Chapter 3 — 9 Juni (Selasa)
Pagi hari sudah menjelang. Dan
tentu saja, beberapa kejadian dramatis seperti dibangunkan oleh adik perempuanku
tidak pernah terjadi. Bahkan tadi malam, Ayase-san pergi mandi setelah aku
selesai, dan tidur setelah aku terlelap. Aku yakin dia juga bangun labih dulu
dariku.
“Gawat Yuuta, Ini gawat !!”
Ketika aku berjalan menyusuri
lorong, aku bertemu dengan badut yang memakai krim cukur sebagai riasan. Tidak,
itu salah, ternya itu ayahku yang sedang bersiap-siap untuk bekerja. Matanya
terbuka lebar, bahkan sampai mengeluarkan darah, saat Ia berlari dengan panik
menunjuk ke arah ruang tamu.
“Apa yang membuatmu panik?”
“Aku baru saja bercukur!”
“Ya, aku bisa melihatnya.”
“Dan kemudian, aku mendengar
suara yang mencurigakan datang dari arah dapur, jadi ketika aku pergi untuk
memeriksanya ...”
“Ya?”
Apa Ia menyaksikan aksi
pembunuhan? Aku hampir tidak bisa menahan jawaban seperti itu, ketika ayahku
melanjutkan dengan suara bergetar.
“Sa-Saki-chan… Dia sedang
membuat sarapan!”
“Kau mengatakannya seolah-olah itu adalah perkembangan yang mengejutkan.”
“Apa boleh buat! Aku tidak
pernah membayangkan sarapan yang dibuat oleh putriku sendiri!” Aku bisa melihat
air mata mulai menumpuk di sudut matanya.
Aku tahu Ia merasa bahagia,
tapi bisakah untuk tidak memercikkan busa ke mana-mana?
“Baiklah… Cepat cuci muka dulu,
oke.”
“Kau ini memang tak berperasaan.
Andai saja kamu bisa secantik Saki-chan. ”
“Secantik… Ayase-san?” Aku membayangkan wajahnya yang
datar dan dingin, dan memiringkan kepalaku dengan bingung.
Kuakui kalau wajahnya imut. Dia
pasti berada di peringkat atas. Tapi, masalah ini dan cantik adalah dua hal
yang berbeda jika kau bertanya kepadaku.
… Saat aku memikirkan sesuatu
yang kasar seperti itu, aku mendorong ayahkuku kembali ke kamar mandi, dan
menuju ke ruang tamu, lalu aroma lezat menggelitik hidungku.
“Telur ceplok?” tanyaku.
“Ini sangat biasa. Aku pikir kamu
takkan mengeluh tentang sesuatu yang sederhana.” Ayase-san menjawab dengan
tenang.
“Memang sih, tapi boleh aku
mengatakan satu hal?”
“Awalan yang terdengar seperti
aku akan mendengar keluhan setelah itu, tapi tentu, silahkan saja.”
“Kenapa kau membuat sarapan?”
Dia tidak membuatnya kemarin. Aku
selalu berpikir kalau sarapan di pagi hari cukup dengan roti panggang dengan
teh saja, tidak pernah melihat seseorang sampai memasak segala.
“Maksudku, ini bagian dari
kesepakatan kita”.
“Maksudmu yang kemarin? Kupikir
kita cuma memutuskan untuk makan malam.”
“Maksudku, kesepakatannya
memang begitu, tapi kupikir sebaiknya aku sekalian membuat sarapan. Ketika berbicara
tentang timbal balik, ini sudah menjadi kebijakanku untuk menjadi pihak yang
lebih banyak memberi.”
“Jadi begitu ya…”
Sungguh tulus sekali — atau, bisa
dibilang datar. Ayase-san mengenakan celemek di atas seragamnya, dengan
penggorengan di tangannya. Melihat adik perempuanku memasak untukku adalah pemandangan
yang sangat diimpikan oleh setiap cowok di dunia ini. Namun, seperti biasa,
kenyataannya jauh berbeda dari yang kau baca atau dengar.
Aku merasa agak bersalah
membuat Ayase-san melakukan ini, jadi aku memikirkan tentang apa yang bisa kulakukan
untuk membantunya, jadi aku berinisiatif menyeka meja makan. Ayase-san
mengintipku dari dapur, dan membuka mulutnya.
“…Makasih.” Memberikan rasa
terima kasihnya sedikit lebih canggung dari biasanya, dia membawa tiga piring
dengan telur goreng di atasnya.
Kupikir setidaknya cuma hal ini
yang bisa kulakukan karena kita adalah
keluarga, tapi kupikir kebijakan Ayase-san tetap mengharuskannya berterima kasih
padaku. Setelah telur ceplok disajikan, dia membawakan nasi putih dan sup miso,
yang membuat ruang makan dipenuhi dengan aroma yang sedap dan menggugah selera.
“Sejak kapan kau mempersiapkan
ini?”
“Tadi malam sebelum tidur ……
Yah, itu bukan hal yang besar.”
Dia mengatakannya seakan-akan
tidak ada yang istimewa, tapi buatku, itu terdengar seperti sangat merepotkan
bin ribet, jadi aku bahkan kesulitan meblasanya. Ayase-san dan aku duduk di
meja makan, saling berhadapan, menepukkan kedua tangan, dan mengucapkan terima
kasih atas makanannya, ketika ayahku berjalan ke meja makan, berpakaian
lengkap. Ia lalu duduk di meja makan bersama kami, dan mengamati makanan.
“Aku jadi ingin menangis…”
“Ahaha, Ayah tiri terlalu
melebih-lebihkan.” Ayase-san menanggapi dengan senyum masam.
Aku bisa melihat ekspresi yang
berbeda dibandingkan dengan ekspresi datar dan dingin yang biasa dia tunjukkan
padaku. Mungkin karena itu ke arah orang dewasa yang akan dia andalkan di masa
depan. Melihat jarak, atau jenis percakapannya, rasanya kseperti bukan
berurusan dengan adik tiri, dan lebih seperti istri yang baru saja mulai
tinggal bersama kami.
Pada akhirnya, ayahku terus
mengoceh tentang betapa lezatnya makanan itu, dan dengan cepat meninggalkan
rumah setelah menyelesaikan sarapannya sendiri. Sungguh, Ia sangat pemakan
cepat. Tapi, sejujurnya aku juga sama cepatnya, tapi kali ini, hanya butuh
waktu sedikit lebih lama.
“Apa rasanya tidak enak?”
Tentu saja, aku tidak berencana
untuk mengatakan alasannya, tetapi Ayase-san menatapku dengan cemas, sudah
mencapai kesimpulannya sendiri.
“Tidak, kok.”
“Kamu tidak perlu sungkan. Aku
akan mencoba memperbaikinya jika rasanya tidak enak.”
“Tidak, seriusan.”
Jika harus menebak, dia mungkin
memasak sesuai resep, tidak mencoba pengaturan aneh sama sekali, memastikan
bahwa semuanya sudah diatur dengan sempurna, dan rasanya juga enak. Tentu saja,
jika rasanya benar-benar tidak terlalu enak, sangat cocok untuk semua hal klise
adik perempuan di anime dan manga, tapi bukan itu masalahnya.
Jika ya, lalu mengapa sumpit aku
bergerak lebih lambat dari biasanya? Alasannya sederhana, dan aku menjelaskan
padanya sambil memasukkan nasi ke dalam mulutku.
“Hanya saja, aku terbiasa memakan
telur ceplok dengan kecap… itu sebabnya.”
Cuma itu saja masalahnya. Telur
ceplok buatan Ayase-san dibumbui garam dan merica, dan tidak menggunakan bahan
lain. Tentu saja, garam dan merica bukanlah sesuatu yang aneh, jadi aku bisa
memakan telur goreng ini dengan sempurna, tapi jika telor ceplok ini dibumbui
dengan sedikit kecap, rasanya akan jauh lebih enak.
“Kecap dengan telur ceplok… Aku
tidak pernah memikirkan itu…” gumam Ayase-san.
Justru aku yang lebih terkejut
karena dia memakan telur ceploknya hanya dengan garam dan merica. Ekspresi
Ayase-san tidak banyak berubah, tapi suaranya membuatnya terdengar seperti dia
sedikit sedih.
“Maaf, aku bahkan tidak
memikirkan seleramu, dan membuatnya seperti aku akan memakannya.”
“Tidak, tidak, tidak, ini
bukanlah sesuatu yang perlu kau sesali. Jika pun ada, aku merasa tidak enak
karena tidak memberitahumu sebelumnya, dana mengeluh seperti tadi.”
“Aku akan bertanya lain kali.”
“Ya, aku akan memberimu
informasi yang tepat juga.”
Itu sebabnya, tak satu pun dari
kami yang mengatakan lebih dari itu. Kami hanyalah dua orang yang mencoba
mengatur sesuatu demi keuntungan dan kenyamanan yang lain. Sejujurnya, rasanya
tidak buruk. Dari perspektif orang luar, percakapan kita mungkin tampak monoton
dan seperti robot. Tapi, di sanalah aku merasakan rasa lega dan santai.
Setelah menghabiskan waktu
bersama di pagi hari, Ayase-san dan aku meninggalkan rumah kami lagi pada waktu
yang berbeda. Hal ini sebagai tindakan pengamanan untuk memastikan tidak ada
rumor aneh yang muncul di sekolah, dan juga kami takkan terlalu dekat satu sama
lain. Meski kami menjadi keluarga, dia masih lawan jenis, terlebih lagi sebaya. Saling perhatian satu sama lain di
rumah sih tidak masalah, tapi menyadari hal ini di luar bisa sangat melelahkan.
Kau harus menghargai waktu yang
kau miliki. Karena kami berdua menghormati ide ini, aku merasa kami juga bisa
bergaul dengan baik di masa depan.
“Antara cryptocurrency dan youtuber, mana menurutmu yang lebih baik?”
“Aku pikir lebih baik kau
menyerah saja.”
Waktunya sedikit sebelum jam
pelajaran dimulai. Saat menghadapi pertanyaan yang aku ajukan kepada teman
terpercayaku Maru, Ia membalasnya dengan nada dingin dan kasar.
“Catcher klub bisbol memang beda, penilaian cepat.”
“Semua orang pasti akan
menjawab begitu. Kenapa kau menanyakan itu, Asamura? ”
“Aku sedang mencari metode
untuk menghasilkan uang secara efektif dengan waktu sesingkat mungkin.”
Aku dengan hati-hati memilih
kata-kataku dan hanya menyampaikan informasi seminimal mungkin. Aku tidak bisa
mengingkari janjiku dengan Ayase-san, dan aku juga tidak bisa memberitahunya
tentang percakapanku dengannya, jadi aku harus sangat berhati-hati. Tentu saja,
hal tersebut tidak cukup untuk meyakinkan Maru, karena Ia melirikku dengan
curiga.
“Asamura… apa kau sedang dikejar
rentenir atau semacamnya?”
Kenapa kau malah
menyimpulkannya dengan skenario terburuk?
“Aku tidak terlibat dalam
kejahatan atau semacamnya. Maksudku, tidak peduli perusahaan atau bisnis besar
apa yang mungkin kau jalani, jaman sekarang tidak yang namanya hal pasti, dan
menjadi PNS tampaknya sulit untuk dilakukan. Aku lagi berpikir untuk menabung
uang sebanyak mungkin sekarang.”
“Pemikiranmu terlalu jauh.”
“Jika mungkin, aku ingin
mendapatkan uang tanpa menggunakan kencan berbayar.”
“Itu ada dalam kisaran
pilihanmu? ... Hm?” Dari kedalaman kacamatanya, Maru menatapku dengan ragu.
“Kemarin kau bertanya padaku tentang Ayase, dan sekarang kau mencari pekerjaan
sambilan yang tidak jelas ... Jangan
bilang kalau kau— ?”
“Tidak, ini bukan seperti yang
kau pikirkan.” Aku langsung menyangkalnya.
Karena aku melakukan itu bahkan
sebelum dia dapat menyelesaikan asumsinya, mungkin kedengarannya lebih
mencurigakan daripada apa pun, tetapi aku tidak bisa duduk diam tanpa segera
menghentikannya. Maru menatapku, saat aku menelan ludahku, Ia hany membuka
mulutnya perlahan.
“Menyerah saja. Mana ada yang
mau menyewa germo macam kau, oke. Cobalah melihat dirimu di cermin, Bung. ”
“… Fiuh.” Aku menghela nafas
lega.
Aku merasakan semua ketegangan
di tubuhku menghilang, ke tingkat di mana aku bahkan tidak merasa ingin
membalas ejekannya itu. Terima kasih sudah menjadi orang tidak peka pada saat seperti
ini, Maru.
“Kau pasti mengolok-olokku di
dalam kepalamu, ‘kan?”
“Tidak kok.” Aku berbohong.
Tidak, aku tidak berbohong. Aku
tidak mengolok-oloknya, aku berterima kasih padanya. Stereotip adalah sesuatu
yang menakutkan, aku berani mengatakannya. Dengan kacamata, dan sebagai cathcer klub bisbol, teman baikku
tampaknya ahli dalam hal observasi, dan memiliki kemampuan menebak yang hebat.
Namun, Ia bahkan tidak bisa membayangkan Ayase-san berada dalam konteks yang
sama dengan 'Adik perempuan'. Episode ini memberitahuku bahwa gadis yang ragu
melakukan kencan berbayar sama sekali tidak bisa menjadi 'Adik perempuan' di
mata orang lain.
“Pokoknya,” Maru memulai
kata-katanya, mengangkat satu jari untuk memulai ceramahnya. “Pertama-tama,
jangan pernah berpikir kalau kau bisa menghasilkan banyak uang dalam waktu
singkat dengan menjadi youtuber atau melakukan cryptocurrency. Pemikiran
seperti itu sangatlah naif.”
“B-Benarkah?”
“Tentu saja. Untuk bisa untung
besar, kau perlu menginvestasikan banyak waktu. Sama seperti olahraga apa pun,
ini juga taruhan tentang bagaimana dan di mana kau memukul bola.”
“Ahh, kurasa itu masuk akal.”
Karena Maru, yang sudah lama berlatih
bisbol, mengatakannya, anehnya terdengar meyakinkan. Namun, di saat yang sama
ketika aku menemukan alasan dari kata-katanya, ada juga kontradiksi yang
menarik perhatianku.
“Tapi, jika ada orang yang
bertaruh puluhan tahun lalu akhirnya mendapatkan banyak uang, ada juga yang
bisa mencapainya hanya dalam waktu setahun, bukan? Apa yang membedakan
keduanya? Aku tidak berpikir kalau waktu yang mereka investasikan.”
“Karena aku bukan seseorang
yang menghasilkan uang dalam jumlah besar, aku tidak dapat memberitahumu, tapi
mungkin ada beberapa trik di baliknya.”
“Trik, ya…”
“Mungkin hanya sikap mentalmu.
Kedua orang tuaku adalah fanatik dalam sejarah, jadi aku sudah diberi tahu bermacam-macam
cerita dari periode Negara-negara Berperang hingga Tiga Kerajaan, jadi aku
mendapatkan banyak pengetahuan tentang itu, tapi— ”
“Terkadang kau terdengar
seperti Zhuge Liang saja.”
Selama satu tahun aku mengobrol
dengan Maru, aku dapat melihat kalau Ia lumayan cerdik juga. Selama festival
olahraga bola tahun lalu, dia mengumpulkan informasi tentang kelas-kelas lain,
dan mengajari orang. Berkat itu, kelas kami berhasil dengan mudah mendapatkan
juara pertama. Itu mungkin juga menjadi alasan mengapa Ia bisa menempati posisi
catcher di klubnya.
“Ini bukan sesuatu yang besar,
tapi ... Yah, dasar-dasar perang telah tertanam dalam diriku.”
“Contohnya?”
“Informasi dan pengetahuan
adalah senjata terbesarmu.”
“Kenali musuhmu, kenali dirimu,
dan kau akan menang pada seratus pertempuran?”
“Sesuatu seperti itu. Informasi
tentara musuh, lokasi geografis, senjata yang mereka gunakan, dan berapa jumlah
mereka, pengalaman dalam pertempuran praktis — mereka semua terdengar seperti
info sepele, tetapi jika digabungkan, mereka menjadi senjata yang kuat. Tapi,
meski begitu, tentara yang pintar dengan kapak tidak bisa menang melawan
senjata api.”
“Begitu rupanya, jadi kau
membandingkannya dengan mendapatkan uang ... Kau ingin mengatakan kalau aku kurang
pengetahuan tentang uang?”
“Bisa jadi. Aku merasa semakin kau
tahu tentang cara kerja masyarakat, dan situasi pasar, semakin tinggi peluangmu
untuk sukses? ... Entah sih. ” Ia berbicara dengan semua pengetahuan, lau jadi
tidak meyakinkan di saat-saat terakhir.
Sangat mirip dengannya untuk
memberi nasihat dengan contoh-contohnya sendiri, hanya untuk tidak membuatnya
terdengar seperti metode yang sempurna pada akhirnya. Aku dengan cermat
mendengarkan semua yang Ia katakan, dan membuat catatan mental untuk nanti.
Setelah sekolah selesai, aku
pergi mengendarai sepedaku, dan langsung menuju ke toko buku tempatku bekerja .
Tempatnya terletak tepat di depan stasiun kereta Shibuya, banyak anak-anak muda
serta pekerja dan pebisnis mengunjunginya, sehingga puncak kesibukan terjadi
sekitar pukul 6 hingga 7 malam. Namun, begitu bisa mengatasinya, keadaan
cenderung sedikit tenang, dan jumlah orang yang sedang shift turun menjadi
empat.
Kira-kira pada jam 8 malam, dua
pekerja memasuki waktu istirahat selama satu jam, jadi cuma ada aku dan
Yomiuri-senpai. Yomiuri-senpai berdiri di belakang mesin kasir sambil menguap,
saat aku — bertingkah seperti sedang bekerja di rak, dan malah mencari buku
yang aku cari.
Pertama-tama, aku butuh
pengetahuan tentang uang. Tentang ekonomi, menjalankan bisnis, dan pembangunan
kapitalisme. Sejujurnya, semua judul terdengar sangat mirip, jadi aku tidak
bisa membedakannya, jadi aku memilih sesuatu yang terdengar agak dapat
dipercaya. Aku mungkin juga mengambil beberapa majalah yang bisa memberi
informasi tentang tempat kerja dengan banyak uang dan mudah. Mencari tahu lewat
internet juga bisa menjadi salah satu pilihan, tetapi aku tidak ingin bertemu
dengan majikan yang mencurigakan. Tentu saja, yang ada di majalah juga bukan
yang paling aman, tapi lebih baik berjaga-jaga daripada tidak.
…Baik. Aku membawa buku-buku
itu ke kasir. Di sana—
“Hei sekarang kau masih kerja,
tidak boleh menyimpan buku untuk dirimu sendiri. . ” Bersama dengan suara
peringatan, seseorang menepuk pundakku dengan jarinya.
Tentu saja, itu Yomiuri-senpai.
“Ah, maafkan aku.”
“Cuma bercanda kok ~ Tidak ada
yang peduli dengan aturan itu, jadi jangan pedulikan aku. Manajer toko bahkan
melakukan itu. Selama kau tidak menyimpan beberapa novel super populer, atau
rilisan baru, semuanya oke-oke saja ~ Pikirkan saja secara rasional, iya ‘kan?
” ujar Yomiuri-senpai sambil tertawa.
Dia mungkin terlihat seperti
sosok ideal seorang Yamato Nadeshiko, tapi orangnya cukup santai. Aku masih
ingat bagaimana dia akan selalu mengeluh bahwa begitu dia berhenti bersikap sopan
dan pantas, jumlah cowok yang menembaknya jadi turun drastis.
Jika kau wanita gampangan,
mending warnai saja rambutmu dan berikan kesan itu kepada orang lain — sering
kali merupakan keluhan, dan aku dapat memahaminya. Dalam hal tertentu, dia
kebalikan dari Ayase-san, yang cukup konyol. Jadi hal klise sedang menuju jalan
kehancuran, ya.
“Jadi, Kouhai-kun, apa yang ingin
kamu beli?”
“Bisa tidak jangan mengganggu
privasiku seperti itu?”
“Reaksi itu… Buku porno, ya~?”
“Aku tidak akan berani membeli
majalah porno ketika masih berjuang untuk bisa bergaul dengan adik perempuanku
... Selain itu, aku belum genap 18 tahun, jadi toh aku belum bisa membelinya.”
“Kalau begitu, tunjukkan saja…
apa!”
“Ah.”
Dia mencuri buku-buku dariku
saat aku lengah.
“Hmm… Hmmm hmm… Mmm ??” Dia melihat
sekilas ke berbagai sampul buku, dan menunjukkan ekspresi penasaran. “Aku tidak
pernah tahu kamu begitu tertarik untuk mendapatkan kekayaan. Apa kamu orang
yang selalu seperti ini? ”
“Tidak terlalu juga.” Aku
langsung membantah anggapan tersebut.
Tapi, mengungkapkan keinginan
pribadi Ayase-san terasa tidak sopan, jadi aku memutuskan untuk hanya
mengungkapkan detail yang paling penting.
“Setelah aku lulus SMA, aku
ingin pindah, dan hidup sendiri. Itulah mengapa aku perlu menghasilkan uang
sebanyak mungkin.”
“Tapi, bukannya itu alasanmu
bekerja sambilan di sini?”
Sial, aku tidak bisa mengatakan
apa-apa tentang itu…
“Um, baiklah. Jumlah uang yang aku
miliki masih belum cukup, dan aku senang bekerja di sini karena aku menukai
buku, meski bayarannya tidak terlalu besar. ”
“Ah, begitu rupanya.”
“Mendapatkan adik perempuan baru
di usia sekarang, aku tidak ingin tinggal di rumah keluargaku. Tidak mau
membebani mereka sekarang.”
“Begitu ya?” Dia memberi
komentar dengan nada dan ekspresi yang agak kosong.
“Apa Senpai meragukanku?”
“Aku memahami kalau kamu ingin
mencoba mandiri, tapi menjadikan adik perempuanmu sebagai alasan pasti salah, iya
‘kan?” Dia berbicara dengan nada yang cukup serius.
Aku hanya dengan nilai-nilai
Ayase-san, dan bahkan aku terkejut.
“Ini tentang perasaanku
sendiri, kan?”
“Maksudku, kamu tidak konsisten
dengan logikamu.”
“Benarkah?”
“Maksudku, itu sia-sia.”
“Eh?”
Kata yang keluar dari mulut
Yomiuri-senpai membuatku terkejut, dan mataku terbuka lebar.
“Supaya kamu tidak merepotkan
orang lain, penalaran seperti itu… Aku rasa kamu tidak bisa menjadi orang yang
menghasilkan banyak uang hanya dengan membaca semua buku ini.”
“Maaf, tapi logika kita telah
melompat begitu banyak, aku tidak bisa mengikuti sama sekali. Bisakah kau
mengatakannya dengan kata-kata yang bisa aku pahami?.”
“Seorang adik seusiamu merupakan
lebih dari aset. Dan, gaya hidup yang tidak bergantung pada hal itu sama saja
seperti kau mengikat lengan dan kakimu.” Dia mengatakannya dengan datar, tapi
nadanya tajam.
Kenyataannya, Ayase-san adalah
orang yang ingin hidup tanpa bergantung padaku atau ayahku, tetapi karena aku
setuju dengan idenya, kata-kata tersebut langsung menusuk ke hatiku.
“Menurutmu, mengapa uang itu diperlukan?”
“Maksudku, kau tidak bisa hidup
tanpa uang ‘kan?”
“Apa benar cuma itu
masalahnya?”
“Apakah itu pertanyaan retoris?
Maksudku, kau membutuhkannya. Pakaian - Makanan - Tempat tinggal, ketiganya
adalah kebutuhan dasar kita sebagai manusia, dan masing-masing membutuhkan
uang.”
Itulah kapitalisme.
“Hmm, begitu. Kemudian, mari
kita umpamakan secara ekstrem. Seorang bayi yang tidak bisa menghasilkan uang,
akankah dibiarkan mati begitu saja?”
“Itu benar-benar terlalu
ekstrim.”
“Pada kenyataannya, seorang
bayi bisa hidup meski tanpa menghasilkan uang, ‘kan?”
“Karena orang tua yang
menanggung biayanya, ya.”
“Itu benar, karena sedang
ditolong ... Jadi, mengapa orang dewasa tidak bisa hidup seperti itu? Bukankah
itu bagus?”
“Menurutku tidak semudah itu.”
Jika semua orang mulai meminta
bantuan, aku yakin masyarakat akan runtuh. Orang dewasa harus melindungi
anak-anak, dan begitu kau bisa menghasilkan uang sendiri, kau akan dilindungi
oleh masyarakat ini.
“Maksudku, lebih banyak orang
dewasa yang ingin menjadi bayi lagi, ‘kan.”
“Aku tidak berpikir kau harus
menyama-ratakan itu.”
Di media sosial dan di mana
pun, aku dapat melihat orang-orang memperlakukan karakter 2D sebagai Mama
mereka, atau konten yang menunjukkan orang dewasa kembali ke anak-anak seperti
yang mereka inginkan. Namun, meski kau mengingatnya, kau tidak boleh hanya
menyamakannya kalau ini adalah kasus untuk setiap orang dewasa di luar sana ...
Atau, setidaknya aku berharap demikian.
“Aku tidak pernah mengatakan
semuanya ~ Tapi, fakta bahwa konten seperti itu terus bermunculan adalah karena
ada orang yang benar-benar menginginkannya, kan.”
“Itu… benar, sih.”
“Awalnya, kita semua masih
bayi, namun begitu kita dewasa, itu tidak boleh begitu. Bukankah itu lebih
kejam?”
“…Aku rasa begitu.”
“Ini perumpamaan ekstrim lainnya,
tapi jika seseorang menyediakan pakaian, makanan, dan tempat untuk tidur… jika
seseorang membantumu seperti itu, maka kamu bisa hidup tanpa uang, kan?”
“Jadi penghasilan dasar berbeda
dari uang?”
“Cerdas sekali~”
“Tolong hentikan itu.”
Aku tidak menyangka akan
diperlakukan seperti anak keren yang menggunakan kata-kata yang baru mereka
pelajari baru-baru ini. Belum lagi aku mendengar istilah itu dari buku yang
Yomiuri-senpai pinjamkan padaku, jadi menurutku dia tidak berhak mengajariku.
Tapi, dia hanya menunjukkan senyuman, tidak mengganggu pikiranku.
“Jika kamu tidak bisa hidup
sendiri, kamu hanya perlu meminta bantuan orang lain. Atau, setidaknya itulah
pendapatku.”
“Bahkan jika mereka berakhir
sebagai beban?”
“Ada orang di dunia ini yang
menyukai gadis seperti itu, tahu?”
“Untuk kepentingan pribadi, ya,
tapi secara umum…”
“Mungkin itu bukan tipemu,
Kouhai-kun.”
“... Aku tidak begitu
mengerti.”
Setidaknya, menurutku Ayase-san
tidak menyukai cowok yang menjadi beban… Atau begitulah yang ingin kukatakan,
tapi aku belum terlalu mengenalnya, jadi dalam kedua kasus tersebut, ini adalah
pertanyaan yang tidak memiliki jawaban.
“Bagaimanapun, begitulah cara uang
bekerja. Jika kamu memilikinya, itu bagus, dan jika tidak, kamu harus mencari
seseorang untuk membantumu. Agar seseorang datang untuk membantumu saat kamu membutuhkannya,
selalu mencari seseorang yang mungkin membutuhkan bantuan. Aku pikir lebih baik
mengingatnya, daripada membaca beberapa buku ekstrem semacam itu.”
“Aku ragu hal itu.”
“Semua perusahaan di dunia ini,
ada lebih banyak karyawan yang kompeten daripada presiden perusahaan yang
hebat.”
“Itu adalah pernyataan yang
luar biasa.”
“Tapi itulah kenyataannya.
Presiden perusahaan kaya kebetulan pandai diselamatkan, itu saja, anak muda.”
“Rasanya sangat payah bagaimana
kau bertindak solah-olah tahu semua itu.”
“Kembang kampus selalu punya
satu atau dua sugar daddy.”
“Eh?” Aku tanpa sadar membeku.
Tentu saja, bukan karena aku
memiliki perasaan padanya, tapi karena dia selalu bekerja di shift yang sama
denganku, aku jadi tahu beberapa hal mengenai Yomiuri-senpai. Namun, yang
namanya terkejut tetaplah terkejut. Persis seperti yang terjadi ketika aku
mendengar rumor bahwa Ayase-san mungkin menjual tubuhnya. Mungkin itu hanya
karena aku masih perjaka, entahlah.
Namun, setelah beberapa saat
keheningan, Yomiuri-senpai menunjukkan senyum usilnya padaku.
“Cuma bercanda ~”
“Dasar lonte.”
Bahasa sopanku benar-benar
rusak.
“Tapi teman di kampus ada yang
melakukan itu. Tampaknya orang-orang dengan banyak uang pandai meminta bantuan
orang lain. Apalagi, setiap kali aku bertemu dengannya, dia selalu memamerkan
beberapa barang baru dengannya. Dari pakaian hingga tas tangan, itu benar-benar
menakjubkan.”
“Wow.”
Rasanya seperti aku barusan mengintip
sisi gelap kehidupan kampus.
“Ngomong-ngomong, sebelum mengandalkan
buku seperti itu, kenapa tidak mengandalkan keluargamu dulu?” Dia mengedipkan
mata, dan mulai menyambut pelanggan yang baru saja masuk.
Pada akhirnya, aku pulang hari
itu tanpa membeli satu buku pun, sepenuhnya dipengaruhi oleh nasihat Senpai
yang suka menggoda itu.
“Aku pulang, Ayase-san.”
“Selamat datang di rumah,
Asamura-kun.”
Seperti biasa, adik tiriku
menyambut saat aku kembali ke rumah, karena aroma bahan makanan yang
menggelitik hidungku. Ketika aku datang ke ruang tamu, aku melihat Ayase-san sedang
melakukan tugasnya di dapur. Aku tidak tahu apakah dia baru saja pulang, atau
dia tidak mau repot-repot mengganti pakaiannya, tapi dia mengenakan celemek di
atas seragamnya, mengaduk-aduk isi panci.
“Kerja bagus buat pekerjaanmu.
Apa kamu mau segera makan? ”
“Iya, makasih. Aku akan
menyiapkan piringnya.”
“Ah, tidak perlu repot-repot,
kamu pasti lelah dengan pekerjaanmu.” Ucap Ayase-san, tepat saat aku
mengeluarkan beberapa piring.
Ketimbang menjadi saudara tiri,
percakapan tadi lebih terasa seperti kita adalah sepasang pengantin baru…
Astaga, apa yang barusan aku pikirkan. Aku mencoba menghilangkan pikiran aneh
itu, dan selesai mempersiapkan makan malam dengan Ayase-san, duduk di meja
makan, saling berhadapan. Hidangan utama hari ini adalah kari. Banyak sayuran yang
digunakan, membuatnya terlihat seperti kari yang cukup sehat. Selain itu, dia bahkan
menyiapkan salad. Saat membawa sayuran dengan bumbu di mulutku, mataku terbuka
lebar.
“Lezat…!”
“Begitu ya, aku senang
mendengarnya.”
Aku memujinya dengan jujur.
Terus terang saja, karinya cukup enak sehingga cuma kata itu yang bisa
menggambarkannya. Kari buatannya bukanlah sesuatu yang dibuat oleh seorang
amatir, yang mengikuti resep dan menggunakan bahan-bahan pasar.
Jika kau tidak menggunakan
berbagai macam bumbu, dan membuat perhitungan mendetail untuk merebus sayuran, kau
tidak akan membuatnya seenak ini untuk digigit. Hal yang sama berlaku untuk
nasinya, karena bisa dikunyah dengan sangat lancar.
Ayase-san menunjukkan reaksi
tenang seperti biasa, tapi kupikir dia tidak membenci pujianku, karena sudut
mulutnya sedikit terangkat, sementara dia membawa kari ke mulutnya. Saat bumbu
itu menyentuh lidahnya, alisnya berkedut sedikit, dan aku menyadari bahwa dia
bahkan memiliki ekspresi layaknya manusia normal.
“Aku tak berpikir kau akan
membuat kari selezat ini.”
“Begitu ya. Namun, aku akan
memberi nilai 70 poin.”
“Kamu masih bisa membuatnya
lebih enak lagi?”
“Aku tidak punya banyak waktu
untuk membumbui dagingnya, jadi aku masih bisa membuatnya lebih baik. Maaf
tentang itu.”
“Membumbui dagingnya.” Aku
hanya menggumamkan kata-kata yang baru saja kudengar.
“Eh, apa? Kamu ingin aku
menjelaskannya? ”
“Aku tidak memiliki pengetahuan
tentang memasak ... Hal yang aku tahu cuma kau memasak kedua sisi daging.”
Dari sudut pandangku,
pengetahuannya tentang memasak membuatnya tampak seperti dia berasal dari dunia
yang berbeda.
“Yah, tentu.” Ujarnya, dan
memulai penjelasan. “Kalau membeli daging di pasaran, rasanya masih agak meh, atau baunya bisa menyengat hidung.
Menggunakan garam, merica, atau bawang putih, rasanya jauh lebih enak. ”
“Ohh… pengetahuan yang
berharga.”
“Cuma tips-tips yang aku dapat
dari internet. Kebanyakan hal yang baru saja aku pelajari di situs resep. ”
Balasnya dan menyatakan bahwa dia mempelajari sebagian besar dari ini sendiri,
tanpa bantuan orang lain.
Itu benar-benar menunjukkan
bahwa keinginannya untuk hidup mandiri bukan hanya keinginan sesaat. Berpikir
sejauh itu, aku punya beberapa kata sendiri.
“Tentang metode menghasilkan
uang dengan cepat dan mudah.”
“Begitu ya, jadi kamu sudah
mencarinya.”
“Ya. Tapi, aku tidak dapat menemukan
apa pun. Maaf, padahal kau sudah membuatkan makanan dua kali untukku. ”
“…Jadi begitu ya. Yah, kupikir
tidak akan semudah itu.” Ayase-san dengan lembut menurunkan bahunya karena kekalahan,
tapi kekecewaannya tidak sedalam yang aku duga.
Aku cukup yakin dia sudah
mencoba mengumpulkan informasi sendiri sebelum bertanya kepadaku, dan menyadari
bahwa menemukan pekerjaan seperti itu terlalu mudah untuk jadi kenyataan.
“Aku baru saja mendengar
tentang atribut khusus mengenai orang-orang yang akhirnya kaya.”
“Huh, kedengarannya sangat
menarik.”
“Bahkan aku penasaran ketika
mendengarnya.”
Di sana, aku menjelaskan apa
yang dikatakan Yomiuri-senpai kepadaku, dan menekankan hal penting untuk mengandallkan
orang lain. Setelah mendengarkan penjelasanku, mata Ayase-san terpancar dengan
rasa penasaran.
“Jadi kamu punya gadis yang
dekat denganmu, Asamura-kun.”
“Eh, hanya itu yang kamu
dapatkan dari penjelasan tadi?”
“Ah maaf. Hanya saja, tahu
sendiri, rasanya tidak kusangka.”
“Dan sekarang kamu mengejekku.”
“Aku bilang maaf, oke.”
Saat aku menunjukkan
ketidaknyamanan diperlakukan seperti perjaka, Ayase-san menunjukkan senyum
masam. Tentu saja, kontak fisikku dengan perempuan sejauh ini berada di titik
nol, jadi apa yang Ayase-san katakan juga tidak salah.
“Aku benar-benar mengira kamu
membenci perempuan atau semacamnya.”
“Tidak terlalu juga. Justru,
kenapa kau berpikiran seperti itu? ”
“Karena situasi kita sangat
mirip, aku pikir itulah yang terjadi.”
Begitu,
jadi Ayase-san membenci perempuan — Tentu saja, aku tidak akan
bercanda seperti itu. Menilai dari pilihan kata-katanya, dia mungkin melihat
orang tuanya tidak akur. Dia tidak pernah memiliki keterikatan yang kuat dengan
ayah kandungnya, dan sedang memikirkan sesuatu yang mirip denganku dengan ibu
kandungku sendiri. Separuh dari itu benar, karena aku sangat buruk dalam
berurusan dengan ibu kandungku.
“Tapi, ini ya ini, dan itu ya
itu. Hanya karena kau tiak suka dengan satu orang bukan berarti kau mulai
membenci semua wanita. ”
“Begitu ya. Sejujurnya, itu bagus.” Ujar Ayase-san, mengagumi kata-kataku, lalu melanjutkan
dengan nada ringan. “Aku mendukungmu.”
“…Mendukung apa?”
“Kalian berdua. Dia punya penampilan
menarik, nyaman untuk diajak bergaul, dan seorang wanita yang lebih tua,
bukan?”
“Itu benar, sih?”
“Menurutku kalian berdua
cocok.”
“Ehhh?”
Karena dia memberitahuku dengan
senyuman menggoda, tubuhku jadi menegang. Memang benar kalau Yomiuri-senpai
adalah wanita cantik yang memikat, dengan payudara besar, dan lebih tua dariku,
tapi aku tidak pernah tahu apa yang dia pikirkan, dan tidak bisa lengah
terhadapnya. Aku merasa seperti aku bisa menjadi diriku sendiri di dekatnya, tapi
ketika aku sudah lelah, berbicara dengannya bisa jadi merepotkan.
“Kenapa wajahmu terlihat sangat
jijik? Dari apa yang aku dengar, dia itu pintar dan orang yang hebat. ”
“Yah, aku tidak menyangkalnya
...” Aku menutup mulutku.
Aku tidak dapat mengatakan
kepada Ayase-san bahwa aku akan kelelahan hanya dengan berpacaran dengan Yomiuri-senpai,
karena itu akan membuatku menjadi bajingan.
“Ahh, apa yang harus
dilakukan.” Ayase-san meletakkan sendoknya. “Apa yang dia katakan ada benarnya,
tapi aku masih ingin mandiri.”
“Kau sepertinya sedang
terburu-buru. Kau bahkan tidak mau bergantung padaku atau ayah?”
“Tidak, kalian berdua adalah
orang baik, dan aku yakin kamu pasti akan membantuku jika aku meminta bantuan.
Tapi… ” Dia berhenti sejenak. “Semuanya akan lebih mudah jika kalian berdua
adalah orang jahat.”
“Apa…..yang kau…..”
“Maaf. Aku tidak boleh
mengatakan itu… Terima kasih untuk makanannya. ” matanya terbuka lebar, dan
meski makanannya belum habis, dia membawa piring itu bersamanya.
Aku merasa ingin memanggilnya
ketika dia praktis lari ke dapur, tapi menahan diri. Kami belum menghabiskan banyak
waktu sejak kami menjadi saudara, tapi aku tahu bahwa dia tidak ingin
membicarakan topik itu lagi, bahkan bagi orang yang sedungu diriku.
Aku merasa seperti aku akan
dipaksa untuk pergi tidur dengan perasaan muram lagi malam ini. Menyadari hal
itu, aku menyantap kari yang tersisa. Yup, enak sekali walaupun kurang sedikit
bumbu buat lidahku.
“Sepertinya aku tidak bisa
tidur nyenyak malam ini…”
—Mulai dari kesimpulan, aku
bisa tidur nyenyak. Alasannya adalah Ayase-san, yang datang ke kamarku saat aku
berniat tidur di kasurku.
“Apa ini?”
“Lilin aromatik dan masker
tidurku. Aku khawatir kamu tidak bisa tidur karena apa yang aku katakan tadi.”
Benar-benar perhatian. Meski
cara bicaranya selalu datar, dan tidak pernah menunjukkan ekspresi apapun, aku
bisa melihat rasa simpati dan kebaikannya di balik kedok itu, dan rasanya
seperti aku mempelajari sisi lain yang diperlihatkan Ayase Saki.
<<=Sebelumnya | Selanjutnya=>>
Kek shina ama mahiru njay
BalasHapusAnjir manteb
BalasHapusagak mencurigakan " semuanya akan lebih mudah jika kalian berdua adalah orang jahat" kah...
BalasHapusentah kenapa gw lebih ke senpai dari pada si ayase. Gw bukan pengila onee san ðŸ˜
BalasHapusIni kalo di dunia real
BalasHapusTipe cewe2 petingkat atas kelas
Kalo dr oengalaman ku sih ...
Mending jgn ditembak, biar berasa wkk
Iya bang tau, bukan onesan tp milf kan. Gw dukung bang. Tp yg msh sma buat gw ya wkk
BalasHapusApa maksudnya "semuanya akan lebih mudah jika kalian berdua adalah orang jahat"?
BalasHapusbeuh
BalasHapusIn my opinion, kan tujuan saki itu agar bisa hidup mandiri tanpa perlu bergantung pada orang lain, nah karna yuta ama ayahnya orang baik yg pasti bakal selalu nolongin saki klo dia butuh bantuan..nanti takutnya tujuan saki bakal goyah dan jadi seseorang yg terlalu mengandalkan orang lain (yg dimana ini bertentangan dgn tujuan saki) lain cerita klo mereka orang jahat, klo seandainya mereka jahat otomatis mereka gabakal peduli apalagi nolongin saki klo lagi butuh bantuan yg dimana hal itu bakal ngebuat saki lebih yakin ama tujuan hidupnya yakni "ingin berdiri sendiri dan gk mengharapkan apapun dari orang lain". Ya intinya gitu lah sorry klo kepanjangan wkwk
BalasHapus