Chapter 09 – Pendongeng
Penyakit
Alzheimer Baru bisa dikatakan telah melahirkan profesi “insinyur Mimori.” Perbedaan mencolok antara
Alzheimer Baru dengan Alzheimer yang sudah ada sebelumnya, ialah caramu
kehilangan ingatan.
Jika gangguan
memori yang disebabkan oleh Alzheimer dulu itu jauh ke depan, sedangkan versi
baru itu sangat dekat. Jika Alzheimer dulu, kerusakan pada ingatan jangka
pendek bisa terlihat dari awal, tapi ingatan jangka panjang hanya mulai terpengaruh
setelah penyakitnya mulai berkembang. Tapi di sisi lain, Alzheimer versi Baru
adalah kebalikannya, dengan kehilangan ingatan jangka panjang sebagai gejala
awal, dan kehilangan ingatan jangka pendek pada stadium akhir. Alzheimer
dulu membuatmu tidak dapat melihat segalanya dari dekat, tetapi Alzheimer baru
membuatmu tidak dapat melihat hal-hal yang jauh - tentu saja, ini semua
merupakan penyederhanaan yang ekstrem. Tapi ini adalah cara yang biasa
digunakan untuk menjelaskan sifat Alzheimer baru dengan cepat.
Cara pandang
dekat yang sama tidak jarang terjadi di kalangan anak muda, Alzheimer Baru
dapat diidap pada usia yang lebih muda dari awal-awal Alzheimer. Ada
sejumlah kasus yang dilaporkan bahkan pada masa remaja (sebetulnya, aku adalah salah satunya). Penyakit Alzheimer
tetap merupakan penyakit yang sangat misterius, tapi kabut yang lebih tebal
menggantung di atas Alzheimer Baru. Sama seperti Alzheimer dulu, itu
dianggap sebagai penyakit keturunan multifaktor dengan berbagai penyebab
genetik dan lingkungan, tapi ada beberapa teori konspirasi bahwa nanobots yang
nakal adalah penyebab sebenarnya. Beberapa peneliti juga berteori jenis
baru penyakit menular langsung menyebabkannya. Ada banyak pendapat yang
berbeda, tapi tidak ada teori pasti. Sederhananya, masyarakat hampir tidak
tahu apa-apa. Tak perlu dikatakan lagi, tidak ada obatnya.
Dibandingkan
dengan Alzheimer dulu, kehilangan ingatan dari Alzheimer baru jauh lebih
sistematis. Seperti riwayat catatan yang tidak dapat menyimpan semuanya,
sehingga secara otomatis menghapus data mulai dari yang tertua, kenanganmu
digerogoti dalam urutan mulai dari yang terlama. Kamu melupakan masa
bayimu, Kamu melupakan masa kecilmu, Kamu melupakan masa remajamu, Kamu
melupakan masa dewasamu, Kamu melupakan usia paruh bayamu. Lalu pada akhirnya,
kamu hanya bisa mengingat kejadian beberapa hari terakhir.
Tentu saja,
perbentian akhir dari Alzheimer baru itu sama dengan yang dulu. Ketika kerusakan
memori terus menggerogoti sampai masa saat ini, pasien memperoleh sindrom
Apalik dan segera meninggal setelahnya. Bagian kehilangan ingatan
mendapatkan semua perhatian, tapi mereka adalah penyakit yang secara langsung
terkait dengan kematian, dan setelah seseorang mengidapnya, tidak ada harapan
untuk menyelamatkan mereka. Tingkat kematian saat ini adalah
100%. Perkiraan sisa umur setelah kamu mengidap Alzheimer adalah 7 atau 8
tahun, tapi pada Alzheimer Baru, itu bahkan tidak sampai setengahnya.
Pasien yang
mengidap Alzheimer lama akan kehilangan kemampuan untuk mengenali diri sendiri
pada akhir dan memasuki keadaan seperti tak sadarkan diri, tapi pasien
Alzheimer baru tidak menunjukkan kerusakan yang jelas selain kehilangan memori
episodik hingga kematian. Tidak ada kerusakan pada fungsi otak tingkat
tinggi atau orientasi yang terganggu, proses pemikiran yang normal, dan tidak
ada efek penting pada kepribadian. (Ada
temuan yang mengklaim memori jangka pendek sebenarnya meningkat, tetapi ini
mungkin hanya karena kehilangan ingatan jangka panjang mengurangi jumlah
kenangan yang bersaing satu sama lain.) Itu tidak akan menghalangi
kehidupan sehari-hari, dan itu bukan hambatan dalam sebagian besar
pekerjaan. Dan tidak ada halusinasi atau delusi - orang di sekitarmu akan
sangat bersyukur karenanya.
Tetapi bagi
mereka yang menderita penyakit itu sendiri, itu tidak bisa disebut apapun kecuali
neraka. Sementara inderamu tetap sangat jelas, Kamu dipaksa untuk menonton
bahwa dirimu sebagai orang akan
lenyap. Jika Alzheimer lama adalah penyakit yang menggerogotimu dari dalam
dengan rasa sakit yang tumpul, Kamu bisa menyebut kalau penyakit Alzheimer baru
adalah penyakit yang secara perlahan memotong tubuhmu tanpa obat
bius. Kualitas ketakutan yang berbeda-beda, tapi aku pikir kebanyakan
orang akan setuju bahwa yang terakhir lebih menyiksa.
Karena itu,
ada sejumlah besar pasien Alzheimer Baru yang mengakhiri hidup mereka sendiri
sebelum gejala sepenuhnya berkembang. Aku
ingin mengakhiri semuanya sementara aku masih bisa menjadi diriku sendiri,
kata mereka.
Obat dapat
memperlambat perkembangan gejala sampai batas tertentu, tapi penyakit Alzheimer
Baru ditemukan terlambat karena sifatnya. Kamu bisa langsung mengetahui
ketika ada masalah dengan memori langsungmu atau memori jangka pendek, tetapi
tidak ada yang segera membuat koneksi yang ketidakmampuan mereka untuk
mengingat masa bayi atau masa kanak-kanak adalah karena penyakit. Kecuali kamu
punya seseorang untuk secara berkala berbicara tentang masa lalu yang jauh,
sulit untuk menyadari stadium awal Alzheimer baru. Kebanyakan pasien akan
panik lari ke rumah sakit pada saat mereka mulai kehilangan ingatan remaja
mereka.
Dengan
demikian, mayoritas pasien tidak memiliki ingatan pada masa
kanak-kanak. Ini mungkin dianggap sebagai tragedi yang lebih besar
ketimbang berulang kali melupakan orang-orang yang paling kamu
cintai. Satu pasien menggambarkan kondisi mental mereka sebagai “terus-menerus tersesat di kota yang tidak
aku tahu.” Ternyata, kenangan kami yang paling penting adalah fokus di
awal kehidupan kami, dan di antara mereka, mungkin rasa aman yang sejati hanya
bisa dinikmati pada masa bayi. Keamanan sejati - ketenangan pikiran yang
sempurna dan tanpa cela, yang disebut Charlie Brown “tidur di kursi belakang
mobil sementara orang tuamu menyetir.” Bukan berarti aku peduli hal
seperti itu sejak awal.
Dalam kasusku,
penemuan penyakit itu adalah murni kebetulan. Tangan dominanku merasa mati
rasa, jadi aku pergi ke rumah sakit dan menjalani CT scan otak, di mana mereka
menemukan gejala Alzheimer Baru. (Kebetulan, penyebab mati rasa itu cuma karena
kelelahan.)
Dalam
perjalanan pulang setelah diberi tahu tentang penyakitku, keadaan pikiranku
bisa digambarkan sebagai kedamaian. Aku tahu betul apa itu penyakit Alzheimer Baru. Aku juga tentu saja tahu,
ada banyak orang yang bunuh diri karena mengidap penyakit itu. Dan
penyakit ini akan mengakibatkan kematian. Bagaimana pun juga, aku tidak
tenggelam dalam keputusasaan, dan tidak meratapi nasibku. Aku bahkan tidak
meneteskan sebutir air mata sedikitpun.
Walau begitu,
aku curiga bahwa aku akhirnya akan mulai tenggelam dan aku akan berada di
samping diriku sendiri dengan penuh kecemasan, jadi aku memutuskan untuk
mengambil cuti sebulan. Karena aku telah bekerja begitu rajin hingga saat
itu, jadi pihak klinik siap menerima permintaan aku.
Aku
menghabiskan sepuluh hari itu bermalas-malasan, tapi aku tidak merasa takut
atau menyesal. Satu-satunya hal yang aku miliki adalah kekhawatiran. Kenapa
aku bisa begitu tenang tentang hal ini? Apa aku pada dasarnya salah
memahami sesuatu? Atau mungkin aku belum siap mental untuk menerimanya
sebagai kenyataan?
Aku tetap
mengurung diri di kamarku dan menonton acak acara TV, aku bahkan tidak
repot-repot untuk menontonnya. Menjadi workaholic
yang memikirkan pekerjaannya setiap hari - bahkan dalam mimpiku - aku tidak
tahu bagaimana seharusnya menghabiskan waktu luang. Dalam beberapa tahun
ini, aku menghabiskan semua hari liburku untuk memberi masukan kepada diriku
sendiri sehingga dapat menambah variasi ke dalam Mimori buatanku. Buku, film, musik, dan liburan sama sekali
tidak lebih dari penelitian pembuatan Mimori
bagiku. Menghapus mereka dari persamaan langsung membuatku bingung apa
yang harus dilakukan. Aku
benar-benar tidak pernah memikirkan apapun selain bekerja, pikirku dalam
hati.
Tiga hari
lagi berlalu, dan kekhawatiranku berubah menjadi perasaan ngeri. Aku
berbaring di tempat tidur dan memikirkan banyak hal untuk mencoba dan
memasukkan perasaan ini ke dalam kata-kata. Dan akhirnya, aku sadar.
Kalau
dipikir-pikir lagi, aku mengalami kilas balik jauh lebih sedikit belakangan
ini. Sambil mandi atau menunggu untuk tertidur di tempat tidur, aku sering
tiba-tiba teringat sesuatu dari masa lalu dan menjadi sengsara, tapi itu hampir
tidak terjadi lagi. Alasan untuk ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Itu
karena kenangan masa kecil traumatisku terhapus oleh penyakit. Itulah
realitas perasaan yang terus aku miliki. Ketika aku kehilangan ingatanku,
aku takkan merasa takut - justru sebenarnya membuat hidupku lebih mudah.
Bila ditilik
kembali kehidupanku dengan hati-hati, aku menyadari bahwa tidak ada satu hal
pun yang tidak ingin aku lupakan. Tidak ada orang yang tidak ingin aku
lupakan, tidak ada momen yang tidak ingin aku lupakan, tidak ada tempat yang
tidak ingin aku lupakan, tidak ada sama sekali.
Aku
tercengang oleh fakta itu. Lagi pula, jika orang normal mendengar kalau mereka
akan kehilangan ingatan, maka sebelum melakukan hal lain, mereka akan
menuliskan semua yang tidak ingin mereka lupakan. Kemudian mereka
membacanya berulang-ulang untuk mencoba dan mengukirnya dalam-dalam ke dalam
otak mereka. Tapi aku tidak melakukan itu. Aku tidak perlu
melakukannya. Jika kamu menghapus semua kenangan buruk yang ingin aku
lupakan jika aku bisa, hanya kenangan yang tidak berharga seperti sampah akan
tetap ada.
Haruskah aku merasa
bersyukur karena tidak perlu takut akan kehilangan apapun selama sisa hidupku? Atau
haruskah aku meratapi bahwa aku tidak bisa mendapatkan apapun yang
hilang? Aku tidak bisa memutuskan itu. Apa yang bisa aku katakan
adalah bahwa ketika ingatan hilang menyembuhkan luka di hatiku, kerinduan untuk
orang lain perlahan mulai beranjak. Aku sudah menonton TV tanpa mempedulikan
program itu sendiri hanya karena aku ingin mendengar suara orang.
Aku
kesepian. Saat ini, aku bisa dengan jujur mengakui perasaan itu. Atau untuk membaliknya: sebelum mengetahui tentang
penyakitku, aku tidak punya waktu untuk mengenali rasa kesepianku. Penghapusan
penderitaan emosionalku membuka ruang di hatiku, dan untuk pertama kalinya aku
bisa menerima kebenaran: aku tidak memilih kesepian, kesepianlah yang telah
memilihku. Kamu bisa mengatakan tidak ada alasan lagi untuk mempertimbangkan
akumulasi perasaanku di masa depan, jadi tidak ada alasan untuk tetap bertindak
acuh.
Rasanya
sia-sia untuk melawan keinginan itu. Seperti yang direkomendasikan oleh
dokterku, aku mendaftar untuk pertemuan yang diselenggarakan oleh fasilitas
perawatan Alzheimer Baru di kota. Idenya ialah sesama pasien untuk berbagi
kekhawatiran dan kecemasan mereka, sehingga kamu bisa mengenal banyak orang lain
dengan penyakit di sana.
Penderitaan
adalah hal pribadi tak peduli seberapa jauh kamu mencoba untuk meregangkannya,
sehingga bahkan orang-orang dengan penyakit yang sama tidak akan bisa
mengerti; Aku telah belajar hal ini karena menderita asma. Jadi
sejauh penyakit itu, aku tidak punya harapan bahwa itu akan membuatku lebih
positif, melenyapkan kecemasanku, atau perubahan lainnya. Tapi aku tidak
peduli. Aku hanya ingin mencoba mengisi kesepian yang aku rasakan untuk
pertama kalinya dalam hidupku dengan cara yang sehat. Bukan cara yang
tidak sehat, seperti berbaring di tempat tidur dan berfantasi.
*****
Teknisi Mimori tidak menggunakan perumpamaan. Tidak
seperti pembaca novel atau penonton film, mereka dengan Mimori hanya melihat apa yang ada di sana sebagai apa yang ada di
sana. Mereka tidak melakukan interpretasi teka-teki tentang mereka,
seperti “apakah pemandangan yang
digambarkan di sini semacam metafora?” atau “apakah peristiwa yang terjadi di sini semacam alegori?” Mereka
tidak tampak terlalu sulit untuk memberi makna tambahan dalam cerita yang
mereka berikan, menerima Mimori
seperti mereka menerima kehidupan. Jadi kita tidak memiliki pola pikir
artistik, hanya menyusun episode yang menyenangkan dan tidak lebih dari
itu. Karena itu, insinyur Mimory dianggap sama dengan makanan cepat saji
di antara mereka yang membuat cerita.
Tidak apa-apa, pikirku. Aku
suka soba berdiri dan conveyor belt sushi. Aku akan sedih jika mereka
pergi.
Walau begitu,
aku jelas tidak membuat meremehkan perumpamaan itu sendiri. Kadang-kadang,
mereka dapat menggali inti sesuatu dengan cara yang melampaui maksud
pendongeng. Kata-kata yang kami gunakan jauh lebih pintar dari kami.
Sebagai
contoh, ketika aku memasuki ruangan seukuran kelas dan melihat sepuluh kursi
diatur dalam lingkaran dengan sembilan pasien cemas duduk di dalamnya, aku
pikir “rasanya seperti kita bisa mulai
menceritakan kisah hantu.” Ini seperti perumpamaan, namun itu terlalu
jauh dari kebenaran yang aku rasakan. Kisah-kisah yang akan mereka
ceritakan akan membuatku merinding dan membuatku mual karena takut. Dan
ketika cerita orang kesepuluh mendekat, itu akan memanggil sesuatu yang tidak
seharusnya ada di dunia ini.
Para anggota
terdiri dari berbagai usia dan jenis kelamin, dan seperti yang diharapkan, aku
adalah yang termuda. Aku sedikit penakut, tapi aku menarik napas panjang
dan duduk, cepat menyapa orang-orang di sekitarku. Dan kemudian aku
melihat lebih jelas pada semua orang, satu per satu. Mereka semua memiliki
ekspresi melankolis. Aku tidak ragu bahwa pandangan mata mereka adalah
yang paling tidak bahagia di dunia. Aku pernah melihat sesuatu seperti ini
di film, tiba-tiba aku sadar. Aku berpikir sekitar 20 detik, lalu ingat
bahwa itu disebut Fight Club. Aku
berumur 17 saat melihat film itu. Yang berarti setidaknya, aku masih memiliki ingatanku saat
usia 17 tahun.
Botol the
mulai didistribusikan kepada semua orang, tapi tidak seorang pun
meminumnya. Yang lainnya, sering bertukar pandang satu sama lain, mungkin
bukan pertama kalinya mereka ke sini. Mungkin cuma aku satu-satunya yang
tidak punya kenalan.
Semua orang
di sana berpakaian rapi, dan aku kemudian baru sadar akan penampilanku
sendiri. Aku terakhir membeli pakaian dan sepatuku tiga tahun lalu, dan
tidak mengenakan aksesoris apa pun. Pada dasarnya aku tidak memakai riasan
wajah, kulitku kasar karena kurang tidur dan lusuh, dan rambut hitamku yang
tidak pernah dicukur sangat tidak terawat, aku tampak seperti hantu. Keberadaanku
tidak layak.
Aku akan memotong rambutku setelah pertemuan ini selesai, pikirku.
Aku mendengar
suara berdehem.
“Kalau
begitu, bagaimana kalau kita mulai.” Seorang pria berusia empat puluhan
duduk di sebelah kiriku memulai acara pertemuan. “Siapa yang ingin mulai
duluan?”
Beberapa
orang saling melirik dan menggelengkan kepala mereka.
“Baiklah,
kalau begitu aku akan mulai seperti biasa ...”
Pria itu
tersenyum masam dan mulai menceritakan kisahnya dengan nadanya yang biasa.
“... Aku
tidak bisa mengingat setengah dari apa pun tentang istriku.”
Kesan jujurku
ialah bahwa itu kisah yang terdengar asing. Ia lulus kuliah dan menikah
setelah itu, mengambil pinjaman kredit untuk memulai sebuah toko, berhasil
melewati masa-masa keuangan yang tidak stabil dengan istrinya, segera menapaki
langkah melalui bisnis, punya anak, dan saat Ia berpikir semuanya akan dimulai,
penyakit ditemukan. Ia takut akan kematiannya, tetapi lebih dari itu, Ia
takut melupakan istri dan anaknya. Ia ingat bibinya yang tidak bisa
mengenali wajah keluarganya karena gangguan kognitif. Berpikir tentang
berakhir seperti itu sendiri membuatnya ingin mengakhiri semuanya sebelum itu
terjadi. Dan sebagainya, sebagainya.
Begitu cerita
pria itu selesai bercerita, ada tepuk tangan yang tersebar. Aku diam-diam bertepuk
tangan juga, tapi aku benar-benar berpikir “kedengarannya
kamu menjalani kehidupan yang cukup bahagia.” Aku merasa malu pada
diriku sendiri karena merasa iri dan bukannya simpati, jadi aku bertepuk tangan
lebih keras.
Setelah itu,
setiap orang berkeliling searah jarum jam berbicara tentang kekhawatiran mereka. Mungkin
mereka memikirkanku dan dengan sengaja memastikan aku akan bertahan, sebagai
pendatang baru. Tidak semua orang berbicara tanpa basa-basi sebagai orang
pertama; beberapa berbicara dengan gemetar, mengalami kesulitan, dan aku
diam-diam lega.
Kisah
pembicara keempat, seorang pustakawan perempuan, memiliki beberapa bagian yang
memuatku terkesan. Sambil mendengarkan ceritanya, aku menyadari diriku
secara tidak sadar berpikir “dengan
sedikit sentuhan, aku bisa menggunakan ini untuk Mimori.” dan aku bergegas
untuk menyingkirkan pemikiran kasar itu. Kenapa aku masih memikirkan
pekerjaan pada saat seperti ini? Tidak ada yang bisa lebih kasar daripada
menggunakan pernyataan jujur orang asing sebagai bahan. Aku
mencoba untuk membuat diriku menutup sirkuit insinyur Mimori di otakku, dan menerima cerita mereka sama seperti orang yang
menerima Mimori mereka.
Setelah
cerita orang keenam, ada jeda istirahat sejenak. Pria di sebelah kiriku
bertanya kepadaku tentang kesan pertemuan ini. Berusaha membalas dengan
pilihan kata yang hati-hati, aku memikirkan kembali enam kisah yang aku dengar
sejauh ini. Dan kemudian tiba-tiba, ada sesuatu terjadi yang membuatku
menggigil.
Mereka semua
membicarakan tentang keluarga, teman, dan kekasih.
Kisah hantu
berlanjut. Pembicara ketujuh berbicara tentang keluarga dan teman. Pembicara
kedelapan berbicara tentang seorang kekasih dan teman. Pembicara kesembilan
berbicara tentang keluarga, teman, dan kucing. Aku yakin. Prosesnya
sendiri yang berbeda, tapi semua orang kecuali aku setuju dengan kesimpulan
yang sama: "garis pertahanan
terakhirku adalah ikatanku dengan orang-orang yang dekat denganku.”
Wanita paruh
baya di sebelah kananku sedang menyelesaikan ceritanya. Apa yang harus aku
bicarakan?, Aku bertanya-tanya. Pada awalnya, aku berencana untuk
berbicara tentang kekosongan bahkan tidak takut kehilangan ingatanku. Tetapi
jika aku, yang ditugaskan untuk menghadiri pertemuan ini, mengatakan sesuatu
seperti itu, bukannya itu akan membuatku dicemooh? Bukannya itu hanya
merusak suasana yang sudah mereka bangun dengan hati-hati?
Apakah keputusasaanku
secara tidak sengaja terdengar seperti sinisme terhadap keputusasaan sembilan
orang ini?
Aku membuka
kembali sirkuit yang aku tutup. Aku mengalihkan kepalaku ke mode
penulisan, dan memunculkan cerita baru.
Aku akan membuat cerita yang sesuai untuk tempat ini, pikirku.
Aku
memejamkan mata dan fokus. Aku menghancurkan sembilan cerita mereka sampai
mereka berantakan dan mengekstraks intinya. Kemudian aku menambahkan
beberapa fakta pribadiku - atau mungkin
keinginan yang merupakan perpanjangan dari fakta pribadiku - untuk
membuatnya tampak orisinal, dan kemudian menyuntikkan sedikit bunyi untuk
menutupi kepalsuannya, dan menarik realitasnya.
Aku
menugaskan “Ia,” yang telah aku kembangkan dalam khayalanku sejak aku masih
kecil, ke dalam peran seorang pangeran yang menunggang kuda putih.
Aku
menyelesaikan seluruh proses ini dalam waktu kurang dari 30 detik. Aku
punya waktu luang, jadi aku bahkan memberikan judul cerita yang bagus.
Sejak
mengidap Alzheimer Baru, kemampuanku sebagai pendongeng tidak melemah, justru
pada kenyataannya, semakin terasah. Aku tidak tahu kenapa. Mungkin itu
logika yang sama di balik mengapa minum dan merokok dapat memiliki efek positif
pada tulisan meskipun buruk bagi kesehatan. Saat kamu melupakan hal-hal
yang tidak perlu, rasanya seperti daging yang berlebihan dibuang dari otak mu.
Kisah wanita
itu sepertinya sudah berakhir. Setelah tepuk tangan berakhir, mereka semua
mengalihkan perhatiannya kepadaku, semuanya seakan mengatakan “sekarang
giliranmu.” Aku meletakkan tangan kiriku ke paru-paru kananku dan
mengambil nafas pendek, dan mulai menceritakan masa lalu fiktif yang baru saja
kuciptakan — tapi dalam artian, sudah dibangun sejak aku masih kecil.
“Aku punya
teman masa kecil.”
*****
Pada saat
ceritaku selesai, sebagian dari mereka menangis. Beberapa bahkan mengambil
saputangan untuk mengeringkan mata mereka di tengah. Kebohonganku
terdengar lebih nyata daripada cerita orang lain, dan telah mengguncang hati
penonton.
Setelah tepuk
tangan berhenti, salah satu anggota - wanita
yang berbicara tentang kucingnya - berbicara.
“Aku senang
kamu datang ke sini hari ini.” Dia melepas kacamata baca, menggosok
matanya, lalu dengan hati-hati mengembalikannya. “Terima kasih sudah
menceritakan kisahmu yang luar biasa. Kamu mungkin sangat tidak bahagia, tetapi
kamu adalah gadis yang sangat bahagia. Kamu diberkati dengan pasangan yang
sempurna.”
Aku tidak
tahu bagaimana menanggapinya, jadi aku menundukkan kepala. Kemudian semua
anggota memberikan opini mereka tentang kisahku satu demi satu. Setiap
kali mereka mengucakan kata-kata hangat, ada rasa bersalah tersembunyi di balik
senyumku yang kaku.
Sepertinya
aku mungkin sudah keterlaluan. Kalau dipikir-pikir lagi, ini adalah
pertama kalinya aku melihat langsung respon terhadap cerita yang aku buat. Aku
tidak menyangka akan mendapatkan reaksi sebesar ini. Aku seakan diingatkan
tentang kisah-kisah sihir yang ada di sini.
“Sangat disayangkan
untuk seseorang yang masih begitu muda.” “Bagaimana kalau kamu membawanya
ke sini kapan-kapan? Kita semua akan menyambutnya.” “Itu sangat meyakinkan
bahwa kamu memiliki seseorang yang mengerti dekat. Jika aku tidak memiliki
istriku, aku pikir aku akan putus asa.” “Mendengar ceritamu membuatku
merindukan pacarku juga."
Aku
mengangguk pada kata-kata mereka dengan senyuman kering di bibirku. Dan
semakin aku mengangguk, semakin aku merasa sedih. Aku bahkan
bertanya-tanya: jika orang-orang ini mengetahui bahwa ceritaku itu palsu,
bukannya mereka mengira aku mengolok-olok mereka? Dan aku merasa muak
dengan diriku sendiri karena yang memiliki kompleks penganiayaan setelah menipu
orang-orang yang baik hati ini.
Aku membuat
alasan untuk menolak bertukar informasi kontak dengan siapa pun, lalu
meninggalkan tempat pertemuan. Aku benar-benar linglung saat pulang rumah melalui
kereta bawah tanah. Pantulan wajahku di kaca jendela tampak jelek, seperti
cangkang yang terlepas. Layaknya cuaca yang turun melalui akhir musim panas,
hancur berkeping-keping.
Aku takkan pernah menghadiri pertemuan itu lagi, pikirku.
*****
Dari awal
musim panas hingga akhir, aku selalu sendirian.
Aku bahkan
tidak menyalakan TV atau radio lagi. Aku berhenti melihat buku tabungan
yang pernah memberiku dukungan mental. Aku tidak bisa menemukan penghiburannya
sekarang. Aku sudah merasa puas hanya dengan uang yang cukup untuk biaya hidup
dan koin untuk mengangkutku ke akhirat, jadi itu semua hanya kelebihan.
Angka-angka
dalam buku tabunganku menunjukkan bagaimana aku bisa melakukan apa saja tapi
tidak dapat berbuat apa-apa. Jika orang normal punya banyak waktu dan
uang, mereka mungkin akan keluar bersama teman-teman mereka, atau menghabiskan
waktu bersama keluarga, atau pergi berkencan. Untuk memanfaatkan sisa
tahun-tahun mereka yang tersisa, mereka akan menikmati liburan mewah,
mengadakan pesta-pesta mewah, atau mengadakan pesta pernikahan yang
fantastis.
Aku sama
sekali tidak memiliki saluran untuk menggunakan uangku. Aku berpikir untuk
pindah ke suatu tempat yang memungkinkan hewan peliharaan dan memelihara
kucing, tapi dengan cepat memikirkannya kembali saat aku menjelajahi
katalog. Seseorang yang mungkin bahkan tidak hidup tiga tahun lagi
seharusnya tidak boleh hewan peliharaan. Seseorang yang bahkan tidak bisa
menjaga diri sendiri tidak bisa mengambil peran yang penting.
Selain itu,
itu adalah motivasi kasar untuk mencari kesembuhan dari kucing karena aku tidak
bisa bergaul dengan manusia. Aku merasa kasihan pada kucing yang harus
akrab denganku. Kucing adalah makhluk bebas yang memberi pengertian bahwa
mereka harus dibesarkan oleh orang-orang yang bisa hidup tanpa
kucing. Pemilik semacam diriku yang tidak bisa hidup tanpa kucing akan membuat
kucing tidak bahagia.
Ketika aku merasa
kesepian, aku pergi ke beranda apartemenku dan melihat orang yang lewat. Seperti
kembali ke waktu dimana dulu terjebak di kamarku dan melihat ke luar
jendela. Ternyata, aku tidak berubah sama sekali sejak hari itu.
Aku
menghabiskan musim panas itu hanya memikirkan bagaimana memenuhi keinginanku
yang paling mendasar.
Aku bersandar
di dinding sudut kamarku sambil mendengarkan rekaman lama sepanjang hari,
sering membalik-balik catatan atau menukarnya untuk menghabiskan
waktu. Setelah mulai sadar akan waktuku yang tersisa, aku mulai menyukai
musik yang lebih kusukai sebelumnya. Secara khusus, aku melihat lebih
banyak pesona dalam lagu-lagu lama yang aku temukan membosankan
sebelumnya. Semakin sederhana iringan dan melodinya, semakin kuat pula aku
bisa merasakan setiap nada, dan mereka menyerap jauh ke dalam hatiku yang
kering. Ketika aku bosan dengan musik, aku menatap alur-alur rekaman dan
jaket-jaket itu, dan meletakkan telingaku.
Di malam
hari, aku berjalan ke supermarket dekat stasiun, mampir untuk memilih bahan
dengan hati-hati, dan langsung pulang ke apartemen. Kembali ke kamarku,
aku membuka buku resep yang kubeli dengan keinginan dari toko buku tua lokal,
dan mengambil masing-masing resep mulai dari halaman satu. Aku sangat
setia pada pengukuran dan waktu, tidak membuat improvisasi atau kompromi, hanya
memasak tepat sesuai dengan resep. Ketika aku menyelesaikan hidangan, aku
menyajikannya dengan rapi meskipun aku tidak menunjukkannya kepada siapa pun,
dan memeriksanya dari berbagai sudut. Lalu aku duduk di meja dan
memakannya, menikmati rasanya untuk memuaskan selera makanku.
Setelah
makan, aku menghabiskan banyak waktu untuk mencuci diri dengan
saksama. Belum tentu merasa bersih, tapi tertidur lebih
nyaman. Setelah keluar dari kamar mandi, aku tiba di tempat tidur sebelum
malam tiba; termasuk tidur di pagi hari, aku tidur selama sepuluh jam untuk
memuaskan kebutuhan jam tidurku.
Ada satu lagi
keinginan yang aku pilih untuk tidak terlalu banyak memikirkan. Untungnya,
menjalani hidup yang tenang sendirian, aku mampu melupakan keinginan seperti
itu pernah ada.
Aku meminum
obatku hanya sesekali ketika itu terjadi padaku, sehingga gejala-gejala
Alzheimer Baruku terus berkembang. Segera, aku benar-benar melupakan masa
kecil asma yang membuatku sangat menderita. Aku tidak merasakan perasaan
yang kuat tentang hal itu.
Hari terakhirku
semakin dekat. Meski begitu, aku dengan sukarela mendorong tangan ke
depan. Kau mungkin menyebutnya bunuh diri yang pasif dan lamban.
Saat
mendengarkan rekaman, saat memasak, saat mandi, saat berbaring di tempat
tidur. Semakin aku mencoba untuk tidak memikirkan apa pun, semakin aktif
otakku.
Cerita
tentang "Ia" yang aku buat saat pertemuan antar pasien masih
terngiang-ngiang di kepalaku.
Karena
beberapa perincian yang aku tambahkan pada cerita untuk memberikannya
kenyataan, “keberadaannya” mulai terasa lebih nyata. Aku pikir sebagian
besar dari itu karena aku membicarakan “Ia” di hadapan orang lain untuk pertama
kalinya. Aku mendengarkan cerita yang keluar dari mulutku seolah-olah itu
adalah kisah orang lain. Mungkin cara yang lebih baik untuk mengatakannya,
aku mendengar cerita melalui telinga mereka yang hadir. Umpan balik ini
menghasilkan "Ia" menjadi semacam keberadaan obyektif dan sosial,
membuatnya menjadi lebih jelas. Ia menjadi lebih dekat ke makhluk
hidup.
Ketika rasa
kesepian dan keputusasaanku semakin mendalam, kisah tentang “Ia” semakin
menjadi berkilauan lebih cerah. Aku akan berulang kali menelusuri cerita
dari awal hingga akhir, membuat perubahan hingga merinci, merevisi dan merevisi
lagi, lalu membacanya dari awal,
Itu menyakiti
diriku sendiri secara emosional. Fantasi adalah obat yang mematikan; dalam
pertukaran demi merasakan sedikit sukacita, racun transparan sedikit demi
sedikit terkumpul di dalam tubuhku.
Suatu hari,
sejumlah kejadian terjadi secara bersamaan, dan aku berhasil memasak makanan
yang sangat sulit. Ternyata jadinya bagus juga, sampai-sampai membuatku
ingin mengambil foto, dan rasanya juga fantastis. Aku tanpa sadar berpikir
bahwa “Ia” mungkin akan senang memakan ini. Pada saat itu, aku benar-benar
lupa kalau “Ia” adalah orang fiktif.
Segera
setelah itu, aku tersadar bahwa “Ia” sama sekali tidak ada, dan kepalaku
tiba-tiba menjadi kosong.
Beberapa
detik kemudian, sesuatu di dalam diriku pecah.
Sendok yang
kupegang terlepas dari jari-jariku, menyentuh lantai, dan membuat suara yang
tidak menyenangkan. Aku membungkuk untuk mengambilnya, namun tiba-tiba
tubuhku menjadi lemas, dan terjatuh ke atas lantai.
Aku telah
mencapai titik kritis kekosongan, dan merasa sudah tidak sanggup lagi.
Sebelum aku
menyadarinya, aku menangis tersedu-sedu.
Aku tidak ingin mati seperti ini, pikirku. Rasanya terlalu kejam jika harus berakhir
seperti ini. Aku masih belum mendapatkan sesuatu yang nyata.
Sebelum aku
mati, aku ingin seseorang memujiku sekali saja. Aku ingin berterima
kasih. Aku ingin dikasihani. Seperti seseorang yang berurusan dengan
anak kecil, aku ingin diterima apa adanya dan dirangkul dengan lembut. Aku
menginginkan laki-laki sempurna yang 100% mengerti kesendirianku dan
menghujaniku dengan cinta. Dan setelah aku meninggal, aku ingin Ia merasa berduka
atas kematianku dan memiliki luka yang terukir dalam di hatinya. Aku ingin
Ia membenci penyakit yang membunuhku, membenci orang-orang yang tidak bersikap
baik kepadaku,
Tentu saja aku
tidak bisa merasa puas dengan fantasi. Batinku masih menangis seperti
biasa. Aku yang baru lahir, aku yang berusia 1 tahun, aku yang berusia 2
tahun, aku yang berusia 3 tahun, aku yang berusia 4 tahun, aku yang berusia 5
tahun, yang berusia 6 tahun aku, aku yang berusia 7 tahun, aku yang berusia 8
tahun, aku yang berusia 9 tahun, aku yang berusia 10 tahun, yang berusia 11
tahun, aku yang berusia 12 tahun, aku yang berusia 13 tahun, aku yang berusia
14 tahun, aku yang berusia 15 tahun, aku yang berusia 16 tahun, aku yang
berusia 17 tahun, aku yang berusia 18 tahun, semua dari mereka hanya memeluk
lutut dan menangis seperti diriku yang sekarang. Bahkan jika ingatanku
tentang mereka lenyap, tangisan mereka masih bergema. Aku membutuhkan
keselamatan yang realistis bagi mereka, tapi aku tidak bisa menemukannya, tak
peduli ke mana pun aku mencarinya.
“Aku tidak
takut, aku tidak punya penyesalan” pernyataan itu yang terus menggema di
pikiranku. Aku takut mati tanpa memiliki apa-apa. Saking takutnya
sampai membuatku tidak bisa berhenti gemetaran.
Tapi apa yang
bisa aku lakukan sekarang? Aku belum pernah berteman sejak hari
kelahiranku, jadi apa yang bisa aku lakukan? Lupakan laki-laki sempurna,
bisakah aku mendapat teman 50%?
Bisakah aku
berbicara dengan rekan kerjaku? Haruskah aku menghubungi seseorang dalam
tempat kerjaku dan memberitahu yang sebenarnya kepada mereka? Bahkan jika aku
memberitahu mereka, yang aku dapatkan hanyalah simpati standar. Bahkan,
jika aku tidak beruntung, itu mungkin menyenangkan orang yang aku ajak
bicara. Aku tahu rekan kerjaku dan orang lain di tempatku bekerja merasa
iri padaku. Aku sering mendengar tentang penghinaan mereka di
sana-sini. Bahkan jika aku cukup beruntung untuk memilih seseorang yang
tidak memusuhiku, hanya aku yang khawatir “mereka mungkin menganggapku sebagai
musuh” membuatnya mustahil untuk membangun hubungan kepercayaan yang
sejati. Sejujurnya, aku takut pada mereka.
Lalu, apa aku
perlu berbicara dengan orang asing di kota? Mencari teman di media
sosial? Tidak mungkin. Mana mungkin bisa aku menemukan orang yang
benar-benar mengerti seperti itu. Rasanya sama seperti mencari jarum di
atas tumpukan jerami. Dan berbicara tentang risiko; itu bisa dengan
mudah menjadi pengalaman yang sangat tidak menyenangkan.
Jika 30%
simpati, pengertian 40%, dan 50% cinta sudah cukup, aku mungkin dapat menemukan
bahwa jika aku mencoba keras. Tapi itu tidak akan berhasil. Untuk
menyelamatkanku, untuk menyelamatkan kami, keberadaan laki-laki 100% sempurna
sangat diperlukan.
Orang-orang
mungkin menyebutnya sebagai harapan yang tidak masuk akal. Mereka akan
memarahiku, mengatakan seseorang yang mengabaikan sosialisasi seumur hidupnya
tiba-tiba mendapatkan cinta sejati rasanya terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Mereka
mungkin mengatakan “bahkan simpati 50% akan terlalu baik untukmu.” Tapi
instingku sebagai seorang insinyur Mimori
memberitahuku sesuatu. Hanya terjalin erat dengan laki-laki sempurna saja
yang bisa menyelamatkanmu. Pasti tidak ada cara lain selain itu untuk
mengurai kesendirian yang terikat erat di dalam diriku, yang sudah terbentuk
dalam waktu yang sangat lama.
……………………..
Aku
menghabiskan beberapa hari berikutnya dengan menangis, tapi meskipun begitu, aku
tidak mencoba untuk berhenti memikirkan "Ia." Jika aku sampai sejauh ini, pikirku, aku
mungkin akan terus mengupas kulit sampai aku bisa melihat tulang.
Aku
benar-benar lupa meminum obatku, jadi gejalaku semakin meningkat dengan
cepat. Aku kehilangan ingatanku hingga usia 15, dan lupa akan opresinya
waktuku di pendidikan wajib. Tiga perempat dari hidupku dibayangi oleh
ketiadaan, dan itu benar-benar mendekati kekosongan.
Aku terus
berpikir tentang “Ia.”
Aku berhenti
mendengarkan rekaman musik, dan aku berhenti memasak. Itu terlalu
merepotkan untuk bahkan menangis berdiri, jadi aku memegang bantal dan
merangkak di sekitar ruangan seperti ulat, berbaring di tempat tidur,
tergeletak di lantai, terbaring di dapur, berbaring di pintu masuk, terbaring
di kamar mandi, berbaring di beranda. Bahkan kemudian, kelesuan di sekitar
tubuhku tidak akan pergi.
Aku terus
berpikir tentang “Ia.”
Aku merasa jijik
bahkan terhadap karya Mimori yang sangat
aku nikmati, dan merasa sedikit mual setelah melihat catatan pribadi
seseorang. Apapun yang aku lihat, aku hanya bisa merasa cemburu, dan aku
membenci orang-orang yang menjalani hidup tanpa keinginan, namun tetap
menginginkan kenangan indah.
Aku terus
berpikir tentang “Ia.”
Dan kemudian
suatu hari, kegilaan tak berdosa menghampiriku.
Sementara masih
memikirkan ingatanku tentang “Ia” seperti biasa, aku tersadar.
Bisakah orang
membayangkan seseorang yang belum pernah mereka temui dengan jelas?
Bisakah orang
mencintai seseorang yang belum pernah mereka temui dengan sepenuh hati?
Apa ada yang
salah dengan menempatkan ini menjadi keberadaan fiktif?
Apakah aku
membuat kesalahan mendasar di sini?
Aku
berharap.
Mungkin.
Apa itu
mungkin?
Apakah “Ia”
bukanlah orang fiktif, melainkan seseorang yang benar-benar ada?
Apakah
penyakit yang kuidap hanya mengambil bagian penting dari ingatan itu, dan aku
sebenarnya memiliki teman masa kecil yang aku yakini sebagai fantasi?
Itu adalah
ide yang sangat memalukan. Jika seseorang memberitahuku ini sebelum tahu penyakitku,
aku akan menjawabnya dengan gelak tawa.
Tapi pada
saat itu, aku melihatnya sebagai wahyu ilahi. Aku sudah lama kehilangan
kewarasanku. Aku berpegang teguh pada teori itu. Sekarang, harapan
terakhirku terletak pada kenangan buruk yang dibawa oleh penyakitku.
*****
Aku pulang ke
kampung halamanku setelah satu setengah tahun.
Berpegang
teguh oleh gagasan kalau “Ia” benar-benar ada, aku tidak bisa tinggal diam, dan
naik kereta pagi menuju kota halamanku.
Tentu saja, untuk
bersatu kembali dengan “Ia.”
Aku membawa
buku tahunanku dari masa SMP di dalam tasku, dan aku terus membacanya
berkali-kali di tengah perjalanan. Melihat seorang gadis berusia 19 tahun
yang membaca buku tahunan sendirian di kereta adalah hal yang aneh, tapi kereta
bawah tanah di pagi hari jarang ada penumpang, dan tidak ada yang repot-repot
melihatnya.
Aku menyusuri
semua wajah dan nama di buku tahunan. Tak satu pun dari wajah teman-teman
sekelasku yang terasa akrab, seolah-olah aku telah mengambil buku tahunan untuk
sekolah yang tidak dikenal secara tidak sengaja.
Aku mencari
laki-laki yang paling cocok dengan kesanku tentang “Ia,” tapi itu terbukti
sulit untuk ditemukan di antara foto-foto di mana setiap orang memiliki ekspresi
tersenyum yang sama. “Ia” tidak memiliki bentuk yang pasti dalam
ingatanku, hanya kesan dan atmosfernya saja. Untuk memahami itu, aku akan
membutuhkan informasi berkelanjutan seperti perilaku atau perubahan dalam
ekspresinya.
Di antara
foto-foto ruang kelas dan acara sekolahan, aku tidak dapat menemukan diriku. Aku
selalu menggantungkan kepalaku dengan tampilan yang rewel, jadi aku pasti tidak
memiliki daya tarik sebagai objek foto. Anak-anak SMP di buku tahunan itu
tampak ceria, dan aku melihat sesuatu di dalamnya yang sudah hilang. Dalam
waktu kurang dari setahun, aku akan berumur dua puluh tahun - asalkan aku
bahkan hidup selama itu.
Kereta tiba
di kota asalku sebelum tengah hari. Itu adalah kota pedesaan yang
membosankan di sudut Chiba. Ketika aku pergi pada usia 18 tahun, aku
sangat tidak yakin untuk pergi begitu jauh ke kota, tapi setelah kembali ke
sini sekarang, aku menyadari itu bahkan tidak sebesar itu. Aku melewati
gerbang tiket dan keluar dari gedung yang sempit.
Kota asalku terasa
seperti baru pertama kalinya aku berkunjung ke tempat ini. Langit luas
yang membentang, Tumbuhan yang kehijauan, lautan, semuanya tidak aku
ketahui. Jadi tentu saja, aku juga tidak merasakan
nostalgia. Sementara aku merasakan sedikit déjà vu ketika melihat
kafe-kafe kumuh dan toko-toko yang ditutup, perasaan itu lebih dekat dengan
melihat sesuatu dalam kehidupan nyata yang aku kenal dari TV dan buku-buku,
karena aku tidak dapat menghubungkan ke masa laluku sendiri. .
Setelah
memeriksa lokasiku dengan peta di ponsel dan merencanakan rute umum untuk
diambil, aku meletakkan tangan kiriku di paru-paruku, menarik napas
dalam-dalam, dan mulai berjalan. Disamping merasa khawatir dengan apa yang
akan aku lakukan jika aku bertemu orang tuaku, aku juga merasakan kegembiraan
karena memiliki tujuan untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
Sekolah Dasar,
sekolah menengah, distrik perbelanjaan, taman, pusat komunitas, perpustakaan,
jalan setapak, rumah sakit, supermarket. Aku mengikuti peta untuk berjalan
ke sana-sini. Meski sekarang hari Minggu, aku jarang berpapasan dengan
orang. Mungkin karena populasi rendah, daripada orang-orang tidak keluar
dan berjalan-jalan. Aku sudah terbiasa dengan kehidupan kota sekarang,
jadi rasanya seperti berjalan keliling kota dengan jam malam. Aku merasa
terkesan karena seolah-olah kota buatan yang segera dihuni oleh orang-orang
tiruan.
Langit yang
membentang tampak biru cerah, dan aku bisa melihat awan cumulonimbus besar di
kejauhan. Berjalan melalui adegan nostalgia yang samar-samar karena sinar
matahari musim panas, membuat diriku berfantasi tentang cerita yang dibuat di
kota ini.
Kalau saja aku
tidak harus berpisah dari “Ia,” dan bisa terus tinggal di kota ini.
Aku pasti
takkan menjadi insinyur Mimori, dan
menikmati hidup sebagai mahasiswa biasa sekarang. Aku akan mendapatkan beasiswa
dan bekerja sambilan dan tinggal dekat dengan “Ia,” dengan cara setengah jalan
untuk kita bisa hidup bersama, dan aku akan membuatnya makan dan membantu
tugas-tugas dan memainkan bagian dari seorang istri muda.
Segera, aku
mulai melihat bayangan diriku dari dunia potensial di sekitar kota. Di
dunia itu, aku merasa bahagia. Diriku yang masih SD duduk berboncengan
dengan sepedanya, menempel di punggungnya dan tertawa. Diriku yang SMP
mengenakan yukata dan berpegangan tangan dengan “Ia,” dan menonton kembang
api. Diriku yang SMA, dalam perjalanan pulang dari sekolah, diam-diam
melakukan ciuman cepat dengan “Ia” di dalam bayangan halte bus. Diriku
yang kuliah pergi ke supermarket bersama “Ia,” membawa setengah belanjaannya
dan berjalan berdampingan layaknya pasangan yang sudah menikah.
Mungkin itu
bukan sekedar fantasi, melainkan sebuah kilas balik. Seperti menilai hasil
eksperimen, aku bisa membayangkan bahwa itu masuk akal. Ketimbang keadaan
pikiran yang agak kacau. Sepertinya aku dirasuki oleh monster imajinasi
yang menghuni tanah ini.
Luas kota ini
terbilang kecil, jadi aku bisa berkeliling ke semua gedung dan fasilitas
penting dalam waktu setengah hari. Tak perlu dikatakan lagi, aku tidak
bertemu sapapun. Aku hanya diajak bicara oleh satu orang tua saja. Mereka
menanyakan arah ke pos polisi, dan aku menjawab bahwa aku bukan penduduk sini,
jadi aku tidak tahu. Hanya itu yang bisa aku jawab.
Matahari
terbenam memiliki warna yang membuatku berpikir tentang bunga matahari yang
layu. Duduk di atas tanggul yang masih hangat dari panasnya hari, aku
menatap ke arah laut. Aku melepas sepatuku dan menyingkirkannya,
membebaskan kakiku yang lecet karena berjalan. Aku minum setengah botol
air mineral yang aku beli dari mesin penjual otomatis, lalu menuangkan sisanya
di kakiku. Air dingin merembes ke dalam luka. Setelah kering, aku
menggunakan perban dari toko obat.
Hampir tidak
ada golongan muda di kota ini. Aku melihat beberapa anak SD atau SMP, tapi
aku tidak melihat satu orang pun yang sebaya denganku. Kota ini tampak
setengah mati, dan tidak punya harapan untuk pulih. Yang tersisa hanyalah
menunggu untuk membusuk. Tentu saja, aku mungkin punya sedikit waktu yang
tersisa daripada kota ini.
Seluruh badanku
terasa sakit, dan isi kepalaku berkabut. Tapi aku tidak bisa duduk di sini
selamanya. Jadi, aku memakai sepatuku, meletakkan tanganku di lutut, dan berjalan
terhuyung-huyung. Aku mengambil tasku yang berisi buku tahunan dan
menggantungnya di pundakku.
Saat itu, aku
mendengar suara anak muda dari jalan setapak, dan aku secara refleks berpaling
melihat mereka. Sepasang laki-laki dan gadis sekitar usia 14 tahun
berjalan bersama. Anak laki-laki itu berpakaian santai untuk
berjalan-jalan, tapi gadis itu mengenakan yukata yang cantik. Yukatanya
berwarna biru tua dengan pola kembang api sederhana di atasnya, dan dia
mengenakan aksesori bunga krisan merah kecil di rambutnya. Aku melihat
gadis itu untuk sementara waktu. Aku merasa agak cemburu; Aku ingin
memakai yukata seperti itu dan berjalan bersama kekasihku.
Mungkin ada
festival di suatu tempat di kota. Aku memutuskan untuk mengikuti mereka
berdua. Mereka melewati distrik perbelanjaan dan berbelok ke kanan,
berjalan lurus di sepanjang jalan sempit di dekat sawah, melintasi rel kereta
api, dan akhirnya, sebuah kuil yang tidak terlalu besar atau terlalu kecil
terlihat. Aku mendengar suara festival dan mencium aromanya.
Jika reuni yang ditakdirkan ada, pikirku.
Bukannya
tempat ini menjadi panggung yang paling pas?
Aku
berkeliaran di sekitar tempat itu seperti berjalan sambil tidur, mencari tanda
keberadaan “Ia.” Tentu saja, aku tidak tahu seperti apa bentuk wajahnya. Aku
juga tidak tahu suaranya. Tapi, aku yakin kalau aku bisa tahu hanya dengan
melihatnya sekilas. Aku yakin Ia akan mengenaliku hanya dengan sekilas
juga. Mungkin Ia takkan langsung percaya pada reuni yang kebetulan pada
awalnya dan terus berjalan. Tapi setelah berjalan beberapa langkah, aku yakin
Ia akan berbalik kembali.
Aku bergerak
melewati kerumunan dan terus berjalan, mencari kekasih fantasiku yang telah aku
ledakkan seperti gelembung sabun.
Pada saat
stan mulai ditutup, jantungku mulai menyerah. Perayaan festival berhenti
seolah-olah tengah kelelahan, aromanya terbawa angin, dan lampu-lampu ditelan
oleh kegelapan, meninggalkan keheningan yang menyakiti telinga. Aku bangun
dari tangga batu dan meninggalkan kuil di belakang.
Meskipun aku
berkeliaran di depan stan-stan begitu lama, aku belum makan apa-apa. Aku
berjalan berkeliling mencari restoran, dan cuma menemukan satu tempat yang
masih buka. Terpikat oleh aroma ikan bakar, aku masuk ke dalam restoran
tersebut.
Begitu aku
duduk, rasa penat sepanjang hari datang padaku sekaligus. Aku merasa
seperti tidak mampu berjalan selangkah lagi. Aku tidak melihat menu dan
memesan ikan bakar khusus, lalu menatap ke arah pertandingan bisbol di TV sambil
menenggak air es yang disuguhkan oleh pelayan.
Aku mendengar
seorang pelanggan duduk di atas sake counter, jadi aku berpikir tentang minum
alkohol sendirian. Aku selalu menghindari itu karena aku mendapat kesan
bahwa itu adalah sesuatu yang kamu minum dengan kelompok besar, tapi jika aku
bisa melupakan hal-hal buruk bahkan untuk sesaat, mungkin tidak ada salahnya
untuk mencobanya. Pastinya aku tidak perlu khawatir dengan kesehatanku
pada saat ini.
Aku berbalik
badan ke arah meja dan memanggil pelayan. Aku memesan sake yang sama
seperti yang dipesan gadis tadi, lalu pelayan itu secara otomatis mengulang
pesananku dan pergi. Aku merasa sedikit lega karena mereka tidak
mengkonfirmasi usiaku, dan merasa sedikit sedih pada saat yang sama. Apa
aku jelas terlihat seperti di usia di mana tidak ada masalah membiarkanku minum
alkohol?
Aku
meninggalkan tempat dudukku dan memeriksa wajahku di cermin kamar
mandi. Mungkin karena sudah bertahun-tahun aku pergi dengan hampir tidak
ada kebutuhan untuk mengubah ekspresi, aku merasakan tidak ada tanda kegairahan
atau vitalitas yang terpantul dalam wajahku. Seperti seorang ibu yang
kelelahan di usia akhir dua puluhan. Meski pikiranku berhenti di sekitar
usia 14.
Ketika aku
kembali ke tempat dudukku, beberapa sake dan secangkir sake telah ditempatkan
di meja dengan sembarangan. Aku dengan ragu-ragu
menghirupnya; rasanya tidak enak yang tidak bisa aku jelaskan lebih
lanjut. Aku mengambil segelas air es dan meneguknya. Rasanya begitu
pahit, bau, dan manis, membuatku curiga tidak bisa diminum dengan mudah. Aku
tidak bisa membayangkan mengapa orang akan meminum ini karena pilihan.
Meski begitu,
aku memaksakan diri untuk minum sekitar setengahnya, dan tubuhku mulai
menghangat. Kurasa ini adalah apa yang dinamakan mabuk, pikirku saat aku
melihatnya berputar di dasar cangkir sake.
Sesuatu
tertangkap di sudut pikiranku, tetapi aku tidak tahu apa penyebabnya. Aku
kembali ke konter sekali lagi untuk memesan teh hangat. Aku menangkupkan
tangan kiriku di dekat mulutku untuk memanggil pelayan, tetapi membeku di
posisi itu.
Gadis yang
duduk di konter memiliki wajah yang kukenal.
Aku langsung
membandingkan wajahnya dengan foto-foto di buku tahunan yang aku lihat di
kereta. Kecuali efek penuaan empat tahun, itu cocok dengan salah satu
teman sekelasku di kelas 3. Gaya rambut dan penampilannya telah berubah
sedikit, tapi tidak diragukan lagi. Gadis ini adalah ketua kelas.
Akhirnya, aku
bisa bertemu dengan seseorang yang aku kenal.
Tubuhku
bergerak sebelum aku bisa berpikir. Aku mendekatinya dan berbicara.
“Um ... Apa
kamu masih ingat aku?”
Mantan ketua
berkedip, cangkir sake masih di tangannya. Wajahnya sepertinya sedang
mengevaluasi siapa dari kita yang sedang mabuk. Aku sempat khawatir karena
salah orang, tapi aku tidak berpikir demikian. Hanya saja aku meninggalkan
kesan yang sangat lemah di sekolah SMP.
Dia tertawa
canggung.
“Err, maaf.
Ada petunjuk untukku?”
“Kita masuk
di kelas yang sama saat SMP dulu, pas kelas 3.”
Dia
mengingat-ngingatnya sejenak, lalu menepuk lututnya. Tapi nama sebenarnya
tidak datang padanya, jadi dia berhenti setelah “Um, yang asma ...”
Aku tersenyum
masam dan memberiitahu namaku. “Aku si penderita asma, Touka Matsunagi.”
“Benar, Matsunagi-san,”
dia mengangguk, sepertinya dia baru ingat sekarang.
“Bolehkah aku
duduk denganmu?", Aku bertanya. Sulit membayangkan diriku melakukan
hal ini dengan normal, tapi aku putus asa.
“Hah? Tentu
saja, silahkan.”
Aku menyuruh
pelayan mengganti tempat dudukku, lalu duduk di sebelahnya. Efek sake-nya
mulai menendang. Aku mencoba untuk melebih-lebihkan kegembiraanku saat bersatu
kembali dengan teman sekelas yang aku hanya tahu dari foto buku tahunan, dan
dia pasti melakukan hal yang sama untuk reuninya dengan teman sekelas yang
meninggalkan begitu sedikit kesan. Kami terbukti sungkan dalam berbincang
satu sama lain, tapi aku merasa senang bisa bertemu seseorang yang mengingatku,
walaupun samar-samar.
“Matsunagi-san,
sedang melakukan kesibukan apa sekarang? Kuliah?”
Aku
mengatakan kepadanya kalau dia benar. Kebohonganku yang kedua sejak tiba
ke kota ini. Dia mungkin takkan percaya bahwa aku adalah seorang insinyur Mimori, dan aku tidak ingin memberikan
kesan yang terlalu aneh kepada teman sekelas pertama yang akhirnya dapat aku
temui. Memberitahu kalau aku adalah mahasiswi yang mengunjungi rumah pada
liburan musim panas sepertinya pilihan yang paling aman.
“Kuliah di
Tokyo, ya. Aku cemburu,” katanya, tidak terdengar cemburu.
“Dan kamu
sendiri sedang ada kesibukan apa?”
“Aku? Aku
...”
Kemudian dia
berbicara sebentar tentang bagaimana keadaannya akhir-akhir ini. (Aku tahu ini tidak sopan untuk dikatakan,
tapi karena kisah yang diceritakan oleh orang-orang yang selalu tertinggal di
kota-kota pedesaan seringkali, itu benar-benar mengerikan dan membosankan.)
Begitu aku mendengar detailnya hingga dia mendapatkan pekerjaannya saat ini,
lagu Hotaru no Hikari mulai diputar
melalui restoran, menandakan waktu penutupan. “Hmm, sudah waktunya,” kata
mantan ketua sambil melihat jam tangannya.
Sambil
menunggu di belakangnya saat dia mengurus pembayaran, aku tanpa alasan tertentu
mencoba mengingat lirik yang tepat untuk Hotaru
no Hikari. Tapi sama sekali tidak ada yang terpikirkan selain judulnya. Mungkin
karena aku belum pernah mempelajarinya, atau mungkin itu akibat efek Alzheimer
Baru.
Lirik yang
salah kaprah “Begitu cepat berlalu dan tidak berarti,
Sama seperti hatiku yang penuh rasa rindu”
tidak mau meninggalkan pikiranku, seperti lagu yang menarik dari iklan.
Saat kami
berpisah, mantan ketua sepertinya mengingat sesuatu.
“Sejak sekitar
setahun yang lalu, teman sekelas yang masih di daerah sini sering mengadakan
acara bertemu untuk minum-minum. Semacam reuni kelas mini. Apa kamu mau bergabung
dengan kami, Matsunagi-san?”
Aku merasa
tidak enak meninggalkannya seperti ini, jadi aku sangat bersyukur, karena baru
saja memikirkan bagaimana aku bisa mencegahnya pergi. Itu adalah ajakan
yang sempurna, wajahku sebentar kembali ke ekspresi serius. Aku bergegas untuk
menciptakan senyumku dan mengatakan kepadanya bahwa aku akan senang ikut ambil
bagian.
Dia memberi
tahuku waktu dan tempat, aku mengucapkan terima kasih, dan kami berpisah. (Dia rupanya memiliki urusan dan akan
absen dari reuni kelas berikutnya.) Aku naik kereta terakhir untuk kembali
ke apartemen, mandi, dan membalut perban di kakiku. Lalu aku berdiri di cermin
kamar mandi dan melihat wajahku.
Aku sekarang
sangat menyadari betapa acuhnya diriku pada penampilan.
Aku hampir
tidak pernah peduli dengan penampilanku sendiri. Aku tidak memikirkan
penampilan manusia sebagai sesuatu yang lebih selain dari bentuk
wadah. Layaknya sampul buku atau bungkus perekam, aku menganggapnya tidak
relevan dengan sifat sebenarnya dari benda itu.
Tapi ketika
dalam diriku mendekati kekosongan, aku menjadi lebih peduli tentang bentuk
wadah. Benar, itu mungkin bukan esensi seseorang. Tapi aku tidak bisa
bilang kalau aku tidak pernah membeli buku berdasarkan sampulnya. Aku
tidak bisa mengatakan aku tidak pernah membeli rekaman karena bungkusnya. Jika
kamu ingin orang tahu tentang apa yang ada di dalamnya, kamu harus
memperhatikan elemen visual juga - itu fakta yang tidak
terbantahkan. Dalam diriku bukanlah sesuatu yang bisa aku sombongkan
kepada orang lain sejak awal. Dan yang terpenting, penampilan adalah
faktor yang sangat penting untuk cinta.
Aku akan
merias diriku sendiri, pikirku. Hanya di bawah dua puluh tahun terlambat,
tetapi aku harus menebusnya setidaknya sedikit.
Reuni kelas akan
berlangsung dalam dua minggu ke depan. Dalam dua minggu itu, aku fokus untuk
merombak penampilanku.
Keesokan
harinya, aku menyantap sarapan, lalu mencari salon kecantikan, kelas rias, dan
salon makeover online, membuat reservasi di setiap salon. Lalu aku pergi
ke toko buku dan, ya, membeli banyak majalah mode dan kecantikan juga, yang aku
baca dengan saksama selama dua hari berikutnya sama seperti mahasiswa yang
ngebut belajar sebelum ujian. Begitu aku memiliki perasaan yang layak
tentang bagaimana menata rambut dan wajahku, aku selanjutnya mengunjungi sebuah
butik dan berbicara dengan karyawan di sana untuk membeli pakaian dan sepatu
baru.
Semua total
biaya yang dihabiskan sangat fantastis, tapi itu hanya membuatku merasa lega karea
akhirnya aku punya alasan untuk membelanjakan uangku. Aku tidak bisa
membawa uangku ke kehidupan selanjutnya.
Aku pada
dasarnya mencoba apapun yang dapat aku pikirkan. Aku tidak perlu khawatir
tentang masalah uang, mengesampingkan rasa malu dan reputasi, dan berusaha
menjadi cantik. Sehingga aku bisa mendapatkan kasih sayang dari seseorang
yang mungkin mungkin mengingatku. Sehingga aku tidak akan mengecewakan
“Ia” yang mungkin saja ada di sana.
Aku pasti
kehilangan itu.
Aku melakukan
transformasi dramatis dalam dua minggu itu. Bagian dari itu adalah karena
dari awal aku tampak mengerikan, tapi setidaknya, aku tidak akan lagi
tersinggung jika aku tiba-tiba melihat diriku di cermin sambil berjalan
keliling kota. Mungkin tidak sepenuhnya “cantik,” tapi aku tentu saja
lebih terlihat sesuai dengan usiaku.
Aku selalu
menjadi pembelajar yang baik, dan mahir dalam menemukan solusi terbaik dari
kondisi yang aku berikan. Jadi, begitu aku memahami mereka, bahkan make-up
dan memilih pakaian tidak terlalu merepotkan buatku. Aku menginterpretasikan
riasan seperti lukisan cat minyak dengan wajahku sebagai kanvas, dan
menafsirkan memilih pakaian sebagai kegiatan yang sama untuk membangkitkan
musim-musim dalam sebuah haiku. Setelah aku melakukan ini, itu menyebabkan
reservasi yang aku miliki tentang mereka menghilang. Dan setelah aku
menyingkirkan perasaan-perasaan yang membuatku bimbang, memperbaiki penampilanku
menjadi menyenangkan. Aku akhirnya bisa mengerti mengapa orang-orang akan
menuangkan sebagian besar pendapatan mereka ke dalam kecantikan.
Aku berdiri
di depan cermin dan berlatih tersenyum. Aku selalu membenci senyumanku. Aku
memiliki kekhawatiran tak berdasar bahwa senyumku membuat orang lain merasa
tidak nyaman.
Namun,
perasaan ketidaknyamanan itu akhirnya lenyap. Aku bisa menunjukkan diriku
senyuman riang di atas cermin.
Sekarang aku bisa bertemu dengan “Ia” tanpa rasa takut, itulah yang kurasakan.
*****
Dan kemudian,
hari itu tiba.
Aku akan
melewatkan rinciannya dan langsung saja sampai pada kesimpulan.
Tidak ada
seorangpun teman sekelas yang aku ingat di sana.
Dari awal
pertemuan sampai akhir, aku hanya duduk di pojokan, menenggak bir yang tidak
biasa aku minum.
Dalam
perjalanan pulang, perutku merasa mual dan muntah di pinggir jalan.
Kejadian itu
mengembalikan sebagian kewarasanku.
Aku akan mengabdikan diriku untuk bekerja, pikirku.
Karena cuma
itu satu-satunya yang kupunya.