Chapter 235
“Selamat datang kembali.”
Amane makan siang di tempat Mahiru, lalu kembali ke
tempatnya, dan apa yang menyambutnya ialah ekspresi ibunya yang berseri-seri.
Wajahnya tampak mengilap karena suatu alasan, mungkin
karena khayalannya. Kebetulan setengah alasannya adalah dia terlalu banyak
membayangkannya, dan Amane hanya bisa memberinya tatapan dingin.
Mahiru yang mengikuti Amane pun tersipu, merasa khawatir
jika Shihoko telah melihat semuanya. Pastinya ada perbuatan intens dari khayalan
Shihoko.
“Kalian berdua sudah kembali? Ah, kami menggunakan
beberapa barang di kulkas. Tidak masalah, ‘kan?”
“Tidak kok. Aku sudah bilang kalau Ayah bisa
menggunakannya.”
Kebalikan dari Shihoko, Shuuto masih terlihat tenang
seperti biasa. Ia menyeka tangannya saat menjulurkan kepalanya, mungkin
karena Ia sedang mandi.
“Aku akan membeli apapun yang kurang. Gunakan saja
sesukanya. ”
“Oh ya. Makanannya tidak cukup kalau Ayah sama Ibu
mau tinggal beberapa hari lagi. Aku harus berbelanja beberapa.… ”
“Ehhh, kita bisa beli saja nanti. Lagian kami bawa
mobil. ”
Shihoko sangat menyayangi (calon) menantunya yang
menggemaskan, dan memberikan senyuman gembira saat Mahiru mengatakan bahwa dia
ingin pergi berbelanja.
“Baiklah. Shihoko-san dan Shiina-san akan
berbelanja, bukan? Amane dan aku akan bersih-bersih di sini.”
“Eh, Anda tidak ikut, Shuuto-san?”
“Kami akan tinggal beberapa hari. Jadi kita bisa
bicara nanti. Kalian berdua kaum perempuan pasti punya sesuatu yang ingin
kalian bicarakan sendiri, ‘kan…? ”
“Yah, kalian berdua memiliki sesuatu yang ingin kalian
bicarakan sendiri juga?”
“Hmm, rasanya sulit dikatakan, tapi aku punya beberapa hal
untuk dikatakan kepada Amane.”
Amane bisa membayangkan apa yang akan dikatakan ibunya,
tapi tidak untuk ayahnya. Ia melihat ke arah Shuuto, dana hanya ditanggapi
dengan senyuman kalem.
Sepertinya Shuuto tidak bertanya pada Amane tentang apa
yang terjadi malam sebelumnya, jika dilihat dari kepribadiannya. Amane
sangat berterima kasih atas rasa hormat yang ditunjukkannya, tapi terkadang,
pikiran Shuuto yang tidak bisa dipahami membuatnya canggung.
Tatapan mata Shuuto yang menyeringai membuat Amane
tersipu, dan Ia mengalihkan pandangannya. Shihoko memanfaatkan kesempatan itu
untuk meraih tangan Mahiru dan berniat menyeretnya keluar.
Dia bilang dia pergi keluar untuk kepentingannya sendiri,
tapi sepertinya dia punya tempat yang ingin dia ajak bicara dengan Mahiru.
“Ayo cepat. Sekarang kita punya kesempatan, beri
tahu aku jika ada kafe yang bagus di sekitar sini ~ ”
“E-erm, Shihoko-san.”
“Mahiru-chan, ada sesuatu yang ingin kukatakan
padamu. Kita akan berbincang lagi nanti.”
“Se-Sesuatu yang bagus…?”
“Aku akan memberitahumu nanti.”
Wajah Shihoko sangat berseri-seri tidak seperti Shuuto. Amane
merasa merinding di punggungnya, tapi keduanya sudah pergi sebelum Ia bisa
menghentikan mereka. Mahiru mengkhawatirkan Amane, tapi dia tetap mengikuti
Shihoko. Dia mungkin sedang memperhatikan Amane, dan juga ingin tahu
tentang apa hal bagus apa yang dimaksud.
Suasana apartemen segera menjadi sunyi, dan Shuuto
kembali ke dapur dengan senyum masam.
Amane mengintip, menyiratkan bahwa Ia ingin
membantu, itu cuma alasan,
Shuuto tersenyum, dan menyiapkan dua gelas es kopi. Gerakannya sangat
halus, sepertinya dia sudah mengharapkannya.
Amane menelan ludah dengan lembut, Ia lalu mengambil
minuman untuk dua orang ke ruang tamu, dan duduk di sofa.
Shuuto duduk di sampingnya, wajahnya masih terlihat
tenang, yang mana hal itu membuat Amane nyaman.
“… Apa ayah ingin memberitahuku sesuatu?”
“Yah, aku merasa senang untukmu, karena kamu berhubungan
baik dengan Shiina-san.”
“Terima kasih.”
Shuuto tidak terdengar seperti sedang menggoda Amane,
melainkan terkesan dan lega. Amane tidak membalas dengan blak-blakan.
Amane tahu bahwa Ayahnya bukanlah tipe orang yang harus
ditanyai secara menyeluruh, tapi Ia menjadi tegang karena berpikir bahwa itu
tentang hubungannya dengan Mahiru.
Namun, pertanyaan yang Ia tebak tidak kunjung tiba, ada baiknya memiliki hubungan yang baik, karena
Shuuto hanya tersenyum bahagia. Amane tidak lagi terdengar kasar, dan
tenaganya telah hilang.
“… Ayah beneran tidak mengatakan apa-apa?”
“Kau pasti akan cemberut karena malu jika aku
mengatakannya.”
“Hmm.”
Amane mengalihkan pandangannya ke samping dengan
malu-malu, seolah-olah pemikirannya ketebak, dan Ia mendengar tawa cekikikan.
“Dan dari kelihatannya, sepertinya tidak ada yang terjadi
apa-apa.”
Suara itu dipenuhi dengan keyakinan, lebih keras dari
ibunya dalam artian tertentu. Amane mengerang saat berbalik ke arah Shuuto, dan disambut dengan
senyuman.
“Yah, aku tidak perlu mengatakan apa-apa lagi, ‘kan? Itu
adalah pilihanmu sendiri, dan kau sudah memikirkannya matang-matang. Itu
hal yang baik tentangmu, dan juga sisi burukmu. ”
“… Aku harus melakukan ini demi masa depan kita.”
“Jalan berpikirmu sangat rasional untuk anak
SMA. Putraku pasti sudah dewasa. Tapi aku tahu kau sangat jatuh cinta
padanya.”
“… Mau bagaimana lagi, memang begitu kenyataannya.”
“Ya aku tahu.”
Aku juga sama, Shuuto terkekeh, dan memposisikan dirinya sendiri saat menatap Amane.
“Ahh, Amane.”
“Hm?”
“Apa kau mengkhawatirkan masalah uang?”
Amane terkejut saat mendengarnya.
Baik Amane dan Mahiru memiliki kesepakatan bersama bahwa
mereka akan menikah di masa depan, dan oleh karena itu, Amane memilih untuk menghargai
tubuh dan masa depan Mahiru, karenanya hubungan mereka belum sampai pada tahap
berhubungan badan. Peristiwa yang terjadi kemarin malam ditetapkan
berdasarkan itu.
Namun Amane telah memikirkan masalah teknis seperti,
biaya, persetujuan orang tua Mahiru, dan yang lainnya. Ia tidak
menyebutkan hal tersebut pada Mahiru.
Amane harus memiliki uang untuk menikah. Ia memang
memikirkan pernikahan, tempat tinggal, pendapatannya, dan kehidupan pernikahan
mereka. Ia tidak bisa menikah hanya berdasarkan perasaan cinta belaka.
Oleh karena itu, Amane terkejut. Ia tidak menyangka
Ayahnya mengungkit masalah ini. Shuuto cuma tersenyum masam, seolah-olah Ia
telah menduganya.
“Sebagai orang tuamu, dan Shiina-san, aku ingin
memberkati kalian berdua. Aku berharap gadis itu akan mendapatkan
kebahagiaannya tanpa khawatir, dan bahwa putraku bisa bahagia. Setidaknya
kami bisa membantu sebanyak itu.”
“… Bukannya kita harus mengandalkan diri kita sendiri
untuk itu?”
“Memangnya butuh berapa lama kau menabung untuk menikah?”
“Ugh.”
Pertanyaan ini membuat Amane canggung.
Jika Ia bergantung pada dirinya sendiri, Ia baru bisa
mempersiapkan segalanya dalam dua hingga tiga tahun saat memasuki dunia
kerja. Amane tidak ingin mengecewakan Mahiru karena pernikahan adalah
sesuatu yang diinginkan wanita manapun, dan Amane ingin melihat Mahiru dalam
balutan gaun dan shiromuku.
Namun, Amane merasa dilemma tentang ini, karena Ia tahu
harus membuat Mahiru menunggu.
“Apa kau akan membiarkan Shiina-san terus menunggu? Waktu
adalah sangat yang berharga bagi seorang gadis.”
“Ugh… tapi…”
“Bagiku, pernikahan adalah awal dari perjalananmu, hadiah
besar terakhir yang bisa kami berikan kepadamu sebagai orang tua. Putra
dan putri kita yang manis akan meninggalkan tangan kita, menjalani hidup sebagai
pasangan. Hanya pada saat inilah kita boleh ikut campur.”
Shuuto mengatakannya dengan senyuman, minum kopi untuk
membersihkan tenggorokannya, dan melanjutkan.
“Tentu saja, jika kalian berdua bersikeras melakukan
segalanya dengan upaya kalian sendiri, aku tetap mendukung kalian
berdua. jika tidak, kami akan memberkati kalian bersamaan dengan bagian
orang tua Shiina-san.”
Amane tahu bahwa Shuuto dan Shihoko tahu tentang situasi
keluarga Mahiru, dan bersedia merawatnya sebagai gantinya. Jelas sekali bahwa
mereka benar-benar menyayanginya seperti putri mereka sendiri, atau lebih
tepatnya menantu.
Sepertinya apa yang Ayahnya ingin coba katakan ialah Ia
ingin menawarkan kehangatan keluarga kepada Mahiru, yang tidak eprnah dia
rasakan dari orang tua kandungnya. Amane tahu bahwa Shuuto tidak berniat
untuk mundur, meski Ia mengatakan bersedia untuk berkompromi.
Apa aku benar-benar boleh menerima ini? Shuuto sepertinya telah memahami isi pikiran Amane, dan tersenyum saat
Ia dengan lembut mengacak-acak rambut Amane.
“Kau tidak pernah bersikap manja dan meminta orang
lain. Tidak ada salahnya untuk meminta bantuan. Izinkan kami melakukan
apa yang seharusnya dilakukan orang tua. ”
“… Aku pikir aku sudah dimanjakan.”
“Tidak, kau berusaha mencoba untuk mandiri meski aku
belum pernah melihatmu dalam fase memberontak. Orang tuamu merasa
kesepian, tahu? ”
Tangan Shuuto terus mengacak-acak rambut Amane, dan tidak
menunjukkan niat untuk berhenti. Amane tidak menghentikannya.
Ia merasa malu dan geli, tapi tidak membencinya. Kepercayaan
dan kelegaan yang Ia punya tentang orang tuanya memungkinkan Amane untuk
menerima perasaan ini dengan sungguh-sungguh.
“Kau hanya perlu menjadi seorang ayah dan menunjukkan
kepada kami seorang cucu. Setelah semuanya tenang, kau kemudian baru boleh
khawatir tentang berbakti. Shihoko-san dan aku masih sehat, selalu menjaga
tubuh kami, dan keluarga kami biasanya berumur panjang. Kau boleh terus
berbakti sampai kami berdua berumur tua.”
Shuuto tertawa saat Ia memperlakukan Amane seperti anak
kecil. Syukurlah aku putra
mereka, begitu pikir Amane sambil menurunkan alisnya,
membiarkan dirinya diperlakukan seperti anak kecil.
Kemaren malem mereka ngapain woii ?! Perasaan cuma nginep dirumah mahiru
BalasHapusde bes anjir bapa kek gitu
BalasHapusSepertinya anda melewatkan beberapa chapter
BalasHapusNice
BalasHapusMereka cuma ngasih tanda cupang sebanyak²nya di tubuh masing² dan gak sampe e*ue
BalasHapusUwah ngena banget njir dihati saat shuto bilang : "kamu mau sampai kapan menabung buat menikah"
BalasHapus👍
BalasHapusIni gw bru umur 16 aja msi mikir siaoa calon gw ajg
BalasHapusGw kerja 3 tahun motor aja blom kebeli anjer
BalasHapus