Gimai Seikatsu Vol.1 Chapter 05 Bahasa Indonesia

Chapter 5 — 11 Juni (Kamis)

 

Pagi hari. Bersama Akiko-san, kami berempat duduk mengelilingi meja makan. Karena Akiko-san pulang larut kemarin, atau lebih tepatnya pagi ini, dia seharusnya masih tidur pada saat ini.

“Titik balik matahari musim panas sudah dekat, bukan ~” Ucapnya sambil menguap.

Dia rupanya bangun karena sinar matahari yang terlalu terang. Karena itu, aku pikir mungkin ide yang bagus untuk memasang tirai peneduh di kamar tidur mereka. Karena Ayahku mungkin tidak pernah memikirkannya, aku akan memberitahunya nanti.

“Aku akan tidur lagi nanti,” kata Akiko-san, namun tetap berdiri di dapur.

Pada saat yang sama, karena ayahku tidak harus berangkat kerja lebih awal, Ia dapat dengan santai membaca berita di tabletnya. Oleh karena itu, kami berempat akan makan sarapan bersama-sama.

“Ini, Yah, urus itu.”

“Woke.”

Aku memberinya kain untuk mengelap meja. Sambil menyeringai, Ia menyeka bagiannya sendiri dari meja, serta bagian Akiko-san. Setelah semuanya bersih berkilau, Akiko-san dan Ayase-san mulai membawakan sarapan hari ini. Mungkin karena keduanya memasak, kami memiliki variasi yang lebih banyak hari ini. Terakhir, mereka sepertinya menyiapkan telur dadar gulung, di atas wajan yang dibuat untuk telur gulung (dibawa oleh Akiko-san, karena kami sebelumnya tidak memilikinya), karena mereka menggulung telur menggunakan sumpit panjang. Itu tampak seperti karya master, karena aku bahkan tidak melihat telur di dalam telur dadar yang sudah jadi. Bahkan saat mencicipi sup miso, Ayase-san menatap kerajinan Akiko-san.

Setelah kami semua menangkupkan tangan, saling berdoa atas makanan, kami mulai menyantapnya. Tentu saja, kami semua meraih telur dadar gulung buatan Akiko-san terlebih dahulu. Saat aku menggigitnya, rasa saus yang berair memenuhi mulutku. Ini berbeda dari rasa yang kuharapkan… Apa ini?

“Rasanya enak. Tapi… tunggu, ini bukan… telur dadar gulung? ”

“Ini gaya Jepang yang spesial.”

Meskipun Akiko-san yang membuatnya, Ayase-san memberiku respon.

“Telur dadar gulung ala Jepang?”

“Telur dadar gulung biasanya rasanya seperti telur, kan? Jika kamu mau garam, tinggal tambahkan saja, dan mereka yang suka manis bisa menambahkan sedikit gula ke dalamnya. ”

“Gula?”

“Apa kamu tidak suka makanan manis? Kalau begitu, aku takkan membuatnya lain kali.”

“Ah, tidak… aku bukan orang yang pilih-pilih. Hanya saja, kamu bahkan bisa membuat telur dadar gulung yang manis, ya. ”

“Eh…”

“Hm?”

Bahkan jika kau melihatku seperti seorang alien, aku tidak dapat memberikan jawaban yang berbeda…

“… Kamu ikut pelajaran memasak, ‘kan?”

“Y-Ya. Tapi, kami tidak pernah membuat telur dadar gulung. Menunya selalu telur ceplok.”

“Hmmm. Tapi ya, omelet gulung ala Jepang yang kamu buat dengan menambahkan kaldu sup di dalamnya. ”

“Kaldu sup… Jadi seperti mie kuah?”

“Kami melakukannya dengan kecap putih, mirin, dan gula hampir sepanjang waktu.”

Dia melihat ke arah dapur, ke mangkuk putih tertentu. Begitu ya, karena kita hanya menggunakan garam, kecap, dan gula di sini, dia, atau lebih tepatnya, Akiko-san mungkin membawa bumbu itu bersamanya.

“Itulah mengapa rasanya lebih seperti kaldu sup daripada telur. Tentu saja, terkadang sedikit lebih asin. Jika ingin lebih manis, gunakan mirin. Kamu juga bisa menggunakan kecap, tetapi telur dadar gulung tidak mempertahankan warna kuningnya.”

“Kamu tahu banyak.”

“Saki-chan juga bisa membuatnya, loh. Mungkin kamu bisa membuatkan untuk Yuuta-kun karena dia menyukai rasanya?” Akiko-san ikut berkomentar.

“Aku tidak bisa melakukannya dengan baik…”

“Secara pribadi aku lebih suka telur ceplok.”

“…Begitu ya. Aku akan membuatnya jika aku mau.”

Pada dasarnya, inilah yang terjadi di balik Ayase-san dan percakapanku. “Kau tidak perlu melakukan hal lain di luar kesepakatan. Aku tidak keberatan sama sekali ', itulah yang aku katakan, dan ditanggapi oleh Ayase-san dengan “Terima kasih, aku akan membuatnya jika aku punya waktu '. Sebagai hasil dari itu, keinginan dan pendapat kita sendiri dapat tersampaikan dengan sempurna. Jauh lebih baik ketimbang menggunakan beberapa bahasa kode rahasia, karena itu bisa menyebabkan kesalahpahaman.

Namun tidak menyadarinya maksud dibalik percakapan kami, Ayahku terus memuji makanan Akiko-san sampai akhir waktu sarapan. Menyebutnya 'terlezat di seluruh dunia' mungkin terlalu berlebihan jika ada yang bertanya kepadaku. Apa kau hanya mencoba menggoda? Walaupun masih ada anak-anakmu? Kau benar-benar merusak motivasiku hari ini.

Aku sedang mencari topik lain untuk mengubah alur percakapan, ketika aku mengingat sesuatu.

“Oh ya, minggu ini giliranku untuk tugas mencuci, tapi apa aku boleh mengambil pakaian Akiko-san dan Ayase-san juga?”

“Ah, itu ...” Ayase-san ingin berbicara, tapi akhirnya menelannya lagi.

Aku memiringkan kepalaku dengan bingung. Jarang sekali bagi Ayase-san sampai tak bisa berkata-kata seperti itu. Apa mungin aku mengatakan sesuatu yang aneh?

“Nah, jika kamu setuju dengan itu, maka aku ingin mengurus cuciannya bersama-sama, Yuuta-kun.” Akiko-san menambahkan.

“Eh? Aku tidak bisa melakukan itu.”

Setelah kami memutuskan untuk tinggal bersama sebagai empat orang, kami membagi tugas beres-beres rumah. Banyak hal yang sudah berubah di sana, tapi aku tidak bisa begitu saja membebaninya banyak tanggung jawab…

“Tapi, mencuci pakaian untuk empat orang pasti sulit, bukan?” Akiko-san menekan lebih jauh.

Melihat betapa putus asanya dia, bahkan aku mulai memahami sesuatu. Sekarang aku jadi tersadar, meminta cowok mengurus pakaian wanita sampai mencucinya, bukannya itu sangat tidak sensitif? Tapi, karena aku terlalu sibuk berusaha untuk tidak membebaninya lagi, aku benar-benar mengabaikan poin itu. Hampir saja. Sebelum aku bisa menarik kembali penyataanku, Ayase-san terpaksa menjelaskannya kepadaku.

“Membiarkan pakaian dalamku pada Asamura-kun itu sedikit… yah… Da-Dan juga, mereka butuh perlakuan khusus dibandingkan dengan pakaian biasa. Apa kamu tahu, mana yang harus dimasukkan ke dalam jaring cucian? ”

“Yang mana ... apanya?” Tambahku, tapi memandang matanya untuk meminta maaf karena membuatnya mengatakan itu.

“Jika kamu mencuci bra begitu saja, bentuk bra akan berubah bentuk, dan pengaitnya bisa tersangkut di pakaian lain, bukan? Itu sebabnya ada jaring cucian khusus untuk bra. Jika kamu punya ka — celana dalam yang lucu, dekorasi yang lebih kecil di atasnya bisa tersangkut dengan pakaian lain juga… ”

Bahkan di tengah suasana yang canggung ini, Ayase-san dengan hati-hati menjelaskan masalahnya. Berkat itu, aku mengerti betapa rumitnya mencuci pakaian wanita.

“Ditambah lagi, bukannya kamu memisahkan pakaian yang warnanya lebih kuat dan lemah? Kamu memasukkan pakaian dengan objek tiga dimensi ke jaring yang berbeda, bukan? Kalau tidak, mereka akan terkelupas.”

“Benda tiga dimensi, maksudmu seperti gambar atau logo yang menempel di kain?”

“Yup, yang itu.”

“Ahh, jadi itu sebabnya mereka mengelupas setiap selesai dicuci.”

Mendengar perkataanku, Ayase-san memegangi kepalanya. Namun dia dengan cepat mengangkatnya lagi, dan mengumumkan.

“Dengan tingkat pengetahuan ini, aku tidak bisa menyerahkan pakaianku padamu, Asamura-kun, jadi aku akan mencucinya sendiri.”

“Ah, ya… Dimengerti.”

Merasakan suasana canggung, Akiko-san berbicara dengan senyum lembut.

“Lagipula aku akan mengurus pakaian Taichi-san, jadi kenapa tidak sekalian mencuci pakaianmu juga, Yuuta-kun?”

Mendengarkan kata-kata ini, aku membayangkan pemandangan dia melewati keranjang cucianku. Akiko-san akan… mencuci celana dalamku? … Mustahil.

"... Aku benar-benar memahami betapa canggungnya perasaanmu, Ayase-san.”

“Benarkah?” Dia menghela nafas.

Ya, aku sangat memahaminya. Maaf soal itu.

 

*****

Ketika aku membuka pintu depan, aku langsung disambut dengan deru hujan yang menghantam jendela dan pagar pembatas. Kita akan berangkat bareng, itulah yang dikatakan Ayase-san, dan meninggalkan rumah bersamaku, membuatku bingung dengan apa yang terjadi. Selama ini, dia selalu bersikeras untuk berangkat duluan. Maksudku, karena dia adalah saudara tiriku, adik perempuanku dalam konteks ini, berjalan bersama ke sekolah bukanlah hal yang aneh… Atau bukan? Aku merasa aneh bagi saudara yang sedang dalam perjalanan ke dan dari sekolah menengah. Atau apa aku hanya terlalu memikirkannya saja?

“Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.” Di dalam lift , dalam perjalanan turun, Ayase-san tiba-tiba mengatakan itu.

Begitu ya. Itu masuk akal. Tentu saja, aku tidak tahu tentang apa, tapi itu sangat mirip sifat Ayase-san yang selalu berterus terang.

“Aku ingin meminta maaf.”

“…Minta maaf?”

Untuk apa? Aku memikirkan obrolan kita berdua pagi ini. Apa dia melakukan sesuatu yang pantas dimintai maaf? Justru, Akulah yang harus meminta maaf, karena mengatakana sesuatu yang sangat sensitif ...

Tapi, Ayase-san tetap diam bahkan setelah kami keluar dari apartemen. Kami berjalan di sepanjang jalan yang hampir kosong, payung kami berderet untuk melindungi kami dari hujan. Itu adalah waktu yang tepat untuk membicarakan sesuatu yang lebih pribadi, setidaknya sampai kami dekat dengan sekolah.

Deretan gedung-gedung dipertegas melalui hujan yang turun di atasnya, karena kami berdua harus berhati-hati dengan mobil yang melintas, supaya tidak membuat kami basah kuyup karena genangan air hujan di pinggir jalan. Setelah berhenti sekali karena itu, Ayase-san perlahan mulai berjalan lagi, saat wajahnya sedikit menegang.

“Sesuatu yang diskriminatif, bahkan tanpa disadari, adalah sesuatu yang aku benci. Karena itu, aku minta maaf.” Dia berkata dengan ekspresi serius.

Wajahku langsung menengok ke arahnya, dan aku tahu bahwa dia melihat ini sebagai percakapan penting. Dia menarik napas dalam-dalam, dan mengeluarkannya.

“Bukan tidak mungkin kamu akan mengenakan pakaian dalam dari merek mahal.”

Ini sangat tidak mungkin.

“Meskipun aku selalu berusaha untuk tidak termasuk dalam pandangan bias peran gender ...”

“Tunggu, Ayase-san.”

“Asamura-kun, aku bisa melihat bagaimana caramu merawat tubuhmu. Bahkan kemarin, kamu langsung memasukkan pakaian yang basah kuyup ke dalam mesin cuci. Aku belum pernah melihatmu memakai lip gloss atau bedak foundation, tetapi kamu sepertinya tipe orang yang sangat menyadarinya.”

“Tenanglah dulu, Ayase-san.” Aku berjalan di depannya.

Untuk menghentikan pikirannya yang semakin aneh, aku perlu menghentikan gerakannya, sehingga dia hanya bisa fokus padaku. Berkat itu, Ayase-san berhenti, dan menatapku dari bawah payung.

“... Oke, aku sudah tenang.”

“Ah, tentu.”

“Bahkan jika kamu lebih menyukai pakaian wanita, bukan berarti kamu benar-benar akan memakainya.”

Gawat, dia sama sekali belum tenang.

“Tarik napas dalam-dalam, dan pikirkanlah. Kamu sudah melihat ruang cuci rumahku, kan?”

“Hmmm…” Ayase-san tenggelam dalam pikirannya. “Um… baiklah, aku melihat krim cukur dan pisau cukur. Aku tidak menemukan kosmetik untuk wanita… sepertinya. ”

“Benar, ‘kan?”

“Tapi, bentuk alismu sangat bagus.”

“Hah?”

“Kau pasti merawat mereka dengan cara tertentu. Aku tidak melihat sisir, tapi kamu mungkin mengunjungi salon kecantikan— ”

“Ke barber shop sih, iya.”

Apa menurutmu cowok sepertiku bisa melenggang santai ke salon kecantikan? Meski kita tinggal di kotanya anak-anak muda - Shibuya – bukan berarti semua orang terobsesi dengan kosmetik dan merek. Aku justru menabung untuk membeli buku.

“Eh? Lalu, apa bentuk alismu itu natural?”

“Yup, memang.”

Ayase-san menatapku.

“Aku tidak percaya ... aku sangat iri ...”

“Me-Memangnya semenakjubkan itu?”

“… Sungguh menjengkelkan…” Dengan kata-kata ini, Ayase-san mulai berjalan lagi.

Aku tetap diam, dan berjalan mengejarnya.

“Hei, dengarkan aku dulu.” Aku angkat bicara.

“Apa?”

“Tentang apa yang baru saja kau bicarakan tadi. Kau tahu, peran gender dan semacamnya.”

“Ya.”

“Peran gender adalah, memerankan peran tergantung pada gendernya.”

Sederhananya, pria bertindak seperti pria, dan wanita bertindak seperti wanita. Itulah yang dirujuk oleh peran gender. Tindakan apa yang 'seperti' gender ini atau itu sayangnya diputuskan oleh halusinasi dan imajinasi bersama yang disebut publik, dan kita sebagai individu kecil tidak dapat mempengaruhi logika tersebut.

“Benar. Tapi, tidak ada batasan yang ditetapkan bahwa hanya boleh ada dua jenis kelamin, bukannya kamu setuju?”

“Yah begitulah.”

Tentu saja aku tahu tentang itu. Selama kau membaca buku, kau jadi mengetahui tentang segala macam hal, entah itu disengaja atau tidak. Dan, masalah tersebut sering kali menjadi berita akhir-akhir ini. Aku rasa di media sosial facebook, kau bisa menampilkan hingga 58 jenis kelamin khusus sekarang. Hal itu jadi topik panas belakangan ini.

Selain itu, kau tidak bisa begitu saja memberi label sebagai pria atau wanita hanya dengan DNA. Rupanya, Ayase-san memikirkan hal yang sama denganku.

“Pembedaan manusia terjadi dengan penggunaan kromosom, ‘kan…”

“Kromosom X dan kromosom Y.”

“Ya. Ada kromosom X dan Y, dan dengan mencampurkan keduanya, kamu mendapatkan jenis kelamin. XX artinya perempuan, dan XY artinya laki-laki. Itu adalah satu kromosom dari 46 yang kita miliki sebagai manusia, dengan variasi X dan Y. Berapa persen dari semua genom itu?” ujar Ayase-san dengan nada menyesal.

“Yah, jelas sekali kalau perbedaannya tidak terlalu besar.”

“Karena perbedaan kecil itu, kita dipaksa untuk berperan.”

Di tengah guyuran hujan lebat, hanya suaranya yang sampai ke telingaku.

“Ini sama dengan identifikasi diri. Ada orang yang jenis kelaminnya diberikan kepada mereka melalui gen berbeda dari yang aslinya, dan ini perlahan-lahan menjadi lebih di mata publik.”

Aku tahu logika yang dibicarakan Ayase-san. Tapi, aku terlahir sebagai cowok, dan dalam pikiranku, aku juga cowok, jadi agak sulit bagi aku untuk memahami sepenuhnya.

“Hal yang sama berlaku untuk cinta. Cinta cowok, cinta wanita, keduanya mencintai, dan keduanya tidak. Perasaan romantis itu tidak normal, tidak dapat diperkirakan secara alami… Kamu bisa setuju dan tidak setuju dengan itu. Itu semua kembali ke pakaian yang kita dekorasi sendiri. Menurut gen, kamu adalah wanita, kamu melihat dirimu sebagai wanita, dan kamu menyukai cowok, tapi jika menyangkut pakaian lawan jenis… pada dasarnya pakaian cowok, tidak jarang ada wanita yang menyukainya. Di saat yang sama, tidak aneh jika seorang cowok tertarik mengenakan pakaian dalam wanita.”

“Yah, memang sih.”

“Namun, pada saat itu, aku sepenuhnya mengabaikan kemungkinan itu.” Ayase-san berkata dengan nada yang disesalkan.

Apa ini sama dengan yang aku pikirkan? Sudut pandang mayoritas mungkin ada benarnya, tapi terkadang kau bisa melihat perbedaan saat menyelam lebih dalam ke wilayah minoritas? Hanya karena separuh umat manusia seperti ini berarti bahwa orang ini pasti seperti itu juga — jalan pemikiran semacam itu sangat salah.

Bahkan jika aku adalah seorang pria yang mengenakan pakaian dalam wanita setiap hari, tidak ada yang berbeda, seperti kita adalah saudara perempuan yang mencuci pakaian dalam kita. Jika aku harus menebak, Ayase-san mungkin tidak terganggu dengan pakaian dalamnya yang dicuci oleh ibunya. Namun, pagi hari ini, ketika dia membayangkan aku mencuci celana dalamnya, rasa malu yang ditimbulkan secara biologis menjajahnya.

Biasanya aku akan melupakannya dengan 'Tidak masalah', tapi Ayase-san sepertinya peduli tentang itu. Dia selalu bertarung. Menghadapi peran gender secara publik terus mendorong orang lain, dia ingin memikirkan semuanya dengan hati-hati satu per satu. Bagi diriku, yang membiarkan semuanya terjadi secara normal dan bersikap acuh tak acuh, sifatnya itu terlihat sangat mempesona.

“Nah, jika kau akan mengatakan itu, maka aku juga harus meminta maaf padamu. Aku merasa malu saat memikirkan Akiko-san mencuci celana dalamku.”

“Ini bukan masalah perasaan orang lain. Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Itu sebabnya aku ingin meminta maaf.”

“Hmmm…” Aku memikirkannya sejenak.

Aku setuju dengan pemikirannya, tetapi jalan pemikiran yang tekun ini mungkin hanya membuatnya menderita dalam prosesnya. Apa ada cara berpikir yang lebih nyaman yang tidak menyangkal idenya? Aku penasaran.

Aku bisa melihat gerbang sekolah di kejauhan. Itu berarti jumlah siswa di sekitar kita akan meningkat, dan kita tidak dapat terus berbicara seperti ini.

“... Ini seperti refleks, ya.”

“Refleks?”

Terkadang aku sama sekali tidak bisa mengikuti jalan pemikiran Ayase-san. Namun, hal itu sendiri cukup menyenangkan.

“Seperti, saat kamu bertindak sebelum sempat berpikir. Refleks yang itu.”

“Ahh, yang itu, ya.Saat lututmu menabrak sesuatu, atau kakimu bergerak, sesuatu semacam itu?”

“Yup.”

Ada kalanya orang bertindak sebelum otaknya bisa mengimbangi. Ketika sesuatu terbang ke arahmu, kau akan secara refleks menutup mata. Saat kau menyentuh sesuatu yang panas, tanganmu menarik ke belakang sebelum kau menyuruhnya.

“Manusia sudah berevolusi untuk membiarkan otak mereka menangani pemikiran. Jadi, mengapa kita memiliki mekanisme ini di dalam diri kita, itulah yang sering aku tanyakan pada diriku sendiri. ” Aku menengok ke arah Ayase-san.

“Itu… Jika mereka menggunakan waktu untuk berpikir selama keadaan darurat, mereka punya sedikit waktu untuk bertindak, ‘kan?”

“Ya. Ketika hidupmu dalam bahaya, tubuhmu bereaksi lebih cepat dari kemampuan otakmu sendiri. Aku setuju bahwa kita sebagai makhluk hidup membutuhkan mekanisme ini.”

“Apa itu… Ah, benar.” Ayase-san yang bijak mencapai kesimpulan bahkan sebelum aku bisa menjelaskannya sepenuhnya.

Namun, aku tetap memutuskan untuk melanjutkan.

“Pada dasarnya, ini seperti mayoritas atau tombol pintasan dalam aplikasi.” Kataku, dan Ayase-san terkikik.

“Perumpamaan yang sangat menarik.”

“Mudah dimengerti, jadi aku suka menggunakannya. Namun, terkadang ada kasus di mana bahkan mayoritas tidak dapat melakukan apa pun. Jika kamu tidak mengetahui logika fundamental itu, kamu tidak dapat menambahkan yang baru.”

“Benar.”

'Aku melakukannya secara tidak sengaja — memiliki aspek yang tidak dapat membantu, aku rasa. Aku yakin ada sesuatu yang didapat bahkan dari tindakan refleksif.”

“Tapi, prasangka akan melahirkan diskriminasi, bukan?”

“Kalau begitu perbaiki saja pandanganmu? Kau merefleksikan tindakanmu sendiri. Karena itu, kurasa kau tidak perlu khawatir lebih dari itu. Aku merasa kau akan mampu menjadi orang yang dapat belajar dari tindakan refleksif ini, dan menjadi lebih baik. ” Ujarku dengan nada ringan, dan tersenyum.

Baru sekarang aku menyadari bahwa Ayase-san tidak berjalan di sampingku lagi. Aku pun berbalik dan melihat kakinya membeku di tanah tiga langkah di belakangku.

“Ayase-san?”

Karena wajahnya menghadap ke bawah, aku menjadi sedikit khawatir, dan memanggilnya.

“Asamura-kun, kamu ...” Suaranya hampir lenyap di tengah suara deruan air hujan. “—Kamu sangat memahamiku.”

Jadi… katanya? Dia mengangkat kepalanya, dan berlari melewatiku, bahkan tidak repot-repot melirikku. Dia berjalan melewati gerbang, masuk ke dalam sekolah, dan dengan cepat menghilang dari pandanganku.

“Apa ada yang salah, Asamura?” Sampai Maru menepuk pundakku, aku berdiri diam, hanya menatap ke arah Ayase-san masuk.

Anehnya, bagian bahu yang Maru tepuk terasa dingin, bahkan basah kuyup. Meski begitu, pikiranku masih dipenuhi dengan punggung Ayase-san yang kulihat tepat sebelum dia menghilang.

Bahkan saat bunyi lonceng terakhir berbunyi, hujan masih belum berhenti. Hari ini adalah hari Rabu, hari dimana aku harus bekerja. Oleh karena itu, aku harus pulang ke rumah dulu, dan kemudian pergi ke toko buku di depan stasiun kereta. Melakukan itu di tengah hujan membuatnya lebih menjengkelkan berkali-kali lipat. Mungkin aku harus membawa seragam ke sekolah, dan langsung menuju ke sana.

Aku menatap ke luar jendela dan mengagumi guyuran hujan lebat. Tentu saja, aku tidak terlalu suka hujan bulan Juni seperti ini. Semua aroma selama hujan membuatnya terasa seperti musim panas. Hanya saja, pada hari-hari hujan begini, aku lebih suka tidak membawa banyak barang bawaan. Oleh karena itu, seragam dari kerjaan yang selalu aku bawa pulang, karena kebijakan kami adalah kau mencucinya sendiri saat kotor, aku tinggalkan di rumah.

Aku bisa melihat loker sepatu di depanku. Saat aku berjalan ke sana, tatapanku tanpa sadar bergerak ke kiri dan ke kanan. Ketika aku menyadari tingkahku sendiri, aku menggelengkan kepala. Tidak, tidak, tidak, mana mungkin dia berdiri di sini lagi. Dia membawa payung hari ini.

“Dia mungkin sudah pulang.” Gumamku, dan membuka payung besar di tanganku.

Lingkaran hitam besar memenuhi area di depanku, memblokir segalanya. Aku meletakkannya di pundakku, dan melangkah keluar. Hujan turun sebagian sejak dini hari, tapi aku juga ingin membawa payung lain selain kemarin, agar orang yang kebetulan melihat Ayase-san dengan payung itu tidak salah paham. Mungkin aku tidak perlu terlalu khawatir, karena pada akhirnya kita masih saudara.

Meski begitu, belum seminggu berlalu sejak saat itu. Meski, aku merasa sudah mulai bisa memahami Ayase-san. Tapi, kata-katanya pagi ini masih melekat di kepalaku. Dengan hujan yang menerjang payung, aku tidak bisa fokus pada pikiranku sama sekali.

Tak lama kemudian, aku berhasil kembali ke apartemen, dan memasuki rumahku. Begitu masuk, suara hujan yang menjengkelkan dengan cepat menghilang. Aku meletakkan payung di tempatnya, dan menghela nafas. Meski tubuh aku cukup dingin, aku tidak punya waktu untuk mandi. Lagipula aku harus pergi bekerja. Oleh karena itu aku menuju ke kamarku, sekalian melewati kamar Ayase-san.

Aku tidak bermaksud untuk mengintip ke dalam kamarnya, tapi karena pintunya terbuka sedikit, aku dapat memeriksa situasi di dalam. Kancut, bra dan pakaian berwarna sedang dikeringkan tersebar tanpa pertahanan di tempat tidurnya. Aku rasa itu wajar saja karena cuaca sedang hujan. Aku biasanya akan menyatukan semuanya dan membiarkannya mengering, tapi tergantung pada pakaiannya, bisa rusak karena itu juga, jadi ada orang yang mengeringkannya seperti ini.

Oleh karena itu, tak kusangka kalau aku disuguhi pemandangan seperti itu di rumahku sendiri. Aku tidak boleh terus-terusan melihat ini, iya ‘kan. Karena cuciannya mengering, tampak jelas kalau Ayase-san sudah pulang, dan akan sangat menyedihkan jika dia melihatku seperti ini.

“Asamura-kun? Kamu sudah pulang, ya. ”

“Eeek!”

Sebuah suara muncul di belakangku, membuatku menegakkan punggung karena terkejut. Aku pun berbalik.

“Apa ada yang salah?”

“Ti-Tidak ada sama sekali.”

“Benarkah? baiklah kalau begitu.” Ayase-san menatapku dengan ragu.

“Ak-Aku ada kerjaan hari ini jadi aku pergi sekarang.” Aku melambaikan tanganku dengan ringan, dan menuju ke kamarku sendiri.

Aku masih merasakan tatapan tajam Ayase-san terpaku di punggungku, tapi aku tidak punya nyali berbalik untuk melihatnya. Aku merasa seperti pencuri kancut karena suatu alasan, meski aku cuma kebetulan melihatny, dan dia sendiri yang bilang kalau kancut setelah dicuci itu tidak ada bedanya dengan sapu tangan, jadi aku tidak perlu merasa bersalah dengan itu… iya, ‘kan?

Aku memasukkan seragam kerjaku ke dalam tas, lalu bergegas keluar rumah, dan sepanjang waktu saat menuju ke tempat kerja, bahkan suara hujan tidak mampu menenggelamkan detak jantungku yang berpacu dengan keras.

Aku berencana untuk membenamkan diri dalam pekerjaanku. Aku ingin menghapus semua ingatanku dari kejadian tadi. Terutama kain biru yang aku lihat. Aku memakai seragamku, menambahkan papan nama, dan mulai bekerja. Hari ini, aku sibuk mengatur inventaris. Kami menerima beberapa novel baru yang dirilis beberapa hari yang lalu, dan novel tersebut harus disimpan di rak, ditukar dengan novel yang tidak laku.

Besok hari Jumat, dan kami mendapatkan pengiriman buku yang bagus, jadi kami perlu menyiapkan semuanya untuk pengiriman baru juga. Pada dasarnya, aku harus membuat rak lebih luang dari biasanya. Walaupun kami mendapatkan prediksi kasar tentang berapa banyak buku yang akan terjual dari penerbit, mana maungkin kami bisa secara akurat menunjukkan perilaku pelanggan itu sendiri. Sebagai akibatnya, kami hampir tidak pernah sepenuhnya menjual buku-buku yang masuk. Lain kali juga. Selalu ada buku yang tertinggal.

Ah, seperti yang satu ini… Saat aku memeriksa bagian novel ringan, aku mengambil satu volume. Aku tertarik pada novel ini sejak tersedia. Aku tidak berpikir itu bertujuan untuk menjadi romcom tipe harem, tapi ada 48 gadis di sampulnya, jadi kurasa pada akhirnya masih novel rom-com harem. Aku pikir kau tersesat dalam pencarianmu akan orisinalitas, wahai penulis yang terhormat.

Meskipun penerbit dan penulis berasumsi bahwa itu akan populer, masih ada kemungkinan bahwa itu tidak akan laku sama sekali. Banyak pelanggan cenderung sangat konservatif. Novel itu aku taruh di pojokan berbeda, dan melanjutkan penyortiran.

“Kamu menyimpannya untuk dirimu sendiri lagi ~” Saat aku berbalik, Yomiuri-senpai berdiri di sana. “Mereka hanya akan membelinya saat itu, jadi selama kita bisa mendapatkan penghasilan, itu akan baik-baik saja — mungkin itulah yang mereka pikirkan saat menyimpannya.”

Sebagai toko buku eceran, trennya memang seperti itu, namun aku tetap tidak berpikir mereka akan membeli buku khusus seperti itu. Maksudku, aku menyukai mereka jadi tidak masalah.

“Mungkin saja ada orang yang membeli rilisan baru ini setiap bulan ~”

“Aku ingin tahu apakah ada orang semacam itu.”

Yomiuri-senpai menatapku sambil tersenyum. Eh, apa kau membicarakan tentang aku?

“Hehe. Lebih penting lagi, Kouhai-kun, tumben sekali kamu bersemangat dengan pekerjaanmu? ”

“Bisa tidak jangan membuatnya terdengar seperti aku biasanya bermalas-malasan terus? Aku bekerja seperti biasa, kok.”

“Benarkah?”

“Apa aku bertingkah aneh atau apa?”

“Aku kebetulan melihat seorang pemuda yang memfokuskan segalanya pada pekerjaan, jadi aku penasaran apa ada sesuatu yang terjadi, mungkin?”

“Kau terdengar seperti cenayang yang bisa melihat dari jarak yang sangat jauh.”

“Kedengarannya bagus. Aku ingin menjadi seperti itu. Itu berarti aku bisa melupakan semua masalah di dunia ini, huh. "

Ketika kau mendesah seperti itu, aku jadi merasa lebih penasaran tahu.

“Bagaimana denganmu, Senpai? Apa terjadi sesuatu? ”

“Tertarik?”

“Jika ada sesuatu yang bisa membuatku tertarik, mungkin ada.”

“Tanggapan yang bagus ~ Itulah yang aku sukai darimu ~”

“Sekali lagi, bisakaha supaya tidak mengatakan hal yang mengundang kesalahpahaman?”

Tidak adil rasanya kau tersenyum padaku saat mengatakan itu.

“Aku baik-baik saja sekarang. Hanya mengetahui kalau kau peduli saja sudah cukup bagiku ~”

“Begitukah cara kerjanya?”

“Begitulah cara kerjanya. Itulah sebabnya.”

“Iya?”

“Jaga baik-baik adik tirimu yang imut.”

“Ueh !?”

“Jika kamu membuatnya marah, belikan dia sesuatu yang manis dalam perjalanan pulang nanti.”

“A-Aku tidak membuatnya marah, kok.”

Setidaknya masihm belum.

“Lantas, apa yang kamu perbuat?”

“Tidak ada sama sekali.”

Nutting terus-terusan? Itu sangat ekstrim.” (TN : hmm bagian ini agak sulit diterjemahin ke bahasa Indonesia, di bahasa inggrisnya si MC bilang “nothing at all”, dan dibalas sama Senpai “nutting at all?”. Kedua kata tersebut hampir sama jadi dibuat plesetan juga kedengarannya enggak aneh, tapi kata ‘nutting’ kalau diterjemahin artinya jadi istilah jorok yaitu on*n*, jadi ganjil kedengarannya ‘kan? Jadi saya biarin aja pake kata bahasa inggris)

“Dengarkan ini, kita sudah mendengar candaan jorok yang sama sebelumnya, jangan buang halaman lagi tentang itu…”

“Ahaha. Yah, kamu tidak bisa mengabaikan perasaannya, jadi jika kamu tidak mengurusnya sekarang, itu mungkin akan meledak nanti. ”

“Ugh…”

Karena aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi, aku pergi begitu saja untuk fokus pada pekerjaanku lagi, dan dilihati oleh seringai Yomiuri-senpai.

“Orang itu ... Fiuh ...” Aku menghadap rak lagi, saat aku bergumam.

Bahkan selama pekerjaan sederhana seperti yang aku lakukan sekarang, kau harus menangani permintaan pelanggan dengan benar jika ada. Selama kau memakai seragam toko buku di sini, pelanggan akan selalu datang meminta bantuanmu. Kebanyakan dari mereka menanyakan lokasi sebuah buku, yang kedengarannya cukup sederhana, tapi mereka cenderung melakukannya bahkan tanpa mencoba mencarinya terlebih dahulu. Mereka tidak memberitahu info mengenai penerbit, atau pengarang, membuat genre tetap samar, namun memintamu untuk memandu mereka.

Meski kau memberitahu sesuatu seperti - Ini adalah seri di mana banyak pembunuhan terjadi, aku tidak tahu bila informasinya sedikit itu, aku tidak dapat menemukan hal yang benar tidak peduli seberapa sungguh-sungguh aku mungkin bersedia membantu. Daripada tidak dapat menemukannya secara spesifik, aku menemukan terlalu banyak. Apa kau tidak punya lagi… petunjuk?

Seekor kucing menyelesaikan kasus ini.

Seekor kucing?

Aku pergi untuk meminta bantuan Yomiuri-senpai, dan dia segera membimbing pengunjung ke buku yang tepat.

“Yang ini cukup populer. Rasanya aneh sampai kamu tidak mengetahuinya.”

“Benarkah?”

Misteri sebenarnya bukanlah genre kesukaanku.

“Aku akan tersesat jika mereka bilang itu anjing.”

“Memangnya ada yang seperti itu?”

“Tentu saja, sesuatu seperti ini.”

Wow, Anda memang jenius, penulis misteri.

Kau sudah mengerti intinya. Mengurus pemesanan di muka untuk rilisan baru, tambahan majalah yang hilang, atau hanya anak-anak yang tersesat di dalam toko, ada banyak hal yang harus dilakukan sebagai karyawan. Usai menjalani pekerjaanku seperti itu, shift-ku sudah berakhir. Aku mengganti pakaianku, mengucapkan selamat tinggal pada Senpai, dan meninggalkan toko.

Hujan akhirnya berhenti, dan berkat langit yang cerah, aku bisa melihat bulan di antara celah-celah deretan bangunan. Tergantung pada musimnya, caramu melihat bulan akan berbeda-beda. Selama musim panas, saat matahari masih cerah, bulan purnama tetap rendah, dan di musim dingin justru sebaliknya. Karena kita berada di titik balik matahari musim panas, bulan purnama tidak setinggi itu, membuatnya tampak seperti terjepit di antara bangunan.

Masih ada sedikit panas yang tersisa di udara, tetapi angin yang berhembus terasa sejuk. Saat aku berjalan di sepanjang jalan, smarphone di kantong belakangku bergetar. Ketika aku mengeluarkannya, aku melihat ada pesan LINE yang masuk. Aku bahkan tidak perlu menggeser untuk mengetahui bahwa itu dari Ayase-san. Itu adalah pesan pertamanya kepadaku.

“Kamu melihatnya, ‘kan.”

Sesaat, jantungku hampir copot. Itu adalah pesan terburuk untuk diterima. Aku bisa tahu apa yang dia bicarakan bahkan tanpa bertanya lebih jauh lagi. Aku mem-boot aplikasi, dan mengonfirmasi sisa pesan. Singkatnya, isinya adalah sebagai berikut.

Dia bertanya-tanya apa yang sedang aku lakukan di depan kamarnya, dan akhirnya sampai pada asumsi bahwa aku mungkin telah melihat kancur dan bra di dalam kamarnya. Dia memang menganggap kancur itu sebagai sapu tangan setelah dicuci, tapi karena aku adalah target dari rasa malu kali ini, dia ingin memastikan apakah aku melihatnya — Sepertinya.

Sebelum interogasi dan kemungkinan penyiksaan, aku mengiriminya pesan singkat yang menjelaskan mengenai alibiku, dan bergegas pulang. Hanya melihat sepatunya di pintu masuk, aku menghela nafas lega karena orang tua kami belum pulang. Saat aku mengangkat kepalaku lagi, aku melihat Ayase-san menatapku.

“Aku pulang, Ayase-san.”

“Selamat datang kembali, Asamura-kun.”

Meski kami mengatakan hal yang sama, intonasinya sama sekali berbeda dari sebelumnya.

“Jangan berdiam diri terus di pintu masuk.”

“Ah, ya…”

Aku memang memberitahu alibiku, tapi aku penasaran apakah dia akan mempercayaiku ...

“Kembalilah ke kamar dulu.”

“Eh? Kamar yang mana?”

“Apa kamu masih tertarik dengan kamarku?”

“Aku akan menuju ke kamarku sendiri, terima kasih banyak.”

Pada saat seperti ini, sebaiknya jangan membantah, tentunya. Aku pergi ke kamarku, meletakkan tasku, dan duduk besimpuh di atas lantai, menunggu kedatangan Ayase-san.

“Kenapa kamu duduk di lantai seperti itu?”

“Yah, aku hanya ingin melakukannya.”

Aku tidak bisa bilang kalau aku sedang mempersiapkan diri untuk bersujud. Aku tidak tahu apakah dia akan memaafkanku.

“Ini.”

Aku mengangkat kepalaku, dan melihat cangkir yang mengepul di depanku.

“Eh?”

“Coklat panas. Aku akan mengambilnya jika kamu tidak mau.”

“T-Tidak, aku akan ... mengambilnya ...” kataku, dan menerima cangkirnya.

Aku memang lebih suka kopi, tetapi aku senang dengan sesuatu yang hangat sekarang — Tunggu, apakah ini seperti yang kupikirkan? Aku menatap wajah Ayase-san, dan seperti yang diharapkan, matanya berkobar karena amarah.

“Jadi… tentang pesan yang kamu kirim tadi.” Ucap Ayase-san membuka obrolan.

“Ah, yeah.”

“Pintu kamarku kebetulan setengah terbuka, dan matamu tertarik pada apa yang ada di dalamnya. Lalu, saat aku memanggilmu, kamu kabur, ya. ”

“Memang begitu adanya.”

“Karena sepertinya kamu akan masuk ke dalam untuk mencuri sesuatu?”

“Yah… aku… kira…”

“Meski itu punya adik perempuanmu sendiri?”

“Itu memang benar, tapi ...” Kata-kataku tersangkut di tenggorokan.

Jika ini tentang adik atau ibu kandungku, maka itu akan terasa sangat memalukan, tapi itu saja. Namun dalam kasus ini… mau bagaimana lagi. Ini baru hari ke-5 sejak kita menjadi saudara — Alasan kedua muncul di dalam kepalaku, ekspresinya sedikit rileks.

“Maaf, tadi itu sedikit tidak adil, ya.”

“Eh.”

“Secara hukum, kita memang bersaudara, tapi bukan berarti kamu bisa tiba-tiba bertindak seperti kakak laki-laki begitu hukum mulai berlaku — Setidaknya tidak di kepalamu.”

“… Ya, aku mengerti maksudmu.”

Kami berdua tinggal di bawah satu atap, dan setidaknya bertindak seperti saudara, sebagai sebuah keluarga. Diharapkan bahwa kami bertingkah seperti itu, dan kami tidak dapat mengkhianati harapan ini. Karena itu akan merepotkan Ayahku dan Akiko-san. Meski demikian, kita tidak bisa bertindak seperti saudara kandung yang telah hidup bersama selama 16 tahun. Proses berpikir manusia bukanlah kode yang dapat diedit, atau program yang dapat ditulis ulang.

Itu fakta bahwa kami berdua hanyalah orang asing seminggu yang lalu. Sekarang, Ayase-san mengatakan bahwa aku perlu menyadarinya. Dia selalu berusaha untuk bersikap adil.

“Tapi, sekarang kita impas. Lupakan saja ini, oke? ”

“Impas?”

“Aku pikir terpesona oleh kancutku adalah jenis tindakan refleksif lainnya. Pagi ini, aku secara refleks mengucapkan kata-kata itu. Itulah sebabnya, menurutku kita impas. Aku pikir kamu adalah tipe orang yang dapat belajar dari tindakan refleksif ini juga, sama seperti kamu mempercayai kalau aku bisa.”

“Aku senang mendengar hal itu.”

“Ngomong-ngomong.”

Hm?

“Kamu pada dasarnya mengatakan kalau kancutku cukup memikat sampai membuatmu terpesona, bukan.”

“Aku tidak pernah mengatakan itu, kok.”

“Kalau begitu, itu sama sekali tidak menarik… ya. Hee.”

“… Apa jangan-jangan kamu sedang menggodaku?”

“Entahlah, siapa yang tahu. Tapi, aku tidak bisa membiarkan suasana gelisah ini terus berlanjut, kan? ”

“Kurasa …begitu.”

“Kamu… pasti punya hasrat untuk memiliki beberapa kancutku, iya ‘kan?”

“Urk… Yah, sejujurnya, akan bohong jika aku berkata tidak memiliki nafsu duniawi seperti itu… Tapi, aku tidak akan melakukan apapun hanya karena itu, oke?”

“Hmm… Jadi kamu sebenarnya punya nafsu juga.”

“Akan sangat merepotkan jika aku tidak nafsu. Tapi, memiliki nafsu, dan bertindak menuruti hal itu merupakan dua hal yang berbeda.” Jawabku dengan ekspresi seserius mungkin.

“Pfft. Benar, maaf karena sudah menggodamu. Mari kita sudahi saja untuk saat ini.”

“Terima kasih banyak…”

Aku mengucapkan terima kasihku ​​kepadanya, dan menemukan apa yang ingin dia katakan. Kau tidak dapat membatalkan emosi yang pernah kau miliki. Meski itu hanya kesalahpahaman. Kemarahannya padaku karena sudah melihat kancutnya masih belum hilang. Ketimbang melemparkan emosi ini kepadaku, dia malah menjelaskan mengapa dia marah, dan tetap tenang. Pengendalian emosinya sungguh menakjubkan. Menyesuaikan, huh… Aku masih jauh dari mencapai levelnya.

“Tapi, aku senang.”

“Hm?”

“Aku tidak ingin kamu berpikir bahwa desainnya aneh. Aku mungkin perlu membuangnya nanti.”

“… Aku merasa seperti mulai memahami kepribadian seperti apa yang kau miliki, Ayase-san.”

“Benarkah?”

“Ya, sedikit.”

Usai mendengarkan perkataanku, Ayase-san hanya menunjukkan senyum tipis.



<<=Sebelumnya   |   Selanjutnya=>>

close

11 Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

  1. Berharap dapat adaptasi manga

    BalasHapus
  2. Kancut aja dipermasalahkan anjr

    BalasHapus
  3. Penyebutan hari mnya ada yg salah ya?
    "Hari ini adalah hari rabu,hari dimana aku harus bekerja."

    BalasHapus
  4. Ewe ewe ewe ewe ewe ewe ewe 🎉🎉

    BalasHapus
  5. Jangan beri orang harapan bro

    BalasHapus
  6. Pembahasannya jadi aneh. Kenapa malah membahas tentang fetishme. Pria memakai pakaian wanita, begitupun sebaliknya. Orang akhir zaman memang beda, selalu ingin mengubah sesuatu dari kodratnya. "Menyukai lawan jenis udah terlalu mainstream, jadi saya mau coba-coba dengan menyukai yang sesama jenis" atau apalah alasan mereka. Tolong, dari segi agama juga mengatakan Adam dan Hawa (mungkin namanya bisa berbeda tiap agama) adalah masing-masing pria dan wanita, kecuali jika anda menganut kepercayaan ateisme, tapi Tuhan sudah menentukan jenis kelamin tepat saat masih berada di dalam kandungan. Singkatnya, jalanilah hidup sesuai dengan kodrat yang telah ditentukan masing-masing. Saya tidak membahas orang-orang yang berjenis kelamin karena ilmu saya belum sampai ke sana. Dan bagi orang-orang penyuka sesama jenis dari negara kita ini, saya punya beberapa kata. Bukan bermaksud arogan, tapi pada kenyataannya kalian secara tidak sadar berniat menghapuskan umat manusia dari muka bumi. Setelah menikah, bagaimana cara kalian menghasilkan keturunan? Adopsi? Anaknya orang loh. Pikirankan menggunakan akal sehat, kalau dengan melakukan adopsi adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan keturunan, secara tidak sadar kalian menyatakan bahwa perilaku kalian tidak sepenuhnya benar.
    Semoga komen ini dapat bertahan selama beberapa hari setidaknya.

    Wallahu a'lam bish-shawabi.

    BalasHapus
  7. dah kayak baca dialog oregairu wkwk

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama