Chapter 08 – Pengulangan
(TN :
Ada Perubahan Sudut Pandang)
Aku punya
teman masa kecil yang belum pernah aku temui. Aku belum pernah melihat
wajahnya. Belum pernah mendengar Ia berbicara. Aku bahkan belum
pernah menyentuhnya. Meski begitu, Ia terasa dekat denganku. Aku
pikir aku sayang padanya. Dan Ia adalah penyelamatku.
Ia tidak
ada. Atau lebih tepatnya, Ia hanya ada dalam fantasiku. Ia adalah
ilusi yang terbentuk dari otakku yang kekurangan oksigen, diciptakan di malam
yang panjang dan tanpa tidur. Namun ilusi ini mulai terus mengambil bentuk
yang lebih jelas, dan segera menjadi teman yang tak tergantikan bagiku.
Ia tidak punya nama. Karena
jika aku memberinya nama, rasanya hanya akan membuatnya lebih jelas bahwa Ia
tidak ada. Aku hanya menyebutnya sebagai “Ia.” “Ia” adalah teman masa kecilku, seseorang yang memahamiku,
dan pahlawanku.
Di dunia
fiksi di mana Ia ada, aku merasa senang.
Di dunia
nyata di mana Ia tidak ada, aku merasa tidak senang.
Dunia sudah
menjadi tempat yang mencekik buatku sejak usia muda. Dan aku tidak
bermaksud metaforis. Ya, dunia ini memang tempat yang membuatnya sulit
bernapas secara mental, tapi sebelum itu, aku secara fisik mengalami kesulitan
bernapas. Aku benar-benar tidak bisa bernafas sesukaku. Dunia membuat
dadaku sakit secara emosional, tapi sebelum itu, dadaku juga terasa sakit
secara fisik. Benar-benar terasa akan meledak.
Mencekik. Pengap. Nafas
pendek. Semua orang menggunakan ekspresi akrab ini, tapi berapa banyak
orang yang benar-benar mengalami nafas mereka yang hampir berhenti? Semua
orang bernafas tanpa sadar. Mereka bisa melakukannya saat mereka
tidur. Jika kamu menjalani kehidupan normal, Kamu hampir takkan pernah menghadapi
risiko mati karena kekurangan oksigen.
Aku harus
serius tentang cara bernapasku saat itu. Aku menghabiskan sebagian besar
waktuku memikirkan tentang bernapas. Sama seperti seorang fotografer
professional yang dapat membaca pencahayaan di suatu tempat, aku bisa membaca
jumlah oksigen di udara. Tidak ada yang merasakan kehadiran udara, tetapi aku
bisa merasakannya secara nyata. Dan sekitar waktu saat kebanyakan orang
tertidur, aku memfokuskan semua inderaku pada pernapasan. Menempel tabung
panjang melewati tirai malam seperti snorkel, aku mati-matian menghirup
udara.
Di zaman modern
ini, dengan teknologi maju seperti mesin sangat kecil yang bisa menulis masa
lalu fiktif ke otak, umumnya, penyakit asma bukanlah penyakit yang sangat
serius. Itu benar; kecuali itu kasus yang sangat parah, kamu bisa
hidup seperti orang yang sehat jika kamu memiliki pengetahuan yang tepat untuk
mengatasinya.
Masalahnya, orang
tuaku tidak memiliki pengetahuan itu. Mereka menganggapnya sebagai
“penyakit yang membuatmu tidak bisa berhenti batuk.” Mereka berdua yang
belum pernah mengalami demam, takkan pernah mengerti perasaan nafas yang
dibatasi oleh saluran pernapasan yang tersumbat.
Tidak,
mungkin bukan masalah mendasarnya. Apa yang kurang dari mereka bukanlah
pengalaman dengan penyakit, atau pengetahuan, atau kasih sayang, tetapi tingkat
imajinasi yang belum sempurna. Orang tuaku secara fundamental salah paham
akan “pengertian.” Mereka bisa
membawa orang lain lebih dekat ke dunia mereka, tetapi mereka tidak bisa
mendekatkan diri ke dunia orang lain.
Mereka secara
tidak teratur meremas diri di dalam bingkai kecil itu.
Lebih buruknya
lagi, mereka berdua memiliki ketidakpercayaan tak berdasar dalam semua hal yang
berhubungan dengan teknologi. Orang-orang seperti mereka selalu ada di
setiap jaman. Orang-orang dengan proses pemikiran kolot yang melihat nilai
tidak semestinya dalam kata "alami." Mereka
percaya pada gagasan tidak masuk akal yang mungkin kamu lihat tertulis dalam buku-buku
yang meragukan. Misalnya saja, jika kamu pergi ke rumah sakit, kamu akan sakit.
Obat menyakiti kesehatanmu, pengobatan memperpendek usia hidupmu, semua
penyakit hanyalah skema rumit yang dibuat oleh dokter - mereka yakin akan
hal-hal ini. Aku rasa itu adalah penyakit mereka.
Di mata
mereka, hanya apa yang ada di sana dari awal terlihat bagus, dan yang lainnya
jahat. Karena merasa lelah dengan keyakinan mereka, aku mengadopsi
keyakinan yang berlawanan dari keharusan. Singkatnya: hina apa yang ada di
sana, dan cintai apa yang tidak ada di sana.
Dan begitulah
sosok “Ia” lahir.
*****
Aku ingat malam
yang panjang dan gelap.
Pada saat
itu, aku takut dengan malam hari. Sekarang juga masih, tapi karena alasan
yang berbeda. Aku takkan bisa menjawab mana yang lebih buruk, karena
keduanya sama-sama terburuk. Tidak ada kata “lebih baik” dalam
penderitaan. Tapi jika jumlah penderitaan itu sama, kurasa aku merasa
lebih putus asa sebagai seorang anak karena hatiku yang lebih lembut.
Sekitaran
hari menjelang akhir dan aku naik ke atas tempat tidur, napasku mulai tidak
karuan. Awalnya, cuma ada batuk ringan. Itu adalah suara penderitaan
yang mengetuk pintu rumahku. Jika itu terjadi, percuma saja untuk mencoba
tidur. Batuk terus menerus semakin memburuk dan mencapai puncaknya sekitar
jam 2 pagi, kemudian terus berlanjutan sepanjang malam. Rasanya tubuhku
sendiri berusaha mencegahku untuk tertidur.
Sulit
bernapas dengan posisi terlentang, jadi aku duduk seolah-olah memeluk selimut
yang terbungkus. Seiring berjalannya waktu, postur tubuhku terus menerus
membungkuk ke depan, akhirnya menempatkanku dalam posisi sujud. Seseorang
mungkin yang melihatku akan berpikir kalau aku memohon pengampunan. Atau
mungkin terlihat seperti aku ingin kembali menjadi janin yang tidak tahu
penderitaan. Itu bukan keduanya. Posisi ini adalah posisi yang paling
nyaman.
Gejala yang paling
mencolok adalah batuk, tapi batuk bukanlah esensi sejati dari
penderitaan. Apa yang benar-benar menyiksaku adalah kesulitan
bernapas. Tindakan dasar yang dilakukan setiap orang tanpa sadar sejak
lahir, bernapas masuk dan keluar, menjadi tugas yang melelahkan bagiku di malam
hari. Bayangkan jika tenggorokanmu menjadi sumbat udara pada alat
pemelihara kehidupan. Atau mungkin jika paru-parumu berubah menjadi
plastik keras. Jika kamu tidak bisa menghirup napas dengan mudah, kebalikannya
juga sama.
Perasaan
tidak bisa bernapas langsung terhubung dengan perasaan takut akan
kematian. Apa tenggorokanku ini akhirnya benar-benar tersumbat? Apa
itu tidak bisa berfungsi lagi, layaknya vakum yang menyedot tas
vinil? Ketika saatnya tiba, aku mungkin bahkan takkan bisa mengeluarkan
erangan. Aku akan mati-matian membuat keributan demi meminta bantuan, tapi
tidak ada yang sadar, aku akan gemetar, aku akan ketakutan, aku akan gemetar,
dan jeritan serta umpatanku akan tetap
tersendat di tenggorokanku karena aku bahkan tidak pernah menghirup napas
terakhir. Memikirkan hal itu membuatku menangis karena ketakutan.
Kamarku
terletak agak jauh dari kamar orang tuaku, dan di sanalah tempat tidurku
berada. Aku tidur di kamar yang sama dengan orang tuaku sampai aku berusia
4 tahun, tetapi tempat tidurku dipindah setelah aku berusia 5 tahun. Ibuku
dengan riang beralasan bahwa “kamar mandinya lebih dekat di sana, jadi itu
seharusnya bagus untukmu,” tetapi aku tidak bisa melihatnya sebagai hal lain
selain upaya isolasi. Mereka mungkin sudah tidak betah dengan batukku
sepanjang malam. Aku tidak bisa mengatakan aku tidak mengerti.
Aku
diberitahu untuk memanggil mereka segera jika ada yang sesuatu terjadi, tetapi
di tengah-tengah serangan, aku tidak bisa berteriak cukup keras untuk menjangkau
orang tuaku yang tidur di kamar secara diagonal di seberang lorong, jadi ukuran
isolasi itu juga adalah hukuman mati buatku. . Lagi pula, anggaplah aku
dengan putus asa berhasil merangkak ke kamar tidur. Mereka tidak akan
melakukan apa pun untukku. Aku takkan pernah bisa terbiasa dengan serangan
asmaku, tetapi orang tuaku sudah terbiasa melihat keadaanku. Begitu mereka
mengetahui bahwa asalkan itu tidak terlalu serius, mereka bisa meninggalkanku
sendirian dan itu akan menjadi lebih baik di pagi hari, setiap permintaan
mendesak yang aku buat mengenai penderitaanku hanya masuk ke telinga kanan dan keluar dari telinga kiri mereka.
Hingga
sekitar usia 7 tahun, jika aku mendapat serangan asma di malam hari, mereka
akan membawaku untuk mendapatkan perawatan darurat. Ketika aku mendengar
suara mesin mobil di depan dan tahu kami akan pergi ke rumah sakit,
kekhawatiranku cepat berlalu. Hanya memikirkan hal-hal seperti bau rumah
sakit, infus, dan inhaler membuatku tenang. (Aku suka rumah sakit, sebagai tempat.) Dan mungkin karena bantuan
itu, sudah biasa bahwa dalam 30 menit yang dibutuhkan untuk mencapai rumah
sakit, aku akan menjadi lebih baik. Seperti yang terjadi lagi dan lagi,
orang tuaku mulai curiga kalau aku berpura-pura sakit. Mereka curiga kalau
aku hanya membesar-besarkan batukku supaya bisa menarik perhatian mereka.
Itu adalah
kejadian umum serangan penderita asma untuk tenang hanya dari mendekati rumah
sakit, tapi pada saat itu aku masih belum tahu hal tersebut, dan belum memiliki
objektivitas yang diperlukan untuk secara logis menjelaskan kondisiku. Keraguan
orang tuaku semakin menguat dari hari ke hari. Mereka akan melihatku
terbatuk-batuk, dan ayahku akan dengan tidak simpatik berkata, “Batukmu terlalu
berlebihan.” Kemudian ibuku, bertanya dengan curiga, “Apa itu benar-benar
sangat menyakitkan?” Setelah itu, bahkan ketika aku mengalami serangan
asma, mereka akan pura-pura tidak melihatnya.
Suatu hari,
aku tidak punya pilihan selain memanggil ambulans sendiri. Orang tuaku
tidak mau berbicara denganku beberapa saat setelah kejadian itu. Mereka
akhirnya berbicara denganku setelah sekitar satu minggu, tapi hal pertama yang
keluar dari mulut mereka adalah kata-kata makian dan cercaan. “Kamu
mempermalukan kita.” “Apa menurutmu kita punya uang untuk dihambur-hamburkan?” Orang-orang ini mungkin akan lebih bahagia
jika aku mati, pikirku saat kecil dulu. Peristiwa ini muncul sekali
lagi dariku, kemampuan untuk mengharapkan sesuatu dari siapapun.
Bagaimanapun
juga, yang bisa aku lakukan hanyalah menunggu waktu berlalu. Aku kadang-kadang
menjulurkan kepala keluar dari selimutku, melihat jam yang diterangi cahaya
bulan di samping tempat tidur, dan berdoa agar malam berakhir lebih cepat sedetik. Semakin
besar penderitaanku, semakin lambat pula waktu berlalu, sehingga iritasi sering
memberiku dorongan untuk membobol penutup dan menggulung tangan secara
manual. Aku suka musim panas semata-mata karena malam semakin
pendek.
Ketika fajar
tiba, napasku mulai stabil dan aku bisa tidur nyenyak, dan dalam tidur sesaat itu,
aku berkhayal tentang "Ia." Tapi dua jam kemudian, aku harus
bangun dan pergi ke sekolah. Apa yang mengkhawatirkan tentang penyakitku
adalah bagaimana saat aku tidak batuk, aku tidak terlihat sedikit pun tidak
sehat. Aku dapat memberi tahu orang tuaku kalau aku lamban dan perlu
beristirahat, tapi tentu saja mereka tidak mau mendengarnya. Mereka tidak
akan percaya padaku tanpa bukti nyata seperti angka pada termometer atau lebam
di kulitku.
Berkat itu,
aku selalu kurang tidur, dan sering melamun di siang hari. Kepalaku mati
rasa, penglihatanku kabur, dan semua suara sepertinya berasal dari balik
tembok. Di dunia yang tertutup kabut cahaya, hanya penderitaan dan fantasiku
saja yang terasa nyata.
*****
Ketika aku
beranjak dewasa, kondisiku perlahan-lahan menjadi lumayan mendingan, dan penyakit
asma secara bertahap menjadi lebih dari penyakit psikosomatis. Ketika
faktor lingkungan mulai memiliki pengaruh yang lebih kecil terhadapku, aku
malah menjadi rentan terhadap kekhawatiran dan stres. Jika aku melakukan
hal seperti ini, itu mungkin menyebabkan serangan, dan aku tidak boleh terkena
serangan asma saat aku di sini; pemikiran itu sendiri yang menjadi pemicu
terbesar.
Jika aku
memiliki seseorang yang bisa memberiku dukungan emosional pada saat itu, aku mungkin
sudah sembuh total dari asmaku lebih cepat (meskipun
tentu saja, mendapatkan perawatan yang tepat di institusi medis akan lebih baik
dari apapun). Sosok yang akan menyelamatkanku, yang dapat memahamiku,
dan yang bisa melindungiku - jika aku memiliki seseorang yang seperti itu, aku
yakin setidaknya akan mengurangi jumlah serangan yang dipicu karena kecemasan
.
Aku tidak
punya teman. Karena berada di rumah sakit untuk radang selaput dada pada
usia 6 tahun dari musim dingin ke musim semi, aku terlambat masuk untuk usia
anak SD. Bagian lain dari itu adalah aku dilarang pergi ke luar, “karena aku tidak dapat menyebabkan masalah
orang lain.” Dan aku tidak bisa aktif, jadi aku tidak bisa bermain
dengan normal seperti anak-anak lain. Dan aku juga tidak dapat menghadiri
sebagian besar acara sekolah seperti festival atau perlombaan.
Tetapi faktor
terbesarnya adalah kepribadianku. Penyakit yang kuderita membuat diriku
menjadi budak, orang yang menghukum diri sendiri. Tubuhku adalah kegagalan
yang takkan membiarkanku menjalani kehidupan normal, dan aku sendiri adalah
pembuat onar, dalam arti dengan adanya keberadaanku di sana saja akan menyebabkan
orang-orang mengalami masalah besar; Aku sadar akan hal ini. Itu mungkin
adalah kebenarannya, tetapi seorang anak yang bahkan belum hidup satu dekade
pun tidak punya kewajiban untuk menghadapi fakta yang kejam. Seharusnya
aku tidak perlu khawatir tentang itu dan hanya hidup dengan berani.
Namun, dua
orang yang paling dekat denganku tidak hanya memperkuat perilaku budak itu,
mereka secara terbuka mendorongnya. Tanpa menggunakan kata-kata, mereka
menyiratkan “Kamu akan mengganggu banyak
orang dalam hidupmu, jadi setidaknya tundukkan kepalamu.” Aku
dibesarkan untuk mengutuk diri sendiri, sebuah ajaran yang terus aku
praktikkan. Bahkan tidak ada kesempatan bagiku untuk berteman.
Aku tidak
memiliki satu pun kenangan bagus di sekolah. Terutama ketika aku pergi ke
sekolah SD, aku adalah makhluk yang benar-benar menyedihkan.
Pada saat
itu, aku punya kebiasaan berjalan lamban. Aku merasa berjalan seperti itu
akan membuatku bernapas lebih mudah, tapi teman sekelasku sering menggodaku
untuk kebiasaan ini. Ketika aku melihat anak laki-laki meniru bagaimana
aku berjalan dan tertawa, aku memperingatkan diriku sendiri untuk waspada,
bahwa aku tidak boleh kena serangan asma di hadapan mereka. Karena mereka
akan menganggap itu sebagai cara lain untuk menggodaku. Dan aku akan terus
menjadi bahan tertawaan selama bertahun-tahun. Aku benar-benar tidak boleh
menunjukkan kelemahanku. Semakin tegang diriku, udara terasa semakin tipis
di kelas.
Ada sejumlah
kecil orang yang tahu tentang penyakitku dan menunjukkan perhatiannya. Orang-orang
semacam itu akan sangat ramah padaku di awal dan terus melangkah bersamaku,
tapi setelah berlalunya waktu, mereka akan jengkel dengan perilaku sensitifku,
menjadi jengkel melihat bagaimana hanya dengan
bersamaku saja membatasi mereka dalam banyak hal, dan akhirnya mereka bosan
denganku dan pergi. Dalam kasus yang lebih buruk, mereka akan mulai
membenciku. Jadi pada akhirnya, aku akan berakhir sendirian.
Jangan
terlalu emosian, dan jika aku merasakan serangan asma, hentikan semua kegiatan
yang sedang dilakukan dan pergi ke ruang kesehatan. Berpegang teguh pada dua
aturan ini memungkinkanku untuk hampir tidak mengungkap luasnya penyakitku
kepada teman-teman sekelasku. Dalam praktiknya, upayaku sepadan, sampai
titik tertentu. Tapi di musim dingin saat aku duduk di kelas 4, aku
mendapat serangan yang berat tepat di tengah-tengah pelajaran.
Salah satu
anak laki-laki melihat inhaler yang aku bawa seperti jimat keberuntungan, dan
mengatakan sesuatu untuk menggodaku. Habis sudah riwayatku. Seharusnya
aku mengabaikannya, tapi apa yang dikatakannya terlalu kejam, jadi aku
membalasnya. Laki-laki itu bingung, tidak menduga aku membentaknya balik,
jadi Ia marah. Dan untuk mengungkapkan kemarahan itu, Ia mengambil
inhaler-ku dan melemparkannya keluar jendela.
Aku
panik. Aku mulai berlari untuk mengambil inhaler, dan setelah itu, aku
menunjukkan pada dunia serangan asma yang lebih intens daripada
sebelumnya.
Hari itu
masih sering muncul dalam mimpiku.
Reaksi teman
sekelasku secara umum adalah apa yang sudah aku duga. Mereka melihatku
mengalami serangan asma bukan sebagai target untuk belas kasihan, tapi sebagai
sesuatu yang lucu dan mengganggu. Sejak saat itu, aku hampir tidak
menunjukkan wajahku di kelas. Aku menghabiskan sisa dua tahun masa sekolah
dasarku di ranjang UKS.
Tentu saja,
aku tidak punya tempat di UKS juga. Di sana ada kasta dan geng. Ruang UKS
memiliki lingkungan sosialnya sendiri, dan aku dikucilkan karena tidak cocok
dengan mereka. Beberapa siswa ada yang bisa akrab dengan perawat UKS, dan
ada juga tidak; Aku tentu saja termasuk kategori yang terakhir.
Tetap saja,
meski aku tidak bisa menyebutnya tanah yang damai, ruang UKS mungkin juga terasa
seperti surga jika dibandingkan dengan ruang kelas. Aku membaca buku-buku
sendirian di sana, danpunya waktu tidur yang panjang untuk tidur selama bertahun-tahun. Pada
kegiatan di luar sekolah saat di kelas lima dan kunjungan wisata di kelas enam,
aku terus tertidur di ruang UKS. Aku benar-benar tidak merasa sedih karena
tidak mengikutinya.
Entah karena
aku akhirnya bisa tidur nyenyak, atau karena aku tidak perlu berurusan dengan
stres di kelas karena teman-teman menontonku, periode dua tahun itu membawaku
dari yang terpendek atau terpendek kedua di kelas, menjadi di bawah rata-rata
tinggi. . Aku juga mengumpulkan informasi tentang asma, dan saat masuk SMP,
aku bisa menjalani kehidupan biasa. Tapi pada saat itu, kesendirian sudah
meresap ke dalam tulang-tulangku, dan aku bahkan tidak pernah berpikir untuk
berteman dengan siapa pun.
Kedengarannya
aneh, tapi aku merasa jika aku menjalin pertemanan sekarang, rasanya tidak bisa
dimaafkan untuk diriku yang di masa SD dulu. Jika diriku sekarang
menyangkal kesendirian, itu berarti aku menyangkal diriku yang lalu. Aku
akan mengakui bahwa orang-orang yang sarat dengan penderitaan selama enam tahun
itu tidak ada artinya kecuali kelelahan.
Aku ingin
meneruskan kesepian yang dia rasakan di hari-hari yang gelap itu. Penderitaan yang kamu alami tidaklah
sia-sia; itu masih bernafas dalam diriku sekarang, aku ingin
meyakinkannya.
Aku menjalani
kehidupan sekolah yang kesepian saat SMP maupun SMA. Aku masih tidak tahu
apakah itu pilihan yang tepat atau tidak. Tapi aku pikir jika aku mencoba
untuk mengatakan kalau masa lalu tidak pernah terjadi dan menjalani kehidupan
yang normal, aku akan memaksakan diriku terlalu jauh dan pada akhirnya itu
semua akan berantakan. Dan mungkin aku akan lebih kesepian daripada
sekarang.
Seperti
itulah kenanganku tentang sekolah. Pada hari libur, aku tetap tinggal di
kamarku. Orang tuaku melarang aku keluar sembarangan, tapi juga, aku tidak
merasa perlu untuk pergi keluar, dan tidak ada orang yang ingin aku
temui. Aku juga tidak merasa termotivasi untuk belajar. Hanya
mendengarkan pelajaran di kelas sudah cukup untuk memberiku nilai bagus, dan
bahkan jika aku belajar keras, aku tidak bisa membayangkan kalau orang tuaku
akan mengizinkanku untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Jadi aku akan
membaca buku yang aku lihat-lihat di perpustakaan, atau mendengarkan musik di
pemutar musik yang tidak lagi digunakan ayahku.
Ketika aku
sedang bosan dengan buku atau musik, aku akan menonton orang-orang yang berlalu
lalang dari jendela. Rumahku dibangun di tanah tinggi, jadi aku bisa
melihat sedikit dari jendela. Deretan bunga sakura di musim semi, ladang
bunga matahari di musim panas, pohon mapel di musim gugur, dataran salju putih
di musim dingin. Aku tik pernah lelah menikmati pemandangan ini, dan
memikirkan tentang teman masa kecil yang belum pernah aku temui.
Sejujurnya,
aku membutuhkan keluarga. Aku butuh seorang teman. Aku membutuhkan
yang namanya kekasih.
Aku
memimpikan sesosok yang memuaskan peran ketiga-tiganya. “Ia” pasti menjadi
teman masa kecil. “Ia” bisa memberi kehangatan seperti keluarga, menghibur
seperti teman, menunjukkan kasih sayang layaknya kekasih, dan mencocokkan
seleraku dalam segala hal; Aku mungkin menyebutnya anak pamungkas.
Apa yang akan
terjadi jika “Ia” ada di sana? Aku membayangkan “bagaimana jika Ia ada” ke dalam pengalaman hidupku. Aku
mengambil setiap kenangan masa laluku dan menyatukan keberadaannya dengan
kenanganku, untuk menyelamatkan diriku yang setiap kali menangis dalam ingatan
getir itu.
Andai saja
aku bertemu “Dengannya” saat itu.
Andai saja
“Ia” menyelamatkanku saat itu.
Andai saja
“Ia” akan memelukku erat-erat.
Kehidupan
macam apa yang akan aku jalani sekarang?
Fantasi
semacam itulah satu-satunya tempat berlindungku.
*****
Titik balik
kehidupanku ialah saat aku menginjak usia 16 tahun.
Saat itu,
hanya ada satu cara bagi seseorang tanpa perlu latar belakang akademis atau
pengalaman kerja untuk mendaftar menjadi insinyur Mimori. Tunggu klinik besar melakukan rekrutmen publik secara
berkala, kemudian buat dan kirimkan Mimori
sesuai dengan catatan pribadi yang dikirimkan klinik kepadamu. Jika kamu mampu
memenuhi standar mereka, kamu langsung dipekerjakan begitu saja.
Mungkin cara
gampang membayangkannya sama seperti penghargaan penulis pendatang baru. Kompetisi
ini sama kompetitifnya dengan novelis juga. Pada akhirnya, mengandaiikan
semua hal yang sama dalam apa yang kamu sebut “bakat,” beberapa orang mungkin
berusaha keras membuat, tapi masih gagal, sementara di sisi lain, mungkin ada
orang yang menulis beberapa Mimori
untuk menghabiskan waktu dan dipekerjakan di klinik terbesar di
dunia. Jika usia dan pengalaman tidak relevan, kamu tidak perlu
pengetahuan teknis. Sama seperti bagaimana seorang novelis tidak perlu
cerdas dalam semua fungsi pengolah kata atau teknologi pembuatan buku, insinyur
Mimori tidak perlu mengenal baik neuroscience
atau nanoteknologi.
Sebenarnya,
apa yang dilakukan oleh teknisi Mimori
secara praktis sama dengan apa yang dilakukan oleh para novelis. Perbedaan
terbesarnya adalah novelis menulis untuk pembaca yang mereka perkirakan
berjumlah ribuan atau lebih, sementara insinyur Mimori hanya mengantisipasi satu pembaca (bukan berarti tidak ada novelis yang menulis
hanya untuk memuaskan satu pembaca). Para novelis menulis dengan mengikuti
permintaan yang datang dari dalam, sementara para insinyur Mimory menulis
dengan mengikuti permintaan eksternal (bukan berarti tidak ada novelis yang
menulis sesuai dengan permintaan eksternal). Mereka memeriksa catatan
pribadi klien, dan memutar cerita yang sepenuhnya pragmatis untuk
itu. Mungkin kedengarannya sedikit lebih baik untuk mengatakan itu seperti
seorang penyair yang menulis soneta untuk seorang sponsor.
Itu adalah
dunia yang sangat sederhana. Bukan hanya karena sifat pekerjaannya
sederhana, tetapi karena pekerjaan insinyur Mimori
masih sangat baru. Undang-undang terkait Mimori pasti akan muncul di masa depan, membuat semuanya lebih
kompleks dari waktu ke waktu. Tapi aku berhenti dari pekerjaanku sebagai
insinyur Mimori sebelum itu bisa
terjadi, jadi aku hanya tahu sisi sederhana dari dunia itu.
Aku dipekerjakan
sebagai insinyur Mimori pada 16.
Bahkan sekarang, empat tahun kemudian, insinyur Mimori yang berusia 16 tahun tetap langka seperti novelis berumur
16 tahun.
Aku baru
mengetahui pekerjaan teknisi Mimori pada
pada usia 15 tahun. Aku sedang memandangi lembaran pilihan kursus,
bertanya-tanya apa yang harus diletakkan di bawah “pekerjaan yang diinginkan,”
yang mana menarik perhatianku. Ayahku adalah seorang insinyur gigi, jadi
mungkin aku menanggapi kata “insinyur.” Aku membaca deskripsi pekerjaan
yang tidak terlalu diharapkan, tapi kemudian secara intsing aku tahu.
Pekerjaan ini
khusus dibuat untukku.
Instingku
benar, dan musim panas mendatang, aku bekerja di sebuah klinik yang terkenal
sebagai teknisi Mimori termuda. Aku
tidak berpikir aku harus mengeluarkan upaya apa pun yang layak disebut
usaha. Tidak ada yang mengajariku; dari saat aku membaca catatan
pribadi dan meletakkan jariku di atas keyboard, aku tahu persis apa yang harus aku
lakukan.
Kupikir aku
takkan mendapatkan restu orang tuaku jika aku bilang kalau aku ingin menjadi
seorang insinyur Mimori, jadi aku
menunggu hasilnya dulu dan memberitahu mereka kalau aku telah diterima setelah
menerima pemberitahuan. Aku menekankan betapa sulitnya mendapatkan pekerjaan di
bidang itu, dan aku bisa terus melakukannya tanpa mempengaruhi belajarku, dan yang
paling penting, aku mampu menghasilkan uang (untuk biaya kuliah), jadi orang
tuaku dengan enggan menyetujui pekerjaanku.
Prosedurnya
begini: Pihak klinik akan mengirimiku catatan pribadi
klien. Informasi dalam catatan pribadi diambil dari mereka dalam keadaan
hipnotis, jadi mustahil ada kebohongan di dalamnya. Aku akan melihat
catatan pribadi, dan menggunakannya untuk menciptakan masa lalu fiktif yang aku
pikir dibutuhkan klien. Aku sering berdiskusi dengan editor dan membuat
pengaturan kecil, dan setelah Mimori dalam
kondisi terbaiknya, aku akan menyerahkannya ke klinik. Aku biasanya dapat
menyelesaikan seluruh proses ini dalam waktu satu bulan.
Urutan
penciptaan akan bervariasi dari orang ke orang, tapi aku selalu memulai dengan
membaca catatan pribadi klien cukup teliti untuk menghafalnya. Tidak
pernah memberikan arah yang jelas seperti “Kamu harus membuat sesuatu seperti
ini,” jadi aku membacanya dengan tergesa-gesa. Tak lama, aku mulai hampir
memiliki ilusi bahwa klien adalah seseorang yang dekat denganku. Meski
begitu, aku akan menenggelamkan diri dalam membaca catatan pribadi. Dalam
melakukan ini, aku akhirnya akan menyentuh inti jiwa klien, atau sesuatu
seperti itu. Itu adalah keadaan di luar simpati atau empati - mungkin itu
harus disebut penyaluran.
Pada saat
itu, aku meraa seperti menjadi mereka ketimbang diri mereka sendiri. Aku
dapat melihat apa yang diinginkan klien di dalam lubuk hati mereka lebih jelas
daripada yang dirasakan klien. Cacat yang tidak mereka sadari akan naik ke
permukaan, dan aku bisa mencari dan menawarkan serpihan-serpihan yang cocok
dengan lubang itu. Dengan cara ini, aku bisa memberi mereka perasaan bahwa
kenangan ini hanya dibuat untuk mereka dan bukan orang lain.
Aku, yang
terus berfantasi tentang mengisi lubangku sendiri, dapat melakukan pekerjaan
yang sulit dikonseptualisasikan semudah bernafas - bahkan, jauh lebih mudah
daripada itu. Sebagai orang yang tidak memiliki segalanya, aku bisa
menjelaskan setiap ketidakhadiran. Tidak adanya sesuatu pada kenyataannya
hal yang penting untuk menciptakan cerita yang memenuhi harapan klien. Aku
bisa terbiasa dengan apa pun.
Walau kamu
menulis kisah epik, itu hanya akan memiliki satu pembaca, dan bahkan jika kamu
membuat cerita payah, itu hanya akan memiliki satu pembaca juga. Jadi
sebenarnya, ada banyak insinyur Mimori yang
melakukan pekerjaan setengah matang. Tidak ada standar obyektif untuk output yang baik atau buruk, sehingga
mereka bisa memaafkan pekerjaan kasar dengan mengatakan “tampaknya itu tidak
sesuai dengan kepekaanmu.” Saat kamu hanya memiliki satu pembaca, kamu takkan
dikritik karena mengulang ide dari pekerjaan sebelumnya atau menjiplak sendiri,
jadi tidak jarang orang terus menerus mengulang karya terbaik mereka.
Itu sebabnya
ada jurang pemisah besar dalam kualitas, antara insinyur Mimori dengan hati nurani yang baik dan yang tidak. Dan
insinyur Mimori terbaik akan menerima
pelanggan tetap. Pelanggan yang senang dengan Mimori mereka biasanya akan membeli terus. Mereka hanya merasa
tidak nyaman tentang hal itu pertama kali, dan begitu mereka mengambil langkah
itu, mereka dirasuki oleh kepuasan membentuk kembali masa lalu mereka.
Oleh karena
itu, para insinyur yang memproduksi kualitas 50% Mimori menghasilkan uang banyak dalam jangka pendek, tapi dalam
jangka panjang, mereka yang menghasilkan kualitas 90% Mimori dalam jumlah yang lebih kecil
mendapatkan lebih banyak lagi. Pelanggan merasa tergerak dari produsen
massal dari waktu ke waktu, dan di dunia yang kompetitif ini, tidak mungkin
memulihkan kepercayaan yang hilang itu. Pembeli Mimori sangat konservatif. Tidak ada yang mau coba-coba untuk
memilih insinyur Mimori yang melakukan pekerjaannya ceroboh.
Aku
mendedikasikan diri untuk bekerja dengan hati-hati. Aku terjebak dengan
tenggat waktu, dan aku tidak bermalas-malasan pada belajarku. Bukannya aku
merasakan tanggung jawab. Bahkan bukannya aku ingin memenuhi harapan
klien. Hanya saja aku menyukai pekerjaan ini.
Membaca
catatan pribadi dan menemukan masa lalu fiktif juga berarti menjalani kehidupan
orang lain. Sebagai seseorang yang muak dengan hidupku sendiri, profesi
ini memiliki tumpang tindih yang ideal antara hobiku dan manfaat praktis. Aku
mengabaikan belajar sekolahku untuk mengabdikan diri demi bekerja. Aku
selalu melamun di kelas, dan lamunanku dipenuhi dengan catatan pribadi klienku
saat ini. Karena aku begitu sering tenggelam dalam kehidupan orang lain,
kadang-kadang aku ingin melupakan kalau aku adalah gadis remaja yang bersekolah
di SMA umum setempat.
Hasil
pekerjaanku memberiku reputasi, dan segera jumlah uang yang belum pernah aku
lihat sebelumnya tersimpan di rekening bank-ku. Pada tahun pertama aku
mulai bekerja, penghasilanku jauh melebihi pendapatan ayahku. Aku tidak
tertarik untuk menghasilkan uang, tapi usai melihat jumlah uang di buku tabunganku,
aku mulai merasa bahwa aku diakui oleh masyarakat. Aku merasakan untuk
pertama kalinya dalam hidupku bahwa tidak masalah bagiku untuk berada di dunia
ini. Orang tuaku tampaknya tidak terlalu menyukai bagaimana putri mereka
secara sewenang-wenang memilih jalan hidupnya sendiri, tapi aku menyisihkan
separuh penghasilanku ke rumah, dan itu sangat membantu keuangan keluarga, jadi
mereka tidak bisa terlalu marah tentang itu.
Angka-angka
itu terasa sentuhan. Aku akan membuka buku tabunganku pada saat-saat luang
dan melihat angka-angka yang membengkak demi penyemangat. Dengan cara yang
sama ketika aku masih kecil, aku diam-diam mengeluarkan inhaler yang aku simpan
di saku untuk menenangkan hatiku.
Ketika aku
berusia 18 tahun, aku bertengkar dengan orang tuaku mengenai masalah uang, dan
berpikir mereka akan mengeksploitasiku selama sisa hidupku pada tingkat ini, aku
pergi meninggalkan rumah. Aku meyakinkan bibiku untuk membiarkanku tinggal
di rumahnya selama beberapa bulan (dia ramah saat aku akan membayarnya),
kemudian mendapat kamar di sebuah apartemen tua yang dikelola oleh seorang
temannya, dan mulai hidup sendiri.
Aku terus
kesepian seperti sebelumnya, tapi itu adalah kesepian “waktu sendirian” yang
tepat, jauh lebih baik ketimbang secara tidak adil didepak keluar dari
kelompok. Bukan kesepian di ruang kelas, tapi kesepian di kamarku
sendiri. Dan selama aku menikmati pekerjaanku, harus sibuk berpindah dari
satu fantasi ke fantasi berikutnya, aku tidak punya waktu luang untuk merasa
kalau aku kesepian.
Melalui
kunjungan berkala ke rumah sakit, aku diberitahu bahwa asmaku telah sembuh. Dengan
kepercayaan diri untuk hidup sendirian, aku akhirnya bisa bebas dari rantai yang
mengikat tangan dan kakiku.
Masa depanku
cerah. Kehidupan nyataku akhirnya bisa dimulai, pikirku.
Itu adalah
firasat yang akurat. Tetapi sempat terlintas di benakku bahwa kata
“nyata” tidak selalu membawa hal yang positif.
Pada usia 19 tahun, aku menderita penyakit baru.