Chapter 3 — 18 Juli (Sabtu)
Aku berkedip kesakitan karena
merasakan rasa nyeri di bagian mataku yang terdalam. Sepertinya aku lupa
menutup gorden tadi malam, dan pancaran matahari musim panas melalui celah
bersinar tepat di wajahku. Untungnya, berkat AC, rasanya tidak terlalu panas.
Tapi rasanya… bikin silau, men.
Ketika aku mengalihkan pandanganku
ke arah jam yang ada di sebelah bantalku, angka terakhir baru saja berubah,
menunjukkan bahwa waktu baru saja berubah menjadi 8:30 di pagi hari. Aku
penasaran kenapa waktu pada jam digital sepertinya selalu berputar dengan
nyaman tepat ketika kamu bangun …… Hm? 8:30 pagi? Waktu dimana yang aku anggap
sedikit terlambat. Meski hari ini libur sekolah, kurasa aku agak kesiangan.
Mungkin
semua orang sudah menghabiskan sarapan mereka?
Pikiranku sampai sejauh itu sebelum aku menyadari penggunaan kata 'semua orang'. Ini berarti kalau aku,
secara alami dan otomatis, telah menyertakan ibu tiriku, Akiko-san dan saudari
tiriku Ayase-san dalam istilah ini. Kesimpulan ini membuatku sedikit tercengang.
Meskipun kami baru hidup bersama selama sekitar satu bulan, secara mental aku
sudah menganggap ini normal.
Aku selesai berganti pakaian,
menyelinap ke kamar mandi untuk mencuci muka dan memperbaiki penampilanku, lalu
membuka pintu ke ruang tamu. Aku menemukan Ayahku dan Akiko-san duduk di
seberang meja dan sedang meminum kopi.
Ketika Ayahku berbalik, ekspresinya tampak sedikit kaget.
“Pagi… Atau lebih tepatnya,
kamu kesiangan, Yuuta.”
“Aku ketiduran. Ah, tidak perlu
repot-repot.”
Paruh kedua kalimatku ditujukan
pada Akiko-san, yang sudah meletakkan cangkirnya dan hendak berdiri. Namun,
sebelum kata-kataku bisa tersampaikan padanya, dia sudah meletakkan telur yang
dibungkus ham di atas piring dan sudah dihangatkan di microwave.
“Tidak perlu sungkan-sungkan,
Yuuta-kun.”
“Tidak, um… terima kasih.” Aku
lalu duduk di meja makan dengan ham dan telur hangat di depanku.
Sudah ada roti panggang di
piringku dengan mentega dan selai di sebelahnya.
“Hah?” Aku menyadari kalau ada
piring kosong lain di atas meja di depanku.
Aku juga tidak bisa melihat
saudari tiriku di mana pun. Apa ini berarti dia belum sarapan?
“Saki masih tidur.”
“Ah, begitu ya…? Tumben
sekali.”
“Yah, sepertinya dia agak
ketiduran hari ini.”
Menilai dari reaksi Akiko-san,
aku tahu kalau Ayase-san ketiduran merupakan kejadian yang langka. Dan aku
setuju dengan itu, karena aku belum pernah melihat Ayase-san bangun lebih
lambat dariku, setidaknya tidak dalam ingatan akhir-akhir ini. Menurut Akiko-san,
yang baru saja memeriksa kamar tidurnya, dia masih tertidur lelap.
“Dia menyalakan AC, tapi dia
tidur dengan bagian perutnya keliatan. Aku khawatir dia akan masuk angin
seperti itu.” Akiko-san berkata sambil menghela nafas. “Sungguh merepotkan.”
Aku bingung bagaimana harus
menanggapi itu. Jika dia cuma teman sekelas, mungkin aku bisa berfantasi
sedikit tentang penampilannya saat ini? Aku tidak bisa mengabaikan pemikiran
itu jika itu berkaitan dengan gadis tercantik seangkatan. Namun, bila
berfantasi tentang saudara tiriku sendiri hanya akan membuat Akiko-san
khawatir, jadi aku tidak bisa melakukan itu.
“Sepertinya musim panas tahun
ini akan menjadi yang terpanas, ya?” Setelah berpikir dan ragu-ragu sebentar, aku
memilih tanggapan yang aman dan tidak menyinggung.
“Kamu juga perlu berhati-hati,
Yuuta-kun. Akan merepotkan jika kamu akhirnya kedinginan, tapi panasnya bisa
menakutkan juga. Pastikan A/C kamarmu disetel dengan benar, oke? Ada beberapa
kasus orang terkena serangan panas di kamar mereka sendiri.”
“Oke,” aku mengangguk dan mulai
menyantap sarapanku.
Sudah lama sejak aku bisa
merasakan sarapan buatan Akiko-san. Telur ceploknya ditemani sebotol kecap di
sebelahnya, menunjukkan sedikit perhatian dari Akiko-san. Sama seperti
Ayase-san, dia tidak melupakan selera orang lain setelah mendengarnya bahkan
hanya sekali, jadi itu harus berjalan dalam keluarga. Tepat ketika aku
penasaran apa cuma telur dan ham saja untuk sarapannya, ketika aku masih makan
dengan sumpitku, sebuah cangkir muncul di depanku.
“Ini, bilang saja kalau kamu
mau lebih.”
“Terima kasih banyak… Apa itu
sup kental?” Aku bisa melihat beberapa bahan kecil berenang di dalam sup putih.
“Ini clam chowder. Jika tidak sesuai dengan seleramu, kamu tidak harus
memakannya.”
“Tidak, aku akan memakannya.”
Clam
chowder. Apa sama dengan yang aku pikirkan? Stew susu dengan kerang
manila, ‘kan? Aku pernah mendengarnya sebelumnya. Kalau tidak salah, aku bahkan
pernah memakan itu sebelumnya di sup cangkir.
“Ini versi buatan Akiko-san, tahu.” Ujar Ayahku.
“Ini tidak seberapa, kok.
Apalagi hidangan itu cukup mudah dibuat.”
Ada satu hal yang aku sadari
selama sebulan terakhir ini. Setiap kali Ayase-san atau Akiko-san mengatakan 'mudah dibuat/dimasak,' baik aku dan
Ayahku tidak dapat memahaminya sama sekali, karena tidak satu pun dari kami
yang memiliki keahlian dalam hal memasak. Mencari tahu rasanya, menyiapkan
masakannya… Ayase-san telah mengajariku tentang hal itu beberapa kali, jadi aku
terus mempelajarinya. Lagipula, tidak ada ruginya untuk terus mempelajari lebih
lanjut.
Ketika aku mengintip isi
cangkir, aku melihat sesuatu yang merah, sesuatu yang putih, dan bahkan
beberapa bahan transparan di dalamnya, yang semuanya mungkin akan sulit untuk
dimakan dengan sumpit. Dengan menggunakan ujung sumpitku, aku dengan lembut
mengaduk-aduk isi cangkir, memiringkannya, dan dengan hati-hati membiarkan
sedikit isinya masuk ke dalam mulutku.
Teksturnya yang menggumpal
menari-nari di antara gigiku. Ketika sup rasa susu berbasis consommé menyentuh lidahku, rasa yang
mengenyangkan menyebar di dalam mulut. Rasa yang kuat menyerupai bacon dan wortel, daging dan sayuran,
tercampur di sana juga.
“Lezat sekali.”
Bumbunya tidak terlalu kuat
atau terlalu kurang. Sejujurnya, itu enak.
“Aku senang mendengarnya.” ucap
Akiko-san sambil tersenyum lembut.
Ayahku menyeringai padaku
seolah-olah dialah yang membuat makanan ini. Kenapa malah Ia yang bertingkah
sombong? Apa Ia secara tidak langsung membual tentang istrinya? Aku benar-benar
tidak menyukai ada pria berusia 40 tahun menyeringai songong saat aku sedang
sarapan di pagi hari libur sekolah, jadi aku malah fokus pada makananku. Saat
aku menikmati sarapanku, Ayahku dan Akiko-san memulai percakapan lain. Topik
diskusi mereka adalah aktivitas malam Ayase-san.
“Sepertinya dia belajar sampai
larut malam.”
Bagaimana dia bisa mengatakan
itu dengan pasti meski hanya mengintip ke dalam kamar Ayase-san pagi ini? Itu
karena catatannya masih terbuka di atas meja, earbud-nya tampak seperti lepas dari telinganya, benar-benar
terabaikan, tergeletak di atas catatan itu sendiri. Ayase-san tidak suka kalau
ada orang lain melihat catatannya, dan kepribadiannya juga tidak memungkinkan
seseorang mendengar musik yang berasal dari earbud-nya,
jadi ini aneh baginya.
Akiko-san melihat catatan dan
earbud dalam keadaan itu dan menyimpulkan kalau dia terus belajar sampai rasa
kantuknya menyerang. Setelah rasa kantuk ini menguasainya, dia pasti tidak dapat
melanjutkan belajarnya lagi dan memejamkan matanya, yang mana hal itu menyebabkan
dia meninggalkan semuanya berserakan di atas meja dan jatuh ke tempat tidur.
Itulah kesimpulan dari detektif
Akiko-san, dan jika kamu bertanya kepadaku, aku ragu ada banyak perbedaan dari
kenyataannya. Dia pasti sangat keasyikan belajar, ya? Aku berharap musik lofi
hip hop bisa membantu belajarnya.
Ayahku tiba-tiba bicara.
“Hei, Yuuta.”
“Hm?” Aku mengalihkan tatapanku
ke arahnya dan masih menikmati rasa ham yang pekat di mulutku.
Lagipula, berbicara dengan
makanan di mulutmu merupakan perilaku yang tidak sopan.
“Sekarang sudah sebulan.
Bagaimana menurutmu? Kamu tidak merasa terganggu atau ada masalah, ‘kan? ”
“Terganggu…? Tidak terlalu.” Aku
menjawab setelah menelan makanan yang tadi dikunyah.
“Bagaimana hubunganmu dengan
Saki?” Kali ini, Akiko-san yang berbicara.
“Ehm…”
“Ayolah, Yuuta-kun, kamu dan
Taichi-san sudah hidup bersama sampai saat ini, dan kami tiba-tiba menerobos
masuk ke dalam kehidupanmu, ‘kan? Aku yakin itu pasti merepotkan dalam banyak
hal.”
Merepotkan, ya? Saat dia
mengatakan itu, aku jadi teringat pada suatu malam ketika aku terpojok oleh
Ayase-san yang hanya mengenakan bra dan kancut. Itu benar-benar merepotkan,
kurasa. Dia berbaring di tempat tidurku, di dalam kamar yang gelap, ketika
Ayase-san mendekatiku, memperlihatkan kulit putihnya yang hanya tertutupi oleh
bra tipis. Rambut panjangnya yang berwarna cerah tergerai dari bahunya, seolah-olah
menutupi dadanya yang tersembunyi di balik bra berwarna gelap. Matanya yang
hampir basah melihat ke arahku ...
… Segera setelah aku mengingat
salah satu adegan itu, rasanya seluruh tutupnya terbuka, dan segala sesuatu
yang lain keluar begitu saja karena aku terpaksa mengingat pemandangan itu
lagi.
“Ada apa, Yuuta?”
“A-Ah, ya, semuanya baik-baik
saja, jangan khawatir.” Aku membalas Ayahku. Lalu mengangguk ramah ke arah
Akiko-san — dan merasa sedikit bersalah
saat melakukannya.
“Begitu ya. Aku senang
mendengarnya.” Akiko-san sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak
menanyaiku lebih jauh.
Sebaliknya, dia bertanya apa aku
ingin minum kopi setelah sarapan. Saat aku mengangguk, dia menekan tombol di
mesin kopi. Mereka tampaknya suah menyiapkannya untukku. Aroma wangi kopi Hawaiian Kona tercium di meja makan saat
kopi dituangkan ke dalam cangkir sedikit demi sedikit. Aku menghabiskan pagi
musim panas ini dengan damai ditemani aroma kopi yang nikmat.
Sabtu ini, Sabtu setelah pekan
di mana kami menerima hasil ujian akhir semester, kemungkinan besar adalah awal
dari liburan yang membuat hati dan pikiran siswa SMA menjadi jernih. Namun, aku
berbeda. Aku sudah menyelesaikan PR-ku di pagi hari, dan pada saat jam 11:30
tiba, aku mulai bersiap-siap untuk berangkat kerja sambilan. Bagiku, hari libur
adalah hari yang memungkinkanku bekerja penuh waktu.
Setelah selesai bersiap-siap,
tepat sebelum meninggalkan apartemen, aku melirik ke arah pintu kamar
Ayase-san. Waktu sudah menjelang tengah hari, namun dia masih belum bangun.
Karena aku tidak ingin membangunkannya, aku diam-diam memberitahu Ayahku dan
Akiko-san kalau aku akan pergi dan membuka pintu.
Setelah melangkah keluar
apartemen, sinar matahari yang menyengat langsung menusuk permukaan kulitku.
Panas banget. Begitu panas sehingga benar-benar menyakitkan. Untuk sesaat, aku
bertanya-tanya apa aku telah pindah dari Jepang ke negara subtropis. Aku
mengendarai sepeda ke stasiun kereta Shibuya. Angin sepoi-sepoi yang sejuk
bertiup ke arahku saat aku bersepeda, tetapi begitu aku berhenti, keringat
mulai keluar dari setiap pori-pori tubuhku lagi. Ketika aku melihat suhu
termometer di jalan, aku dapat melihat bahwa suhunya sudah lebih dari 30°C. Aku
bergegas menuju ke dalam toko buku tempatku bekerja, seakan-akan mencoba
melarikan diri dari suhu panas ini.
“Fiuh… Adem dan menyegarkan…”
Aku mengeluarkan handuk dari tas olahragaku dan menyeka keringat di wajahku.
Aku menuju ke ruang belakang
toko, berganti ke seragam kerjaku, dan memasang tag namaku. Aku lalu bertegur
sapa dengan pekerja sambilan lainnya yang baru saja masuk dan melangkah ke area
dalam toko.
“Ah, Asamura-kun. Bisakah kamu
mulai dengan meletakkan semua rilisan baru ke rak? ”
“Ya pak.”
Manajer toko memberiku perintah
sambil menunjuk ke troli. Biasanya tidak ada buku baru yang datang pada hari
Sabtu. Namun, karena toko buku tempatku bekerja berada di sisi yang lebih besar,
meletakkan semua buku ke rak dan dipajang hampir mustahil. Aku berjalan menuju
troli dan mengintip ke dalam kotak kardus di atasnya.
“Buku novel, ya?” Aku mengkonfirmasi
labelnya dan mendorong troli ke deretan rak.
Rak tempat pemajangan buku
novel agak jauh ke belakang dari majalah dan rilis oneshot, dekat bagian komik.
Karena sekarang waktunya siang di akhir pekan, sebagian besar pengunjung yang
memasuki gedung ini mencari makanan atau minuman. Kami menggunakan celah dalam
pelanggan untuk mengisi rak buku. Tentu saja, kami juga selalu melakukan ini
sebelum toko buka, jadi ini yang kedua kalinya hari ini.
“Ah, kamu juga mulai hari ini
ya, Kouhai-kun?”
Seorang gadis yang saat ini
sibuk mengatur rak buku menoleh ke arahku. Rambut panjang dan halusnya menyisir
kedua sisi wajahnya saat menoleh.
“Ya, mulai sekarang.”
“Lalu kita berada di shift yang
sama.”Ucap Yomiuri Shiori-senpai.
Seperti biasa, penampilannya
yang anggun tampak cukup mengesankan untuk dilukis di atas kanvas, dan mau tak
mau aku berpikir kalau pakaian kimono akan terlihat jauh lebih cocok daripada
seragam toko ini.
“Apa kamu sedang mengatur rak
sekarang, Senpai?”
“Ya, benar. Apa yang ini rilisan
terbaru? Apa kamu memiliki bukunya di sana? ”
“Buku apa?”
“Dari penerbit ini di sini.” Dia
menunjuk ke rak di depannya. “Ini disebut 'Azure
Night’s Interval', lihat.”
Aku mengintip ke dalam kotak
karton.
“Buku yang ini?”
“Ah, ya, yang itu.”
Itu dari genre yang disebut 'sastra ringan.' Sampul dari buku novel
tersebut digambar oleh ilustrator populer, yang menggambarkan apa yang tampak
seperti siswa laki-laki dan perempuan SMA. Gambarnya jauh lebih detail daripada
dalam gambar manga. Mereka berdiri saling membelakangi, langit malam diterangi
cahaya bulan menjadi latar belakang mereka. Mereka menghadap pembaca,
berpegangan tangan seolah-olah mereka adalah sepasang kekasih. Ini pasti
semacam novel romansa, ya?
“Berapa banyak yang kamu bawa?”
Dia bertanya.
“Um… dua salinan.”
“Cuma dua? Kupikir kita
membutuhkan lebih seperti dua belas.”
“Itu… pasti berlebihan.”
“Aku menduga mereka akan
meretur kembali buku-buku ini.”
“Masuk akal.”
“Tapi sekarang aku tidak bisa
menumpuknya rata dan menghadap ke atas ..."
Menumpuknya 'mendatar dan menghadap ke atas' berarti
menumpuknya di depan rak buku pada meja kecil yang mencapai lutut, dengan
sampul menghadap ke atas. Cara lain untuk memajangnya adalah dengan meletakkan buku
di rak buku dengan bagian sampul belakang menghadap ke luar.
“Yang itu keluar sebulan lalu, ‘kan?
Belum lagi itu berubah jadi jenis sampul kertas. Apa mereka masih menjual ini?
”
'Berubah
jadi sampul kertas' berarti novel yang sebelumnya dijual sebagai
volume hardcover penuh sekarang dijual kembali sebagai buku bersampul kertas (softcover). Dengan kata lain, ini
adalah edisi yang lebih murah. Karena kebanyakan orang telah membeli versi
sebelumnya, sangat jarang untuk melihatnya dijual sebulan kemudian. Setelah
kuingat-ingat lagi, aku merasa pernah mendengar judul ini sebelumnya.
“Apa novelnya bagus?”
“Mungkin. Alasan terbesarnya
mungkin karena diadaptasi menjadi film.”
“Ahh… aku baru ingat sekarang.”
Aku jadi tahu kenapa judul itu terdengar tidak asing.
Kalau tidak salah aku pernah melihat
di berita bahwa film ini ditayangkan. Ketika aku melihat lebih dekat ke
sampulnya, aku bisa melihat gambar dan karakter dari film di bungkus kertas.
Sebenarnya aku berencana untuk menontonnya, tetapi berkat kedatangan Ayase-san
dan ujian akhir semester, aku tidak punya banyak waktu untuk memeriksanya.
“Mereka masih menjualnya, ya.
Tapi aku baru punya satu di rak ini.”
“Totalnya cuma tiga, ya ...
hmmmm, kamu benar-benar tidak bisa menumpuknya.”
Karena kamu perlu menyimpan
setidaknya satu volume di rak buku selain dari volume khusus penulis, kami
hanya dapat menumpuk dua buku di depan rak. Itu jumlah minimal, dan setelah
salah satu dibeli, itu bahkan bukan tumpukan lagi. Ada terlalu banyak perbedaan
dibandingkan dengan buku lain di sebelahnya. Pada saat-saat seperti ini, jauh
lebih rasional untuk meletakkan semuanya di rak.
“Aku tidak benar-benar ingin
melakukan itu.”
Karena Yomiuri-senpai
bersikukuh mengenai hal itu, novel ini pasti judul yang dia sukai. Bagian
penting dari pekerjaan ini ialah memperhatikan buku apa yang paling laris
terjual, dan menempatkannya di lokasi yang lebih mencolok. Bahkan orang yang
tidak membaca buku sering kali membeli jenis publikasi ini, jadi jika kamu
meletakkannya di lokasi yang lebih mencolok, itu akan terlihat lebih bersahabat.
Orang yang baru mengenal media ini tak akan masuk ke toko untuk melihat-lihat.
Di sisi lain, pembaca setia dari serial tertentu akan mencari di tempat-tempat
yang lebih tersembunyi untuk menemukan apa yang mereka inginkan.
“Itu persisi seperti dirimu,
Kouhai-kun.”
“Bukan buku semacam ini saja yang
satu-satunya aku baca…”
Hanya saja, semakin banyak buku
yang aku baca, semakin banyak genre yang kebetulan aku temukan. Dia tidak
berpikir kalau aku melakukan hal-hal aneh, ‘kan?
“Apa yang harus aku lakukan
tentang ini?” Dia bertanya.
“Mungkin kita harus memajangnya
di rak lain? Lagipula ini bukan seperti rilisan terbaru.”
“Kedengarannya ide bagus ~”
Pada dasarnya, kami akan pergi
ke rak tempat dimana para pengunjung dapat menemukan karya lain dari penulis
yang sama dan membuat ruang di sana. Ada cukup ruang di sini untuk tiga buku
dengan sampul depan menghadap ke luar. Karena buku bisa rontok saat ditumpuk
seperti itu, ada lekukan di bawahnya untuk menjaganya tetap aman di tempatnya.
Karena buku ini tampaknya benar-benar cukup populer, ketiga buku ini mungkin
akan hilang di penghujung hari, tapi itu bukan kesalahan kami.
Aku meletakkan buku tersebut di
rak dan di platform kecil, kemudian Yomiuri-senpai membantu memajang novel yang
dia suka.
“Ini harusnya berhasil.”
“Oh benar. Pemutaran film ini
akan segera berakhir, ya.”
Liburan musim panas akan dimulai
minggu depan, dan film musim panas akan mulai diputar. Dengan kata lain, akhir
pekan ini adalah kesempatan terakhirku untuk menontonnya. Memang sangat
disayangkan, tapi aku sudah menyibukkan diri untuk shift kerja hari ini. Ya
ampun aku sungguh ceroboh sekali. Aku sangat ingin menonton film itu. Aku
mengomel dalam hati tentang itu saat aku kembali bersama Yomiuri-senpai ke
ruang belakang. Yomiuri-senpai pasti menyadari penyesalan batinku. Dia lalu angkat
bicara.
“Nee~, kalau kamu masih belum menonton
filmnya, bagaimana kalau kita menonton di jam larut malam hari ini setelah
bekerja?”
“Pemutaran larut malam? Ahh.”
Aku benar-benar lupa tentang
opsi itu. Meski memulai tayangnya pada jam 9 malam berarti aku akan keluar
sampai tengah malam.
“Jam kerjaku berakhir jam 9
malam. Sama untukmu, ‘kan? ”
“Ya.”
Dari nada suaranya, sepertinya
Yomiuri-senpai punya jam shift yang sama denganku, dan karena dia libur besok
pagi, dia bisa ikut.
“Sabtu adalah hari yang
sempurna untuk menikmati kehidupan malam!”
“Omonganmu!”
“Aww, kita akan menonton film,
jadi siapa yang peduli ~?”
Dia benar-benar suka membuat
pernyataan mengecoh yang bisa membuat salah paham orang lain. Belum lagi dia
memberikan kesan kalau ada makna tersembunyi dari apa yang dia katakan.
“Kita hanya akan menonton
filmnya, ‘kan?”
“Tentu saja!” Dia tersenyum
padaku dengan senyum cerah.
Apa aku hanya digoda lagi? Dan
lagi, aku sendiri merasa tertarik untuk melihat filmnya.
“Baiklah. Lagipula aku juga
ingin menonton filmnya, jadi aku akan memberitahu Ayahku dulu setelah giliran
kerjaku selesai.”
“Memberitahu Ayahmu! Sungguh
siswa SMA yang baik! ”
“Bukannya kamu masih anak SMA
belum lama ini?”
“Sekarang aku menjadi
mahasiswa, aku sudah dewasa, oke~”
“Dan sama sekali tidak baik.”
“Omonganmu!” Yomiuri-senpai
tertawa terbahak-bahak. “Tapi Kouhai-kun.”
“Apa?”
“Jika kamu mau memberitahu
seseorang, bukannya ada seseorang yang lebih penting dari orang tuamu?”
“Hah? ……Siapa?”
“Adik perempuanmu. Dia
mengkhawatirkanmu, ‘kan?”
“Mengkhawatirkanku? … Tidak, aku
meragukan hal itu.” Aku benar-benar tidak dapat membayangkan Ayase-san
mengkhawatirkanku yang tidak pulang,
jadi aku memberikan balasan yang jujur.
“Hah, mana mungkin?”
Aku merasa dia sedang menyiratkan
sesuatu dengan nada sugestif itu, tapi bukan berarti mengkhawatirkan hal itu
akan berdampak sesautu padaku. Belum lagi jika posisi kita ditukar, menurutku
tidak sopan mengkhawatirkan setiap hal kecil yang dilakukan Ayase-san, jadi aku
yakin dia pasti merasakan hal yang sama. Aku yakin Ayase-san tak akan melakukan
apapun untuk merepotkan Akiko-san.
… ..Aku sekali lagi teringat
akan kejadian itu sebulan yang lalu, tapi kejadian itu pengecualian, jadi aku
menggelengkan kepala untuk menjernihkan pikiranku.
Di sela-sela istirahat kerja, aku
menghubungi Ayahku dan memberitahunya kalau aku akan pulang terlambat karena
akan menonton film dengan seorang Senpai dari tempat kerja.
“Kamu
akan berkencan dengan seorang gadis ?!” Aku segera mendengar suara itu
dari ujung yang lain.
“Kami hanya menonton film.”
“Kurasa
Yuuta juga seorang cowok, ya ~”
Bisa tidak jangan terfokus pada
satu detail itu? Selain itu, aku selalu menjadi pemuda yang sehat.
“Tapi
kamu masih SMA, jadi jangan terlalu keblabasan dengan kesenangan malammu.”
“Itu tidak akan menjadi
masalah, oke?” Aku memberikan tanggapan singkat dan mengakhiri panggilan.
Ayahku terdengar seperti sedang
mengejekku dengan mentalitas yang sangat laissez-faire,
tapi itu menunjukkan betapa Ia mempercayaiku. Aku tidak berniat mengkhianati
kepercayaan itu. Aku tidak ingin orang lain menaruh banyak harapan kepadaku, tapi
kepercayaan yang aku miliki dari ayah yang membesarkanku ini adalah sesuatu
yang tidak ingin aku anggap remeh.
Setelah menutup telepon, aku melihat
layar smartphone-ku, dan mempertimbangkan sejenak apakah aku harus mengirim
pesan kepada Ayase-san. Nah, aku pikir itu cuma terlalu bikin resek. Orang tua
kita harusnya masih ada di rumah, jadi memberitahu hanya satu orang saja sudah
cukup. Aku hanya akan menonton film dengan Senpai dari tempat kerja. Tidak
perlu dipermasalahkan. Ayase-san juga sibuk dengan belajarnya, jadi aku mungkin
akan mengganggunya saja. Itu mungkin jauh lebih merepotkan daripada tidak
memberitahunya sama sekali.
Giliran shift kerjaku sudah
selesai, aku lalu berganti ke pakaian santaiku. Tanpa memberiku banyak pilihan
dalam masalah ini, Yomiuri-senpai menyeretku menjauh dari toko buku dan
berjalan menuju ke bioskop.
Hembusan angin sepoi-sepoi
masih terasa cukup hangat, membuatku mulai berkeringat lagi. Ini mungkin akan
menjadi malam yang lembab. Langit yang menembus celah antara bangunan Shibuya
berubah menjadi hitam, namun lampu di dalam bangunan tidak mati. Kurasa kamu
bisa menyebutnya sebagai kota yang tidak pernah tidur. Untuk orang antisosial
seperti diriku, bahkan waktu malam di kota ini masih terlalu cerah untukku. Hal
itu membuatku hampir merasa tidak nyaman.
Biasanya aku sedang mengendarai
sepeda untuk pulang pada jam segini, tapi entah bagaimana aku justru sedang
berjalan menyusuri jalanan Shibuya dengan Onee-san cantik yang ada di sebelahku.
Kalau dipikir-pikir lagi, ini mungkin pertama kalinya aku melihat
Yomiuri-senpai mengenakan pakaian kasual. Dia mengenakan atasan berwarna cerah
dan tampak nyaman dengan rok lebar dan stocking
hitam di bawahnya. Dibandingkan dengan semua karakter yang ramah di sini di
Shibuya, dia lebih seperti orang yang kalem dan tenang — Sosok Yamato Nadeshiko — namun pakaiannya menonjol dengan caranya
sendiri, dengan perasaan gaya yang sangat berbeda dari orang-orang yang biasanya
di sini. Selain itu, dari sudut pandangku, dia tampak seperti orang dewasa,
karena dia seorang mahasiswa.
Aku teringat akan pakaian
Ayase-san yang dia kenakan di rumah. Rambut pirangnya sangat mencolok, tentu
saja, tetapi ketika dia tidak di sekolah, dia tidak memakai aksesoris maupun
tindik telinga, apalagi make-up.
Namun, dan dia pasti melakukan ini dengan sengaja, tapi meskipun hanya ada kami
berdua di rumah, dia tidak pernah mengenakan baju kasual atau sejenisnya di
rumah. Sama sekali tidak ada celah atau kecerobohan yang sering kamu lihat di
manga atau anime.
Sama seperti sebelumnya. Kurasa
gaun yang aku lihat kemarin, one-piece
merah tua dengan kerah dan lengan putih, sebenarnya adalah sesuatu yang bisa
dia pakai di luar juga. Baginya, baju sama seperti senjata, jadi dia mungkin
ingin menjaga serangan dan pertahanannya dimaksimalkan setiap saat. Selagi aku
memikirkan itu, Yomiuri-senpai yang berjalan di depanku tiba-tiba berhenti dan
berbalik.
“Hei, hei, saat kamu berjalan
dengan seorang gadis, kamu seharusnya tidak boleh memikirkan hal-hal yang lain,
tau~.”
“Ah, benarkah?”
Ketika aku menjawab begitu, aku
menyadari kalau Senpai membuat ekspresi serius sesaat, tapi kemudia dia menyeringai lagi.
“Aku suka reaksi itu ~
Membuatmu terlihat seperti anak SMA sungguhan.”
“Memanganya dari tadi aku ini
palsu…?”
Apanya yang realistis tentang
itu? Aku tidak mengerti sama sekali.
“Kamu seperti Pangeran, tapi
kamu tidak membuat sang Putri bahagia sama sekali. Itulah yang aku maksud!”
“… Apa kamu secara tidak langsung
menyuruhku untuk meminta maaf?”
“Tidak juga? Menjadi tenang dan
bertingkah apa adanya sangat cocok untukmu. Itu membuatku lebih mudah juga,
karena aku tidak harus bertindak penuh perhatian sepanjang waktu.”
Aku tidak benar-benar tahu
bagaimana menanggapinya. Memang benar kalau aku tidak terlalu menikmati menjadi
perhatian orang lain, aku juga tidak peduli diperlakukan dengan penuh
perhatian. Namun, belum ada yang benar-benar mengatakannya langsung di depan
mukaku …… Tidak, kurasa Ayase-san juga pernah.
“Ayolah. Kita sudah tidak punya
banyak waktu. Ayo pergi.” Senpai mulai berjalan ke depan lagi.
Setelah berjalan melewati
kerumunan selama beberapa menit, kami berdua akhirnya tiba di bioskop.
“Kouhai-kun, aku akan membeli
tiketnya, jadi bisakah kamu yang mengurus minumannya?”
“Tentu. Kita bisa membagi
pembayarannya nanti. Senpai mau minumnya apa?”
“Diet coke …… Kenapa kamu malah
menyeringai?”
“Kamu membeli popcorn dan diet coke di bioskop?”
“Enggak masalah ‘kan, itu
standar yang biasa di bioskop.”
“Yah tidak masalah sih. Popcorn rasa apa? ”
“Karamel!”
Saat aku mendengus pelan,
Yomiuri-senpai sedikit cemberut dan berbalik untuk berjalan menuju mesin tiket.
Kurasa dia punya gigi manis yang tak terduga? Atau apa karena dia dipengaruhi
oleh sesuatu? Setelah melihatnya pergi, aku memesan makanan dan minuman. Aku
sedang memegang nampan karton kecil berisi popcorn dan minuman ketika Senpai
berjalan ke arahku, melambai.
“Teater 4.”
“Oke.”
“Apa perlu aku bantu membawa
sesuatu?”
“Tidak apa-apa. Tapi bisakah Senpai
mengurus tiketnya saja? ”
“Okeeeee~”
Kami berjalan melewati
pemeriksaan tiket dan mencari tanda untuk teater ke-4. Ketika aku melihat
orang-orang di dekat kami, aku dapat melihat banyak pasangan cewek dan cowok.
Senpai sepertinya juga menyadari hal itu.
“Ada banyak pasangan di sini,
ya ~?” dia berbisik padaku.
“Bagaimanapun juga, ini adalah
film percintaan.”
Kami berjalan melewati pintu
besar, memasuki ruang terbuka lebar yang membuat kami serasa baru saja melangkah
keluar, dan percakapanku dengan Senpai tiba-tiba berhenti sejenak. Sungguh aneh
memang. Mungkin karena kami masuk teater. Volume percakapan kami langsung menurun
drastis.
Kami berusaha mencari tempat
duduk kami yang terletak di tengah-tengah bioskop. Kami lalu mengambil satu
langkah menaiki tangga dari deretan depan, dan memasuki deretan di belakang
itu. Sadar akan kaki orang-orang yang sudah duduk, kami akhirnya sampai di
tempat duduk kami.
“Kamu hampir bisa menendang
kursi yang ada di depanmu, ya? Aku tidak terlalu suka menjadi perhatian seperti
itu. Mungkin ini bukan kursi yang bagus?” Ucapku.
“Tidak apa-apa, di sini juga
lumayan, kok.”
“Syukurlah kalau begitu."
Aku menjawab. Aku meletakkan minuman di tempatnya dan menyerahkan popcorn
kepada Senpai.
“Heh, heh. Sebungkus penuh, ya?
kamu benar-benar mengenalku dengan baik! ”
“Apa itu terlalu kebanyakan?”
“Kamu akan memakannya juga, ‘kan,
Kouhai-kun?”
“Aku tidak keberatan tidak
makan apa pun saat menonton film, jadi makanlah sebanyak yang kamu mau. Jika
ada yang tersisa, aku bisa memakannya nanti.”
“Ayolah, ayo makan bersama-sama
~” desaknya sambil menyodorkan wadah popcorn di pangkuannya ke arahku.
Alhasil, melewati popcorn, aku
kebetulan melirik paha Yomiuri-senpai di bawah roknya.
“Terima kasih atas makanannya.”
Tentu saja, ini bukan masalah
besar. Aku hanya perlu fokus pada popcorn. Realitas sering kali tidak sesuai
dengan apa yang aku inginkan. Ketika aku mengarahkan popcorn pertama ke mulutku,
aku merasakan semburan manis. Tapi tidak terlalu manis sampai membuatku ingin
berhenti makan. Aku biasanya tidak makan apa pun saat menonton film, tapi aku
ingat bahwa popcorn di sini tidak terlalu buruk. Membawa sebungkus popcorn sebagai
pendamping sudah pasti akan aku lakukan untuk kunjungan filmku berikutnya.
Lampu di bioskop tiba-tiba
meredup, hal itu membuatku terkejut. Aku lalu mengalihkan pandanganku ke layar.
Senpai dan aku berhenti berbicara, karena kami datang ke sini untuk menonton
film. Tepat setelah itu, iklan dimulai. Pertama, mereka menunjukkan cuplikan
film live-action yang menggambarkan
robot dan pertempuran ninja karena suatu alasan.
“Sepertinya menarik…” Aku
bergumam dengan suara pelan, dan Senpai juga merespon dengan tenang.
“Ya… film itu bagian keempat
dari trilogi…”
“Bagian keempat… dari trilogi?
Hah?”
“Jangan mempertanyakannya. Itu
tidak layak ditonton. Oh, filmnya sudah dimulai.” Senpai meletakkan jari
telunjuknya di depan bibirnya.
Kami berdua terdiam, dan
pemutaran film pun dimulai. Menurut poster yang pernah aku lihat sebelumnya,
film ini bakalan bikin mewek dan
menguras air mata. Adegan film dibuka dengan banyak gelak tawa, yang membuatku
berpikirkalau ini film bergenre komedi. Sekitar lima menit berjalan, suasananya
tiba-tiba berubah.
Entah aku ingin membiarkannya
atau tidak, perhatianku tertuju oleh film itu. Setelah berhasil melewati
klimaks pertama, kemudian dilanjutkan jeda singkat berupa bagian komedi. Aku
menghela nafas lega selama waktu itu dan kebetulan melirik ke arah Senpai.
Perhatiannya terpaku pada
layar, wajahnya tidak menunjukkan perubahan ekspresi apapun. Diterangi cahaya
redup yang datang dari layar, wajahnya tanpa tawa, tangisan, atau bahkan rasa
takut. Dia hanya menatap layar di depannya. Itu adalah ekspresi yang tidak pernah
aku lihat, mengingat ekspresinya biasanya berubah drastis dalam hitungan detik.
Aku rasa inilah yang dia maksud dengan 'hanya
menonton film'. Bahkan keberadaanku pasti telah menghilang dari benaknya,
setiap serat dari dirinya sedang mengamati setiap adegan film di layar.
Pasti
menyenangkan, pikirku dalam hati. Dan kemudian aku
diingatkan bahwa aku sedang menonton film bersama dengan Senpai yang cantik.
Bukannya ini sesuatu yang biasanya tak pernah terjadi pada orang antisosial
seperti aku? Apa aku benar-benar duduk di sini? Semuanya tiba-tiba terasa
seperti mimpi, dan aku beralih ke film itu lagi. Aku harus melihatnya
sepenuhnya karena kita sudah di sini.
Ada suara berdengung saat
cahaya kembali menerangi ruang bioskop. Aku berkedip beberapa kali, merilekskan
tubuhku yang tegang, dan menghela nafas.
Ya, filmnya sangat bagus.
Bagian akhirnya benar-benar tidak terduga dan hampir membuataku ingin menangis.
Sekarang kurasa aku harus membeli bahan sumbernya.
“Kurasa aku akan berhemat pada
makanan besok.”
“Hah?”
Saat aku menoleh ke samping, Yomiuri-senpai
menunjukkan bungkus popcorn yang benar-benar kosong. Dia memakan semua itu
sendiri?
“Tanganmu terus bergerak secara
otomatis saat kamu asyik melakukan sesuatu, bukan?”
“Aku sedikit mengerti, tapi
tidak juga.”
“Aku benar-benar ingin
memberimu beberapa, Kouhai-kun.”
“Aku tidak akan bisa makan
sebanyak itu sendirian. Ah, aku akan menerimanya.”
Senpai hendak mengambil tasnya,
jadi aku meletakkan tas olahragaku di atas bahuku dan menerima wadah besar itu.
Kamu harus membuang sampahmu ke tempat semestinya.
“Terima kasih.”
“Berikan aku gelasnya juga.”
Aku mengambil gelas kosong yang
dia berikan padaku dan membuang semuanya saat kami keluar dari ruang teater.
Tanpa banyak mengambil jalan memutar, kami meninggalkan bioskop. Saat dalam
perjalanan kembali ke stasiun kereta, kami bertukar kesan tentang film
tersebut. Tentu saja, jalanan masih ramai, yang membuatku bertanya-tanya apakah
kota ini bisa sepi atau tidak.
Dalam perjalanan, aku mengambil
sepedaku dari tempat aku meninggalkannya dan mengantar Senpai ke stasiun kereta.
“Karena sudah larut malam
begini, aku akan pulang sekarang—” Aku mencoba mengucapkan selamat tinggal
untuk berpisah dengannya.
“Temani aku sebentar lagi saja.”
Kata Senpai.
Tanpa menunggu tanggapanku, dia
mulai berjalan. Tentu saja, aku ragu-ragu sejenak, tetapi akhirnya mengikutinya,
mendorong sepeda di sebelahku. Kami berjalan mengitari stasiun kereta,
mengamati objek raksasa di sebelah kiri kami saat perlahan pergi dari sana.
“Kita akan pergi kemana?”
“Aku memarkir mobilku di
sekitar sini.”
“Ahh.”
Aku baru mengingatnya,
Yomiuri-senpai datang bekerja dengan mobil, ‘kan? Kurasa kamu bisa mendapatkan
SIM setelah berusia 18 tahun di sini. Karena Senpai sudah kuliah, tidak aneh
kalau dia sudah punya SIM, dan dia sudah pasti berusia di atas 18 tahun… meskipun
aku tidak tahu apakah dia benar-benar dianggap sebagai orang dewasa. Begitu ya.
Setelah ulang tahunku tiba tahun depan, aku bisa mendapatkan SIM-ku sendiri. Aku
tidak pernah benar-benar memikirkannya.
“Apa kamu mencoba mau
mendapatkan SIM?”
“Hmm… aku tidak yakin.”
“Anak muda jaman sekarang
sepertinya tidak tertarik dengan mobil, ya?”
“Anak muda? … Senpai. ”
“Tapi jaman sekarang, hanya
sekitar satu dari dua pria yang benar-benar mendapatkan SIM, tahu? Bagaimana
perasaanmu tentang itu?”
“Jika salah satu dari dua pria
memilikinya, maka kamu bisa membayar mereka untuk mengantarmu.”
Tepat setelah aku mengatakan
itu, mulut Senpai terbuka lebar. Dia tampak seperti karakter manga yang
terkejut yang telah melihat sesuatu dari dunia ini.
“Sungguh Kotak Pandora yang
mengejutkan…”
Senpai terkadang mengatakan
sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang dikatakan oleh seorang mahasiswa pada
umumnya. Bahkan seseorang seperti aku yang selalu membaca buku tidak tahu apa yang
dia bicarakan. Senpai, darimana kamu mendengar kata itu?
“Memangnya itu aneh? Aku cukup
yakin proses berpikirku cukup rasional.”
“Maksudku, itu hampir terlalu
rasional.”
“Benarkah? Nah, kamu tidak
ingin terlihat tidak tahu malu, jadi penting untuk memberi kompensasi kepada
pengemudi dan lebih perhatian pada mereka.”
“Memberi mereka kompensasi?
Tidak, bukan itu masalahnya. Coba bayangkan. Punya mobil sangat nyaman untuk
mengantar pacarmu pulang.”
Ide semacam itu bahkan tidak
pernah terlintas di kepalaku.
“Supaya hal itu masuk akal,
pertama-tama aku membutuhkan pacar. Itu sudah meminta terlalu banyak dari
karakter latar belakang antisosial seperti aku.”
“Jika kamu punya mobil, mereka
mungkin akan mendekatimu?”
“Kupikir aku takkan senang jika
ada gadis yang mendekatiku cuma karena itu.”
“Aha, ahahahaha. Itu benar! Aku
sangat setuju dengan itu!” Yomiuri-senpai tertawa terbahak-bahak.
Saat kami berdua melanjutkan
percakapan, aku bisa melihat hutan kecil di depan kami — Atau lebih tepatnya,
taman umum.
“Ada tempat parkir di sebelah
taman. Aku memarkir mobilku di sana.”
“Itu cukup jauh dari toko, ya?”
“Tidak ada tempat yang nyaman
untuk parkir di Shibuya. Ya ampun, waktunya sudah malam, tapi cuacanya masih
sangat panas saja.” Senpai mengipasi dirinya sendiri dengan tangan kecilnya
untuk menyejukkan diri.
Pepohonan yang tumbuh di taman
umum dipenuhi dengan dedaunan yang rimbun. Namun, dalam kegelapan malam ini,
dedaunan hijau tidak lagi hitam berkat lampu kota di belakang kami dan
menciptakan sedikit keremangan yang mengintai di atas kepala. Saat kami semakin
dekat dengan tempat parkir, cahaya lampu mulai semakin jarang, semakin sedikit
orang di sekitar kami, dan akhirnya aku merasa seperti Senpai yang membawaku ke
suatu tempat yang asing. Segera, Yomiuri-senpai menyelinap melewati pintu masuk
tempat parkir dan masuk ke dalam.
Lampu jalan menghiasi jalan
beraspal di sana-sini. Kerucut cahaya ini terbentang di depan dan menerangi
jalan di bawah kaki kami. Angin sepoi-sepoi yang menerpa kami menyebabkan
dedaunan di pepohonan bergemerisik, membuat panas yang telah menyengat sejak
sore hari sedikit lebih mereda. Kami berdua berjalan melewati tempat parkir
yang kosong, dan Senpai tiba-tiba berhenti.
“Tunggu dulu sebentar.”
“Ah iya.” Aku berhenti seperti
yang diperintahkan.
“Aku masih perlu berterima kasih
karena sudah menemaniku sampai ke sini.”
“Eh, kamu tidak perlu
repot-repot segala.”
“Sudah, jangan sungkan begitu.”
tutur Yomiuri-senpai, mendekati mesin penjual otomatis yang berdiri di pinggir
jalan.
Layar vertikal mesin penjual
otomatis itu tiba-tiba menyala, dan suara mekanis berbicara. "Selamat datang!"
Senpai mengeluarkan
smartphone-nya dari tas yang tergantung di bahu kirinya. Dia menekan tombol
untuk minum dan memegang smartphone di atasnya, yang menghasilkan suara yang
tumpul saat kaleng jus jatuh. Dia mengulanginya sekali lagi, dan kembali dengan
dua kaleng aluminium di tangannya, dan menyodorkan salah satunya ke arahku.
“Ini.”
“Maaf dan terima kasih banyak.”
Aku memegangi sepedaku dengan
tangan kiri dan menerima kaleng dengan tangan kanan. Kaleng itu dingin meski
mesin penjual otomatis berdiri di bawah sinar matahari sepanjang hari.
“Kurasa kedua tanganmu penuh.
Apa perlu aku memeganginya sampai kamu menendang penyangga sepeda?”
“Tidak apa-apa. Ini tidak
masalah. ” Aku dengan terampil membuka tab
tarik kaleng dengan satu tangan.
Setelah itu, aku memutarnya
setengah sehingga bukaan menghadap ke arahku dan meminumnya. Aku merasakan
cairan dingin dan busa membasahi tenggorokanku, langsung ke perutku, yang
membuatku menghela nafas setelah semuanya turun ke bawah. Rasanya memang enak.
“Ohh, terampil sekali.”
“Aku sudah terbiasa.”
Menempatkan penyangga setiap
kali aku membeli sesuatu untuk diminum dari mesin penjual otomatis terlalu
merepotkan, jadi aku sering membelinya dengan cepat dan meminumnya dengan satu
tangan.
“Ah, aku lupa memotretnya.”
“Apa yang kamu rencanakan dengan
gambar tersebut, Senpai?”
“Aku ingin merekam video juga,
dan menguploadnya.”
“Apa kamu bersedia menghormati
privasiku? Selain itu, ini bukan masalah besar.”
“Benarkah? Aku merasa ini akan
mendapatkan banyak viewers.” Senpai
tersenyum, lalu terdiam sesaat. “Kamu benar-benar orang yang menyenangkan dan
baik hati.”
“Mendadak apa yang sedang kamu
bicarakan?”
“Yah ...” Dia berbicara dengan
nada ragu-ragu, jadi aku menunggu dia terus melanjutkan.
Cahaya dari mesin penjual
otomatis menciptakan bayangan di wajah Senpai. Saat kami berdua tetap diam,
keheningan memenuhi taman umum ini, karena waktunya hampir tengah malam. Di
belakang Senpai ada bangunan tinggi menjulang yang tampak seperti batu nisan
hitam.
“Nee, Kouhai-kun, ada sesuatu
yang ingin kuberitahukan padamu…”
“… Sesuatu yang ingin
diberitahukan padaku?”
“Ya. Ada sesuatu yang ingin
kukatakan padamu.”
Pada akhirnya, aku hanya bisa
menunggu dia berbicara. Tapi karena nadanya yang ringan dan ceria sudah hilang,
itu membuat suasananya terasa berat dan membuatku sulit bernapas.
“Sebenarnya… aku hanya punya
waktu setengah tahun lagi untuk hidup…”
Untuk sesaat, aku tidak yakin
harus berkata apa, jadi aku tertegun di tempat. Pikiranku, bagaimanapun,
mensimulasikan setiap hasil yang mungkin tergantung pada jawaban apa yang akan aku
berikan. Itu bohong, ‘kan? Kenapa? Apa yang terjadi? Pikiranku begitu sibuk
mencoba mencari arti di balik apa yang dia katakan sehingga aku tidak bisa memproses
kata-katanya yang sebenarnya. Karena tak bisa berkata apa-apa, aku hanya
berdiri diam dan menatap wajah Senpai.
Dia menatapku sekilas seolah-olah
sedang mengujiku, tetapi setelah dua atau tiga detik berlalu, sedikit ekspresi
tidak nyaman mulai terbentuk di wajahnya.
“… Maaf, itu bohong. Aku cuma
bercanda. Kamu tidak perlu terlihat begitu depresi segala.”
“Apa mukaku berekspresi seperti
itu?”
“Ya. Kamu hampir membuatku
khawatir kalau kamu telah kehilangan beberpa tahun dari masa hidupmu karena aku.
Aku mencoba untuk memerankan kembali adegan dari film, tapi kurasa leluconku
sudah keterlaluan, ya.”
Baru kemudian aku menyadarinya.
Pernyataan yang Senpai katakan barusan adalah kalimat yang sama persis dengan
yang aku dengar belum lama ini.
“Ah… dari adegan itu…”
“Benar. Aku pikir pemandangan
malam ini hampir seperti salinan persis dari film tadi.”
“Begitu ya… adegan taman di
malam hari, ya…”
Kenapa aku tidak menyadarinya?
Padahal itu tepat di depan mataku.
“Yah, lagipula aku tidak bisa
memerankan kembali adegan itu”
“Sayangnya aku tidak memiliki
kekuatan mengarungi aliran waktu.”
Senpai tertawa menanggapi leluconku.
“Aku pikir kamu mungkin
mengharapkanku untuk melakukan gerakan seperti heroine dalam film itu, tapi menilai dari reaksimu, sepertinya
bukan itu masalahnya.”
“Apa yang kamu bicarakan?”
“Kamu terus-menerus melirikku
selama pemutaran film, ‘kan?”
“Hah?”
“Bagian mana dari diriku yang
kamu lihat? Wajahku? Dadaku? Atau bahkan ...... Ayo, jujur saja~ ”
“Tidak, um ...” Aku tak sempat membalasnya.
Memang benar kalau aku dibuat
terpesona olehnya selama beberapa saat di film.
“Ah, jadi kamu benar-benar menatapku ~”
“Apa!?”
Dia menjebakku ?! Benar juga, Senpai
tidak pernah mengalihkan pandangannya dari layar selama pemutaran film.
“Aku tidak tahu bagaimana
perasaanmu saat menatap gadis yang berada di puncak masa mudanya seperti
diriku~”
“Ugh ... maksudku ... aku minta
maaf.” Aku mengakui kesalahanku dan menundukkan kepala.
“Ahahaha, aku hanya bercanda. Kamu
tidak perlu meminta maaf.”
“Tapi…”
Aku merasa seperti telah
melakukan sesuatu yang tidak sopan dan perlu meminta maaf, tetapi Senpai hanya
melambaikan tangannya ke arahku dan mengabaikannya begitu saja. Setelah itu,
dia perlahan menawariku tangannya yang lain.
“Ah, terima kasih banyak.” Aku
memberinya kaleng yang baru saja aku kosongkan.
“Kamu melakukannya untukku di
bioskop, jadi aku cuma membalas budi.” tuturnya dan meletakkan kaleng kosong ke
tempat sampah di sebelah mesin penjual otomatis.
Ketika dia mendekati mesin itu
lagi, lampu menyala dan suara robotik dimainkan lagi… namun kali ini terdengar
jauh lebih bodoh dari sebelumnya. Itu seperti menelan apa yang senpai ingin
katakan padaku. Karena itu, aku ragu-ragu untuk mengungkitnya lagi.
Senpai mulai berjalan lagi, dan
aku buru-buru mendorong sepedaku untuk mengejarnya. Baik Senpai maupun aku
tidak bertukar kata sampai kami mencapai tempat dia memarkir mobilnya. Aku sudah
mencari topik percakapan, tapi aku tidak bisa mengatakan apa-apa sampai Senpai
memberi tahu aku "Sudah sampai di sini
saja." Hal terbaik yang bisa aku lakukan adalah mengucapkan selamat
tinggal yang ambigu.
“Ah, terima kasih untuk musik
yang kamu ceritakan padaku. Ayase-san sangat senang karenanya. ”
“Setelah memikirkan tentang apa
yang harus dikatakan, itulah yang kamu pikirkan, ya ~?” Senpai tertawa.
“Hah?”
“Jangan terlalu dipikirkan.
Sampaikan salamku untuk adik perempuanmu itu.”
Usai mengatakan itu, dia
menghilang ke tempat parkir. Aku melihatnya pergi sampai dia benar-benar
menghilang, lalu naik sepeda untuk pulang. Aku mengingat kembali tentang
percakapan tadi saat mengayuh sepeda. Aku masih tidak tahu apa yang harus
dikatakan dalam situasi semacam itu.
Ketika aku kembali ke apartemen,
aku melihat kalau lampu di ruang tamu masih menyala. Saat aku mengintip, aku
melihat Ayase-san sedang terlelap di meja. Sepertinya dia belajar sampai
membuatnya ketiduran. Dia tertidur lelap, dengan satu pipi bertumpu pada
catatannya yang terbuka. Aku bisa mendengar napasnya yang samar, lebih tenang
dari gemuruh unit AC. Aku penasaran kenapa dia belajar di sini dan bukan di
kamarnya sendiri, tapi aku mulai menjadi khawatir kalau dia mungkin masuk angin
karena AC yang menyala.
Aku berpikir untuk
membangunkannya, tetapi dia mungkin akan terganggu jika dia tahu bahwa dia
tertidur saat belajar. Pada akhirnya, aku hanya meletakkan sehelai kain untuk
menutupi pundaknya. Kemudian aku menyadari bahwa salah satu ujung earbudnya terlepas dari telinganya,
masih memainkan musik lofi hip hop.
Begitu rupanya. Jadi dia
mendengarkannya sambil belajar. Meski aku tidak tahu apakah itu benar-benar
membantu meningkatkan efisiensi belajarnya. Aku tidak ingin memaksakan kehendak
atau perasaanku sendiri kepada orang lain, tetapi aku akan senang jika dia
benar-benar menikmati musik yang aku rekomendasikan kepadanya. Kupikir aku aku
mungkin baru menyadari ini sekarang, tapi apa yang paling aku inginkan adalah
membantu Ayase-san. Meski upayaku masih belum sepadan dengan French Toast yang lezat itu.
Aku mengatur AC supaya sedikit
lebih hangat, hanya ke level di mana dia tidak akan terkena sengatan panas, dan
bersiap untuk tidur. Aku mandi, menggosok gigi, minum air, dan menuju ke toilet.
Sebelum menuju ke kamarku, aku mengintip ke dalam ruang tamu lagi, tapi
Ayase-san masih tertidur lelap. Aku berpikir untuk membangunkannya, berpikir
kalau AC yang menyala dapat membuat tenggorokannya kering sepanjang malam, tapi
pada akhirnya aku memutuskan untuk tidak melakukannya. Dia mungkin tak akan tidur
seperti ini sampai pagi. Lagian ini sudah lewat tengah malam.
Seperti yang kuduga, tepat
ketika aku memasuki kamarku sendiri, aku mendengar alarm dari smartphone. Aku
mendengar suara gemerisik dari ruang tamu saat aku berbaring di kasurku. Aku
pikir dia tidak akan menyukai kalau aku telah melihat wajahnya yang sedang
tidur. Aku awalnya berencana untuk hanya berpura-pura kalau aku tertidur, hari
yang panjang di tempat kerja dan film larut malam cukup membuatku lelah dan aku
tertidur lebih cepat dari yang kukira. Dalam mimpiku, musik bercampur dengan
suara gemerisik waktu diputar di telingaku.
Menurut spekulasi ngawur gw yaaa..... Mereka kan liat film yang diadaptasi dari novel.... Mungkin yang nulis novel itu si Yomiuri-Senpai berdasarkan kisah nyata dari kehidupannya....... Jadi bisa aja si Yomiuri-Senpai itu umurnya tinggal setengah tahun lagi....... Orang yang biasanya ngegodain si asamura tiba-tiba ngomong serius gitu kayak ada yang aneh🗿. Tapi gw berharap cuma bercanda beneran...... Sayang banget heroin secantik itu akhirnya mengenaskan
BalasHapus