Gimai Seikatsu Vol.2 Chapter 03 Bahasa Indonesia

Chapter 3 — 18 Juli (Sabtu)

 

Aku berkedip kesakitan karena merasakan rasa nyeri di bagian mataku yang terdalam. Sepertinya aku lupa menutup gorden tadi malam, dan pancaran matahari musim panas melalui celah bersinar tepat di wajahku. Untungnya, berkat AC, rasanya tidak terlalu panas. Tapi rasanya… bikin silau, men.

Ketika aku mengalihkan pandanganku ke arah jam yang ada di sebelah bantalku, angka terakhir baru saja berubah, menunjukkan bahwa waktu baru saja berubah menjadi 8:30 di pagi hari. Aku penasaran kenapa waktu pada jam digital sepertinya selalu berputar dengan nyaman tepat ketika kamu bangun …… Hm? 8:30 pagi? Waktu dimana yang aku anggap sedikit terlambat. Meski hari ini libur sekolah, kurasa aku agak kesiangan.

Mungkin semua orang sudah menghabiskan sarapan mereka? Pikiranku sampai sejauh itu sebelum aku menyadari penggunaan kata 'semua orang'. Ini berarti kalau aku, secara alami dan otomatis, telah menyertakan ibu tiriku, Akiko-san dan saudari tiriku Ayase-san dalam istilah ini. Kesimpulan ini membuatku sedikit tercengang. Meskipun kami baru hidup bersama selama sekitar satu bulan, secara mental aku sudah menganggap ini normal.

Aku selesai berganti pakaian, menyelinap ke kamar mandi untuk mencuci muka dan memperbaiki penampilanku, lalu membuka pintu ke ruang tamu. Aku menemukan Ayahku dan Akiko-san duduk di seberang meja dan sedang  meminum kopi. Ketika Ayahku berbalik, ekspresinya tampak sedikit kaget.

“Pagi… Atau lebih tepatnya, kamu kesiangan, Yuuta.”

“Aku ketiduran. Ah, tidak perlu repot-repot.”

Paruh kedua kalimatku ditujukan pada Akiko-san, yang sudah meletakkan cangkirnya dan hendak berdiri. Namun, sebelum kata-kataku bisa tersampaikan padanya, dia sudah meletakkan telur yang dibungkus ham di atas piring dan sudah dihangatkan di microwave.

“Tidak perlu sungkan-sungkan, Yuuta-kun.”

“Tidak, um… terima kasih.” Aku lalu duduk di meja makan dengan ham dan telur hangat di depanku.

Sudah ada roti panggang di piringku dengan mentega dan selai di sebelahnya.

“Hah?” Aku menyadari kalau ada piring kosong lain di atas meja di depanku.

Aku juga tidak bisa melihat saudari tiriku di mana pun. Apa ini berarti dia belum sarapan?

“Saki masih tidur.”

“Ah, begitu ya…? Tumben sekali.”

“Yah, sepertinya dia agak ketiduran hari ini.”

Menilai dari reaksi Akiko-san, aku tahu kalau Ayase-san ketiduran merupakan kejadian yang langka. Dan aku setuju dengan itu, karena aku belum pernah melihat Ayase-san bangun lebih lambat dariku, setidaknya tidak dalam ingatan akhir-akhir ini. Menurut Akiko-san, yang baru saja memeriksa kamar tidurnya, dia masih tertidur lelap.

“Dia menyalakan AC, tapi dia tidur dengan bagian perutnya keliatan. Aku khawatir dia akan masuk angin seperti itu.” Akiko-san berkata sambil menghela nafas. “Sungguh merepotkan.”

Aku bingung bagaimana harus menanggapi itu. Jika dia cuma teman sekelas, mungkin aku bisa berfantasi sedikit tentang penampilannya saat ini? Aku tidak bisa mengabaikan pemikiran itu jika itu berkaitan dengan gadis tercantik seangkatan. Namun, bila berfantasi tentang saudara tiriku sendiri hanya akan membuat Akiko-san khawatir, jadi aku tidak bisa melakukan itu.

“Sepertinya musim panas tahun ini akan menjadi yang terpanas, ya?” Setelah berpikir dan ragu-ragu sebentar, aku memilih tanggapan yang aman dan tidak menyinggung.

“Kamu juga perlu berhati-hati, Yuuta-kun. Akan merepotkan jika kamu akhirnya kedinginan, tapi panasnya bisa menakutkan juga. Pastikan A/C kamarmu disetel dengan benar, oke? Ada beberapa kasus orang terkena serangan panas di kamar mereka sendiri.”

“Oke,” aku mengangguk dan mulai menyantap sarapanku.

Sudah lama sejak aku bisa merasakan sarapan buatan Akiko-san. Telur ceploknya ditemani sebotol kecap di sebelahnya, menunjukkan sedikit perhatian dari Akiko-san. Sama seperti Ayase-san, dia tidak melupakan selera orang lain setelah mendengarnya bahkan hanya sekali, jadi itu harus berjalan dalam keluarga. Tepat ketika aku penasaran apa cuma telur dan ham saja untuk sarapannya, ketika aku masih makan dengan sumpitku, sebuah cangkir muncul di depanku.

“Ini, bilang saja kalau kamu mau lebih.”

“Terima kasih banyak… Apa itu sup kental?” Aku bisa melihat beberapa bahan kecil berenang di dalam sup putih.

“Ini clam chowder. Jika tidak sesuai dengan seleramu, kamu tidak harus memakannya.”

“Tidak, aku akan memakannya.”

Clam chowder. Apa sama dengan yang aku pikirkan? Stew susu dengan kerang manila, ‘kan? Aku pernah mendengarnya sebelumnya. Kalau tidak salah, aku bahkan pernah memakan itu sebelumnya di sup cangkir.

“Ini versi buatan Akiko-san,  tahu.” Ujar Ayahku.

“Ini tidak seberapa, kok. Apalagi hidangan itu cukup mudah dibuat.”

Ada satu hal yang aku sadari selama sebulan terakhir ini. Setiap kali Ayase-san atau Akiko-san mengatakan 'mudah dibuat/dimasak,' baik aku dan Ayahku tidak dapat memahaminya sama sekali, karena tidak satu pun dari kami yang memiliki keahlian dalam hal memasak. Mencari tahu rasanya, menyiapkan masakannya… Ayase-san telah mengajariku tentang hal itu beberapa kali, jadi aku terus mempelajarinya. Lagipula, tidak ada ruginya untuk terus mempelajari lebih lanjut.

Ketika aku mengintip isi cangkir, aku melihat sesuatu yang merah, sesuatu yang putih, dan bahkan beberapa bahan transparan di dalamnya, yang semuanya mungkin akan sulit untuk dimakan dengan sumpit. Dengan menggunakan ujung sumpitku, aku dengan lembut mengaduk-aduk isi cangkir, memiringkannya, dan dengan hati-hati membiarkan sedikit isinya masuk ke dalam mulutku.

Teksturnya yang menggumpal menari-nari di antara gigiku. Ketika sup rasa susu berbasis consommé menyentuh lidahku, rasa yang mengenyangkan menyebar di dalam mulut. Rasa yang kuat menyerupai bacon dan wortel, daging dan sayuran, tercampur di sana juga.

“Lezat sekali.”

Bumbunya tidak terlalu kuat atau terlalu kurang. Sejujurnya, itu enak.

“Aku senang mendengarnya.” ucap Akiko-san sambil tersenyum lembut.

Ayahku menyeringai padaku seolah-olah dialah yang membuat makanan ini. Kenapa malah Ia yang bertingkah sombong? Apa Ia secara tidak langsung membual tentang istrinya? Aku benar-benar tidak menyukai ada pria berusia 40 tahun menyeringai songong saat aku sedang sarapan di pagi hari libur sekolah, jadi aku malah fokus pada makananku. Saat aku menikmati sarapanku, Ayahku dan Akiko-san memulai percakapan lain. Topik diskusi mereka adalah aktivitas malam Ayase-san.

“Sepertinya dia belajar sampai larut malam.”

Bagaimana dia bisa mengatakan itu dengan pasti meski hanya mengintip ke dalam kamar Ayase-san pagi ini? Itu karena catatannya masih terbuka di atas meja, earbud-nya tampak seperti lepas dari telinganya, benar-benar terabaikan, tergeletak di atas catatan itu sendiri. Ayase-san tidak suka kalau ada orang lain melihat catatannya, dan kepribadiannya juga tidak memungkinkan seseorang mendengar musik yang berasal dari earbud-nya, jadi ini aneh baginya.

Akiko-san melihat catatan dan earbud dalam keadaan itu dan menyimpulkan kalau dia terus belajar sampai rasa kantuknya menyerang. Setelah rasa kantuk ini menguasainya, dia pasti tidak dapat melanjutkan belajarnya lagi dan memejamkan matanya, yang mana hal itu menyebabkan dia meninggalkan semuanya berserakan di atas meja dan jatuh ke tempat tidur.

Itulah kesimpulan dari detektif Akiko-san, dan jika kamu bertanya kepadaku, aku ragu ada banyak perbedaan dari kenyataannya. Dia pasti sangat keasyikan belajar, ya? Aku berharap musik lofi hip hop bisa membantu belajarnya.

Ayahku tiba-tiba bicara.

“Hei, Yuuta.”

“Hm?” Aku mengalihkan tatapanku ke arahnya dan masih menikmati rasa ham yang pekat di mulutku.

Lagipula, berbicara dengan makanan di mulutmu merupakan perilaku yang tidak sopan.

“Sekarang sudah sebulan. Bagaimana menurutmu? Kamu tidak merasa terganggu atau ada masalah, ‘kan? ”

“Terganggu…? Tidak terlalu.” Aku menjawab setelah menelan makanan yang tadi dikunyah.

“Bagaimana hubunganmu dengan Saki?” Kali ini, Akiko-san yang berbicara.

“Ehm…”

“Ayolah, Yuuta-kun, kamu dan Taichi-san sudah hidup bersama sampai saat ini, dan kami tiba-tiba menerobos masuk ke dalam kehidupanmu, ‘kan? Aku yakin itu pasti merepotkan dalam banyak hal.”

Merepotkan, ya? Saat dia mengatakan itu, aku jadi teringat pada suatu malam ketika aku terpojok oleh Ayase-san yang hanya mengenakan bra dan kancut. Itu benar-benar merepotkan, kurasa. Dia berbaring di tempat tidurku, di dalam kamar yang gelap, ketika Ayase-san mendekatiku, memperlihatkan kulit putihnya yang hanya tertutupi oleh bra tipis. Rambut panjangnya yang berwarna cerah tergerai dari bahunya, seolah-olah menutupi dadanya yang tersembunyi di balik bra berwarna gelap. Matanya yang hampir basah melihat ke arahku ...

… Segera setelah aku mengingat salah satu adegan itu, rasanya seluruh tutupnya terbuka, dan segala sesuatu yang lain keluar begitu saja karena aku terpaksa mengingat pemandangan itu lagi.

“Ada apa, Yuuta?”

“A-Ah, ya, semuanya baik-baik saja, jangan khawatir.” Aku membalas Ayahku. Lalu mengangguk ramah ke arah Akiko-san  — dan merasa sedikit bersalah saat melakukannya.

“Begitu ya. Aku senang mendengarnya.” Akiko-san sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak menanyaiku lebih jauh.

Sebaliknya, dia bertanya apa aku ingin minum kopi setelah sarapan. Saat aku mengangguk, dia menekan tombol di mesin kopi. Mereka tampaknya suah menyiapkannya untukku. Aroma wangi kopi Hawaiian Kona tercium di meja makan saat kopi dituangkan ke dalam cangkir sedikit demi sedikit. Aku menghabiskan pagi musim panas ini dengan damai ditemani aroma kopi yang nikmat.

Sabtu ini, Sabtu setelah pekan di mana kami menerima hasil ujian akhir semester, kemungkinan besar adalah awal dari liburan yang membuat hati dan pikiran siswa SMA menjadi jernih. Namun, aku berbeda. Aku sudah menyelesaikan PR-ku di pagi hari, dan pada saat jam 11:30 tiba, aku mulai bersiap-siap untuk berangkat kerja sambilan. Bagiku, hari libur adalah hari yang memungkinkanku bekerja penuh waktu.

Setelah selesai bersiap-siap, tepat sebelum meninggalkan apartemen, aku melirik ke arah pintu kamar Ayase-san. Waktu sudah menjelang tengah hari, namun dia masih belum bangun. Karena aku tidak ingin membangunkannya, aku diam-diam memberitahu Ayahku dan Akiko-san kalau aku akan pergi dan membuka pintu.

Setelah melangkah keluar apartemen, sinar matahari yang menyengat langsung menusuk permukaan kulitku. Panas banget. Begitu panas sehingga benar-benar menyakitkan. Untuk sesaat, aku bertanya-tanya apa aku telah pindah dari Jepang ke negara subtropis. Aku mengendarai sepeda ke stasiun kereta Shibuya. Angin sepoi-sepoi yang sejuk bertiup ke arahku saat aku bersepeda, tetapi begitu aku berhenti, keringat mulai keluar dari setiap pori-pori tubuhku lagi. Ketika aku melihat suhu termometer di jalan, aku dapat melihat bahwa suhunya sudah lebih dari 30°C. Aku bergegas menuju ke dalam toko buku tempatku bekerja, seakan-akan mencoba melarikan diri dari suhu panas ini.

“Fiuh… Adem dan menyegarkan…” Aku mengeluarkan handuk dari tas olahragaku dan menyeka keringat di wajahku.

Aku menuju ke ruang belakang toko, berganti ke seragam kerjaku, dan memasang tag namaku. Aku lalu bertegur sapa dengan pekerja sambilan lainnya yang baru saja masuk dan melangkah ke area dalam toko.

“Ah, Asamura-kun. Bisakah kamu mulai dengan meletakkan semua rilisan baru ke rak? ”

“Ya pak.”

Manajer toko memberiku perintah sambil menunjuk ke troli. Biasanya tidak ada buku baru yang datang pada hari Sabtu. Namun, karena toko buku tempatku bekerja berada di sisi yang lebih besar, meletakkan semua buku ke rak dan dipajang hampir mustahil. Aku berjalan menuju troli dan mengintip ke dalam kotak kardus di atasnya.

“Buku novel, ya?” Aku mengkonfirmasi labelnya dan mendorong troli ke deretan rak.

Rak tempat pemajangan buku novel agak jauh ke belakang dari majalah dan rilis oneshot, dekat bagian komik. Karena sekarang waktunya siang di akhir pekan, sebagian besar pengunjung yang memasuki gedung ini mencari makanan atau minuman. Kami menggunakan celah dalam pelanggan untuk mengisi rak buku. Tentu saja, kami juga selalu melakukan ini sebelum toko buka, jadi ini yang kedua kalinya hari ini.

“Ah, kamu juga mulai hari ini ya, Kouhai-kun?”

Seorang gadis yang saat ini sibuk mengatur rak buku menoleh ke arahku. Rambut panjang dan halusnya menyisir kedua sisi wajahnya saat menoleh.

“Ya, mulai sekarang.”

“Lalu kita berada di shift yang sama.”Ucap Yomiuri Shiori-senpai.

Seperti biasa, penampilannya yang anggun tampak cukup mengesankan untuk dilukis di atas kanvas, dan mau tak mau aku berpikir kalau pakaian kimono akan terlihat jauh lebih cocok daripada seragam toko ini.

“Apa kamu sedang mengatur rak sekarang, Senpai?”

“Ya, benar. Apa yang ini rilisan terbaru? Apa kamu memiliki bukunya di sana? ”

“Buku apa?”

“Dari penerbit ini di sini.” Dia menunjuk ke rak di depannya. “Ini disebut 'Azure Night’s Interval', lihat.”

Aku mengintip ke dalam kotak karton.

“Buku yang ini?”

“Ah, ya, yang itu.”

Itu dari genre yang disebut 'sastra ringan.' Sampul dari buku novel tersebut digambar oleh ilustrator populer, yang menggambarkan apa yang tampak seperti siswa laki-laki dan perempuan SMA. Gambarnya jauh lebih detail daripada dalam gambar manga. Mereka berdiri saling membelakangi, langit malam diterangi cahaya bulan menjadi latar belakang mereka. Mereka menghadap pembaca, berpegangan tangan seolah-olah mereka adalah sepasang kekasih. Ini pasti semacam novel romansa, ya?

“Berapa banyak yang kamu bawa?” Dia bertanya.

“Um… dua salinan.”

“Cuma dua? Kupikir kita membutuhkan lebih seperti dua belas.”

“Itu… pasti berlebihan.”

“Aku menduga mereka akan meretur kembali buku-buku ini.”

“Masuk akal.”

“Tapi sekarang aku tidak bisa menumpuknya rata dan menghadap ke atas ..."

Menumpuknya 'mendatar dan menghadap ke atas' berarti menumpuknya di depan rak buku pada meja kecil yang mencapai lutut, dengan sampul menghadap ke atas. Cara lain untuk memajangnya adalah dengan meletakkan buku di rak buku dengan bagian sampul belakang menghadap ke luar.

“Yang itu keluar sebulan lalu, ‘kan? Belum lagi itu berubah jadi jenis sampul kertas. Apa mereka masih menjual ini? ”

'Berubah jadi sampul kertas' berarti novel yang sebelumnya dijual sebagai volume hardcover penuh sekarang dijual kembali sebagai buku bersampul kertas (softcover). Dengan kata lain, ini adalah edisi yang lebih murah. Karena kebanyakan orang telah membeli versi sebelumnya, sangat jarang untuk melihatnya dijual sebulan kemudian. Setelah kuingat-ingat lagi, aku merasa pernah mendengar judul ini sebelumnya.

“Apa novelnya bagus?”

“Mungkin. Alasan terbesarnya mungkin karena diadaptasi menjadi film.”

“Ahh… aku baru ingat sekarang.” Aku jadi tahu kenapa judul itu terdengar tidak asing.

Kalau tidak salah aku pernah melihat di berita bahwa film ini ditayangkan. Ketika aku melihat lebih dekat ke sampulnya, aku bisa melihat gambar dan karakter dari film di bungkus kertas. Sebenarnya aku berencana untuk menontonnya, tetapi berkat kedatangan Ayase-san dan ujian akhir semester, aku tidak punya banyak waktu untuk memeriksanya.

“Mereka masih menjualnya, ya. Tapi aku baru punya satu di rak ini.”

“Totalnya cuma tiga, ya ... hmmmm, kamu benar-benar tidak bisa menumpuknya.”

Karena kamu perlu menyimpan setidaknya satu volume di rak buku selain dari volume khusus penulis, kami hanya dapat menumpuk dua buku di depan rak. Itu jumlah minimal, dan setelah salah satu dibeli, itu bahkan bukan tumpukan lagi. Ada terlalu banyak perbedaan dibandingkan dengan buku lain di sebelahnya. Pada saat-saat seperti ini, jauh lebih rasional untuk meletakkan semuanya di rak.

“Aku tidak benar-benar ingin melakukan itu.”

Karena Yomiuri-senpai bersikukuh mengenai hal itu, novel ini pasti judul yang dia sukai. Bagian penting dari pekerjaan ini ialah memperhatikan buku apa yang paling laris terjual, dan menempatkannya di lokasi yang lebih mencolok. Bahkan orang yang tidak membaca buku sering kali membeli jenis publikasi ini, jadi jika kamu meletakkannya di lokasi yang lebih mencolok, itu akan terlihat lebih bersahabat. Orang yang baru mengenal media ini tak akan masuk ke toko untuk melihat-lihat. Di sisi lain, pembaca setia dari serial tertentu akan mencari di tempat-tempat yang lebih tersembunyi untuk menemukan apa yang mereka inginkan.

“Itu persisi seperti dirimu, Kouhai-kun.”

“Bukan buku semacam ini saja yang satu-satunya aku baca…”

Hanya saja, semakin banyak buku yang aku baca, semakin banyak genre yang kebetulan aku temukan. Dia tidak berpikir kalau aku melakukan hal-hal aneh, ‘kan?

“Apa yang harus aku lakukan tentang ini?” Dia bertanya.

“Mungkin kita harus memajangnya di rak lain? Lagipula ini bukan seperti rilisan terbaru.”

“Kedengarannya ide bagus ~”

Pada dasarnya, kami akan pergi ke rak tempat dimana para pengunjung dapat menemukan karya lain dari penulis yang sama dan membuat ruang di sana. Ada cukup ruang di sini untuk tiga buku dengan sampul depan menghadap ke luar. Karena buku bisa rontok saat ditumpuk seperti itu, ada lekukan di bawahnya untuk menjaganya tetap aman di tempatnya. Karena buku ini tampaknya benar-benar cukup populer, ketiga buku ini mungkin akan hilang di penghujung hari, tapi itu bukan kesalahan kami.

Aku meletakkan buku tersebut di rak dan di platform kecil, kemudian Yomiuri-senpai membantu memajang novel yang dia suka.

“Ini harusnya berhasil.”

“Oh benar. Pemutaran film ini akan segera berakhir, ya.”

Liburan musim panas akan dimulai minggu depan, dan film musim panas akan mulai diputar. Dengan kata lain, akhir pekan ini adalah kesempatan terakhirku untuk menontonnya. Memang sangat disayangkan, tapi aku sudah menyibukkan diri untuk shift kerja hari ini. Ya ampun aku sungguh ceroboh sekali. Aku sangat ingin menonton film itu. Aku mengomel dalam hati tentang itu saat aku kembali bersama Yomiuri-senpai ke ruang belakang. Yomiuri-senpai pasti menyadari penyesalan batinku. Dia lalu angkat bicara.

“Nee~, kalau kamu masih belum menonton filmnya, bagaimana kalau kita menonton di jam larut malam hari ini setelah bekerja?”

“Pemutaran larut malam? Ahh.”

Aku benar-benar lupa tentang opsi itu. Meski memulai tayangnya pada jam 9 malam berarti aku akan keluar sampai tengah malam.

“Jam kerjaku berakhir jam 9 malam. Sama untukmu, ‘kan? ”

“Ya.”

Dari nada suaranya, sepertinya Yomiuri-senpai punya jam shift yang sama denganku, dan karena dia libur besok pagi, dia bisa ikut.

“Sabtu adalah hari yang sempurna untuk menikmati kehidupan malam!”

“Omonganmu!”

“Aww, kita akan menonton film, jadi siapa yang peduli ~?”

Dia benar-benar suka membuat pernyataan mengecoh yang bisa membuat salah paham orang lain. Belum lagi dia memberikan kesan kalau ada makna tersembunyi dari apa yang dia katakan.

“Kita hanya akan menonton filmnya, ‘kan?”

“Tentu saja!” Dia tersenyum padaku dengan senyum cerah.

Apa aku hanya digoda lagi? Dan lagi, aku sendiri merasa tertarik untuk melihat  filmnya.

“Baiklah. Lagipula aku juga ingin menonton filmnya, jadi aku akan memberitahu Ayahku dulu setelah giliran kerjaku selesai.”

“Memberitahu Ayahmu! Sungguh siswa SMA yang baik! ”

“Bukannya kamu masih anak SMA belum lama ini?”

“Sekarang aku menjadi mahasiswa, aku sudah dewasa, oke~”

“Dan sama sekali tidak baik.”

“Omonganmu!” Yomiuri-senpai tertawa terbahak-bahak. “Tapi Kouhai-kun.”

“Apa?”

“Jika kamu mau memberitahu seseorang, bukannya ada seseorang yang lebih penting dari orang tuamu?”

“Hah? ……Siapa?”

“Adik perempuanmu. Dia mengkhawatirkanmu, ‘kan?”

“Mengkhawatirkanku? … Tidak, aku meragukan hal itu.” Aku benar-benar tidak dapat membayangkan Ayase-san mengkhawatirkanku  yang tidak pulang, jadi aku memberikan balasan yang jujur.

“Hah, mana mungkin?”

Aku merasa dia sedang menyiratkan sesuatu dengan nada sugestif itu, tapi bukan berarti mengkhawatirkan hal itu akan berdampak sesautu padaku. Belum lagi jika posisi kita ditukar, menurutku tidak sopan mengkhawatirkan setiap hal kecil yang dilakukan Ayase-san, jadi aku yakin dia pasti merasakan hal yang sama. Aku yakin Ayase-san tak akan melakukan apapun untuk merepotkan Akiko-san.

… ..Aku sekali lagi teringat akan kejadian itu sebulan yang lalu, tapi kejadian itu pengecualian, jadi aku menggelengkan kepala untuk menjernihkan pikiranku.

Di sela-sela istirahat kerja, aku menghubungi Ayahku dan memberitahunya kalau aku akan pulang terlambat karena akan menonton film dengan seorang Senpai dari tempat kerja.

“Kamu akan berkencan dengan seorang gadis ?!” Aku segera mendengar suara itu dari ujung yang lain.

“Kami hanya menonton film.”

“Kurasa Yuuta juga seorang cowok, ya ~”

Bisa tidak jangan terfokus pada satu detail itu? Selain itu, aku selalu menjadi pemuda yang sehat.

“Tapi kamu masih SMA, jadi jangan terlalu keblabasan dengan kesenangan malammu.”

“Itu tidak akan menjadi masalah, oke?” Aku memberikan tanggapan singkat dan mengakhiri panggilan.

Ayahku terdengar seperti sedang mengejekku dengan mentalitas yang sangat laissez-faire, tapi itu menunjukkan betapa Ia mempercayaiku. Aku tidak berniat mengkhianati kepercayaan itu. Aku tidak ingin orang lain menaruh banyak harapan kepadaku, tapi kepercayaan yang aku miliki dari ayah yang membesarkanku ini adalah sesuatu yang tidak ingin aku anggap remeh.

Setelah menutup telepon, aku melihat layar smartphone-ku, dan mempertimbangkan sejenak apakah aku harus mengirim pesan kepada Ayase-san. Nah, aku pikir itu cuma terlalu bikin resek. Orang tua kita harusnya masih ada di rumah, jadi memberitahu hanya satu orang saja sudah cukup. Aku hanya akan menonton film dengan Senpai dari tempat kerja. Tidak perlu dipermasalahkan. Ayase-san juga sibuk dengan belajarnya, jadi aku mungkin akan mengganggunya saja. Itu mungkin jauh lebih merepotkan daripada tidak memberitahunya sama sekali.

Giliran shift kerjaku sudah selesai, aku lalu berganti ke pakaian santaiku. Tanpa memberiku banyak pilihan dalam masalah ini, Yomiuri-senpai menyeretku menjauh dari toko buku dan berjalan menuju ke bioskop.

Hembusan angin sepoi-sepoi masih terasa cukup hangat, membuatku mulai berkeringat lagi. Ini mungkin akan menjadi malam yang lembab. Langit yang menembus celah antara bangunan Shibuya berubah menjadi hitam, namun lampu di dalam bangunan tidak mati. Kurasa kamu bisa menyebutnya sebagai kota yang tidak pernah tidur. Untuk orang antisosial seperti diriku, bahkan waktu malam di kota ini masih terlalu cerah untukku. Hal itu membuatku hampir merasa tidak nyaman.

Biasanya aku sedang mengendarai sepeda untuk pulang pada jam segini, tapi entah bagaimana aku justru sedang berjalan menyusuri jalanan Shibuya dengan Onee-san cantik yang ada di sebelahku. Kalau dipikir-pikir lagi, ini mungkin pertama kalinya aku melihat Yomiuri-senpai mengenakan pakaian kasual. Dia mengenakan atasan berwarna cerah dan tampak nyaman dengan rok lebar dan stocking hitam di bawahnya. Dibandingkan dengan semua karakter yang ramah di sini di Shibuya, dia lebih seperti orang yang kalem dan tenang — Sosok Yamato Nadeshiko — namun pakaiannya menonjol dengan caranya sendiri, dengan perasaan gaya yang sangat berbeda dari orang-orang yang biasanya di sini. Selain itu, dari sudut pandangku, dia tampak seperti orang dewasa, karena dia seorang mahasiswa.

Aku teringat akan pakaian Ayase-san yang dia kenakan di rumah. Rambut pirangnya sangat mencolok, tentu saja, tetapi ketika dia tidak di sekolah, dia tidak memakai aksesoris maupun tindik telinga, apalagi make-up. Namun, dan dia pasti melakukan ini dengan sengaja, tapi meskipun hanya ada kami berdua di rumah, dia tidak pernah mengenakan baju kasual atau sejenisnya di rumah. Sama sekali tidak ada celah atau kecerobohan yang sering kamu lihat di manga atau anime.

Sama seperti sebelumnya. Kurasa gaun yang aku lihat kemarin, one-piece merah tua dengan kerah dan lengan putih, sebenarnya adalah sesuatu yang bisa dia pakai di luar juga. Baginya, baju sama seperti senjata, jadi dia mungkin ingin menjaga serangan dan pertahanannya dimaksimalkan setiap saat. Selagi aku memikirkan itu, Yomiuri-senpai yang berjalan di depanku tiba-tiba berhenti dan berbalik.

“Hei, hei, saat kamu berjalan dengan seorang gadis, kamu seharusnya tidak boleh memikirkan hal-hal yang lain, tau~.”

“Ah, benarkah?”

Ketika aku menjawab begitu, aku menyadari kalau Senpai membuat ekspresi serius sesaat, tapi kemudia dia  menyeringai lagi.

“Aku suka reaksi itu ~ Membuatmu terlihat seperti anak SMA sungguhan.”

“Memanganya dari tadi aku ini palsu…?”

Apanya yang realistis tentang itu? Aku tidak mengerti sama sekali.

“Kamu seperti Pangeran, tapi kamu tidak membuat sang Putri bahagia sama sekali. Itulah yang aku maksud!”

“… Apa kamu secara tidak langsung menyuruhku untuk meminta maaf?”

“Tidak juga? Menjadi tenang dan bertingkah apa adanya sangat cocok untukmu. Itu membuatku lebih mudah juga, karena aku tidak harus bertindak penuh perhatian sepanjang waktu.”

Aku tidak benar-benar tahu bagaimana menanggapinya. Memang benar kalau aku tidak terlalu menikmati menjadi perhatian orang lain, aku juga tidak peduli diperlakukan dengan penuh perhatian. Namun, belum ada yang benar-benar mengatakannya langsung di depan mukaku …… Tidak, kurasa Ayase-san juga pernah.

“Ayolah. Kita sudah tidak punya banyak waktu. Ayo pergi.” Senpai mulai berjalan ke depan lagi.

Setelah berjalan melewati kerumunan selama beberapa menit, kami berdua akhirnya tiba di bioskop.

“Kouhai-kun, aku akan membeli tiketnya, jadi bisakah kamu yang mengurus minumannya?”

“Tentu. Kita bisa membagi pembayarannya nanti. Senpai mau minumnya apa?”

“Diet coke …… Kenapa kamu malah menyeringai?”

“Kamu membeli popcorn dan diet coke di bioskop?”

“Enggak masalah ‘kan, itu standar yang biasa di bioskop.”

“Yah tidak masalah sih. Popcorn rasa apa? ”

“Karamel!”

Saat aku mendengus pelan, Yomiuri-senpai sedikit cemberut dan berbalik untuk berjalan menuju mesin tiket. Kurasa dia punya gigi manis yang tak terduga? Atau apa karena dia dipengaruhi oleh sesuatu? Setelah melihatnya pergi, aku memesan makanan dan minuman. Aku sedang memegang nampan karton kecil berisi popcorn dan minuman ketika Senpai berjalan ke arahku, melambai.

“Teater 4.”

“Oke.”

“Apa perlu aku bantu membawa sesuatu?”

“Tidak apa-apa. Tapi bisakah Senpai mengurus tiketnya saja? ”

“Okeeeee~”

Kami berjalan melewati pemeriksaan tiket dan mencari tanda untuk teater ke-4. Ketika aku melihat orang-orang di dekat kami, aku dapat melihat banyak pasangan cewek dan cowok. Senpai sepertinya juga menyadari hal itu.

“Ada banyak pasangan di sini, ya ~?” dia berbisik padaku.

“Bagaimanapun juga, ini adalah film percintaan.”

Kami berjalan melewati pintu besar, memasuki ruang terbuka lebar yang membuat kami serasa baru saja melangkah keluar, dan percakapanku dengan Senpai tiba-tiba berhenti sejenak. Sungguh aneh memang. Mungkin karena kami masuk teater. Volume percakapan kami langsung menurun drastis.

Kami berusaha mencari tempat duduk kami yang terletak di tengah-tengah bioskop. Kami lalu mengambil satu langkah menaiki tangga dari deretan depan, dan memasuki deretan di belakang itu. Sadar akan kaki orang-orang yang sudah duduk, kami akhirnya sampai di tempat duduk kami.

“Kamu hampir bisa menendang kursi yang ada di depanmu, ya? Aku tidak terlalu suka menjadi perhatian seperti itu. Mungkin ini bukan kursi yang bagus?” Ucapku.

“Tidak apa-apa, di sini juga lumayan, kok.”

“Syukurlah kalau begitu." Aku menjawab. Aku meletakkan minuman di tempatnya dan menyerahkan popcorn kepada Senpai.

“Heh, heh. Sebungkus penuh, ya? kamu benar-benar mengenalku dengan baik! ”

“Apa itu terlalu kebanyakan?”

“Kamu akan memakannya juga, ‘kan, Kouhai-kun?”

“Aku tidak keberatan tidak makan apa pun saat menonton film, jadi makanlah sebanyak yang kamu mau. Jika ada yang tersisa, aku bisa memakannya nanti.”

“Ayolah, ayo makan bersama-sama ~” desaknya sambil menyodorkan wadah popcorn di pangkuannya ke arahku.

Alhasil, melewati popcorn, aku kebetulan melirik paha Yomiuri-senpai di bawah roknya.

“Terima kasih atas makanannya.”

Tentu saja, ini bukan masalah besar. Aku hanya perlu fokus pada popcorn. Realitas sering kali tidak sesuai dengan apa yang aku inginkan. Ketika aku mengarahkan popcorn pertama ke mulutku, aku merasakan semburan manis. Tapi tidak terlalu manis sampai membuatku ingin berhenti makan. Aku biasanya tidak makan apa pun saat menonton film, tapi aku ingat bahwa popcorn di sini tidak terlalu buruk. Membawa sebungkus popcorn sebagai pendamping sudah pasti akan aku lakukan untuk kunjungan filmku berikutnya.

Lampu di bioskop tiba-tiba meredup, hal itu membuatku terkejut. Aku lalu mengalihkan pandanganku ke layar. Senpai dan aku berhenti berbicara, karena kami datang ke sini untuk menonton film. Tepat setelah itu, iklan dimulai. Pertama, mereka menunjukkan cuplikan film live-action yang menggambarkan robot dan pertempuran ninja karena suatu alasan.

“Sepertinya menarik…” Aku bergumam dengan suara pelan, dan Senpai juga merespon dengan tenang.

“Ya… film itu bagian keempat dari trilogi…”

“Bagian keempat… dari trilogi? Hah?”

“Jangan mempertanyakannya. Itu tidak layak ditonton. Oh, filmnya sudah dimulai.” Senpai meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya.

Kami berdua terdiam, dan pemutaran film pun dimulai. Menurut poster yang pernah aku lihat sebelumnya, film ini bakalan bikin mewek dan menguras air mata. Adegan film dibuka dengan banyak gelak tawa, yang membuatku berpikirkalau ini film bergenre komedi. Sekitar lima menit berjalan, suasananya tiba-tiba berubah.

Entah aku ingin membiarkannya atau tidak, perhatianku tertuju oleh film itu. Setelah berhasil melewati klimaks pertama, kemudian dilanjutkan jeda singkat berupa bagian komedi. Aku menghela nafas lega selama waktu itu dan kebetulan melirik ke arah Senpai.

Perhatiannya terpaku pada layar, wajahnya tidak menunjukkan perubahan ekspresi apapun. Diterangi cahaya redup yang datang dari layar, wajahnya tanpa tawa, tangisan, atau bahkan rasa takut. Dia hanya menatap layar di depannya. Itu adalah ekspresi yang tidak pernah aku lihat, mengingat ekspresinya biasanya berubah drastis dalam hitungan detik. Aku rasa inilah yang dia maksud dengan 'hanya menonton film'. Bahkan keberadaanku pasti telah menghilang dari benaknya, setiap serat dari dirinya sedang mengamati setiap adegan film di layar.

Pasti menyenangkan, pikirku dalam hati. Dan kemudian aku diingatkan bahwa aku sedang menonton film bersama dengan Senpai yang cantik. Bukannya ini sesuatu yang biasanya tak pernah terjadi pada orang antisosial seperti aku? Apa aku benar-benar duduk di sini? Semuanya tiba-tiba terasa seperti mimpi, dan aku beralih ke film itu lagi. Aku harus melihatnya sepenuhnya karena kita sudah di sini.

Ada suara berdengung saat cahaya kembali menerangi ruang bioskop. Aku berkedip beberapa kali, merilekskan tubuhku yang tegang, dan menghela nafas.

Ya, filmnya sangat bagus. Bagian akhirnya benar-benar tidak terduga dan hampir membuataku ingin menangis. Sekarang kurasa aku harus membeli bahan sumbernya.

“Kurasa aku akan berhemat pada makanan besok.”

“Hah?”

Saat aku menoleh ke samping, Yomiuri-senpai menunjukkan bungkus popcorn yang benar-benar kosong. Dia memakan semua itu sendiri?

“Tanganmu terus bergerak secara otomatis saat kamu asyik melakukan sesuatu, bukan?”

“Aku sedikit mengerti, tapi tidak juga.”

“Aku benar-benar ingin memberimu beberapa, Kouhai-kun.”

“Aku tidak akan bisa makan sebanyak itu sendirian. Ah, aku akan menerimanya.”

Senpai hendak mengambil tasnya, jadi aku meletakkan tas olahragaku di atas bahuku dan menerima wadah besar itu. Kamu harus membuang sampahmu ke tempat semestinya.

“Terima kasih.”

“Berikan aku gelasnya juga.”

Aku mengambil gelas kosong yang dia berikan padaku dan membuang semuanya saat kami keluar dari ruang teater. Tanpa banyak mengambil jalan memutar, kami meninggalkan bioskop. Saat dalam perjalanan kembali ke stasiun kereta, kami bertukar kesan tentang film tersebut. Tentu saja, jalanan masih ramai, yang membuatku bertanya-tanya apakah kota ini bisa sepi atau tidak.

Dalam perjalanan, aku mengambil sepedaku dari tempat aku meninggalkannya dan mengantar Senpai ke stasiun kereta.

“Karena sudah larut malam begini, aku akan pulang sekarang—” Aku mencoba mengucapkan selamat tinggal untuk berpisah dengannya.

“Temani aku sebentar lagi saja.” Kata Senpai.

Tanpa menunggu tanggapanku, dia mulai berjalan. Tentu saja, aku ragu-ragu sejenak, tetapi akhirnya mengikutinya, mendorong sepeda di sebelahku. Kami berjalan mengitari stasiun kereta, mengamati objek raksasa di sebelah kiri kami saat perlahan pergi dari sana.

“Kita akan pergi kemana?”

“Aku memarkir mobilku di sekitar sini.”

“Ahh.”

Aku baru mengingatnya, Yomiuri-senpai datang bekerja dengan mobil, ‘kan? Kurasa kamu bisa mendapatkan SIM setelah berusia 18 tahun di sini. Karena Senpai sudah kuliah, tidak aneh kalau dia sudah punya SIM, dan dia sudah pasti berusia di atas 18 tahun… meskipun aku tidak tahu apakah dia benar-benar dianggap sebagai orang dewasa. Begitu ya. Setelah ulang tahunku tiba tahun depan, aku bisa mendapatkan SIM-ku sendiri. Aku tidak pernah benar-benar memikirkannya.

“Apa kamu mencoba mau mendapatkan SIM?”

“Hmm… aku tidak yakin.”

“Anak muda jaman sekarang sepertinya tidak tertarik dengan mobil, ya?”

“Anak muda? … Senpai. ”

“Tapi jaman sekarang, hanya sekitar satu dari dua pria yang benar-benar mendapatkan SIM, tahu? Bagaimana perasaanmu tentang itu?”

“Jika salah satu dari dua pria memilikinya, maka kamu bisa membayar mereka untuk mengantarmu.”

Tepat setelah aku mengatakan itu, mulut Senpai terbuka lebar. Dia tampak seperti karakter manga yang terkejut yang telah melihat sesuatu dari dunia ini.

“Sungguh Kotak Pandora yang mengejutkan…”

Senpai terkadang mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang dikatakan oleh seorang mahasiswa pada umumnya. Bahkan seseorang seperti aku yang selalu membaca buku tidak tahu apa yang dia bicarakan. Senpai, darimana kamu mendengar kata itu?

“Memangnya itu aneh? Aku cukup yakin proses berpikirku cukup rasional.”

“Maksudku, itu hampir terlalu rasional.”

“Benarkah? Nah, kamu tidak ingin terlihat tidak tahu malu, jadi penting untuk memberi kompensasi kepada pengemudi dan lebih perhatian pada mereka.”

“Memberi mereka kompensasi? Tidak, bukan itu masalahnya. Coba bayangkan. Punya mobil sangat nyaman untuk mengantar pacarmu pulang.”

Ide semacam itu bahkan tidak pernah terlintas di kepalaku.

“Supaya hal itu masuk akal, pertama-tama aku membutuhkan pacar. Itu sudah meminta terlalu banyak dari karakter latar belakang antisosial seperti aku.”

“Jika kamu punya mobil, mereka mungkin akan mendekatimu?”

“Kupikir aku takkan senang jika ada gadis yang mendekatiku cuma karena itu.”

“Aha, ahahahaha. Itu benar! Aku sangat setuju dengan itu!” Yomiuri-senpai tertawa terbahak-bahak.

Saat kami berdua melanjutkan percakapan, aku bisa melihat hutan kecil di depan kami — Atau lebih tepatnya, taman umum.

“Ada tempat parkir di sebelah taman. Aku memarkir mobilku di sana.”

“Itu cukup jauh dari toko, ya?”

“Tidak ada tempat yang nyaman untuk parkir di Shibuya. Ya ampun, waktunya sudah malam, tapi cuacanya masih sangat panas saja.” Senpai mengipasi dirinya sendiri dengan tangan kecilnya untuk menyejukkan diri.

Pepohonan yang tumbuh di taman umum dipenuhi dengan dedaunan yang rimbun. Namun, dalam kegelapan malam ini, dedaunan hijau tidak lagi hitam berkat lampu kota di belakang kami dan menciptakan sedikit keremangan yang mengintai di atas kepala. Saat kami semakin dekat dengan tempat parkir, cahaya lampu mulai semakin jarang, semakin sedikit orang di sekitar kami, dan akhirnya aku merasa seperti Senpai yang membawaku ke suatu tempat yang asing. Segera, Yomiuri-senpai menyelinap melewati pintu masuk tempat parkir dan masuk ke dalam.

Lampu jalan menghiasi jalan beraspal di sana-sini. Kerucut cahaya ini terbentang di depan dan menerangi jalan di bawah kaki kami. Angin sepoi-sepoi yang menerpa kami menyebabkan dedaunan di pepohonan bergemerisik, membuat panas yang telah menyengat sejak sore hari sedikit lebih mereda. Kami berdua berjalan melewati tempat parkir yang kosong, dan Senpai tiba-tiba berhenti.

“Tunggu dulu sebentar.”

“Ah iya.” Aku berhenti seperti yang diperintahkan.

“Aku masih perlu berterima kasih karena sudah menemaniku sampai ke sini.”

“Eh, kamu tidak perlu repot-repot segala.”

“Sudah, jangan sungkan begitu.” tutur Yomiuri-senpai, mendekati mesin penjual otomatis yang berdiri di pinggir jalan.

Layar vertikal mesin penjual otomatis itu tiba-tiba menyala, dan suara mekanis berbicara. "Selamat datang!"

Senpai mengeluarkan smartphone-nya dari tas yang tergantung di bahu kirinya. Dia menekan tombol untuk minum dan memegang smartphone di atasnya, yang menghasilkan suara yang tumpul saat kaleng jus jatuh. Dia mengulanginya sekali lagi, dan kembali dengan dua kaleng aluminium di tangannya, dan menyodorkan salah satunya ke arahku.

“Ini.”

“Maaf dan terima kasih banyak.”

Aku memegangi sepedaku dengan tangan kiri dan menerima kaleng dengan tangan kanan. Kaleng itu dingin meski mesin penjual otomatis berdiri di bawah sinar matahari sepanjang hari.

“Kurasa kedua tanganmu penuh. Apa perlu aku memeganginya sampai kamu menendang penyangga sepeda?”

“Tidak apa-apa. Ini tidak masalah. ” Aku dengan terampil membuka tab tarik kaleng dengan satu tangan.

Setelah itu, aku memutarnya setengah sehingga bukaan menghadap ke arahku dan meminumnya. Aku merasakan cairan dingin dan busa membasahi tenggorokanku, langsung ke perutku, yang membuatku menghela nafas setelah semuanya turun ke bawah. Rasanya memang enak.

“Ohh, terampil sekali.”

“Aku sudah terbiasa.”

Menempatkan penyangga setiap kali aku membeli sesuatu untuk diminum dari mesin penjual otomatis terlalu merepotkan, jadi aku sering membelinya dengan cepat dan meminumnya dengan satu tangan.

“Ah, aku lupa memotretnya.”

“Apa yang kamu rencanakan dengan gambar tersebut, Senpai?”

“Aku ingin merekam video juga, dan menguploadnya.”

“Apa kamu bersedia menghormati privasiku? Selain itu, ini bukan masalah besar.”

“Benarkah? Aku merasa ini akan mendapatkan banyak viewers.” Senpai tersenyum, lalu terdiam sesaat. “Kamu benar-benar orang yang menyenangkan dan baik hati.”

“Mendadak apa yang sedang kamu bicarakan?”

“Yah ...” Dia berbicara dengan nada ragu-ragu, jadi aku menunggu dia terus melanjutkan.

Cahaya dari mesin penjual otomatis menciptakan bayangan di wajah Senpai. Saat kami berdua tetap diam, keheningan memenuhi taman umum ini, karena waktunya hampir tengah malam. Di belakang Senpai ada bangunan tinggi menjulang yang tampak seperti batu nisan hitam.

“Nee, Kouhai-kun, ada sesuatu yang ingin kuberitahukan padamu…”

“… Sesuatu yang ingin diberitahukan padaku?”

“Ya. Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu.”

Pada akhirnya, aku hanya bisa menunggu dia berbicara. Tapi karena nadanya yang ringan dan ceria sudah hilang, itu membuat suasananya terasa berat dan membuatku sulit bernapas.

“Sebenarnya… aku hanya punya waktu setengah tahun lagi untuk hidup…”

Untuk sesaat, aku tidak yakin harus berkata apa, jadi aku tertegun di tempat. Pikiranku, bagaimanapun, mensimulasikan setiap hasil yang mungkin tergantung pada jawaban apa yang akan aku berikan. Itu bohong, ‘kan? Kenapa? Apa yang terjadi? Pikiranku begitu sibuk mencoba mencari arti di balik apa yang dia katakan sehingga aku tidak bisa memproses kata-katanya yang sebenarnya. Karena tak bisa berkata apa-apa, aku hanya berdiri diam dan menatap wajah Senpai.

Dia menatapku sekilas seolah-olah sedang mengujiku, tetapi setelah dua atau tiga detik berlalu, sedikit ekspresi tidak nyaman mulai terbentuk di wajahnya.

“… Maaf, itu bohong. Aku cuma bercanda. Kamu tidak perlu terlihat begitu depresi segala.”

“Apa mukaku berekspresi seperti itu?”

“Ya. Kamu hampir membuatku khawatir kalau kamu telah kehilangan beberpa tahun dari masa hidupmu karena aku. Aku mencoba untuk memerankan kembali adegan dari film, tapi kurasa leluconku sudah keterlaluan, ya.”

Baru kemudian aku menyadarinya. Pernyataan yang Senpai katakan barusan adalah kalimat yang sama persis dengan yang aku dengar belum lama ini.

“Ah… dari adegan itu…”

“Benar. Aku pikir pemandangan malam ini hampir seperti salinan persis dari film tadi.”

“Begitu ya… adegan taman di malam hari, ya…”

Kenapa aku tidak menyadarinya? Padahal itu tepat di depan mataku.

“Yah, lagipula aku tidak bisa memerankan kembali adegan itu”

“Sayangnya aku tidak memiliki kekuatan mengarungi aliran waktu.”

Senpai tertawa menanggapi leluconku.

“Aku pikir kamu mungkin mengharapkanku untuk melakukan gerakan seperti heroine dalam film itu, tapi menilai dari reaksimu, sepertinya bukan itu masalahnya.”

“Apa yang kamu bicarakan?”

“Kamu terus-menerus melirikku selama pemutaran film, ‘kan?”

“Hah?”

“Bagian mana dari diriku yang kamu lihat? Wajahku? Dadaku? Atau bahkan ...... Ayo, jujur saja​​~

“Tidak, um ...” Aku tak sempat membalasnya.

Memang benar kalau aku dibuat terpesona olehnya selama beberapa saat di film.

“Ah, jadi kamu benar-benar menatapku ~”

“Apa!?”

Dia menjebakku ?! Benar juga, Senpai tidak pernah mengalihkan pandangannya dari layar selama pemutaran film.

“Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu saat menatap gadis yang berada di puncak masa mudanya seperti diriku~”

“Ugh ... maksudku ... aku minta maaf.” Aku mengakui kesalahanku dan menundukkan kepala.

“Ahahaha, aku hanya bercanda. Kamu tidak perlu meminta maaf.”

“Tapi…”

Aku merasa seperti telah melakukan sesuatu yang tidak sopan dan perlu meminta maaf, tetapi Senpai hanya melambaikan tangannya ke arahku dan mengabaikannya begitu saja. Setelah itu, dia perlahan menawariku tangannya yang lain.

“Ah, terima kasih banyak.” Aku memberinya kaleng yang baru saja aku kosongkan.

“Kamu melakukannya untukku di bioskop, jadi aku cuma membalas budi.” tuturnya dan meletakkan kaleng kosong ke tempat sampah di sebelah mesin penjual otomatis.

Ketika dia mendekati mesin itu lagi, lampu menyala dan suara robotik dimainkan lagi… namun kali ini terdengar jauh lebih bodoh dari sebelumnya. Itu seperti menelan apa yang senpai ingin katakan padaku. Karena itu, aku ragu-ragu untuk mengungkitnya lagi.

Senpai mulai berjalan lagi, dan aku buru-buru mendorong sepedaku untuk mengejarnya. Baik Senpai maupun aku tidak bertukar kata sampai kami mencapai tempat dia memarkir mobilnya. Aku sudah mencari topik percakapan, tapi aku tidak bisa mengatakan apa-apa sampai Senpai memberi tahu aku "Sudah sampai di sini saja." Hal terbaik yang bisa aku lakukan adalah mengucapkan selamat tinggal yang ambigu.

“Ah, terima kasih untuk musik yang kamu ceritakan padaku. Ayase-san sangat senang karenanya. ”

“Setelah memikirkan tentang apa yang harus dikatakan, itulah yang kamu pikirkan, ya ~?” Senpai tertawa.

“Hah?”

“Jangan terlalu dipikirkan. Sampaikan salamku untuk adik perempuanmu itu.”

Usai mengatakan itu, dia menghilang ke tempat parkir. Aku melihatnya pergi sampai dia benar-benar menghilang, lalu naik sepeda untuk pulang. Aku mengingat kembali tentang percakapan tadi saat mengayuh sepeda. Aku masih tidak tahu apa yang harus dikatakan dalam situasi semacam itu.

Ketika aku kembali ke apartemen, aku melihat kalau lampu di ruang tamu masih menyala. Saat aku mengintip, aku melihat Ayase-san sedang terlelap di meja. Sepertinya dia belajar sampai membuatnya ketiduran. Dia tertidur lelap, dengan satu pipi bertumpu pada catatannya yang terbuka. Aku bisa mendengar napasnya yang samar, lebih tenang dari gemuruh unit AC. Aku penasaran kenapa dia belajar di sini dan bukan di kamarnya sendiri, tapi aku mulai menjadi khawatir kalau dia mungkin masuk angin karena AC yang menyala.

Aku berpikir untuk membangunkannya, tetapi dia mungkin akan terganggu jika dia tahu bahwa dia tertidur saat belajar. Pada akhirnya, aku hanya meletakkan sehelai kain untuk menutupi pundaknya. Kemudian aku menyadari bahwa salah satu ujung earbudnya terlepas dari telinganya, masih memainkan musik lofi hip hop.

Begitu rupanya. Jadi dia mendengarkannya sambil belajar. Meski aku tidak tahu apakah itu benar-benar membantu meningkatkan efisiensi belajarnya. Aku tidak ingin memaksakan kehendak atau perasaanku sendiri kepada orang lain, tetapi aku akan senang jika dia benar-benar menikmati musik yang aku rekomendasikan kepadanya. Kupikir aku aku mungkin baru menyadari ini sekarang, tapi apa yang paling aku inginkan adalah membantu Ayase-san. Meski upayaku masih belum sepadan dengan French Toast yang lezat itu.

Aku mengatur AC supaya sedikit lebih hangat, hanya ke level di mana dia tidak akan terkena sengatan panas, dan bersiap untuk tidur. Aku mandi, menggosok gigi, minum air, dan menuju ke toilet. Sebelum menuju ke kamarku, aku mengintip ke dalam ruang tamu lagi, tapi Ayase-san masih tertidur lelap. Aku berpikir untuk membangunkannya, berpikir kalau AC yang menyala dapat membuat tenggorokannya kering sepanjang malam, tapi pada akhirnya aku memutuskan untuk tidak melakukannya. Dia mungkin tak akan tidur seperti ini sampai pagi. Lagian ini sudah lewat tengah malam.

Seperti yang kuduga, tepat ketika aku memasuki kamarku sendiri, aku mendengar alarm dari smartphone. Aku mendengar suara gemerisik dari ruang tamu saat aku berbaring di kasurku. Aku pikir dia tidak akan menyukai kalau aku telah melihat wajahnya yang sedang tidur. Aku awalnya berencana untuk hanya berpura-pura kalau aku tertidur, hari yang panjang di tempat kerja dan film larut malam cukup membuatku lelah dan aku tertidur lebih cepat dari yang kukira. Dalam mimpiku, musik bercampur dengan suara gemerisik waktu diputar di telingaku.

 

 

<<=Sebelumnya  |  Daftar isi |  Selanjutnya=>>

close

1 Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

  1. Menurut spekulasi ngawur gw yaaa..... Mereka kan liat film yang diadaptasi dari novel.... Mungkin yang nulis novel itu si Yomiuri-Senpai berdasarkan kisah nyata dari kehidupannya....... Jadi bisa aja si Yomiuri-Senpai itu umurnya tinggal setengah tahun lagi....... Orang yang biasanya ngegodain si asamura tiba-tiba ngomong serius gitu kayak ada yang aneh🗿. Tapi gw berharap cuma bercanda beneran...... Sayang banget heroin secantik itu akhirnya mengenaskan

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama