Chapter 05 - Hero
Hantu kehilangan
eksistensinya sejak masuknya era digital. Tapi, beberapa tampaknya
dipindahkan ke dunia elektronik selama beberapa dekade ini, karena mulai pada
titik tertentu, ada berita menggemparkan mengenai hantu mulai muncul di internet. Sebagian
besar hanyalah cerita karangan atau lelucon belaka, tapi meski mereka membuat
berita besar, ada beberapa insiden yang kebenarannya belum terjelaskan.
Salah satu
kisah hantu di internet yang paling terkenal adalah kisah “Kayano Bersaudara.” Seorang wanita melaporkan bahwa teman
yang sering menelponnya hampir setiap hari selama lima tahun ternyata sudah
meninggal dua tahun lalu. Cerita ini memiliki sisi yang tak terduga dan
penuh liku. Seperti yang diindakasikan pada kata “Bersaudara” dalam judul, teman wanita tersebut punya adik
perempuan yang tampak identik. Kebenaran dari masalah ini adalah bahwa
adik perempuan itu menggantikan kakak perempuannya yang telah meninggal.
Bertentangan
dengan kakaknya yang periang, adik perempuannya punya kepribadian pemalu, dan
tidak ramah pada siapapun kecuali kakak perempuannya. Kayano yang lebih
muda, setelah kehilangan satu-satunya orang yang bisa dia ajak bicara,
memutuskan untuk menerima telepon dari teman kakak perempuannya dan berpura-pura
menjadi kakaknya. Dan seperti itu, dia terus memainkan peran si almarhum. Dia
berbicara di telepon seperti kakak perempuannya, dia bertemu dengan temannya
itu seperti kakak perempuannya, dia terus memposting ke media sosial sebagai
kakak perempuannya. Kayano bersaudara tidak hanya punya tinggi badan dan
wajah yang sama persis, adik perempuan itu juga tahu segalanya tentang kakak
perempuannya, jadi wanita itu tidak pernah menyadari kalau keduanya telah
bertukar tempat. Kebohongan dua tahun itu akhirnya terbongkar oleh situasi
kecil, tapi tampaknya keduanya secara resmi menjalin persahabatan
sesudahnya.
Jika cuma itu
saja, itu akan menjadi kisah yang mengharukan. Tapi ada kelanjutan yang
mengganggu. Ada sebuah artikel mengenai apa yang tampaknya menjadi postingan
terakhir yang dibuat oleh Kayano yang lebih tua di akunnya sebelum dia meninggal,
yang isinya sedikit aneh. Sepintas, tulisan itu tampak tidak jelas, tapi
bisa berpotensi diartikan sebagai “seseorang yang dekat denganku sedang
mengincar nyawaku.” Artikel itu diposting dari arsip pihak ketiga, jadi
fakta bahwa Kayano yang lebih muda menghapus postingan asli menyebabkan
kehebohan besar. Desas-desus menyebar bahwa adik perempuan itu membunuh
kakak perempuannya demi merebut temannya darinya.
Pada
akhirnya, tidak ada penjelasan apa pun yang diberikan oleh Kayano yang lebih
muda, akun tersebut ditinggalkan, dan sekarang berfungsi sebagai web
terbengkalai yang terkenal, sempurna untuk menantang seseorang untuk pergi
berkunjung.
*****
Hujan terus
mengguyur selama tiga hari, kemudian selang satu hari mendung yang nyaris
memberi jeda, diikuti oleh tiga hari hujan lagi. Semakin buruk cuaca ini,
semakin aku merasa akan melupakan warna langit biru. Ramalan cuaca
mengatakan ada topan besar yang mendekat, dan setelah itu berlalu, kami akan
mendapat cuaca yang cerah untuk sementara waktu.
Sungguh, ini
adalah musim panas hujan yang aneh. Jarang-jarang ada hujan deras, tapi
gerimis setipis kabut terus jatuh tanpa henti. Alhasil, aku bepergian
bolak-balik antara tempat laundry dan apartemenku. Di tempat laundry
untungnya ada AC yang bagus, jadi saat cucianku di pengering, aku bisa dengan
santai melewatkan waktu membaca majalah dan surat kabar lama.
Dalam rentang
satu minggu itu, aku sudah kehilangan dua payung, satu tersentak tertiup angin,
dan satu laginya payung lipatku dicuri. Aku membuang sandall kotorku dan
membeli yang baru. Aku melemparkan agen penurun lembab ke dalam
lemari. Itu mengenai sejauh mana efek hujan pada hidupku. Sejak awal,
keseharianku hanya untuk pekerjaan sambilanku. Selama cuaca buruk, toko
rental video bahkan memiliki lebih sedikit pelanggan daripada biasanya, jadi
rasanya seperti menjadi karyawan toko suvenir di pegunungan. Ada aroma
basah yang lembap di toko, tapi manajer itu tampaknya tidak peduli sedikit
pun.
Aku belum
mendapat kabar dari Emori. Aku tidak punya teman selain dirinya, jadi aku
pasti menghabiskan waktuku sendirian. Seperti biasa. Ini adalah
kehidupan seperti biasa bagiku.
Pada hari
libur kerja, aku pergi ke perpustakaan prefektur untuk membaca dokumen yang
terkait dengan Mimori. Tidak ada
hal khusus yang ingin aku ketahui, tapi aku menyadari kalau itu sedikit lebih
menyenangkan untuk membaca literatur ilmiah yang tidak aku minati selain
majalah yang tidak aku minati.
Ketika aku
lelah membaca, aku tidur sebentar, pergi ke tempat istirahat dan membeli kopi
dari mesin penjual otomatis, merokok dua batang rokok, lalu kembali ke ruang
baca. Ketika aku mendengar lagu "Sunrise,
Sunset" mengumumkan pukul 5 sore, aku lalu meninggalkan perpustakaan,
membeli bir kaleng di tengah jalan, dan sambil menikmati itu, berjalan santai
menyusuri jalan pedesaan dari stasiun ke apartemen. Dan sembari
bertanya-tanya apa aku harus menonton TV atau mendengarkan radio, aku akan memakan
makan malam dengan ramen instan saja, mandi untuk membersihkan diri dari
keringat, minum gin sampai malam, dan tertidur pada saat langit cerah .
Puntung
rokok, kaleng kosong, botol kosong. Melalui benda-benda ini, aku hampir
tidak bisa merasakan perubahan hari. Jika bukan karena mereka, aku pasti
tidak bisa merasakan perbedaan antara kemarin dan hari ini. Begitulah
bagaimana tidak berubahnya keseharianku. Aku hampir tidak ingat apa yang aku
lakukan saat ini setahun yang lalu.
Aku sudah
mengantongi bukti yang kuat. Kesaksian Ayah dan Nozomi Kirimoto. Foto-foto
dalam buku kelulusan. Benar saja, gadis yang bernama Touka Natsunagi sama
sekali tidak ada. Ingatanku sama sekali tidak salah. Dia tidak lebih
dari seorang Pengganti, orang fiktif
yang diciptakan oleh seorang insinyur Mimori.
Sekarang, aku
hanya harus menunjukkan buktiku kepada penipu itu dan membuatnya mengaku
kalah. Itu akan mengakhiri semuanya. Aku bisa minum Lethe di belakang lemariku dan
mengakhiri rantai peristiwa yang bodoh ini.
Itulah
rencananya.
Kebetulan,
sejak hari dia meninggalkan kamarku tanpa mengucapkan “selamat malam” kepadaku, aku benar-benar berhenti melihat tanda-tanda
wanita yang menyebut dirinya Touka Natsunagi. Aku tahu dia ada kamar
apartemennya karena aku bisa melihat cahayanya menyala di malam hari, tapi dia
tidak membuat pergerakan apa pun yang layak disebut gerakan.
Apa dia sudah
menyerah menjeratku? Atau apa dia merencanakan sesuatu yang rumit? Aku
akan berbohong jika aku bilang aku tidak peduli, tapi aku tidak punya niat
untuk berinisiatif berbicara dengannya. Jika dia berniat membiarkan ini
berakhir dengan kabur, maka biarkan hal itu terjadi. Jika dia sedang
mengerjakan rencana baru, maka aku akan membalas dendam pada waktu berikutnya
dia datang. Dan setelah beberapa bentuk resolusi tiba, itu akan menjadi
waktu yang ideal untuk meminum Lethe.
*****
Sama seperti
hari-hari sebelumnya, aku minum sampai fajar menjelang, tidur seperti orang
pingsan, dan terbangun oleh suara angin. Ternyata itu badai. Sebuah suara
siulan terdengar melalui celah di jendela. Aku menyalakan radio tepat
waktu untuk mendengar laporan tentang topan.
Kepala dan
tenggorokanku terasa sakit. Aku mabuk, dan aku merokok terlalu
banyak. Aku menuangkan air ke dalam mulutku dengan gelas yang masih berbau
gin semalam, menghangatkan kopi dan meminumnya, lalu berdiri di bawah kipas
ventilasi dan merokok. Setelah mengubah dua batang rokok menjadi abu, aku
ambruk di tempat tidur sambil mendengarkan radio dan hujan.
Aku suka
hujan. Aku suka betapa adilnya itu membuat semua orang tampak terganggu
olehnya. Orang yang bisa menikmati cuaca yang cerah bergantung pada
orangnya sendiri, tapi semua orang hanya bisa menikmati hujan deras dalam
jumlah sedang. Hanya itu yang bisa kau lakukan untuk menghirup sesuatu
yang hangat di kamarmu, menerima perasaan abnormal yang dibawa badai dari
lokasi yang aman.
Ketika aku
bosan dengan radio, aku meletakkan bantal di dekat jendela dan duduk, lalu
membuka buku yang aku periksa di perpustakaan kemarin. Itu adalah biografi
orang terkenal yang belum pernah kudengar dibidang yang belum pernah kudengar
dan pencapaian mereka yang belum pernah kudengar. Secara pribadi, sebuah
buku yang tidak ada hubungannya denganku adalah apa yang aku inginkan. Ini
memungkinkanku untuk melupakan kalau aku ada di sini. Ini mungkin karena
bertemu Nozomi Kirimoto tempo hari yang membuatku tiba-tiba ingin membaca
buku.
Mengambil
jeda setiap tiga puluh menit, aku membaca buku itu dengan hati-hati. Terkadang
ada angin kencang bertiup, dan hujan menghempas kaca jendela. Waktu berlalu
dengan sangat lamban.
Waktu
menunjukkan sekitar jam 3 sore.
Tiba-tiba, perutku
merasa sangat lapar.
Itu adalah
rasa lapar yang keras, sesuatu yang mengambil rasa kemanusiaanmu
darimu. Kalau dipikir-pikir lagi, aku belum makan apa-apa sejak aku
bangun. Segera setelah aku memikirkan itu, perutku sakit parah,
seolah-olah beberapa anestesi baru saja hilang.
Aku
meletakkan buku dan melihat ke bawah wastafel, tapi tidak ada satu cangkir
ramen tersisa. Tentunya, isi kulkas juga kosong. Aku menyerah dan
memutuskan untuk merokok, tapi rokok yang aku hisap tadi juga rokok
terakhir. Rupanya aku benar-benar lupa berbelanja.
Payung yang
kupunya sedikit rusak, jadi aku mengenakan jaket yacht bertudung, memakai sandalku,
dan melangkah keluar ke dalam badai. Cuacanya lebih gelap dari yang pernah
kau harapkan dari suasana jam 3 sore, dan jalan itu dipenuhi sampah, ranting
pohon, dan payung yang terbawa angin. Aku tidak bisa membuka mata saat
hujan deras, dan setiap kali ada hembusan angin tiba-tiba, tubuhku goyah.
Di dalam
minimarket tak biasanya sangat sepi. Aku membeli ramen instan murah dan
rokok yang tersedia di sana, mengikat erat tas belanjaan, dan meninggalkan
toko. Hujan yang mengguyur semakin deras.
Demi
melindungi diri dari angin kencang, aku berjalan di sepanjang
dinding. Tiba-tiba, aku berhenti. Sesuatu sedang menatapku dari jendela
yang menghadap ke jalan.
Itu bukan
manusia. Itu kucing. Seekor kucing kucing yang aku ingat sering lihat
di daerah ini. Aku selalu menganggapnya kucing liar, tapi sepertinya
kucing itu peliharaan seseorang. Kucing itu memelototiku dengan tatapan
"Kau yang penasaran sampai pergi keluar dalam cuaca seperti ini.” Aku
mendekati jendela dan mengernyitkan alisku, tapi kucing itu tidak bergerak,
tetap di tempat seperti hiasan saat menatapku.
Saat aku
kembali ke apartemen, aku melemparkan pakaian basahku ke mesin cuci dan
mandi. Ketika aku pergi untuk menuangkan air ke dalam ketel setelah
meninggalkan kamar mandi, aku menyadari bahwa rasa lapar yang membuatku
kesakitan akhirnya telah tenang seolah-olah tidak pernah terjadi.
Aku berbaring
di tatami dan menikmati rasa rokok yang baru saja kubeli. Di dalam ruangan
ini terasa sejuk, dan tekstur kasar dari tatami terasa nyaman. Hujan turun
di kota tanpa jeda, melucuti semua makna dan niat dari segala sesuatu dan
mencuci bersih semuanya. Aku jadi teringat kucing di jendela, dan
kemudian, berpikir tentang hantu di jendela.
*****
Di musim
panas saat aku berusia 7 tahun, aku melihat hantu.
Apa yang akan
aku ceritakan bukanlah ocehan omong kosong yang sangat tidak
penting. Pertama-tama, hantu di sini bukan hantu sungguhan. Yang kedua,
cerita ini adalah bagian dari Mimori-ku. Dan
pada titik itu, dia kehilangan makna apa pun yang mungkin dimiliki sebagai
cerita hantu.
Hantu itu tinggal
di kediaman bergaya Jepang kuno, dan selalu melihat orang-orang lewat dari
jendela lantai pertama. Gadis hantu itu berambut panjang, langsing dan berkulit
pucat, selalu mengeluarkan kesan melankolis setiap kali kau
melihatnya. Setiap kali aku lewat di dekatnya, dia selalu membungkuk ke
depan, menempel ke jendela, dan mengikutiku ke manapun dengan pandangan
matanya.
Dia pasti
gadis yang meninggal di rumah itu sejak lama. Aku mengasihaninya, dan sekaligus
merasa takut padanya. Dari semua yang aku tahu, dia mungkin cemburu pada
anak-anak yang masih hidup di sekitar usianya, dan berpikir untuk mengajakku
bersamanya. Dia memperhatikanku tanpa emosi, tapi mungkin jauh di dalam
mata yang tidak berwarna itu, ada rasa kebencian yang membara bagi yang masih
hidup. Aku takut untuk melihat wajah gadis hantu itu, jadi aku selalu
berjalan cepat bila melalui di jalan itu.
Aku baru saja
menyaksikan acara khusus musim panas di TV tentang aktifitas paranormal. Aku
mendengar desas-desus tentang seorang anak yang hilang di daerah itu beberapa
tahun yang lalu. Beberapa faktor yang seperti ini semakin meyakinkanku
bahwa gadis sakit-sakitan yang selalu menyaksikanku lewat melalui jendela
adalah hantu. Aku tidak memiliki imajinasi aktif sampai membuatku
kehilangan akal sehat.
Musim panas
itu, aku mengikuti les renang. Atau lebih tepatnya, aku dipaksa untuk
mengikutinya. Ibuku berpikir rasanya sangat menyedihkan melihat putranya
mengurung diri terus di rumah sepanjang hari untuk liburan musim panasnya, jadi
dia mendaftarkanku untuk les renang singkat untuk mengeluarkanku dari rumah dan
aktif. Tempat kolam renangnya sendiri berjarak sekitar 10 menit dari
rumah, dan hanya ada lima siswa selain aku. Mereka berlima sepertinya
sudah berteman sebelumnya, jadi hanya aku satu-satunya yang tersisa. Tentu
saja, aku merasakan rasa keterasingan di rumah sejak aku dilahirkan, jadi itu
tidak terlalu bermasalah. Aku hanya membayar bunga kepada hantu.
Tempat kolam
renang dibangun di tanah yang sangat rendah, jadi cuma ada satu jalan yang
tidak bisa kamu hindari untuk sampai ke sana, dan jendela di rumah gadis hantu
langsung menghadap ke jalan itu. Orang tuaku tidak mengantarku ke sana,
dan aku tidak punya teman untuk menemaniku pulang pergi, jadi aku selalu harus
berjalan di depannya sendirian. Meski tidak seburuk ketika pergi ke kolam
renang, karena masih siang, tetapi karena aku pulang sampai menjelang malam,
aku menggigil ketakutan saat berpikir untuk melakukan kontak mata dengan gadis itu
dalam kegelapan. Pada saat yang sama, aku merasa bila aku membuang muka,
dia mungkin mengambil kesempatan itu untuk melakukan sesuatu. Jadi bahkan
setelah melewati jendela, aku memeriksa di belakangku berulang kali untuk
melihat apakah dia masih ada di sana. (Aku bahkan tidak pernah menganggap kalau
dia mungkin melihat itu sebagai tanda kasih sayang.)
Hari demi
hari, aku melihat hantu itu lebih sering. Bukan untuk merusak kesenangan, tapi
dia mulai belajar kapan aku lewat - namun aku menganggap perubahan itu sebagai
pertanda buruk. Aku yakin ini sedang menuju sesuatu, pikirku.
Tebakanku
benar, dalam arti tertentu. Tak lama, gadis hantu itu mulai tersenyum dari
balik jendela setiap kali dia melihat wajahku. Itu adalah senyuman yang polos,
tapi pikiranku diselimuti ketakutan melihatnya sebagai senyum kejam dari
seorang pemangsa. Selain itu, senyuman itu sepertinya hanya ditujukan untukku,
karena anak-anak lain bilang kalau ekspresinya sama sekali tidak berubah ketika
mereka lewat. Kecemasanku menjadi keyakinan.
Dia
itu roh jahat. Sosok yang meminjam bentuk gadis manis, tapi sebenarnya
adalah binatang lapar yang berkamuflase menjadi manusia dan memakan jiwa
mereka. Dan diriku - karena alasan apa,
aku tidak tahu - telah ditargetkan oleh roh jahat ini.
Rasa
takut perlahan menyelimuti diriku. Yang aku pikirkan adalah bagaimana caranya
untuk bisa membuat roh jahat itu mengampuniku. Tertidur atau terjaga,
wajah gadis terus memenuhi pikiranku. Kedengarannya seperti aku adalah
seorang bocah yang naksir dengan gadis itu, dengan pengecualian aku merasa
sangat ketakutan. Aku bermimpi buruk tentang dia yang datang untuk
mendapatkanku, atau menyeberang ke alam sana ketika jendela itu terbuka.
Aku
mempertimbangkan untuk berbicara dengan seseorang tentang hal itu beberapa
kali, tetapi aku mulai berpikir hanya mengakui keberadaannya itu sendiri saja
sudah mengundang bencana, jadi aku ragu-ragu. Selain itu, aku tidak memiliki
siapa pun untuk diajak bicara, baik teman atau orang tua yang peduli
padaku.
Waktu
satu bulan terasa sangat panjang. Namun akhirnya, akhir bulan pun
tiba.
Hari
terakhir les berenang, aku mengucapkan selamat tinggal kepada dua instrukturku,
dan meninggalkan kolam. Tubuhku kelelahan setelah berenang untuk waktu
yang lama, tapi langkahku terasa ringan. Sekarang aku akhirnya bisa
bebas. Aku tidak perlu lewat di depan jendela itu lagi. Aku tidak
perlu melihat wajahnya. Hatiku terbelenggu pada pikiran itu.
Rumah
hantu itu mulai terlihat. Jantungku mulai berdebar sangat kencang. Karena
matahari terbenam, aku tidak bisa melihat melalui jendela dari
kejauhan. Namun aku tahu. Dia pasti ada di sana lagi hari
ini. Dengan siku di ambang jendela dan dagu di tangannya, menatap linglung
ke kejauhan, membungkuk ke depan ketika dia melihatku dan memasang senyum
itu.
Dan
benar saja, hantu itu ada di sana.
Tapi
entah bagaimana, dia terlihat berbeda hari ini. Ketika dia melihatku, dia
tidak bergeming, dan juga tidak tersenyum. Sama seperti pertama kali aku
lewat, matanya hanya mengikutiku secara mekanis. Aku mengusap mataku untuk
memeriksa ekspresinya.
Ketika
aku menyadari bahwa hantu itu sedang menangis, kesadaran yang aku bangun selama
sebulan terakhir telah runtuh. Pembalikan instan. Roh jahat yang
mengancamku sama sekali tidak ada; yang ada di sana hanyalah gadis manusia
yang hidup dan bernapas.
Memanggilnya
hantu sangatlah absurd. Gadis yang menangis di balik jendela hanyalah
tahanan yang malang, dikurung di rumahnya karena suatu alasan dan merindukan
untuk bisa ke luar, dan itulah sebabnya dia selalu duduk di sana. Tubuhnya
yang halus terasa lebih kecil dari sebelumnya bagiku. Aku merasa diriku
sangat menyedihkan karena takut dengan seorang gadis pemalu seperti itu.
Pada
saat yang sama, aku merasa penasaran mengapa dia menangis. Karena rasa terancam
sudah lenyap, yang tersisa hanya rasa malu karena terlalu takut, dan rasa
penasaran murni terhadap gadis itu.
Dinding
beton antara jendela dan jalan tidak lebih dari satu meter, jadi mudah dilewati. Aku
pertama kali melempar tasku yang sedikit beraroma klorin, lalu melompat. Dan
aku sekarang berdiri di depan jendela yang baru aku lihat dari kejauhan
sebelumnya.
Gadis
itu melihatku melakukan ini dengan tatapan tajamnya. Ketika aku dengan
ringan mengetuk kaca jendela, dia terkejut seolah-olah tersambar petir,
bergegas membuka kunci jendela, dan membukanya. Dan kemudian kami saling
memandang dari dekat untuk pertama kalinya.
Saat
itu sore hari di bulan Agustus yang penuh dengan jeritan jangkrik yang
bergema.
Gadis
itu tersenyum dengan wajah berkaca-kaca, dan mengeluarkan suara antara “ehehe”
dan “ahaha.”
Kecurigaanku
tentang dia sudah terselesaikan, tapi aku masih bertanya karena rasa
penasaran.
“Kau
ini bukan hantu, kan?”
Dia
berkedip beberapa kali, lalu dengan lembut tertawa. Kemudian dia
meletakkan tangan kirinya ke dadanya seolah memeriksa denyut nadi, dan sedikit
memiringkan kepalanya.
“Aku
masih hidup. Untuk saat ini, setidaknya.”
Itu
adalah pertemuan pertamaku dengan Touka Natsunagi. Selama satu dekade
berikutnya, aku berulang kali digoda karena konyolnya pertanyaan itu. Dan aku
pada akhirnya tidak pernah diberitahu alasan dia menangis hari itu.
Untuk
telingaku yang masih berusia 7 tahun, kata-kata seperti “asma” dan “kejang”
terdengar seperti kata-kata dari bahasa asing. Tapi aku bisa memahami
intinya sedikit, gadis itu menderita penyakit kronis yang membuat orangtuanya
melarangnya meninggalkan rumah.
“Aku
tidak tahu kapan aku mungkin mendapat serangan, oleh karena itu, aku tidak
boleh keluar rumah.”
Mungkin
karena dia sudah banyak mendapat penjelasan mengenai penyakitnya, atau karena
dia sering mendengar detail ini dari orang tuanya dan dokter, dia sangat fasih
ketika berbicara tentang asmanya, dan mengucapkan banyak kata-kata yang mustahil
bisa kau dengar dari anak yang berusia 7 tahun.
“Lagipula,
Aku tidak mau menyebabkan masalah bagi orang lain.”
Tidak
peduli bagaimana kau melihatnya, kata-kata itu tidak berasal dari dirinya sendiri. Orang
tuanya pasti terus menjejalkan hal itu padanya.
“Jika
kau pergi keluar, apa kau akan kena serangan asma?”, tanyaku, mencoba istilah
yang baru saja aku pelajari.
“Kadang-kadang.
Jika aku melakukan olahraga berat, atau menghirup udara kotor, atau menjadi
cemas, sepertinya serangan asma menjadi lebih mungkin. Bukan berarti semuanya akan
baik-baik saja jika aku terus tinggal di dalam rumah ...” Kemudian gadis itu
mengatakan kalimat lain yang terasa seperti itu dalam tanda kutip. “Intinya,
jika aku kena serangan asma di luar, itu akan merepotkan orang lain.”
Setelah
mencerna penjelasannya, aku bertanya lagi:
“Kenapa
kau selalu melihat ke luar jendela?”
Dia
segera menundukkan wajahnya dan terdiam. Dan dia menggigit bibirnya seolah-olah
berusaha menahan air mata. Sepertinya aku telah menyentuh topik yang
seharusnya tidak aku tanya.
Segera,
aku membuatnya menjadi usulan.
“Hei,
ayo pergi ke suatu tempat bersama.”
Dia
perlahan mengangkat kepalanya. Dia lalu memiringkannya ke samping, seakan
menyiratkan “apakah anak ini tidak mendengarkan apa yang aku bicarakan tadi?”
“Kau
bahkan tidak perlu berjalan. Aku akan menggendongmu.”
Aku
mengatakan kepadanya “Tunggu sebentar di sini” dan pulang
terburu-buru. Setelah melempar tasku ke bawah pintu depan, aku melesat
kembali ke rumah hantu dengan sepedaku. Dia sedang menunggu di posisi yang
sama seperti ketika dia melihatku pergi, dan tersenyum lega melihatku
kembali.
Aku
menghentikan sepeda dan menunjuk ke arah belakang.
“Duduklah
di belakang.”
Dia
ragu-ragu. “Tapi ibuku akan marah kalau aku keluar ...”
“Kita
tidak akan lama, jadi jangan khawatir. Apa kau tidak mau keluar?”
Dia
menggelengkan kepalanya.
“Aku
mau.”
Dia
mengambil sepatunya yang ada di pintu masuk dan memakainya, melompat turun dari
jendela dan mendarat dengan goyah. Dia dengan hati-hati memanjat dinding,
menjatuhkan diri di belakang sepeda, dan meraih bahuku.
“Baiklah
kalau begitu, tolong.”
Aku
mengangguk. Lalu tiba-tiba, aku sadar kalau aku belum menanyakan
namanya.
“Siapa
namamu?”
“Touka,”
balasnya. “Touka Natsunagi. Dan kamu?”
“Chihiro
Amagai.”
“Chihiro
...”
Dia
terus mengulang-ulang nama itu. Kedengarannya aneh, tapi rasanya seperti
pertama kalinya dalam hidupku seseorang menggunakan namaku dengan benar.
Sampai
saat itu, aku tidak menyukai namaku. Aku pikir itu adalah nama payah yang
terdengar terlalu feminim. Tapi saat Touka berkata “Chihiro,” Aku merasa sangat bersyukur bahwa namaku adalah Chihiro.
Chihiro. Kedengarannya
bagus.
Bila
dipikir-pikir lagi sekarang, meskipun, setiap nama yang dia panggil akan
terdengar luar biasa datang darinya.
“Aku sudah siap
sekarang,” kata Touka dari belakangku.
Aku dengan
gugup mulai mengayuh. Sepeda perlahan-lahan bergerak dengan kami berdua di
atasnya. Touka menaikkan suaranya yang bukan seperti teriakan atau jeritan
dan memelukku.
“Apa kau akan
baik-baik saja?”, Aku bertanya tanpa menoleh ke belakang.
“Umm, entah
... aku merasa sangat bersenang-senang, mungkin saja aku akan kena serangan
asma.”
Aku buru-buru
menarik rem, dan dia tertawa seperti biasa antara "ehehe" dan "ahaha."
“Cuma bercanda,
kok. Aku baik-baik saja. Kamu bisa menambah kecepatan."
Itu membuat aku
sedikit kesal, jadi aku mencoba sepeda dengan sengaja di jalur berkelok-kelok. Dia
memegang erat bahuku, sambil tertawa gembira.
*****
Mimori dibuat sesuai
dengan keinginan terpendam si klien, tetapi hanya memasukkan keinginan yang
belum diolah sebagaimana hasil dalam konflik antara ingatan asli dan Mimori. Jika kau mendapatkan Mimori yang jelas bertentangan dari
kenyataan, mereka takkan melekat sebagai kenangan. Mereka diperlakukan
seperti cerita orang lain.
Itulah
sebabnya mengapa Mimori mengambil
bentuk “kemungkinan terbaik” yang agak lebih realistis, daripada benar-benar
seperti mimpi. Sesuatu yang takkan terasa aneh jika itu terjadi, tapi
juga, pasti tidak terjadi. Sesuatu yang seharusnya terjadi. Sesuatu
yang kau harapkan terjadi.
Mimori yang
ditanamkan dalam diriku, sebagian besar, telah dijalin dengan cerdik ke masa
laluku yang sebenarnya. Misalnya saja, memang benar kalau aku mengikuti
les renang singkat saat aku berusia tujuh tahun. Itu juga benar bahwa
seseorang selalu menatapku saat aku melewati jendela setiap hari. Perbedaannya
adalah makhluk yang menatapku bukanlah gadis yang seusiaku, melainkan kucing
yang sudah tua.
Itu juga
benar bahwa aku dipilih sebagai anchor
saat perlomaan lari estafet pada masa kelas 3 SMP. Namun, gadis yang
menyemangatiku dan menghiburku dari tekanan, bagaimanapun juga, sama sekali tidak
ada. Pada saat aku melewatkan tongkat estafet, kelas kami berada diurutan terakhir,
dan aku tidak melewati satu lawan, jadi kami selesai menempati posisi terakhir. Tidak
ada kata penghibur maupun terima kasih. Kenyataannya, teman-teman
sekelasku tidak terlalu baerharap menang pada lomba lari estafet ini. Aku
hanya dibuat untuk mengambil kerugian. ... Aku bisa terus mengulik dengan
contoh-contoh ini.
Ada banyak
episode kenangan yang merupakan simulasi mendetail berdasarkan perumpamaan “bagaimana jika teman masa kecil bernama
Touka Natsunagi benar-benar ada?” Apa yang digambarkan bukan
sepenuhnya omong kosong belaka. Kebohongan itu dipertahankan seminimal mungkin,
dan diriku yang asli juga merasa tidak ada yang salah dengan perkataan serta
tindakanku di Mimori tersebut. Aku
bisa menerima secara wajar bahwa aku akan bereaksi begitu jika aku ditempatkan
dalam situasi seperti itu. Itu sepenuhnya masuk akal jika ini terjadi -
jika Touka Natsunagi tidak berdiri di sampingku.
Dengan kata
lain, mereka adalah kenanganku dari dunia paralel yang diberkati. Atau
mungkin itu saudara kembarku, yang mungkin berada dalam situasi yang sama
persis, namun menjalani kehidupan yang lebih membahagiakan ketimbang diriku. Itulah
sebabnya kenangan dalam Mimori sangat
realistis - dan juga kejam. Kau bisa dengan mudah menyerah pada sesuatu
yang kau tahu dari awal kalau kau tidak memilikinya. Tapi sesuatu yang
dapat kau miliki hanya dengan satu langkah kecil akan membuatmu menyesal
selamanya. Melalui Mimori-ku, aku
diberi tahu bahwa perbedaan antara diriku yang bahagia dan tidak bahagia hanyalah
setipis kertas. Temui dia, atau jangan temui dia - perbedaan itulah pembagian
antara surga dan neraka.
Aku pikir aku
sudah menyerah pada kebahagiaan biasa sejak lama. Tapi setelah dorongan “itu bisa saja terjadi seperti ini”
tepat di depan mataku, aku tahu seberapa menyakitkannya bahwa aku belum
menyerah sedikit pun. Aku pikir aku telah menjaganya dengan baik dan
memisahkannya, tapi aku benar-benar hanya menutupi keinginanku dengan erat
supaya mereka tidak terlihat.
Sekarang aku
tahu. Aku ingin mengalami cinta tanpa syarat, tapi lebih dari itu, aku
pikir aku ingin menjadi pahlawan untuk seseorang.
Aku mau
ingatanku sejak usia 6 sampai usia 15 tahun terhapus sehingga bisa lepas dari
kekosongan semacam ini.
Aku ingin menjadi
nol mutlak, sehingga tidak ada ruang tersisa untuk “itu bisa saja terjadi seperti ini.” Dengan melakukan itu, aku
berharap untuk menghancurkan semua sisa kemungkinan yang ada.
Aku tidak
memiliki nafsu makan, tapi perutku yang kosong mulai terasa sakit lagi. Aku
mematikan puntung rokokku, melangkah ke dapur, menaruh ceret di atas kompor,
dan menatap kosong api kompor sambil menunggu air mendidih. Setelah ketel
mulai menyemburkan udara panas, aku mematikan kompor, dan sambil berjongkok
untuk mengambil ramen dari bawah wastafel, aku menemukan sesuatu di
lantai.
Itu selembar
kertas kecil. Aku pikir itu kertas resep pada awalnya, tapi aku mengaisnya
dan menemukan tulisan tangan di atasnya. Sebuah catatan yang ditujukan
kepadaku. Tidak perlu ditanyakan lagi siapa yang meninggalkannya.
Aku ingin
tahu apakah dia bersenandung sendiri saat dia menulis ini. Apa dia
bermaksud meninggalkanku pesan ini dan kembali ke kamarnya sendiri karena
sepertinya aku akan pulang telat? Tetapi begitu dia selesai menulis, aku
kembali. Dan ketika dia menyombongkanku tentang masakannya malam itu, aku
dengan paksa mengusirnya dan mencuri kembali kunciku (mungkin saat itulah kertas ini terjatuh ke lantai), membuang
makanannya di tempat sampah tepat di depan matanya, dan meneriakinya untuk
segera meninggalkan apartemenku. Itu sebabnya catatan itu ada di
sini.
Inilah yang
dikatakannya.
“Aku harap kamu baik-baik saja, Chihiro.”
Aku berdiri
di sana tak bergerak sambil memegangi kertas.
Tiba-tiba, aku
membayangkan adegan bukan “dia,” melainkan “Touka Natsunagi” meninggalkan catatan
itu.
Segera, aku
merasakan kesedihan mendalam yang hampir membuat napasku terhenti.
Rasa gembira,
kemarahan, kasih sayang, kehampaan, rasa bersalah, kehilangan,
perasaan-perasaan ini datang dan pergi sekaligus. Mereka menyerbu dadaku
dan merobeknya, mencungkilnya, mengirisnya, dan menginjak-nginjak tanpa ampun. Dan
kemudian hanya rasa sedih saja yang tersisa di dalam lubang yang dibor di
hatiku.
*****
Setelah aku
selesai minum-minum, itu terasa antiklimaks.
Di atas meja
ada dua bungkus paket yang terbuka dan sebuah gelas. Gelasnya sudah
kosong, dan aku mengisinya dengan gin dan meminumnya. Aku tidak bisa
menemukan peringatan yang menyarankan untuk tidak mencampur alkohol dengan
dosis nanobot, jadi kurasa tida ada masalah.
Aku tidak
memiliki penyesalan yang aku khawatirkan, maupun rasa pencapaian yang aku
harapkan. Paling setidaknya, ada sedikit rasa lega karena aku sudah mengurus
tugas yang merepotkan.
Setelah meminum
gin, aku jatuh di atas tikar dan menunggu Lethe mencapai otakku. Aku belum
bisa mengatasi rasa takut kehilangan ingatanku, tapi keinginanku untuk
melupakan rasa sakit ini sesegera mungkin yang menang.
Segera, rasa
kantuk menyelimuti diriku, dan aku kehilangan kesadaran dengan sensasi seperti
tenggelam.
*****
Aku mendengar
sesuatu yang keras menghantam lantai.
Setelah
bangun, aku harus berpikir apakah aku mendengar suara itu dalam mimpi atau
dalam kenyataan.
Mungkin kenyataan, pikirku.
Lalu dari
mana asalnya?
Dari ruang
tetangga.
Aku
mendengarkan dengan baik-baik. Angin topan telah melewati puncaknya, tapi
masih ada suara angin kencang yang datang dari celah di jendela. Tidak ada
suara dari ruangan lain. Aku menempelkan telingaku ke dinding tipis,
memejamkan mata, dan memusatkan perhatian pada pendengaranku. Benar saja,
yang bisa kudengar hanyalah angin.
Lambat laun, suara
angin mulai terdengar seperti napas seseorang. Suara itu tidak asing
bagiku. Itu adalah pernapasan seseorang yang mengalami serangan
asma. Cara Touka bernafas ketika dia pingsan. ... Sepertinya aku
belum melupakan Touka Natsunagi. Sudah berapa jam sejak aku
tertidur? Tentunya aku bisa berharap Lethe sudah berefek sekarang. Aku
menolak untuk percaya bahwa aku dikirimi nanobot yang salah lagi. Mungkin
seharusnya aku tidak meminumnya dengan alkohol.
Untuk
mengujinya, aku membuat daftar yang aku ingat mengenai Touka
Natsunagi. Rambut panjang, kulit pucat, senyum ramah, tubuh halus, lima ciuman,
Cahaya kunang-kunang, lomba lari estafet, ruang belajar dan recorder, hantu di jendela, wajahnya
semua biru, dadanya mengembang dan mengempis aneh saat dia bernapas, nafas
siulannya, Inhalernya yang tergeletak di lantai,
“Dokter
mengira itu mungkin karena perubahan tekanan udara.” piyama putih polos,
leher, dan lengannya yang kurus,
“Maksudku, ada
angina topan yang mendekat, ‘kan? Rupanya itu membuat tekanan udara turun
dengan cepat, jadi aku mendapat serangan asma.”
Bukankah dia
punya serangan asma dan pingsan?
Bukankah
tekanan udara yang rendah membuat asmanya lebih buruk?
Bukankah dia
sudah merangkak di lantai, tidak bisa bergerak?
Aku mencampur
kenangan asli dan Mimori lagi. Aku
menyadari itu. Ya, Touka Natsunagi menderita asma serius, tapi gadis di
ruangan itu adalah orang yang berbeda dari Touka Natsunagi. Gadis itu,
Touka Natsunagi, dari awal sama sekali tidak pernah ada. Bukannya aku
sudah mengkonfirmasi hal tersebut setelah bertemu Nozomi Kirimoto? Namanya
bahkan tidak ada di buku tahunan.
Namun, mau
seberapa banyak argumen logis yang aku pikirkan, tubuhku tidak akan
puas. Jantungku berdetak lebih cepat, rasanya seperti akan segera
meledak. Penglihatanku menjadi buram, jari-jariku mati rasa, otot-ototku
bergetar. Sejenak, aku lupa bagaimana caranya bernafas, jadi aku buru-buru
menarik napas dalam-dalam.
Aku sudah
mencapai batasku. Aku langsung pergi tanpa alas kaki ke lorong yang basah
oleh hujan. Jari-jariku gemetaran, aku membunyikan bel pintu kamar
tetangga. Tidak ada respon. Aku terus membunyikannya setiap beberapa
detik. Masih belum ada respon. Aku mengambil ponselku dari saku dan
menelponnya. Tidak ada respon. Aku mengetuk pintu dengan marah. Aku
terus mengetuk.
Masih belum
ada respon.
“Touka!”
Tanpa aku
sadari, aku sudah meneriakkan namanya.
Tidak ada
jawaban.
Untuk
sementara, aku menggantungkan kepalaku dengan tanganku di pintu. Semprotan
air hujan membuatku basah kuyup tanpa kusadari. Segera, suara angin
berhenti, dan itu menenangkanku sediki. Aku tiba-tiba mulai merasa malu
dengan tindakanku.
Jika tidak
ada respons berarti dia sedang keluar. Itu saja. Apa yang terdengar
seperti napas asmanya adalah angin yang masuk melalui jendela, dan suara
seperti seseorang yang runtuh adalah angin yang menabrak sesuatu. Mungkin
dia pergi dengan jendela yang masih terbuka.
Aku tertawa
mengejek diriku sendiri dan mengambil korek api dan rokok dari kantongku. Aku
duduk di genangan air hujan di lorong dan mengisi paru-paruku dengan asap,
mengembuskannya lima detik kemudian. Lalu aku bersandar di dinding dan
memejamkan mata.
Aku tidak
lagi peduli mengapa Lethe tidak berpengaruh. Aku hanya ingin melihat wajah
Touka sekarang. Bahkan jika aku tahu betapa bodohnya itu, aku merasa lega
jika mengetahui kalau dia aman.
Di balik
kelopak mataku, aku merasakan sinar matahari.
Dia pasti
menyamarkan langkah kakinya di antara suara hujan yang menetes dari selokan.
Aku mendengar
tawa yang membagi perbedaan antara “ehehe” dan “ahaha” sangat dekat.
Itu bukan
halusinasi atau sesuatu yang salah dengar.
Ketika aku
membuka mataku, Touka sedang membungkuk dan melihat wajahku.
Kewarasanku
belum bisa mengikuti.
“Kamu pikir
aku pergi?”
Dengan
pernyataan itu, dia lalu duduk di sampingku.
“... Atau apa
kamu pikir aku mengalami serangan asma dan tidak bisa bergerak?”
Aku tidak
bisa mengumpulkan tenaga untuk menanggapinya. Aku terlalu sibuk karena berusaha
menyembunyikan kelegaanku.
“... Sudah
berapa lama kau ada di sini?”
“Sejak kamu
mengetuk pintu, Chihiro.”
Dia
mendekatiku, sampai dijarak kami bisa merasakan napas satu sama alin.
“Kamu
memanggilku Touka lagi.”
“Kau pasti
salah dengar.”
“Hmm, jadi
aku salah dengar, ya ...” Dia dengan sengaja membelalakkan matanya. “Lalu
apa yang sebenarnya kamu katakan?”
Saat aku
menjawab dengan diam, Touka mendengus.
“Kau menukar Lethe dengan yang palsu, bukan?”, Aku
bertanya.
“Ya,” dia
menegaskan tanpa rasa takut. "Lagipula, aku tidak ingin dilupakan,
dan aku tidak ingin kamu melupakannya.”
Aku terlalu
tercengang sampai tak bisa berkata apa-apa.
“Bisakah aku
bertanya pertanyaan lain?”
“Apa?”
“Kenapa kamu
buru-buru mematikan rokokmu?”
Aku melihat ke
tanganku. Itu adalah tindakan yang sepenuhnya tidak disadari. Matanya
menyipit gembira.
“Kamu ingat
kalau aku tidak suka rokok, bukan?”
“... Itu cuma
kebetulan.”
Sungguh
alasan yang menyedihkan.
Aku tidak
menyadari ini sampai dia menunjukkannya, tapi aku tidak pernah merokok di
depannya.
Apa itu
karena dia adalah gadis pengecualian?
Tidak
mungkin.
Aku bisa
mencoba untuk menolak semua yang aku inginkan, tapi aku secara tidak sadar
telah menerima wanita ini sebagai Touka Natsunagi.
“Tidak
apa-apa. Aku sudah baik-baik saja sekarang. Aku juga tidak keberatan dengan bau
rokok.”
Touka dengan
lembut bersandar di pundakku. Sama seperti ketika kita duduk bersama dan
mendengarkan rekaman musik dalam ruang belajar.
Dan dia
berbisik ke telingaku.
“Tenang. Aku
tidak akan menghilang begitu saja.”
*****
Malam itu, aku
mencicipi masakan Touka untuk pertama kalinya.
Yang bisa aku
komentari adalah masakannya sangat lezat.
Touka
menempelkan dagunya di kedua tangannya dengan siku di atas meja, menatapku
dengan mata membelalak, menunggu pendapatku, dan aku bertanya padanya.
“Kenapa kau melakukan
semua ini untukku?”
Dia menjawab
dengan jawaban yang tidak ada jawabannya.
“Aku
melakukan semua ini karena aku ingin melakukannya.”
Aku menghela
nafas.
“Pada
dasarnya, sejauh target untuk penipuan pergi, aku tidak bisa membayangkan kalau
aku sangat berharga.”
“Hmm,” kata
Touka. “Maksudku, itu adalah janji.”
“Janji?”
“Iya, janji.”
Dia
mengiyakannya dengan senyum kepuasan diri. Dan kemudian dia berbicara
dengan nada yang tidak bisa aku anggap sebagai bercanda atau serius.
“Itu sebabnya
aku berniat mengabdikan diriku untukmu, Chihiro.”
Aku memeriksa Mimori-ku, tetapi kata "janji" terdengar asing. Justru karena semua pernyataannya sebelumnya telah sejalan dengan Mimori-ku, ketidakkonsistenan itu meninggalkan sedikit kekakuan di dalam hatiku.
Chp ini bikin diabetes
BalasHapus