Epilog
“Haaah ~, aku tidak senang
karena aku terlihat seperti menari di telapak tangannya, tapi…. Aku ingin tahu
apa ini yang mereka sebut dengan ‘menuai
apa yang aku tanam’. ”
Masachika, yang telah diantar Touya
dengan, "Karena waktu sudah hampir
malam, tolong kembali besok dengan lembar formalitasnya", sedang
berjalan menuju gerbang utama di bawah kegelapan malam bersama dengan Alisa
yang juga diberitahu dengan "Tugasmu
untuk hari ini sudah selesai ”.
Masachika berjalan sambil
menggerutu dan Alisa mengikuti di belakangnya sambil sedikit menundukkan
pandangannya tanpa mengatakan apapun.
Namun, saat mereka hampir
setengah jalan menuju gerbang sekolah, dia tiba-tiba berhenti berjalan, “Hei”,
dan memanggilnya.
“Hm? Apa ada yang salah?”
“….”
Masachika ikutan berhenti dan
menoleh ke belakang, tapi Alisa tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menatap
tajam ke wajah Masachika dengan emosi rumit terpantul di mata birunya.
Melihat ekspresi Alisa seperti
itu, Masachika juga balas menatap dengan tenang.
“Apa kamu benar-benar…… akan
bergabung dengan OSIS?”
“Ya.”
“Apa itu….”
Dia sedikit tergagap, lalu
mengajukan pertanyaan seolah-olah dia telah memutuskan sendiri.
“Supaya kamu bisa ikut
pemilihan ketua OSIS bersama dengan Yuki-san?”
“….Dan jika memang iya?”
Masachika membalas pertanyaan
Alisa dengan pertanyaan lain.
“Jika memang iya, apa yang akan
kamu lakukan? Apa kamu akan menyerah menjadi Ketua OSIS?”
“….Tidak.”
Masachika melontarkan
pertanyaan provokatif, Alisa memejamkan mata sejenak seolah ingin membuang rasa
puas dirinya, dan menjawab dengan mata yang memancarkan pancaran cahaya yang
kuat.
“Aku .. pasti akan menjadi
ketua OSIS…. Bahkan jika .. lawannya adalah kamu. Aku tidak akan pernah
menyerah.”
Ekspresi Masachika mengendur
setelah melihat tatapan mata yang kuat itu.
Aku ingin melihat pancaran ini.
Aku ingin melindungi pancaran ini.
Mendambakan pancaran jiwanya yang rapuh namun tetap mulia, aku
diam-diam mendukungnya agar tidak pernah ternodai.
Sejauh ini, hanya dari bayang-bayang.
Tapi, mulai sekarang….
“….Begitu ya.”
“… ..”
Saat Masachika mengangguk
dengan mata terpejam, Alisa mengerucutkan bibirnya dengan erat. Saat Alisa
sedikit mengalihka tatapannya ke bawah, Masachika tiba-tiba membuka lebar
matanya dan menyatakan dengan jelas.
“Kalau begitu, aku akan
menjadikanmu ketua OSIS.”
“Eh….?”
Alisa mendongak kaget.
Masachika mengulurkan tangannya ke arah Alisa yang sedang terperangah.
“Jika kamu menginginkannya, aku
akan menjadikanmu ketua OSIS dengan segenap kekuatanku. Aku takkan
meninggalkanmu sendirian lagi. Mulai sekarang, aku akan berada di sisimu untuk
mendukungmu. Itu sebabnya…. Jangan banyak bicara dan raihlah tangan ini, Alya!
”
Segala macam keraguan dan
kebimbangan muncul silih berganti di benak Alisa saat mendengar perkataan
Masachika.
“Mengapa?”
“Kenapa kamu memilihu?” “Bukan Yuki-san?”, kata-kata semacam itu
terlintas di kepalanya. Namun, di hadapan tatapan tajam Masachika, semuanya
lenyap dan menghilang
(Aah, begitu rupanya….)
Tiba-tiba, Alisa tersadar.
Masachika sudah mengetahuinya. Keputusasaan Alisa…..serta sifat keras kepalanya.
Itu sebabnya Ia memberitahunya.
Tidak perlu basa-basi seperti “membantu” atau “Ayo bertarung bersama”.
Masachika hanya berkata, jangan banyak
bicara dan raihlah tangan ini.
“Aah….”
(Aku .. selalu sendirian. Kupikir aku
takkan pernah bertemu seseorang yang bisa kupanggil kawan karena selalu
menganggap semua orang sebagai saingan, dan hanya memandang rendah orang lain.)
(Tapi…. bagaimana jika, ada seseorang
yang akan menerima semua keputusasaanku ini, dan menjadi kawan tanpa syarat.
Jika orang semacam itu ada, maka….)
“….!”
Aku ingin tahu emosi apa yang sebenarnya
mencuat di hatiku ini. Alisa tidak mengerti.
Terharu?
Harapan?
Kegembiraan?
Tampaknya semua perasaan
tersebut bercampur menjadi satu tapi rasanya juga bukan perasaan semacam itu.
Berbagai macam emosi bergejolak
di dalam dirinya, dan entah kenapa, Alisa merasa ingin menangis.
Namun, tidak ada air mata yang
menetes.
Dia tidak ingin cowok di
depannya melihatnya seperti itu.
Dan, Itu juga karena dia pikir
si cowok tidak ingin melihat dirinya seperti itu juga.
Itu sebabnya, dia membusungkan
dadanya dengan bangga dan menatap ke depan.
Dia tidak meminta bantuan.
Tak mengharapkan sanjungan,
maupun ketergantungan. Dia hanya… memegang tangan ini sebagai rekan yang setara.
“Ya, aku berharap bisa bekerja
sama denganmu mulai sekarang. Alya ”
Seolah-olah menanggapi
keinginannya, Masachika tersenyum sedikit dan mengangguk.
Sebagai rekan yang setara
dengannya.
Atas kebaikannya yang acuh tak
acuh, bibir Alisa secara alami tersenyum seindah bunga yang sedang mekar.
Dari bibirnya yang sedikit
terbuka, suara yang datang dari lubuk hatinya keluar.
“Terima kasih.”
Dan kemudian,
【Я тебя любю ….】(TN : Kalo liat di google sih artinya, ‘aku mencintaimu’, ciee
langsung nembak aja XD)
Jantung Masachika berdegup
kencang mendengar pengakuan yang tidak terduga, dan melihat senyuman sepenuh
hati Alisa yang belum pernah Ia lihat sebelumnya sampai sekarang.
Pada saat yang sama, kenangan
dari masa-masa yang indah…. dan senyum menawan gadis itu muncul di benaknya.
(A-apa, ini)
Jantungnya berdebar kencang.
Ini adalah perasaan cinta yang Ia pikir tak akan pernah bisa dirasakan lagi
untuk kedua kalinya sejak gadis itu menghilang.
(Ha ha…. Apa kamu serius. Perasaan ini… masih ada di dalam diriku,
ya)
Aku
tidak bisa mengalihkan pandanganku dari gadis yang di depanku. Tangan yang digenggam
terasa panas. ….? Ketimbang panas…. Itu menyakitkan?
“!? Aduh, aduh, itu sakit, itu
sakit !! Kenapa!?”
Tanpa Ia sadari, senyuman di
wajah Alisa telah berubah menjadi senyum yang kaku, dan tangannya dipenuhi
dengan tenaga kuat.
Masachika menjerit kesakitan
sambil membungkukkan tubuhnya ke depan, Ia mendongak ke atas, melayangkan
tatapan penuh tanya dan memprotes. Saat tatapannya dibalas oleh tatapan judes,
Alisa dengan tenang mengajukan pertanyaan.
“Baru saja…. apa kamu
memikirkan gadis lain?”
“Bagaimana kamu bisa tahu!?
Ah….”
Masachika menjawab secara refleks
dan kemudian berpikir, “Ah, keceplosan!”,
Tapi itu sudah terlambat. Pada saat yang sama, Ia mulai berkeringat dingin,
menyadari bahwa Ia sudah melakukan hal yang terburuk.
(Dasar bego! Dasar bego! Dasar bego! Memikirkan gadis dari masa lalu
setelah ditembak adalah hal terburuk kedua yang selalu dilakukan oleh
protagonis romcom dalam peristiwa pengakuan perasaan!)
Ngomong-ngomong, posisi pertamanya adalah gagal mendengar pengakuan.
Kamu tidak boleh melakukan ini karena akan sangat mengurangi kesukaan pembaca,
apalagi si heroine.
(…. Tunggu, ini bukan waktunya untuk memikirkan tentang itu!)
Ia secara paksa menyadarkan
dirinya yang tanpa sadar berusaha kabur dari kenyataan dengan pergi ke alam
mimpi para otaku.
Tapi, karena pengalaman
Masachika dengan urusan cinta di kehidupan nyata tidak membaik sama sekali
sejak SD, agak sulit baginya untuk memikirkan cara keluar dari situasi ini.
Saat Ia sedang berusaha memutar
otaknya, Alisa berbicara lebih dulu dengan senyum dingin.
“Tadi..”
“Ya-ya?”
“Tadi, 'Mulai sekarang, aku akan mendukungmu', kamu mengatakan itu, ‘kan?”
“Eh, aah, ya. Aku memang
mengatakan itu.”
Rasanya cukup memalukan setelah
diberitahu ini lagi, tapi apa yang muncul di depan mata tajam dan dingin Alisa
bukanlah senyum malu-malu, tapi senyuman kaku.
“Jadi tepat setelah kamu mengatakan
itu…. kamu sedang memikirkan tentang Yuki-san?”
“Tidak, aku tidak sedang memikirkan
Yuki….”
“… .Hmmm.”
“Tung— !? Ini beneran sakit,
tau !? ”
Saat Masachika menyatakan kalau
Ia tidak memikirkan Yuki, tangan kanannya, sekali lagi, dijepit dengan kekuatan
yang mirip dengan capitan. Masachika berteriak, “Kenapa !?”, di dalam hatinya.
“Kuze-kun.”
“Yhaa!”
“Jika kamu menginginkan
pengampunan…. Jangan banyak bicara dan terimalah tangan ini.”
“….Iya.”
Melihat Alisa perlahan
mengangkat tangan kirinya, Masachika mengerti maksudnya dan memejamkan matanya.
Setelah itu, ada hantaman
dahsyat mendarat di pipi kanannya, membuat Masachika terpental, dan bukan
dengan cara metaforis.
“He, hehe…. Tamparan yang
bagus.”
“… .dasar idiot.”
Masachika mengacungkan jempol
ke arah Alisa saat terjatuh ke tanah dengan menyedihkan. Dia membuat wajah
heran pada Masachika yang seperti itu sambil mengulurkan tangannya, meredakan
amarahnya seperti yang dia nyatakan.
Masachika menerima uluran
tangannya, berdiri, dan menepuk celananya untuk menghilangkan debu.
“….Waktunya pulang.”
“Kurasa begitu.”
Mereka kemudian pulang secara berdampingan.
Tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh, jarak di mana mereka bisa
bergandengan tangan secara alami jika mereka mau mengulurkan tangan.
“Wah, itu pertama kalinya aku
ditampar oleh seorang gadis. Pengalamanku sebagai seorang pria meningkat lagi,
ya.”
“Apa kepalamu terbentur batu
saat jatuh tadi?”
“Tidak ada yang salah dengan
kepalaku, oke !?”
“Sepertinya begitu, kepalamu
memang sudah aneh sejak awal.”
“Berani-beraninya kamu mengatakan
itu kepada cowok yang pernah disebut-sebut sebagai anak ajaib.”
“Anak ajaib? … .Fuu ~ n ”
“Ah, tatapan mata yang
menyiratkan sama sekali tidak mempercayai itu.”
Mereka berjalan sedikit lebih
dekat dari biasanya, sementara keduanya merasa lega karena dapat melakukan
interaksi yang biasa mereka lakukan satu sama lain. Dan pada saat mereka sampai
di depan gedung apartemen Alisa, Alisa terlihat sedikit cemas.
“… .Apa pipimu, baik-baik saja?
Apa kamu butuh es untuk mendinginkannya? ”
Masachika membalas riang dengan
senyum masam, mungkin karena tidak terlalu mempedulikannya.
“Ya, tidak apa-apa. Aku tidak
bisa merasakan pipi kananku, tapi itu tidak seberapa dibandingkan dengan obat
bius yang aku dapat dari dokter gigi!”
“Bukan itu yang kamu sebut 'tidak apa-apa'…. ”
Setelah kekhawatirannya dijawab
dengan lelucon, Alisa mengangkat bahunya dengan ekspresi tercengang. Kemudian,
dengan ekspresi seolah-olah menyadari sesuatu, dia mengangkat kepalanya,
mengulurkan jari telunjuknya dan dengan lembut membelai pipi kanan Masachika.
“Apa kamu benar-benar, tidak bisa
merasakan apa-apa?”
“Ah, baiklah…. Aku cuma bercanda,
kok. Namun, sensasi sedikit mati rasa itu benar.”
“….Begitu ya.”
Alisa tiba-tiba tersenyum
mendengar balasan Masachika dan pipinya agak memerah. Sesaat kemudian, Alisa
meletakkan tangannya di bahu Masachika, dan mendekat dengan senyum lembut.
“Eh?”
Sensasi lembut menempel di pipi
kanan Masachika saat Ia membeku karena situasi yang tiba-tiba, dan suara ciuman
terdengar di telinganya.
“Eh?”
Masachika membuka matanya
lebar-lebar karena terkejut dan Alisa dengan cepat mundur, memberinya tatapan
mengejek.
“Apa yang membuatmu kaget. Itu cuma
ciuman pipi.”
“Apa maksudmu dengan 'cuma'…. Bukankah ciuman pipi biasanya
dilakukan dengan pipi ke pipi…. ”
“Benarkah? Sebenarnya tadi itu
bukan ciuman, tapi cuma suara yang kubuat dengan mulutku.”
“Tidak tapi…. Hmm? ”
Sensasi
barusan…. tunggu, jadi mana yang benar !?
“Baiklah, sampai jumpa besok.”
“Ah, ya…. Sampai jumpa besok.”
Dengan pikirannya teralihkan,
Masachika melihat Alisa pergi ke pintu masuk sambil melambaikan tangannya.
Setelah Ia tidak bisa melihat punggungnya lagi, Masachika kemudian berjongkok di
tempat sembari memegangi kepalanya.
“Eeeeh ~~? Tidak, serius, jadi
mana yang benar ?? ”
Sambil mengelus pipinya yang
masih panas, Masachika mati-matian mencoba mengingat sensasi tadi. Namun, tidak
peduli seberapa banyak Ia mencoba untuk mengingatnya, tidak ada jawaban pasti
yang muncul.
“Alyaaaa ~~ Tolong jawab aku
dalam bahasa Rusia ~”
Di jalanan malam yang gelap,
ratapan menyedihkan Masachika bergema.
<<=Sebelumnya |
Daftar isi | Selanjutnya=>>