Chapter 2 – 8 Juni (Senin)
Tentu
saja, kejadian yang bikin hati cenat-cenut saat Ayase-san dan aku berangkat ke
sekolah bersama-sama tidak pernah terjadi. Mengetahui bahwa kami berdua
sama-sama murid dari SMA Suisei, dia menyarankan untuk tidak melakukannya
supaya tidak ada gosip aneh yang menyebar di sekolah. Tentu, itu adalah pilihan
yang sangat tepat. Ayahku dan Akiko-san sepertinya menyadari hal itu, dan
memutuskan untuk tidak mengubah gaya hidup secara tiba-tiba, seperti mengganti
nama keluarga kami. Karena itu akan mengundang kesalahpahaman, dan mengurus
dokumennya sangat menyebalkan, jadi aku cukup senang tentang itu. Karena itu,
Ayase-san dan aku meninggalkan rumah pada waktu yang berbeda, berangkat ke
sekolah secara terpisah.
Dunia
didasarkan pada persaingan yang kompetitif. Untuk bertahan dalam persaingan
yang kejam ini, seseorang tidak boleh mengeluh atau menyombongkan diri, dan
menunjukkan ratusan hasil.
Itulah
motto sekolah kami. Motto tersebut menggambarkan kalau hasil lebih disukai daripada
upaya, yang mana artinya jika kau mampu mempertahankan nilai bagus atau
menunjukkan pencapaian luar biasa dengan aktivitas klub, kau diizinkan untuk
mempertahankan kerja sambilan. Mengagumi kebebasan semacam ini, aku memutuskan
untuk mengikuti ujian masuk di SMA Suisei. Sebuah sekolah yang cukup bergengsi,
tapi aku tidak benar-benar memikirkan universitas, atau tujuan yang ingin aku
capai. Aku hanya ingin masuk ke universitas yang relatif bagus saja.
Namun,
itu bukan karena aku ingin mencapai sesuatu yang hebat, atau bertujuan untuk
sesuatu yang lebih tinggi, tapi hanya karena aku memanfaatkan belajarku untuk
menghindari masalah apapun dalam kehidupan pribadiku. Saat SD dulu, aku disuruh
mengunjungi tempat les. Kejadian tersebut terjadi sebelum ayahku bercerai.
Orang yang merupakan ibuku mencoba membesarkanku supaya menjadi orang yang
memiliki pengaruh sosial yang lebih besar daripada ayahku, itulah sebabnya aku
disuruh mengikuti tempat les terkenal.
—Hal itu justu membuatku merasa berkecil hati
selama mencoba hadir di sana.
Bercampur
dengan anak-anak lain yang belajar seolah-olah hidup mereka bergantung pada hal
itu, aku mengalami banyak kesulitan berurusan dengan mereka dan belajarku,
sampai pada titik di mana aku akan hancur dari tekanan hanya karena dipaksa
untuk berurusan dengan mereka. Itulah pertama kalinya aku menyadari sepanjang
hidupku bahwa aku menderita gangguan komunikasi. Untuk membalasnya, aku belajar
dengan putus asa, dan menaikkan nilai raporku. Sekarang aku bersekolah di
sekolah SMA bergengsi ini, nilaiku berada di setengah bagian atas, tapi saat
SMP dulu, aku pasti menduduki peringkat atas.
Bukannya
aku bertujuan lebih tinggi, aku hanya tidak ingin menghadiri tempat les. Karena
upaya ini, aku dapat menghindarinya. Satu-satunya alasanku bekerja sambilan selain
mendapatkan nilai bagus ialah semata-mata untuk menunjukkan kepada ayahku bahwa
Ia tidak perlu mencemaskanku, karena kedengarannya merepotkan untuk ditangani.
Itulah sebabnya aku merasa tidak melakukan sesuatu yang hebat, bukan sesuatu
yang pantas dihormati, karena aku bahkan tidak bekerja keras untuk mencapai
tujuan. Benar, teman tepercayaku Maru Tomokazu lebih dari tipe itu.
“Yo,
Asamura. Pagi.”
“Pagi
juga Maru. Latihan pagi?”
Pagi
hari, di dalam kelas kami yang biasa. Jam pelajaran akan dimulai dalam sepuluh
menit, namun Maru sudah sampai di tempat duduknya di depanku. Ia memiliki
penampilan yang berpengetahuan luas dengan kacamatanya, rambut yang dipangkas
dengan liar, dan perut yang diberkahi. Sekilas, kau bisa menyebutnya sedikit gendut,
tapi ungkapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Saat aku mengetahui bahwa yang menutupi
tubuhnya bukanlah lemak melainkan otot, aku hampir terjatuh dari kursi. Memang benar
kalau kita tidak bisa menilai orang berdasarkan penampilan mereka.
“'Iyalah.
Tiada hari tanpa latihan.” Ujarnya dengan ekspresi masam.
Maru
sebenarnya bagian dari klub bisbol, dan kedapatan bagian cacther seperti yang ditunjukkan sosoknya. Tentu saja, Ia sangat
menyukai klubnya, tetapi bahkan orang yang paling bersemangat terkadang
mengeluh tentang bidang yang mereka geluti.
“Klub
itu mirip seperti lintah darat, iya ‘kan.”
“Dijamin
datang lebih awal dan selalu pulang lebih sore. Persaingan, kecemburuan. Usia
tidak masalah, keterampilan adalah yang terpenting. Pada titik itu, itu sudah
disebut game.”
“Dan
kau kalah?”
“Peka
sekali, aye. Jika kau masuk ke klub bisbol tanpa kecintaan murni pada olahraga,
kau akan kalah. Sudah terbiasa mengatakan capek bahkan sebelum itu, tapi… Yah, aku
tidak berharap orang lain memahami apa yang aku alami. ”
“Hiii,
kedengarannya mustahil bagiku.”
Maru
melepas kacamatanya, dan mengeluarkan kotak kecil dari tasnya. Di dalamnya, Ia
membawa kacamata yang berbeda, yang dia kenakan. Yang satu digunakan untuk
olahraga, yang lainnya untuk studinya. Sepertinya Ia mengganti peralatannya
seperti di RPG. Rupanya kacamatanya rusak selama latihan sebelumnya, jadi dia
mulai menggunakan dua pasang masing-masing.
“Begitulah
adanya. Lalu, bagaimana dengan kehidupan barumu?” Maru bahkan tidak ragu untuk
mengganti topik.
Tentu
saja aku akan memberitahu teman tepercayaku mengenai ayahku yang menikah
kembali, dan keluarga baruku. Sejujurnya, aku hampir tidak punya teman di
sekolah. Setelah mengalami hal mengerikan di tempat les, kemampuan komunikasi
pertemuan pertamaku mencapai titik terendah.
Tapi,
untuk Maru Tomokazu, Ia selalu duduk dekat denganku di kelas, dan minat kami
terhadap manga dan anime cukup serasi, jadi kami dengan sendirinya menjadi
teman. Kau mungkin menganggapnya aneh kalau Ia masuk klub olahraga dan juga
otaku pada saat yang sama. Rupanya, Ia terpikat pada manga bisbol populer, dan
ingin mencobanya sendiri, yang membuatku bersandar padanya sebagai seorang
otaku. Maksudku, kadang juga ada otaku yang terpengaruh oleh anime, dan mulai
mengunjungi gym, bukan?
Tapi
tentu saja, topik yang dibicarakan adalah fakta bahwa aku punya keluarga baru.
“Bagaimana,
ya… Jika mengatakannya dalam satu kalimat… Ini berbeda dari yang kubayangkan.”
“Kau
punya adik perempuan, ‘kan? Dasar Onii-chan keparat.”
“Jangan
gunakan itu sebagai penghinaan… Dan, meski memanggilnya sebagai adik
perempuan…”
“Tidak
bisa bersemangat karena kau tidak berhubungan darah?”
“Aku
bahkan tidak melihatnya sebagai adik maupun saudara tiri.” Balasku dan teringat
wajah Ayase-san. “Ketimbang adik, dia lebih merasa seperti 'Wanita'.”
“Itu
salah satu cara yang mesum untuk mengatakannya.”
“Cuma
itu satu-satunya cara untuk menggambarkannya. Sejujurnya aku tidak tahu
bagaimana cara mendekatinya.”
“Hmmm,
begitu ya. Seorang 'Wanita', huh.
Kurasa gadis gyaru SD baru-baru ini berada di level yang berbeda.”
“Gyaru
SD? Apa yang sedang kau bicarakan?”
“Kita
sedang membicarakan tentang adik perempuanmu, ‘kan?” Maru berkedip dengan
tatapan bingung.
Harusnya
aku yang bingung, hei… Oh, tunggu sebentar. Aku hanya mendengar bahwa dia anak
SD atau SMP, karena seperti itulah yang terlihat dalam gambar yang ditunjukkan
ayahku. Aku tidak pernah mengoreksi kesalahpahaman Maru sejak itu.
“Tidak,
adik perempuan itu—“ Aku berbicara sejauh itu, lalu menahan diriku.
Dia
bukan anak SD, tapi sebenarnya anak SMA sama seperti aku, terlebih lagi dia
bersekolah di sekolah ini, dan di angkatan yang sama pula. Aku tidak tahu dia
di kelas mana, tapi dia gadis yang cantik — Hanya memberitahu itu saja akan menggelitik
keingintahuan para pria, dan malapetaka akan terus terjadi sesudahnya. Bukannya
aku tidak bisa memperacayainya, aku hanya tidak bisa mengingkari janjiku dengan
Ayase-san. Aku bukanlah cowok yang bermulut ember.
“Adik
perempuanmu— … apa?”
“Adik
perempuanku… sangat berbeda dari yang kubayangkan. Tidak seperti yang aku
ketahui dari media 2 Dimensi selama ini. ”
“Yah,
duh. Kau akhirnya tidak dapat memisahkan antara kenyataan dengan 2D?”
“Apa
maksudmu 'akhirnya'? Itu membuatnya terdengar seperti aku hampir kehilangan
diriku seperti itu.”
“Itu
kebenarannya, ‘kan?”
“Bukan
berarti kau bisa seenak jidat mengatakan apapun yang kau inginkan, oke.”
“Yah,
itu karena sudah karakterku.”
Oh
aku tahu. Aku sudah mengenal Maru setidaknya lebih dari setahun sekarang, jadi aku
sangat menyadari bahwa lidahnya setajam pisau, berayun-ayun tanpa henti, dan
seringkali tidak mengenal ampun.
“Bagaimanapun
juga, aku tidak kegirangan seperti yang kau pikirkan. Jika ada, itu sangat
melelahkan, dan sulit untuk mengetahui jarak yang harus dijaga.”
“Sudah
sangat ketahuan.”
“Ngomong-ngomong,
ayo ganti topik — Apa kau mengenal gadis yang bernama Ayase Saki?”
“Mm
?? Aku pernah mendengar tentang dia sih, tapi kenapa kau tiba-tiba menanyakan
hal itu?” Tentu saja, karena pertanyaan yang terlalu mendadak, Maru jadi menyipitkan
matanya.
Jaringan
informasi di klub olahraga lebih luas dari yang bisa kau bayangkan. Saat berbicara
tentang gadis — terutama seseorang yang setara dengan kecantikan yang dimiliki
Ayase-san, dia pasti akan menjadi topik yang menarik. Karena aku tidak tertarik
dengan rumor dan sebagainya, aku tidak pernah memikirkannya, tapi sebelumnya,
Maru pernah menceritakan kepadaku cerita dan rumor tentang gadis-gadis yang
bahkan tidak aku kenal, jadi aku pikir ini layak untuk dicoba.
“Ayase,
ya? Hmm… Mengapa dari semua gadis yang ada kau justru bertanya mengenai dirinya?
”
“Yah,
kau tahu sendiri, aku hanya ... Dia itu cantik, ‘kan?”
“Lebih
baik jangan.”
“Eh?”
“Sebagai
temanmu, aku memberitahu kalau upayamu itu hanya membuang-buang waktu dan
tenaga.”
“Tunggu
sebentar. Kenapa kau berbicara seperti itu?”
“Aku
tidak punya hobi mencampuri urusan cinta orang lain, tapi ...”
“Aku
tidak pernah ingat meminta nasihat cinta darimu.”
Aku
tidak tahu kenapa Maru sampai mengatakan itu, jadi aku segera menyela.
“Aku
salah, ya? Aku pikir kamu naksir dengan Ayase atau semacamnya.”
“Kau
ini gila? Mana mungkin gadis cantik seperti Ayase-san repot-repot melirik ke
cowok sepertiku, hal itu mustahil terjadi.”
Dia
adalah gadis rupawan yang mirip seperti boneka, dengan rambut pirang yang
memikat, dan aku adalah tipe cowok yang menatap dirinya sendiri di cermin untuk
menyadari sekali lagi betapa membosankannya rupaku. Serius, siapa yang akan
memikirkan itu? Aku menghela nafas tak percaya. Saat aku menghela nafas, Maru
menatapku seolah-olah memiliki sesuatu untuk dikeluhkan.
“Tidak,
justru sebaliknya. Jika kau berniat berpacaran dengan Ayase, harga dirimu akan
turun. ”
“…
Haha, lelucon yang bagus.”
“Aku
tidak bercanda, bung.”
“Lalu
apa yang sedang kau bicarakan? Pasti ada batasan seberapa jauh kau bisa
berkomentar seperti itu ‘kan.”
“Maksudku,
aku setuju kalau gayanya bagus ... Tapi, ada juga beberapa rumor jelek yang
beredar.” Maru mengatakannya dengan wajah masam. “Aku sebenarnya bukan
penggemar bergosip di belakang orang lain, tapi beda lagi ceritanya jika teman
tepercayaku mau PDKT dengannya. Pepatah bilang ketidaktahuan adalah berkah, tapi
aku tidak bisa bersikap acuh sekarang. ”
“Apa
kau bisa menceritakan lebih banyak mengenai rumor itu?”
Tentu
saja, aku tidak jatuh cinta pada Ayase-san, tetapi menjelaskan apa pun tentang
hal itu akan memaksaku untuk mengungkapkan fakta bahwa kami sebenarnya adalah
saudara tiri sekarang. Karena itu akan semakin menjengkelkan, aku membiarkan
kesalahpahaman Maru, dan mendengarkannya. Maru dengan cepat mengamati
sekelilingnya, dan mendekatkan wajahnya ke arahku saat berbisik.
“Ayase,
kau tahu… Rupanya, dia… melakukan itu… 'Prostitusi'.”
“……Hah?”
“Rambut
pirang, tindik, selalu masang muka kesal, tidak membiarkan orang lain
mendekatinya. Dia mungkin gyaru paling menonjol di sekolah ini, terutama dengan
suasananya yang mencolok. Bahkan ada saksi mata yang melihatnya keluar dari
beberapa bangunan mencurigakan di Shibuya, atau hotel terdekat. ”
“Hah,
aku tidak pernah tahu.” Tidak menyangkal atau menerimanya, aku hanya
mengangguk.
Aku
dapat melihat mengapa gosip klise semacam itu dilabelkan padanya, hanya dengan
melihat penampilan luarnya. Usai beberapa kali berbicara dengannya, dia tidak
memberikan kesan akan melakukan hal semacam itu, tapi aku jelas belum cukup
mengenalnya sampai dengan yakin membantah rumor tersebut.
“Bisa
dibilang, jarang sekali kau menelan bulat-bulan rumor semacam itu, Maru.
Biasanya kau adalah orang yang meragukan rumor semacam ini terlebih dahulu.”
“Ada
seorang teman di klub bisbol yang menembak Ayase-san.”
“Eh.
Meski semua orang menghindarinya?”
“Maksudku,
rumor ya rumor, tapi masalah rupa beda lagi ceritanya. Dia cukup populer. Meskipun
itu di luar jangkauanku.”
“Begitu
ya.”
“Dan,
temanku di klub diberitahu dari orangnya sendiri.”
“…Haa?”
"'Aku ini orang yang persis seperti yang
dirumor kan. Aku tidak berniat berpacaran dengan siapa pun, katanya.” Maru
mencoba meniru cara bicaranya, saat menjelaskannya kepadaku.
Jelas
sekali Maru tidak memiliki kesan bagus dari Ayase-san.
“Bagaimana
dengan kemungkinan kalau teman klubmu itu cuma mengada-ada?”
“Masih
belum pasti sih, tapi mungkin nol. Apalagi, ini bukan pertama kalinya hal ini
terjadi. Cowok dari klub lain mengatakan hal serupa. ”
“Jadi
pendapatnya mungkin subjektif, tetapi angka-angkanya menunjukkan objektivitas.”
“Kurang
lebih begitu.”
Masih
belum ada jaminan kalau apa yang mereka semua katakan adalah benar, tapi paling
tidak, masih aman untuk mengatakan bahwa Ayase-san menanggapi pengakuan seperti
itu.
“Mmm…
macam kotak pandora…”
Rasanya
seperti aku membuka kotak Pandora. Pertama, kau harus melihat ke orang lain —
apa yang dikatakan dalam 'Ilmu Pria dan Wanita', dan aku pikir itu akan menjadi
taruhan terbaik untuk mulai mencari tahu seberapa jauh jarak yang harus aku
miliki dengan Ayase-san, tapi sekarang aku justru punya banyak masalah yang
perlu dikhawatirkan.
Apa
rumor itu benar? Jika ya, apa Akiko-san dan Ayahku mengetahuinya? Jika tidak,
haruskah aku yang melaporkannya?
…
Tidak, lebih baik jangan. Aku tidak mau mempercayai rumor yang tak berdasar
semacam itu. Pada saat yang sama, walaupun rumor ini benar, aku bukan dalam
posisi untuk memarahinya. Jika sebenarnya ada beberapa kencan berbayar atau
sejenisnya yang terjadi, maka, jika orang yang terlibat membayar dan
menyediakan dengan benar, itu hal yang mereka khawatirkan, dan bukan masalah aku
untuk mengkhawatirkan orang yang tidak aku kenal.
Tentu
saja, ada sisi yang menjengkelkan sekarang setelah Ayase-san menjadi
keluargaku, tapi bahkan jika rumor ini ternyata benar, aku tidak pernah
berpikir untuk memberitahunya. Lebih dari itu, aku justru merasa sedih jika ada
suatu keadaan atau seseorang yang memaksanya.
“Jadi,
Asamura, bagaimana dengan bagianmu?”
“…Apa
maksudmu?”
“Aku
sudah menjelaskan semuanya. Sekarang giliranmu. Kenapa kau tiba-tiba mengungkit
nama Ayase?”
“Ah,
baiklah, aku menyerahkan sisanya pada imajinasimu.”
“Hah?
Oi, jangan bikin penasaran begitu.”
“Aku
tidak memberitahumu bukannya karena aku tidak mau. Tapi karena aku tidak bisa.
Tolong, maaf tentang hal itu.”
“Jangan
berpikir kamu bisa menggunakan beberapa kalimat manga untuk menghindariku ...
Ya Tuhan, inilah yang aku dapatkan setelah memberimu informasi.” Maru mengeluh,
tapi aku biarkan dia melampiaskan sedikit.
Itulah
yang luar biasa dari Maru Tomokazu. Ia tahu persis kapan harus berhenti.
Pandangan mataku menjauh dari belakang kepalanya, lalu mengarah pada kaca
jendela di sampingku. Wajahku sendiri, bertumpu pada telapak tangan, terpantul
di permukaan kaca, saat pikiranku melayang memikirkan Ayase-san.
Aku
sangat senang kita tidak berada di kelas yang sama. Jika tidak, aku mungkin
akan khawatir pada level di mana aku tidak dapat fokus pada pelajaran. Tentu
saja, itu akan terjadi begitu aku sampai di rumah, tapi aku lebih suka
menundanya untuk saat ini. Aku rasa itulah yang dimaksud dengan manusia.
—Apa
yang ingin aku tunda terjadi tidak lama kemudian. Yakni, dua jam kemudian.
Takdir selalu kejam, dan tidak memandang orang. Setiap hari Senin jam pelajaran
ketiga, kelasku kebagian pelajaran olahraga. Tentu saja, alasannya hanya
memperburuk keadaan. Selama periode waktu ini, festival olahraga SMA Suisei
kami semakin dekat, jadi untuk mengganti waktu latihan, sekitar pertengahan
tahun ajaran, dua kelas digabung menjadi satu. Tentu saja, praktik ini dimulai
pada hari ini juga.
“Rasakan
ini! Jurus Rahasia - Great Ether Serve!
Oraaaaa! ”
Aku
sedang berada di lapangan tenis sekolah. Di bawah langit abu-abu, seseorang
meneriakkan jurus rahasia yang bisa keluar dari manga dengan suara yang keras
dan lugas. Pemilik suara itu adalah seorang gadis, mengenakan kaos olahraga,
saat dia akan mengayunkan raket.
Dia
gadis berambut merah cerah, perawakan yang agak kecil, membuatnya terlihat
seperti hamster kecil. Meski dia dari kelas lain, bahkan aku tahu namanya —
Narasaka Maaya. Untuk memujinya, bisa dibilang kalau dia sangat energik, tapi
di sisi lain, dia dikenal sebagai perwakilan kelas yang usil. Ditambah
energinya yang dapat menyuplai sejuta minuman berenergi, dan kemampuan untuk
merawat orang lain seperti seorang nenek, serta penampilannya yang cukup imut,
dia memiliki teman di seluruh sekolah, seorang riajuu yang berdiri di atas riajuu
lainnya.
Tentu
saja, Narasaka-san bahkan terkenal di kelasku, dan karena dia kadang-kadang
datang berkunjung, aku juga tidak bisa mengabaikan keberadaannya begitu saja,
tidak peduli seberapa keras aku memblokir orang yang dirumorkan.
Semua
orang, yang berarti penonton, yang lihat, dan bahkan lawannya, mereka semua
melihat ke langit mendung untuk melacak bola yang dia lempar, menunggu bola itu
berbalik kembalu. Satu detik, dua detik, tiga detik berlalu.
“Hey
kamu lagi ngapain!? Bolanya terbang ke tempat lain, tahu !? ” Lawan
Narasaka-san, gadis lain, terperangah pada homerun itu, saat berteriak tak percaya.
“Ahaha,
maaf maaf!”
“Sungguh…
servis gila macam apa itu?”
“Karena
kupikir itu keren, heh!”
“Jangan
'heh' melulu! Dasar gadis edan…! Rasakan ini, ini, ini! ”
“Tidaaaaaak
~ Jangan mengusap rambutku seperti itu ~”
Kepala
Narasaksa-san terjepit oleh gadis lain yang menggesekkan sikunya di kepalanya.
Dua gadis imut bermain-main seperti itu pasti akan menjadi pemandangan yang
menyegarkan mata. Faktanya, semua anak cowok di kelasku benar-benar fokus
menonton adegan ini. Namun, aku berbeda. Aku bahkan tidak sempat melirik
pemandangan surgawi dua wanita cantik ini, dan tatapanku diarahkan pada tempat
lain.
Ada
satu individu berdiri di sudut lapangan tenis, di tempat di mana dia nyaris
tidak menonjol, bersandar di pagar besi, di luar lapangan. Dia bahkan tidak
memegang raket tenis, karena aku bisa melihat kabel earphone mencapai
telinganya dari saku kausnya. Dia hanya mendengarkan sesuatu, saat dia menatap
ke atas langit — Orang tersebut tidak lain adalah Ayase-san.
Belum
pernah aku bisa melihat seseorang yang begitu terbuka membolos. Karena dia
tidak bertingkah seperti sedang melakukan sesuatu yang buruk. Sesaat aku
berpikir dia benar-benar cocok di sana. Tidak ada orang lain yang tampak
terganggu juga, karena baik siswa maupun guru tidak memperhatikannya, apalagi
memperingatkannya.
Seorang
gadis SMA yang tidak akur dengan kelasnya, akan merasa ragu melakukan hal-hal
terlarang. Jika kau memotretnya, dan menjadikan ini judulnya, itu akan
menyimpulkan semuanya dengan sempurna.
Di
satu sisi, ada pemandangan siswa yang bermain tenis dengan gembira, dan
kemudian ada aku, perlahan-lahan mendekati Ayase-san. Aku duduk di seberang
pagar, bertingkah seolah-olah sedang istirahat.
“Bolos
kelas?” Aku memanggilnya.
Ayase-san
melepas earphone-nya dengan tatapan ragu, dan sedikit membuka matanya.
“Itu
mengejutkanku. Kenapa kamu berbicara seperti ini padaku?”
“Maksudku,
ada wajah yang familiar sedang membolos, tentu saja aku akan datang
memeriksanya.”
“Huh,
jadi kamu datang ke sini bersikap sebagai kakak yang mengajar.”
“Tidak
juga. Aku bukan orang yang bahkan berhak melakukan itu. Aku hanya terkejut
melihatmu memilih tenis juga, Ayase-san. ”
“Maaya
memaksaku melakukannya. Dia ingin mencoba hal yang sama. Namun, itu bukan
satu-satunya alasan.”
“Maaya
yang kau maksud itu Narasaka-san, ‘kan? Apa kalian berdua teman dekat? ” Aku
memandang ke arah lapangan, dan melihat seorang gadis berambut merah mengejar
bola.
Dia
benar-benar menonjol.
“Tentu.
Tapi, kurasa tidak ada gadis yang tidak dekat dengannya.”
“Seratus
teman, seperti yang pepatah katakan, ya”
Ada
sekitar 20 gadis dalam satu kelas. Bila dijumlahkan dengan satu angkatan ada 8
kelas, Ada sekitaran 160 orang. Sungguh angka yang menakutkan.
“Menurutku
Maaya tidak punya teman sebanyak itu, setidaknya tidak dengan sifat sejatinya.
Sepertinya, dia bisa bergaul dengan semua orang meski mereka bukan teman.”
“Ah,
memang kelihatan seperti itu.” Aku puas dengan penjelasan itu.
“Asamura-kun,
kenapa kamu memilih tenis?”
“Umm,
apa aku benar-benar perlu memberitahumu? Itu bukan sesuatu yang membuatmu
memujiku.”
“Tidak
apa-apa, aku sendiri punya alasan menyedihkan.”
Apanya
yang 'tidak apa-apa' tentang ini? Ini
bukanlah permainan kartu di mana kami mencoba untuk menang melawan satu sama
lain dalam hal yang alasannya lebih memalukan. Tapi, karena tatapannya terasa
setajam anak panah yang menusukku, aku tidak punya pilihan lain selain
menjelaskan padanya.
“Karena
pertandingan sebenarnya bukanlah pertandingan grup.”
Maru
berpartisipasi dalam sepak bola, bola basket, dan permainan tim lainnya. Dengan
tenis, bahkan tidak ada nomor ganda, jadi kau hanya bertanding sendirian.
“Aku
tidak ingin bermain dengan orang lain, jadi aku memilih tenis.”
Bagi
kalian yang berpikir 'Cowok ini ngomong
apaan sih?', Aku mengucapkan selamat kepada kalian dari lubuk hatiku.
Semoga hidup kalian selalu diliputi kebahagiaan. Bagiku, bagaimanapun juga, aku
buruk dalam mengharapkan sesuatu dari orang lain, dan hidup sesuai dengan
harapan orang lain. Hanya dengan berpikir bahwa aku mungkin akan membebani tim,
perutku merasa mual. Jika aku bisa menjalani hidupku tanpa pemikiran yang
menyiksa ini, segalanya akan mudahnya, terkadang aku bertanya-tanya pada diriku
sendiri.
“Hah…
Kita berdua benar-benar mirip.”
Itulah
mengapa, karena dia menunjukkan simpati terhadap kata-kataku yang menyedihkan,
itu menjadi seperti pengakuan bahwa dia sendiri lebih merupakan penyendiri.
“Ayase-san
juga?”
“Ya,
begitulah. Pemicunya adalah Maaya, tapi aku juga tidak ingin bermain dalam tim.
Kamu mungkin sudah mengetahuinya, tapi aku menjaga jarak dari gadis-gadis
lain.”
Meskipun
itu adalah sesuatu yang menyedihkan dan penuh penyesalan, Ayase-san berbicara
dengan suara acuhnya yang biasa. Aku tahu betul itu, karena tidak ada yang
memberinya perhatian, meskipun membolos kelas sambil mendengarkan musik. Apa dia
setengah transparan atau semacamnya? Untuk sesaat, aku meragukan diriku
sendiri, tapi aku bisa melihat tubuhnya dengan sempurna, bahkan aroma wangi parfum
yang samar-samar melayang ke hidungku. Karena menyadarinya, aku merasa malu,
dan membuang muka lagi.
“Apa
kamu tidak akur dengan kelasmu?”
“Terkejut?”
“Yah,
dengan tampang secantik dirimu, kupikir kau akan menjadi pusat kelas.”
“Kalau
dipikir secara umum sih, iya.” Ayase-san mengangguk. “Tapi aku berbeda.”
Aku
yakin alasan utama untuk ini pasti karena gosip dan rumor yang beredar, terlepas
dari benar atau tidaknya hal itu. Sebagian besar orang di sekolah ini
setidaknya percaya akan rumor itu.
“Meski
begitu, posisi ini tidak seburuk ... Aku juga tidak terlalu peduli dengan
festival olahraga. Rasanya buang-buang waktu saja. Jika mereka tidak
menggangguku, aku dapat menggunakan waktu untuk diriku sendiri.”
“Mendengarkan
musik?”
“Eh?
…Yah begitulah." Ayase-san menunjukkan ekspresi yang sedikit tersipu, dan
membuang muka.
Dia
menyembunyikan sesuatu. Jelas ada maksud lain dari reaksinya itu, tapi aku
tidak ingin bersikap kasar dan terlalu mengorek urusan privasinya, jadi aku
tetap diam. Orang lain akan memberitahumu jika mereka merasa siap. Mencoba
memaksa momen itu justru bisa membuatmu dibenci.
“Kali
ini, aku akan memutuskannya dengan pasti! Jurus Ampuh tertentu! Super Ether Serve! ”
“Namanya
bahkan tidak berubah, lol.”
Aku
mendengar suara Narasaka-san lagi, diikuti oleh balasan gadis lain. Suara
mereka lantang sekali, oi. Tapi, karena aku tengah memikirkan Narasaka-san
lagi, aku menoleh ke arah Ayase-san.
“Apa
kamu tidak berlatih dengan Narasaka-san? Aku merasa dia mengajakmu supaya
kalian bisa bermain bersama… atau lebih tepatnya, melawan satu sama lain. ”
“Nah.”
“Itu
cepat, oke.”
“Aku
sama sekali tidak dibutuhkan. Maaya mengajakku saat mengetahui kalau aku akan
membolos. Lagipula, kebaikan inilah yang membuatnya populer, kurasa.”
Membolos
kelas seperti ini, dan dari kata-katanya sendiri, semua faktor ini hanya akan
menegaskan rumor yang beredar, namun atmosfer yang dia keluarkan, dan reaksinya,
hal itu benar-benar menghilangkan semua informasi dari luar. Di mana atau apa
jati diri Ayase Saki? Untuk bisa menjawab pertanyaan itu, aku masih belum cukup
mengenalnya.
*****
Saat
aku pulang dari sekolah, Akiko-san baru saja hendak pergi.
“Ara~,
Yuuta-kun.”
“Ah…
aku pulang.”
“Selamat
datang di rumah ~ Aku sudah membuatkanmu makan malam, loh ~”
“Terima
kasih banyak… Tapi, tidak perlu repot-repot, Akiko-san mau berangkat kerja, ‘kan?”
“Benar
~ Aku baru saja pindah, tapi aku tidak bisa santai sedikit ~” Ibu tiriku
meletakkan satu tangan di pipinya, lalu menunjukkan senyum bermasalah.
Dia
mengenakan pakaian yang tampak mahal, dengan bahunya yang terbuka, dan aroma
parfum yang berasal darinya cukup kuat membuatku pusing. Itu seperti kupu-kupu
yang menyebarkan pesonanya agar dunia dapat melihatnya. Jika seseorang
memberitahuku bahwa dia akan melompat ke kota malam mulai sekarang, aku akan
langsung mempercayai mereka.
“Karena
ayahku selalu sibuk dengan pekerjaan, aku hanya makan apa saja yang bisa aku
temukan, jadi Akiko-san tidak perlu menyiapkan makanan sebelum bekerja.”
“Saat
hanya ada aku dan Saki, itu sudah lumrah, tapi sekarang kita mulai hidup
bersama, jadi kupikir sekalian juga ~”
“Aku
tidak ingin Anda bekerja terlalu keras, jadi tolong jangan dipaksa.”
“Yah,
aku mungkin harus mengandalkan kebaikanmu mulai besok… Saki juga bisa memasak,
jadi kurasa aku bisa menyerahkannya padamu ~”
Mendengar
kalimat itu, aku bisa merasakan telingaku bergerak-gerak. Aku membayangkan pemandangan
Ayase-san memasak, dan secara naluriah berpikir bahwa itu tidak cocok dengan
citranya. Dan, sekarang aku sudah memikirkannya, rumor itu muncul di belakang
kepalaku. Mungkin itu sebabnya aku kebetulan mengucapkan kata-kata berikut.
“Ngomong-ngomong,
di mana Anda bekerja, Akiko-san?”
“Di
distrik perbelanjaan Shibuya ~”
“...
Jenis toko apa itu?”
“Ah,
apa kamu baru saja memikirkan yang aneh-aneh? Ayolah ~ ”Akiko-san cemberut
dengan cara yang kekanak-kanakan.
Sejujurnya,
tebakannya sangat tepat. Aku tidak berencana untuk mengatakannya, tetapi sedikit
keraguan muncul di benakku.
“Cuma
bar biasa, tidak ada layanan yang tidak senonoh, kok. Apalagi aku berinteraksi
dengan pelanggan di balik konter.”
“Anda
tidak berurusan dengan pelanggan secara langsung?”
“Dalam
artian tertentu sih, iya. Bagaimanapun juga, aku seorang bartender.” Akiko-san
menunjukkan padaku isyarat dia sedang mengocok minuman.
Bahkan
aku tahu dia sudah terbiasa dengan ini, jadi aku menerima kata-katanya.
“Aku
minta maaf karena salah paham. Hanya saja…”
“Mau
bagaimana lagi, itu memang terdengar agak mencurigakan ~ Belum lagi semua hal
klise yang dipikirkan orang ketika aku menyebutkan bahwa aku bekerja di malam
hari. Kamu juga seorang pelajar, jadi akan sedikit merepotkan jika tahu jenis
bangunan yang ditawarkan kota pada malam hari. ”
“Itu
benar, ya.”
Sekarang
kalau aku pikir-pikir lagi, mana mungkin Ayahku mencoba memenangkan hati
seorang wanita di beberapa bar perempuan atau klub host. Ia punya wajah polos,
normal, jujur, dan mudah tertipu. Ia takan memilih wanita dari tempat
mencurigakan manapun. Sudah sepuluh tahun sejak aku sadar diri, dan terus
mengawasinya, jadi aku bisa mengatakannya dengan percaya diri.
“Pokoknya,
aku harus pergi sekarang, Yuuta-kun. Tolong jaga Saki, ya~.”
“Ah
iya. Hati hati di jalan.”
Akiko-san
dengan lembut melambaikan tangannya ke arahku, saat berjalan menyusuri lorong
apartemen. Dia tampak seperti kupu-kupu menuju kota malam? TIDAK. Dia lebih
seperti chihuahua yang berjalan di rerumputan tinggi di taman umum. Sekali
lagi, aku diperlihatkan betapa melencengnya hal klise, dan sejujurnya,
seringkali begitu. Aku melihat Akiko-san menghilang ke dalam lift, dan membuka
pintu rumahku.
Di
dalam rumahku — tepatnya kamarku sendiri, aku pasti bisa merasa lebih santai
dan menjadi diriku sendiri, namun aku tetap merasa tegang. Kemungkinan besar
itu karena area di balik tembok berubah menjadi wilayah orang lain.
Lorong,
ruang tamu, kamar mandi, bukan lagi tempat yang aman untukku dan ayahku
sendiri. Menyadari kenyataan ini rasanya sepert berperilaku buruk, jadi aku
mengkonstrasikan perhatianku pada buku referensi di meja. Belajar jauh lebih
penting.
Ketika
aku melihat waktu lagi, satu jam sudah berlalu. Hal yang menyadarkanku kembali
ke dunia nyata adalah suara pintu masuk. Setelah itu, langkah kaki bergerak
menyusuri lorong, dan memasuki ruangan di sebelah kamarku.
“Selamat
datang kembali.” Aku memberikan sapaan samar, tapi tidak ada jawaban.
Maklum
saja, mana mungkin dia bisa mendengarku melalui dinding. Karena aku tidak punya
urusan yang mendesak, aku hanya berkata pada diriku sendiri untuk melupakannya,
dan kembali belajar.
Di
balik dinding, aku bisa mendengar langkah kaki berjalan di lantai, serta suara
tas sekolah yang jatuh ke lantai. Setelah itu, lemari terbuka, dan aku bisa
mendengar sedikit gemerisik pakaian…
Ah, sial. Aku tidak boleh terlalu fokus pada
suaranya, itu pasti sangat menjijikkan, bukan. Aku mengeluh pada diriku sendiri, dan menunggu Ayase-san menghilang
dari benakku.
“Asamura-kun,
boleh aku masuk?” Namun, tepat saat dia menghilang di imajinasiku, Ayase-san
muncul di depan kamarku, mengetuk pintuku.
“Ah,
tentu…”
Untuk
sesaat, aku mengkonfirmasi bagian dalam ruangan, dan memberikan izin setelah
melihat tidak ada yang berbahaya di tempat terbuka.
“Permisi.”
“J-Jadi,
ada apa?”
“Ah,
kamu sedang belajar. Kamu memang rajin sekali. Kita bahkan belum memasuki musim
ujian.”
“Memenuhi
kewajiban sebagai pelajar saja, kurasa.”
Aku
tidak selalu belajar. Aku memang memiliki rutinitas membaca beberapa manga atau
bermain game di antaranya. Tapi, ketika aku melakukannya, itu di tengah
ruangan, atau di tempat tidur. Karena itu bukan pemandangan yang aku ingin
orang lain lihat, dan karena aku sadar ada Ayase-san di sisi lain tembok, aku
kebetulan belajar.
“Mengincar
universitas yang bagus?”
“Aku
tidak berpikir orang akan mengincar uniiversitas yang buruk.”
“Ya,
lagipula kamu belajar dan bekerja sambilan pada waktu yang sama.”
“Memangnya
itu terlihat begitu aneh?”
Aku
rasa tidak jarang melihat pelajar melakukan itu.
“Maksudku,
kamu menginvestasikan waktu untuk menghasilkan uang, tapi kamu menginvestasikan
waktu dalam belajar untuk mencapai hasil yang lebih besar. Itu sebabnya, aku
pikir melakukan keduanya pada saat yang bersamaan mungkin cukup sulit.”
“Kau
terlalu banyak memikirkan hal yang rumit. Aku tidak pernah benar-benar
menyadarinya.” Aku mengangkat bahu dan menjawab secara acuh.
“Hmmm…
Jadi, ngomong-ngomong…..”
Sepertinya
ada sesuatu yang sulit untuk dikatakan, saat pandangan matanya tidak fokus, dan
memilin-milin rambut panjangnya. Mungkin karena cahayanya, atau alasan yang
berbeda, tapi pipinya terlihat lebih merah dari biasanya. Hanya karena
percakapan barusan, aku tahu bahwa rumor tentang dia di sekolah sepertinya
tidak masuk akal. Sektor bersih, menurutku.
Ayase-san
sepertinya membutuhkan beberapa detik untuk mempersiapkan mental, ketika dia
berbicara, matanya memancar tekad.
“Apa
kamu tahu tentang pekerjaan sambilan dengan jam kerja pendek tapi punya bayaran
tinggi?”
“Sektor
tidak bersih!”
“Eh?”
“Ah,
tidak, bukan apa-apa…” aku menyesal membalas tanpa berpikir.
Setidaknya
itu adalah sesuatu yang samar. Jika aku berteriak 'Prostitusi!', Maka aku akan tamat.
“Aku
ingin uang, tapi juga tidak ingin membuang-buang waktu terlalu banyak. Mungkin
satu atau dua jam, dan mendapatkan bayaran 10.000 yen untuk itu.”
“Dengan
pekerjaan normal, kau mungkin tidak bisa mendapatkannya.” Aku menjawab dengan
tenang.
Untuk
saat ini, aku memutuskan untuk tetap memasang poker face, dan bersikap seolah-olah aku tidak tahu tentang rumor
tersebut.
“Begitu
ya. Kurasa cuma menjual yang jadi satu-satunya jalan. ”
Bisa
tidak kau jangan langsung menembus pertahan batinku? Kita mungkin saudaraan,
tapi kau itu masih adik perempuanku, dan aku benar-benar tidak ingin mendengar
persis apa yang mau kau jual dalam dua hari setelah kita menjadi keluarga.
“Jika
kamu ingin menghasilkan uang, jual dirimu — itu juga yang tertulis di buku.”
Jenis
buku macam apa yang kau baca, oi. Lagipula, mengapa buku semacam itu bisa dijangkau
gadis SMA? Tapi, aku pernah melihat beberapa buku seamcam itu di kerja
sambilanku juga, jadi aku tidak bisa benar-benar mengeluh.
“Um,
Ayase-san, mungkin terdengar kasar jika aku mengatakan ini, tapi ...”
“Tentu,
silakan. Lagipula aku yang mengajukan pertanyaan itu.”
“Aku
pikir kau harus lebih menghargai tubuhmu sendiri.”
“Kenapa
kamu mempermasalahkannya? Ada orang lain seusiaku yang melakukannya juga.”
“Orang
lain tidak ada hubungannya dengan ini. Apa yang kau lakukan sendiri lebih
penting.”
“Aku
benar-benar menjaga diriku sendiri. Itu sebabnya aku ingin menghasilkan banyak
uang.” Sambil menghadapiku, yang mencoba meyakinkan Ayase-san dengan logika
orang tua, dia ternyata sangat serius.
Kencan
berbayar, kencan kompensasi, akun gadis tersembunyi. Aku pikir semua gadis yang
terlibat dalam sesuatu seperti itu melakukannya karena bosan atau karena mereka
bisa. Namun, rasanya Ayase-san jelas berniat melakukan ini, karena kata-katanya
mengandung ketegasan dan kepercayaan diri yang belum pernah aku lihat
sebelumnya.
Karena
itu, tak peduli seberapa besar tekadnya, aku tetap tidak bisa mengabaikan ini.
Apalagi sekarang dia telah menjadi adik perempuanku. Saat memikirkan permintaan
Akiko-san untuk menjaga Ayase-san, aku merasa bersalah karena tidak berusaha
lebih keras.
“Bisakah
kau mengatakan hal yang sama di depan Akiko-san?”
“…Aku
bisa, kok? Justru, dia mungkin akan memujiku karena menjadi dewasa.”
“Itu
cara mendidik yang terkutuk.”
“Memangnya
itu berbeda untuk keluargamu? Kupikir ayahmu senang saat kamu mulai
melakukannya sendiri, Asamura-kun. ”
“Akan
menjadi masalah besar jika jadi begitu. Memang benar kalau ayahku adalah orang
yang tidak diandalkan, tetapi jika anaknya melakukan itu, dia pasti akan sedih.
Juga… kapan itu menjadi premis bahwa aku melakukannya juga? ”
“Eh,
bukannya kamu pergi ke sana kemarin? Kerja sambilan.”
“…Kerja
sambilan?”
“Ya,
kerja sambilan.”
Keheningan
aneh muncul di antara kami berdua. Kami berdua tampaknya mencoba mencari tahu
kapan pembicaraan kami tidak klop
salah satu sama lain, menelusuri benang merah percakapan kami, yang menyebabkan
keheningan ini muncul.
“Menurutmu
apa yang sedang kubicarakan?” Ayase-san berkata sambil menyipitkan matanya.
“Pelayanan
seks dengan uang yang banyak, atau semacamnya.”
“………Hah?”
Suara
Ayase-san berubah dingin seperti yang belum pernah kudengar sebelumnya.
*****
“Ahh,
begitu rupanya. Jadi kamu pikir aku terlibat dalam 'Prostitusi'.”
“Aku
sunguh-sungguh minta maaf!!”
Setelah
memastikan bahwa arah pembicaraan kami salah kaprah, kami menyadari kalau kami
berdua lapar, dan pindah ke meja makan. Kami menemukan menu makanan yang sudah
disiapkan Akiko-san sebelum dia pergi, yaitu sayuran tumis dengan sup miso, dan
menghangatkannya di piring kami. Setelah kami berdua mencicipi sup miso kami
untuk pertama kalinya, Ayase-san berbicara dengan kata-kata tersebut. Karena aku
tidak punya alasan lain, aku hanya bisa menangkup tanganku, dan menundukkan
kepala. Ayase-san tampak tidak nyaman dengan itu, dan mengehla nafas saat
melihatku.
“Angkat
kepalamu, Asamura-kun. Aku tahu kalau ada rumor semacam itu beredar. Saat aku berpenampilan
seperti ini, orang cenderung salah paham. Namun, sebagian dari itu salahku juga
karena menggunakan rumor ini untuk
menghindari orang-orang yang mengganggu.”
“Ayase-san…”
Rasanya
dia tidak sedang bertingkah sok kuat. Sifat acuh tak acuhnya ini mungkin
menyebabkan semua kesalahpahaman antara dia dan teman-temannya, dan arah yang
buruk dari rumor tersebut. Tapi, ada sesuatu yang tidak beres. Dia dengan jelas
menyatakan kalau dia menyadari bagaimana penampilannya mengundang
kesalahpahaman seperti ini. Jadi, kenapa dia masih memilih berpakaian seperti
itu?
Dia
pasti sudah menduga kalau aku berpikiran seperti ini, saat dia menghentikan
tangannya dari membawa lebih banyak sayuran yang diaduk ke mulutnya.
“Aku
mengerti apa yang sedang kamu pikirkan. Mengapa aku tetap mengenakan pakaian
ini meski menyadari dampaknya terhadap citraku, ‘kan. ”
“Yah,
ya… aku sedikit penasaran tentang itu.”
“Ini
adalah mode persenjataanku.”
“Eh?”
“Tidak
ada prajurit yang akan pergi ke medan perang tanpa mwmbawa senjata dan baju
besi, ‘kan? Ini adalah persenjataanku untuk bertahan hidup di masyarakat.” Dia
meletakkan satu jari di daun telinganya, memamerkan tindik telinga.
Bahkan
bagi para gadis yang berkeinginan untuk tampil gaya, menindik telinga mereka
adalah wilayah yang tidak berani dimasuki banyak orang. Di SMP, kau mungkin akan
dilihat sebagai pahlawan oleh teman sekelasmu, dan diperlakukan seperti anak
nakal oleh orang dewasa dan guru, itu adalah kontradiksi yang misterius,
sungguh. Itu adalah logam dengan ukuran milimeter saja, namun memiliki kekuatan
yang besar. Menghadapi itu, kata-kata yang aku gumamkan adalah—
“Apa
itu meningkatkan pertahananmu? Atau seperti serangan dua damage? ”
“Pffft…
kamu mengatakan beberapa hal yang menarik.” Dia menertawakanku.
Maksudku,
kecepatan berpikirku tidak bisa mengimbangi, dan aku hanya menggumamkan istilah
permainan yang muncul di kepalaku.
“Yah,
sesuatu seperti itu. Tujuannya adalah untuk meningkatkan serangan dan
pertahanan.”
“Kedengarannya
berbahaya. Dunia yang kita tinggali ini sudah damai, tahu. ”
“Namun,
pertempuran tetap terjadi, hanya di tempat-tempat di mana kamu tidak
melihatnya.” Ayase-san terdengar seperti dia adalah seorang pahlawan wanita
yang terlibat dalam perang yang terjadi di sisi gelap dunia.
Mulai
sekarang, aku terlempar ke dunia pertempuran adidaya, darah dibasuh dengan
darah — Tentu saja, itu tidak terjadi, karena aku tahu dia hanya menggunakan
jawaban retoris.
“Untuk Saki dan Yuuta-kun. Hangatkan ini, dan
makanlah bersama-sama.”
Aku
sebelumnya sudah menyingkirkan memo itu dari plastik pembungkus pada sayuran
tumis, dan pandangan Ayase-san sekarang beralih ke kertas itu.
“Apa
kamu bertemu dengan Ibu hari ini?”
“Ya,
tepat saat aku pulang dari sekolah.”
“Dia
benar-benar memikat, bukan?”
“Yah,
ya, begitulah.” Aku membalas dengan jawaban yang canggung.
Bahkan
jika dia telah menjadi ibu tiriku sekarang, aku tidak yakin bagaimana cara
memujinya di depan adik tiriku yang tidak memiliki hubungan darah, yaitu
putrinya sendiri. Karena itu, Ayase-san menatapku cukup kama, lalu tertawa
kecil. Kemudian, dia berbicara seakan-akan sedang menceritakan kisah hantu.
“Tapi,
dia lulusan SMA.”
“Oh
benarkah?”
Aku
sedikit terkejut saat mendengar itu, yang membuatku memberikan tanggapan yang
hampa. Ayase-san menatapku dengan curiga.
“Kamu
tidak memikirkan apa-apa tentang itu?”
“…Kenapa
emangnya?”
“Lulusan
SMA, wajah cantik, bisnis kehidupan malam, bagaimana jika kamu memiliki ketiga
faktor ini secara bersamaan?”
“Kalau
begitu aku akan menganggapnya sebagai lulusan SMA, cantik, dan seseorang yang
bekerja di bisnis kehidupan malam?”
Aku
tidak terlalu mengerti apa yang dia minta dariku. Tentu saja, aku punya
pemikiran tersendiri ketika mendengar setia kata tersebut, tapi tidak ada yang
istimewa yang terlintas dalam pikiranku ketika menggabungkannya.
“Hmmm,
Asamura-kun, jalan pemikiranmu cukup datar.” Ujar Ayase-san, dan membawa lebih
banyak sayuran ke mulutnya.
Aku
bertanya-tanya mengapa aku bisa melihat secercah kebahagiaan bercampur dengan
ekspresi acuh tak acuhnya. Mungkin dia mengolok-olok perjaka yang menyedihkan
di depannya ini. Aku tidak terlalu akrab dengan hati seorang gadis untuk
menyangkalnya sepenuhnya.
“Menurutku
sikap seperti itu sangat luar biasa.” Puji Ayase-san.
“Aku
sangat menghargai kebaikanmu terhadap para perjaka.”
Karena
dia mengungkapkan pikirannya dengan jujur, aku tidak perlu menjadi seorang
mentalis untuk mengetahui pendiriannya sendiri, dan hal itu memungkinkan
komunikasi yang lebih mudah.
Sesaat,
ekspresi Ayase-san di matanya berubah muram. Mungkin kata perjaka terlalu berlebihan. Namun, kata-kata
berikutnya yang keluar dari mulutnya lebih serius dari yang aku perkirakan.
“Aku
tahu tentang komentar yang tidak sedatar itu. Sebagai lulusan SMA, punya wajah
cantik, dan pekerja di bisnis kehidupan malam, dia pada dasarnya bodoh, dan
menggunakan penampilannya sebagai senjata, menghasilkan uang dengan cara terlarang
— Sesuatu yang mirip dengan kalimat itu. Aku sudah sering melihat Ibu diperlakukan
dan dibenci seperti itu.”
“Omong
kosong.”
Tentu
saja, ada kecenderungan membandingkan sejarah akademik dan penampilan. Namun,
tidak ada jaminan bahwa ini menceritakan tentang diri dan nilai sejati
seseorang. Sekalipun sudut pandang mayoritas mungkin benar, kau masih bisa menemukan
banyak perbedaan setelah menyelami lebih dalam ke wilayah minoritas. Hanya
karena orang yang berpenampilan seperti itu sering kali bertingkah begitu,
bukan berarti harga diri seseorang bakal disamaratakan. Orang-orang yang bahkan
tidak dapat memahami hal itu seringkali paling baik diabaikan, karena merekalah
yang tidak menawarkan nilai apa pun.
—Itu
yang dikatakan di buku yang aku pinjam dari Yomiuri-senpai. Pengaruh buku cukup
hebat. Bahkan beberapa anak SMA seperti diriku dapat berbicara seolah-olah aku
memiliki pengalaman hidup orang lain di pundak dan kepalaku.
Mendengar
kata-kata ini dariku, wajah Ayase-san memerah sedikit, dan menunjukkan tatapan yang sangat menghargai.
“Benar,
itu omong kososng.”
“Y-Ya.”
“Belum
lagi komentar dan pandangan seperti itu tidak adil. Ini adalah perkembangan
logis yang tidak membiarkanmu melarikan diri.”
“Misalnya
saja?”
“Saat
kamu punya otak pintar, tapi tidak berpenampilan menarik, kamu akan dicap sebagai wanita yang
menyeramkan tapi berpendidikan. Jika kamu tidak pintar, tapi sangat menarik, kamu
akan diperlakukan sebagai wanita yang menggunakan tubuhnya untuk mencapai
jabatan. Mereka semua hanya berasumsi bahwa kamu menggunakan tubuhmu untuk
mencapai tempatmu sekarang, dan saat kamu bekerja sendiri, kamu akan diejek dan
dikasihani karena tidak memiliki pria yang bisa diandalkan.”
“Ahh,
begitu… aku mengerti maksudmu.”
“Aku
yakin hal itu juga terjadi pada anak cowok.”
“Tentu.
Jika kau mencoba mendekati gadis yang kau sukai, kau akan dipanggil
menjijikkan, dan disalahkan atas pelecehan seksual, lalu dicap sebagai
penjahat, tapi jika kau memutuskan untuk menyerah pada cinta, kau akan diejek
karena masih perjaka. ”
“Kedengarannya
sangat spesifik. Berdasarkan pengalaman pribadi? ”
“Aku
membaca tentang itu di jejaring sosial. Sejak aku melihatnya pertama kali, aku
lebih suka tidak mengalami pengalaman itu sendiri, tahu? Kedengarannya
menyakitkan. Aku lebih suka tidak diolok-olok karena itu.”
“Begitu
rupanya, aku agak mengerti.”
Mendengarkan
proses pemikiranku yang bisa dengan sangat baik mengejek salah satu Fabel Aesop
paling terkenal, The Fox and the Grapes,
Ayase-san langsung menunjukkan simpati. Dia mungkin menyadari bahwa kami berdua
memiliki pendapat yang sama, karena suara dan ekspresinya sedikit melunak.
“Itulah
sebabnya aku menggunakan persenjataan ini.”
Kami
kembali ke topik awal.
“Berusaha
tampil gaya hingga tidak ada yang bisa mengeluh. Diperlakukan seperti cantik
dari luar, menciptakan diri yang memikat. Sama dengan pengetahuan akademis,
sekolah, pekerjaan, aku akan menjadi orang yang kuat. Ini adalah langkah
pertama. Semua orang yang tetap hidup sesuai dengan stereotip mereka, aku akan
membuat mereka tutup mulut, lihat.” Dia berbicara dengan nada acuh tak acuh
yang biasa, tapi ada emosi yang kuat dalam suaranya.
—Kebalikan
dari diriku.
Aku
menganggapnya merepotkan jika ada sebuah peran dilabelkan pada diriku, dan
melarikan diri dari hal itu. Bertentangan denganku, Ayase-san siap meludahi
wajah seluruh dunia. Namun, aku merasakan suatu bahaya dari sikapnya itu.
“Apa
kau baik-baik saja dengan itu? Kedengarannya sangat melelahkan.”
“Jika
aku bisa membuktikan diriku lebih unggul dengan imbalan stamina, maka itu
sempurna.”
Kepada
siapa? Keraguan itu muncul di benakku, tetapi aku tidak ingin terlihat sebagai
orang keparat yang suka kepo, jadi aku
menelannya. Namun, kupikir alasan dia memiliki rasa nilai yang tidak sesuai
dengan usianya mungkin karena pengaruh ayah kandung, mantan suami Akiko-san.
Jika itu masalahnya, maka aku ingin menghindari menginjak ranjau darat itu.
Bahkan
aku takkan suka ada seseorang yang mencoba mencaritahu tentang ibu kandungku,
jadi kesimpulan logisnya adalah untuk tidak melakukan hal yang sama kepada
orang lain.
“Bukannya
kita sama, Asamura-kun?”
“Aku
tidak sekuat dirimu, Ayase-san. Aku tidak ingin melawan pandangan masyarakat.”
“Tapi,
akar dari semuanya adalah kamu tidak ingin orang lain memiliki ekspektasi
apapun kepadamu, karena kamu tidak terlalu berharap pada orang lain juga, iya
‘kan?”
Itu
benar. Itu sebabnya, saat pertama kali bertemu di restoran keluarga, kami langsung
akrab dengan sikap masing-masing.
“Pandangan
orang lain, harapan orang lain, supaya bebas dari hal itu, kamu membutuhkan
kekuatan untuk hidup sendiri.” Tambah Ayase-san.
“Jadi
begitu. Aku merasa memahami alasan mengapa kau mencari pekerjaan yang punya
bayaran besar.”
“Huh,
kamu punya intuisi yang bagus.”
“Maksudku,
dengan semua petunjuk ini, bahkan seseorang yang tidak peka seperti diriku bisa
mengetahuinya.” Aku mengangkat bahu, dan melanjutkan. “Itu agar kamu bisa hidup
mandiri, ‘kan.”
“Benar…
Dan, maaf.” Jawab Ayase-san berkata, dan memejamkan matanya dengan nada getir.
Aku
tidak bertanya mengapa dia meminta maaf. Bagi Ayase-san, yang belum pernah
bekerja sambilan sampai sekarang, alasan mengapa dia sekarang tiba-tiba mencari
pekerjaan yang bergaji tinggi dan mudah saat baru pindah bersama kami, tidak
perlu mengorek terlalu dalam dan banyak bertanya sehingga itu menjadi jelas.
Tidak
bergantung pada orang lain, tidak mengharapkan apapun dari orang lain, itu semua
agar dia bisa berdiri dengan kedua kakinya sendiri. Alasan dia menjadi putus
asa adalah karena 'orang asing' yang
hampir dia andallkan tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya, tepat setelah dia
memutuskan untuk hidup dengan mandiri.
“Sejujurnya,
tidak ada pekerjaan sambilan yang bisa menghasilkan uang dengan mudah. Tidak
bisa bilang kalau pekerjaanku di toko buku dibayar dengan baik.”
“Begitu
ya...” Ayase-san mengangguk, dengan ekspresi kecewa. “Kalau begitu, kurasa aku
hanya bisa menyerah.”
“Kau
tidak berusaha mencarinya lagi?”
“Jika
aku meluangkan waktu untuk mencari sesuatu, waktu untuk belajar jadi lebih
sedikit. Aku datang ke sini tanpa niat untuk bekerja sambilan, jadi aku di sini
tanpa petunjuk. Tentu saja, dengan investasi waktu yang tepat, aku mungkin
menemukan sesuatu, tetapi hubungan biaya-kinerja di sini terlihat terlalu
negatif bagiku. Aku juga tidak begitu pintar, jadi aku mungkin harus
mengorbankan nilai atau pekerjaan paruh waktu.”
“Hah.
Jadi itu sebabnya kau datang menemuiku, yang memiliki pengalaman dengan
keduanya, untuk mengimbangi kurangnya informasi yang kau punya.”
Bukan
berarti aku bisa membual tentang jumlah temanku, tapi aku mungkin lebih baik
daripada Ayase-san, menilai dari apa yang aku dengar. Ada Narasaka-san, tapi
selain dia, sepertinya tidak punya teman lain.
“Aku
mungkin bisa membantumu dengan itu.”
“Benarkah?”
“Ya,
aku punya teman di sekolah yang mendengar segala macam informasi.”
Tapi
ya, cuma Maru satu-satunya temanku.
“Senpai-ku
di tempat kerja mungkin tahu sesuatu juga. Aku ada kerjaan besok, jadi aku akan
sekalian bertanya padanya.”
“Makasih.
Tapi, rasanya tidak adil jika kamu berusaha untukku seperti itu.” Ayase-san
menyesap sup miso-nya, sambil memikirkannya.
“Sup
miso.”
“Eh?”
“Aku
ingin kau membuat sup miso untukku setiap hari.”
Saat
kami duduk mengelilingi meja makan, aku menatap gadis yang ada di depanku, yang
belum lama ini menjadi orang asing bagiku. Menatap pemandangan yang tidak biasa
ini, kata-kata yang keluar dari mulutku terucap tanpa sadar. Ayase-san masih
mencicipi sup misonya, dan berkedip padaku dengan bingung.
“Pengakuan
cinta?”
“Bukan
itu maksudku.”
Aku
tidak bisa menyalahkannya, karena ucapanku barusan terdengar seperti melamar
seorang gadis. Maksudku, Akiko-san bilang akan sulit membuat makan malam setiap
hari. Itu berarti aku harus membuatnya sendiri, dan karena aku hanya tinggal
dengan ayahku sampai sekarang, aku sudah cukup puas dengan makanan dari toko
swalayan. Itu sebabnya aku berpikir… jika aku ingin punya waktu untuk
menyiapkan makanan saat aku belajar, kerja sambilan, dan ingin waktu untuk diri
sendiri juga. Lagian, sudah lama sekali sejak aku makan sup miso buatan
sendiri, rasanya jauh lebih enak daripada yang siap dibeli.
Semua
berbagai pemikiran ini bercampur di dalam kepalaku, menciptakan satu kalimat yang
aku gumamkan dengan linglung.
“Yah,
aku sih tidak keberatan. Aku lumayan suka memasak, dan menurutku, aku cukup ahli
dalam hal itu. Jika ada, harga yang dibayar dibandingkan dengan mengumpulkan
informasi sangat berbanding terbalik.”
Sepertinya
dia tidak masalah dengan itu.
“Jadi,
aku akan mencari informasi tentang bagaimana kau bisa menghasilkan uang dengan
cepat—”
“Dan
aku akan membuatkan makanan untukmu—”
Meski tahu kalau ini adalah perilaku yang buruk, kami berdua saling menunjuk wajah satu sama lain, dan mengonfirmasi kesepakatan kami.
<<=Sebelumnya | Selanjutnya=>>
First???
BalasHapusHubungan yg aneh
BalasHapusWeh manteb bet ini MCnya, gak naif pemikiranya logis dan realis
BalasHapus#GueBanget :V
Emmm
BalasHapusDemen banget gw ama tipe mc kyk gini yg realis dan menilai sesuatu dari sudut objektif dan pasti nya gk naif ... Way to go asamura!!
BalasHapus