Chapter 06 – Heroine
Mimpi buruk
adalah hal baik. Aku sering mengalami mimpi buruk. Mereka selalu
mengikuti alur yang kurang lebih sama.
Misalnya, ada
seseorang yang berharga bagiku dalam mimpi itu. Seorang gadis sebaya. Mimpi
burukku dimulai dengan aku yang kehilangan sosoknya.
Aku terus menerus
mencarinya. Dia ada di sana beberapa detik yang lalu. Dia memegang
tanganku, aku yakin itu. Dia tersenyum tepat di sampingku. Saat aku
memalingkan wajah, sedetik kemudian aku melepaskannya, dia lenyap seperti kabut.
Ke mana dia pergi?
Aku bertanya
pada seseorang yang ada di dekatku. Apa
kau tahu [ ]? (Bahkan aku tidak bisa mendengar namanya.)
Dia seseorang yang penting bagiku. Dan orang itu merespon. Aku tidak tahu [ ]. Siapa yang kau bicarakan? Seolah-olah kau memiliki seseorang yang
penting bagimu. Bagaimana mungkin dia bisa menghilang begitu saja
seakan-akan dari awal dia tidak pernah ada?
Itu tidak mungkin benar, dia pasti ada di sini, aku membantahnya. Tapi segera setelah itu, aku
sadar kalau aku tidak bisa mengingat nama gadis itu. Dan juga hal lain
yang berkaitan dengannya. Aku tidak bisa lagi mengingat seperti apa wajahnya,
seperti apa suaranya, bagaimana dia memegang tanganku, aku sama sekali tidak
bisa mengingat semua hal itu.
Aku tidak
punya apa-apa kecuali perasaan bahwa aku kehilangan sesuatu yang sangat
berharga. Segera, bahkan perasaan itu menjadi kabur dan lenyap, dan
setelah seketika kosong, segalanya menghilang, dan hanya meninggalkan rasa
kehilangan.
Ada juga tipe
yang berlawanan. Mungkin rumah orang tuaku atau ruang kelas
sekolah. Orang-orang menatapku dengan curiga. Siapa laki-laki ini, mengapa Ia ada di sini ?, mereka semua bertanya. Aku
tergesa-gesa mencoba memberikan namaku. Tapi kata-kata yang ditenggorkanku
tidak keluar dengan benar. Aku tidak ingat namaku sendiri. Ketika aku
berpikir sejenak dan akhirnya memeras sesuatu, kedengarannya seperti nama orang
asing, bahkan bagiku sendiri. Yang lain juga bilang kalau mereka tidak
kenal orang seperti itu.
Kemudian,
seseorang berbisik di telingaku. [ ],
kau adalah orang yang tidak pernah ada. Sama seperti tiga anak perempuan
yang ibumu dapatkan dengan menggunakan Angel,
kau hanyalah seorang Pengganti yang
lahir dari perubahan ingatan di otak seseorang.
Setiap jenis
fondasi mulai menghilang. Aku kehilangan apa yang membuatku berdiri, dan
jatuh tanpa henti.
Meski aku
bertingkah seolah-olah itu tidak menggangguku, kenyataan bahwa ibuku yang meninggalkanku,
kenangan dan semuanya, pasti terus membuat bayangan gelap di pikiranku.
Ketika aku
bangun dari mimpi buruk itu, kenyataan terasa seperti tempat yang lebih
baik. Dibandingkan dengan dunia-dunia itu, dunia yang di sini masih bisa
memiliki harapan. Mimpi buruk akan dengan aman menyiksaku dan membuat
mataku melihat kebajikan dalam kenyataan (meski
hanya dalam hitungan menit). Dengan cara itu, mimpi buruk adalah hal
baik.
Apa yang
harus benar-benar ditakuti adalah mimpi indah. Itu benar-benar
menghancurkan nilai realitas darimu. Ketika mimpi diwarnai dengan keindahan,
hanya dibutuhkan banyak cat dari kenyataan. Ketika kau bangun, kau diingatkan
tentang kekosongan hidupmu. Kau merasakan tidak adanya kebahagiaan lebih
kuat dari sebelumnya. Karena kebahagiaan dalam mimpi bahkan tidak
memberimu ilusi, itu hanya kebahagiaan yang sepenuhnya tidak berhubungan dengan
diriku yang sebenarnya.
Sangat jarang,
dalam mimpi yang indah, aku bisa menyadari kalau aku berada di dalam
mimpi. Ketika itu terjadi, aku menutup mata dan menutup telingaku, dan
berdoa untuk kembali ke dunia nyata secepat mungkin. Jika aku merasa
seperti itu, aku mungkin bisa menjadi raja alam mimpi dan melakukan apa pun
yang aku suka, tapi aku tidak. Karena aku tahu betul bahwa semakin baik
yang aku rasakan di dunia ini, semakin aku menderita.
Dalam mimpi
buruk itu, gadis yang kulupakan itu tiba-tiba berada di sampingku. Dia menatapku
langsung dan berkata, “Kenapa kamu
melakukan itu?” Dia memiringkan kepalanya ke samping. “Jika kamu memintanya, aku bisa memberikan
apa pun yang kamu mau.” Bahkan jika aku menutup mata dan menutup telingaku,
aku masih bisa dengan jelas merasakan penampilan dan suaranya. Dalam
mimpi, kau bisa melihat benda-benda dengan mata tertutup dan mendengar sesuatu dengan
telinga tertutup.
Karena aku
penduduk dunia nyata, aku menjawab tanpa berbicara. Jika aku ingin tetap tinggal di sana, aku harus menyimpan sebanyak
mungkin cat di sana yang dapat aku kelola. Jadi aku tidak bisa membuang-buang
warna di sini untukmu.
Dia tersenyum
sedih. Hanya tampilan senyumnya saja sudah menghabiskan banyak sekali
sumber daya. Dan ketika aku bangun, dunia jauh lebih pudar daripada
sebelum aku tidur. Suara gadis dalam mimpi itu masih terngiang-ngiang di
gendang telinga aku. Jika kamu
memintanya, aku bisa memberikan apa pun yang kamu mau.
Itu sebabnya
aku takut pada mimpi indah. Aku takut bahwa satu mimpi indah bernama Touka
Natsunagi yang datang mengambang di musim panas ketika aku berumur 20 tahun. Aku
bersembunyi dalam cangkang jahat dan rasa tidak percaya, dan cuma memikirkan
diriku sendiri. Aku tidak mau mencoba mengira-ngira keadaannya.
Berkat ini,
aku menyesal selamanya dengan cara yang aku habiskan musim panas
ini. Kenapa aku tidak percaya apa yang dia katakan? Mengapa aku tidak
bisa jujur dengan perasaanku sendiri? Kenapa
aku tidak bisa bersikap ramah padanya?
Dia menangis
sendirian setiap malam.
Tangan yang
diulurkannya adalah tangan keselamatan, dan tangan yang mencari keselamatan.
Pepatah
mengatakan, tidak ada gunanya menyesali kejadian yang sudah terjadi. Tidak
ada gunanya berduka atas apa yang telah hilang; lupakan saja, kata mereka. Tapi
aku telah melihat bahwa sikap itu kurang menghormati apa yang sudah terjadi dan
apa yang telah hilang. Aku mulai berpikir itu sama saja dengan menendang
kotoran pada firasat kebahagiaan yang dulu dengan lembut tersenyum
kepadamu.
*****
“Pastinya, kau
melakukan tugasmu dengan baik.”
Saat Touka
datang ke apartemenku keesokan paginya dan mulai menonton TV seolah-olah itu adalah
hal yang normal, aku mulai berbicara dengannya.
Dia menjulurkan
lehernya dengan wajah mengantuk.
“Apa
maksudmu?”
Setelah dia
melihat betapa malunya aku yang dengan putus asa meneriakkan nama Touka
semalam, sepertinya tidak ada gunanya mencoba berpura-pura untuknya. Jadi
aku berbicara dengan jujur.
“Maksudku, kau
adalah aktor yang sangat lihai. Kau menjawab hasrat terpendamku dengan luar
biasa. Bahkan hanya dengan mengetahui isi Mimori
dan catatan pribadiku, masih dibutuhkan bakat serius untuk berperilaku
dengan sempurna. Aku hampir saja berhalusinasi. bahwa seorang gadis bernama
Touka Natsunagi sebenarnya benar-benar ada.”
“Iya ‘kan,
Iya ‘kan?”
Dia dengan
riang mengangguk lagi dan lagi. Kemudian dengan sangat santai -
“Maksudku,
aku sudah berlatih ribuan kali.”
Dia mengatakan
sesuatu yang memalukan.
Sepertinya
dia tidak mengantuk dan sengaja menceploskannya.
“Kau mengakui
kalau kau berbohong?” Tanyaku,
“Yah, tidak
... Seperti yang sudah kukatakan berulang kali, Chihiro, aku ini teman masa
kecilmu. Tapi ...” Dia meletakkan tangan ke mulutnya dan berpikir, lalu mengangkat
jari telunjuknya. “Oke, kamu tahu cerita tentang Angin Utara dan sang
Matahari, ‘kan?” (TN :
Cek sendiri di google, itu cerita yang lumayan terkenal)
Tentu saja,
bahkan aku pernah mendengarnya. “Memangnya ada apa dengan itu?”
“Jika aku berbicara
jujur padamu kalau aku sebenarnya berbohong, kupikir itu mungkin akan
mempermudahmu juga, Chihiro. Pada dasarnya, aku pembohong, dan kamu tidak punya
pilihan selain mengikutiku untuk mempelajari arti kebohonganku. Dan walau
mengetahui kebohonganku terbongkar, aku masih melakukan tindakan yang jelas
untuk menyelesaikan rencanaku. Jika hubungan kita dengan jelas dinyatakan
seperti itu, maka kamu bisa bersantai dan bersamaku, kan?”
“Apa yang
sedang kau bicarakan?”
“Karena kamu
sedang kesulitan, Chihiro, aku memberimu alasan untuk menyayangiku.”
Aku mendengus. “Apa
kau ini bodoh?”
Dia tidak
bodoh. Melewatkan ke kesimpulan, perubahan arahnya adalah sukses
besar. Dengan memberikanku alasan “dia
tidak membodohiku, aku telah melihat kebohongannya dan hanya melakukan
tindakannya untuk mengeksposnya,” aku tenggelam dalam-dalam.
Yang aku
butuhkan adalah pengikutsertaan. Dengan berhenti berpura-pura menjadi
teman masa kecil yang polos dan dengan sengaja bertindak seperti penipu, Touka
Natsunagi dengan mudah menghancurkan blokade mentalku. Seolah-olah anak gembala
yang terus berbohong dan kehilangan semua kepercayaan dengan memanfaatkan
paradoks self-referensial untuk
meyakinkan penduduk desa bahwa serigala sedang menyerang.
Kalau
dipikir-pikir lagi, itu adalah pendekatan yang pernah aku gunakan untuk
menurunkan kewaspadaan Nozomi Kirimoto. Untuk menempatkan seseorang yang
mencurigaimu berbohong, lebih baik untuk mengakui beberapa kebohongan yang
tidak berbahaya daripada bersikeras kalau kau jujur. Cara yang sama dengan
seperti kau menulis tentang cacat tidak signifikan pada barang murah demi
meyakinkan pembeli.
“Lihat,
pakaian ini sangat cocok menggambarkan teman masa kecil, ‘kan?”
Dia memakai
sepotong baju putih terang yang menunjukkan bahunya. Di dalam pikiranku,
penampilannya memiliki kemiripan yang dekat dengan seorang gadis bunga matahari.
“Untuk
seseorang seperti dirimu dengan pikiran yang belum matang, aku percaya pakaian
sederhana dan polos serta beberapa kata-kata ramah akan menghilangkan
kewaspadaanmu.”
“Astaga, itu
menyakitkan sekali.”
“Tapi, kamu
menyukainya, ‘kan, Chihiro?”
“Ya, memang.”
Aku dengan
santai mengakuinya. Menggertak di depan seseorang yang sangat memahami
batinku dengan begitu intim sama sekali tidak ada gunanya.
“Apa ini
imut?”
“Imut sekali,”
aku mengulang sembarangan.
“Apa
jantungmu cenat-cenut?”
“Ya,
cenat-cenut,” aku mengulang secara mekanis.
“Tapi kamu
masih belum mau jujur?”
“Betul.”
Kamu tidak perlu menahan diri, katanya, dan secara spontan tersenyum.
Dia salah paham. Aku
tidak menahan diri sama sekali. Touka Natsunagi di hadapanku memang sangat
mempesona, tapi aku melihat sosok Touka Natsunagi yang berusia 7 tahun dan
Touka Natsunagi yang berusia 9 tahun dan Touka Natsunagi yang berusia 15 tahun
tumpang tindih dengan dirinya. Penglihatan itu tidak sepenuhnya sinkron
dengan Touka Natsunagi yang berusia 20 tahun, dan kadang-kadang ada semacam
kelambatan, membuat sebagian wajah mereka mengintip keluar dari
tubuhnya. Ketika aku melihat itu, rasanya sangat tidak pantas, atau
mungkin salah arah, untuk melihat dia sebagai target dari keinginanku.
*****
Semuanya tidak
terlalu buruk untukku. Dengan kebohongan Touka Natsunagi yang telah
terbongkar, komunikasi kami menjadi jauh lebih lancar, dan kami bisa berbincang
tanpa perlu basa-basi yang membosankan.
“Aku lupa
bagian dari masa laluku, tapi karena aku belum siap, jadi kamu tidak bisa
mengatakan yang sebenarnya padaku.” Aku mengulang kata-katanya dari
setengah bulan yang lalu. “Itulah yang akan kau lakukan, bukan?”
“Itulah yang
akan aku lakukan.” Touka mengangguk berulang kali.
“Bagaimana
aku tahu kalau aku sudah siap?”
“Hmm, biar
kupikir-pikir dulu...”
Dia memasang
tampang yang tidak pasti, tapi dia mungkin sudah siap menjawabnya sejak
lama. Pada saat pertama kali dia bertemu denganku.
“Kamu harus
membuatku tenang.”
Dia
meletakkan tangan kirinya ke dadanya. Seakan-akan memeriksa paru-parunya -
deskriptor yang terlintas dalam benakku tidak diragukan lagi karena Mimori-ku.
“Jika kamu
bisa membuktikan kalau kamu takkan putus asa dan terus melanjutkan hidup tak
peduli kebenaran yang kamu ketahui, aku bisa memberitahumu segala sesuatu yang
ingin kamu ketahui.”
Dia segera
melanjutkannya dengan cara memberikan bukti itu.
“Jadi, mulai
hari ini, aku akan membuatmu hidup sesuai dengan beberapa aturan yang telah aku
buat.”
“Aturan?”
“Ya.
Peraturan hidup,” balasnya. “Chihiro, sampai berapa lama liburan musim
panasmu?”
“Sampai 20 September
atau lebih, kurasa.”
“Jika kamu
tidak melanggar peraturan sampai hari itu, aku akan memberimu nilai kelulusan.”
Dia membuat
memo dari suatu tempat dan menulis beberapa aturan dengan pena. Baris
pertama ditulis “Cara Menghabiskan Liburan Musim Panas.”
Aku ingat:
waktu SD dulu, guru membagikan lembaran seperti ini sebelum liburan musim
panas. Memang, sebagian besar aturan yang ditulisnya sangat mirip seperti
“menjalani kehidupan yang diatur dengan baik,” “memakan makanan bernutrisi,” “pergi
keluar dan berolahraga secara teratur,” “Berhati-hati jangan sampai terluka
atau sakit,” “membantu di sekitar rumah.” Di antara aturan-aturan yang
indah itu ada dua yang memberi warna aneh: “tidak boleh minum alkohol,” dan
“tidak boleh merokok.”
“Aku tidak
boleh minum satu tetes pun?”
“Tidak. Tidak
bagus.”
“Aku tidak
boleh merokok satu batang pun?”
“Tidak. Tidak
bagus.”
“Itu sulit.”
“Aku akan
mengawasimu. Untuk memastikan kalau kau tidak berbuat licik.”
Dengan itu,
Touka menguap ringan. Waktu baru menunjukkan jam 10 malam, tetapi dia sudah
mengenakan piyama dan tampak mengantuk. Dia mungkin hidup sehat seperti
anak SD.
Setelah
menguap lagi, dia berkata, “Aku harus segera tidur” dan berdiri.
“Aku akan
membangunkanmu besok. Selamat malam.”
Setelah
melambaikan tangannya, dia kembali ke apartemennya sendiri.
“Selamat malam,” ya.
Kalau
dipikir-pikir itu, orang tuaku bukanlah tipe yang mengatakan “selamat pagi”
atau “selamat malam.” “Aku pergi dulu,” “Aku pulang,” “semoga harimu
menyenangkan,” “selamat datang di rumah” - semua frasa ini terasa asing
bagiku. Masa kanak-kanakku menemukan kenyataan bahwa keluarga normal
saling mengucapkan salam seperti itu setiap hari sulit untuk diterima.
Aku mencoba
bergumam “selamat malam” diam-diam.
Suaraku
terdengar lebih lembut dari yang diduga, pikirku.
Dan begitulah
caraku memulai awal liburan musim panasku bersama dengannya.
*****
Untuk
beberapa saat sesudahnya, keseharian yang kujalani kurang lebih menjadi sebagai
berikut.
Jam 6:00 pagi
Setiap pagi,
Touka membangunkanku. Bukan dengan mengguncang pundakku atau menamparku,
tetapi dengan berjongkok di sampingku dan berbisik, “Aku akan mengerjaimu jika
kamu tidak bangun.” Replikasi adegan dari Mimori-ku, tidak diragukan lagi.
Pada hari
kelima, aku mencoba berpura-pura bahwa aku sangat mengantuk sehingga aku tidak mendengarnya. Ternyata
dia tampaknya tidak memiliki ide pasti mengenai “lelucon”-nya, jadi dia
ragu-ragu selama beberapa menit. Begitu dia akhirnya memutuskan, dia
dengan takut menyelinap di bawah selimut. Ketika aku terus berpura-pura
tidur, dia keluar dari tempat tidur seolah tidak dapat mengambil ketegangan dan
menghela nafas. Apa dia lebih lugu dari yang aku kira, atau apakah itu
cuma aktingnya? Ketika aku berusaha duduk seperti orang yang baru bangun tidur, dia
tertawa “Selamat pagi” dengan senyuman konyol.
Jam 7:00 pagi
Kami memakan
sarapan yang dia buat. Meski dia adalah seorang juru masak yang terampil,
banyak dari hidangan sarapannya tampak sederhana. Meski begitu,
hidangannya benar-benar membangkitkan selera makanku. Mungkin latihan
harian (lihat di bawah) adalah bagian darinya. Aku akan mengatakan itu
lebih banyak makanan gaya Jepang daripada tidak, dan aku melihat aransemen aneh
pada sup miso. Dia menaruh taruhan pada kebiasaan ramen instanku,
memberitahuku untuk “menyisihkannya untuk sementara waktu.” Bukan berarti
aku memakannya karena aku menyukainya, jadi aku menuruti permintaannya.
Jam 8:00 pagi
Saat aku
membasuh muka dan menyikat gigi, Touka mencuci pakaianku. Tidak banyak
yang bisa aku lakukan, jadi aku ingin kembali tidur, tetapi Touka selalu ada di
sana untuk mengawasiku, dan jika aku tampak mengantuk, dia menjewer
telingaku. Dengan enggan, aku akan belajar atau membaca buku yang aku
periksa dari perpustakaan. Aliran waktu terasa sangat lambat di pagi hari,
dan itu tidak biasa bahwa aku akan berpikir "Sekarang sudah siang, ‘kan?”,
Aku mendongak ke atas, dan melihat kalau jam masih belum pukul 10. Mungkin
panas dari sinar matahari menyebabkan waktu untuk berkembang. Setiap kali
aku melihat jam, aku terpesona dengan lamanya waktu satu hari.
Jam 10:30 siang
Waktu untuk
bersih-bersih dan mencuci. Ketika ruangan sudah bersih dan tidak ada
cucian kotor yang menumpuk, kami mendengarkan musik di pemutar musik yang
dibawa Touka. Benar saja, itu adalah jenis musik sama yang pernah
digunakan di Mimori-ku, dan rekamannya
juga sama. Mendengarkan musik dari jaman dulu membuatku mengantuk, seperti
duduk di tengah lapangan yang sunyi. Jika aku tertidur, Touka takkan
mencoba membangunkanku. Bahkan, dia kadang-kadang juga ikut
mengangguk. Dan dia bersandar di pundakku tanpa sedikit
kecurigaan. Melalui irama nafasnya, aku benar-benar merasakan kehadiran
makhluk hidup lainnya.
Jam 12:00 siang
Kami makan
siang bersama. Hidangan yang dia buat selalu besar. Ketika aku
bertanya mengapa selalu besar, dia menjawab, “Aku ingin menggemukkanmu supaya
aku bisa memakanmu, Chihiro,” dan tertawa sendiri. Sementara itu, dia
sendiri hanya makan setengah porsi dariku. Setelah makan siang, kami menyesap
teh hijau dan beristirahat sejenak. Dari jendela yang terbuka, aku bisa
mendengar suara anak-anak bermain di taman terdekat.
Jam 1:00 siang
Ketika aku hendak
bekerja, aku biasanya meninggalkan apartemen pada jam segini. Touka juga
kembali ke apartemennya sendiri. Aku tidak tahu apa yang dia rencanakan, sejak saat itu sampai
aku kembali. Dia mungkin menyempurnakan strategi penipuannya, dia mungkin
menyirami morning glory di berandanya, dia mungkin bergati kulit dari
"Touka Natsunagi" dan mengipas diri sambil membiarkannya kering di
tempat teduh. Dia bisa melakukan apa saja dan itu takkan
mengejutkanku.
Ketika aku
tidak bekerja, aku berolahraga. Untuk lebih spesifiknya, aku mengayuh
sepeda di jalan dengan Touka yang duduk di belakang, dan menuju ke kota
tetangga. (Dia punya bantal yang dipasang di tempat penyimpanan barang.
Sudah dipersiapkan dengan baik seperti biasanya.) Sekali lagi, dia mencoba membuat
ulang bagian dari Mimori-ku.
Daftar “Cara Menghabiskan Liburan Musim Panas”
-nya menyebutkan “latihan teratur,” tapi tak ada diragukan lagi kalau latihan
ini terlalu berlebihan. Karena kami memilih rute tanpa banyak orang jadi
tidak ada yang melihat kami berboncengan, ada banyak jalan yang sulit. Aku
harus terus menjaga kecepatan di lereng menurun, dengan adanya Touka yang duduk
di belakang. Dan ekstra hati-hati untuk tidak menggeser pusat
keseimbanganku terlalu banyak karena akan mengonsumsi staminaku. Di atas
semua itu, setiap kali kami kehilangan keseimbangan, Touka selalu menempel padaku,
dan aku ditempatkan pada posisi yang
penuh dengan kekhawatiran. Perasaan badan Touka yang menempel ke tubuhku
yang basah kuyup, membuat hatiku bedegup kencang setiap waktu. Entah karena
dia tahu kelelahan mentalku atau tidak, dia cekikikan setiap kali dia menempel
padaku.
Pada saat
kami tiba di taman, di mana kami berbalik dan kembali ke apartemen, kakiku
benar-benar mati rasa. Ketika aku turun dari sepeda, aku tidak bisa
berjalan dengan baik untuk sementara waktu. Aku minum teh barley dari
mesin penjual otomatis, mengambil istirahat selama 20 menit di bangku dekat
sungai. Ada sebuah rumah sakit kuno di seberang sungai, dan kadang-kadang
aku melihat sosok-sosok lewat di jendela. Mungkin tertarik dengan apa yang
terjadi di dalam, Touka selalu membungkuk di pagar untuk melihat ke rumah sakit
setiap kali kami berada di sana.
Setelah
beristirahat, kami kembali bersepeda, dan aku membersihkan pikiranku dan hanya fokus
mengayuh. Matahari akan mulai terbenam saat kami mendekati
apartemen. Pemandangan di sepanjang jalan terasa monoton, hanya ada tiang-tiang
listrik dan kabel listrik yang digelapkan oleh sinar matahari; rasanya
resolusi dunia diturunkan beberapa
level. Angin malam yang terkadang bertiup terasa nyaman.
Jam 6:30 malam
Setelah
membasuh tubuhku di kamar mandi, kami pergi ke supermarket terdekat untuk
membeli makanan. Secara sepihak berhutang budi padanya, aku memutuskan
untuk membayar bagianku sendiri. Touka sedikit enggan, tetapi siap mundur:
“Jika itu yang ingin kamu lakukan, Chihiro, silahkan saja.” Sambil melempar
barang yang dibeli ke keranjang belanja yang aku pegang, lalu dia berkata,
“Rasanya kita terlihat seperti sepasang pengantin baru,” dan tertawa dengan
naif.
Pada saat
kami meninggalkan supermarket, aku tidak bisa memikirkan apa pun kecuali makan
malam berkat perutku yang keroncongan. Itu adalah sesuatu yang tidak
pernah aku bayangkan sebelumnya. Di jalan kecil di tepi sungai, di mana
lampu-lampu keamanan di jalan dengan gugup berkelap-kelip, aku mendengar
teriakan-teriakan bergema dari banyak serangga musim panas. Touka dengan
aneh mengambil tas belanja dari tanganku, dan melingkarkan lengannya di
lenganku yang sekarang bebas. Lengannya sangat ramping, lembut, dan
dingin.
Pernah sekali,
aku berpapasan dengan Emori di tengah situasi seperti itu. Melihat Touka
menggandeng tanganku, Ia tak bisa berkata-kata, menatapku dengan terkejut, lalu
membawa perhatiannya kembali ke Touka. Lalu Emori berkedip seolah
menyadari sesuatu, mendekati Touka, dan dengan menatap wajahnya
lekat-lekat.
Touka tersentak
dan bertanya, “Eh, ada apa?”, Tapi Emori tidak menjawab. Ia hanya menatap
wajah Touka, dan mulai berkata “Hei, kau, aku bersumpah kalau aku ...”, tapi
kemudian merenung kembali dan menutup mulutnya. Kemudian Emori kembali ke dirinya
yang biasanya, lalu menampar pundakku kuat-kuat, dan mengatakan kepadaku, “Baiklah,
semoga kau bisa berbuat baik” sebelum pergi. Apa Ia bermaksud berbuat baik
dalam mengekspos identitas penipu, atau berbuat baik dalam bergaul
dengannya? Aku bingung. Lalu Touka dengan ringan menepak bahuku. “Kamu
dengar ‘kan. Ayo lakukan yang baik,” dia berbisik di telingaku.
Jam 7:30 malam
Kami menyantap
makan malam yang dia buat. Kebanyakan hidangan makan malamnya
rumit. Banyak makanan yang terasa cocok dipasangkan dengan bir, jadi
kadang-kadang aku berpikir “mungkin ada baiknya mencoba” dan memberitahu Touka
kalau aku ingin meminum bir. Ketika aku memintanya, dia justru menyuguhkanku
amazake dingin. Rasanya cukup enak.
Jam 9:00 malam
Jam segitu
adalah ketika aku akan berada dalam kondisi terbaikku, namun aku selalu
mengantuk sekarang. Pada akhir setiap hari, Touka akan melakukan
evaluasi. Dia menggantung sebuah kalender di dinding dengan kotak-kotak
untuk menulis hari dalam seminggu, cuaca, dan kejadian hari itu - dirancang
persis seperti “Buku harian satu kalimat”
yang sering diberikan untuk tugas liburan musim panas di SD - dan dia akan
memberi cap pada hari itu. Itu berarti aku telah mematuhi jadwal yang
ditetapkannya. Layaknya kartu stempel.
Kemudian dia
menulis kejadian hari itu di bagian "apa
yang terjadi". Apa yang ditulisnya benar-benar hal sepele seperti
“Chihiro mendapat kulit kecokelatan”
atau "Chihiro meminta nambah." Aku
pikir tulisan anak SD jauh lebih layak untuk dibaca.
Lalu dia akan
mengatakan “selamat malam” dan meninggalkan apartemenku. Aku mandi cepat,
rebahan di tempat tidur, dan hanyut dalam waktu kurang dari sepuluh
menit. Gaya hidup sehat, persis seperti anak yang berusia sepuluh
tahun. Ketika orang dewasa yang berumur dua puluh tahun seperti kita
melakukannya, entah kenapa rasanya jadi tidak sehat.
Tapi bohong rasanya
bila aku bilang kalau itu tidak menyenangkan.
*****
“Buku harian
satu kalimat” berlangsung selama 20 hari.
23 Agustus,
Berawan. Chihiro merasa gelisah.
24 Agustus,
Berawan. Chihiro pura-pura tidak gelisah.
25 Agustus,
Cerah. Chihiro kepengen minum alkohol, jadi aku memarahinya.
26 Agustus,
Cerah. Chihiro meminta nambah.
27 Agustus,
Hujan. Chihiro tidak mau bangun, jadi aku mengerjainya.
28 Agustus,
Berawan. Beberapa anak menggoda kami karena berboncengan sepeda.
29 Agustus,
Cerah. Lelah sekali.
30 Agustus,
Berawan. Hari ini adalah hari yang luar biasa penuh dengan tidak melakukan
apa-apa.
31 Agustus,
Cerah. Chihiro, kamu konyol.
1 September,
Cerah. Kulit Chihiro jadi kecoklatan.
2 September,
Berawan. Ternyata bahkan Chihiro punya teman.
3 September,
Cerah. Chihiro jadi malu - malu. Touka menjebakku.
4 September,
Cerah. Tinggal sedikit lagi.
5 September,
Cerah. Sangat mengejutkan, Chihiro memasak makanan.
6 September,
Cerah. Kembang apinya cantik.
7 September,
Cerah. Chihiro sedang tidak mood.
8 September,
Berawan. Chihiro meminta maaf kepadaku.
9 September, Berawan. Chihiro
memang baik hati.
10 September,
Hujan. Aku merasa senang.
11 September,
Cerah. Touka pergi.
*****
“Hei, mau
ciuman?”
10
September. Ramalan cuaca memprediksikan kalau malam hari akan hujan, tapi
festival masih diadakan seperti yang direncanakan. Sebuah festival kecil,
yang diadakan di sekitar kuil lokal.
Hari itu,
kami membatalkan perjalanan sepeda kami yang biasa dan bermalas-malasan di
kamar pada siang hari. Dan ketika matahari terbenam, kami meninggalkan
apartemen menuju kuil terdekat. Untungnya, hujan takkan turun untuk
sementara waktu.
Touka
mengenakan yukata biru tua. Tak perlu dikatakan lagi, yukatanya memiliki
pola kembang api yang sama seperti yang dia kenakan pada usia 15 tahun di Mimori-ku. Dia juga mengenakan aksesoris
bunga krisan merah di rambutnya. Satu-satunya perbedaan dari hari itu
adalah dia memintaku memakai shijira-ori yukata yang dia siapkan. Ini
adalah pertama kalinya dalam hidupku aku pergi ke luar memakai yukata, jadi aku
merasa gelisah di jalan.
Touka
mengunjungi studio foto di distrik perbelanjaan dan membeli kamera film sekali
pakai, lalu mengambil fotoku dari segala sudut, sandal geta-nya berderap tanpa
henti. Aku bertanya mengapa dia tidak menggunakan kamera digital di
ponselnya, dan dia memberiku jawaban yang tidak dapat dijelaskan dari “Mereka adalah foto bukti.” Mungkin
tidak ada makna mendalam dari jawabannya dan dia hanya ingin mengatakan
itu.
Mataku telah
menyesuaikan diri dengan kegelapan malam, jadi cahaya strobo mengalihkan pandanganku.
Setelah tiba
di alun-alun, pertama-tama kami melakukan tur ke stan-stan yang berjejer. Kemudian
masing-masing dari kami membeli apa yang kami inginkan, dan mencari tempat
untuk beristirahat. Bertentangan dengan skala kecil festival, ada banyak
orang yang mengunjunginya, jadi kami pergi ke belakang bangunan kuil utama, dan
duduk bersama di tengah tangga yang menghubungkan kuil ke sekolah SD. Satu-satunya
penerangan adalah lampu keamanan di puncak tangga, dan cahayanya hampir
mencapai kami.
Wajah Touka berada
dalam cahaya redup itu tampak indah. Mungkin itu semacam
kesalahan. Wajahnya di atas rata-rata, pastinya, tapi itu kalah jauh
dengan wajah cantik elegan yang membuat orang lewat menoleh. Mungkin aku
akan menggambarkannya sebagai kecantikan yang tidak memiliki kegunaan nyata,
seperti harmonika yang diam-diam tidur di belakang lemari. Satu-satunya
alasan yang membuat hatiku terenyuh adalah karena banyaknya filter yang
dipasang oleh Mimori di mataku.
Dan kemudian,
suka atau tidak, aku masih mengingatnya dengan jelas. Tak perlu ditanyakan
lagi, Touka dengan sengaja memilih tempat ini. Jadi aku tahu betul kalimat
apa yang akan keluar dari bibirnya saat mulutnya membuka lagi.
Setelah
menunggu saat yang tepat, Touka berbicara.
“Hei, mau
ciuman?”
Touka yang
berusia 15 tahun dan Touka yang berusia 20 tahun saling tumpang tindih.
“Ayo kita uji
apakah aku benar-benar hanya penipu atau bukan,” kata Touka dengan nada kurang
serius yang sama saat itu. “Mungkin kamu akan terkejut menemukan kenangan
yang hilang muncul kembali.”
“Jika itu saja
cukup untuk memunculkan kembali ingatan itu, mereka sudah muncul kembali
beberapa tahun yang lalu,” jawabku dengan nada yang sama.
“Ayolah, ayo.
Kalau kamu tidak bepura-pura dibodohi, semuanya tidak bisa bergerak maju.”
Touka menghadapku
dan memejamkan matanya.
Ini cuma
acting belaka. Suatu harga yang diperlukan untuk mengungkapkan
kebenaran. Dan maksudku, ciuman bukanlah masalah besar. Setelah
memasang semua pertahanan itu, aku dengan rendah hati mengecupkan bibirku
dengan bibirnya.
Setelah bibir
kami berpisah, kami saling berhadapan lagi, tapi tidak mencoba berpura-pura
tidak merasakan apa-apa.
“Bagaimana
itu?” - Dia bertanya kali ini. “Apa kamu merasa ada sesuatu?”
“Tentu,” kataku,
dan berhenti di situ.
“Ohh.” Touka
meletakkan kedua tangannya di dada dan matanya berbinar. “Jadi sekarang,
kamu bisa jujur juga, Chihiro.”
“Kupikir
tidak ada gunanya lagi untuk berbohong.”
“Aku
benar-benar merasakan hatiku berdebar juga. Lagipula, ini adalah ciuman pertamaku
dalam lima tahun terakhir.”
“Apa kau
serius bilang begitu?”
“Aku serius
bilang begitu. Aku sudah hidup sendirian sejak kita berpisah lima tahun lalu,
bukan?”
“Contoh model
teman masa kecil.”
“Iya, ‘kan?”
Lalu ada jeda
yang panjang. Kami memakan jajanan yang kami beli di stan dalam
diam.
Ketika aku
berdiri untuk membuang sampah, dia tiba-tiba memecahkan kesunyian.
“Hei,
Chihiro.”
“Apa?”
“Tenang saja.
Ketika musim panas ini berakhir, aku akan menghilang dari pandanganmu.”
Itu adalah
pernyataan yang tidak terduga.
Aku pikir itu
adalah salah satu lelucon bertele-tele ala Touka.
Tapi ekspresi
dan nada suaranya memberitahuku kalau dia sangat serius.
“Dan yang
tersisa sekarang hanyalah musim panas ini. Jadi, aku akan senang jika kamu
terus melakukan kebohongan ini sampai saat itu terjadi.”
Lalu, dengan
tingkat kesopanan yang langka, dia bersandar di pundakku.
“Apa
sebenarnya tujuanmu?”
Aku pikir dia
akan menghindari pertanyaan itu.
Tapi jawabannya
tak biasanya terdengar tulus.
“Pada
akhirnya, kamu akan tahu. Ini adalah tujuan yang cukup kompleks, tapi kupikir
kamu bisa mengetahui kebenarannya.”
*****
Hujan turun
dua jam lebih lambat dari perkiraan. Ketika hujan mengguyur, itu adalah
badai yang sangat besar. Tidak mau kebasahan, kami memutuskan untuk
berlindung di halte bus terdekat. Itu adalah situasi yang sepertinya
direncanakan entah bagaimana, meski dia tidak bisa memanipulasi cuaca. Ada
payung yang dibuang di halte bus, tapi itu cuma sisa-sisa dari payung yang hancur
oleh topan bulan lalu.
Berbeda
dengan hujan pada bulan Agustus, hujan pada bulan September membawa kebencian
yang jelas. Sepenuhnya direndam sebelum kita bisa membuatnya di bawah
atap, air hujan perlahan melemahkan panas tubuh kita.
Touka
memegangi tubuhnya yang kurus, mencoba berusaha untuk menahan
dingin. Bagian “Chihiro Amagai” dalam diriku ingin memeluknya erat dan
menghangatkannya.
Tapi aku
menahan perasaan itu. Jika aku menuruti kenginanku di sini, aku merasakan
diriku yang sebenarnya dan diriku di Mimori
akan berpindah posisi dan tidak pernah bisa kembali.
Sebaliknya, aku
hanya bertanya padanya.
“Apa kau
kedinginan?”
Dia menatapku
selama beberapa detik, lalu memalingkan mukanya lagi.
“Ya. Tapi aku
merasa kamu akan menghangatkanku, Chihiro.”
Dia memiliki
suara yang manis dan mengundang.
Jika hujan
tidak mendinginkan kepalaku, aku mungkin takkan mampu dengan godaannya.
“... Maaf,
tapi aku tidak bisa sejauh itu.”
Lalu dia
tertawa sinis.
Suara tawanya
adalah satu-satunya hal yang kering di halte bus yang basah oleh hujan.
ini
Dia berbicara
dengan nada provokatif.
“Kenapa? Apa
kamu takut menjadi serius?”
“Ya. Aku
takut.”
Aku
menghitung sepuluh tetesan hujan dari langit-langit halte.
Dia menarik
napas samar-samar.
Lalu, dia menunjukkan
sedikit mengintip di balik kedoknya.
“Andai saja
kamu menyerah dan tertipu.”
Ujarnya
dengan suara lirih.
“Jika kamu
memintanya, aku bisa memberikan apapun yang kamu mau.”
Suaranya
sedikit gemetar.
“Aku tahu
semua yang kamu inginkan,” pungkasnya.
Benar sekali, pikirku.
Aku ingin
dibodohi oleh kebohongannya, jika aku bisa. Aku ingin berendam dalam
cerita lembut yang diceritakan olehnya dan Mimori
di dalam kepalaku. Entah itu mimpi atau Mimori
atau ilusi, aku ingin mencintainya secara membabi buta, dan dia membabi buta
mencintaiku.
Dia bisa
memberiku apapun yang aku mau.
Dan
lagi.
Karena itulah….
Aku menelan
kata-kata yang hampir keluar dari tenggorokanku, dan hanya mengucapkan tiga
kata.
“Aku benci
kebohongan.”
Aku
mengatakan ini padanya, menatapnya terus.
Ekspresinya
tidak terguncang seidikit pun.
Matanya
tampak menatapku, tapi sepertinya dia tidak melihatku.
Dia mulai tertawa
polos seperti biasanya, dan kemudian sesuatu di dalam dirinya rusak.
Butiran air
yang menuruni pipinya kemungkinan besar bukan rintik hujan.
“Aku suka
kebohongan.”
Lalu dia
membalikkan punggungnya padaku untuk menyembunyikan air matanya.
Hujan terus
berlanjut selama hampir satu jam setelahnya. Selama masa itu, kami duduk
kembali, berbagi kehangatan samar.
Itu adalah
batas untukku, kenyataan bagi Chihiro Amagai.
Ketika hujan
berhenti, kami kembali ke apartemen tanpa bertukar kata. Dan kami menunggu
pagi di kamar masing-masing.
Keesokan
harinya, dia telah lenyap. Kunci cadangan berada di samping tempat tidurku. Dia
pasti mengembalikannya saat aku tertidur.
Dalam
kalender “satu baris buku harian”,
dia telah meninggalkan pesan perpisahannya sendiri pada tanggal 10
September.
10 September, Hujan. Aku merasa senang.
Di hari
berikutnya, aku menulis ini.
11 September, Cerah. Touka pergi.
Dan begitulah
kami menandai akhir hubungan ini dan liburan musim panasku yang singkat.
*****
“Bahkan
sekarang, Chihiro, kamu adalah pahlawanku.”
Touka
mengatakan ini padaku dengan jujur sehari sebelum dia pindah.
Ruang belajar
sekarang tampak kosong, tapi kami masih meringkuk di sudut ruangan ini.
“Chihiro,
kamu menuntunku keluar dari kegelapan,” lanjutnya. “Aku tidak punya teman,
tapi kamu selalu ada bersamaku, dan kamu menyelamatkanku lagi dan lagi ketika
aku mendapat serangan. Andai kamu tidak ada di sana, aku mungkin merasa putus
asa dan sudah mati sejak lama.”
Kau terlalu dramatis,
ujarku sambil tertawa.
Tapi itu kebenarannya, dia
tertawa kembali.
“Itu
sebabnya, jika suatu hari nanti terjadi sesuatu padamu, aku akan menjadi
pahlawanmu, Chihiro.”
“Bukankah
sebutannya “heroine” untuk seorang
gadis?”
“Oh, benar
juga.”
Dia berpikir
sejenak, lalu tersenyum lembut.
“Oke, kalau
begitu, aku akan menjadi heroine-mu,
Chihiro.”
Ketika dia
mengatakan seperti itu, maknanya terdengar sedikit berbeda.