Chapter 01 — Nama asliku dan Jun, Sama-Sama Konyol
Kai dan Jun merupakan sesama otaku
layaknya pinang dibelah dua, karena mereka memiliki banyak ketertarikan yang
sama. Mereka berdua juga mempunyai beberapa kesamaan.
Jun lah yang pertama kali menyadari
hal ini. Semuanya terjadi satu tahun yang lalu pada hari upacara masuk. Ini
merupakan kisah saat Jun yang terpikat oleh game MHW, datang berkunjung ke rumah Kai untuk bermain.
…………………………….
“Aku memilih SMA Asagi karena aku
dengar kalau sekolah ini tidak mempedulikan jika kamu bermain game atau membaca
manga di sekolah,” kata Jun.
“Aku juga, aku juga!” seru Kai.
Mereka sedang dalam perjalanan
menuju ke rumah Kai. Ia berjalan di samping Jun, menyusuri jalan umum yang
melewati area pemukiman.
“Di SMP-ku dulu, sekolah bahkan
melarang membawa ponsel!”
“Aku juga sama! Seperti, tidak
ada yang peduli selama kamu tidak menggunakannya di jam pelajaran, iya ‘kan? ”
“Iya, iya?! Aku jadi kesulitan
untuk menghubungi ibuku setiap kali ada sesuatu yang terjadi. Rasanya sangat menyebalkan,
” dengus Jun.
“Peraturan macam begitu sudah
ketinggalan zaman,” Kai setuju. “Aku ingat pernah merasa sangat kesal saat membaca
berita online yang mengatakan kalau semakin banyak sekolah yang mengizinkan
siswanya membawa ponsel ke sekolah.”
“Di sisi lain, bukannya SMA Asagi
keren banget sampai memperbolehkan kita membawa Switch ke kelas ?”
“Yeah!” Angguk Kai.
“Aku tidak sepenuhnya percaya,”
jelas Jun. “Rasanya seperti, 'Apa guru
benar-benar takkan menyitanya? Jika mereka mengambil Switch-ku, aku akan
langsung mati.”
“Aku paham sekali. Sejujurnya
jantungku dag-dig-dug tidak karuan
sampai pelajaran dimulai.” Ungkap Kai.
“Aku bahkan melakukan gerakan
manis di Kastil Koopa di depan guru, dan mereka membiarkannya begitu saja!”
“Aku memburu dua Rathalo di
kelas, dan mereka tidak marah!”
“Itu sangat luar biasa! JAUH lebih mengasyikkan
daripada bermain di rumah!! ” teriak Jun kegirangan.
“Aku merasa bebas ... atau bisa
dibilang, merasa dibebaskan setelah
ditekan selama masa SMP. Sejujurnya aku terkesan. Seperti, 'Wah, jadi begini rasanya
kehidupan anak SMA?' Aku merasa selangkah lebih dekat untuk menjadi orang
dewasa.”
“Persis! Tepat sekali, Kai!
Kamu mengatakannya dengan sempurna!”
“O-Oh ya?” Tanyanya.
Jun, yang merasa sangat terharu,
tiba-tiba meraih lengan kiri Kai dan mengguncangnya seakan-akan ingin mencoba
melepaskan lengannya. Bahkan keintiman fisik yang ringan ini merupakan kejutan
besar bagi seorang perjaka seperti Kai. Belum lagi betapa cantiknya wajah Jun. Ini hampir seperti kita berjalan
bergandengan tangan ...! pikirnya dalam hati, jantungnya berdebar kencang. Sayangnya,
di sana tidak ada orang yang meledakkan kegembiraannya dan memberitahu, “Tidak,
tidak juga.”
Setelah itu, Jun menenangkan
diri dan berkata, “Tapi kita mungkin harus menahan diri setelah besok ...”
“Ya, aku merasa tidak enakan
...” Kai mengakui. “Mereka semua agak sungkan jadinya.” Jika mereka terus
seperti itu besok, dan lusa, mereka akan diisolasi dari kelas baru mereka.
Mereka takkan bisa berteman dengan yang lain...
Kai bukanlah seorang
penyendiri. Ia selalu punya teman, bahkan sebelum masuk SMA. Tentu saja, Ia
juga merasa tidak perlu berteman banyak di SMA. Ia ingin berteman dengan
orang-orang yang akrab dengannya, orang-orang yang memiliki hobi yang sama.
Saat pemikiran semacam itu
melintas di benak Kai, Jun lalu bertanya kepadanya, “Tapi aku langsung mendapatkan satu teman berkat
itu, ‘kan?”
Dia mengatakan ini sambil
melihat wajah Kai yang berjalan tepat di sampingnya. Karena sedikit malu, Jun
mencoba menyembunyikannya dengan senyum nakal dan mengatakannya dengan nada menggoda.
Tapi dia masih memegangi lengan Kai sepanjang waktu.
“Y-Yah, itu benar itu.” Kai
terlalu malu untuk memberikan tanggapan yang sesuai. Ia melihat ke arah lain,
tapi tidak mencoba melepaskan dirinya dari genggaman erat Jun.
Kemudian, berkat Jun, Kai dapat
dengan percaya diri mengumumkan kepada keluarganya:
“Aku pulaaaaaaaaaaang! Aku
membawa teman.”
Kai berhasil mengejutkan
ibunya, yang menjulurkan kepalanya keluar dari dapur dan berkata, “WOW ... kamu
punya teman secantik ini ?!”
Aku
lebih terkejut daripada siapa pun di sini, pikirnya. Mau tidak
mau Kai menganggapnya kejadian ini sedikit lucu.
◆◇◆◇◆
Kai menyuruh Jun menunggu
sebentar sementara Ia membereskan kekacauannya, lalu mengundangnya ke kamarnya
di lantai dua.
“Oh!” seru Jun saat melangkah
masuk.
Ini mengejutkan Kai. Ia pikir sudah menyembunyikan dengan
sempurna semua barang yang Ia tidak ingin gadis temukan. Apa Ia melewatkan
sesuatu? “A-A-A-A-Ada apa?” Kai bertanya dengan curiga.
Jun kemudian menunjuk ke poster
dinding di langit-langitnya dan dengan senang hati berseru, “Aku juga pernah
melihat anime itu!”
Jadi
dia TIDAK menemukan hal-hal yang kusembunyikan ... Kai menghela
nafas lega. Kemudian, Ia menatap langit-langit bersama dengan Jun. Kai memajang
poster Ryuou no Oshigoto! Di
langit-langitnya, anime yang baru saja selesai ditayangkan.
“Gaya seninya sangat berbeda
dari anime. Apa ini yang menjadi patokannya?” dia bertanya.
“Yup,” Kai mengangguk. “Itu
adalah bonus dari volume 7 LN-nya.”
Poster yang terpajang adalah
ilustrasi dari kelima gadis yang digambar oleh Shirabi yang legendaris.
Sangaaaat moe. Usia setiap heroine berbaju piyama hanya dalam satu digit ... artinya karakter loli. Orang lain mungkin
khawatir jika seorang gadis melihat sesuatu seperti ini, tapi Kai sudah
benar-benar tidak peduli. Karena Ia adalah seorang otaku.
Jun sepertinya juga tidak terlalu
memikirkannya. Faktanya, dia setuju: “Imut banget!” Karena dia juga seorang
otaku.
“Ngomong-ngomong, kamu ada di
tim mana, Kai?”
“Tim yang mana?” Kai sedikit
tersentak.
Pertanyaan Jun membuat kilatan
petir melintasi bagian belakang pikirannya. Kamu pasti mengira dia menanyakan
karakter mana yang menjadi favorit Kai, jika dia melihat gambar dari lima
karakter tersebut dan mengajukan pertanyaan. Tapi Jun sengaja mengungkapkannya
secara berbeda, menyembunyikan maksud sebenarnya. Jun bertanya siapa dari dua
heroine bernama Ai yang lebih Kai sukai, karakter yang dibuat oleh penulis
Shiro Shiratori sebagai foil: Ai Hinatsuru atau Ai Yashajin!
Kai secara akurat memahami poin
dan konteks yang lebih baik, dan memahami maksud yang tersirat dari
pertanyaannya. “Aku masuk tim Ten,” jawabnya percaya diri, mengacu pada Ai
Yashajin. Ini semua terjadi dalam 0,8 detik — sebuah kecepatan kilat!
“Benarkah?! Aku juga timnya Ten~
”
“Dia punya pola berpikir yang
paling dewasa meski masih anak-anak. Kupikir bagian-bagian di mana dia menjadi orang yang meremehkan masternya
sangat menarik. Aku ingin menjadikannya waifu. Dia terkadang bisa menjadi putus
asa, tapi itu benar-benar membuat hatiku terenyuh ketika dia menunjukkan sisi
lemahnya, seperti, menempel pada Yaichi, aku ingin wa—” Saat Kai mengoceh riang
gembira karena telah menemukan semangat yang sama, Ia tiba-tiba kembali tersadar
ke akal sehatnya.
Yeesh,
aku mengatakan hal yang sangat menjijikkan barusan, bukan ?!
Penyesalan dan kecemasannya karena mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak
haris Ia katakana kepada seorang gadis membuat jantungnya berdebar kencang. Kai
jadi berkeringat dingin. Ini bukanlah waktu dan tempat yang tepat untuk
memamerkan pesona kelucuan Ten-chan. Namun—
“Aku sangat memahami apa yang
kamu maksud! Saat aku melihat dia menolak untuk meminta bantuan segera ~ Dia
hanya melakukan itu karena jauh di lubuk hatinya dia hanya seorang gadis yang
ingin diakui oleh orang yang dia cintai, dan itu membuatku sangat sedih ~” Jun
berseri-seri menanggapi ocehan Kai, dia tidak merasa jijik sedikit pun.
Ia tiba-tiba ingin tos dengan
Jun. Dengan perhatian yang hanya dimiliki oleh seorang perjaka, Kai dengan hati-hati
memberinya tos yang takkan menyakiti seorang gadis. Meski mereka hanya
bersentuhan sepersekian detik, Kai menyadari telapak tangan Jun sangat halus.
Kai menatap telapak tangannya dan berjemur di sisa cahaya tanpa berpikir dua
kali.
Kemudian, Jun mendekati ke rak
buku koleksi Kai. “Apa kamu tidak keberatan jika aku melihatnya?” dia bertanya.
“... Ya, silahkan saja,” Kai
menyetujui dengan ragu-ragu.
Sebagian besar koleksinya tidak
memalukan untuk dilihat Jun, tapi — di tengah-tengah — ada manga World's End Harem dan Maou no Hajimekata, kedua manga itu
bukan bergenre Dewasa tapi jelas-jelas masih sangat erotis. Kai bakalan mati
jika seorang gadis menemukan mereka. Riwayatnya akan TAMAT.
Tolong
jangan temukan mereka ...! Ia berdoa.
Saat itu juga, Ia mendengar Jun
mengucapkan keterkejutan "Ohhh!”. dan merasa seperti jantungnya akan copot
dari dadanya. “A-A-A-Ada apa?” Kai bertanya lagi, dengan sikap yang sangat
curiga.
Jun mengeluarkan salah satu
koleksinya dan berbalik padanya. “Kamu punya manga shoujo ?! Kamu suka genre
shoujo ?! ” serunya, matanya berkilauan saat menyodorkan salah satu volume Boku to Kimi no Taisetsu na Hanashi ke
arah Kai.
Jadi
dia TIDAK menemukan World’s End Harem ... Kai menghela napas lega. Ia
kemudian bergabung dengan Jun di depan rak buku. “Aku menyukai karya penulisnya
sejak manga Tonari no Kaibutsu-kun,”
katanya.
“Sebentar lagi bakal ada adaptasi
filmnya, ‘kan ?!” Kata Jun bersemangat. “Aku sudah membaca karya aslinya! Siapa
karakter favoritmu, Kai?! ”
“Hm, aku pikir Asako mungkin
menjadi favoritku dari semua karakter series Tonari no Kaibutsu-kun,” jawab Kai.
“ATURAN Asako! Dia sangat polos
dan teguh serta sangat peduli dengan teman-temannya! Sungguh mulia dia menjadi
orang yang berkemauan keras karena
pernah merasa tersakiti sebelumnya! Aku berharap bisa menjadi temannya!
Tidak, tunggu, kuharap aku bisa menikahinya !! ” Jun mengoceh tanpa henti. Lalu
dia tiba-tiba membuang muka. “Uupss, aku yakin kamu mengira aku ini
menjijikkan, iya ‘kan?,” katanya, gelisah dengan gelisah.
“Tidaaaak tidak, aku tahu apa
yang kamu maksud! Aku SANGAT memahamimu! Aku juga suka Sanae dari Kuzu no Honkai, tapi Asako punya pesona
yang berbeda!” Ujar Kai meyakinkannya.
Pernyataan putus asa Kai untuk
memberitahu Jun kalau dia tidak perlu malu tampaknya berhasil, dan wajahnya
bersinar lagi. "Maksudku, bukankah menurutmu menyeramkan membaca manga
shoujo meski aku ini cowok ?!” Tanya Kai.
“Itu tidak masalah! Selama itu
bagus, siapa yang peduli dengan cewek maupun cowok?! ” Seru Jun.
Mereka berdua melakukan tos
lagi.
“Aku hanya punya teman cowok,
dan tidak ada dari mereka yang pernah ingin berbicara denganku tentang manga shoujo—”
“Aku juga! Aku sangat
kesepian!”
Keduanya melakukan tos untuk
ketiga kalinya.
“Meski kamu ini cewek, Jun ?!”
Kai bertanya tidak percaya.
“Teman-temanku hanya membaca
hal-hal umum yang dibuat menjadi film,” kata Jun. “Aku merekomendasikan manga
lain dari penulis yang sama dan memberitahu mereka bahwa manga itu bagus, tapi
tanggapan mereka cuma, 'Hmmm. Hmmm'! Itu hampir membuatku kesal!”
“Itu pasti bikin aku kesal
juga!” Mereka melakukan tos lagi.
“Oh, dan bahkan ketika aku
mengobrolkan Tonari no Kaibutsu-kun bersama
mereka, mereka cuma meributkan tentang betapa kerennya karakter si cowok,” lanjut
Jun. “Mereka semua nge-halu, 'Seandainya
aku bisa mendapat pelukan dari Haru!' Tapi ketika aku berkata, 'Seandainya aku bisa mencium Asako,'
tidak ada yang bisa memahaminya! Mereka memperlakukanku seperti orang aneh!
Kejadian yang sama juga terjadi saat membahas manga lainnya!”
“Secara pribadi, aku lebih SUKA
menikah dengan salah satu teman sekelas wanita dari series Boku to Kimi no Taisetsu na Hanashi — gadis dengan rambut hitam
panjang! Aku berharap dia akan melirik ke arahku!”
“YA TUHAN! Kai, kamu
memahaminya!”
Kai dan Jun bolak-balik
berceloteh dengan gembira, melakukan tos satu demi satu berkali-kali sehingga
di tengah jalan, mereka hanya melakukan tos beberapa kali berturut-turut.
Ini pertama kalinya mereka bisa
membahas manga shoujo. Itu adalah pengalaman pertama bagi mereka berdua.
Dunia
memang sangat luas! Kai jadi berpikiran seperti itu.
Siapa yang menyangka kalau Ia
memiliki ketertarikan yang sama dengan seseorang? Siapa yang menyangka kalau Ia
bisa seakrab ini dengan seseorang? Dan bukan dari jenis kelamin yang sama — melainkan dari lawan jenis!
Dan dari orang yang ada di
seluruh dunia, Ia bertemu dengan Jun!
Kai sangat tersentuh. Tentunya,
Jun merasakan hal yang sama.
◆◇◆◇◆
Beberapa saat setelah mereka sudah
tenang, Jun dan Kai teringat tujuan awal mereka. Mereka menyalakan PS4 dan
bersiap untuk memainkan MHW. Jun mencari-cari
tempat yang nyaman untuk duduk, ketika Kai tiba-tiba menyadari: Ia bahkan tidak
punya bantal untuk diduduki di kamarnya, apalagi sofa. Lantainya dari kayu
kosong — tidak ada karpet. “... Aku biasanya hanya menggunakan tempat tidurku
sebagai sofa,” katanya, sebelum duduk di tepi tempat tidur. “... Jadi, eh,
silakan duduk.”
Seperti yang sudah diduga, pada
awalnya Jun merasa ragu-ragu. Dia merasa enggan duduk di ranjang cowok. Tapi
pada akhirnya, dia menjatuhkan diri tepat di samping Kai.
Di sisi lain — sudah sangat
terlambat untuk saat ini — Kai sangat tersipu karena ada gadis yang duduk di
tempat tidurnya. Sama seperti payudaranya, pantat Jun luar biasa montok,
bentuknya sempurna, dan sangat mempesona. Dan pantat montok Jun ada di tempat
tidurnya! DI TEMPAT TIDURNYA!
Jun mengenakan rok pendek,
artinya pahanya yang mulus bisa terlihat dan berada tepat di sebelah Kai.
Sebuah godaan yang terlalu besar bagi perjaka seperti Kai. Cara Jun yang tidak
sadar menarik ujung roknya agar celana dalamnya tidak terlihat juga
membangkitkan gairah yang tak terlukiskan. Kai hanya bisa berusaha menahan
nafsu duniawinya.
Ngo-Ngomong-ngomong,
kurasa ini pertama kalinya aku mengajak seorang gadis ke kamarku, bukan ...
Hal tersebut benar-benar tidak
terpikirkan oleh Kai karena Ia dan Jun langsung mengoceh tanpa henti sejak memasuki
kamarnya. Semakin mempertimbangkannya dengan hati-hati, semakin Ia menyadari
betapa absurdnya seluruh situasi itu. Kai tidak ingin memikirkannya lebih jauh.
Semakin Ia memikirkannya, semakin peka pula dirinya. Kai menjadi gugup. Cepat
dan mulai, MH! Mengapa PS4-nya butuh
waktu lama untuk menyala, sih?!
Kemudian — saat Ia mengalami konflik internal — hal itu terjadi.
“Ashie, aku membeli
beberapa kue! Apa kamu dan temanmu ingin mencobanya?”
“YA AMPUN, IBU, bisa enggak
setidaknya mengetuk pintu dulu ?!”
Jantungnya hampir copot dari
dadanya berkat ibunya, yang tiba-tiba membuka pintu dan menjulurkan kepalanya
ke dalam. Bukan berarti mereka melakukan sesuatu yang memalukan. Itu hanya ...
sedikit serangan mendadak ketika Ia duduk di sana bertanya-tanya pada dirinya
sendiri, Sepertinya kita duduk cukup
dekat ... Apa pikiranku terlalu peka untuk menyadarinya?
“Aku akan makan kuenya nanti.
Kami mau main game dulu, ”katanya kepada ibunya.
“Oh, masa?”
Kai berdiri dari tempat tidur
dan mengusir ibunya yang tidak senang keluar dari kamar. Ia hampir kembali ke
tempat aslinya sebelum menyadari kalau ini adalah kesempatan sempurna untuk
melihat kembali seberapa dekat Ia duduk dengan Jun. Tidak, tidak, tidak. Sekarang kita berteman, mencoba untuk jaga jarak
akan menjadi lebih aneh!
Kai akhirnya duduk pada jarak
yang sama dengan tadi, jantungnya terus berdegup kencang.
“Ashie, apa benar kamu
membawa teman yang sangat imut ???”
“ASTAGA, NEE-CHAN, bisa enggak,
setidaknya mengetuk pintu dulu ?!”
Jantungnya hampir meledak untuk
kedua kalinya berkat kakak perempuannya, yang tiba-tiba membuka pintu dan
melongokkan kepalanya. Bukan berarti Ia sedang melakukan sesuatu yang
memalukan! Sama sekali tidak!
“Astaga, dia benar-benar manis.
Khususnya untuk orang sepertimu,
Ashie! ” ujar kakaknya dengan nada menggoda.
“Nee-chan ... Dia itu bukan
barang tontonan,” katanya kesal. “Cepat sana keluar, kita mau memainkan MH.”
“Yeesh, tidak perlu sampe sensi
segala. Apa kamu mau menyimpannya untuk dirimu sendiri, dasar pria bertubuh
besar?”
“Yeah yeah yeah, itulah yang sedang
aku lakukan.” Kai berdiri dari tempat tidur dan mengusir kakaknya yang tidak
senang keluar dari kamar. Kai dan kakak perempuannya hanya berjarak sekitar dua
tahun. Meski hubungan mereka tidak terlalu buruk, hubungan itu juga tidak
terlalu bagus.
Kai baru saja menyadari: Ia
mengajak seorang gadis ke kamarnya untuk pertama kalinya, keluarganya juga
ikutan senang. Mau tidak mau mereka merasa penasaran tentang gadis yang
dibawanya (dan seksi pula!).
“Ashie, aku membeli sushi!
Temanmu juga bisa mencobanyanya, jika dia mau! ”
“Ayolaaaaaah, Ayah, bukan
berarti kamu harus pulang lebih awal dari kerja !!!”
Apa yang terjadi dengan
keluarganya ?! Kai mengusir ayahnya keluar dari kamarnya juga, dan kemudian duduk
di tempat tidur dengan perasaan muak. Untungnya, Jun tampak menikmatinya dan ketawa
cekikikan, kelihatannya dia tidak terganggu sedikit pun.
“Maaf tentang semua keriuhan
tadi ...” Kai meminta maaf.
“Tidak sama sekali,” jawab Jun.
“Keluargamu cukup dekat, ya?”
“Aku ingin sekali menulis 'Pagar yang baik membuat tetangga yang baik'
di kamus ibuku ...”
“Dan juga aku menyukai sushi.”
“Tentu, silakan saja dan
setidaknya makan sebagian dari itu,” Ujar Kai. “Lagipula, mubazir kalau tidak
dimakan.”
“Omong-omong, Kai?” Tanya Jun.
“Apa, Jun?”
“Apa yang mereka maksud dengan 'Ashie'?”
Kai mengabaikan pertanyaannya.
“Bukankah itu aneh? Kenapa
mereka memanggilmu 'Ashie' padahal
namamu Kai? ” Jun tidak menyerah dalam pertanyaannya.
“AHHHHH, aku tidak bisa
mendengarmu!”
“Apa perlu aku memanggilmu 'Ashie' juga?” Kai menutupi telinganya
dengan tangannya dan berpura-pura tidak mendengarnya, tapi Jun tidak mau
menyerah.
Jika
bisa, aku tidak ingin dia mengetahuinya ... Kai menguatkan tekad
dan memutuskan untuk berterus terang, merasa getir mengenai keluarganya yang
blak-blakan.
“Apa kamu tahu bagaimana cara menulis
namaku?” Kai bertanya padanya. Karena hari ini upacara masuk, dia akan melihat
kartu namanya di mejanya bersama dengan bunga jika dia memperhatikan.
“Nakamura, kan?”
“Bagaimana dengan nama depanku?”
lanjut Kai.
“Namamu ditulis dengan karakter
'hai' yang berarti 'abu,' tapi
diucapkan 'Kai,' ‘kan?” Jun menjawab.
“Bahkan aku tahu ejaannya.”
“Itu bohong.”
“Hah?” Jun terheran-heran
mendengarnya.
“Aku memperkenalkan diriku
padamu dan selama kelas sebagai 'Nakamura Kai,' tapi kenyataannya aku
berbohong,” katanya.
“Hah? Hah?”
“Sebenarnya pengucapannya
berbeda.”
“Hah? Hah? Hah?” Jun
benar-benar terkejut karena Kai berbohong tentang cara mengucapkan namanya.
Namun, wajar saja kenapa dia sampai dibuat terkejut.
Terlepas dari betapa
terkejutnya Jun, Kai sama sekali tidak menyadarinya. Ia lalu melanjutkan. “Namaku
diucapkan dengan kata 'Ash,'” akunya
dengan cara yang monoton dan tanpa basa-basi.
Untuk sesaat, Jun tidak bisa
menahan reaksi. “...Apa?”
“Namaku diucapkan dengan kata 'Ash,'”
“…….”
“Ya, aku tahu itu nama yang
aneh. Nama yang sangat aneh. Silahkan tertawa jika kamu menganggap itu lucu. ”
"Tapi ayah dan ibumu
tampak seperti ...”
“Tapi mereka masih sangat muda,
kan?” Kai menunjukkan. “Mereka menikah saat masih pelajar. Rupanya mereka
adalah pasangan chuunibyou sejati
yang bercita-cita menjadi seniman manga dan penulis LN. Mereka menikah,
melahirkan aku, dan begitulah mereka menamaiku, ”jelasnya panjang lebar dengan
putus asa. (Ngomong-ngomong, nama kakak
perempuannya adalah Serena seperti dalam ‘serenade.’ Cringe, kan?) “Itu sebabnya
keluargaku memanggilku Ashie. ’” (TN
: kanji 灰 mempunya dua cara pengejaan, ada yang “Hai” ada juga
yang “Kai”, kalo diterjemahkan bisa diartikan “Ash” atau kalo di indo sih “Abu”)
Jun membeku sesaat, mungkin
karena saking terkejutnya. Lalu, dia menunjukkan jarinya yang gemetar ke arah
Kai dan bertanya, “Jadi, namamu aslinya 'Ash Nakamura'?”
“... Silakan tertawa sesukamu.”
“Pfft ahahahahaha—”
“WOW, kamu benar-benar akan
tertawa ?!”
“Boleh tertawa atau tidak, yang
mana jadinya sih ?!” Protes Jun, meski Kai berharap kalai Jun akan
mempertimbangkan kondisi mentalnya yang rapuh!
“... Yah, karena itulah, aku
akan sangat menghargai jika kamu berpura-pura tidak tahu,” katanya. “Tolong tetap
panggil aku 'Kai'.”
“Mm, baiklah,” Jun setuju
dengan relatif mudah. Kai pikir dia akan menggodanya sedikit lagi.” Aku akan
merahasiakannya dari seluruh kelas juga.”
“Terima kasih.” Itulah akhir
dari percakapan mereka. Atau setidaknya, itulah yang dipikirkan Kai saat
mengucapkan terima kasih. Tapi kemudian—
Bulu matanya yang panjang dan
anggun bergetar karena kesedihan.
“Apa yang salah?” Kai
mendesaknya, untuk menunjukkan bahwa Ia akan mendengarkan jika Jun memiliki
sesuatu yang penting untuk dikatakan. Akhirnya, Jun menguatkan dirinya sebelum
dengan malu-malu menceritakannya pada Kai.
“... Apakah kamu tahu bagaimana
menulis kanji namaku?”
“Hah. Yah, uh ... ” Kai
mengingatnya, karena dia melihat itu dieja dengan cara yang tidak biasa ketika melihat kartu nama di mejanya. Namanya ditulis
' Miyakawa Jun,' dengan dua karakter
kanji untuk nama depannya meski hanya satu suku kata.
“Itu ditulis dengan karakter 'jun' yang berarti 'murni' dua kali, yang
mana jika digabungkan menjadi satu suku kata dan cukup diucapkan 'Jun,' ‘kan?” tuturnya. “Meski cara baca
yang tidak biasa, tapi anggun dan bergaya.”
“Itu bohong.”
“Apa?”
“Aku memperkenalkan diri kepada
semua orang sebagai Jun, tapi aku berbohong,” katanya.
“...Masa?”
“Ya.”
“Lalu, bagaimana cara pengucapannya
yang asli?”
“Pure Pure'.”
“... Apa?”
“Ini dieja seperti 'Junjun,' tapi aslinya diucapkan
'Purepure'!” Jun berteriak putus asa. "Purepure
... Purepure ... Purepure ..." bergema di seluruh ruangan.
Kai menunjukkan jarinya yang
gemetar sembari menahan tawa dan bertanya, “Jadi, 'Miyakawa Purepure'?”
“Ya, aku tahu itu nama yang
aneh. Nama yang sangat aneh. ”
“Apa orang tuamu bercita-cita
menjadi mangaka atau penulis LN juga?”
“Buah Apel otaku jatuh tidak jauh
dari pohonnya!”
“Mereka memanggilmu apa di
rumah? 'Pupu'? ” Tanya Kai.
“Aku akan ngambek jika mereka tidak memanggilku 'Jun.'”
“Hei, 'Pupu' bisa jadi enak,
seperti piring pupu.”
“Apa kamu mengatakan sesuatu, †
Ash †?”
“Maaf, itu bukan apa-apa!” Kai
langsung meminta maaf, menjatuhkan dirinya dan bersujud memohon ampun. Setelah
melihat posisi itu sebentar, Jun tertawa terbahak-bahak.
“Pfft—”
Kai juga tertawa, masih dalam
posisi duduk bersimpuh. Begitu mulai tertawa, tak satu pun dari mereka bisa
berhenti.
“Ya ampun, ini gila!”
“Ohhhh my god!”
“Aku tidak percaya kalau kita
berdua punya nama yang sama-sama konyol!”
“Dan apa yang lucu tentang itu?”
tanya Kai, meskipun menganggap semuanya sangat lucu. Jun juga terjepit, menendang
kedua kakinya sambil tertawa. Pahanya yang tampak lembut memantul dengan sehat
dan menyegarkan matanya. SIAPA SAJA pasti berpikiran begitu ...
“Pastikan untuk merahasiakannya
dari orang lain.”
“Aku pasti akan merahasiakannya
sampai ke liang lahat.”
Dan begitulah hubungan mereka
dimulai, satu tahun lalu.
◆◇◆◇◆
Kembali ke masa sekarang,
seminggu sudah berlalu sejak upacara masuk untuk masa kelas 2 SMA mereka. Sama
seperti hari-hari lainnya, Jun datang untuk bermain di rumah Kai sepulang
sekolah.
Mereka duduk bersebelahan di
tempat tidur Kai, menikmati game online di dua TV dan PS4 mereka. Game yang
mereka mainkan adalah game FPS di mana pemain bertarung 15-vs-15 menggunakan
tank. Kai dan Jun telah membentuk tim tag yang disebut "peleton", dan
berada di tim yang sama.
Permainan pun dimulai. “Tempat
pengintai pasif ini GG banget. Aku
bisa melihat jelas di mana musuh berada.”
“Bagus!!!”
“Baiklah — gempur mereka tepat
di tempat yang kita inginkan! Serang tempat itu! ”
“Sedang membidik sekarang ~”
“Awas! Musuh akan jatuh seperti
lalat, bwahaha!”
“DASAR NOOOOOOOOOOOOOBS!”
Mereka berdua cukup bersemangat
karena alur pertempuran berada di sisi mereka sejak awal pembukaan. Kai dan Jun
berada di tepian kasur sambil memegang gamepad mereka.
“Huh, sesuatu baru saja
memukulku."
“Tempatmu ketahuan, Kai?”
“Nah ... Indra keenamku tidak
menyala. Ini pasti ada seseorang yang menembak!”
“Parameter kesehatanmu turun
cukup cepat, ya, Kai?”
“Sial, ada unicum di tim musuh
?! Lari, CEPAT KABUUUUURRR! Mereka bakal membabat habis tim kita. Kita bakal
dilecehkan!!! ”
“KITA YANG NOOOOOOOOOOOOOBS!”
Karena tiba-tiba menjadi pihak
yang kalah, wajah Jun dan Kai menjadi merah cerah saat mereka mencengkeram
pengontrol mereka. Namun sayang, upaya mereka sia-sia — tank baja Luchs punya
Kai meledak berkeping-keping! Tank Jun, Pz. IV H juga ikutan meledak.
“Si-Sialan ...”
“Itu sangat menakutkan ...”
Kai dan Jun terduduk dengan
wajah tercengang sembari masih mencengkeram pengontrol mereka bahkan setelah
kalah dengan cara yang menyedihkan. Bukti betapa asyiknya mereka dalam
permainan.
Karena itu, mereka bahkan tidak
menyadari bahwa pada titik tertentu, mereka saling berdempetan layaknya
pasangan yang sedang menonton film horror karena ketakutan.
Gah
...
Kai bisa merasakan denyut nadinya semakin cepat. Ia sangat menyadari betapa
empuknya lengan Jun. Meski para cowok menggoda pacar mereka karena punya lengan
yang kurus — dan dia hanya tinggal tulang dan kulit saja — lengan Jun luar
biasa montok dan sangat lembut.
Glek.
Uh. Apa yang aku lakukan sekarang...
Sejujurnya, Kai berharap mereka
bisa terus berdempetan satu sama lain selamanya. Rasanya enak. Dia sangat empuk.
Dan, mereka bukannya melakukan sesuatu yang buruk
— Kai bukannya meng-grepe-grepe
payudara Jun atau semacamnya. Mereka berdua bersahabat. Bukannya Ia terlalu
sensi untuk mengkhawatirkan setiap hal kecil, seperti apa lengan dan bahu
mereka bersentuhan atau tidak? Ia pastinya bisa menerimanya dengan tenang, kan?
Semakin Ia mencoba membangun
argumen untuk itu di kepalanya, semakin licik perasaan Kai. Apa yang seharusnya
Ia lakukan?
Aku
serahkan pada Jun! Jika Jun menjauh darinya, maka biarkan saja.
Tapi wajah Jun tidak
menunjukkan satu ons pun keengganan. Faktanya, dia sama sekali tidak keberatan
duduk berdempetan seperti ini. Artinya, Kai benar-benar dibolehin! Jalan
pintar, 1-0!
“Hei, Kai?”
Mendadak dipanggil saat
memikirkan hal-hal yang Sangat Licik dan Memalukan membuat Kai hampir melompat dari tempat tidur.
“Y-Ya, appha?” serunya. Suaranya serak, cara bicaranya terlalu formal, dan yang
terpenting, kata-katanya jadi gagu.
Terlepas apakah dia tahu atau
tidak tentang perasaan kekanak-kanakan yang sederhana dalam pikiran Kai, Jun
kemudian bertanya, “Lenganmu menegang?” Dia meremas lengan atas Kai untuk melihat
bagaimana rasanya, jarak mereka semakin dekat. WTF. Dia mengambil langkah lebih jauh meski tidak tahu seberapa
galaunya perasaannya. Kekhawatiran Kai jadi sia-sia!
“Seperti, apa kamu lebih
berotot?”
“Katakan lagi, Jun?”
“Hm?” dia bertanya.
“Katakanlah kalau aku lebih 'berotot' sekali lagi.” Kai baru pertama
kali mengetahui betapa bahagianya perasaannya mendengar seorang gadis
mengucapkan kata-kata tersebut. Bahkan tidak ada cowok yang tahu cara kerja
pikiran cowok lain.
“Ew ...” Wajah Jun menggelap,
dengan jelas mengatakan, “Kita mungkin
berteman, TAPI ...”
Kai merasa tidak enak.
Kemudian, Ia lalu menjawab pertanyaannya dengan serius. “Oh, aku rasa Fitness Boxing mulai membuahkan hasil!”
katanya, menyebutkan permainan olahraga untuk Switch yang sangat Ia sukai
baru-baru ini.
“Kamu masih memainkan itu?”
“Masihlah, karena itu
menyenangkan.”
“Aku menyerah pada permainan
itu! Satu sesi saja sudah membuatku kram otot! ” Jun mendengus.
“Sudah kubilang, cuma sakit
pertamanya saja!”
“Kalau begitu, ucapan kotor
tidak diperbolehkan!”
“Kalau begitu, tidak boleh “terlalu banyak memahami maksud dibalik
sesuatu’'!”
Saat mereka tertawa bersama,
Kai teringat pada hari Ia membeli game tersebut.
Kai memainkannya bersama Jun
terlebih dahulu karena memiliki mode dua pemain. Permainan itu bertema tinju
dan menyerukan gerakan-gerakan itu, tapi intinya adalah menjaga ritme tetap
berjalan dengan meninju pada waktu yang tepat dan melakukan manuver mengelak.
Meski tidak terlalu menyenangkan, rasanya menyenangkan bisa menggerakkan tubuh
mereka. Jun dan Kai benar-benar menyukainya dan bermain melawan satu sama lain
selama sekitar dua jam.
Namun, keesokan harinya, semua
otot yang biasanya tidak digunakan Kai menjerit kesakitan. Terutanya
lengan-lengannya kram parah hingga hampir mati rasa. Itu langsung menuju ke
kepala Kai. “Baiklah ... rasa sakit ini
menandakan kalau aku semakin kuat ..."
Tapi Jun, justru sebaliknya merasa
berbeda. “Ini MENYEBALKAN! Seluruh tubuhku sakit! Jangan beli game aneh-aneh
Kai, dasar bodoh!” omel Jun. Mungkin cowok dan cewek memiliki cara berbeda
dalam melihat dan merasakan sesuatu. Atau mungkin hanya salah satu dari mereka
yang memang bodoh.
“Yah ... Maaf, tapi kurasa jika
kamu menyukainya, Kai — maksudku, ada baiknya kau bertahan dengan itu, kurasa,”
Jun mengangkat bahu.
“Ya. Kamu sedang melihat
seorang cowok yang melakukan 10.000 pukulan dalam satu bulan. ”
“Pastinyaaa. Dan, yah, kurasa
tidak ada yang salah dengan menjadi bugar juga,” lanjut Jun, masih bersandar
pada Kai. Dia tersenyum dan — sepertinya
dia berada di dunianya sendiri — membelai lengan Kai. Mungkin lengannya, yang
kencang dari hari ke hari berkat Fitness
Boxing, terasa nyaman saat disentuh. Sama seperti lengan lembut Jun yang
enak disentuh.
Ti-Tidak,
kami cuma berteman!
Kai serasa terbang ke atas
kayangan meski merasa was-was. Menekankan keberuntungannya, Ia lalu berkata,
“Jika kamu bermasalah dengan beberapa preman, aku akan turun tangan dan
menjatuhkan mereka untukmu.”
“Kamu yakin aku bisa mengharapkan itu darimu?”
“Maaf, aku jadi terbawa
suasana," aku Kai. “Aku cuma seorang pengecut. Mari kita panggil polisi
bersama-sama.”
“Ahaha! Kamu benar. Yang terpenting
adalah tidak terluka.”
“Anak otaku merupakan orang
yang pasif!” Ia setuju.
“Kami hanya manusia tank di
video ga—” Jun mulai berkata. Tepat saat mereka mulai tenang, pertandingan Kai
dan Jun telah selesai di layar TV mereka. Tentu saja, unicum di tim musuh
memiliki delapan kill. Tim mereka
hancur tak tersisa.
“Baiklah, mau adakan sesi
review?”
“Tentu!”
Meninjau caramu bermain sangat
penting untuk meningkatkan permainan tank World
of Tanks. Untuk alasan ini, Kai dan Jun selalu mengecek Battle Replay bersama-sama, sesuatu yang
bisa dilihat pemain setelah pertandingan berakhir. Sekarang untuk melihat
bagaimana nasib mereka ...
“Kamu kehilangan banyak
kesempatan menembak, Jun,” Kai berkomentar. “Semua mata-mata pasifku yang indah
berubah jadi sia-sia!”
“Aku menyalahkanmu atas semua
peluru yang kamu tembakkan entah ke arah
mana!”
“Itu sebabnya aku menyuruhmu
memilih yang T-34! Sudah kubilang, percayalah pada Pom-Pom Yang Mahakuasa dan
bias pro-Soviet. ”
“Tapi bukannya kau juga
mengawaki tank Jerman, Kai?”
“Itu hakku untuk memilih Luchs!
Itu adalah tank ringan Tier 4 terkuat! ”
“Dan aku lebih suka Panzer IV. Aku lebih suka bersama Tim Anglerfish.
"
“Baiklah baiklah, dasar fangirl
Girls und Panzer. WoT bukanlah game
yang selamanya menyenangkan!”
“Bukannya kamu sendiri, orang
bodoh yang menangis ketika kita menonton film GuP dan mengatakan kepadaku, dengan ingus meler ke mana-mana, kalau kamu akan mulai bermain WoT?”
“Hidungku tidak meler!”
Meskipun bahu mereka masih
saling menempel, suasana hati yang gelap mulai memenuhi udara. Getaran yang
menyenangkan dari sebelumnya telah menghilang.
“... Jika kamu akan menggunakan
tipe IV, setidaknya berhentilah menembakkan 10.5. Bidikanmu sangat payah,” kata Kai dengan
nada suara yang sangat kasar. Begitu kata-kata itu keluar dari mulutnya,
pembuluh darah yang tebal dan marah muncul di pelipis Jun.
“Permisi ya? KAMU sendiri bagian dari omong kosong yang membuat
kesehatan partner-mu turun dan berteriak senang dengan 10,5! ” Jun mengomel,
melabrak punggung Kai dengan keras.
Aku
cuma mengomel. Tapi dia siap melakukan kekerasan! Kai
berpikir sendiri. Dia sedang ingin membalas, sampai sepuluh kali.
“Baiklah, mari kita coba
gunakan ini dalam pertempuran. Hancurkan mereka dengan pertarungan kita! ”
katanya bercanda, menepak punggung Jun dengan kekuatan yang hampir sama. “Kamu
sudah menjadi musuhku pada saat ini. Kau membuatku takut!”
Jun membalas dengan memukul
paha Kai dengan kuat!
“Kamu terus-menerus berkata, 'Aku takut, aku takut.' Dan kamu seorang
tanker ?! ” lanjut Kai, menepak balik paha Jun!
...
Tunggu, apa itu kulit telanjang ?! Aku barusan menyentuh pahanya yang telanjang?!
Hal tersebut benar-benar luput
dari pikiran Kai, tidak seperti dirinya, Jun memakai rok pendek. Ia hanya ingin
menepak ringan dengan cara bercanda, tetapi sensasi menepak paha lembut seorang
gadis dengan tangan memenuhi telapak tangannya dengan ekstasi yang tidak bermoral.
Cara pahanya memantul karena benturan juga terlihat erotis.
Tapi itu membuatnya kembali ke
kenyataan. Kai menyadari betapa sia-sia dan konyolnya argumen mereka yang terus
meningkat.
“Baiklah, kurasa kita—”
“Siapa yang bercanda dengan tank
baja ini saat kamu tidak punya BIJI
buat melakukannya sendiri?!”
Jun masih merasa marah.
Tangannya terangkat dan segera mencengkeram selangkangan Kai.
“URGHK.” Suara aneh keluar dari
mulut Kai.
Tapi itu juga membuat Jun
tersadar. tangannya memegangi selangkangan Kai, dia menjadi kaku, dan wajah
cantiknya memerah hingga tingkat yang lucu. “Ak-Aku minta maaf,” gumamnya.
“J-Jangan khawatir tentang
itu.”
“Aku akan me-melepasnya
sekarang.”
“I-Iya” Segalanya akan menjadi
aneh jika tangan Jun masih mencengkram selangkangan Kai.
“Aku benar-benar minta maaf,”
kata Jun. Dia memalsukan senyuman, dan — muka memerah sampai ke telinga —
perlahan-lahan, diam-diam menjauhkan tangannya dari selangkangan Kai. Lalu dia
menyeka tangannya dengan sapu tangan.
...Aku
akan menangis! Itu menyakitkan buat hatiku! Pikir Kai, meskipun Ia
tidak mengatakan apa-apa. Cowok sejati cuma bisa menangis di dalam. Kai melihat
kembali rekaman tayangan ulang dan berkata, “... Lagipula tidak banyak yang bisa
dipelajari dari babak ini.”
“Ya. Unicum itu benar-benar
mempermainkan kita.”
“Unggah video di suatu tempat.”
“Kita akan menjadi bahan
lelucon jika aku mengunggahnya,” jelas Jun.
“... Kalau begitu bagaimana
dengan yang lain?”
“Tentu. Kali ini kita yang akan membuat lelucon!”
“Baik, aku akan mengandalkanmu,
partner.”
“Serahkan padaku, partner.”
Mereka saling tos. Kemudian,
Kai mengambil kembali gamepadnya dan membuat ulang peletonnya dengan Jun.
Permainan WoT membutuhkan waktu lama untuk dimuat sebelum setiap
pertandingan. Strategi dasar mereka adalah menganalisis kedua sisi tim dan
memprediksi bagaimana pertempuran akan berlangsung. Layar menunjukkan tiga
puluh nama pemain, termasuk yang ada di tim musuh, dan nama tank mereka.
Kai melihat daftar pemain, lalu
matanya tertuju pada nama mereka.
Tangki
yang dipilih: “Luchs”. Nama pemain: “Ash.”
Tangki
yang dipilih: “Pz. IV H. ” Nama pemain: “pure-pure”.
“Aku, uh—”
“Apa?” Tanya Jun. Bibirnya
mengerucut dengan manis. Pertandingan akan segera dimulai.
Kai mengabaikannya dan berkata,
“Aku selalu tidak menyukai namaku.”
“... Aku juga.”
“Tapi sekarang aku tidak
membencinya karena aku punya teman. Dan sekarang setelah aku memiliki seorang teman
bersamaku, rasanya seperti bukan masalah besar. Aku bahkan tidak takut bila ada
orang menertawakanku karena itu lagi.”
“Sama. Aku juga.”
Mereka berdua tertawa bersamaan
seolah-olah itu menular. Perubahan sikap itulah alasan mengapa Kai dan Jun
menjuluki diri mereka “Ash” dan “pure-pure” dengan sengaja sekarang, bahkan
tanpa mengedipkan mata.
Kai sudah menjadi sedikit lebih
kuat, secara mental. Ia selangkah lebih dekat untuk menjadi orang dewasa. Semua
itu berkat bertemu sahabatnya, seseorang yang sangat berarti baginya!
“Ngomong-ngomong, Kai—”
“Apa? Game-nya bentar lagi mau dimulai,
tau.” kata Kai, memperingatkannya untuk fokus.
Tapi Jun mengabaikannya dan
berkata, “Seluruh kelas sudah tahu kalau nama aslimu sebenarnya adalah 'Ash,' Kai.”
“Ap ... Apa yang kamu ...” Kai
begitu terkejut, sampai menjatuhkan gamepad-nya. Sayangnya, pertandingan
dimulai, dan Luchs-nya — yang membutuhkan momentum dari langkah awal — tap
terhenti di posisi awal. Para pemain lain terus melaju melintasi peta.
“Tapi kamu tidak terlalu peduli
jika mereka menertawakannya karena kamu sudah punya aku, ‘kan?”
“Baiklah, kurasa aku akan
membocorkan nama aslimu juga, Jun!”
“Jangan, Aku nanti akan mati.”
Lalu bagaimana dengan nasib Kai
yang nama aslinya sudah tersebar di kelas ?!
<<=Sebelumnya |
Selanjutnya=>>
Enak aja dibacanya
BalasHapusbener banget, gua enjoy bacanya
BalasHapusLanjutken
BalasHapusWehh, makasih banget.
BalasHapusAduh.....nama mereka......... Keren sekali!!!!!!! Mantap ortu chuuni!
BalasHapusLanjut min
BalasHapusIni d lanjut gpp ni min,mantap,beda dari romcom yg biasanya
BalasHapus