1LDK, Soshite 2JK Vol.1 Chapter 09 Bahasa Indonesia

Chapter 09 — Gadis SMA dan Nama

 

Beberapa hari berlalu tanpa adanya insiden.

Kanon memasak makan malam, Himari mencuci dan beres-beres di apartemen, dan aku pergi ke toko untuk membeli kebutuhan. Aku juga memberikan sejumlah uang kepada Kanon untuk berbelanja bahan-bahan. Dia memberiku bon belanja setiap kali jadi aku tidak terlalu khawatir tentang itu.

Jika berbicara tentang perubahan besar, maka itu ada pada sisi Himari. Aku akhirnya bisa melihat gambarnya.

Sebelumnya, yang dia katakan hanyalah “Rasanya memalukan dilihat saat sedang menggambar” dan mengubah sudut layar laptop supaya tidak terlihat.

Pertama kali aku melihat karyanya, dan meski aku adalah penilai amatir, kata luar biasa masih belum cukup untuk menggambarkannya.

Latar belakang yang digambar secara detail dengan warna-warna cerah dan tenang. Gambar gadis itu begitu nyata sehingga membuat mu ingin menyentuhnya melalui gambar itu.

Ini tidak seperti lukisan cat minyak tapi juga bukan sperti gaya manga. Aku tidak tahu banyak tentang ada berapa gaya dalam ilustrasi, jadi aku tidak tahu apa kategori karyanya.

Kanon dan aku merasa kagum dari awal sampai akhir, mengelukan pujian sepanjang waktu. Itulah seberapa besar pengaruhnya terhadap kami. Himari merasa malu tapi dia tetap bahagia, dengan senyum mengembang terpampang di wajahnya untuk menunjukkan rasa terima kasih.

Aku menyusuri jalan yang sama setelah pulang bekerja  ketika ponselku berdering. Aku melihat nama penelepon dan melihat kalalu itu dari Kanon.

Nah, tumben sekali. Ini adalah pertama kalinya aku menerima telepon darinya. Meskipun begitu, aku segera mengangkatnya.

“Ada apa? Apa kau butuh sesuatu?”

“Katakan… saat ini aku sedang di supermarket di depan stasiun belanja tapi—”

Di tengah pembicaraan, panggilannya tiba-tiba terputus.

… Eh?

Apa dia tidak sengaja menekan tombol akhiri panggilan?

Apa pun masalahnya, aku merasa penasaran jadi aku harus menelpon balik.

Tapi…

“Karena keadaan tertentu, kami tidak dapat menyambungkan panggilan Anda.”

Apa yang aku dengar membalas panggilanku adalah pesan intersepsi bernada datar.

Apa? Komunikasi terputus?

Tapi… ada sesuatu yang aneh tentang panggilan Kanon tadi.

Aku tak berpikir  kalau Kanon akan mencoba mempermainkanku, mengingat hubungan kami belum sampai ke tahap itu. Untuk berjaga-jaga, aku menunggu lebih lama lagi untuk melihat apa dia akan meneleponku lagi, tapi sepertinya dia tidak akan menelepon.

… Apa terjadi sesuatu?

Aku merasa bulu kuduk di seluruh tubuhku berdiri.

Apa yang terjadi? Apa yang sebenarnya terjadi?

… Jika aku mendengarnya dengan benar, dia bilang sedang berbelanja di supermarket depan stasiun. Tidak ingin berdiam diri terus, aku segera berlari sambil tetap memegang ponselku.

Di depan stasiun supermarket, Kanon memegang dua tas belanja yang tergantung di tangannya.

Saat aku melihatnya, baik kelegaan dan kecemasan melandaku, membuatku kehilangan tenaga.

Ketika Kanon menyadari kalau aku berlari mendekat ke arahnya, matanya membelalak kaget.

“Ap-Apa yang terjadi? Kenapa kamu terburu-buru begitu? ”

“Itu karena… panggilan… tiba-tiba terputus… dan… aku tidak bisa menjangkau ponselmu… setelah itu juga… kupikir… itu… sesuatu… mungkin telah terjadi—”

Aku menjawab dengan nafas tersenggal-senggal. Aku berlari dengan sekuat tenaga jadi itu sangat menyakitkan.

Itu lebih cepat dari saat aku mencoba melarikan diri dari Himari.

“Ahh, maaf soal itu. Itu cuma kebetulan gila kalau ponselku berhenti berfungsi. Sepertinya tagihan telepon belum dibayar.”

“Apa-apaan ... Aku hampir kena serangan jantung tahu.”

Jadi itu pengumuman yang kau dapatkan jika menelepon seseorang dengan tagihan telepon yang belum dibayar. Aku tidak tahu sejak itu pertama kali aku mendengarnya.

“Oke, tidak masalah lagi. Hal baiknya adalah kau baik-baik saja. ”

“Apa kamu khawatir…?”

Kanon menunjukkan ekspresi terkejut dan ragu.

Seriusan, menurutnya aku ini apa? Jelas saja, bahkan aku khawatir tentang sepupuku. Aku bukan orang yang tidak berperasaan.

“Tentu saja aku akan khawatir.”

“Ah… maafkan aku…”

“Tidak apa-apa, anggap saja tidak terjadi apa-apa. Dan apa yang ingin kau katakan padaku?”

“Ah, um… apa aku boleh membeli snack atau tidak. Hanya saja Himari tidak makan sebagaimana mestinya pada jam-jamnya. Dia hanya makan onigiris dan sisa bento, jadi dia mungkin kelaparan… ”

“Mu…”

Sekarang dia mengungkitnya, itu benar.

Kami sepakat kalau area dapur tidak boleh digunakan agar keberadaan Himari tidak diketahui, dan itulah mengapa dia tidak bisa makan makanan panas atau bahkan memasaknya.

Jika aku punya ketel listrik, dia bisa membuat mi untuk dirinya sendiri, tapi sayanya, aku tidak punya barang seperti itu di apartemen.

“Oleh karena itu, aku baru saja membelikannya camilan dengan kemauanku sendiri.”

“Kau sudah membelinya?”

Tidak. Ini bukan seperti aku akan mengatakan tidak atau semacamnya. Seharusnya tidak masalah.

“Maksudku, karena panggilan telepon yang terputus, itu jauh lebih baik daripada hanya menunggu di luar. Aku sudah meletakkan barang-barang di keranjang belanja jadi meletakkannya kembali di rak pasti akan membuat pemilik toko curiga. Itu sebabnya aku hanya membayar belanjaan dan menunggu di luar.”

“Oke, Oke, aku mengerti maksudmu. Lalu, apa saja yang sduah kau beli? ”

“Umm… ada puding, cokelat, popcorn, tart, kue, dan—”

“Tunggu sebentar. Bukannya itu kebanyakan?”

 “Ta-Tapi lihat, itu akan sangat membantu Himari jika kita menyetoknya.”

“Bukannya kau bilang begitu itu karena kau sendiri yang ingin memakannya?”

“Uwu… Bu-Bukan seperti itu, kok?”

Maksudku, niatmu gampang sekali terbaca, tahu?

Seharusnya tidak masalah. Lagian mana mungkin dia akan memakan semuanya dalam satu hari.

… Atau jangan bilang memang begitu?

Sedikit ketidakpastian melintas di benakku.

“Yah, jumlah segini pasti bisa bertahan selama seminggu jadi—”

“Hah? Bukannya maksudmu dua atau tiga hari? ”

“Eh?”

“Eh?”

Kami berdua membeku.

Jumlah camilan sebanyak ini dibilang untuk dua hari…. Melihat ekspresinya, sepertinya dia juga tidak bercanda.

“… Jangan-jangan kau ini orang yang rakus, ya?”

“Ti-Tidak, kok! Bukannya jumlah makanan yang aku masak sudah normal ?! ”

“Itu benar, tapi… Aku hanya ingin tahu apakah kau menahan diri.”

“Tidak. Meski aku akan makan sekitar tiga kali lebih banyak dalam prasmanan, bukannya aku tidak puas dengan jumlah yang normal. Maksudku, bukan berarti makanan yang aku masak tidak cukup atau semacamnya… ”

“Tiga kali…”

Aku tanpa sadar mengulangi apa yang dia katakan karena angka-angka yang mengejutkan itu.

Kanon menyuarakan ah! lalu menunduk dengan wajah merah padam. Jadi ini  salah satu situasi di mana kau secara tidak sengaja menyeletukkan pikiranmu yang sebenarnya.

Tapi aku memahaminya sekarang… Kanon sebenarnya adalah orang yang rakus. Kalau dipikir-pikir, aku merasa ada saatnya perutnya mengeluarkan bunyi keroncong keras pada hari dia pergi ke apartemenku.

Aku merasa seperti aku harus membiarkan Kanon makan sepuasnya sekali. Aku hanya akan memikirkan semuanya lain kali, jadi aku mengambil tas belanjaan yang dipegang Kanon.

“Eh?”

“Aku akan membawakan ini untukmu. Ayo, ayo kembali. ”

“Iy-Iya.”

“Ngomong-ngomong, apa kau juga membelikanku camilan?”

“Ah…”

“Apa maksud dari jawabanmu itu?”

“Tidak, itu lelucon. Aku juga membeli beberapa untukmu kok. Ya, beberapa di antaranya… ”

“Kedengarannya sangat samar dengan caramu mengatakannya.”

Dengan aku mengikuti di belakangnya, Kami memiliki percakapan yang sepele saat kembali ke rumah.

Untuk pertama kalinya, rasanya seperti pertama kalinya kami benar-benar berbicara satu sama lain.

Waktu makan malam. Aku memotong makarel rebus menjadi beberapa bagian saat aku mengambilnya dengan sumpit.

“Sekarang. Apa yang harus kita lakukan dengan ponsel mu, Kanon… ”

“Pasti ada surat taguhan pembayaran di rumah. Karena besok libur jadi aku akan memeriksanya.”

“Apa mau aku temani?”

“Eh? Kenapa?” Sumpit Kanon berhenti dan alisnya berkerut dengan marah.

“Kau tidak perlu terlihat begitu tidak senang tentang itu. Lebih baik kalau kau membayarnya segera.”

“Tapi… aku juga tidak bisa memintamu untuk membayar tagihan teleponku…”

“Kau tidak perlu sungkan pada hal sepele begini. Jaman sekarang, gadis-gadis SMA kesulitan mengikuti teman-teman mereka jika mereka tidak memiliki smartphone, bukan? Dan selain itu, kau mungkin mendapat telepon dari ibumu… ”

Terutama bagi gadis-gadis yang menganggap kalau smartphone bukan sekedar alat untuk komunikasi saja, itu adalah jalur komunikasi mereka.

Aku belum pernah mendengar dia berbicara tentang sekolah atau teman-temannya, tapi ketika dia menonton drama, aku dapat melihat dia berinteraksi di media sosial dengan orang-orang dan mereka tampaknya adalah temannya.

Akan sulit bagi Kanon untuk kehilangan mereka.

Dan, bagaimanapun, bibiku kemungkinan besar akan menghubunginya dulu, bukan aku atau keluargaku, tapi Kanon sendiri.

“Itu mungkin benar tapi… apa kamu yakin itu baik-baik saja?”

“Seperti yang kubilang, tidak apa-apa. Jangan membuatku terus mengulanginya.”

Tapi aku tidak akan berbohong. Jika ini terus berlangsung selama berbulan-bulan, mungkin anggaranku akan sedikit sulit. Tapi, mengingat Kanon masih di bawah umur, aku tidak bisa mengatakan itu padanya.

Ketika bibiku kembali, aku bisa meminta uang penggantian darinya.

“Jadi dengan begitu, ayo ke rumahmu besok tapi…” Aku melirik Himari.

“Umm, aku akan menjaga rumah saat kalian berdua pergi. Aku hampir selesai membuat gambar pertamaku juga… Selain itu, aku masih perlu mencari pekerjaan sambilan… ”

“Begitu ya.”

Himari terus menggambar di pagi hari saat kami pergi. Meski dia pernah menunjukkannya kepada kami, dia masih merasa malu. Selain itu, saat malam tiba, dia terus terpaku pada komputer, mencari lowongan kerja sambilan.

Dia tampaknya tidak dapat menemukan pekerjaan yang memenuhi persyaratannya.

“Kalau begitu kita akan pergi setelah makan siang. Rumahku tidak terlalu jauh dari sini jadi kita bisa kembali sore.”

“Baiklah kalau begitu. Aku akan pergi seperti biasa lalu mencuci dan membersihkan.” Balas Himaari.

“Maaf tentang ini, tapi tolong lakukan.”

Jadi, rencana kami untuk besok sudah ditetapkan.

 

*****

[Sudut Pandang Himari]

Begitu Komamura-san dan Kanon meninggalkan rumah, aku mulai bersih-bersih. Biasanya, aku cuma membersihkan lantai, tetapi hari ini adalah waktu yang tepat untuk menggunakan penyedot debu.

Di akhir pekan, aku takkan ketahuan meskipun alat ini membuat keributan.

Dengan penyedot debu nirkabel di satu tangan, aku membesihkan sampai ke dapur. Segera setelah itu, telepon berdering.

“Kya ?!”

Suaranya mengejutkanku dan membuatku mengeluarkan jeritan kecil.

Aku dengan takut-takut mendekati telepon yang berdering. Aku takkan mengangkat telepon karena Komamura-san menyuruhku untuk tidak mengangkatnya. Namun, dering telepon yang terus menerus membuatku sedikit tidak nyaman, dan sebelum aku menyadarinya, aku mulai mendekatinya.

ID penelepon menunjukkan yang menelepon dari telepon umum.

Jadi ada orang yang menelepon dari jalur publik di zaman sekarang ini…

Pada saat yang sama, aku pikir itu agak tidak biasa. Saat mesin penjawab masuk, telepon berhenti berdering.

“Aku ingin tahu dari siapa. Apa mereka memanggil nomornya…? ”

Sambil bergumam begitu, aku kembali ke dapur.

 

*****

[Sudut Pandang Komamura]

Ini pertama kalinya aku pergi ke rumah Kanon.

Tentu saja, aku bahkan tidak tahu di mana letaknya, jadi aku hanya mengikuti arahan Kanon. Kereta berada di jalur yang belum pernah aku naiki, ke tempat yang belum pernah aku kunjungi.

Usia bukanlah penghalang untuk menjadi bersemangat saat pergi ke suatu tempat untuk pertama kalinya. Dengan menaiki kereta, kita butuh waktu 30 menit sebelum tiba ke tujuan.

Begitu kami turun, aku melihat tidak banyak orang yang sibuk, mengingat ini hari Sabtu.

Dari sana, kami menghabiskan waktu sekitar 10 menit untuk melanjutkan perjalanan melalui area pemukiman yang asri.

Kanon, yang memandu arah jalan, akhirnya melihat ke arahku.

“Ini dia. Rumahku.”

Aku mengarahkan kepalaku ke arah gedung di depan. Itu adalah gedung apartemen putih dua lantai. Dilihat dari penampilannya, kurasa sudah berusia 30 tahunan.

Kanon segera memeriksa kotak surat yang menempel di dinding.

Ada 8 kotak dan semuanya ditempeli selebaran. Mereka mengintip, jadi sepertinya itu baru saja dilampirkan.

Kanon mengumpulkan semua barang di dalam kotak surat dan mengeluarkannya.

“Ini dia. Yang ini. Lihat.”

Kecuali satu surat. Kanon mendorong semua selebaran ke arahku.

Kanon pada dasarnya merobek amplop pemberitahuan saat dia membukanya.

“Ya. Ini sudah lewat batas tanggal pembayaran.”

“Misalnya, apa langganan ponsel adalah sesuatu yang terputus secepat itu?”

Aku tahu ini agak terlambat untuk mencoba dan menanyakan ini tetapi itu adalah pertanyaan asli yang baru aku pikirkan sekarang. Ponselku belum pernah terputus jadi aku tidak tahu banyak tentangnya.

Menambang biaya dari rekening bank aku. Tabunganku, meskipun kecil, dapat melunasi semua tagihanku, jadi aku tidak akan pernah membiarkan akunku kosong.

“Hmm… Kenapa kita tidak masuk ke dalam?”

Kanon tidak menjawab pertanyaanku dan mendesakku untuk pergi dengan tatapan bingung.

Aku setuju bahwa pembicaraan tentang uang harus dibiarkan di dalam ruangan. Namun, ketika aku beralih ke smartphone, aku tetap menyebutnya ponsel. Meskipun aku bertanya-tanya apa yang anak muda sebut mereka hari ini ... Bahkan Kanon akan mengerti bahwa cara yang lebih pendek untuk memanggilnya adalah dengan mengatakan ponsel, karena tidak ada yang menyebutnya smartphone ...

Tidak, itu tidak masalah sekarang.

Kanon membuka kunci pintu dengan kuncinya. Bau khas keluar dari ruangan saat dia membukanya.

“Uwa ?! Bau tataminya kuat sekali!? ”

Kanon sendiri yang lebih terkejut tentang baunya ketimbang aku. Aku ingin tahu apakah baunya adalah sesuatu yang menonjol saat tidak ada orang di rumah.

Begitu aku berjalan di pintu depan,  dapur dengan lantai kayu menyambutku. Ada juga meja dan kursi untuk dua orang.

Melihat bagaimana lantai ditata, kemungkinan besar ini cuma apartemen berukuran 1LDK.

Kanon menjatuhkan tasnya di kursi dan memasuki ruangan bergaya Jepang di belakang.

Aku pergi ke depan dan meletakkan brosur di atas meja dan menunggunya.

Kanon kembali tidak lama kemudian dan membuka laci lemari kecil di dapur dan menutupnya segera setelah itu.

Dahinya sedikit mengerut.

“Apa ada yang salah?”

“Bagaimana aku mengatakan ini… Ada yang salah. Sesuatu tentang suasananya yang membuatku tidak nyaman.”

“Apa ada tanda-tanda ibumu kembali?”

“Tidak, tidak ada, menurutku. Aku melakukan penelusuran cepat tetapi tidak ada yang menonjol.”

Aku melihat ke arah yang sama dengan Kanon saat dia memindai ruangan.

… .Hanya saja aku tidak tahu apakah ada yang tidak pada tempatnya.

“…Hantu?”

“A-Apa ?! Jangan bilang yang aneh-aneh, dong! Mana mungkin ada hantu!”

Anehnya, Kanon merasa ketakutan.

Kurasa memang benar bahwa apa yang aku katakan sedikit kekanak-kanakan. Tapi mungkin bakal jadi heboh jika hantunya benar-benar keluar.

“Cuma bercanda. Kembali ke topik tadi, tentang pembicaraan tentang biaya seluler sebelumnya… ”

“Ah, ya…. Ibu membayar tagihan melalui formulir pembayaran, itulah mengapa menurutku dia membawanya. Aku sudah mencarinya tapi tidak menemukannya di tempat yang seharusnya. Padahal faktanya ponselku terputus berarti—”

“Ibumu tidak membayarnya dan membiarkannya tergeletak.”

“Itulah yang aku pikirkan. Entah dia tidak sengaja membuangnya atau melupakannya, aku tidak tahu.”

Kalau pembayaran bulanan, bayar tagihan ponsel sudah jadi kebiasaan. Apa itu sesuatu yang mudah dilupakan?

“Tentang nomor ponsel ibumu—”

“Sejak saat itu, aku belum bisa menghubunginya. Aku mencoba meneleponnya setiap hari tetapi tidak berhasil. Aku sudah mengirim pesan juga. Tapi itu tidak dia dibaca.”

“Hah…?”

Aku baru saja menyadarinya. Aku belum berbicara dengan Kanon mengenai hilangnya ibunya. Faktanya, ini adalah pertama kalinya aku berduaan dengannya. Kenyataannya adalah, dia direncanakan untuk tinggal bersamaku sejak hari itu.

“Err… Apa ada tanda-tanda kalau ibumu akan pergi? Apa saja, sekecil apa pun… ”

Aku mengambil risiko untuk mencoba bertanya.

Aku tidak bisa membiarkan subjek tidak tersentuh begitu saja.

“Tidak ada sama sekali. Mungkin ada satu tapi… Aku tidak menyadarinya sama sekali. Kami sarapan seperti biasa, dia berangkat kerja sementara aku pergi ke sekolah. Dan kemudian… dia tidak pernah kembali. ”

Sambil duduk di kursi, dia mengatakannya dengan acuh tak acuh sambil menatap ke langit-langit.

“Mungkin dia mendapatkan pacar baru? Dia selalu berjiwa bebas. Atau lebih tepatnya, dia hanya muncul dan menghilang kapan pun dia mau, selama yang aku ingat. Dia tidak menghabiskan banyak waktu di rumah. Dia hanya pulang untuk tidur.”

Cara dia mengatakannya dengan menjauhkan emosinya membuatnya tampak semakin menyedihkan.

“Tapi kamu tahu apa? Aku tidak pernah tidak bahagia. Aku juga tidak pernah direpotkan dalam hal uang. Begitulah caraku mendapatkan smartphone. Tetapi karena itu… aku yakin dia harus menanggung banyak hal… ”

Kata-kata Kanon berhenti di situ.

Hal berikutnya yang aku tahu, butiran tetesan air terbentuk di sudut matanya.

Kanon…

“Aku marah padanya karena pergi tanpa izin tapi meski begitu… aku tidak bisa memaksa diriku untuk membencinya karena itu… Maksudku, bagaimana mungkin aku bisa? Dia tipe orang yang membeli puding mewah dan terlihat lebih bersemangat daripada aku.”

Suaranya bergetar. Tapi meski begitu, dia menatapku sambil tersenyum.

Kemudian, keheningan terjadi.

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Tidak ada kata yang bisa aku temukan.

Tentu saja tidak bisa. Aku tidak tahu tentang dirinya dan kehidupan bibiku.

Bahkan jika aku mengatakan sesuatu, kata-katanya hanya akan terdengar hambar dan hampa.

Tapi

Hal berikutnya yang aku tahu, aku mendapati diriku meletakkan tanganku di atas kepalanya.

Mengapa aku melakukan ini? Bahkan aku sendiri tidak tahu jawabannya.

Tapi yang aku tahu, bagaimanapun juga, aku tidak bisa duduk diam tanpa melakukan apa pun.

“H-Hei ?! Apa yang sedang kamu lakukan?! Jangan perlakukan aku seperti anak kecil! Bahkan saat dia memprotes, aku tidak menghentikan tanganku.

“... Kau masih anak kecil.”

“Eh—”

“Kau masih anak kecil. Kau masih di bawah umur. ”

“Tentu saja aku tahu—”

“Kau telah mengalami banyak hal selama ini. Pasti rasanya berat, bukan?”

Kanon membuka lebar matanya.

Setelah beberapa saat, matanya mulai menjadi lembab dan kemudian—

Air matanya telah berubah menjadi tetesan besar dan mengalir di pipinya.

“Ah …… uu …….”

Kanon mencoba menahan emosi yang terpendam di dalamnya. Dia menggigit bibirnya, bahunya gemetar. Dia mencengkeram kemejaku seolah-olah dia kesakitan, jadi dengan mataku, aku memohon padanya.

“Kau tidak perlu menahan diri.”

Kanon, yang menatap mataku, masih berusaha menahannya. Dan akhirnya, air matanya mengalir deras. Seolah-olah air dari bendungan telah dilepaskan.

Air mata mengalir tanpa henti dari matanya saat Kanon menyandarkan kepalanya di dadaku.

“Ma……Maaf. In-Ini hanya… untuk saat ini… oke…? ”

Dia mengendus dan berkata dengan suara berlinang air mata.

Aku diam-diam mengelus kepalanya. Kesepakatanku disampaikan dalam diam. Dia terus menangis seolah-olah semua yang dia kubur jauh-jauh di dalam hatinya telah membludak keluar. Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan kecuali hanya menepuk kepalanya.

Setelah menangis sebentar, Kanon pergi ke kamar mandi untuk membasuh mukanya. Segera setelah itu, dia kembali dengan handuk di tangan dan dia sudah kembali tenang.

“Jangan bilang Himari kalau aku menangis…”

Dia memberitahuku dengan tatapan melooto, tapi dengan matanya yang masih merah terlihat tidak menakutkan sama sekali.

“Tenang saja, aku janji.”

“Awasa saja nanti kalau memberitahu Himari ...”

Apakah dia waspada tentang aku yang memegang kelemahannya?

Bahkan dengan keadaan seperti itu, aku tidak bermaksud menggunakannya sebagai amunisi untuk pemerasan bahkan jika Kanon melakukan sesuatu yang membuatku marah di kemudian hari.

“Kurasa sudah waktunya kita kembali.”

Melihat jam tangan aku, sudah lebih dari jam 3.

Himari juga sudah menunggu dan kita perlu berbelanja sebelum pulang.

Mata Kanon akan tetap merah saat kita tiba, jadi sebaiknya kita berjalan pulang saja.

“Ya. Kita memberitahu Himari kalau kita kembali pada malam hari juga ...”

“Ah. Kita harus mengurus pemberitahuan pembayarannya dulu.”

“Tapi itu sudah lama terlambat.”

“Ada kemungkinan masih bisa dibayar dengan catatan itu. Tidak ada salahnya untuk mencoba setidaknya sekali. Jika itu tidak berhasil, kita selalu bisa pergi ke toko ponsel.”

Kanon dengan ragu-ragu menyerahkan pemberitahuan itu.

“Aku juga harus mampir ke toko swalayan. Apa kau ingin membeli makan malam saat aku ke sana?”

“Umm… Terima kasih, Kazu-nii…”

“Eh?”

Aku membeku.

Kanon tidak pernah memanggilku seperti itu, sejak dia datang ke rumahku.

“... Ada apa denganmu tiba-tiba?”

“Bagaimana cara mengatakan ini… Hanya saja aku baru saja diingatkan aku dulu pernah memanggilmu begitu.”

“Ah…. masa? ”

Aku samar-samar teringat saat dia mengunjungi kembali ketika aku tinggal bersama orang tuaku. Kalau dipikir-pikir, Kanon masih duduk di bangku SD saat itu. Itu saat kami bermain game bersama dengan adikku, kurasa.

Sekali lagi. Ayo main lagi, Kazu-nii!

Dia pasti bersenang-senang karena dia terus meminta game itu lagi dan lagi. Kanon sangat lucu saat itu.

Tidak, itu tidak benar. Dia bahkan masih imut sekarang.

“Lu-Lupakan itu. Himari sudah menunggu kita, jadi ayo pergi.”

Dia mungkin ingin menyembunyikan rasa malunya karena Kanon tidak terlalu melirikku saat dia menuju pintu.

Aku terkekeh lalu terus mengikutinya.

“Katakan, Kazu-nii…”

Saat kami mendekati toko swalayan, Kanon tiba-tiba memanggil namaku. Dengan cara yang sangat berlawanan dari sebelumnya, dia sekarang berjalan di sampingku.

“Ya?”

“Rasanya sedikit lebih besar dari sebelumnya. Perutmu, itu.”

“Tanpa diberi tahu lagi juga aku sudah tahu.”

“Meski, kamu terlihat normal dari dada ke atas. Apakah itu perut buncit?”

“Daripada buncit, ini lebih seperti kegemukan dikit…”

Dari sudut pkamung Kanon, mungkin itu hal yang sama untuknya. Tapi pada akhirnya, rasanya sangat berbeda.

Aku akan sangat senang jika bisa dibeli dengan harga lebih rendah, tapi itu terus semakin tinggi setiap tahun tanpa ada tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat.

Keparat. Dasar Pajak Minuman Keras.

Namun, jika aku harus menyalahkan sesuatu tentang masalah perutku, itu lebih disebabkan oleh makanan ringan sebagai pendamping bir.

Faktanya, aku selalu makan sebelum tidur.

Aku tahu bahwa itu adalah kebiasaan buruk, tetapi jika bisa berhenti semudah itu, maka hal itu tidak akan terjadi sejak awal.

“Kamu dulu pria yang keren.”

“Saat aku makan lebih banyak saat itu, aku juga banyak berolahraga.”

“Eh ~ apa yang kamu lakukan?”

“Judo.”

“Tak kusangka. Atau tidak. Mungkin hanya seperti yang aku bayangkan, tetapi aku telah berpikir ada sesuatu yang berbeda tentang kamu sekarang daripada sebelumnya ...”

Apa apaan? Aku akan repot menerima reaksi seperti itu juga, tapi… Orang yang paling terkejut setelah semua otot itu berubah menjadi gumpalan lemak setelah berolahraga mungkin adalah aku, ‘kan?

“Sementara kita membahas topik itu, apa kamu punya rencana untuk terus berolahraga, Kazu-nii?”

“Hmm? Kau ingin aku menurunkan berat badan atau apa? ”

“Weeeell ~ Bukannya ini terlalu sia-sia?”

“…Apa maksudnya?”

"Hmmm ~ Tidak mau bagi tahu~.”

Seperti yang dikatakan Kanon, dia kemudian berlari ke depan.

“Tunggu, jangan lari! Aku sudah tidak muda lagi, lho!”

Aku mengejarnya tapi aku hampir tidak bisa mengikutinya.

Saat berlari, aku jadi ingat masa lalu. Dulu saat masih menjadi pelajar, aku mendedikasikan diriku untuk judo.

… Yah, aku berdedikasi.

 

*****

“Kami pulang~”

“Selamat Datang di rumah."

Setelah tiba di apartemen, aku melihat Himari di kamarku. Dia masih belum mengganti piyamanya. Dia masih dalam mode liburan penuh. Padahal, kurasa setiap hari seperti liburan untuknya.

Dia biasanya mengganti pakaian tidurnya jadi dia cenderung santai saja untuk hari ini.

“Maaf, kami terlalu lama.”

“Aku tidak keberatan sama sekali. Tentang smartphone-nya Kanon…”

“Itu sudah dibayar sehingga tak lama lagi akan kembali seperti semula.”

“Untunglah…”

Himari tampak lega dari lubuk hatinya. Mengkhawatirkan orang lain sejauh itu, dia memang anak yang baik.

“Kami mampir ke toko swalayan dan yang aku beli hanyalah bento dan makanan penutup. Punyamu Meat Doria. Kanon yang memilihkan itu untukmu jadi kalau mau memprotes, protes saja ke dia.”

“Padahal Kazu-nii yang memilih makanan penutup.”

“Bukankah itu bagus? Aku menyukainya. Ini Cheesecake dengan Extra Cream. Di antara makanan penutup yang keluar baru-baru ini, ini adalah yang terbaik. "

Aku sendiri suka makanan manis, tapi pergi ke toko kue sendirian adalah salah satu rintangan yang tidak dapat aku lewati.

Aku bersyukur kue itu sudah tersedia di toko swalayan. Aku pikir itu ada untuk faksi pria yang sangat menyukai makanan manis seperti diriku.

“Dari namanya saja, sudah terasa seperti bom kalori yang masif. Porsi yang cukup besar juga.” Sindir Kanon.

“Ahaha… Aku suka kue keju jadi aku senang kamu punya satu untukku.”

“Baguslah kalau kau menyukainya. Jangan biarkan makanannya jadi dingin.”

Dan sekali lagi, aku mengeluarkan makanan dan makanan penutup dari kantong plastik untuk tiga orang.

Himari membeku di tempatnya, menatap layar komputer.

Tangannya yang memegang pena tablet gambar tidak bergerak untuk beberapa saat. Matanya tidak melihat ke layar, tetapi dia melihat ke dalamnya dan mengenang pemandangan dari beberapa saat sebelumnya.

 

******

 

[Sudut Pandang Orang Ketiga]

Sejak Kazuki dan Kanon kembali, Himari Sudah menahan rasa tidak nyaman jauh di dalam dadanya.

Semuanya karena Kanon mmemanggil Kazuki sebagai Kazu-nii. Dia tidak pernah memanggil Komamura-san dengan namanya tapi mulai memanggilnya.

Tidak sulit untuk menebak bahwa sesuatu telah terjadi di rumah Kanon. Namun, mana mungkin Himari bisa menanyakan apa yang terjadi; mereka adalah sepupu. Himari tidak memiliki keberanian menanyakannya kari dia hanyalah orang luar.

Tepat sekali. Mereka memiliki ikatan darah.

Hati Himari dipenuhi dengan rasa kesepian. Ada ikatan antara keduanya yang tidak bisa dia ikuti. Itu bisa dimengerti bahkan tanpa memikirkannya.

Tidak baik jika dia tidak memahami fakta itu.

Namun… Dia berpura-pura tidak melihatnya.

Harga yang harus dibayar sekarang telah tiba.

“…”

Himari menggelengkan kepalanya.

Dia tidak perlu memikirkannya.

Yang perlu dia lakukan sekarang adalah menyelesaikan ilustrasi yang dia butuhkan untuk diserahkan untuk kompetisi. Alasan mengapa dia ada di sini adalah untuk mengejar mimpinya.

Dia sudah menyelesaikan satu dengan tema bebas, namun dia masih belum menyelesaikan satu dengan tema khusus. Itu sebabnya…

Himari mencoba menggerakkan tangannya ... namun dia tidak bisa mengerahkan tenaga untuk melakukannya. Pikirannya dipenuhi dengan mereka berdua. Seorang pria dewasa yang menawarkan bantuan padanya. Dia menyimpan rahasia jauh di dalam hatinya yang tidak boleh terungkap.

Kacamatanya besar, perutnya agak menonjol, dan penampilannya mungkin membosankan. Tapi Kazuki masih orang yang baik. Itulah alasan yang cukup bagi Himari untuk menyukainya.

Tapi Himari juga menyukai Kanon. Dia orang yang ceria, dia tidak memandang gambarnya dengan prasangka dan Kanon bahkan memperlakukannya sebagai gadis normal.

Dia bahkan orang yang mengusulkan untuk tinggal di sini sejak awal. Untuk itu, dia akan selalu bersyukur. Dia tidak bisa menahan perasaan buruk ini padanya.

Namun, meski begitu…..

Dia menyukai keduanya.

Merasa dadanya seakan-akan terkoyak, Himari mengubur perasaan buruk yang tumbuh di dalam dirinya.



<<=Sebelumnya   |   Selanjutnya=>>

close

3 Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama