Chapter 09 — Gadis SMA dan Nama
Beberapa hari berlalu tanpa adanya
insiden.
Kanon memasak makan malam,
Himari mencuci dan beres-beres di apartemen, dan aku pergi ke toko untuk
membeli kebutuhan. Aku juga memberikan sejumlah uang kepada Kanon untuk berbelanja
bahan-bahan. Dia memberiku bon belanja setiap kali jadi aku tidak terlalu
khawatir tentang itu.
Jika berbicara tentang
perubahan besar, maka itu ada pada sisi Himari. Aku akhirnya bisa melihat
gambarnya.
Sebelumnya, yang dia katakan
hanyalah “Rasanya memalukan dilihat saat sedang menggambar” dan mengubah sudut
layar laptop supaya tidak terlihat.
Pertama kali aku melihat
karyanya, dan meski aku adalah penilai amatir, kata luar biasa masih belum
cukup untuk menggambarkannya.
Latar belakang yang digambar secara
detail dengan warna-warna cerah dan tenang. Gambar gadis itu begitu nyata
sehingga membuat mu ingin menyentuhnya melalui gambar itu.
Ini tidak seperti lukisan cat
minyak tapi juga bukan sperti gaya manga. Aku tidak tahu banyak tentang ada
berapa gaya dalam ilustrasi, jadi aku tidak tahu apa kategori karyanya.
Kanon dan aku merasa kagum dari
awal sampai akhir, mengelukan pujian sepanjang waktu. Itulah seberapa besar
pengaruhnya terhadap kami. Himari merasa malu tapi dia tetap bahagia, dengan
senyum mengembang terpampang di wajahnya untuk menunjukkan rasa terima kasih.
Aku menyusuri jalan yang sama setelah
pulang bekerja ketika ponselku
berdering. Aku melihat nama penelepon dan melihat kalalu itu dari Kanon.
Nah, tumben sekali. Ini adalah
pertama kalinya aku menerima telepon darinya. Meskipun begitu, aku segera
mengangkatnya.
“Ada apa? Apa kau butuh
sesuatu?”
“Katakan… saat ini aku sedang
di supermarket di depan stasiun belanja tapi—”
Di tengah pembicaraan,
panggilannya tiba-tiba terputus.
… Eh?
Apa dia tidak sengaja menekan
tombol akhiri panggilan?
Apa pun masalahnya, aku merasa penasaran
jadi aku harus menelpon balik.
Tapi…
“Karena keadaan tertentu, kami
tidak dapat menyambungkan panggilan Anda.”
Apa yang aku dengar membalas
panggilanku adalah pesan intersepsi bernada datar.
Apa? Komunikasi terputus?
Tapi… ada sesuatu yang aneh
tentang panggilan Kanon tadi.
Aku tak berpikir kalau Kanon akan mencoba mempermainkanku,
mengingat hubungan kami belum sampai ke tahap itu. Untuk berjaga-jaga, aku
menunggu lebih lama lagi untuk melihat apa dia akan meneleponku lagi, tapi
sepertinya dia tidak akan menelepon.
… Apa terjadi sesuatu?
Aku merasa bulu kuduk di
seluruh tubuhku berdiri.
Apa yang terjadi? Apa yang
sebenarnya terjadi?
… Jika aku mendengarnya dengan benar,
dia bilang sedang berbelanja di supermarket depan stasiun. Tidak ingin berdiam
diri terus, aku segera berlari sambil tetap memegang ponselku.
Di depan stasiun supermarket,
Kanon memegang dua tas belanja yang tergantung di tangannya.
Saat aku melihatnya, baik
kelegaan dan kecemasan melandaku, membuatku kehilangan tenaga.
Ketika Kanon menyadari kalau
aku berlari mendekat ke arahnya, matanya membelalak kaget.
“Ap-Apa yang terjadi? Kenapa
kamu terburu-buru begitu? ”
“Itu karena… panggilan… tiba-tiba
terputus… dan… aku tidak bisa menjangkau ponselmu… setelah itu juga… kupikir…
itu… sesuatu… mungkin telah terjadi—”
Aku menjawab dengan nafas
tersenggal-senggal. Aku berlari dengan sekuat tenaga jadi itu sangat
menyakitkan.
Itu lebih cepat dari saat aku
mencoba melarikan diri dari Himari.
“Ahh, maaf soal itu. Itu cuma
kebetulan gila kalau ponselku berhenti berfungsi. Sepertinya tagihan telepon
belum dibayar.”
“Apa-apaan ... Aku hampir kena
serangan jantung tahu.”
Jadi itu pengumuman yang kau
dapatkan jika menelepon seseorang dengan tagihan telepon yang belum dibayar. Aku
tidak tahu sejak itu pertama kali aku mendengarnya.
“Oke, tidak masalah lagi. Hal
baiknya adalah kau baik-baik saja. ”
“Apa kamu khawatir…?”
Kanon menunjukkan ekspresi
terkejut dan ragu.
Seriusan, menurutnya aku ini
apa? Jelas saja, bahkan aku khawatir tentang sepupuku. Aku bukan orang yang
tidak berperasaan.
“Tentu saja aku akan khawatir.”
“Ah… maafkan aku…”
“Tidak apa-apa, anggap saja
tidak terjadi apa-apa. Dan apa yang ingin kau katakan padaku?”
“Ah, um… apa aku boleh membeli
snack atau tidak. Hanya saja Himari tidak makan sebagaimana mestinya pada
jam-jamnya. Dia hanya makan onigiris dan sisa bento, jadi dia mungkin
kelaparan… ”
“Mu…”
Sekarang dia mengungkitnya, itu
benar.
Kami sepakat kalau area dapur
tidak boleh digunakan agar keberadaan Himari tidak diketahui, dan itulah
mengapa dia tidak bisa makan makanan panas atau bahkan memasaknya.
Jika aku punya ketel listrik,
dia bisa membuat mi untuk dirinya sendiri, tapi sayanya, aku tidak punya barang
seperti itu di apartemen.
“Oleh karena itu, aku baru saja
membelikannya camilan dengan kemauanku sendiri.”
“Kau sudah membelinya?”
Tidak. Ini bukan seperti aku akan
mengatakan tidak atau semacamnya. Seharusnya tidak masalah.
“Maksudku, karena panggilan
telepon yang terputus, itu jauh lebih baik daripada hanya menunggu di luar. Aku
sudah meletakkan barang-barang di keranjang belanja jadi meletakkannya kembali
di rak pasti akan membuat pemilik toko curiga. Itu sebabnya aku hanya membayar
belanjaan dan menunggu di luar.”
“Oke, Oke, aku mengerti maksudmu.
Lalu, apa saja yang sduah kau beli? ”
“Umm… ada puding, cokelat,
popcorn, tart, kue, dan—”
“Tunggu sebentar. Bukannya itu
kebanyakan?”
“Ta-Tapi lihat, itu akan sangat membantu
Himari jika kita menyetoknya.”
“Bukannya kau bilang begitu itu
karena kau sendiri yang ingin memakannya?”
“Uwu… Bu-Bukan seperti itu, kok?”
Maksudku, niatmu gampang sekali
terbaca, tahu?
Seharusnya tidak masalah.
Lagian mana mungkin dia akan memakan semuanya dalam satu hari.
… Atau jangan bilang memang
begitu?
Sedikit ketidakpastian melintas
di benakku.
“Yah, jumlah segini pasti bisa
bertahan selama seminggu jadi—”
“Hah? Bukannya maksudmu dua
atau tiga hari? ”
“Eh?”
“Eh?”
Kami berdua membeku.
Jumlah camilan sebanyak ini dibilang
untuk dua hari…. Melihat ekspresinya, sepertinya dia juga tidak bercanda.
“… Jangan-jangan kau ini orang
yang rakus, ya?”
“Ti-Tidak, kok! Bukannya jumlah
makanan yang aku masak sudah normal ?! ”
“Itu benar, tapi… Aku hanya
ingin tahu apakah kau menahan diri.”
“Tidak. Meski aku akan makan
sekitar tiga kali lebih banyak dalam prasmanan, bukannya aku tidak puas dengan
jumlah yang normal. Maksudku, bukan berarti makanan yang aku masak tidak cukup
atau semacamnya… ”
“Tiga kali…”
Aku tanpa sadar mengulangi apa
yang dia katakan karena angka-angka yang mengejutkan itu.
Kanon menyuarakan ah! lalu menunduk dengan wajah merah
padam. Jadi ini salah satu situasi di
mana kau secara tidak sengaja menyeletukkan pikiranmu yang sebenarnya.
Tapi aku memahaminya sekarang…
Kanon sebenarnya adalah orang yang rakus. Kalau dipikir-pikir, aku merasa ada
saatnya perutnya mengeluarkan bunyi keroncong keras pada hari dia pergi ke
apartemenku.
Aku merasa seperti aku harus
membiarkan Kanon makan sepuasnya sekali. Aku hanya akan memikirkan semuanya
lain kali, jadi aku mengambil tas belanjaan yang dipegang Kanon.
“Eh?”
“Aku akan membawakan ini
untukmu. Ayo, ayo kembali. ”
“Iy-Iya.”
“Ngomong-ngomong, apa kau juga
membelikanku camilan?”
“Ah…”
“Apa maksud dari jawabanmu
itu?”
“Tidak, itu lelucon. Aku juga
membeli beberapa untukmu kok. Ya, beberapa di antaranya… ”
“Kedengarannya sangat samar
dengan caramu mengatakannya.”
Dengan aku mengikuti di
belakangnya, Kami memiliki percakapan yang sepele saat kembali ke rumah.
Untuk pertama kalinya, rasanya
seperti pertama kalinya kami benar-benar berbicara satu sama lain.
Waktu makan malam. Aku memotong
makarel rebus menjadi beberapa bagian saat aku mengambilnya dengan sumpit.
“Sekarang. Apa yang harus kita
lakukan dengan ponsel mu, Kanon… ”
“Pasti ada surat taguhan
pembayaran di rumah. Karena besok libur jadi aku akan memeriksanya.”
“Apa mau aku temani?”
“Eh? Kenapa?” Sumpit Kanon
berhenti dan alisnya berkerut dengan marah.
“Kau tidak perlu terlihat
begitu tidak senang tentang itu. Lebih baik kalau kau membayarnya segera.”
“Tapi… aku juga tidak bisa
memintamu untuk membayar tagihan teleponku…”
“Kau tidak perlu sungkan pada
hal sepele begini. Jaman sekarang, gadis-gadis SMA kesulitan mengikuti
teman-teman mereka jika mereka tidak memiliki smartphone, bukan? Dan selain
itu, kau mungkin mendapat telepon dari ibumu… ”
Terutama bagi gadis-gadis yang
menganggap kalau smartphone bukan sekedar alat untuk komunikasi saja, itu
adalah jalur komunikasi mereka.
Aku belum pernah mendengar dia berbicara
tentang sekolah atau teman-temannya, tapi ketika dia menonton drama, aku dapat
melihat dia berinteraksi di media sosial dengan orang-orang dan mereka
tampaknya adalah temannya.
Akan sulit bagi Kanon untuk
kehilangan mereka.
Dan, bagaimanapun, bibiku
kemungkinan besar akan menghubunginya dulu, bukan aku atau keluargaku, tapi
Kanon sendiri.
“Itu mungkin benar tapi… apa
kamu yakin itu baik-baik saja?”
“Seperti yang kubilang, tidak
apa-apa. Jangan membuatku terus mengulanginya.”
Tapi aku tidak akan berbohong.
Jika ini terus berlangsung selama berbulan-bulan, mungkin anggaranku akan
sedikit sulit. Tapi, mengingat Kanon masih di bawah umur, aku tidak bisa
mengatakan itu padanya.
Ketika bibiku kembali, aku bisa
meminta uang penggantian darinya.
“Jadi dengan begitu, ayo ke
rumahmu besok tapi…” Aku melirik Himari.
“Umm, aku akan menjaga rumah
saat kalian berdua pergi. Aku hampir selesai membuat gambar pertamaku juga…
Selain itu, aku masih perlu mencari pekerjaan sambilan… ”
“Begitu ya.”
Himari terus menggambar di pagi
hari saat kami pergi. Meski dia pernah menunjukkannya kepada kami, dia masih
merasa malu. Selain itu, saat malam tiba, dia terus terpaku pada komputer,
mencari lowongan kerja sambilan.
Dia tampaknya tidak dapat
menemukan pekerjaan yang memenuhi persyaratannya.
“Kalau begitu kita akan pergi
setelah makan siang. Rumahku tidak terlalu jauh dari sini jadi kita bisa
kembali sore.”
“Baiklah kalau begitu. Aku akan
pergi seperti biasa lalu mencuci dan membersihkan.” Balas Himaari.
“Maaf tentang ini, tapi tolong
lakukan.”
Jadi, rencana kami untuk besok
sudah ditetapkan.
*****
[Sudut Pandang
Himari]
Begitu Komamura-san dan Kanon
meninggalkan rumah, aku mulai bersih-bersih. Biasanya, aku cuma membersihkan
lantai, tetapi hari ini adalah waktu yang tepat untuk menggunakan penyedot
debu.
Di akhir pekan, aku takkan
ketahuan meskipun alat ini membuat keributan.
Dengan penyedot debu nirkabel
di satu tangan, aku membesihkan sampai ke dapur. Segera setelah itu, telepon
berdering.
“Kya ?!”
Suaranya mengejutkanku dan membuatku
mengeluarkan jeritan kecil.
Aku dengan takut-takut
mendekati telepon yang berdering. Aku takkan mengangkat telepon karena
Komamura-san menyuruhku untuk tidak mengangkatnya. Namun, dering telepon yang
terus menerus membuatku sedikit tidak nyaman, dan sebelum aku menyadarinya, aku
mulai mendekatinya.
ID penelepon menunjukkan yang
menelepon dari telepon umum.
Jadi ada orang yang menelepon
dari jalur publik di zaman sekarang ini…
Pada saat yang sama, aku pikir
itu agak tidak biasa. Saat mesin penjawab masuk, telepon berhenti berdering.
“Aku ingin tahu dari siapa. Apa
mereka memanggil nomornya…? ”
Sambil bergumam begitu, aku
kembali ke dapur.
*****
[Sudut Pandang Komamura]
Ini pertama kalinya aku pergi
ke rumah Kanon.
Tentu saja, aku bahkan tidak
tahu di mana letaknya, jadi aku hanya mengikuti arahan Kanon. Kereta berada di
jalur yang belum pernah aku naiki, ke tempat yang belum pernah aku kunjungi.
Usia bukanlah penghalang untuk
menjadi bersemangat saat pergi ke suatu tempat untuk pertama kalinya. Dengan
menaiki kereta, kita butuh waktu 30 menit sebelum tiba ke tujuan.
Begitu kami turun, aku melihat
tidak banyak orang yang sibuk, mengingat ini hari Sabtu.
Dari sana, kami menghabiskan
waktu sekitar 10 menit untuk melanjutkan perjalanan melalui area pemukiman yang
asri.
Kanon, yang memandu arah jalan,
akhirnya melihat ke arahku.
“Ini dia. Rumahku.”
Aku mengarahkan kepalaku ke
arah gedung di depan. Itu adalah gedung apartemen putih dua lantai. Dilihat
dari penampilannya, kurasa sudah berusia 30 tahunan.
Kanon segera memeriksa kotak
surat yang menempel di dinding.
Ada 8 kotak dan semuanya
ditempeli selebaran. Mereka mengintip, jadi sepertinya itu baru saja
dilampirkan.
Kanon mengumpulkan semua barang
di dalam kotak surat dan mengeluarkannya.
“Ini dia. Yang ini. Lihat.”
Kecuali satu surat. Kanon
mendorong semua selebaran ke arahku.
Kanon pada dasarnya merobek
amplop pemberitahuan saat dia membukanya.
“Ya. Ini sudah lewat batas
tanggal pembayaran.”
“Misalnya, apa langganan ponsel
adalah sesuatu yang terputus secepat itu?”
Aku tahu ini agak terlambat
untuk mencoba dan menanyakan ini tetapi itu adalah pertanyaan asli yang baru aku
pikirkan sekarang. Ponselku belum pernah terputus jadi aku tidak tahu banyak
tentangnya.
Menambang biaya dari rekening
bank aku. Tabunganku, meskipun kecil, dapat melunasi semua tagihanku, jadi aku
tidak akan pernah membiarkan akunku kosong.
“Hmm… Kenapa kita tidak masuk
ke dalam?”
Kanon tidak menjawab
pertanyaanku dan mendesakku untuk pergi dengan tatapan bingung.
Aku setuju bahwa pembicaraan
tentang uang harus dibiarkan di dalam ruangan. Namun, ketika aku beralih ke
smartphone, aku tetap menyebutnya ponsel. Meskipun aku bertanya-tanya apa yang
anak muda sebut mereka hari ini ... Bahkan Kanon akan mengerti bahwa cara yang
lebih pendek untuk memanggilnya adalah dengan mengatakan ponsel, karena tidak
ada yang menyebutnya smartphone ...
Tidak, itu tidak masalah
sekarang.
Kanon membuka kunci pintu
dengan kuncinya. Bau khas keluar dari ruangan saat dia membukanya.
“Uwa ?! Bau tataminya kuat sekali!?
”
Kanon sendiri yang lebih terkejut
tentang baunya ketimbang aku. Aku ingin tahu apakah baunya adalah sesuatu yang
menonjol saat tidak ada orang di rumah.
Begitu aku berjalan di pintu
depan, dapur dengan lantai kayu
menyambutku. Ada juga meja dan kursi untuk dua orang.
Melihat bagaimana lantai
ditata, kemungkinan besar ini cuma apartemen berukuran 1LDK.
Kanon menjatuhkan tasnya di
kursi dan memasuki ruangan bergaya Jepang di belakang.
Aku pergi ke depan dan
meletakkan brosur di atas meja dan menunggunya.
Kanon kembali tidak lama
kemudian dan membuka laci lemari kecil di dapur dan menutupnya segera setelah
itu.
Dahinya sedikit mengerut.
“Apa ada yang salah?”
“Bagaimana aku mengatakan ini…
Ada yang salah. Sesuatu tentang suasananya yang membuatku tidak nyaman.”
“Apa ada tanda-tanda ibumu
kembali?”
“Tidak, tidak ada, menurutku. Aku
melakukan penelusuran cepat tetapi tidak ada yang menonjol.”
Aku melihat ke arah yang sama
dengan Kanon saat dia memindai ruangan.
… .Hanya saja aku tidak tahu
apakah ada yang tidak pada tempatnya.
“…Hantu?”
“A-Apa ?! Jangan bilang yang aneh-aneh,
dong! Mana mungkin ada hantu!”
Anehnya, Kanon merasa ketakutan.
Kurasa memang benar bahwa apa
yang aku katakan sedikit kekanak-kanakan. Tapi mungkin bakal jadi heboh jika
hantunya benar-benar keluar.
“Cuma bercanda. Kembali ke
topik tadi, tentang pembicaraan tentang biaya seluler sebelumnya… ”
“Ah, ya…. Ibu membayar tagihan
melalui formulir pembayaran, itulah mengapa menurutku dia membawanya. Aku sudah
mencarinya tapi tidak menemukannya di tempat yang seharusnya. Padahal faktanya
ponselku terputus berarti—”
“Ibumu tidak membayarnya dan
membiarkannya tergeletak.”
“Itulah yang aku pikirkan.
Entah dia tidak sengaja membuangnya atau melupakannya, aku tidak tahu.”
Kalau pembayaran bulanan, bayar
tagihan ponsel sudah jadi kebiasaan. Apa itu sesuatu yang mudah dilupakan?
“Tentang nomor ponsel ibumu—”
“Sejak saat itu, aku belum bisa
menghubunginya. Aku mencoba meneleponnya setiap hari tetapi tidak berhasil. Aku
sudah mengirim pesan juga. Tapi itu tidak dia dibaca.”
“Hah…?”
Aku baru saja menyadarinya. Aku
belum berbicara dengan Kanon mengenai hilangnya ibunya. Faktanya, ini adalah
pertama kalinya aku berduaan dengannya. Kenyataannya adalah, dia direncanakan
untuk tinggal bersamaku sejak hari itu.
“Err… Apa ada tanda-tanda kalau
ibumu akan pergi? Apa saja, sekecil apa pun… ”
Aku mengambil risiko untuk
mencoba bertanya.
Aku tidak bisa membiarkan
subjek tidak tersentuh begitu saja.
“Tidak ada sama sekali. Mungkin
ada satu tapi… Aku tidak menyadarinya sama sekali. Kami sarapan seperti biasa,
dia berangkat kerja sementara aku pergi ke sekolah. Dan kemudian… dia tidak
pernah kembali. ”
Sambil duduk di kursi, dia
mengatakannya dengan acuh tak acuh sambil menatap ke langit-langit.
“Mungkin dia mendapatkan pacar
baru? Dia selalu berjiwa bebas. Atau lebih tepatnya, dia hanya muncul dan
menghilang kapan pun dia mau, selama yang aku ingat. Dia tidak menghabiskan
banyak waktu di rumah. Dia hanya pulang untuk tidur.”
Cara dia mengatakannya dengan menjauhkan
emosinya membuatnya tampak semakin menyedihkan.
“Tapi kamu tahu apa? Aku tidak
pernah tidak bahagia. Aku juga tidak pernah direpotkan dalam hal uang.
Begitulah caraku mendapatkan smartphone. Tetapi karena itu… aku yakin dia harus
menanggung banyak hal… ”
Kata-kata Kanon berhenti di
situ.
Hal berikutnya yang aku tahu, butiran
tetesan air terbentuk di sudut matanya.
Kanon…
“Aku marah padanya karena pergi
tanpa izin tapi meski begitu… aku tidak bisa memaksa diriku untuk membencinya
karena itu… Maksudku, bagaimana mungkin aku bisa? Dia tipe orang yang membeli
puding mewah dan terlihat lebih bersemangat daripada aku.”
Suaranya bergetar. Tapi meski
begitu, dia menatapku sambil tersenyum.
Kemudian, keheningan terjadi.
Aku tidak bisa berkata apa-apa.
Tidak ada kata yang bisa aku temukan.
Tentu saja tidak bisa. Aku
tidak tahu tentang dirinya dan kehidupan bibiku.
Bahkan jika aku mengatakan
sesuatu, kata-katanya hanya akan terdengar hambar dan hampa.
Tapi—
Hal berikutnya yang aku tahu, aku
mendapati diriku meletakkan tanganku di atas kepalanya.
Mengapa aku melakukan ini?
Bahkan aku sendiri tidak tahu jawabannya.
Tapi yang aku tahu,
bagaimanapun juga, aku tidak bisa duduk diam tanpa melakukan apa pun.
“H-Hei ?! Apa yang sedang kamu
lakukan?! Jangan perlakukan aku seperti anak kecil! Bahkan saat dia memprotes, aku
tidak menghentikan tanganku.
“... Kau masih anak kecil.”
“Eh—”
“Kau masih anak kecil. Kau
masih di bawah umur. ”
“Tentu saja aku tahu—”
“Kau telah mengalami banyak hal
selama ini. Pasti rasanya berat, bukan?”
Kanon membuka lebar matanya.
Setelah beberapa saat, matanya
mulai menjadi lembab dan kemudian—
Air matanya telah berubah
menjadi tetesan besar dan mengalir di pipinya.
“Ah …… uu …….”
Kanon mencoba menahan emosi
yang terpendam di dalamnya. Dia menggigit bibirnya, bahunya gemetar. Dia
mencengkeram kemejaku seolah-olah dia kesakitan, jadi dengan mataku, aku
memohon padanya.
“Kau tidak perlu menahan diri.”
Kanon, yang menatap mataku,
masih berusaha menahannya. Dan akhirnya, air matanya mengalir deras.
Seolah-olah air dari bendungan telah dilepaskan.
Air mata mengalir tanpa henti
dari matanya saat Kanon menyandarkan kepalanya di dadaku.
“Ma……Maaf. In-Ini hanya… untuk
saat ini… oke…? ”
Dia mengendus dan berkata
dengan suara berlinang air mata.
Aku diam-diam mengelus
kepalanya. Kesepakatanku disampaikan dalam diam. Dia terus menangis seolah-olah
semua yang dia kubur jauh-jauh di dalam hatinya telah membludak keluar. Tidak
ada lagi yang bisa aku lakukan kecuali hanya menepuk kepalanya.
Setelah menangis sebentar,
Kanon pergi ke kamar mandi untuk membasuh mukanya. Segera setelah itu, dia
kembali dengan handuk di tangan dan dia sudah kembali tenang.
“Jangan bilang Himari kalau aku
menangis…”
Dia memberitahuku dengan tatapan
melooto, tapi dengan matanya yang masih merah terlihat tidak menakutkan sama
sekali.
“Tenang saja, aku janji.”
“Awasa saja nanti kalau
memberitahu Himari ...”
Apakah dia waspada tentang aku
yang memegang kelemahannya?
Bahkan dengan keadaan seperti
itu, aku tidak bermaksud menggunakannya sebagai amunisi untuk pemerasan bahkan
jika Kanon melakukan sesuatu yang membuatku marah di kemudian hari.
“Kurasa sudah waktunya kita
kembali.”
Melihat jam tangan aku, sudah
lebih dari jam 3.
Himari juga sudah menunggu dan
kita perlu berbelanja sebelum pulang.
Mata Kanon akan tetap merah
saat kita tiba, jadi sebaiknya kita berjalan pulang saja.
“Ya. Kita memberitahu Himari
kalau kita kembali pada malam hari juga ...”
“Ah. Kita harus mengurus
pemberitahuan pembayarannya dulu.”
“Tapi itu sudah lama
terlambat.”
“Ada kemungkinan masih bisa
dibayar dengan catatan itu. Tidak ada salahnya untuk mencoba setidaknya sekali.
Jika itu tidak berhasil, kita selalu bisa pergi ke toko ponsel.”
Kanon dengan ragu-ragu
menyerahkan pemberitahuan itu.
“Aku juga harus mampir ke toko
swalayan. Apa kau ingin membeli makan malam saat aku ke sana?”
“Umm… Terima kasih, Kazu-nii…”
“Eh?”
Aku membeku.
Kanon tidak pernah memanggilku
seperti itu, sejak dia datang ke rumahku.
“... Ada apa denganmu
tiba-tiba?”
“Bagaimana cara mengatakan ini…
Hanya saja aku baru saja diingatkan aku dulu pernah memanggilmu begitu.”
“Ah…. masa? ”
Aku samar-samar teringat saat
dia mengunjungi kembali ketika aku tinggal bersama orang tuaku. Kalau
dipikir-pikir, Kanon masih duduk di bangku SD saat itu. Itu saat kami bermain
game bersama dengan adikku, kurasa.
Sekali
lagi. Ayo main lagi, Kazu-nii!
Dia pasti bersenang-senang
karena dia terus meminta game itu lagi dan lagi. Kanon sangat lucu saat itu.
Tidak, itu tidak benar. Dia bahkan
masih imut sekarang.
“Lu-Lupakan itu. Himari sudah menunggu
kita, jadi ayo pergi.”
Dia mungkin ingin
menyembunyikan rasa malunya karena Kanon tidak terlalu melirikku saat dia
menuju pintu.
Aku terkekeh lalu terus mengikutinya.
“Katakan, Kazu-nii…”
Saat kami mendekati toko
swalayan, Kanon tiba-tiba memanggil namaku. Dengan cara yang sangat berlawanan
dari sebelumnya, dia sekarang berjalan di sampingku.
“Ya?”
“Rasanya sedikit lebih besar dari
sebelumnya. Perutmu, itu.”
“Tanpa diberi tahu lagi juga
aku sudah tahu.”
“Meski, kamu terlihat normal
dari dada ke atas. Apakah itu perut buncit?”
“Daripada buncit, ini lebih
seperti kegemukan dikit…”
Dari sudut pkamung Kanon,
mungkin itu hal yang sama untuknya. Tapi pada akhirnya, rasanya sangat berbeda.
Aku akan sangat senang jika
bisa dibeli dengan harga lebih rendah, tapi itu terus semakin tinggi setiap
tahun tanpa ada tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat.
Keparat. Dasar Pajak Minuman
Keras.
Namun, jika aku harus menyalahkan
sesuatu tentang masalah perutku, itu lebih disebabkan oleh makanan ringan
sebagai pendamping bir.
Faktanya, aku selalu makan
sebelum tidur.
Aku tahu bahwa itu adalah
kebiasaan buruk, tetapi jika bisa berhenti semudah itu, maka hal itu tidak akan
terjadi sejak awal.
“Kamu dulu pria yang keren.”
“Saat aku makan lebih banyak
saat itu, aku juga banyak berolahraga.”
“Eh ~ apa yang kamu lakukan?”
“Judo.”
“Tak kusangka. Atau tidak.
Mungkin hanya seperti yang aku bayangkan, tetapi aku telah berpikir ada sesuatu
yang berbeda tentang kamu sekarang daripada sebelumnya ...”
Apa apaan? Aku akan repot
menerima reaksi seperti itu juga, tapi… Orang yang paling terkejut setelah
semua otot itu berubah menjadi gumpalan lemak setelah berolahraga mungkin
adalah aku, ‘kan?
“Sementara kita membahas topik
itu, apa kamu punya rencana untuk terus berolahraga, Kazu-nii?”
“Hmm? Kau ingin aku menurunkan
berat badan atau apa? ”
“Weeeell ~ Bukannya ini terlalu
sia-sia?”
“…Apa maksudnya?”
"Hmmm ~ Tidak mau bagi
tahu~.”
Seperti yang dikatakan Kanon,
dia kemudian berlari ke depan.
“Tunggu, jangan lari! Aku sudah
tidak muda lagi, lho!”
Aku mengejarnya tapi aku hampir
tidak bisa mengikutinya.
Saat berlari, aku jadi ingat
masa lalu. Dulu saat masih menjadi pelajar, aku mendedikasikan diriku untuk
judo.
… Yah, aku berdedikasi.
*****
“Kami pulang~”
“Selamat Datang di rumah."
Setelah tiba di apartemen, aku
melihat Himari di kamarku. Dia masih belum mengganti piyamanya. Dia masih dalam
mode liburan penuh. Padahal, kurasa setiap hari seperti liburan untuknya.
Dia biasanya mengganti pakaian
tidurnya jadi dia cenderung santai saja untuk hari ini.
“Maaf, kami terlalu lama.”
“Aku tidak keberatan sama
sekali. Tentang smartphone-nya Kanon…”
“Itu sudah dibayar sehingga tak
lama lagi akan kembali seperti semula.”
“Untunglah…”
Himari tampak lega dari lubuk
hatinya. Mengkhawatirkan orang lain sejauh itu, dia memang anak yang baik.
“Kami mampir ke toko swalayan
dan yang aku beli hanyalah bento dan makanan penutup. Punyamu Meat Doria. Kanon
yang memilihkan itu untukmu jadi kalau mau memprotes, protes saja ke dia.”
“Padahal Kazu-nii yang memilih
makanan penutup.”
“Bukankah itu bagus? Aku
menyukainya. Ini Cheesecake dengan Extra Cream. Di antara makanan penutup yang
keluar baru-baru ini, ini adalah yang terbaik. "
Aku sendiri suka makanan manis,
tapi pergi ke toko kue sendirian adalah salah satu rintangan yang tidak dapat aku
lewati.
Aku bersyukur kue itu sudah
tersedia di toko swalayan. Aku pikir itu ada untuk faksi pria yang sangat
menyukai makanan manis seperti diriku.
“Dari namanya saja, sudah
terasa seperti bom kalori yang masif. Porsi yang cukup besar juga.” Sindir
Kanon.
“Ahaha… Aku suka kue keju jadi
aku senang kamu punya satu untukku.”
“Baguslah kalau kau
menyukainya. Jangan biarkan makanannya jadi dingin.”
Dan sekali lagi, aku
mengeluarkan makanan dan makanan penutup dari kantong plastik untuk tiga orang.
Himari membeku di tempatnya,
menatap layar komputer.
Tangannya yang memegang pena
tablet gambar tidak bergerak untuk beberapa saat. Matanya tidak melihat ke
layar, tetapi dia melihat ke dalamnya dan mengenang pemandangan dari beberapa
saat sebelumnya.
******
[Sudut Pandang Orang
Ketiga]
Sejak Kazuki dan Kanon kembali,
Himari Sudah menahan rasa tidak nyaman jauh di dalam dadanya.
Semuanya karena Kanon
mmemanggil Kazuki sebagai Kazu-nii. Dia tidak pernah memanggil Komamura-san
dengan namanya tapi mulai memanggilnya.
Tidak sulit untuk menebak bahwa
sesuatu telah terjadi di rumah Kanon. Namun, mana mungkin Himari bisa
menanyakan apa yang terjadi; mereka adalah sepupu. Himari tidak memiliki
keberanian menanyakannya kari dia hanyalah orang luar.
Tepat sekali. Mereka memiliki
ikatan darah.
Hati Himari dipenuhi dengan rasa
kesepian. Ada ikatan antara keduanya yang tidak bisa dia ikuti. Itu bisa
dimengerti bahkan tanpa memikirkannya.
Tidak baik jika dia tidak
memahami fakta itu.
Namun… Dia berpura-pura tidak
melihatnya.
Harga yang harus dibayar
sekarang telah tiba.
“…”
Himari menggelengkan kepalanya.
Dia tidak perlu memikirkannya.
Yang perlu dia lakukan sekarang
adalah menyelesaikan ilustrasi yang dia butuhkan untuk diserahkan untuk
kompetisi. Alasan mengapa dia ada di sini adalah untuk mengejar mimpinya.
Dia sudah menyelesaikan satu
dengan tema bebas, namun dia masih belum menyelesaikan satu dengan tema khusus.
Itu sebabnya…
Himari mencoba menggerakkan
tangannya ... namun dia tidak bisa mengerahkan tenaga untuk melakukannya. Pikirannya
dipenuhi dengan mereka berdua. Seorang pria dewasa yang menawarkan bantuan
padanya. Dia menyimpan rahasia jauh di dalam hatinya yang tidak boleh terungkap.
Kacamatanya besar, perutnya
agak menonjol, dan penampilannya mungkin membosankan. Tapi Kazuki masih orang
yang baik. Itulah alasan yang cukup bagi Himari untuk menyukainya.
Tapi Himari juga menyukai
Kanon. Dia orang yang ceria, dia tidak memandang gambarnya dengan prasangka dan
Kanon bahkan memperlakukannya sebagai gadis normal.
Dia bahkan orang yang
mengusulkan untuk tinggal di sini sejak awal. Untuk itu, dia akan selalu
bersyukur. Dia tidak bisa menahan perasaan buruk ini padanya.
Namun, meski begitu…..
Dia menyukai keduanya.
Merasa dadanya seakan-akan terkoyak, Himari mengubur perasaan buruk yang tumbuh di dalam dirinya.
<<=Sebelumnya | Selanjutnya=>>
Mantap Min, Gass
BalasHapusapakah MC akan glow up? 👁️〰️👁️
BalasHapusTeam Himarii :3
BalasHapus