya, kau tidak tahu apa yang berharga sampai kau kehilangannya.” 

“Itu benar,” dia mengangguk. Kemudian setelah jeda, dia membuat adendum. “Itu sebabnya kamu harus berhati-hati juga, Chihiro.” 

“Aku?”

“Meski kamu pikir kalau aku menyebalkan, jangan berani-berani meninggalkanku.”

“Aku pasti tidak berpikir kalau kau menyebalkan.”

“Hmm ...”

Ada keheningan samar. Saat aku mencari topik lain, tanpa ada peringatan sebelumnya, Touka terkulai ke arahku. 

Sambil menyandarkan badannya padaku, dia tertawa terbahak-bahak seperti orang gila. 

“Ini ... mungkin sedikit menyebalkan,” ucapku untuk menutupi rasa maluku. 

“Jangan mengeluh,” Touka mencela. “Atau cowok lain akan merebutku.” 

Aku dengan patuh mengiyakannya. 

……………………

Senandung tersebut berhenti, dan pada waktu yang hampir bersamaan, aku ditarik kembali ke kenyataan. 

“Selamat datang,” dia berbalik dan menyambutku. “Hai Chihiro, aku cukup bangga dengan masakanku hari ini. Aku ingin kamu mencobanya, setidaknya sedikit saja.”

Aku kesulitan memfokuskan pandanganku, sosok gadis yang dihadapanku menjadi buram. Di kepalaku, aku mendengar suara beberapa bagian tebal terlepas. 

“Chihiro?”

Tanganku yang terjulur menggenggam pundaknya yang halus. 

Sesaat kemudian, aku mendorongnya. Punggungnya terbanting tanah dan dia sedikit tersentak. Aku naik ke atasnya dan dengan cepat memenuhi tujuanku. 

Kuncinya ada di saku celana pendeknya. Setelah memeriksa bahwa itu adalah kunci ke kamarku dan bukan miliknya, aku membebaskannya. 

Dia duduk dan bergumam, “Kamu mengagetkanku ...” dengan suara tenang. Lalu tanpa berusaha merapikan pakaiannya, dia melihat ke arahku dengan tercengang. 

Aku menunjuk ke pintu. 

“Keluar.”

Kakinya tersandung, memakai sepatunya, dan berdiri di depan pintu. Dia meletakkan tangannya di daun pintu, tapi kemudian berbalik ke arahku. 

“... Kamu masih tidak mau percaya padaku?” 

Justru sebaliknya, pikirku. 

Jika aku lengah sedikit saja, aku akhirnya mempercayainya - dan itulah mengapa aku harus bersikap sangat dingin. 

Saat aku berdiri mematung tanpa menjawab, dia tersenyum sedih. Dia kembali membelakangiku, dan bersiap untuk meninggalkan ruangan. 

“Tunggu.”

Ketika dia berbalik menghadapku, aku menyambar piring masakannya. Itu adalah rebusan sayuran musim panas berwarna-warni, yang disiapkan dengan sangat rapi, kau bisa menyebutnya gugup. 

“Ah ...” Dia mengeluarkan suara pelan. 

Aku memiringkan piring, dan masakannya terbuang ke tempat sampah. 

Aku menyodorkan piring kosong dan berkata, 

"Kau ambil ini kembali." 

Dia menatap ke tempat sampah, dengan ekspresi tertegun. Lalu dia tanpa kata mengambil piring dari tanganku, meninggalkan ruangan, dan diam-diam menutup pintu. 

Kemenangan pertamaku, pikirku. Aku telah melepaskan daya tariknya dan membuktikan bahwa aku telah mendominasi ilusi Touka Natsunagi. 

Tapi meski akhirnya mendapat pukulan, aku tidak merasa puas. Bahkan, semakin banyak waktu berlalu, semakin mood-ku tenggelam. Aku mengambil gin dari freezer, menuangkannya segelas, dan mengambil dua minuman. Sambil berbaring di atas tikar, aku menatap ke langit-langit dan menunggu alkohol melenyapkan ketidakbahagiaanku. 

Sambil melepaskan pikiran yang rumit dan kacau, aku tiba-tiba memikirkan sesuatu. Aku duduk dan menyalakan laptop di atas meja. 

 

*****

 

Mengapa aku mengabaikan sesuatu yang begitu mendasar? 

Itu pasti benar-benar menyelimuti pikiranku karena gaya hidupku yang tidak beraturan, tapi ada hal kecil yang disebut media sosial, dan itu memungkinkanmu menemukan orang-orang berdasarkan nama dan daerah mereka bahkan jika kau tidak punya nomor telepon atau alamat email. 

Dengan menggunakan ini, seharusnya mudah untuk berhubungan dengan teman sekelas dari masa SMP. Tidak hanya aku bisa berbicara dengan mereka tentang waktu itu, aku mungkin bisa meminta untuk melihat buku kelulusan mereka juga. Itu membuatku gugup sambil memikirkan bagaimana cara menjangkau teman-teman sekelas yang hampir tidak pernah berkomunikasi denganku, tapi jika itu bisa memberiku bukti bahwa Touka Natsunagi tidak pernah ada, aku harus melakukannya. 

Aku membuat akun di jejaring sosial utama dan mencari orang yang sealumni. Setelah mempersempit generasi, nama yang terdengar akrab muncul satu demi satu. 

Secara refleks, aku merasa lemas. Rasanya seperti udara yang ada di ruang kelas SMP-ku melayang masuk ke kamarku melalui layar. Tapi itu hanya ilusi sesaat, jadi perasaan badai dengan cepat mereda. Aku bukan anak SMP lagi, dan aku takkan pernah berurusan dengan orang-orang itu lagi dalam hidupku - dengan pengecualian orang yang akan aku hubungi sekarang. 

Aku menemukan delapan teman sekelas. Enam perempuan, dua laki-laki. Aku melihat postingan mereka satu demi satu. Aku mengintip ke dalam hidup mereka. Aku tahu tidak ada alasan kuat untuk melakukannya, tapi aku tidak bisa menahan rasa penasaranku. 

Hidup mereka bervariasi. Ada yang belajar di luar negeri. Ada yang sudah bekerja dan berusaha keras. Ada yang masuk ke perguruan tinggi terkenal dengan beasiswa. Ada yang bekerja di organisasi nirlaba untuk mendukung anak yatim. Dan ada yang sudah menikah dengan teman sekelas. 

Ada banyak foto yang mereka unggah. Foto sekelompok teman yang mengadakan pesta barbekyu. Foto sepasang kekasih yang duduk bahu-membahu dengan balutn yukatas. Foto anggota klub bermain di pantai. Foto seseorang menggendong bayi yang baru saja dilahirkan. Foto grup reuni kelas yang tidak pernah aku datangi. 

Sekali lagi, aku merasa seperti tertusuk oleh kehampaan hidupku. Tapi tidak ada perasaan cemburu yang muncul. Seseorang yang merangkak di bumi tidak punya alasan untuk peduli apa yang dilakukan orang di atas awan. Ketika semuanya sangat berbeda, kau bahkan kehilangan rasa ingin membuat perbandingan.

Aku mengklik akun orang terakhir. Di antara bunga-bunga tinggi di tebing, ada satu bunga di pinggir jalan yang tercampur. Foto-foto yang diunggahnya lusuh, tidak ada satu pun yang berisi seseorang. Update statusnya juga sangat tidak penting; cuma perasaan “Aku membuat akun karena yang lain melakukannya, tapi aku tidak punya sesuatu untuk ditulis” terdengar dengan lantang dan jelas. Dan melihat melalui postingnya mengungkapkan kalau dia tinggal di kota terdekat. 

Aku memeriksa nama akun lagi. Nozomi Kirimoto. Ahh, Nozomi Kirimoto yang itu, aku sadar. Aku tidak bisa benar-benar mengingat wajah atau suaranya, tapi aku ingat namanya sedikit lebih jelas ketimbang teman-teman sekelasku yang lain. Karena kami berada di kelas yang sama selama tiga tahun berturut-turut, tentu saja, tapi itu bukan satu-satunya yang jadi alasan. Nozomi Kirimoto adalah salah satu dari sedikit orang yang pernah aku temui yang punya rasa keakraban darinya. 

Dia adalah penghuni asli perpustakaan. Bukan penyusup semacam diriku, tapi seorang pembaca murni. Dari musim semi kelas 1 hingga musim dingin kelas 3, dia selalu mengunjungi perpustakaan. Dia membaca dengan rakus, dengan kecepatan sedemikian rupa sehingga dia mungkin pernah membaca setiap buku di sana. Dan istirahat makan siang tidak cukup baginya, jadi dia juga curi-curi waktu di antara pelajaran dan sepulang sekolah untuk membuka sebuah buku. 

Aku ingat dia adalah gadis berkacamata dengan lensa tebal, dan dandanan rambut kuno yang menghias semua rambutnya. Kemampuan skolastiknya tidak ada gunanya menulis tentang rumah, dan wajahnya cukup layak. Dalam sekejap, kau mungkin berpikir dia adalah ketua kelas yang terlalu serius, tapi dia terlalu tidak ramah untuk melamar posisi itu. Dia selalu sendiri. Selalu menundukkan kepalanya, memilih untuk berjalan di tempat gelap dan di sudut. 

Tiga atau empat kali selama masa tiga tahun SMP, kami berpasangan untuk mata pelajaran atau sesuatu yang lain. Kelas musik, kelas seni, dan semacam acara sekolah, kurasa. Sebagai sesama penyendiri, kami disatukan oleh proses eliminasi. Saat itulah aku mengetahui bahwa, meski biasanya seorang gadis pemalu, dia bisa berbicara sebanyak orang biasa. 

Tidak, tidak ada yang "normal" tentang hal itu. Nozomi Kirimoto bisa berbicara bahasa Jepang dengan lebih lancar daripada anak sebayanya, di luar perbandingan yang berharga. Jadi, karena terbiasa berenang di lautan kata yang tercetak, dia tahu satu atau dua hal tentang menggunakan bahasa secara efektif. Dia penuh dengan kemampuan itu, dan ketika kesempatan langka untuk melakukan percakapan tiba, dia dengan senang hati menguji ketajamannya. Dan setelah menyadari kebiasaan buruknya, dia akan tenggelam dalam rasa jijik pada dirinya yang mendalam dan memasuki lapisan kedengkian yang lebih dalam. 

Nozomi Kirimoto adalah tipe gadis semacam itu. Tidak bisa terbiasa dengan cara kerja dunia ini, dia mencoba untuk terbiasa dengan caranya sendiri, dan menjadi lebih jauh dari dunia; Cara hidup canggung itu adalah satu-satunya cara yang bisa dia atasi. 

Aku pilih dia, aku memutuskan. 

Aku memilih untuk mengirim pesan yang tidak berbahaya terlebih dahulu, tidak menyentuh topik sebenarnya. Tiba-tiba menghubungi teman sekelas yang hampir tidak pernah aku ajak bicara untuk meminta melihat buku tahunan akan berakhir dengan aku dicurigai sebagai penipu yang mengorek informasi pribadi. 

Pesan yang aku tulis selama 20 menit sangatlah canggung. Singkatnya, itu dibaca seperti email sampah yang ditulis oleh orang luar negri yang cuma tahu sedikit bahasa Jepang. Yah, ini pertama kalinya aku mengirim pesan pribadi ke kenalan, jadi tidak mengherankan. Sebenarnya, aku ini mirip semacam orang asing. Ke mana pun aku pergi, ata bersama siapa pun yang aku ikuti. 

Aku tidak puas dengan pesan itu, tapi aku tahu tekadku akan goyah dengan berlalunya waktu, jadi aku hanya mengirimnya tanpa menulis ulang sebelum aku sadar. Lalu aku menutup laptop dan berbaring di lantai. 

 

*****

 

Aku terbangun malam itu karena salah satu mimpi burukku yang biasa. Aku merangkak turun dari kasur, menuju ke dapur, lalu menuangkan air, dan minum tiga gelas berturut-turut. Aku selalu melakukan itu ketika sedang bermimpi buruk. Aku bisa mengatakan bahwa meminum air dingin dapat mengembalikan rasa realitas ke tubuhku, memberi mimpi buruk tidak ada tempat untuk tinggal dan membuangnya di suatu tempat. Dan dalam beberapa menit, aku bisa melupakan mimpi macam apa itu. Pada saat-saat ketika ketakutan yang berkepanjangan takkan hilang, aku meminum sedikit gin. Biasanya itu membuatku melupakan segalanya. Cairan bening memiliki kekuatan semacam itu. Air kelupaan yang diberi nama Lethe pasti sangat jelas dan indah, begitulah bayanganku. 

Bahkan setelah seharian penuh, aku tidak menerima balasan dari Nozomi Kirimoto. Apa dia curiga kalau aku seorang politikus atau pedagang, atau apa dia tahu aku teman sekelasnya dan memutuskan untuk mengabaikanku? Jika itu yang pertama, masih ada harapan, tapi aku tidak bisa yakin dengan cara apa pun sementara sama sekali tidak ada jawaban. Sebenarnya, mungkin dia tidak sering memeriksa media sosialnya. 

Aku bingung apa aku harus mencoba mengirim pesan lain. Saat ini, aku akan mengesampingkan segala sesuatu ke arah tujuan untuk mengungkap identitas sejati Touka Natsunagi. Jadi aku tidak bisa pilih-pilih tentang metodeku. Selain itu, Nozomi Kirimoto tidak punya arti penting bagiku. Bahkan jika menggunakan dia menyebabkan penghinaan dan cemooh, itu tidak menggangguku sedikit pun. 

Masalahnya adalah apa yang harus kutulis di pesan kedua ini. Kata-kata apa yang bisa aku gunakan untuk membuatnya mempercayaiku? Bisakah aku membuatnya tertarik pada aku? Layaknya seorang pria yang menulis surat cinta pertamanya, aku menulisnya berulang-ulang. Pada saat bahkan aku tidak benar-benar memahami kata-kata yang aku tulis, aku tiba-tiba memikirkan ide terburuk. 

Dan aku pergi mengikuti gagasan itu. Aku takkan membahas detailnya. Anggap saja aku sedang jadi penipu dalam kisah Emori. 

Efeknya sangat besar. Satu jam kemudian, aku mendapat pesan kembali dari Nozomi Kirimoto. Hatiku tidak merasa sakit atau semacamnya karena mengambil keuntungan dari hati nuraninya, tapi itu adalah perasaan aneh yang mana aku harus menjadi penipu untuk mengungkap kebohongan penipu. Kami berjanji untuk bertemu besok siang di stasiun kereta, dan aku menutup komunikasi kami. 

Aku melihat jam: sudah jam 9 malam. Pergi keluar beberapa hari terakhir, sudah waktunya wanita yang memanggil dirinya Touka Natsunagi biasanya akan datang ke kamarku. Tanpa sadar aku memandang ke arah dinding di samping tempat kamarnya berada, lalu ke arah pintuku. Tapi entah kenapa, aku tidak bisa membayangkan pintu itu terbuka malam ini. 

Pada akhirnya, dia tidak datang untuk mencoba apapun malam itu. Mungkin dia menyadari aku takkan merespon seperti yang dia inginkan dan sedang menyusun ulang strateginya. Mungkin dia pura-pura tersakiti dengan apa yang kulakukan pada masakannya, dan ingin melihat reaksiku. Atau mungkin tidak melakukan apapun malam ini adalah bagian dari rencana. Jika itu yang terjadi, maka rencananya telah berhasil. Aku mendengarkan suara-suara dari ruangan tetangga sepanjang malam, bertanya-tanya apa alasannya untuk tidak datang. Pada saat tidur akhirnya tiba, sinar mentari pagi samar-samar masuk melalui tirai. 

 

*****

 

Ini adalah pertemuan pertama kami dalam lima tahun. 

Nozomi Kirimoto berdiri dengan patuh di tempat yang ditunjuk di depan patung batu, memandangi hujan dengan payung biru di atas bahunya. Rambutnya yang pernah diikat dengan tatanan rambut yang tidak modis telah digerai, kacamatanya yang tebal telah berubah menjadi kontak, dan pakaiannya lebih halus, tapi pada dasarnya dia memberikan kesan yang sama saat itu. Sama seperti biasanya, matanya mengintip keluar dari bawah poninya, sama seperti jika kau mencampur setiap emosi negatif yang mungkin dalam air. Seolah-olah konsep inti dari Nozomi Kirimoto telah dipertahankan sementara yang lainnya diganti dengan bagian-bagian baru yang segar. 

Ketika dia menyadari keberadaanku, dia membungkuk hormat sedikit. Lalu dia tanpa kata menunjuk ke kafe di seberang jalan, dan mulai berjalan tanpa menunggu jawabanku. “Ayo kita berteduh dulu,” kurasa. 

Ada beberapa konsumen yang datang untuk berteduh dari hujan, tapi tidak sampai kami tidak bisa duduk. Kami duduk di meja untuk berdua di dekat jendela, dan setelah membasahi bibirnya dengan air es yang dibawa oleh pelayan, Nozomi Kirimoto perlahan membuka mulutnya. 

“Apa tujuanmu?”

“Tujuanku?”, Aku mengulangi. 

“Kamu punya niat lain untuk menghubungiku, bukan?”, Katanya dengan tatapan rendah dan suram ke sudut meja. “Pembabtisan? Multi-level marketing? Program penjualan rujukan? Jika memang seperti itu, maka aku minta maaf, tapi aku akan langsung pergi. Aku tak berpikir aku perlu menabung, dan aku tidak kekurangan uang.”

Aku menatapnya, tercengang. 

Dia melirikku, lalu matanya jelalatan kemana-mana. 

“Aku minta maaf jika aku salah paham. Tapi aku tidak bisa memikirkan alasan lain kamu mau menghubungi seseorang seperti diriku, jadi ...”

Suaranya terdengar serak di bagian akhir, aku hampir tidak mendengarnya. 

Aku menyeret cangkir itu di tengah meja ke arahku, dan setelah sedikit ragu, menyesapnya. 

Apa yang harus aku lakukan? Aku ingin mengatakan “Bukan seperti itu, aku hanya menghubungimu karena ingin bertemu denganmu,” tapi tebakannya cukup tepat. Aku bukan pengkhotbah atau pemasar multi-level atau semacamnya, tapi memang benar kalau tujuanku datang ke sini bukan hanya sekedar bertemu dengannya. Niatku yang sebenarnya ada di tempat lain. 

Rasanya lebih mudah bila pura-pura tidak tahu sekarang. Tapi aku tidak berpikir bisa mempertahankan sikap itu untuk waktu yang lama. Jika aku adalah tipe orang yang dapat secara meyakinkan berpura-pura menyayangi seseorang, aku takkan sendirian saat ini. 

Aku memanggil seorang pelayan untuk memesan kopi. Dan tanpa membenarkan atau membantah keraguan Nozomi Kirimoto, aku malah menanyakan ini. 

“Bisakah aku menganggap kalau kau memiliki pengalaman seperti itu?” 

Namun ternyata itu menjadi jawaban terbaik. 

Matanya terbuka lebar, tubuhnya gemetaran, alisnya turun, dan dia jatuh terdiam seperti batu. Bahkan, seorang penonton dapat melihat betapa kurang baiknya dirinya, dan aku merasa bersalah, rasanya seperti aku telah melakukan kesalahan. 

Dia terus diam selama beberapa saat. Apa dia bingung dengan apa yang harus dikatakan, atau menungguku mengatakan sesuatu, atau sebal karena dia tidak ingin berbicara denganku lagi? Aku tidak bisa tahu dari ekspresinya. 

Saat aku hendak meminta maaf dengan “Aku tidak bermaksud apa-apa dengan itu, tolong jangan cemaskan itu,” Nozomi Kirimoto diam-diam menggumamkan sesuatu. 

Aku bersandar ke depan untuk mendengarnya lebih baik. 

“Tepat setelah aku masuk SMA, aku punya teman,” katanya dengan suara yang lirih. “Aku orangnya pemalu dan penyendiri, dan teman itu datang untuk berbicara dengan ramah setiap hari. Teman pertama yang pernah aku miliki dalam hidupku. Dia punya sifat yang baik, jadi tidak seperti aku, dia disukai oleh kelas. Dia bisa bersama siapa saja, tapi dia selalu memberiku prioritas, dan aku merasa terhormat.”

Senyum hangat dan lembut muncul di bibirnya, tapi itu tidak bertahan dua detik. 

“Tapi baru sebulan setelah kami menjadi teman, dia membawaku ke suatu tempat yang aneh. Itu adalah pertemuan kelompok agama baru mencurigakan yang belum pernah kudengar. Minggu berikutnya, dan seminggu setelah itu, dia membawaku ke tempat yang sama. Karena aku tidak punya teman, dia mungkin berpikir aku gampang terbawa. Setelah aku dengan berani mengatakan kepadanya kalau aku tidak ingin bergabung dan berhenti mengundangku, dia langsung berhenti berbicara denganku. Tidak hanya itu, dia menyebarkan gosip jahat di lingkungan sekolah, dan selama tiga tahun, aku menerima tatapan sinis dan diserang dengan kata-kata kejam.” 

Kopi pesanan akhirnya tiba. Pelayan itu sepertinya menyadari keheningan tegang di antara kami, dengan ringan membungkuk setengah tersenyum, dan pergi. 

“...Itu mengerikan.”

Hanya itu yang bisa aku katakan. 

“Ya. memang,” dia mengangguk. “Itu sebabnya aku benci pembohong.” 

Aku tidak punya keberanian untuk mengatakan kebohongan setelah mendengar itu. Aku hanya perlu mengatakan yang sebenarnya; Aku menguatkan diriku sendiri. 

Bila mengambil sudut pandang yang berbeda, Nozomi Kirimoto berpikir kemungkinannya sangat tinggi kalau aku adalah seorang penipu, namun dia masih datang untuk menemuiku. Aku kira dia tidak bisa menolak permintaan. Yang berarti itu akan mempercepat situasi bila aku mengatakan dengan jujur niatku. 

Aku menyesap kopiku, lalu menaruh cangkirku di cawan. 

“Kau setengah benar, Kirimoto-san.” 

Wajahnya tersentak, tetapi kemudian dengan cepat terkulai ke bawah. 

“Setengah?”

“Aku memang punya motif tersembunyi saat menghubungimu. Itulah kebenarannya.”

“... Lalu setengah lainnya?”

“Orang yang aku hubungi bisa jadi siapa saja. Ada beberapa kandidat lain, tapi aku merasa seperti aku benci untuk bertemu dengan yang lain. Tapi aku merasa aku akan baik-baik saja bila menghubungimu. Mengikuti logika itu, aku pikir kau bisa mengatakan kalau aku punya niat untuk bertemu denganmu, Kirimoto-san.”

Dia terdiam lagi. Tapi kesunyian ini tidak begitu lama. 

Dia berbicara dengan ekspresi kosong. 

“Jadi, apa motif tersembunyimu?”

Sepertinya dia langsung menuju intinya. 

Aku diam-diam berterima kasih padanya, lalu masuk ke topik utama. 

“Apa nama Touka Natsunagi terdengar tidak asing bagimu?”

“Touka Natsunagi?”

“Apa kamu ingat seorang gadis di SMP kita dengan nama itu?”

Dia menyilangkan tangannya di atas meja dan pikir-pikir sebentar

“Kau mungkin sudah tahu ini, tapi aku hampir tidak berinteraksi dengan teman-teman sekelasku di SMP juga. Jadi aku tidak bisa mengatakan apa pun yang pasti. Namun ...”

Dia mengintipku melalui poninya yang panjang, lalu berbicara. 

“Setidaknya sejauh yang aku ingat, aku tidak berpikir ada murid di kelas kita dengan nama seperti itu.”

Kemudian, Nozomi Kirimoto mulai menyebutkan nama teman sekelas satu per satu. Hal itu membuktikan bahwa dia telah memperingatkan, “Aku tidak bisa mengatakan sesuatu yang terlalu pasti”. Dia mampu mengingat nama-nama setiap teman sekelas dari kelas setiap tahun. 

“Aku percaya itu sudah semua,” katanya setelah selesai menghitung dengan jari-jarinya. “Itu sudah beberapa tahun yang lalu, jadi aku tidak terlalu percaya diri.”

“Tidak, aku pikir kau benar. Kau punya daya ingat yang menakjubkan.”

“Meskipun aku tidak bisa mengingat wajah mereka sama sekali. Anehnya, cuma nama mereka yang tidak bisa aku lupakan.”

Aku melipat tanganku dan memikirkannya. Kemungkinan besar, ingatan Nozomi Kirimoto adalah asli. Tidak dapat dibayangkan bahwa seseorang dengan ingatan yang berbeda ini akan berpikir nama teman sekelas yang memang ada terdengar asing. Jadi seperti yang sudah aku duga, gadis yang bernama Touka Natsunagi sama sekali tidak ada. 

Walau begitu, aku ragu-ragu untuk menyelesaikan masalah yang didasarkan pada memori dengan solusi yang didasarkan pada memori. Seluruh rantai keraguan ini berasal dari fakta bahwa “memori tidak dapat dipercaya.” Sebagian diriku merasa bahwa menyelesaikan masalah dengan ingatan seseorang hanya menjadi pengulangan. 

“Kurasa ingatanmu benar, Kirimoto-san,” kataku padanya, memilih kata-kataku dengan hati-hati. “Tapi aku ingin setidaknya ada satu bukti yang lebih jelas untuk memuaskanku. Apa kau masih menyimpan buku tahunan dari kelulusan?”

“Err, ya. Aku pikir itu tersimpan di suatu tempat di apartemenku.”

“Apa kau tidak keberatan bila menunjukkannya kepadaku?”

“Sekarang juga?”

“Tentu. Aku akan menghargainya lebih cepat daripada nanti, tapi jika itu tidak bisa ...”

“Kalau begitu, ayo pergi.”

Sebelum aku selesai berbicara, dia meraih bon pembayaran dan berdiri. 

“Lagipula, apartemenku tidak terlalu jauh dari sini.”

 

*****

Kami berjalan dalam keheningan di bawah guyuran hujan. Tidak ada percakapan di antara kami, kau pasti tidak pernah mengira kalau kami adalah teman sekelas yang baru bertemu kembali setelah 5 tahun.

Pada saat seperti ini, kurasa kau biasanya berbicara tentang apa yang terjadi belakangan ini. Menyisipkan beberapa gosip tentang seorang teman biasa, lalu secara bertahap membahas topik masa lalu, mengungkit kisah-kisah lucu dan peristiwa-peristiwa yang mengesankan dari masa lalu, dan obrolan indah tentang masa lalu. 

Tapi kami tidak punya kenangan yang bagus sama sekali. Kami tidak punya teman yang terus bersama sampai hari ini, dan mencoba berbicara tentang kejadian-kejadian baru-baru ini dalam hidup kami hanya tampak lebih menyedihkan. Kami tahu sendiri kalau kami berdua diam-diam tinggal di sudut-sudut ruang kelas, menghirup udara pengap, dan mendapatkan jeda sebentar di perpustakaan - kami hidup dalam masa kelabu. Kami merasa tidak ingin mengangkat masa lalu seperti itu. 

Dari stasiun kereta, kami naik bus selama sekitar 20 menit, lalu berjalan hanya 5 untuk mencapai gedung apartemen Nozomi Kirimoto. Bangunan yang tampak jauh lebih rapi daripada kompleks apartemen lama yang aku tinggali; tidak ada noda di bagian luarnya, dan tempat parkirnya penuh dengan kendaraan bermotor ringan dengan warna-warna cerah yang menurutku mungkin disukai oleh wanita muda. 

Aku ingin menunggu di luar pintu, tapi dia memanggilku ke dalam ruangan.

“Kamu sedang terburu-buru, ‘kan? Aku tidak keberatan jika kamu melihatnya di sini.”

Aku merasa sedikit canggung karena memasuki kamar seorang gadis yang bahkan bukan temanku, tapi dia benar kalau aku ingin segera melihat buku tahunan itu. Aku hanya akan menerima tawarannya di sini. Aku menyandarkan payung basahku ke tembok lorong, dan memasuki kamar Nozomi Kirimoto.

Kata “berantakan” mungkin kurang tepat. "Ada banyak buku" mungkin lebih cocok. Ada tiga rak besar, dan ketiganya penuh dengan buku, dengan buku-buku yang tidak muat di dalam menara-menara pembentuk di sekitar lantai dan meja. Bila dilihat lebih dekat, posisi mereka sepertinya mengikuti beberapa sistem tersendiri, jadi sementara kedengarannya aneh, kesan yang aku dapatkan adalah "semacam berantakan yang teratur."

“Maaf tentang kamarku yang berantakan,” katanya dengan malu-malu, menebak apa yang aku pikirkan.

“Tidak, kau hanya punya banyak barang. Aku tidak berpikir kalau itu berantakan.”

Meski aku tidak tahu standar yang bagus untuk kamar gadis biasa, jelas sekali kalau Nozomi Kirimoto cukup jauh dari kata normal. Tentu saja kamarnya memiliki kepribadian, tapi di sisi lain, jika kau hanya menghilangkan tuumpukan buku yang memberimu kesan itu, kau akan menemukan kalau kamarnya menjadi tempat anonimitas belaka. Meja, tempat tidur, sofa, semuanya memiliki desain simbolis yang melampaui hal umum. Seolah-olah kau hanya menulis "meja", "tempat tidur", "sofa", dan mereka ditempelkan di sana.

Dia berjongkok di depan lemari buku. Tampaknya buku-buku dan album-album besar disimpan di rak paling bawah.

Sambil mencari buku tahunan, Nozomi Kirimoto bertanya padaku.

“Tapi aku pensaran, kenapa kamu tidak punya buku tahunanmu? Apa kamu tidak membelinya?”

“Aku membuangnya. Aku ingin meringankan bebanku ketika aku meninggalkan rumah.”

“Kedengarannya seperti dirimu,” dia diam-diam mencibir. “Aku sempat berpikir untuk membuangnya juga, tapi seperti yang kamu lihat, aku tidak sanggup membuang sesuatu yang berbentuk seperti buku.”

“Sepertinya begitu. Tapi aku bersyukur untuk itu.”

“Oh, jangan sebut itu.”

Dia menemukan buku tahunan di rak buku kedua. Dia menariknya keluar dan menyeka debu, dan menyerahkannya padaku sambil berkata “ini silahlan.” 

Pertama, aku membuka halaman foto lulusan individu. Setelah melihat kelasku sendiri, aku memeriksa kelas-kelas lain hanya untuk memastikan. 

“Tidak di sana,” kata Nozomi Kirimoto, melihatnya dari sampingku. 

Aku memeriksa tiga kali, tapi dia benar; 

Setelah itu, kami memeriksa satu per sato foto grup: foto-foto dari OSIS dan anggota klub, foto-foto ruang kelas dan acara sekolah. Nozomi Kirimoto mampu menebak dengan benar nama masing-masing dan setiap orang. 

“Chihiro.”

Aku terkejut mendengar dia tiba-tiba menyebut namaku, tapi sepertinya dia hanya bermaksud “itu kau di foto ini, Chihiro.” Dalam foto yang dia tunjuk, aku sedang menulis di papan tulis. 

Dalam foto ini, aku terlihat seperti murid teladan yang dengan sungguh-sungguh mengambil bagian di kelas. Tapi aku tahu itu bukan masalahnya. Aku terus-menerus melihat jam itu. Melotot pada jam dinding di atas papan tulis, hanya menunggu kelas berakhir. Aku ingin meninggalkan sekolah dan menyendiri walau cuma sedetik lebih cepat. Dan semakin aku berharap untuk itu, semakin lambat pula waktu yang berlalu. 

Foto berikutnya yang menarik perhatianku adalah gadis pertama yang aku temukan saat aku mencari teman sekelasku secara online. Itu adalah adegan dari pertunjukan di festival budaya; benar-benar foto yang ideal untuk buku tahunan. Dia adalah gadis yang anggun. Cantik dan baik, memperlakukan semua orang dengan baik, jadi semua orang menyukainya. 

Tiba-tiba, aku teringat foto reuni kelas yang diunggah akun gadis itu. 

“Ngomong-ngomong, Kirimoto-san, apa kau pergi ke reuni kelas?”, Aku bertanya dengan santai. 

“Tidak.” Dia menggelengkan kepalanya sedikit. “Kurasa kamu juga tidak, Chihiro?” 

“Benar. Tidak ada orang yang benar-benar ingin kutemui, dan aku ragu ada orang yang berharap bertemu denganku.” 

“Aku juga merasakan hal yang sama. Siapa pun yang aku temui, itu hanya akan membuatku sedih. Lagipula –” 

Pada titik itu, dia membeku. Karena dia tiba-tiba menyadari dua lembar halaman yang benar-benar kosong. 

Aku tidak tahu apa artinya itu. Pada awalnya aku pikir itu hanyalah kesalahan pencetakan. Tapi segera setelah itu, aku ingat kalau halaman itu adalah tempat di mana kau seharusnya meminta teman-temanmu menulis pesan untukmu. 

Aku dengan santai membalik halamannya, tapi dia berkata, “Tentu saja, putih kosong.” 

Aku hendak mengatakan “aku juga sama,” tapi berhenti di tengah jalan. Aku pikir dia sudah mengerti banyak. 

Tak lama kemudian, aku memeriksa semua halaman. Buku tahunan kelulusan telah membuktikan kalau tidak ada gadis yang bernama Touka Natsunagi di antara teman-teman sekelasku. 

 

*****

 

Tepat sebelum aku meninggalkan ruangan, Nozomi Kirimoto dengan gugup “um ...” dan ingin menanyakan sesuatu. 

“Jadi sebenarnya, siapa orang yang bernama Touka Natsunagi ini? Mengapa kamu mencarinya, Chihiro?” 

“Maaf. Aku tidak ingin terlalu banyak membicarakannya,” jawabku tanpa berbalik. 

Aku tidak yakin kenapa, tapi aku tidak ingin berada di kamar ini lebih lama lagi. Aku ingin cepat kembali ke apartemenku dan minum gin. 

“Apa itu benar?”

Dia mundur dengan mudah. 

Aku menghela nafas, 

“Dia orang fiktif.”

Dengan satu kalimat itu, Nozomi Kirimoto sepertinya tahu segalanya. 

Pengganti?”

Aku mengangguk. 

“Karena sedikit kecelakaan, ingatan dan Mimori telah tercampur di otakku. Aku sedang disiksa oleh ilusi gadis yang menyukaiku di kepalaku. Bodoh, bukan?” 

Dia tersenyum lembut. 

“Aku mengerti. Karena aku punya pengalaman serupa.” 

Lalu dia mulai mengatakan sesuatu. Dia mungkin akan menceritakan “pengalaman serupa” nya. Tapi tepat sebelum kata-kata itu keluar dari bibirnya, dia menelannya kembali ke tenggorokannya. Sebagai gantinya, dia mengakhiri percakapan dengan beberapa kata yang berbeda dan tidak ofensif. 

“Aku harap kamu bisa segera bangun.”

Aku tersenyum simpul. Lalu aku berkata, “Terima kasih untuk hari ini.” 

“Tidak, aku juga senang bisa bertemu kembali dengan seorang kenalan lama. Kalau begitu.”

Tepat sebelum pintu tertutup, aku melihat dia melambai sedikit. 

Itulah saat terakhir kali aku melihat Nozomi Kirimoto. 

Di luar masih hujan. Sejumlah genangan air telah terbentuk di lekukan aspal, dan tetesan air hujan menuangkan desain geometris. Seseorang pernah berkata bahwa hujan bisa mencuci kenangan dari trotoar kehidupan. Aku ingin cepat melupakan rangkaian kenangan yang telah digali hari ini, jadi aku berhenti saat ingin membuka payung, menutupnya, dan membiarkan diriku basah untuk sementara waktu.




close

1 Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

  1. Author yang hebat mempermainkan perasaan pembacanya......

    Ha sialan kau langsung menjatuhkan jembatan itu

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama