Gimai Seikatsu Vol.1 Chapter 04 Bahasa Indonesia

Chapter 4 — 10 Juni (Rabu)

 

Alasan kenapa aku tidak pernah menyebutkan kegiatan pagiku berangkat ke sekolah dalam buku harianku hanyalah karena pemandangan yang tidak pernah berubah, tidak menawarkan minat yang dapat dinikmati oleh pembaca mana pun. Dengan kata lain, jika aku menyebutkan perjalananku ke sekolah seperti yang aku lakukan sekarang, maka itu berarti ada sesuatu yang merangsang ingatanku ke tingkat di mana aku menganggap kejadian itu cukup penting untuk dituliskan.

—Seperti yang bisa kalian tebak, hari ini peristiwa seperti itu terjadi selama aku berangkat ke sekolah.

Biasanya, metodeku buat berangkat ke sekolah terdiri dari dua cara. Yaitu, jalan kaki, atau bersepeda. Jarak jalan kaki dari rumah ke SMA Suisei memang tidak terlalu jauh, jadi aku masih bisa meluangkan waktu dalam perjalanan, tapi saat ada pekerjaan setelah pulang sekolah, aku cenderung menggunakan sepeda. Namun ada pengecualian, misalnya saat cuaca buruk, dan aku memutuskan untuk berjalan kaki.

Jika ada peringatan topan, hari bersalju, musim hujan, atau hanya ramalan cuaca yang mengatakan akan hujan, aku tidak memaksakan diri, dan berjalan kaki. Ada masanya ketika aku memilih untuk naik sepeda meski sudah turun hujan selama berjam-jam, alhasil membuatku jatuh sakit keesokan harinya. Aku tidak akan membuat kesalahan yang sama dua kali. Dengan tekad ini, aku tidak bergantung pada sepedaku, dan selalu membawa payung saat hujan.

Prakiraan cuaca hari ini menyatakan bahwa kemungkinan hujan berada pada tingkat yang meyakinkan 60%, dan di bawah langit yang mendung, aku berjalan dengan cepat, lalu pandanganku berhenti pada satu titik. Di tengah orang-orang yang menunggu di perempatan lampu merah, rambut pirang berkilauan langsung menarik perhatianku — Ayase-san. Aku bahkan bisa tahu dari punggungnya.

Dia memakai earphone, saat ujung kabelnya masuk ke pakaiannya. Dia mungkin sedang mendengarkan musik melalui smartphone di sakunya. Dia punya penampilan serupa selama pelajaran olahraga, jadi mungkin dia cuma suka musik? Aku rasa semua makhluk hidup yang disebut gadis suka mendengarkan musik. Mereka seperti ras yang berbeda dariku, aku sendiri tidak tahu. Yang aku yakini ialah dia pasti takkan mendengarkan anime atau lagu barat.

Untuk sesaat, aku berniat ingin menyapanya, tapi aku segera mengubur dalam-dalam pemikiran itu. Alasan kami meninggalkan rumah pada waktu yang berbeda adalah untuk memastikan bahwa tidak ada rumor aneh tentang hubungan kami yang akan menyebar di sekolah. Hal tersebut demi memastikan kehidupan normal kami masih sama seperti sebelum pernikahan resmi orang tua kami. Itulah mengapa aku memutuskan untuk mematuhi kesepakatan itu, dan tidak memanggilnya dalam perjalanan ke sekolah, di mana siswa lain mungkin dapat melihat kami.

Namun, lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Orang-orang masih belum bergerak, dan aku juga berdiri diam. Hanya Ayase-san yang mulai berjalan ke depan.

“Ayase-san!”

“Eh?”

Suara mesin yang menyala benar-benar lenyap dari kepalaku, karena aku benar-benar lupa tentang kesepakatan yang kami miliki. Aku tidak bisa membiarkan diriku lambat. Jika aku terlambat satu detik saja, dan sesuatu mungkin terjadi — Bahkan pemikiran itu muncul di benakku hanya setelah aku mulai beraksi.

“…!”

Aku dengan keras menarik lengannya, yang membuatnya terhuyung mundur. Karena aku tidak dilatih secara khusus dalam hal kekuatan kasar, aku tidak dapat menahan beban gadis puber. Akibatnya, aku dan Ayase-san sama-sama terjatuh di belakang, tepat di depan tempat penyeberangan pejalan kaki. Di depan mata kami, mobil-mobil besar lewat berlalu lalang setelah diberi izin mengemudi berkat lampu lalu lintas. Aku melihat kematiannya terjadi di depan mataku. Kesampingkan yang namanya lelucon, jika aku terlambat satu detik saja, dia akan mati.

“……”

“………”

Ayase-san dan aku saling bertukar pandang, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Rasanya waktu berjalan lebih lambat dari biasanya, karena keringat mengalir dari setiap pori-pori tubuhku. Saat orang lain di sekitar kami menunjukkan tatapan khawatir, aku berdiri, dan menarik lengan Ayase-san, dengan paksa membuatnya berdiri.

“Apa kau bisa ikut denganku sebentar?”

“Eh… ah… ya.”

Kami menyelinap melewati orang lain di sekitar kami, dan memasuki gang yang sepi. Apa yang akan aku lakukan akan menjadi sesuatu yang memalukan bagi Ayase-san. Itulah mengapa aku memutuskan untuk berbicara di depan orang lain, melainkan di ruang terpencil. Aku menengok ke arah kiri dan kanan, memastikan tidak ada orang lain di sekitar kami, dan menghadap Ayase-san ketika aku selesai.

“Baru saja.” Aku berbicara dengan tenang, tapi dengan nada cukup jelas.

Aku bukan kakak kandungnya, bukan dalam posisi untuk mengomeli seperti seseorang yang lebih baik darinya. Itu sebabnya, ketika aku mendengar tentang rumor kencan berbayarnya, atau melihat dia membolos, aku tidak memperingatkannya. Aku ragu dia akan peduli juga. Aku pikir Ayase-san tidak menginginkan hubungan seperti itu. Namun kejadian yang tadi sangat berbeda.

“Aku tidak bisa mengabaikan fakta bahwa kau akan mati. Tolong, lebih berhati-hatilah.”

“…Maaf.”

Di hadapan pernyataan tenang dan logisku, Ayase-san menunjukkan ekspresi bermasalah, suaranya lebih tenang dari biasanya. Melihat reaksi itu, aku tersentak.

“Ah… Aku juga sama, maaf. Aku tidak ingin terdengar arogan atau semacamnya.”

“T-Tidak, tadi itu jelas-jelas salahku, jadi tidak apa-apa.”

“Kenapa kau berjalan ke jalan seperti itu? Mobil-mobil itu melaju ke arah kita dengan suara keras, dan tidak ada orang di sekitarmu yang bergerak juga.”

“Aku terlalu fokus mendengarkan… Maaf.”

“Mendengarkan? Ah, musik? Kau juga pernah melakukan itu sebelumnya, iya ‘kan. Bukannya aku menyuruhmu berhenti, tapi aku merasa lebih baik menahannya setidaknya saat kau berangkat ke sekolah. ” Setelah semua yang aku katakan, aku masih berbicara dengan nada menasehati.

Yah, dia hampir tertabrak, jadi setidaknya segini saja bisa diizinkan.

“Musik… yah… Ah.”

Di sana, Ayase-san sepertinya menyadari sesuatu, saat dia meletakkan satu tangan di telinganya. Menyadari ada sesuatu yang hilang, dia panik dan menatap tubuhnya. Melalui itu, aku juga memahaminya. Satu kepala earphone masih ada di telinganya, tapi yang lain menjuntai ke dalam sakunya. Dari kepala earphone itu, aku mendengar musiknya — Kurang tepat. Sebaliknya, seorang wanita asing, berbicara frase bahasa Inggris.

“Percakapan bahasa Inggris?”

“… Me-Memangnya salah dengan itu?” Dia menutupi sakunya, dan menatapku malu-malu.

Untuk beberapa alasan, wajahnya menjadi merah padam.

“Menurutku itu bukan masalah besar, tapi ... Apa kau merasa malu?”

“………”

Aku melihat bahunya gemetar sedikit, lalu semua ekspresi lenyap dari wajahnya. Dia berjalan keluar dari gang, dengan hati-hati memastikan sekelilingnya dengan melihat ke kiri dan ke kanan, lalu berjalan melewati penyeberangan pejalan kaki. Dia sepertinya sudah tenang, tapi telinganya masih agak merah.

“Jadi, kau ingin berlatih bahasa Inggris?”

“… Kenapa kamu mengikutiku.”

“Karena aku akan pergi ke sekolah juga?”

Bahkan tanpa motif tersembunyi apapun, aku perlu berjalan bersamanya untuk pergi ke sekolah. Meski begitu, aku sebenarnya punya motif tersembunyi. Mungkin itu karena dia nyaris menghindari kematian, dan hatiku masih berpacu dari kenyataan, kemampuanku untuk menilai dengan tenang benar-benar hilang, tapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak ingin melihat ekspresi Ayase-san. Ini mungkin saja yang disebut efek jembatan gantung, tetapi aku tidak bisa menenangkan rasa penasaran yang bergejolak di dalam diriku.

Sedangkan Ayase-san sepertinya tidak menghalangiku, dia hanya mengucapkan “Tentu, lakukan apa yang kamu inginkan”, dan terus berjalan dengan kecepatan yang ditentukan.

“Itu hanya salah satu bagian dari belajarku.”

“Eh, apa yang kau bicarakan?”

“Bukannya kamu bertanya tentang apa yang aku dengarkan? Bahan ajar percakapan bahasa Inggris.” Dia memelototiku lagi.

Aku pikir dia akan mengabaikanku, tapi ternyata dia semakin tertarik untuk membicarakannya.

“Belajar untuk ujian?”

“Ada alasan itu juga, tapi juga memikirkan masa depan, kurasa?”

“Mempertimbangkan tempat kerja di masa depan, ya.”

“Bukan berarti kamu akan selalu tinggal di negara asalmu.”

Jika aku mengatakan itu, maka Yomiuri-senpai pasti akan menggodaku tentang hal itu lagi, tapi saat Ayase-san mengatakannya, anehnya terdengar bisa dipercaya.

“Tapi, mengapa kau sampai malu-malu segala tentang itu?”

“Ini seperti aku adalah seekor angsa yang mencoba terlihat bermartabat, tapi kenyataanya melakukan mengayuh kakiku mati-matian di bawah permukaan air. Tentu saja aku akan malu. ”

“Ahh… jadi itu juga masuk persenjataan?”

“Ya.”

Untuk menjadi seorang gadis kuat yang bisa hidup mandiri, dia mempersenjatai dirinya dengan penampilan luar dari seorang gadis berambut pirang yang tampak nakal. Itulah yang dia katakan padaku sebelumnya. Kurasa dia mendengarkan materi yang sama selama jam olahraga tempo hai. Maksudku, aku tidak suka ide membolos, tetapi dalam hal nilai dan persiapan ujian, pelajaran olahraga praktis tidak berguna, dan karena dia juga tidak terlalu tertarik dengan festival olahraga, berpartisipasi mungkin hanya membuang-buang waktu untuknya.

Menilai semua faktor itu, dia memanfaatkan waktu luang untuk belajar lebih banyak dengan menggunakan bahan ajar auditori, semuanya demi menjadi manusia sempurna dan kuat yang unggul baik dalam pekerjaan maupun ilmu akademis. Semakin banyak aku mulai mengetahui tentang dirinya, semakin terasa seperti teka-teki yang disusun, dan aku mendapatkan gambaran yang lebih jelas.

Kami berjalan menjauh dari jalan utama, dengan deretan bangunan di belakang kami, saat gedung sekolah yang kami kenal mulai terlihat. Jumlah orang tua atau orang dengan setelan bisnis di sekitar kami mulai berkurang, karena persentase yang lebih besar yang mengenakan seragam sekolah seperti kita, menandai dimulainya kesibukan sekolah. Meski aku yakin mereka tidak saling mengenal, dengan penampilan Ayase-san yang mencolok, banyak siswa dari sekolah SMA bergengsi ini mengarahkan perhatiannya ke arah kami.

“Jangan bilang siapa-siapa, oke …… Sampai jumpa.” Ayase-san memperingati, dan mulai berjalan lebih cepat.

Mungkin karena para penonton bertambah banyak, atau dengan mempertimbangkan sifat baiknya, dia mungkin tidak ingin menggangguku dengan cara apapun. Apapun itu, kami akan tetap berjalan seperti yang kami janjikan. Di sekolah, kami seperti orang asing.

“Yup, mengerti.” Aku menjawab ke arah punggung Ayase-san.

Aku tidak mengharapkan tanggapan. Tentu, dengan cara yang baik.

Dengan semua peristiwa yang terjadi di pagi hari, aku diserang oleh perasaan kelelahan seperti aku bertahan di hari lain. Sayangnya, ini bukanlah cerita yang nyaman, tapi sebuah kenyataan yang kejam. Seorang author pasti akan melihat bahwa kejadian ini cukup untuk satu hari, dan dengan cepat melompat ke hari berikutnya, tetapi sayangnya, aku belum dibebaskan. Setelah insiden pertama yang intens tadi, perasaan Ayase-san dan aku sama sekali diabaikan, karena kami dipaksa untuk mendekati satu sama lain sekali lagi.

Sudah waktunya untuk jam olahraga. Hari ini, selama jam pertama, kami berlatih untuk turnamen olahraga lagi, di lapangan tenis yang sama. Namun, ada satu perbedaan dari sebelumnya.

“Raaaaaaaaaaaaaaaaaaah!”

“Maaya, kamu memukulnya terlalu tinggi.”

Dari lapangan terdekat, aku mendengar jeritan bernada tinggi Narasaka-san, bersamaan dengan balasan dingin dari seorang siswi, hanya saja siswi ini sekarang telah berubah menjadi adik tiriku yang aku kenal dengan baik. Dibandingkan sebelumnya yang hanya bersandar di pagar besi sambil mendengarkan musik — atau lebih tepatnya, materi pelajaran itu, Ayase-san sekarang sedang bertanding dengan Narasaka-san.

Aku tidak tahu pemicu apa yang membuatnya benar-benar bermain dengan temannya, tapi dia sekarang mengenakan kaos olahraga, menunjukkan permainan terampil dengan raketnya.

“——- yyyy ……… mura.”

Dia memiliki rambut pirang panjang yang diikat dengan ikat rambut, dan kuncir kudanya ini bergoyang ke kiri dan ke kanan mengikuti semua irama gerakannya. Lengan putihnya terlihat jelas, serta pahanya. Ototnya menegang dengan setiap gerakan yang hidup, menunjukkan tidak ada gerakan yang tidak perlu, saat dia membalas bola dengan umpan tajam.

“—Heeeeyyy… Apa yang…… samura.”

Untuk amatiran seperti aku, aku bahkan tidak bisa membedakan apa dia berada di level pemula, atau memasuki dunia profesional, tapi dia memang mengumpulkan banyak perhatian dari penonton di sekitarnya. Tentu saja, karena aku sendiri yang menatapnya, aku bukan orang yang bisa diajak bicara, tetapi menurutku kau perlu melakukan sesuatu terhadap anak laki-laki dan perempuan mengikuti jam olahraga bersama-sama, itu sangat mengganggu perhatian. Aku mencoba mengalihkan pandanganku, tetapi permainannya begitu memesona sehingga aku hanya bisa menatap—

“Hei, Asamura!”

“Eh? … Wah! ”

Bersama dengan suara marah temanku, aku melihat bayangan bulat mendekati dari sudut mataku, dan ketika aku menyiapkan raket di depan wajahku, bola terbang menerjang, tertangkis, dan memukul tepat di dahiku.

“Kau ini sedang melihat kemana sih? Ini bukan bisbol, kena pukulan bola itu masih cukup berbahaya. ”

Murid yang datang berlari ke arahku — temanku Maru Tomokazu, mengambil bola di kakiku, dan dengan lembut menepuk bahu dengan raketnya. Ia bertingkah keren lagi, dasar keparat.

Jika kau bertanya-tanya mengapa Maru bisa ada di sini meski sebelumnya Ia melakukan olahraga lain, maka itu hanya karena peserta sepak bola dan tempat latihan memiliki janji untuk menggunakan lapangan, jadi sekali dari dua kali , Maru datang untuk bermain di sini. Tentu saja, Ia dibatasi dengan apa yang bisa Ia mainkan di sini, tetapi bukannya tidak berlatih sama sekali, itulah mengapa Ia senang berada di sini.

“Maaf, aku tadi melamun.”

“Terpesona olehnya, iya ‘kan?”

“Kau akan dibenci jika terus blak-blakan seperti itu.”

“Mungkin, tapi itulah hidup. Aku tidak peduli dengan mereka yang terganggu oleh hal itu.”

Cacther klub bisbol memang beda, Ia memberikan kesan yang kuat. Maru memandang ke arah gadis-gadis yang bermain tenis, pada satu orang secara spesifik.

“Ayase? Aku sudah menyuruhmu untuk menyerah, ‘kan ...”

“Bukan itu.”

Memang benar aku melihat Ayase-san, tapi dia adalah adik tiriku. Aku mengucapkan kata-kata ini dengan cara bahwa dia bukanlah seseorang yang aku minati, atau bahkan menaruh perasaan padanya, tapi tampaknya Maru salah paham tentang itu.

“Jadi Narasaka, ya. Bisa dibilang, tidak buruk juga.”

“Sekali lagi, bukan itu yang terjadi.”

“Jangan khawatir, nak Asamura. Aku merekomendasikan Narasaka. Dia punya kepribadian ceria, diterima di mata masyarakat, memiliki nilai bagus, dan dapat dengan mudah masuk ke Waseda*. Sebagai manusia, dia sangat berharga.” (TN : Universitas unggul di jepang)

“Bukankah kau punya terlalu banyak informasi?”

“Aku mendapat banyak informasi tentang dia, meski dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan Ayase. Jika ada satu bagian yang bermasalah di sini, mungkin sudah terlalu banyak yang menembaknya sehingga kau mungkin tidak punya kesempatan sama sekali.”

Apa ini cuma imajinasiku, atau emang Maru mengoceh dengan cukup cepat ketika membicarakan Narasaska-san? Aku benar-benar tidak bisa membaca perasaan jujurnya yang tersembunyi di balik kacamata itu. Untuk sesaat, kupikir Ia menaksir Narasaska-san, tapi aku benar-benar tidak bisa membayangkan dirinya mencoba merayu seorang perempuan, jadi aku berhenti mempertimbangkannya.

“Aku benar-benar tidak memandangnya seperti itu, tapi bahkan jika aku melihatnya, aku benar-benar tidak berpikir aku bisa memenangkan perang itu”

“Haha, mungkin.”

“Bahkan tidak ada dukungan dari seorang teman?”

“Narasaka pandai merawat orang lain. Maksudku, dia bahkan bermain tenis dengan Ayase.”

“Rasanya dia akan tertarik pada tipe yang rajin dan dapat diandalkan.”

“Nah, justru sebaliknya. Dia akan tertarik pada pria tak berguna di luar sana.”

“Jadi maksudmu aku masih punya kesempatan?”

“… Apa kau serius sekarang?” Maru menatapku dengan sangat meragukan.

Kupikir aku sudah jujur ​​pada diriku sendiri, jadi aku tidak tahu mengapa Ia bereaksi seperti itu.

“Asamura. kau bukanlah pria yang seperti yang kau kira.”

“Jadi aku bahkan lebih buruk dari yang aku kira?”

“Dasar keparat pesimis ...”

Maru mendesah keras di hadapan senyum masamku. Yang terjadi selanjutnya adalah ungkapan yang kau dengar dari seorang ibu rumah tangga yang perhatian.

“Mempertimbangkan usiamu, kau jelas lebih menonjol dalam hal kepintaran. Punya kecerdasan juga.”

“H-Huh, rasanya menjijikkan jika dipuji secara langsung seperti itu.”

“Jangan khawatir. Aku sudah memberitahumu alasan mengapa Narasaka tidak mau repot-repot melihat ke arahmu. Jika pun ada, aku menghinamu.”

“Bisakah kau mencoba pendekatan yang bukan memuji atau menghina?”

Aku selalu menghargai cara Maru yang lugas dalam mengatakan sesuatu, tapi ada kalanya Ia sedikit tidak menahan diri. Belum lagi kesempatan yang aku miliki dengan Narasaka-san bahkan tidak penting bagiku, karena aku sama sekali tidak tertarik.

“…………… Mm.”

Tatapan mataku menatap ke arah dua gadis yang sedang kami bicarakan. Ayase-san rupanya menyadari tatapanku, dan menatapku dari kejauhan. Namun itu hanya terjadi sesaat, saat dia dengan cepat memalingkan wajahnya lagi. Sungguh cerdik sekali, kontak mata jangka panjang akan menimbulkan kecurigaan dengan siswa lain, jadi dia berusaha seminimal mungkin. Namun, ada satu orang yang menyadari momen samar ini. Betul, Narasaka Maaya.

Aku mengerti bagaimana dia akan pandai mengurus orang lain. Akar dari itu adalah kemampuannya untuk membaca suasana hati. Bahkan di sudut matanya, dia menangkap tindakan Ayase-san, menelusurinya, dan melihatku menatap mereka. Setelah itu, dia dengan lembut memiringkan kepalanya, seperti sedang mempertanyakan sesuatu. Ya, aku bisa memahami betapa imutnyanya dia. Masuk akal mengapa Maru sangat memujinya.

Tapi, aku tidak boleh terus menerus melihatnya. Aku merusak perhatian yang Ayase-san berikan di sini. Dengan panik, aku melihat ke arah yang berlawanan.

“Siapa tadi yang bilang kalau kau tidak melihatnya seperti itu?”

“Serius, hentikan itu.”

“Hmm, yah, kau juga cowok, iya ‘kan, Asamura.”

“Aku merasa caramu mengungkapkan hal seperti itu akan mengundang banyak kesalahpahaman.”

“Nafsu duniawi yang rumit dari cowok SMA.”

“Pilihan kata itu membuatnya semakin buruk!”

“Tak pernah disangka kau dipenuhi dengan begitu banyak nafsu, tapi jangan khawatir. Selama kau menyimpannya di dalam kepalamu sendiri, aku tidak akan menghakimimu.”

Ia aslinya sudah memahami dan hanya menggodaku tentang itu, iya ‘kan.

“Baiklah baiklah. Terima kasih telah menyelesaikan kesalahpahaman, sungguh.” Aku menghela nafas, dan mengangkat bahu.

Bagaimanapun, kedua gadis itu menarik perhatianku, jadi aku bahkan tidak bisa membantah.

“Kamu sudah selesai sekarang?”

“Ah, ya, ayo berlatih.”

Aku entah bagaimana berhasil kembali ke jalurnya, dan menggunakan sisa waktu untuk fokus pada latihanku. Mempertimbangkan waktu mereka untuk mengganti baju, kelas untuk para gadis berakhir sedikit lebih awal, dan kali berikutnya aku melihat ke arah lapangan tenis, yang tersisa hanyalah satu bola tenis kuning.

Bersamaan dengan bunyi dentangan, seolah-olah langit tidak bisa menahannya lebih lama lagi, tetesan kecil air mengguyuri seluruh lapangan dan dengan cepat membasahi tanah dengan warna kecoklatan yang berbeda.

“Serius? Hei, ayo lari, Asamura. ” Maru memanggilku.

“Apa maksudmu dengan 'serius'? Bukannya ramalan cuaca bilang 60% pagi ini, jadi itu tidak terlalu mengejutkan.”

Meski begitu, aku juga tidak ingin basah kuyup, jadi aku membalasnya saat berlari ke gedung sekolah.

“angka 40% lebih dari cukup untuk bertaruh! Menurutmu, berapa banyak 40% pemukul bisbol yang ada di dunia ini !? ”

“Aku merasa logika itu tidak berlaku di sini.”

Atau, apakah dia berbicara tentang klub bisbol yang membuat taruhan selama pertandingan? Begitu, mungkin hitungan matematikanya sama, tetapi pengertian nilai bisa berbeda sepenuhnya tergantung pada sudut pandang.

“Asamura, ayo cepatlah! Ini semakin deras!”

Tepat sebelum hujan mulai turun semakin deras, kami berhasil masuk ke dalam gedung sekolah. Maru berbalik, menatap langit.

“Sampai bisa deras begini. Kurasa ini akan menjadi latihan otot untuk hari ini ...” Ia menghela nafas, lalu bersin setelahnya.

Tanah di sekitar gedung sekolah sudah berubah warna menjadi coklat tua, karena hujan turun tanpa ampun. Suara hujan yang menerpa jendela semakin keras dan kencang.

“Sudah bulan Juni, ya.”

“Kalaupun sekarang musim hujan, 40% masih 40%. Aku ingin tetap memukul beberapa. ”

“Sudah, sudah, lewatkan saja untuk hari ini.”

Aku melihat Maru mengeluh meski ini adalah sesuatu di luar jangkauannya. Jujur saja, aku sangat senang tidak kelupaan membawa payung, aku harus bisa pulang tanpa harus basah kuyup.

—Itulah yang aku pikirkan saat itu.

Jam pelajaran di sekolah sudah berakhir, tapi tentu saja, hujan masih belum berhenti. Hal ini sudah dalam perkiraanku. Tentu saja, aku tidak merasa senang sedikit pun, tapi setiap kali kau ingin firasatmu salah, itu hampir selalu terjadi. Dunia ini penuh dengan Hukum Murphy. (TN : Penjelasan mengenai Hukum Murphy bisa kalian baca ke sini)

Untungnya, aku kerjaan hari ini sedang libur, jadi aku tidak perlu pergi ke Shibuya. Sepertinya pulang langsung tanpa jalan memutar mungkin adalah ide terbaik. Aku sedang memutuskan itu selama berjalan menuju loker sepatu, dan  melihat sosok yang kukenal. Ada seorang gadis yang sendirian menatap langit hujan. Karena dia berdiri di bawah langit abu-abu, warna rambutnya yang cerah semakin menonjol.

Itu Ayase-san, ‘kan… Apa dia lupa membawa payungnya? Mana mungkin, katanya ada kemungkinan hujan 60% hari ini. Apa dia juga bagian dari faksi peluang 40%? Tunggu, dia meninggalkan rumah lebih dulu dariku, jadi ketika aku melihat ramalan cuaca, dia baru saja keluar. Aku menatapnya dari jauh, dan memikirkan apa yang harus kulakukan. Aku melihat ke kiri dan ke kanan, dan memastikan bahwa tidak ada orang. Sepertinya semua orang memutuskan untuk pergi secepat mungkin. Pintar sekali.

Aku membuka tas sekolahku, dan mengeluarkan payung lipat. Karena cuma jenis payung itu, dengan mudah masuk ke dalam tas sekolahku, dan aku dapat dengan nyaman memilih apakah aku ingin membawanya atau tidak, karena hampir tidak memakan tempat. Hidup adalah rantai pilihan yang berkelanjutan — seseorang pernah berkata begitu sebelumnya.

Supaya tidak mengagetkannya, aku mendekatinya dengan langkah kaki yang lebih keras. Sekitar tiga langkah darinya, aku berhenti. Jarak segini seharusnya cukup aman, bukan? Aku tidak punya keberanian untuk menepuk pundaknya. Karena aku bukan sesame gadis, jadi apa aku boleh menyentuh tubuhnya? Jika dia berteriak, kehidupan SMA-ku akan berakhir. Aku pura-pura batuk, dan membuka mulutku.

“Jika kau lupa mmebawa payungmu, bagaimana kalau berbagi payung denganku?”

Bahunya bergerak-gerak sedikit. Saat berbalik, rambut emasnya bergoyang tertiup angin. Melalui sinar matahari yang langka menembus langit mendung, tindikannya bersinar terang sesaat. Matanya perlahan bergerak ke arah wajahku. Rasanya seperti PC yang booting perlahan, ketika ekspresi muncul di wajah Ayase-san.

“Eh?” Matanya terbuka lebar.

Kenapa kau sangat terkejut?

“Apa kau melupakanku atau semacamnya?”

“Apa yang sedang kamu bicarakan…”

“Justru aku yang menanyakan itu.” Aku benar-benar khawatir sejenak.

“Jadi, ada apa? Aku tidak menyangka kamu memanggilku di sekolah lagi.”

“Ahh, yah, kau tahu.”

Aku tahu dia tidak marah. Jika ada, dia tampak agak ragu. Berkat beberapa hari terakhir berurusan dengan Ayase-san, aku mulai menjadi lebih terampil dalam memahami apa arti ekspresinya, atau kekurangannya. Tentu saja, aku berniat menepati janjiku untuk bertingkah seperti orang asing di sekolah, tapi bukan berarti aku bisa mengabaikannya begitu saja di tengah hujan seperti itu. Kita pada akhirnya masih bersaudara.

Tapi, yah, dia juga pintar, jadi dia harusnya sadar akan hal itu.

“Jadi, ada apa?”

Alasan dia masih bertanya seperti itu mungkin karena apa yang terjadi di pagi hari, dan menunjukkan bahwa dia masih merasa agak canggung. Setidaknya itulah yang ingin aku pikirkan.

“Lupa membawa payungmu?” Aku bertanya padanya sekali lagi.

“Ah, ya… Tentu saja.”

“petaruh 40%, ya.”

“Eh? Apa?” Ayase-san memiringkan kepalanya, tapi melupakannya dan mengarahkan pandangannya ke payung di tanganku.

“Kita harus kembali ke tempat yang sama, jadi kupikir.”

Ayase-san mendengarkanku, dan menunjukkan ekspresi yang rumit.

“Ahh… Tidak, tidak usah. Aku sedang menunggu teman. Dia punya urusan di ruang klub, jadi dia akan segera kembali. Aku tidak butuh—”

“Kalau begitu ...” aku menyelanya. “Pakai saja ini. Jika aku pulang dengan berlari, aku akan berhasil sampai tanpa basah kuyup.”

Aku tidak butuh payung, mungkin itu yang ingin dia katakan, tapi aku hanya mendorong payungku ke tangannya, memakai sepatu, dan melompat ke tengah hujan.

Kurasa aku terlalu banyak ikut campur. Mungkin dia menganggapku menyebalkan sekarang. Maksudku, dia bilang sedang menunggu temannya. Mungkin mereka akan berbagi payung. Tapi, mereka mungkin masih basah dalam prosesnya. Bagaimanapun juga, payung punya gadis biasanya cukup kecil.

Wajah Ayase-san saat aku mendorong payung padanya muncul di benakku. Dia tampak kaget, seolah-olah dia tidak menyangka itu. Di sanalah aku, berpikir bahwa campur tanganku sangat sepadan karena bisa melihat ekspresi itu. Itu adalah wajah lain dari Ayase-san yang belum pernah aku lihat sebelumnya.

Mungkin begitulah cara kita perlahan-lahan mulai menjadi saudara, tumpang tindih dengan pandangan pribadi kita sendiri, cocok satu sama lain. Itulah yang aku pikirkan saat berlari menerobos guyuran hujan.

Hujan deras di bulan Juni dengan cepat membasahi seragamku. Cairan dingin yang berbeda dari keringat mengalir di punggungku, lalu memasuki sepatu aku, yang mana membuat lamgkahku terasa berat, dan setiap kali aku melangkah ke tanah, sensasi lembab merespons. Di balik tirai abu-abu perak, aku akhirnya bisa melihat gedung apartemenku, dan membuatku menghela nafas lega.

Aku membuka kunci, berjalan melewati kantor petugas kebersihan, dan naik lift ke lantai tiga. Berjalan menyusuri lorong saat air turun dari seluruh tubuhku, aku akhirnya melihat pintu apartemen kami yang sudah dikenal. Aku membukanya, berjalan ke dalam, dan menyalakan lampu. Area sekelilingku dipenuhi dengan warna oranye, ketika aku akhirnya bergumam.

“Aku pulang ... Ya, wajar saja.”

Tentu saja, tidak ada yang menjawab. Sebaliknya, keheningan yang menyakitkan menggores telingaku. Maksudku, aku sudah tahu ini, tapi baik Ayahku maupun Akiko-san biasanya tidak ada di rumah saat ini. Aku pikir aku sudah terbiasa dengan itu, namun di sinilah aku, merasa kotradiksi. Aku menyadari kalau aku merasa kesepian karena tidak ada yang menanggapi salamku.

Aku meletakkan tasku di atas meja makan, dan segera beranjak untuk mandi. Memutar keran, air panas langsung keluar. Aku menunggu selama kurang lebih 15 menit. Sementara itu, aku meletakkan seragam aku di gantungan baju, dan memasukkan pakaianku yang basah ke mesin cuci. Aku menambahkan deterjen dan kondisioner kain, dan membiarkan mesin melakukan tugasnya. Aku mendengar suara air mengalir di dalam, dan mesin mulai bergemuruh.

“Oh, hampir kelupaan.”

Aku harus menyiapkan beberapa pakaian dalam, kalau tidak aku harus berjalan kembali ke kamarku hanya dengan handuk di pinggangku. Biasanya detail sekecil itu tidak penting, tapi sekarang aku perlu memperhatikannya. Aku perasaan bagaimana perasaan dari saudara kandung tentang itu. Apa mereka peduli tentang itu? Tidak, mereka mungkin mempedulikannya. Pasti mempedulikannya... ‘kan?

Aku menunggu sampai kira-kira setengah dari bak mandi penuh dengan air panas, dan berendam di dalamnya. Aku tetap berendam selama beberapa menit lagi, sambil melamun, dan mematikan keran begitu air mencapai batas bahuku. Kulitku agak sakit karena airnya masih sangat panas, mungkin karena aku berlari di tengah hujan yang dingin.

Dalam keadaan linglung, aku mulai memikirkan permintaan Ayase-san. Kerja sambilan bergaji tinggi, ya. Karena diasudah  bersedia membuat sarapan dan makan malam, berdasarkan prinsip timbal balik, aku perlu mencarikan pekerjaan untuknya juga.

—Ketika berbicara tentang timbal balik, sudah menjadi kebijakanku untuk menjadi pihak yang lebih banyak memberi.

Perkataan Ayase-san terngiang-ngiang kepalaku. Sekarang aku telah mendengar ini, aku tidak bisa hanya mengandalkannya. Aku bisa bersimpati dengan Ayase-san di sana. Itulah sebabnya aku perlu menemukan sesuatu dengan cepat.

“Hmmmm…” Aku meletakkan satu tanganku di dahi, dan memikirkannya lagi.

Di zaman sekarang ini, memulai bisnis baru mungkin merupakan titik awal yang baik. Daripada digunakan, menggunakannya untuk hal lain adalah yang paling menguntungkan — itulah yang pernah aku baca di buku. Jadi pada dasarnya, sesuatu seperti youtuber atau mukbang…! Tidak, kedengarannya tidak masuk akal. Tenanglah, diriku. Belum lagi, sebagai pelajar, tidak ada ide yang terlintas  saat berpikir untuk 'memulai bisnis baru'. Aku tidak tahu apa-apa tentang masyarakat sosial.

“Tahu tentang masyarakat, mengenal tentang pasar, ya…”

Persis seperti yang dikatakan Maru. Ada terlalu banyak hal yang tidak aku ketahui. Aku merasa seperti mencarikan pekerjaan untuknya dalam keadaan ini sangatlah mustahil. Tapi karena itu, aku tidak bisa hanya meminta Ayase-san untuk terus membuatkan makanan untuk aku, karena hal itu akan membuat semuanya tidak adil.

Tentu saja, aku tidak bisa memasak seperti dia. Itu sebabnya aku ingat penampilannya saat memakai celemek. Emosi yang aku rasakan saat melihatnya — Dia imut dan cantik. Tidak bukan itu. Bukan kegirangan juga. Jika ada, perasaan itu adalah… Sempurna. Ya, itu dia.

Rambut pirang yang dia ikat dengan seutas tali sampai ke lehernya, pandangannya terfokus pada pekerjaan di depannya, saat pisaunya naik turun secara berirama. Sesekali, dia akan memperbaiki rambutnya, menariknya ke belakang telinganya. Gerakan elegannya yang berulang-ulang seakn-akan menceritakan sebuah kisah. Pada kenyataannya, dia pasti sudah terbiasa memasak di rumah, di mana aku hanya akan pergi ke toko swalayan untuk membeli bento. Dan, aku pikir itu bukan demi dirnya sendiri.

Baik aku maupun Ayahku tidak bisa memasak. Itulah sebabnya aku tidak pernah merasa perlu untuk mempelajarinya. Tapi, hal yang sama tidak bisa dikatakan tentang Akiko-san. Melihat makanan yang dia buat pada hari pertama tinggal bersama kami, aku mendapat gambaran yang jelas bahwa dia selalu membuatkan makanan untuk keluarganya. Aku tidak mengomentari itu baik atau buruk, aku hanya melihatnya sebagai kepribadiannya. Bahkan jika Akiko-san memiliki kepribadian untuk tidak membuat makanan apapun, aku juga tidak akan peduli.

Namun, jika, karena kepribadian itu, Ayase-san harus membeli makanan yang dibeli dari toko, aku merasa Akiko-san akan membuatkan makanan untuknya apapun yang terjadi. Karena tidak ingin merepotkan ibunya yang sibuk, Ayase-san belajar memasak sendiri. Mungkin karena alasan itu.

Pengamatan dan proses berpikir. Tumpang tindih dengan faktor ini, kau mampu memahami siapapun dengan cukup baik. Tentu saja, jika kau menganggapnya perlu.

“Persenjataan, ya ...”

Saat aku melarikan diri, dia justru terus bertarung.

“Aku benar-benar ingin mencarikan pekerjaan sambilan bergaji tinggi untuknya ...”

Pikiranku akhirnya kembali ke topik itu, tetapi aku masih belum punya rencana untuk tindakan di masa depan. Jika ada, kepalaku mulai terasa panas karena semua pemikiran rumit itu. Aku merasa pusing.

Itu sebabnya aku keluar dari bak mandi. Mencuci rambut basahku dengan sampo, membasuh seluruh tubuhku, dan meninggalkan kamar mandi. Mesin cuci saat ini dalam mode pengeringan. Aku hanya membiarkannya bergemuruh untuk saat ini.

Aku memakai kaos yang sudah ksuiapkan, dan memutuskan untuk meninggalkan kekhawatiranku untuk saat ini. Aku melangkah keluar menuju lorong, dan angin segar dari AC menghantam tubuhku yang beruap. Suasana hatiku meningkat pesat, dan aku bahkan bersenandung saat berjalan ke ruang tamu, ketika aku akhirnya menyadari kalau aku bahkan tidak menyalakan AC ketika sampai di rumah.

Dua gadis hadir di ruang tamu, berbalik ke arahku. Salah satunya adalah Ayase-san, dan yang lainnya… Narasaka-san? Kenapa dia ada di sini?

Untuk sesaat, pikiranku menjadi kosong. Tunggu, bukannya aku tadi… Oh tidak, aku tadi bersenandung, tepat di hadapan mereka! Perasaan malu melanda diriku, tapi operasi pertahananku tidak berhasil tepat waktu, karena seluruh kepalaku terasa terbakar. Aku mungkin tersipu dengan merah padam. Belum lagi itu bukan hanya Ayase-san. Ada orang yang sangat asing, Narasaka-san, melihatku seperti itu. Ya Tuhan, aku ingin mati saja. Tolong bunuh aku. Kakiku membeku di tanah, dan tidak bisa bergerak.

Di saat yang sama, mulut Ayase-san terbuka lebar, mengeluarkan 'Ah' yang tak terduga.

“Maaf. Maaya tiba-tiba berkata 'Aku ingin mampir ke tempat Saki untuk bermain'. Aku ingin mendiskusikannya denganmu, tapi aku tidak memiliki ID LINE-mu, Asamura-kun. ”

Itu sebabnya dia tidak bisa memperingatkanku, ya. Ayase-san berjalan ke arahku, bertepuk tangan sembari meminta maaf. Sungguh pemandangan yang langka. Mungkin itu karena dia berada di depan teman baiknya. Narasaka-san tampak cukup terkejut juga, tapi mukanya mulai tersenyum kembali.

“Ohh, jadi kamu Onii-san yang digosipkan! Kamu benar-benar Asamura-kun dari kelas sebelah! ” Sungguh suara yang energik. “Hei, hei, apa kamu tahu tentang aku? Apa kamu pernah mendengar tentangku dari Saki? ”

“Eh… Baiklah.” Bagiamana aku harus menanggapi ini? “Aku mendengar kalian berteman baik.”

Untuk saat ini, aku memberi tanggapan yang agak jujur. Sedetik setelah mendengar kata-kataku, warna mata Narasaka-san berubah. Aku merasa seolah-olah dia mengatakan sesuatu seperti 'Ah, berteman baik, ya' dengan suara yang sangat sunyi. Aku hanya melihat mulutnya bergerak. Tampak seperti wajah serius, seperti dia sedang bermasalah? Aku tidak berpikir Ayase-san bisa melihatnya. Namun, ekspresi ini segera menghilang, saat senyumnya yang biasa kembali.

“Itu benar ~! Kami sangat dekat! Makanya, ayo berteman juga, Asamura-kun! ”

“Oke… Baiklah. Jadi, apa kalian pulang dengan selamat? ”

Menengok ke arah luar, hujan masih mengguyur dengan deras. Meski bukan seperti badai, tapi tetesan air hujan mengalir di sepanjang kaca jendela.

“Kami baik-baik saja! Kami berdua punya payung! ”

“Begitu ya.”

“Meski Saki bilang dia lupa membawanya.”

“Aku sudah menyimpannya di tasku, aku cuma melupakannya saja.”

Sepertinya dia yang memutuskan itu. Aku senang itu hanya payung lipat biasa, tidak tahu apa itu milik laki-laki atau perempuan.

“Dasar gadis yang kikuk!”

“Mendengar itu darimu membuatku pusing karena reaksi psikogenik.”

“Kenapa kamu menggunakan kata-kata yang rumit, sih! Dan juga apa kamu bahkan menggunakan kalimat itu sekarang? ”

“Apa ini aneh?”

“Iya anehlah! Tapi, terserahlah.” Narasaka-san melompat ke atas sofa.

Karena gerakan mendadak itu, roknya terangkat, dan Ayase-san menghela nafas.

“Maaya. Kancutmu jadi kelihatan.”

“Ah!” Narasaka-san dengan panik memperbaiki posisi roknya.

Setelah itu, dia menatapku. Aku tidak melihat apa-apa, oke.

“Saki. Rumah ini. Sangat berbahaya.”

“Kenapa kamu mendadak berbicara seperti robot?”

“Karena ada cowok!”

“Asamura-kun memang tidak terlihat seperti perempuan, oke.”

“Ada cowok! Kubilang ada cowok!”

“Memangnya ada masalah dengan itu?”

“Itu berbahaya! Kamu jadi tidak bisa berjalan hanya dengan sepasang bra dan kancut!”

“Lagipula aku tidak akan berjalan seperti itu. Apa kamu melakukannya di rumahmu? ”

“Tentu saja tidak! Bagaimanapun, aku seorang wanita.” Dia membual dengan nada percaya diri yang nyata. “Tetap saja, jadi kamu juga mengatakannya.”

“A-Apa sebenarnya?”

“Merujukku dengan 'Kamu'.” Narasaka-san berkata sambil tersenyum. (TN : 'Anta', kependekan dari 'Anata', yang merupakan versi informal dan tidak terlalu sopan dari kata formal 'Anata'. 'Kamu' yang kedua adalah versi normal 'Anata'.Rasanya agak susah diterjemahin ke Indo )

“!!!” Ayase-san menutup mulutnya, tapi itu sudah terlambat.

Dia benar-benar menurunkan kewaspadaannya, dan mulai tersipu.

“Huh, hmm, maksudku, ayahmu sangat bahagia.”

“Kamu bukan ayahku, oke!” Ayase-san membalas dengan sekuat tenaga.

Begitu, jadi dia biasanya memanggilnya dengan 'Kamu' yang normal, kan.

“Butuh beberapa waktu bagimu untuk memanggilku seperti itu ~”

“Masa?”

“Memang ~”

“Tapi aku tidak mengingatnya.”

“Aku benar-benar ingat!”

“Kamu bisa melupakannya.”

“Tidak mau!” Dia berkata dengan senang hati.

Aku tidak berpikir dia senang karena cara dia dipanggil, tetapi karena dia melihat sekilas apa yang ada di dalam Ayase-san, aku yakin itu. Di dunia ini, ada orang yang salah mengira fenomena menjadi lebih dekat sama dengan merasa nyaman dengan seseorang, dan mulai memanggil orang lain dengan nama kasar untuk menunjukkan betapa dekatnya mereka. Namun, cara kasar untuk memanggil orang lain itu tetaplah tidak sopan tidak peduli seberapa banyak kau mengubahnya.

Karena kami memanggil satu sama lain Ayase-san dan Asamura-kun, kami berdua menyetujui itu tanpa sadar. Dengan cara ini, kami tidak akan menghina satu sama lain, dan itu memungkinkan pembicaraan lebih santai. Di saat yang sama, Narasaka-san sepertinya bukan tipe orang yang membuat kesalahan itu. Atau memang seperti itu? Aku tidak dekat dengannya untuk bisa mengkonfirmasi atau menyangkal itu.

Hanya, jika Narasaka-san adalah tipe orang seperti itu, aku benar-benar ragu Ayase-san akan mengundangnya ke rumahnya. Begitulah caraku menilai kalau dia adalah orang yang bisa dipercaya. Pengamatan dan proses berpikir, jika dipadukan akan menjadi senjata yang terkuat.

“Lebih penting lagi! Onii-channya Saki!”

“O-Onii-chan?”

Bukankah dia baru saja memanggilku 'Onii-san' dan 'Asamura-kun'? Aku merasa ingin menarik kembali pernyataanku sebelumnya.

“Kenapa kamu malah malu-malu begitu, Onii-chan!”

“Pertama-tama, aku bukan kakakmu, Narasaka-san…”

“Ayo, kita berteman baik, jadi panggil saja aku Maaya.”

“Aku tidak mau! Lagian, kau dan aku masih orang asing, kan? ”

“Jangan mempermasalahkan hal sepele, Onii-chan! Kamu pasti senang karena aku memanggilmu seperti ini iya ‘kan, Onii-chan! ”

“Tidak sedikit pun.”

Aku pikir orang yang benar-benar menikmatinya memang beneran ada, tapi aku tidak merasakan sesuatu yang istimewa. Meski, Narasaka-san terlihat seperti hewan kecil, meminta perhatian. Selain itu, aku tidak menyangka Narasaksa-san begitu orang yang memaksa. Dia tampaknya tidak memiliki kepribadian yang menyebalkan terhadap kakak temannya.

“…Hentikan…”

Aku bisa mendengar suara samar. Ayase-san menunduk wajahnya, saat dia bergumam.

“Hm? Apa yang terjadi, Saki? ”

“... lukan.”

“Aku tidak bisa mendengarmu ~”

“Rasanya memalukan, jadi berhentilah! Setiap kali aku mendengarmu mengatakan 'Onii-chan', aku bisa merasakan punggungku jadi menggigil! Aku mohon, tolong hentikan!”

“Ya ampun, jadi kamu sudah menyerah duluan.”

Ah, aku jadi memahami maksud dibalik aksinya itu.

“Jadi pada dasarnya, kamu ingin menggodaku, dan membuat Ayase-san merasa malu juga, ‘kan?”

“A-Ahahaha… Benar!”

“Jangan bilang 'Benar!' seenak jidatmu.”

Jangan menunjukku seperti itu. Atau lebih tepatnya, jangan menunjuk orang pada umumnya.

“Yah, kurasa aku bisa berhenti bermain denganmu untuk saat ini, Onii-chan.”

“Untuk selamanya, kumohon.”

“Itu akan sia-sia. Hei, Saki, ayo coba memanggilnya 'Onii-chan' bersama-sama, oke. Ayo, satu, dua—! ”

“Tidak mau!”

“Padahal ini akan menjadi kesempatan terbaik untuk benar-benar dekat dengannya? Kamu tidak menggunakan perubahanmu dengan semestinya!”

“Tidak bisakah kamu mengkategorikan kehidupan seseorang sebagai hiburan? … Apa yang sedang kamu lakukan?”

Narasaka-san membuka tas olahraganya di bawah meja, dan mengeluarkan sesuatu.

“Ayo bermain dengan ini!”

“Konsol game?”

“Narasaka-san, membawa game ke sekolah itu…”

“Tidak dilarang. Kamu cuma tidak diizinkan untuk bermain.”

Bukannya itu hampir sama? Tetapi, ketika aku bertanya kepadanya, dia menyatakan bahwa selama kau tidak bermain selama jam pelajaran, kau boleh membawany. Bahkan bermain antar kelas adalah sesuatu yang sering terjadi, selama ada seseorang yang berjaga. Adapun untuk konsol gim yang dibawanya, itu adalah kosnol populer yang baru saja keluar.

“Saki, kamu bilang kamu tidak punya yang ini, ‘kan?”

“Yup, memang tidak punya.”

“Aku ingin bermain bersama. Jadi, boleh aku menghubungkan ini ke TV? ” Dia berkata sambil menunjuk ke layar TV 50 inci yang menghadap ke sofa.

“…Tentu.”

“Aku punya beberapa permainan yang bisa kita mainkan bersama. Apa kamu ada internet di sini? ” Narasaka-san menatapku.

Aku pikir dia memintaku untuk kata sandi wifi. Karena menyerahkan kata sandi wifi adalah standar yang cukup ketika mengunjungi rumah orang lain, aku tidak ragu-ragu, dan memberikan persetujuanku. Ayase-san menyerahkan memo dengan kata sandi padanya, dan setelah mengatur semuanya, Narasaka-san kembali ke sofa, saat dia menatapku.

“Mau main bersama kami, Asamura-kun?” Ajaknya, dan mengeluarkan konsol gim.

Jangankan dua, dia sebenarnya menyiapkan tiga konsol gim. Apa yang satunya untukku? Aku rasa ini adalah bagaimana kepribadiannya bersinar. Seperti yang dikatakan Maru, dia sangat pandai membaca suasan, dan penuh perhatian. Dia mungkin sudah berencana untuk mengajakku bergabung sejak awal. Aku melirik Ayase-san lagi, menanyakan apa yang harus dia lakukan melalui kontak mata.

“Haa… Yah, karena hujannya belum berhenti, jadi bergabunglah dengan kami, Asamura-kun.” Ayase-san bergeser ke sudut sofa, memberi sedikit ruang.

“Ohh, jadi kamu ingin Onii-chanmu ada di sebelahmu, begitu rupanya.”

“Terserah kamu saja. Bisakah kamu geser sedikit di sana? ” Dia memindahkan pinggangnya kembali ke posisi sebelumnya.

“Duduk saja di antara kita! Asamura-kun, ayolah, ada dua primadona sekolah di kedua tangan, seperti yang pepatah katakan! ”

“Aku lebih suka dipojokkan ...”

“Tidak boleh. Aku tidak akan membiarkanmu lolos!”

“Kenapa kamu bertingkah seolah sofa kami tiba-tiba jadi milikmu, Maaya?” Ayase-san menghela nafas ke arah Narasaka-san, yang sedang menempel di sofa.

“Iya, iya, aku mengerti, aku akan duduk di sana.”

Karena melihat tidak ada pilihan lain, aku jadi duduk di tengah sofa. Perlu diingat bahwa sebelumnya hanya aku dan Ayahku saja yang tinggal di sini. Oleh karena itu, sofa ini tidak terlalu besar. Kedua gadis itu, di sebelah kiri dan kananku, praktis berjarak beberapa inci dari badanku. Bagaimana aku bisa tetap tenang seperti ini? Pasti ada yang namanya batasan, oke.

“Baumu harum sekali, Asamura-kun. Jadi ini aroma sampo Keluarga Asamura, ya. Itu berarti, Saki juga… ”

“Mana mungkin kita menggunakan sampo yang sama. Pengetahuan umum, apa kamu tidak pernah mendengarnya?”

Jadi itu seharusnya pengetahuan umum, ya. Aku tidak pernah berpikir untuk menggunakan sampo dan sabun mandi yang berbeda dari Ayahku. Kurasa aku harus mengingatnya saat pergi berbelanja nanti.

“Aku membeli barang-barangku sendiri. Bagaimanapun juga, aku masih gadis SMA.” Ujar Ayase-san, seolah-olah dia bisa membaca pikiranku.

“Kalau begitu, mari kita mulai ~!” Narasaka-san berkata dengan semangat, dan mengoperasikan konsol gim.

Musik yang riang dimainkan, saat aku fokus pada layar. Meski sofa ini sudah tidak asing lagi bagiku, ini pasti pengalaman paling tidak nyaman yang aku alami sejauh ini. Di saat yang sama saat aku memikirkan itu, aku teringat kata-kata Ayase-san. 'Sofa kami' katanya. Kata-kata ini membuatku sedikit bahagia.

Layar TV pun berubah. Sepertinya sedang mencari patch terbaru dari game tersebut. Tapi, tidak ada yang bisa ditemukan, dan permainan dimulai.

“Apa ini… yang menakutkan?” Ayase-san bertanya, suaranya sedikit tegang.

“Sama sekali tidak menakutkan ~ Itu lucu! Seperti puzzle! Kamu mengontrol makhluk flappy ini, dan sambil berpegangan tangan, kamu harus mencapai tujuan.”

Narisaka-san menunjuk ke layar, khususnya pada karakter yang terlihat tidak memiliki tulang. Dengan mengoperasikan konsol, karakter Narasaka-san terlempar ke udara, berbalik, dan mendarat di paku yang diletakkan di tanah. Darah menyembur dari tubuh, saat karakter jatuh ke kedalaman peta dengan jeritan.

“Lihat, beginilah cara mereka mati.”

“Jadi ini game horor.”

“Sekali lagi, bukan! Kamu benar-benar dapat menyelesaikan tahap ini. Itu cuma menakutkan jika kamu gagal. Ayo, Asamura-kun, pegang ini. ”

“O-Oke.” Aku diberi pengontrol gim.

“Dengar. Kita harus bekerja sama di sini. Ini akan menjadi operasi bersama pertama kita!”

“Aku tidak mengerti sama sekali.”

“Lupakan itu! Ayo lakukan!”

Kami mati ribuan kali. Ini adalah pertama kalinya aku memainkan permainan itu, jadi mana mungkin aku bisa langsung ahli. Namun, Narasaka-san selalu bersorak setiap kali karakterku jatuh mati. Dia bahkan menepak-nepak bahuku dalam upaya untuk menghiburku, dan mencoba membuatku semakin gagal. Sungguh menakutkan betapa dekatnya dia. Dia terasa lebih seperti adik tiriku ketimbang adik tiriku yang asli.

“Haaaa, itu menyenangkan!”

Saat kami selesai, hujan sudah berhenti, dan Narasaka-san pulang ke rumah dengan wajah puas.

“Maaf dia sangat menyebalkan.” Ayase-san kembali setelah mengantarnya pergi di pintu masuk apartemen, dan berkata begitu.

“Tidak, aku tidak keberatan.”

“Um ...” Dia tampak ragu-ragu dengan ucapannya, hal itu membuatku sedikit gugup. “Boleh aku… meminta ID LINE-mu? Untuk memastikan hal seperti yang tidak menguntungkan yang terjadi sebelumnya tidak terjadi lagi?”

“A-Ah, ya, tentu.”

Aku tidak keberatan dengan itu. Memang, itu semua untuk menghindari kemalangan yang mungkin terjadi. Kita ini keluarga, sama sekali tidak aneh. Ketika aku membuka daftar temanku, aku melihat ikon Ayase-san. Dia menggunakan cangkir teh bergaya sebagai gambar ikonnya. Hanya dari itu saja, kau tidak dapat memastikan apa itu laki-laki atau perempuan, yang sangat mirip dengannya.

“Kurasa ini juga persenjataan…”

“Apa kamu mengatakan sesuatu ~?” Setelah kami selesai bertukar kontak, Ayase-san pergi ke dapur, dari sanalah dia sekarang memanggilku.

Suara pisau dapur yang mengenai talenan berhenti sejenak.

“Tidak, itu bukan apa-apa.”

“Oke ~ Makan malam akan segera siap.”

“Oke.”

Suara pisau dapur berlanjut, saat aroma lembut dari sup miso menggelitik hidungku. Aku mengenang semua yang terjadi hari ini. Fakta bahwa hari ini dimulai dengan diriku yang bertemu Ayase-san selama berangkat ke sekolah, hari ini penuh dengan berbagai peristiwa.

Aku melihat Ayase-san selama latihan, ketika dia mengolok-olok Narasaka-san. Meski aku membawa payung, aku jadi basah kuyup karena hujan. Momen di mana kedua gadis ini mendengar senandungku pasti jadi pengalaman terburuk hari ini, dan bahkan setelah itu, ketika kami bermain game bersama, aku akan kesulitan menemukan sesuatu yang berharga di sana.

Namun, anehnya, aku merasa puas ketika aku mematikan layar smarphone-ku, sama seperti apa yang aku alami hari ini.



<<=Sebelumnya   |   Selanjutnya=>>

close

12 Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama