Chapter 04 — Pekerjaan Siswa Otaku Tidak Pernah Selesai!
Keesokan harinya, saat
berangkat ke sekolah.
Setiap pagi, salah satu guru akan
berdiri di depan gerbang depan SMA Asagi. Aturan di sini mungkin agak longgar, tapi
seseorang harus memperingati siswa yang berpikir bahwa keringanan berlaku untuk
apa yang dapat mereka kenakan atau saat mereka datang ke sekolah.
Dan pada pagi itu, tugasnya
jatuh ke tangan guru IPS yang baru diangkat. Kai tidak terlalu mengenalnya
karena guru tersebut mengajar kelas satu, tapi Ia tahu kalau guru tersebut
membuat kehebohan di antara para siswa.
Guru laki-laki itu masih berusia
29 tahun, dan — terus terang saja— Ia
cukup tampan. Ia mirip seperti karakter ikemen
yang muncul dari manga shoujo. Secara alami, Ia jadi incaran gadis-gadis. Kai
sudah sering melihatnya dikelilingi oleh rombongan yang menjerit-jerit di
sekitar sekolah.
Pagi ini juga tidak terlalu berbeda.
Semua siswi memberitahunya, “Selamat pagi, Prince!’ atau “Kamu tampan seperti
biasanya, Royalteach!” saat mereka beridri di sekitar gerbang dan
mengerumuninya. Dan bukan hanya anak-anak kelas satu — banyak gadis dari kelas
2 atau 3 juga ikut bergabung.
Kebetulan, “Prince” bukanlah
nama panggilan yang diberikan untuk menghormati penampilannya yang tampan. Nama
depannya ditulis dengan karakter kanji "Ouji",
yang mana artinya “Prince”. Kecuali
itu diucapkan dengan kata bahasa Inggris "Prince".
Ya, benar. Karena menjadi sesama pemilik nama yang konyol, Kai jadi bersimpati
padanya. Jika pun ada, kekonyolan itu pasti lebih langka di generasi gurunya.
Tingkat rasa malu yang diderita Kai pasti tidak seberapa dibandingkan dengan
apa yang Ia alami. Walau Kai tidak terlalu peduli mengenai hal itu.
Saat Kai melewati gerbang
sekolah, Royalteach-sensei mendongak dari gadis-gadis yang sedang diajak obrol
dengan riang untuk mengucapkan “Pagi!” dengan caranya sendiri. Kai melakukan
yang terbaik untuk membalas isyarat itu dengan ucapan “Selamat pagi” juga.
Kamu akan berpikir kalau
menjadi begitu populer dengan para gadis akan memancing kemarahan para murid
cowok, tapi keramahannya tersebut menjadi trik untuk memastikan kejadian itu
tidak pernah terjadi. Terlepas dari penampilannya yang menawan, Ia sering
memanfaatkan kesempatan untuk mengobrol tentang manga dan video game yang
sedang populer tanpa berpura-pura sedikitpun. Dan “Prince”-sensei bisa diandalkan.
Jika kamu memiliki kekhawatiran sekecil apa pun dan membutuhkan seseorang untuk
diajak bicara, Ia dengan senang hati akan mendengarkan keluhanmu.
Tapi, kadang-kadang Ia bisa
menjadi orang bego juga — Ia tampaknya melantur dari pelajarannya untuk
mengobrol atau bercerita tentang betapa putus asanya Ia dimarah-marahi
istrinya. Akibatnya, Ia sering menjadi sasaran candaan 'Wifezilla' di antara anak-anak kelas 1, yang mungkin membuat Royalteach
yang gagah itu sedikit lebih mudah untuk didekati.
Dan itu hanyalah rumor yang
sampai ke telinga seseorang yang diluar batas seperti Kai, yang menunjukkan
betapa populernya guru ini. SMA Asagi tidak kekurangan guru yang unik — mungkin karena sekolah swasta — tapi
orang ini sudah berada di tingkatnya sendiri.
Mengobrolkan
manga dengan seorang guru sepertinya tidak terlalu buruk juga.
Kai terus berjalan menuju
gedung sekolah dengan sedikit kekecewaan karena Royalteach-sensei tidak mungkin
menjadi guru kelas 2.
Ketika Kai sampai di loker
sepatu, Ia melihat Reina sedang mengenakan sepatu khusus ruangannya. Mau tidak
mau Kai jadi mengingat kejadian kemarin, saat Momoko dan yang lainnya
menjelek-jelekkannya dalam obrolan grup, Reina adalah salah satu gadis yang
mencoba menghentikannya. Tentunya mencoba basa-basi tidak ada salahnya, bukan?
“Pagi, Fujisawa!” Kata Kai,
menyapanya dengan semangat.
Hal itu menarik perhatian
Reina. Dia perlahan berbalik menghadap Kai. Ia melihat bahwa riasan paginya diterapkan
dengan sempurna — wajah cantiknya memang menarik perhatian, namun tidak terlalu
mencolok untuk merusak martabatnya. Mata di bawah bulu matanya yang sensual
bertemu dengan ...
“Cih.”
Dan untuk beberapa alasan, dia
langsung mendecakkan lidahnya. Dengan keras pula. Tanggapannya penuh dengan
permusuhan.
Dia hanya melirik Kai sebelum
meninggalkannya. Dia menatapnya seolah-olah sedang melihat sekantong sampah
yang membusuk. Keganasannya itu sudah cukup untuk membuat Kai mual.
“Wh-Whoa. Kenapa kamu bersikap
begitu?”
Kai bergegas menyusulnya.
Apa
dia berpura-pura saat mengatakan kalau temannya Jun adalah temannya juga?
Berbeda dengan Momoko, Reina
memperlakukannya dengan sangat baik. Setidaknya di permukaan. Namun hari ini,
sikapnya berubah 180 derajat. Kai merasa Ia harus tahu apa yang merasukinya.
Yah ... Ia mungkin tidak mampu
mengerahkan keberanian untuk melakukannya seandainya itu orang lain. Tapi Reina
adalah teman Jun. Kai memang tidak perlu berteman dengannya, tapi rasa
permuushan akan berisiko membuat Jun terjebak di tengah-tengah hubungan mereka.
Ketika risiko itu muncul di benaknya, kakinya sudah bergerak sendiri.
“Apa aku ... melakukan sesuatu
yang menyinggung perasaanmu?”
Kai menyusul ke samping Reina
dan bertanya dengan suara yang hanya bisa didengar Reina.
“...”
Tapi Reina tetap diam seribu
bahasa. Dia bahkan tidak repot-repot mau melihatnya. Wanita yang memerintah
dari puncak kasta kelas — jika bukan yang
teratas dari seluruh sekolah — mengenakan setelan baju besi dingin yang
menolak semua pendekatan. Kai bisa merasakan keberaniannya menciut.
Tapi Ia tidak menyerah.
Persahabatannya dengan Jun memberinya kekuatan.
“Ayolah, katakan sesuatu!”
“... Aku lebih suka kalau kamu
bisa peka sedikit, tapi aku tidak ingin berbicara denganmu lagi. Paham?”
Reina mendecakkan lidahnya
lagi. Dia menjaga langkahnya cepat dan tatapannya menghadap ke depan.
Kai menyamakan kecepatannya
saat mereka berjalan menyusuri lorong dan menjelaskan, “Hal itu membuat hatiku
merasa tersakiti karena diabaikan oleh seseorang bahkan tanpa diberi tahu
alasannya, tahu.”
“Aku lebih suka tidak membuat
Jun membenciku karena menghina pacarnya.”
“Dari mana hal itu berasal ?!”
“Ada batas untuk alasan apa
yang bisa dimaafkan oleh orang bodoh, dan aku ingin memberitahumu kalau cowok
yang membuat cewek mengulangi perkataanya sendiri sudah jauh melewatinya.”
Reina takan memberikan Kai
kesempatan, tapi Ia masih berusaha dan terus mencoba. Penyangkalan kalau Ia
adalah pacar Jun semakin diulang-ulang, jadi Ia mengesampingkan hal itu dan
bertanya, “Aku janji tidak akan memberi tahu Jun, jadi tolong lanjutkan dan
jujur saja. Bagian mana dari diriku yang membuatmu terganggu?”
“Kamu memang cowok yang tidak
peka!”
Reina yang merasa jengkel,
berhenti di tengah jalan. Dia akhirnya menghadap ke arah Kai ... dan
mengeluarkan aura menakutkan dari wanita yakuza saat memelototi Kai dengan
semua permusuhan yang bisa dia kerahkan.
Kai tidak bisa menjaga ketenangannya
terhadap hal itu. Ia sedikit tersentak. Reina begitu mengesankan sehingga Kai
merasa Ia pantas mendapatkan medali karena tidak berusaha kabur.
Reina melanjutkan dengan nada
suara yang membuat Kai menggigil, “Baiklah, aku akan membuatnya sejelas mungkin.
Apa yang kamu pikirkan kemarin di karaoke?”
“Apa yang aku ... Apa aku
melakukan sesuatu secara khusus?”
“Kamu bahkan tidak menyadarinya? Wajahmu memperlihatkan
dengan jelas kalau kamu merasa bosan dari awal sampai akhir! Kamu pasti mencoba
membuatku marah!”
Kai terkejut saat mendengar
ucapan pedas Reina. Ia tidak perlu memikirkannya untuk merasakan dalam jiwanya
kalau apa yang Reina katakana memang benar.
Kata-kata pedas Reina terus
berlanjut.
“Apa kau tahu betapa kerasnya
semua orang berusaha untuk tidak membiarkanmu benar-benar merusak mood ?! Kamu
tidak mau bekerja sama sedikit pun! Bahkan Momoko mencoba berbaik hati dan
bernyanyi duet denganmu, tapi kamu justru menolaknya. ”
“Aku tidak tahu dengan dia!
Bagaimana aku bisa tahu kalau dia bersikap baik ketika setiap kata yang keluar
dari mulutnya adalah penghinaan?”
“...Masuk akal. Yang itu memang
salah Momoko.”
Reina menarik kembali poin
terakhirnya. Tidak peduli seberapa besar dia membenci Kai, dia takkan
memelintir fakta untuk mengungkapkannya. Dan Kai tahu bahwa ratu ini adalah
penguasa yang adil; itulah yang membuat kata-katanya menjadi beban yang membuat
mereka sulit untuk dilepaskan.
“Tidak bisakah kamu setidaknya
menyanyikan satu atau dua lagu?”
“...Apa yang kamu mau dariku? Aku
tidak tahu lagu apa yang sedang populer.”
“Kalau begitu nyanyikan saja
lagu yang kamu suka.”
“kamu ini bercanda ya? Membiarkanku
menyanyikan lagu anime adalah hal yang akan benar-benar membunuh suasana
hatimu, tahu!”
“Jangan seenaknya berasumsi. Aku
juga menonton Precure saat kecil
dulu.”
“Kamu mengharapkan cowok menyanyikan lagu Precure?!?!?!?!”
Di depan sekelompok gadis modis
yang baru saja Ia temui? Permintaannya terlalu tinggi.
“Yah, aku lumayan menyukai Castle in the Sky dan Totoro saat mereka muncul di TV.”
“Ya, harus diserahkan pada
Ghibli.”
Kai menghela nafas, setengah
putus asa.
Lihat?
Aku tahu itu.
Apapun alasan yang mereka
berikan, non-otaku takkan pernah bisa memahami otaku. Itu bukanlah hal yang
buruk; lagipula, Kai tidak memahami budaya para riajuu, dan tidak punya
keinginan untuk memahaminya pula. Itulah yang membuat orang saling menjauh.
Tidak ada yang salah dengan itu, karena tidak ada yang lebih kasar daripada
memaksakan hobimu pada setiap orang yang kamu temui. Itulah prinsip Kai.
“Lihat, kita hidup di dunia
yang berbeda. Aku tahu itu sejak awal. Teman-temanmu dan aku takkan
bersenang-senang di karaoke bersama. Aku merasa inilah yang akan terjadi, dan
percayalah, aku tidak terkejut! "
“Kamu punya keberanian juga
untuk bertindak seolah-olah kamu adalah korbannya di sini. Apa Kamu benar-benar
melihat Jun kemarin dan tidak memikirkannya? Dia itu pacarmu, ‘kan? ”
“Oh, aku memang berpikir ada
yang tidak beres! Dan sepertinya dia lebih suka berada di mana saja selain di
sana!”
“Dan menurutmu itu salah
siapa?”
“Dia hanya mencoba untuk
menyenangkan kalian, bukan?”
Berpikir bahwa sekarang adalah
gilirannya untuk membalas argumen, Kai melanjutkan serangan.
“Hah!”
Tapi Reina justru balik
mencibir. Balasan Kai cuma jadi angina lalu belaka.
“Kamu benar-benar tidak
mengerti. Jun mencoba untuk menyenangkanmu.”
“...Apa?”
“Dia berusaha sekuat Momoko…
tidak, bahkan lebih dari itu. Jun terus menyanyi sebagai cadangan agar semua
orang bisa bersenang-senang kalau-kalau kehadiranmu membuat orang merasa
canggung. Dia biasanya menjalani pesta di karaoke. Apa kamu benar-benar tidak
mengetahui hal itu? ”
...
Ya, aku tahu itu.
Fakta mencengangkan ini cukup
untuk membuatnya bertekuk lutut. Jun berada di bawah tekanan sebanyak itu,
namun Kai berpikir bahwa Ia yang
berusaha untuk membantunya ...
“Kamu benar-benar menyedihkan!”
Reina meninggikan suaranya.
“Kamu tidak melakukan apa-apa
selain mempermalukan Jun. Apa kamu tahu betapa banyak omong kosong yang
dibicarakan semua orang tentangmu saat kamu pergi?”
“...Ya tentu.”
“Tapi apa kamu tidak menyadari
kalau menghinamu sama saja dengan menghina Jun? Apa kamu tidak memikirkannya sampai
sejauh itu?”
“...”
Kai menundukkan kepalanya dalam
diam. Ia dihina habis-habisan. Siapapun akan merasakan hal yang sama setelah
diberitahu seperti itu.
Tapi Kai tidak punya alasan untuk
membela diri. Yang bisa Ia lakukan hanyalah mengertakkan gigi.
“... Jadi, apa yang harus aku lakukan?”
Apa yang harus Ia lakukan
supaya tidak mempermalukan Jun? Apa Ia seharusnya berpesta pora agar
menyesuaikan dengan para ekstrovert ekstrim itu? Ia tidak akan menguasai
keterampilan itu dengan segera. Hal itu diluar kemampuannya.
“Bukankah sudah jelas?”
Reina mendengus "Hmph" dengan angkuh,
seolah-olah dia memperlakukannya seperti orang idiot karena tidak memahami
sesuatu yang begitu sederhana.
“Kamu dari awal sudah salah.
Menurut sudut pandangku, kamu seharusnya tidak usah datang ke karaoke.”
Ucapan pedas tanpa ampun terus
mengguncang keseimbangan Kai.
“Tidak peduli apa yang diminta
Momoko, kamu bisa menolaknya dengan sopan. Kamu ingat apa yang terjadi saat
makan siang, ‘kan? Jun mencoba membuatmu menolaknya. Dan tentu saja aku tidak
mengajakmu. Tapi kamu berusaha pamer
dan membela pacarmu dengan mengatakan kalau kamu akan datang.Yah, berusaha
pamer bukanlah masalah. Para cowok suka pamer; tidak ada yang salah dengan itu.
Bahkan aku terkesan, berharap kamu akan menunjukkan sesuatu ... tapi ternyata
aku cuma melebih-lebihkanmu. ”
Setiap perkataan Reina membuat
Kai menggertakan giginya lebih erat. Sampai tingkat yang menyakitkan.
“Apa kamu paham sekarang? Jika kamu
mengunjungi Roma, maka lakukan seperti yang dilakukan orang Roma. Jika tidak
bisa, tinggal saja di rumah. Aku pikir itu prinsip yang bagus untuk diikuti. Aku
bukanlah orang kejam untuk memaksakan setiap hobiku kepada setiap orang yang aku
temui, dan kamu sudah tahu dari awal kalau kita berdua hidup di dunia yang
berbeda, jadi kita lebih baik saling menjauh. Atau apa hanya aku yang gila di
sini? ”
“Kamu ... tidak gila ...”
Kai benar-benar dikalahkan. Ia
tanpa ampun dicerca bertubi-tubi. Reina terus merendahkan Kai saat Ia merajuk
sebelum memberikan satu peringatan terakhir.
“Cowok sepertimu tidak pantas
bersanding dengan Jun. Aku takkan pernah menerimamu. Tapi aku dapat menerima
kalau Jun memiliki seleranya sendiri, jadi aku akan tutup mulut dan tidak
berkomentar lebih jauh. Seperti yang sudah kubilang, aku lebih suka tidak dibenci
oleh Jun, jadi silakan perlakukan dia seperti biasanya. Hanya saja, jangan
bicara denganku lagi saat tidak ada keperluan, mengerti? Melihat wajahmu saja
sudah cukup membuatku mual.”
Ucapan itu cukup untuk membuat
tatapan Kai terangkat. Tubuhnya bergerak sebelum otaknya memikirkannya. Ada
sesuatu yang tidak bisa Ia biarkan begitu saja. Sesuatu yang tidak bisa Ia
terima.
Tapi Kai tidak tahu apa itu.
Pikirannya terasa kosong. Jadi Ia hanya memelototi Reina, berharap balasan yang
tidak pernah datang.
Reina sama sekali tidak
terpengaruh. Dia menunggu sebentar, tetapi setelah jelas bahwa Kai tidak
mengatakan apa-apa untuk membela dirinya, dia tanpa ragu menjauh dari Kai.
“Selamat tinggal ... Nakamura.”
Sungguh beberapa kata
perpisahan yang sulit untuk ditanggung. Dan untuk berpikir, Ia telah
menghabiskan begitu banyak waktu menyuruhnya untuk tidak memanggilnya “Ash.”
Bukankah "Nakamura" seharusnya adalah nama yang ingin Ia dengar?
◆◇◆◇◆
Terlepas Ia menerimanya atau
tidak, kegiatan belajar mengajar terus berlanjut. Dan dengan perasaan yang
galau, kegiatan sekolah di hari itu berakhir.
Kai ada jadwal kerja sambilan
hari ini. Demi bisa memanjakan diri dalam hobi otakunya, Ia membutuhkan
suntikan dana, jadi Kai bekerja dua kali seminggu untuk mengisi dompetnya.
Jadwal shiftnya tergantung pada hari; pada hari-hari sekolah seperti ini, Ia
bekerja selama lima jam dari jam lima sore sampai jam sepuluh malam. Ia bahkan
bisa beristirahat lima belas menit di sela-sela shiftnya, jadi pekerjaan yang
lumayan bagus.
Tempat Ia bekerja? Penyewaan Video Beaver, toko #4. Toko
ritel lama yang telah berkembang menjadi delapan toko di sekitar wilayah Sakata.
Toko-toko yang bersaing mungkin telah dipaksa untuk tunduk dihadapan kekuatan
Kekaisaran Tsu**ya, tapi Beaver terus berjuang melalui merek unik perang
gerilya. Namun terlepas dari pertarungan mereka, tempat penyewaan mendapati
dirinya di zaman di mana gelombang layanan streaming online yang mendekat cepat
mengancam industri persewaan secara keseluruhan.
Beaver
bertahan begitu lama dengan meminta setiap toko menggandakan spesialisasi
tertentu. Untuk toko # 4, spesialisasinya adalah anime, tokusatsu, dan film
sesekali yang menarik bagi otaku — biasanya adaptasi live-action dari manga
atau film Marvel. Mereka menawarkan konten ini melalui berbagai pilihan
Blu-ray, DVD, dan CD.
Faktor itulah yang menentukan
skala dalam keputusan Kai untuk bekerja di sana; potongan harga karyawan adalah
penyelamatnya. Jun telah terperosok jauh ke dalam jeratan Netflix, tapi Kai
masih menjadi penyewa BD. Rasanya sangat merepotkan untuk mencari layanan
streaming mana yang memiliki atau tidak memiliki anime tertentu, tapi Ia merasa
sia-sia jika berlangganan semuanya, jadi Kai tidak memaksakan dirinya untuk
berlangganan online.
Lingkungan kerja yang khas —
tidak terlalu sibuk, tapi tidak terlalu membosankan. Kai menghabiskan waktu dua
setengah jam untuk menanggapi pesanan pelanggan. Kai sudah mengerjakan
pekerjaan ini sejak Ia mulai masuk SMA, jadi itu sudah menjadi kebiasaan sekarang.
Suasana hati yang galau takkan cukup untuk menghalangi pekerjaannya.
Begitu istirahatnya tiba, Kai
masuk ke ruang istirahat di belakang. Bersama dengan loker dan pendingin air,
ada meja yang dikelilingi oleh empat kursi, Kai lalu mengistirahatkan tubuh
lelahnya di sana.
Begitu Ia ingin bersantai ...
“Kerja bagus, Nakamura.”
Seorang gadis yang juga
memasuki ruang istirahat menyapanya. Dia rekan kerja yang memiliki penampilan
lebih menawan daripada orang biasa, serta ekspresi yang agak menjengkelkan dari
seseorang yang mengetahuinya.
Namanya Kotobuki Hotei. Dia
berumur lima belas tahun — setahun lebih
muda dari Kai — dan baru saja masuk SMA beberapa hari yang lalu. Tapi tidak
seperti Kai, dia bersekolah di SMA umum di lingkungan rumahnya, jadi hubungan
mereka hanyalah rekan kerja junior dan senior.
Dan dia juga masih karyawan
baru; dia baru bekerja selama dua bulan. Kotobuki pernah bilang kalau dia ingin
menunda pekerjaan sampai dia masuk SMA, tapi setelah selesai ujian masuk membuatnya
punya banyak waktu luang sehingga dia pikir dia sebaiknya mengambil risiko saat
itu. Beaver biasanya hanya menerima
pelamar pekerja yang sudah SMA atau lebih tinggi, tetapi mereka mempekerjakan
siswa kelas 3 SMP yang berada dalam skenario tertentu.
Karena Kai hampir sebaya
dengannya, Kai secara alami menjadi mentor Kotobuki. Ia memanggilnya "Kotobuki." Ia khawatir kalau
memanggil nama depannya mungkin akan dianggap sok akrab, tapi saat Kai mencoba
memanggilnya Kotobuki, dia langsung
marah dan memprotes Kai, “Nama Hotei membuat orang berpikir tentang Buddha,
tapi gambaran gendut itu jelas tidak sesuai dengan penampilanku. , ”Jadi Kai
tidak pernah memanggilnya begitu lagi.
Saat ini, Kotobuki ada di depan
wastafel.
“Mau aku buatkan kopi?”
Nada suaranya terasa kaku dan
kurang semangat, tapi tetap sopan.
“Oh tidak usah, aku baik-baik
saja. Lanjutkan.”
Kai mengubah nadanya agar
sesuai dengan nada bicaranya.
“Oh, tidak masalah. Lagipula, aku
juga membuat untuk diriku sendiri.”
“Begitu ya? Kalau begitu,
sekalian saja buatkan untukku juga.”
“Kamu bisa saja setuju dari
awal.”
“Memang, aku akan memperhatikan
sopan santunku nanti.”
Balas-membalas mereka mungkin
tampak seperti parody komedi, tetapi Kotobuki sama sekali tidak bermain-main.
Begitulah cara dia berbicara kepada semua orang di tempat kerja, karyawan dan
pelanggan. Dia sangat menjengkelkan, tapi dia juga memiliki stabilitas
emosional seperti kantong kertas basah.
Orang-orang yang tidak cocok
untuk industri jasa cenderung sangat tidak cocok, dan Kotobuki tidak
terkecuali. Ketika dia pertama kali bekerja, shiftnya selalu berisi ketegangan
dan kegugupan. Kotobuki tidak terbiasa dengan ucapan sopan, jadi dia selalu
mengacau. Kai ingin membantunya membiasakan diri, jadi Ia menjaga percakapan dengannya
sesopan mungkin, meskipun dia lebih muda dan karyawan baru.
Setelah dua bulan bekerja,
Kotobuki masih berbicara dengan pelanggan seperti robot. Karena itu, Kai terus
menjaga cara bicaranya yang sopan dan formal. Ia mulai menikmati gaya percakapan
ini.
Kotobuki meletakkan dua cangkir
kopi instan di atas meja dan duduk di seberang Kai. Mereka memulai obrolan
yang, seperti biasa, akan menghabiskan sebagian besar waktu istirahat mereka.
“Apa kamu sudah selesai
menonton ACCA, Nakamura?”
“Tentu saja sudah. Menurutku,
itu adalah karya animasi yang luar biasa. Aku sudah membeli manga yang
diadaptasi dari serinya.”
“Bagus, ceritakan kesanmu
secara detail.”
"Aku sangat ingin berdebat
apakah hubungan Lotta dan Nino akan tumbuh menjadi hubungan romantis. Sayang
sekali aku melewatkan kesempatan untuk menonton saat ditayangkan.”
“Ah ya, kurasa kamu terlambat.
Menghapus apa yang belum pernah kamu coba adalah kebiasaan burukmu, ” kata
Kotobuki.
“Justru sebaliknya, seleraku
cukup bervariasi. Tapi dunia ini memiliki terlalu banyak anime yang harus aku
tonton, manga yang harus aku baca, dan game yang harus aku mainkan.”
“Jadi, kamu kesulitan untuk
tetap setia.”
“Mau bagaimana lagi. Tidak
sepertimu, aku tidak bisa menonton semua anime,” kata Kai.
“Aku juga sama. Aku hanya menonton
episode pertama dari setiap anime dalam satu musim dan memutuskan anime mana
yang mau aku ikuti dari sana.”
“Benarkah? Itu cukup
mengejutkan. “
“Aku yakin ini perlu dihormati,
bukan?”
Kotobuki terlihat sok. Dia
mungkin bertingkah sombong dan membuat marah semua orang, tapi sulit untuk
membencinya setelah melihat banyak kontradiksi yang dia coba sembunyikan.
Misalnya, kopi yang baru saja
dibuatnya. Kai membawa cangkir itu ke bibirnya dan mencicipi rasanya. Memang
tidak lebih dari kopi instan, tapi rasanya menyebar ke lidahnya lebih dari yang
dia harapkan.
“Apa kamu menambahkan lebih
banyak krim dan gula dari biasanya?”
Kai bahkan tidak meminta
Kotobuki untuk memasukkannya, tapi itu hanya jumlah yang dia butuhkan.
“Yah, kamu tampak lebih lelah
dari biasanya.”
Balasan Kotobuki terdengar acuh
tak acuh, tapi dia terlihat sangat malu sampai-sampai tidak bisa melakukan
kontak mata. Dia tidak pandai mengakui perasaannya.
“Begitu rupanya. Aku berterima
kasih padamu dari lubuk hatiku yang terdalam.”
Itulah mengapa Kai
mengungkapkan perasaannya sampai tingkat yang hampir menghina. Kotobuki
mengalihkan pandangannya dan mulai gelisah.
Kai tahu bagaimana pola
perilakunya. Dia perhatian meskipun sikapnya menjengkelkan karena dia orang
yang pemalu. Dia selalu mengawasi suasana hati semua orang di sekitarnya. Kai
menganggapnya terlalu menawan untuk membuat dirinya sendiri membencinya.
“Nakamura, kamu tampaknya
bermasalah hari ini.”
Dengan masih membuang muka,
Kotobuki mengubah topik pembicaraan. Dia berusaha untuk tidak mengungkitnya, tetapi
aliran percakapan sepertinya mendorongnya untuk mengambil risiko.
“Jika kamu mau, aku tidak
keberatan mendengarkan curhatmu.”
“Apa itu tidak masalah bagimu?”
“Aku baru saja memberitahumu bahwa
itu tidak masalah, bukan?”
“Tunggu, itu yang kamu maksud?
... Yah, tentu. Tapi itu bukan masalah besar.”
Kai kembali ke nada biasa dan
menjelaskan apa yang terjadi tanpa menyebutkan nama. Ia tidak mengharapkan
solusi. Paling tidak, Ia berpikir kalau mengeluh kepada seseorang tentang hal
itu mungkin akan membuatnya gila. Tapi nyatanya ...
“Aku bisa mengerti alasan
dibalik kenapa teman sekelas itu memarahimu. Namun, aku rasa aku punya ide dari
mana rasa kekhawatiranmu berasal. ”
Kotobuki menatap mata Kai saat
dia membuat pernyataan yang menyemangati.
“Astaga, benarkah?”
“Ya, tentu saja.”
“Apa kamu mau berbaik hati
untuk mencurahkan sedikit kebijaksanaanmu?”
“Anggap saja sudah diberikan.”
Kotobuki kembali menjadi
dirinya yang menjengkelkan, tapi masih tetap menyenangkan.
“Teman sekelas ini pasti salah
mengira kalau kamu dan teman perempuanmu itu berpacaran. Namun kamu mengklaim
kalau kalian berdua hanyalah teman. Mungkin perbedaan persepsi itulah yang
menjadi sumber perselisihanmu?”
“...Ah!”
Tiba-tiba, potongan teka-teki
jatuh ke tempatnya. Kotobuki melanjutkan tanpa mempedulikan keterkejutan Kai.
“Dalam berpacaran, wajar saja
untuk menilai apakah pacar tersebut cocok atau tidak. Namun, tidak ada persyaratan
seperti begitu dalam hubungan pertemanan.”
Jadi itulah penyebab mengapa
Reina kehilangan kesabaran dan mengatakan kalau cowok seperti Kai tidak pantas
mendapatkan Jun. Sebaliknya, Kai tidak bisa memahami kenapa Ia tiba-tiba perlu
mendengarkan seseorang berbicara kepadanya tentang 'persetujuan' ketika Ia cuma
ingin menghabiskan waktu dengan sahabatnya.
“Masalah pacar-pacaran ini
sangat menyebalkan ...”
Kai meneriakkan umpatan. Ia
mengatakannya hampir secara tidak sadar ... yang mungkin Ia merasa seperti itu jauh di lubuk
hatinya.
Dia
benar-benar membuatku berpikir ...
Kai menghela nafas panjang dan
memejamkan matanya. Ia bukanlah pengecualian dengan harapan masyarakat
terhadapnya. Ia juga samar-samar merasakan bagaimana rasanya punya pacar.
Tetapi saat memikirkannya dalam-dalam, mempunyai pacar sepertinya akan menimbulkan
lebih banyak masalah. Jika kamu harus mempertanyakan apa kamu cocok atau pantas
mendapatkan seseorang atas setiap hal kecil, kamu tidak akan mencapai akhir.
Andaikan Kai berusaha mendapat
persetujuan Reina. Ia harus memperhatikan cara berpakaiannya agar selaras dengan
penampilan Jun. Ia juga perlu belajar bagaimana berbaur di antarapara riajuul
selain mendapatkan lebih banyak hobi di dunia nyata supaya tidak mempermalukan
Jun. Mungkin Ia akan menyembunyikan hobi otaku sepenuhnya.
Ayolah,
itu omong kosong!
Tapi bagaimana kalau mereka
cuma berteman? Mereka bisa nongkrong setiap hari, bermain game, dan
membicarakan apa saja. Mereka tidak membutuhkan apa-apa selain bersenang-senang.
Itu sudah cukup untuk Kai. Ia tidak akan melakukannya dengan cara lain.
Jun
bukan pacarku; dia cuma teman. Dan aku baik-baik saja dengan itu. Tidak, aku justru
merasa senang akan hal itu.
Apa cuma Kai saja yang berpikir
kalau hubungan tanpa pamrih mereka miliki sekarang jauh lebih baik ketimbang
menjalin hubungan romantis? Atau apa Ia marah atas apa yang tidak Ia miliki?
Itu benar-benar membuat Kai
melihat sesuatu dengan cara baru. Ia menghela nafas lagi, lalu membuka matanya,
dan mengucapkan terima kasih kepada rekan kerja yang duduk di ujung meja.
“Aku merasa jauh lebih baik sekarang
setelah mendapat pencerahan. Dan aku ingin kamu berterima kasih untuk itu.”
“Mungkin kamu akan
mempertimbangkan untuk membalas kebaikan ini?” ujar Kotobuki.
“Aku akan memikirkan sesuatu
nanti.”
“Aku sangat menantikannya.”
“Tapi ya, sepertinya kamu tahu
apa yang harus dilakukan.” Tutur Jun sedikit terkejut.
“Tahu apa?”
“Nah, kamu mengerti bagaimana
cara berpikir cewek.”
“Tentu saja. Menurutmu aku ini
siapa? ”
Kotobuki berseri-seri dengan
bangga. Meskipun menjengkelkan, Kai masih tidak bisa membencinya. Ia cuma mendecakkan
lidah dan mengakui bahwa Kotobuki memberinya bantuan yang Ia butuhkan.
“Kebetulan,” sela Kotobuki,
“Aku juga mengalami kekhawatiran atas perbedaan persepsi kita sendiri.”
“Jika aku bisa begitu berani
untuk bertanya.”
“Mungkin minat cinta Lotta
bukan dengan Rail, melainkan dengan Nino?”
Dia melanjutkan diskusi tentang
anime yang mereka awali. Nada suaranya sangat serius, hampir menantangnya untuk
bertahan. Kai menjawab dengan baik.
“Kamu pasti bercanda. Tentunya,
Lotta pantas mendapatkan yang lebih baik daripada tukang ngorok.”
“Penilaian yang cukup keras,
mengingat itu terdengar sangat mirip dengan apa yang dikatakan teman sekelas
menakutkan yang tadi kamu beritahu.”
“Aku cukup yakin kamu sendiri
yang bilang kalau kekasih perlu menilai siapa yang cocok atau tidak. Dalam hal
ini, aku bukan dalam posisi untuk tidak setuju dengannya.”
“Begitu ya. Tapi apa Rail bukan
pemuda yang bisa diandalkan yang menyelamatkan Lotta dari bahaya?”
“Aku menyarankanmu untuk jangan
lupa kalau orang yang benar-benar menyelamatkan Lotta adalah si Ketua.”
“Tetap saja, aku yakin usia
Nino agak jauh dari usianya ...”
“Lotta adalah gadis berkemauan
keras yang menyimpan rahasia berbahaya. Tak seorang pun selain Nino bisa
berharap untuk menanganinya. Dan jika Kamu mempertimbangkan tema ceritanya ...”
“Namun, aku harus mengatakan—”
“Oh tidak, biar aku jelaskan—”
Mereka berdebat panas mengenai
Anime. Kai selalu dapat mengandalkan Kotobuki untuk diskusi serius, bahkan
ketika dia melewatkan penayangan ongoing-nya dan semua orang sudah menonton
anime yang lebih baru. Perdebartan itu sangat menyenangkan sehingga Kai hampir
tidak bisa menahan diri. Istirahat lima belas menit terlalu singkat bagi mereka
untuk membicarakan semuanya.
<<=Sebelumnya |
Selanjutnya=>>
Cepet amat TLnya min, langsung chapter 6 😂 jejak dulu, bacanya ntar malem
BalasHapushttps://t.co/BdAX77w2Q1?1cy4sbEU
BalasHapusbuset dah jiwa wibuku meronta-ronta, ntar aja dah baca lanjutannya.
BalasHapusYa udah mimin selowin TL-nya :3
BalasHapusWaduhh... jgn terlalu slow ya
BalasHapus