Gimai Seikatsu Vol.2 Chapter 02 Bahasa Indonesia

Chapter 2 — 17 Juli (Jumat)

 

Pagi harinya, aku turun dari tempat tidurku dengan kepala yang masih linglung, dan melangkah keluar dari kamarku. Saat aku berjalan menyusuri lorong menuju kamar mandi, tanpa sadar aku menemukan diriku berjalan dengan pelan-pelan sehingga aku tidak mengganggu anggota keluarga yang lain. Ini adalah salah satu dari banyak perubahan yang aku alami setelah kedatangan seorang saudari tiri —- intinya, rutinitas biasa di pagi hari.

Ketika cuma ada aku dan Ayahku yang tinggal di sini, aku tidak perlu mengkhawatirkan penampilanku. Aku bisa sembarangan berjalan menyusuri lorong dengan rambut berantakan, mata kusam, dan penampilan piyama yang acak-acakan. Namun, aku tidak bisa begitu ceroboh sekarang.

Sekarang aku harus memperhatikan keberadaan Ayase-san dan Akiko-san. Karena mereka secara teknis masih orang asing bagiku, dan apalagi mereka adalah perempuan, aku tidak punya keberanian atau kepercayaan diri untuk membiarkan diriku menunjukkan penampilan yang memalukan di depan mereka.

Setelah memastikan bahwa kamar mandi memang kosong, aku mengecek wajahku di cermin. Menyegarkan tenggorokanku yang kering dengan sedikit berkumur, membasuh muka yang kusut dan menggunakan pisau cukur untuk mencukur bulu pendek dari janggut yang mulai tumbuh.

Sempurna — akan sedikit merepotkan, tapi setidaknya aku tidak perlu takut menunjukkan diriku di depan orang lain, jadi aku dengan percaya diri berjalan ke ruang tamu.

“Selamat pagi, Ayase-san.”

Tentu saja, seperti biasa di kejadian pagi hari, dia sudah sangat siap. Rambutnya ditata rapi sedemikian rupa, riasannya dipoles dengan sangat hati-hati, dan sudah mengenakan seragam sekolah yang sudah disetrika tanpa kerutan, dengan celemek di atas untuk melindungi seragamnya. Seperti biasa, aku belum pernah melihat saudara tiriku yang sempurna menunjukkan penamppilan yang ceroboh.

Aku yakin dia pasti begadang membaca materi bahasa Jepang Modern dan novel untuk mengumpulkan semua jenis informasi yang dapat dipercaya, namun aku sudah berjumpa dengannya di waktu yang tepat dan dengan penampilan yang persis sama seperti setiap pagi, yang lagi-lagi mengingatkanku pada disiplin dirinya yang ketat. Selain itu, buku catatan dan smartphone-nya tergeletak di atas meja makan, sepertinya dia masih belajar sampai sekarang.

Saat aku memanggilnya, Ayase-san perlahan mengangkat kepalanya, berdiri dari meja seolah-olah itu hal yang wajar dilakukan.

“Selamat pagi, Asamura-kun. Boleh aku membuat sesuatu yang mudah seperti telur ceplok hari ini? ”

“Ah, aku tidak perlu sarapan hari ini. Aku akan membuat roti panggang sendiri.”

“Hah, kenapa?”

“Kamu ingin fokus pada belajarmu, kan?”

Dari sudut penglihatanku, aku bisa melihat dua piring di dapur yang terlihat seperti baru saja dicuci. Salah satu piringnya mungkin milik Ayahku, yang telah membuat sarapan pagi ini dengan cepat karena Ia harus berangkat pagi-pagi. Yang sisanya, tentu saja, milik Ayase-san. Dia mungkin tidak ingin menungguku, jadi dia sarapan duluan dan memakan sesuatu yang ringan sebelum mendapatkan waktu untuk belajar sebanyak mungkin.

“Tapi kita sudah janji…”

“Saat ini, hutang budiku jauh lebih besar ketimbang dari yang bisa kubalas. Jika kamu bisa fokus pada ujian susulan untuk sekarang, maka aku tidak punya ruang untuk mengeluh.” Aku menjawab tanpa memberinya kesempatan untuk mengeluh.

Faktanya, jika dia gagal dalam ujian susulan, dia harus mengikuti pelajaran tambahan, yang mana artinya mengurangi waktunya untuk mencari dan bekerja sambilan, dan efisiensi belajarnya secara keseluruhan juga akan menurun. Akibatnya, syarat kesepakatan kami, yaitu dia yang harus memasakkan untukku, harus ditunda sementara waktu, dan aku harus mengkhawatirkan masakanku sendiri.

Ayase-san pasti menyadari kalau aku tidak ingin terlalu membebaninya, jadi dia tidak membantah.

“Terima kasih. Kalau begitu, aku akan menerima tawaran itu.”

“Sama-sama ... atau begitulah yang akan aku katakan, tapi itu bukan masalah besar.”

“…Baiklah.” Ayase-san tersenyum tipis dan kembali duduk menghadap meja.

Setelah melihatnya dengan tatapan puas saat saudari tiriku kembali ke mode belajarnya, aku kemudian menuju ke dapur. Baiklah! Kurasa sesekali aku akan habis-habisan. Kupikir aku hanya perlu menggunakan teknik rahasiaku untuk meletakkan irisan keju di atas rotiku. Hehehe~.

Aku mulai bersemangat sendirian, berpura-pura bahwa aku merasakan kegembiraan mengenai tugas yang biasa-biasa saja. Kurasa cowok SMA memang makhluk gampangan dalam mencari kebahagiaan. Lalu, mungkin gadis-gadis juga sama? Kurasa aku harus bertanya pada Ayase-san lain kali. Di lain waktu ketika dia tidak sibuk belajar, tentunya.

Roti panggang berakhir dengan sempurna. Keju yang berwarna emas indah. Seperti yang diharapkan dari keterampilanku memanggang keju yang artistik. Bahkan saat aku bertarung dengan keju yang meleleh yang membentang tanpa henti dari roti panggang, Ayase-san tetap fokus pada belajarnya. Sekali lagi, aku dibuat terkagum dengan tingkat konsentrasinya. Apa mungkin untuk meningkatkan efisiensi akademisnya lebih dari ini? Aku pikir tidak ada BGM yang benar-benar berhasil meningkatkan efisiensi belajarnya.

“Mmmm… ~”

Pada saat sebagian besar roti panggang telah lenyap ke dalam perutku dan  sedang ingin meminum kopi, Ayase-san merentangkan tangannya jauh di atas kepalanya, mengeluarkan desahan yang cukup erotis. Tidak, tunggu, itu hanya terdengar erotis di telingaku. Dia sendiri pasti tidak berniat membuatnya menjadi seperti itu. Maaf, Ayase-san.

Masalahnya adalah karena dia mengenakan seragam musim panas yang tipis, ketika dia meregangkan lengannya seperti itu, lengan bajunya sedikit turun dan aku dapat melihat kulitnya yang putih mulus. Hal itu tentu saja memaksaku untuk lebih menyadarinya.

Aku tidak boleh memandangnya seperti itu. Itu tidak sopan — ​​atau begitulah yang terus aku katakan pada diriku sendiri sambil mencoba menenangkan pernapasanku, jadi aku mencoba untuk memulai topik yang lebih santai.

“Sudah selesai?”

“Ya. Tapi aku harus berangkat sekarang. ”

“Padahal masih pagi begini.”

“Jauh lebih efisien lagi jika aku berangkat duluan. Aku sudah selesai makan dan mempersiapkan diri.”

Meninggalkan rumah pada saat yang sama untuk pergi ke sekolah bersama akan membuat kami terlalu menonjol, dan saudara tiriku yang penyuka efisien ingin menghindarinya.

“Masuk akal. Hati hati di jalan.”

“Sampai jumpa lagi.”

“… Ah, tunggu sebentar!”

Tepat ketika dia mengambil barang-barangnya dan hendak meninggalkan ruang tamu, aku memanggilnya.

“Apa?” Dia berbalik ke arahku.

“Tentang belajar saat dalam perjalanan ke sekolah…”

Bulan lalu, dia melakukan latihan listening bahasa Inggris dalam perjalanan berangkat ke sekolah, dia hampir tertabrak truk. Aku tidak suka dengan ide memperingatkannya karena kesalahan masa lalu, tetapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mengkhawatirkannya meski itu membuatku terdengar terlalu resek.

“Aku tak akan melakukannya, kok.” Balasnya sambil berbalik ke depan lagi.

Setelah itu, wajahnya menjadi agak merah, dan sepertinya dia sedang cemberut.

“Aku tak akan membuat kesalahan yang sama lagi.”

“Aku senang mendengarnya. Maaf sudah mengganggumu. ”

“Jangan khawatir tentang itu. Sampai jumpa lagi.” Dia mengalihkan pandangannya dan meninggalkan ruang tamu.

Sepertinya dia mencoba melarikan diri. Kurasa aku seharusnya tidak mengatakan itu. Pahitnya kopi masih melekat di lidahku saat merenungkan kemampuan komunikasiku yang gagal. Kejadian itu menjadi kenangan buruk bagi Ayase-san, dan dia merasa malu bila upayanya dilihat orang lain. Aku tidak bisa menyalahkannya karena reaksi itu.

Aku rasa aku masih jauh untuk menjadi kakak yang terhormat. Aku menghabiskan sisa kopiku seperti aku mencoba untuk menghilangkan kepahitan dengan lebih banyak kepahitan. Kemudian aku menyadari sesuatu.

“Dari awal, dia memang tidak pernah membiarkanku melihat seberapa keras dia berusaha, ‘kan?”

Apa yang dia lakukan selama beberapa menit terakhir? Penampilan seperti apa yang dia miliki kemarin? Padahal aku tepat di hadapannya. Perubahannya sangat kecil sehingga aku bahkan tidak menyadarinya, tapi dibandingkan dengan saat kami pertama kali bertemu, dia secara bertahap menunjukkan lebih banyak sisi dirinya, bahkan kelemahannya. Meski ini perubahan kecil, tapi aku merasa kalau jarak kita sebagai saudara semakin dekat.

Meski sekarang sudah menjelang liburan musim panas, SMA bergengsi seperti sekolahku tidak membiarkan muridnya berleha-leha. Dengan alasan bahwa kami bahkan tidak akan dapat mengingat semuanya, para guru praktis bergegas membaca buku pelajaran, mendapatkan waktu sebanyak mungkin, dan kemudian menghentikan jam pelajaran kapan pun mereka mau. Setelah itu diikuti belajar mandiri dan berlatih sendiri, atau dalam kasus terburuk bahkan obrolan sepele. Secara keseluruhan, itu menciptakan suasana yang tidak kondusif untuk segala jenis belajar yang rajin.

Itulah mengapa tidak ada yang memperhatikanku menggunakan smartphone-ku di bawah meja. Aku sibuk mencari-cari di lautan luas internet untuk musik BGM yang bisa aku rekomendasikan ke Ayase-san, yang mungkin satu-satunya orang yang paling banyak belajar di sekolah ini. Waktu pun semakin berlalu, dan istirahat makan siang segera tiba. Setelah aku selesai memakan roti yang sudah aku beli sebelumnya, aku diam-diam berdiri dari tempat dudukku. Maru mendengar kursiku bergerak di belakangnya dan berbalik ke arahku, mengalihkan pandangan dari ponselnya sendiri.

“Oh? Kamu mau kemana, Asamura? ”

“Mau ke perpustakaan.” Aku memberikan tanggapan yang ambigu.

Aku sebenarnya tidak berencana untuk pergi ke sana, tapi jika aku memberitahunya bahwa aku akan berkeliaran di sekitar sekolah sebentar, Ia hanya akan menggangguku karena rasa penasarannya yang tak ada habisnya, jadi aku sedikit berbohong padanya.

“Woke,” Maru menjawab, mengalihkan perhatiannya ke ponselnya lagi.

Ini yang biasanya terjadi saat istirahat bagi kami berdua. Meski kami berdua memang berteman, kami tidak selalu berbicara satu sama lain, apalagi bersikap menempel melulu. Kami berdua saling menghormati ruang pribadi satu sama lain, dan menghabiskan banyak waktu sendiri juga. Karena kami berdua tidak suka membebani orang lain, mungkin itulah cara kami berhasil tetap berteman untuk waktu yang lama.

Aku melangkah keluar kelas dan menuju ruang perpustakaan. Tentu saja, tempat itu bukan tujuan akhirku. Aku hanya berjalan menyusuri lorong menuju ruang perpustakaan tersebut. Senpai-ku yang di tempat kerja, Yomiuri-senpai, pernah merekomendasikanku sebuah buku yang mengatakan kalau orang-orang akan mendapatkan ide saat berjalan-jalan ketimbang duduk-duduk terus di kursi.

Sejak aku membacanya, aku sudah mencobanya. Seperti yang mungkin kamu ketahui, aku tipe orang yang gampang dipengaruhi. Saat mencari BGM yang bagus, aku diam-diam berharap bahwa ada ide bagus tiba-tiba muncul. Aku membiarkan kakiku membawaku ke lorong. Tepat ketika aku tiba di depan ruang perpustakaan yang sebenarnya, seseorang tiba-tiba menepuk punggungku.

“Heeey! Ada apa, Onii-chan ?! ”

“…!”

Aku sangat terkejut sehingga aku lupa bernapas sedetik. Saat aku menoleh, aku disambut oleh seorang siswi yang tidak asing lagi. Dia menunjukkan senyuman hangat yang dipenuhi rasa ingin tahu. Rambutnya yang cerah ditata dengan ikal, memberinya suasana penuh gaya. Dia adalah pemenang rahasia gadis terpopuler seangkatan, serta teman sekelas Ayase-san, Narasaka Maaya. Dan dia satu-satunya siswa di sini yang tahu bahwa Ayase-san dan aku merupakan saudara tiri.

Dia terkesan seperti kucing yang suka menggoda pemiliknya dengan bersembunyi di dalam lemari saat dia menatapku sambil membawa beberapa buku di tangan. Sepertinya dia baru saja keluar dari ruang perpustakaan.

“Oh, ternyata itu kamu, Narasaka-san. Aku pikir kamu itu semacam Torima.” (TN: Youkai yang membawa malapetaka ke rumah atau orang yang dilewatinya.)

“Apa maksudnya itu?! Mana mungkin ada makhluk semacam itu di sekolah ini.”

“Kamu tidak pernah tahu kapan kamu akan berpapasan, yang mana membuat mereka sangat berbahaya, kan?”

“Ehh, kupikir ini benar-benar normal ~ Skinship dan sebagainya.”

“Apa kamu selalu seperti ini, Narasaka-san?”

“Tentu saja~.”

“Bahkan dengan Ayase-san? Aku tidak bisa membayangkannya sama sekali.”

“Ya! Dengan Saki juga! Dia selalu memanggilku menyebalkan, tapi diam-diam merasa senang, tau~.”

Aku tidak berpikir dia merasa senang dengan itu.

“Aku akan menyimpulkan kalau dia memang menganggapmu menyebalkan.”

“Semakin dalam gangguannya, semakin dalam cintanya, seperti yang dibilang kebanyakan orang!”

“Tidak ada yang mengatakan itu. Selain itu, jika kamu mengikuti alur pemikiran itu lebih jauh, kamu akan ditangkap karena pelecehan seksual. ”

“Ehh? Kenapa aku, seorang gadis, diceramahi tentang pelecehan seksual sama cowok? ”

“Pelecehan seksual tidak mengenal jenis kelamin, oke.”

Hmph. Kamu terdengar seperti Saki saja, Asamura-kun. ”

Jika sudah ada seseorang yang memberitahumu, lantas mengapa kamu tidak memikirkannya dengan hati-hati?

“Lagian, kamu berjalan sambil melihat ponselmu, Asamura-kun! Kamu juga salah! salah! ”

“Ah iya. Sekarang kamu sedang mengalihkan kesalahan. ”

“Hei, kita ‘kan bukan sedang dalam jam pelajaran. Kamu tidak perlu terdengar begitu intelektual!” Narasaka-san cemberut.

Serangan mendadak, skinship, sikap berpikiran terbuka, dan mentalitas untuk mengabaikan setiap keluhan dan peringatan. Semua hal ini seharusnya cukup bagi siapa pun untuk membencinya, namun aku tidak bisa mengerahkan perasaan tersebut padanya. Apa karena perawakannya yang kecil, atau caranya berbicara? Aku tidak tahu, tapi itu mungkin karena karismanya sendiri. Jika orang lain mencoba melakukan hal yang sama, mereka sama saja cari mati. Aku bisa memahami betapa populernya dia di kalangan anak cowok.

“Kamu suka baca buku?” Aku merasa agak bersalah terus-menerus mengeluh padanya, jadi aku mengangkat topik yang berbeda.

Dilihat dari sampul buku-buku tersebut, sepertinya itu novel yang ditargetkan pada kalangan wanita.

“Ini? Mereka mendapatkan rilisan terbaru yang sudah aku nanti-nantikan. Liburan musim panas juga sudah dekat!”

“Kamu adalah tipe peminjam, ya?”

Sebagai pekerja sambilan di toko buku, aku berharap kalau dia akan membelinya, tetapi tipe orang memang berbeda-beda. Mereka punya keadaan dan tunjangan berbeda yang menentukan apa yang dapat mereka beli, jadi aku tidak merasa terlalu nyaman memaksakan kehendakku sendiri pada mereka.

“Masa ujian selalu menjadi waktu pengekangan, jadi aku hanya ingin membaca semuanya! Kamu paham apa yang kurasakan?”

“Ahaha, aku mengerti. Menilai dari reaksi itu…”

“Tidak ada ujian tambahan! Aku juga tidak mendapatkan nilai jelek ~”

“Begitu ya.”

“Aku mendapat total 808 poin! Bagaimana, hebat ‘kan~? ”

“Eh…?” Aku mengeluarkan suara tercengang.

Akibatnya, ekspresi percaya diri dan kesombongan Narasaka-san dengan cepat berubah menjadi ketidakpuasan.

“Ah! Kamu pasti terkejut, iya ‘kan! Kamu tidak menyangka kalau aku mendapatkan rata-rata nilai 90, ‘kan ?! ”

“... Maaf, kamu benar sekali.” Aku langsung mengakui dosaku.

“Itu nyelekit banget. Aku berada di peringkat teratas seangkatan, tahu ~”

“Aku seharusnya tidak menilai orang berdasarkan kesan yang mereka berikan ... aku akan merenungkannya."

Kesan yang di maksud pada dasarnya sama dengan menganggapku orang bego, ‘kan !? Asamura-kun, apa kamu ini tipe S yang idiot? ”

“Aku tidak…”

Bermaksud begitu — kedengarannya seperti alasan yang lemah. Ketika dia menggunakan kata 'idiot', aku tidak bisa menjawab sama sekali. Narasaka-san memanfaatkan kesempatan keheningan sesaatku untuk mendekatkan wajahnya ke wajahku.

“Jika kamu merasa tidak enakan tentang itu, katakan satu hal padaku~”

“Eh? Maksudku… tentu? ”

“Saat kamu berjalan dan melihat ponselmu seperti itu, kamu sedang menggoda Saki melalui pesan, ‘kan?”

“Um, tidak, kok.”

“Ehh, masa sih? Saki juga menggunakan ponselnya sepanjang hari. Aku sangat cemburu. Aku pikir hubungan kalian berdua sangaaaaattt dekat.”

“Sungguh kesalahpahaman yang mengerikan.”

Aku cukup yakin dia mungkin hanya melihat-lihat novel lagi. Lagian, bagaimana mungkin dia bisa sampai pada kesimpulan konyol semacam itu, meski tahu hubungan seperti apa yang kita miliki? Mana mungkin cinta akan berkembang di antara dua orang yang baru saja menjadi saudara tiri.

“Aku cuma mencari sesuatu.”

“Yang bener, nih?”

“Ini buktinya.”

Karena Narasaka-san tidak terdengar puas sama sekali, aku menunjukkan layar smartphone-ku padanya.

“Musik BGM? Kenapa kamu mencari-cari itu?”

“Um, kamu tahu…” Aku segera beralih ke bahasa formal, mencoba mencari alasan, tapi dengan cepat berubah pikiran. “Aku ingin mencari beberapa lagu BGM untuk Ayase-san.”

“Untuk Saki?”

Aku menjelaskan detailnya. Setelah berbicara dengan Narasaka-san beberapa kali, aku menyadari bahwa dia rentan terhadap kesalahpahaman. Jika aku merahasiakannya, atau mencoba menyembunyikannya, dia akan salah paham lagi. Jika aku memberinya kebenaran yang membosankan, rasa keingintahuannya pasti akan berkurang.

Tentu saja, aku melewatkan bagian tentang Ayase-san yang sedang berusaha lebih keras daripada orang lain untuk memperbaiki kekurangannya, dan hanya memberitahu kalau dia hanya ingin meningkatkan efisiensi belajarnya. Dengan begitu, aku bisa menghormati keinginannya.

“Heee~. Kamu mencari musik demi Saki, ya. Hmmm~.” Dia menyeringai.

“Aku pikir lebih baik untuk menyuarakan perasaanmu yang sebenarnya untuk menciptakan lingkungan percakapan yang lebih menyenangkan dengan orang lain.”

“Ohh, jadi kamu bilang ~ Asamura-kun, jadi kamu yakin dengan kemampuan komunikasimu sendiri?”

“………Maafkan aku.”

Dia memukulku tepat di bagian yang sakit. Karena aku secara tak sadar sudah menggali kuburanku sendiri, aku memilih untuk meminta maaf ketimbang melawan dan menebarkan lebih banyak garam ke lukaku.

“Kamu Onii-chan yang hebat, tahu. Tidak perlu malu-malu begitu. Angkat kepalamu tinggi-tinggi dengan bangga.”

“Aku rasa aku tidak pantas mendapatkan gelar itu hanya karena aku membantunya sedikit ...”

“Fiuh, jujur ​​sekali ~ Aku adalah Onee-chan yang hebat hanya dengan membuat makanan, lho.”

“Kamu punya adik laki-laki, kan?”

Kupikir aku pernah mendengar sesuatu seperti itu dari Ayase-san sebelumnya.

“Iya. Banyak sekali~.”

“Ada banyak? Kamu pasti punya keluarga besar.”

“Sekitar 100.”

“Hah?”

“Canda kok ~ Kami cuma keluarga biasa.”

Jadi berapa banyak adik laki-laki yang dia miliki? Aku sangat penasaran dan ingin bertanya, tapi ocehan tanpa henti Narasaka-san yang mirip kereta cepat tidak mau menungguku untuk naik. Dia mengubah topik sebelum aku bisa mengatakan apapun.

“Tapi kamu benar-benar perhatian. Sampai rela nyari BGM dan mencari yang bagus? Itu sangat tulus.”

“Bukannya itu normal?”

“Hmmm?” Seolah-olah dia tidak dapat memahami perkataanku, dia memiringkan kepalanya dengan kebingungan.

… Ya Tuhan, dia terdengar serius tentang itu.

“Maksudku, bagaimana lagi kamu akan mencari musik jika tidak melihat materinya?” Aku bertanya padanya.

“Hmmm… Aku tidak pernah terlalu memikirkannya. Aku hanya memilih apa pun yang sedang diputar, berdasarkan naluri.”

“Maksudku, membaca bagian rekomendasi itu memang berguna, tapi…”

Aplikasi musik dan situs streaming terbaru sering kali menawarkan  daftar rekomendasi yang dibuat oleh AI di layar utama, menampilkan lagu yang mirip dengan yang pernah kamu nikmati sebelumnya, atau lagu berdasarkan riwayat penelusuranmu. Bahkan tipe orang antisosial seperti aku, yang tidak benar-benar mengikuti tren media atau ikut-ikutan, sering menggunakan fitur rekomendasi.

“Tapi itu belum semuanya, ‘kan? Kamu mencari musik sendiri, jangan— ”

“Aku tidak pernah, kok?”

“Ah, begitu ya… Benarkah…?”

Karena dia menunjukkan ekspresi kebingungan dan ketidaksetujuan dalam menanggapi nilai dan ideku sendiri, aku hanya bisa menurunkan bahuku karena kekalahan. Setiap orang memiliki cara mereka sendiri dalam melakukan berbagai hal, dan aku tidak berhak menyalahkan dia atas caranya sendiri, tapi mau tak mau aku merasa sedikit terganggu.

“Kamu sepertinya sedikit kecewa.”

“Aku tahu aku tidak punya hak untuk begitu. Rasanya sedikit mengecewakan ketika nilai-nilaimu tidak sesuai dengan nilai orang lain. ”

“Yah, aku sangat senang dengan semua rekomendasi yang aku dapat, tahu ~ Jika ada, aku sangat penasaran mengapa kamu sampai repot-repot untuk mencari musik.”

“Hanya mendengarkan hal-hal yang direkomendasikan membuatku merasa kalau aku tidak punya keinginan sendiri.”

“Hah ~”

“… Aku tahu bahwa aku memiliki kepribadian yang aneh.”

Jadi jangan melihatku dengan tatapan lugu seperti itu. Rasanya seperti aku adalah vampir yang bermandikan sinar matahari. Karena tidak sanggup membalas tatapan matanya, aku menutupi wajahku dan melihat ke langit-langit. Namun, reaksi dia yang membuatku benar-benar lengah.

“Itu keren! Aku suka hal semacam itu!”

“Kamu pasti sedang mengejekku, ‘kan?”

“Tentu saja tidak! Aku pikir itu sungguh luar biasa kamu mempunyai citra diri seperti itu!”

“…Makasih.”

Jarang-jarang bisa menemukan orang yang ahli dalam memuji orang lain. Itu membuatku penasaran apakah semua orang yang ramah di dunia memang seperti itu. Ketika berbicara tentang manga, anime, dan game, orang normal atau orang yang ramah yang muncul dalam fiksi selalu memiliki rahasia gelap, dan mereka digambarkan sebagai semacam orang jahat.

Cowok nakal murahan yang mencoba merayu para heroine, pemimpin geng cewek di kelas yang selalu menindas gadis-gadis cantik, Kamu selalu melihat stereotip jahat seperti ini di media-media lain. Tentu saja, aku memahami karakter yang begitu murni ada demi plot. Walaupun jika orang seperti itu benar-benar ada dalam kenyataan, selama aku melihat Narasaka-san, yang jelas-jelas orang yang supel juga, mau tidak mau membuatku berpikir kalau ada orang yang bertindak murni karena niat baik juga. Dia imut, pintar, dan baik hati kepada orang lain. Tak peduli kategori apapun untuk menilainya, dia praktis hampir sempurna.

“Aku ingin mendengarkan musik lain juga!”

“Ohh!”

Jadi dia mulai tertarik pada metode mendengarkan musik yang sama berorientasi konsumen? Sungguh hal yang luar biasa.

“Aku akan memeriksa lagu-lagu yang kamu temukan, Asamura-kun, jadi ceritakan tentang itu nanti!”

“Bukannya kamu hanya beralih ke siapa kamu andalkan untuk mencari musik? Aku bukan AI rekomendasi lagu, oke?”

“Mencari sendiri itu terlalu merepotkan, tahu ~”

Sepertinya minat yang sama memang tidak ada sejak awal. Sungguh menyedihkan, kawan. Satu-satunya perbedaan ialah apa kamu mendapatkan rekomendasi secara digital atau fisik. Pada akhirnya, dia masih tersapu oleh minat orang lain. Tapi aku satu-satunya yang benar-benar merasa berkecil hati karenanya, karena ini adalah perasaan pribadiku sendiri. Aku rasa ada cara berbeda untuk melihatnya, ya?

Setelah sekolah usai, aku menuju ke tempat pekerjaan sambilanku dengan suasana hati yang cukup melankolis. Setiap pekerja yang punya shift malam pada hari Jumat, pada dasarnya kapan saja setelah jam 6 sore, akan dipaksa melalui pengalaman mematikan. Setelah berganti ke seragamku dan melangkah ke kantor, aku disambut oleh manajer dan staf lainnya, yang tampak seperti tentara yang akan berangkat ke medan pertempuran. Meski cuma ada satu pengecualian — Yomiuri Shiori-senpai, yang menyadari kalau aku telah memasuki ruangan dan berjalan ke arahku dengan senyuman lembut, bahkan melambaikan tangannya ke arahku.

‘Monster My Pace’ memang beda dari yang lain. Kita akan memasuki lapisan neraka yang paling dalam, namun dia bertingkah seperti sedang berjalan-jalan dan mampir ke toko swalayan. Ini adalah kota yang tidak pernah tidur, kotanya para kaum pemuda. Shibuya tidak disebut demikian tanpa alasan; selalu ada masalah yang terjadi 24/7. Tentu saja, itu bukan hanya prasangka atau rumor belaka. Itu karena kebenaran yang sebenarnya, namun orang-orang masih datang ke sini secara bergelombang.

Selain hari Sabtu, tentu saja. Kemudian kota berubah menjadi pemandangan anak-anak muda yang berjalan di jalanan, tapi hari Senin dan Jumat khususnya merupakan medan perang terparah. Senin adalah hari terbesar industri majalah dalam seminggu, sejak majalah baru mereka dirilis, dan kami sebagai toko buku paling menderita karenanya.

Sedangkan untuk hari Jumat, keadaannya sangat penting bagi toko buku kami. Selain kota para pemuda, berbagai macam gedung perkantoran dengan banyak perusahaan IT terkenal berbaris bersebelahan di sini, menjadikan kota ini salah satu dari sedikit Kota Perkantoran di seluruh negeri.

Di paruh kedua tahun 90-an, ketika sewa gedung perkantoran masih murah, banyak perusahaan baru dan perusahaan unicorn pindah ke pinggiran kota, mengubahnya menjadi bitter valley yang menyerupai Silicon Valley Amerika.

Para perusahaan dan CV ini menemukan kesuksesan dan tumbuh berkembang sampai ke ukuran mereka yang sekarang… atau begitulah yang dikatakan dalam sebuah buku yang direkomendasikan Yomiuri-senpai kepadaku. Pokoknya, ini adalah toko yang sering dikunjungi oleh para pegawai dalam perjalanan pulang kerja. Sudah menjadi rahasia umum bahwa toko selalu penuh setiap hari Jumat.

Meski kami sedang sibuk, kami tetap harus berusaha sebaik mungkin untuk selalu bersikap ramah terhadap pelanggan. Sekalipun toko penuh sesak, kita harus berhati-hati terhadap kemungkinan pencurian. Walaupun toko selalu ramai, kita harus menjaganya tetap bersih dan menarik. Setelah kami memastikan keadaan ideal ini, pertempuran kami pun dimulai.

“Haaah… Hari ini dapat giliran di mesin kasir, ya…?”

“Jangan pasang muka kusut begitu, Kouhai-kun.”

Sebelum aku berjalan ke kasir, Yomiuri-senpai melihatku menghela nafas dan menepuk pundakku.

“Tentu saja, dengan lebih banyak orang di sini, jumlah pelanggan bermasalah juga meningkat.”

“Hei… Apa kamu sampai perlu mengatakan itu tentang pelanggan kita yang berharga?”

“Aku cukup yakin pernah mendengarmu mengeluh tentang hal itu sebelumnya. Apalagi di depan pelanggannya langsung.”

“Aku tidak tahu apa yang sedang kamu bicarakan ~” Yomiuri-senpai meletakkan jari telunjuknya di depan mulutnya, memberi isyarat kepadaku untuk merahasiakannya.

Sejenak, aku kebingungan apa yang sedang dia bicarakan, tetapi setelah melihat anggota staf lain menatap kami dengan ragu, aku langsung paham. Bukan hanya kami berdua di sini hari ini, jadi suasana hati kami yang biasa dilarang. Seperti biasa, dia berpura-pura tidak tahu.

Dia memiliki rambut hitam panjang, mengingatkanku pada seorang Yamato Nadeshiko, dan dia memiliki citra gadis buku yang jinak. Sembilan dari sepuluh orang akan berpikir bahwa Yomiuri-senpai adalah gadis cantik yang penuh sopan santun dan ramah, tapi itu adalah kesalahpahaman yang parah. Di dalam dirinya, bisa dibilang ada om-om tua yang suka melakukan candaan jorok. Tentu saja, karena dia suka buku, membaca adalah salah satu hobinya, dan dia merupakan gadis sastrawan yang berpengalaman, tapi sejujurnya sungguh menakutkan betapa tidak akuratnya stereotip itu di sini.

“Kamu benar-benar tidak pernah menunjukkan jati dirimu yang sebenarnya,ya?”

“Aku sudah terlalu sering dibuat kecewa di universitasku. Cuma kamu satu-satunya yang tahu segalanya tentang aku, Kouhai-kun. Apa kamu tahu itu?”

“Bisakah kamu berhenti mengatakannya dengan kalimat aneh?”

“Padahal aku cuma mengatakan yang sebenarnya, kok!”

Dia mulai menggodaku lagi. Namun, alasan dia bersikap begini kepadaku karena kesalahanku sendiri, jadi aku tidak bisa benar-benar mengeluh. Aku tahu ini kedengarannya aneh jika itu berasal dari mulutku, tapi aku tidak terlalu berharap atau menaruh harapan apapun dari gadis yang ada di sekitarku, dan baginya aku mungkin orang yang paling mudah bergaul dengan semua staf cowok lainnya di sini. .

Bahkan jika dia menunjukkan jati dirinya, aku tak akan merasa putus asa maupun kecewa padanya, dan kapan pun dia ingin menggodaku untuk melampiaskan stres, aku takkan benar-benar marah padanya. Nyaman dan handal. Ini mungkin penjelasan termudah tentang hubungan seperti apa yang aku miliki dengan Yomiuri-senpai: Rekan kerja yang merasa nyaman satu sama lain.

“Dan, kenapa kamu bisa sesantai ini? Kamu dulu selalu benci bekerja pada jam sibuk di hari Jumat.”

“Hehehe ~ Masalahnya, aku sebenarnya bertanggung jawab untuk menjual pemeliharaan area dan penempatan lokasi hari ini.”

“Ah, tidak adil.”

Sekarang jadi masuk akal kenapa dia terlihat begitu santai. Penempatan lokasi pada dasarnya berarti mengamankan cukup ruang di rak buku di area penjualan untuk buku dan majalah yang akan tiba besok. Sudah menjadi rutinitas kami di sini untuk mengurus semuanya pada malam sebelumnya, sehingga pengiriman terbaru dapat diatur di rak pajangan di pagi hari. Hal ini untuk mencegah membuat pelanggan kecewa yang sudah capek-capek datang tapi tidak dapat menemukan buku atau majalah yang mereka cari. Ini meningkatkan penjualan sedikit, tetapi kenyamanan toko tidak terlalu penting sama sekali. Bagi kami para pekerja sambilan, yang paling penting ialah kami tidak ditugaskan ke mesin kasir.

“Ini bukannya tidak adil. Mempersiapkan rilisan baru adalah bagian lain dari pekerjaan kita, kok~. ”

“Yah, aku bisa melihat bagaimana penempatan lokasi memiliki masalah yang adil ... Yomiuri-senpai, mau tukeran tempat denganku?”

“Kenapa kamu mengatakan sesuatu yang sekejam itu ?!”

“Dan itulah bukti bahwa kalau ini tidak adil.”

Jika menimbang keduanya, tugas di mesin kasir masih jauh lebih merepotkan. Aku benar-benar mengerti. Akibatnya, Yomiuri-senpai mulai bersenandung sendiri saat mengeluarkan daftar rilisan buku terbaru dari belakang kasir dan berjalan ke area penjualan. Sialan, dasar Senpai licik.

Aku menuju ke tempat kasir sembari menggerutu. Seperti yang bisa kamu bayangkan, beberapa jam berikutnya serasa seperti di neraka. Pelanggan, pelanggan, pelanggan, pembayaran, pembayaran, pembayaran. Pertanyaan, pertanyaan, pertanyaan. Mataku terasa seperti berputar karena kelebihan informasi, tapi aku sudah memiliki strategi sendiri untuk menaklukkan ini.

Memasuki kondisi setengah sadar, aku seperti sedang berurusan dengan sushi  yang datang ke arahku dari conveyor belt, dari kiri ke kanan, aku memasang ekspresi datar di wajahku, berurusan dengan setiap pelanggan dengan acuh tak acuh. Mungkin kedengarannya sedikit tidak sopan terhadap pelanggan, tapi aku sudah dilatih untuk meniru layanan pelanggan yang tepat bahkan dalam keadaan ini, dan aku tidak menerima satu keluhan pun atas layananku. Akhirnya, saat jam mencapai angka 9 malam, dan sudah waktunya aku pulang.

“Aku akan pulang dulu.”

“Hah, kamu sudah mau pulang? … Oh, ini sudah selarut ini, ya? Waktu selalu berlalu dengan cepat di hari Jumat. ”

“Ya.”

“Aku rasa aku akan istirahat juga. Kouhai-kun, setelah kamu selesai ganti pakaian, datanglah ke ruang istirahat. ”

“Hah, kenapa?”

“Karena aku sedang bosan.”

“Ehhhh…”

“Ayolah. Makan sendirian terlalu membosankan. Biarkan aku menggunakan semua pengalaman menarikmu dengan adik tirimu sebagai lauk makananku.”

“Jangan membumbui kehidupan orang lain lebih dari yang sebenarnya, oke? … Astaga. ”

Yomiuri-senpai memohon dengan tatapan berkaca-kaca, dan aku hanya bisa menghela nafas pasrah. Kurasa aku kurang tegas daripada yang aku kira.

“Aku mengerti. Tapi, tidak ada cerita menarik yang bisa aku ceritakan, jadi tolong dengarkan aku mengenai sesuatu, oke? ”

“Oho? Kedengarannya sangat menarik. ”

Setidaknya aku akan membuat ini jadi timbal balik di mana kita berdua sama-sama mendapat untung. Itu usulan yang bisa aku kerahkan dalam situasi itu.

Area belakang toko buku memiliki ruang penyimpanan, kantor, ruang ganti pria dan wanita, dan ruang istirahat. Lokasi ini agak jauh dari area penjualan yang sebenarnya, sehingga suara atau BGM apa pun teredam oleh dinding tebal, tetapi di sini kamu dapat mengamati bagian dalam toko berkat kamera keamanan dan monitor yang dipasang. Saat aku kembali ke ruang istirahat setelah berganti dengan baju santai yang nyaman, aku langsung melihat Yomiuri-senpai sedang rebahan di atas meja dan terlihat seperti es krim yang meleleh.

“Meleleh, ya?”

“Tentu saja. Kepadatan pengunjung di dalam toko membuat AC tidak berguna sama sekali.”

“Udaranya juga terasa cukup tipis. Tapi kamu kabur dari kasir, jadi kamu tidak punya hak untuk mengeluh, Kamu tahu itu, ‘kan?”

“Ehh, aku tidak kabur, kok ~”

“Aku tahu itu, aku cuma bercanda.”

“Kamu ini kurang ajar banget ya, Kouhai-kun. Kamu tahu kalau kamu harus bersikap baik terhadap wanita, ‘kan? ”

“Aku pendukung garis keras kesetaraan gender.”

Dia mungkin terlihat seperti Onee-san yang menawan dan cantik, tapi Yomiuri-senpai sebenarnya teradang bisa bertingkah seperti gadis kekanak-kanakan, jadi aku memperlakukannya dengan baik. Jika seseorang terus-menerus mengubah suasana hatinya, maka aku hanya dapat bertindak sesuai dengan itu. Menanggapinya terlalu serius akan membuatku diejek dan dipermainkan, jadi aku harus berhati-hati. Itu adalah catatan yang aku ingat dalam instruksi mental Yomiuri-senpai, yang aku ikuti sekarang saat duduk di kursi seberangnya.

… Secara fisik wajahnya memang cantik, jadi aku tidak perlu memikirkannya.

“Bukannya kamu meremehkan pekerjaan fisik saat melakukan penempatan buku? Kesulitannya sedikit berbeda dari mesin kasir.”

“Aku sadar akan hal itu. Aku juga tahu kalau mengurus itu jauh lebih nyaman untukmu, iya ‘kan.”

“Tidak, tidak, tidak, ini cukup sulit, tahu? Kamu harus berjongkok, berdiri, berjongkok, sambil membawa buku-buku berat di tanganmu. Ini benar-benar merusak pinggulku, tahu~.”

“Benar-benar berlebihan ...”

“Itu asli. Aku merasa seperti bangun pagi-pagi setelah menghabiskan malam penuh gairah yang menderu-deru di atas ranjang, kakiku masih goyah karena semua rasa nyeri.”

“Aku takkan terpancing bahkan jika kamu menggunakan perumpamaan yang aneh, oke?”

Cih, membosankan." Yomiuri-senpai berpura-pura mendecakkan lidahnya dengan gaya yang lucu.

Dia sengaja menyesatkan seperti biasa. Aku sudah sering berurusan dengannya sampai bisa mengetahui apa itu jebakan atau tidak. Jika reaksiku terhadap lcandaan jorok terlalu serius, dia akan menggodaku dan berkata 'Kamu terlalu banyak memikirkannya ~ Apa sebenarnya yang kamu sadari, Kouhai-kun ~?'. Jika aku bertanya padanya 'Apa kamu pernah mengalaminya ?' Karena penasaran, dia hanya akan menyeringai. Pada dasarnya, tak peduli apapun reaksiku, akulah yang kalah. Dalam situasi seperti ini, pilihan yang terbaik adalah mengabaikannya.

“Maksudku, jika pinggulmu terasa nyeri, lalu bagaimana dengan pijatan? Aku sudah mendengarnya dari tempat Akiko-san bekerja, jadi aku bisa memberitahumu.”

“Akiko-san?”

“Ah, benar. Dia ibu tiriku, ibu dari adik tiriku.”

“Ahh, gitu ya.”

Kami sudah banyak membicarakan  gaya hidup baruku yang disebabkan oleh kedatangan saudara tiri baru, tetapi kami tidak pernah membicarakan tentang ibu tiriku. Karena Akiko-san selalu bekerja atau tidur, menjaga supaya tubuhnya tetap sehat sangatlah penting, dan setiap kali kami mendapat kesempatan untuk berbicara di ruang tamu, dia mengajariku satu atau dua hal tentang itu. Menggunakan kartu kesehatan di dek kartu percakapanku sangat berguna pada saat-saat seperti ini.

“Ada tempat shiatsu tepat di Dougenzaka… Ah, di sini. Dia tampaknya merekomendasikan yang ini.”

“Hmph, cukup rumit.”

“Benarkah? Kalau melihat peta, tampaknya tidak terlalu sulit untuk ditemukan. ”

“Aku tidak sedang membicarakan tentang bagaimana menuju ke sana. Kamu tahu kalau aku ini gadis kuliahan yang penuh dengan energy masa muda, ‘kan? Aku bukan pada usia di mana aku ingin mengandalkan panti pijat. Itu akan melukai harga diriku.”

“Kamu sadar kalau pernytaan 'penuh dengan energy masa muda' bukanlah sesuatu yang akan digunakan anak muda jaman sekarang.”

“Aku ketahuan, ya? Aku sudah lama menjaga rahasia tentang itu, tapi sebenarnya aku dikutuk untuk tetap awet muda selamanya. Aku seorang wanita tua yang tinggal di dalam tubuh gadis muda.”

“Bisa tidak kamu menghentikan ocehan omong kosong tanpa alasan?”

“Ahaha, Kouhai-kun, aku harus memanggilmu 'Raja Logika Tsukkomi yang Tajam.'”

“Nama panggilan macam apa itu? Bukannya kamu juga sama, Endless Stream of Lies Blabber-san? ”

“Hmm, 70 poin, kurasa? Aku suka bagaimana kamu menyebutkan terus-menerus berbicara tentang kebohongan layaknya gadis yang terus-menerus berbicara tentang cinta, tapi menurutku orang biasa tak akan mengerti dari mana referensinya, jadi aku harus mengurangi beberapa poin.”

Aku akan sangat menghargai jika dia tidak mulai menilai penghinaanku di tengah-tengah percakapan. Karena dia menggunakan logika sebenarnya untuk menyanggah nama julukanku, meski ini percakapan yang tidak masuk akal, itu jauh lebih menyakitkanku. Sepertinya Yomiuri-senpai, masih kurang ajar seperti biasanya, menyadari konflik internalku. Mungkin terlihat sedikit di wajahku. Dia menyeringai senang saat membuka bekal makannya.

Meski itu hampir tidak bisa menyebutnya sebagai bekal makan. Karena isinya cuma onigiri dan salad yang dibeli di toko swalayan. Aku jadi khawatir apa makanan segitu cukup untuknya, tapi lagi-lagi aku menyadari bahwa, tanpa masakan Ayase-san, aku akan memakan hal yang sama.

“Sekarang, karena kamu mulai makan, bisakah kita akhirnya memulai waktu konsultasi kita?”

“Tentu ~ Jadi apa yang mau kamu bicarakan?”

“Sebenarnya…”

Aku merasa sedikit terganggu oleh sikap Yomiuri-senpai yang anehnya terlihat songong dan percaya diri, tapi aku menahan tsukkomi-ku dan menjelaskan situasiku. Tentu saja, aku menjaga privasi Ayase-san sebanyak mungkin, dengan hati-hati memilih informasi apa yang akan dibagikan. Setelah aku menyelesaikan penjelasannya, Yomiuri-senpai kembali menyeringai padaku.

“Oho? Jadi kamu sedang mencari cara untuk meningkatkan efisiensi belajar adik perempuanmu, ya?”

“Apa Senpai punya saran? Karena kamu berhasil lulus ujian masuk universitas, kupikir kamu pasti punya semacam nasihat yang bisa kamu berikan padanya. ”

“Kamu baru saja memberitahuku bahwa kamu sedang mencari beberapa BGM, ‘kan?”

“Memang. Meski aku belum berhasil menemukan yang cocok sampai sekarang. Ada beberapa yang bagus sih, tapi tidak satupun dari mereka yang cocok untuk meningkatkan efisiensi belajar.”

“Kalau begitu aku punya rekomendasiku sendiri. Aku mencari musik yang bisa membantuku belajar juga, jadi aku pernah mencari-carinya. ”

“Ohh, dapat sesuatu yang bagus?”

“Biar aku lihat… Ah, aku menemukannya. Ini dia.” Setelah mengotak-atik ponselnya sebentar, Yomiuri-senpai menunjukkan halaman channel Youtube padaku.

Halaman sampul saluran ini, yang tampaknya menjadi langganannya, memiliki gambar bergaya Jepang. Namun, semua kata di sana adalah bahasa Inggris, jadi aku pikir channel tersebut sebenarnya tidak dioperasikan oleh orang Jepang. Ketimbang mencoba menarik minat otaku asli, sepertinya itu lebih cenderung ke subkultur, memberikan perasaan ruang yang bergaya.

“Wow. Sudah dilihat sampai sepuluh juta orang. Bahkan jumlahnya masih terus bertambah.”

“Luar biasa, ‘kan? Ada orang yang memutar ulang video tersebut beberapa kali, tapi channel mereka memiliki 30.000 orang yang terus-menerus menonton live stream 24/7 .”

“Woah, kamu benar. Belum lagi semua komentarnya dalam bahasa Inggris. ”

“Benar, tapi ini tidak terlalu populer di kalangan kita orang Jepang.”

“Masih ada genre yang belum pernah aku dengar, ya? Apa bedanya dengan musik biasa?”

“Seperti kata pepatah, Melihat langsung kalau mau percaya ... atau mendengar, dalam kasus ini.” Yomiuri-senpai tersenyum, mengeluarkan tas kecil dari tasnya yang berisi earbud nirkabel. “Ini”. Dia menyerahkannya padaku.

“Eh?” Untuk sesaat, aku membeku.

Perlu beberapa saat bagiku untuk menyadari apa arti tindakan itu. Berbagi objek dengan orang lain ada dalam variasi yang tak terhitung jumlahnya, tetapi meminta orang lain menggunakan earbud-mu sendiri mungkin adalah salah satu rintangan terbesar yang harus diatasi. Meski kami berbagi makanan dari piring besar yang sama, menggunakan kamar mandi yang sama, dan menggunakan mesin cuci yang sama, Ayase-san dan aku belum berbagi earbud kami. Yomiuri-senpai, pada bagiannya, sama sekali tidak menunjukkan keraguan atau kebimbangan, bertingkah seolah-olah kalau itu merupakan hal yang wajar.

“Semakin baik kualitas audionya, semakin memudahkanmu untuk menilai seberapa bagusnya, ‘kan?”

“Ah, ya, benar ...” Aku menyadari bahwa aku adalah satu-satunya yang secara aneh menyadari hal ini, dan mulai merasa malu.

Padahal dia tidak mencoba menggodaku tentang hal itu. Jika aku ragu-ragu lagi, aku mungkin merasa bersalah karena telah membuatnya menunggu, jadi aku menerima earbud layaknya orang primitif yang melihat api untuk pertama kalinya. Karena itu, aku akan merasa tidak enakan karena memasukkannya ke telingaku, jadi aku hanya memegangnya di depan telinga aku di mana aku masih bisa mendengarkan musiknya. Telingaku seharusnya cukup bersih, tapi aku tidak ingin mengambil risiko apa pun.

Namun, tepat setelah pikiran itu melintas di kepala aku, saat musik menyentuh gendang telingaku, hal itu pun terjadi.

“Ini yang kucari-cari ….” gumamku tanpa sadar.

Semua pikiran buruk yang ada di kepalaku lenyap dalam sekejap mata. Hal pertama yang aku dengar adalah suara hujan yang menghempas daun di pertengahan musim panas. Bersamaan dengan kebisingan lingkungan ini, aku bisa mendengar jenis musik santai yang dimainkan. Berbicara tentang kualitas suara, ada banyak sisi buruknya. Rasanya seperti aku kembali ke masa lalu di masa yang tidak pernah aku alami, dan juga bunyi yang rasanya seperti aku sedang menonton film lawas.

“Ini luar biasa. Aku tidak pernah mendengarkan musik yang seperti ini.”

“Namanya lofi hip hop.” Menutup mulutnya dengan satu tangan saat dia menelan bola nasinya, Yomiuri-senpai memberitahuku genrenya.

Seperti yang sudah diduga, aku belum pernah mendengarnya sebelumnya.

“Hip hop… jadi sesuatu seperti HEY YO?”

“Ahaha, kurang tepat.” Yomiuri-senpai terkekeh saat melihatku berpose seperti rapper.

Kurasa tebakanku salah.

“Aku pikir mereka menyebutnya 'hip hop' karena musiknya sangat bergantung pada irama. Lofi sangat berbeda dari hip hop yang biasanya kamu bayangkan. ”

“Jadi begitu rupanya.”

“Kedengarannya seperti jenis musik yang santai, tetapi efeknya cukup lama, yang membuatnya memiliki semacam efek penyembuhan saat kamu memutarnya berulang-ulang.”

“Tolong, katakan dengan bahasa yang bisa aku mengerti?”

“Intinya, ini musik yang bagus.” Dia berkata sederhana, memberiku penjelasan (?) yang tepat.

Aku adalah cowok Jepang biasa yang tidak terlalu paham dengan bahasa Inggris dan kata-kata serapannya, jadi aku menghargai ringkasan singkat seperti itu.

“Sepertinya itu genre yang populer di luar negeri. Memang sengaja menggunakan kualitas suara rendah, yang membuat hatimu rileks melalui efek nostalgia yang dimilikinya, ini bisa sangat berguna saat belajar atau mencoba untuk tidur. ”

“Ohh! Inilah yang aku cari. Kamu benar-benar tahu banyak, Yomiuri-senpai. ”

“Itu karena aku seorang wanita tua, ho ho ho.”

“Mau sampai kapan kamu akan terus menggunakan lelucon itu?”

“Sampai jadi basi.”

“Dari awal memang tidak pernah lucu.”

“Aku berbicara tentang kepuasanku sendiri. Pendapatmu tidak penting sama sekali, Kouhai-kun~”

“Memang, aku tidak bisa membantahnya.”

“Jika kamu mau menantang seseorang sehebat aku untuk berdebat, sebaiknya kamu harus bersiap-siap, Kouhai-kun.”

“…Tentu.”

Pengetahuan yang terus dia banggakan sebenarnya membuatnya terdengar seperti wanita tua, namun dia tidak mirip seperti itu sama sekali.

“Tapi bagaimana kamu bisa menemukan ini? Jika hanya populer di luar negeri, pasti sulit untuk menemukannya, ‘kan.”

“Tidak, aku tidak mencarinya sendiri kok. Tiba-tiba muncul begitu saja di rekomendasi Youtube-ku. Sejak saat itu, aku menggunakannya untuk belajar.”

“Meski komentar-komentar di samping semuanya dalam bahasa Inggris ... aku tahu kalau mereka merasaan perasaan yang hangat terhadap genre ini.”

“Kamu bisa mengetahuinya?”

“Ya, entah bagaiman itulah yang kurasakan.”

“Kouhai-kun memang luar biasa. Kamu punya insting yang tajam. Apa yang kamu katakan memang benar. Saluran ini menjadi sangat populer secara online, tau. Rasanya bikin rileks, seperti di bar.”

“Bar? Tempat yang menyajikan minuman beralkohol? ”

Tentu saja aku sensitif dengan kata-kata itu, karena ibu tiriku yang baru bekerja di tempat begitu.

“Terkadang pernah muncul di drama TV, ‘kan? Jika orang dewasa menghadapi semacam masalah atau kesulitan, mereka langsung pergi ke sana. Para bartender mendengarkan kekhawatiran dan masalah mereka di tengah suasana santai ini. ”

Aku ingin tahu apa pertemuan pertama antara Ayahku dan Akiko-san terjadi seperti itu juga? Aku hanya mendengar sedikit dari mereka berdua tentang hal itu, tapi ternyata semuanya dimulai dengan Akiko-san yang menunjukkan perhatiannya pada Ayahku yang saat itu sedang mabuk dan mencurahkan isi hatinya yang terluka. Sebuah pertemuan di tempat yang bisa menyembuhkanmu. Dan sejujurnya, pertemuan yang ditakdirkan seperti itu terdengar seperti mereka.

“Aku selalu mengaguminya, tapi ternyata tidak seromantis yang dikira.”

“Aku tidak setuju denganmu karena aku tidak minum alkohol.”

“Cih.”

“Kenapa kamu mendecakkan lidahmu?”

“Aku ingin kamu mengaku sebagai peminum ilegal dan memahami kelemahanmu karena itu lucu. Tapi kamu tidak terkecoh dengan pertanyaan jebakanku.”

“Serius, kenapa?”

Aku melihat ke arah Yomiuri-senpai, yang sedang menyedot sedotan the kotak, dan menyadari sesuatu.

“Oh iya, Senpai sudah cukup dewasa untuk minum alkohol, ‘kan?”

“Dasar kurang sopan. Apa kamu ingin mengatakan kalau aku tidak diizinkan untuk minum alkohol meski aku seorang wanita tua?”

“Maksudku, kamu mungkin berada di usia di mana meminum alkohol bisa membahayakanmu, ‘kan? Bagaimana kalau kamu menderita suatu penyakit? ”

“Hm… Lumayan, kamu jadi pendebat yang lebih baik.”

“Lagian, percuma saja mengungkit-ungkit lelucon wanita tua,itu sama sekali tidak lucu, jadi aku akan mengabaikannya.”

“Booo.” Dia mendecakkan lidahnya padaku.

Kenapa kamu ngotot  bertingkah seperti wanita tua, sih? Aku takkan berkomentar seperti 'Jangan khawatir, nanti kamu akan menjadi tua dan keriput'. Aku akan menyimpan jawaban itu untuk diriku sendiri. Mungkin untuk lain kali.

Usai mendapat rekomendasi, aku melanjutkan sendiri dan berlangganan beberapa channel hip hop lofi. Yomiuri-senpai pasti sangat menikmatinya. Dia terus menjelaskan ini dan itu dengan nada satu oktaf lebih tinggi dari biasanya, yang mana membuatku tersenyum. (TN : lofi hip hop emang enak buat menemani kalian belajar atau sekedar nyalain musik santai, mimin udah tau dari dulu sih dan kadang-kadang kalo nerjemahin sambil dengerin musik lofi hip hop juga :v)

“Hahaha…..”

“Hmmm? Kenapa kamu tertawa sambil melihat wajahku?”

“Maaf, aku bukan bermaksud menertawakan Senpai.”

Aku bukan menertawakan tingkah Yomiuri-senpai. Alasanku tertawa ialah karena aku menyadari sesuatu yang menyedihkan. Sekarang, aku memilih lagu yang dia rekomendasikan kepadaku. Aku memilih lagu yang direkomendasikan kepadaku oleh Yomiuri-senpai, yang direkomendasikan kepadanya oleh YouTube. Aku sama sekali tidak berbeda dari Narasaka-san. Aku bahkan tidak bisa membantahnya lagi. Maafkan aku, Narasaka-san. Sejak awal kamu memang benar.

Langkah kaki yang menyusuri jalanan saat pulang menuju apartemenku tidak pernah seringan ini. Mungkin karena aku punya hadiah yang sempurna untuk Ayase-san. Sejauh ini, aku tidak bisa membalas budi padanya atas makanan yang dia buat untukku, dan hubungan berat sebelah dalam hubungan timbal balik ini sudah cukup membebani hati nuraniku. Sekarang aku bisa memakan masakan Ayase-san tanpa ada beban lagi. Ketika aku membuka pintu depan, aku disambut oleh aroma yang sedap, seakan-akan disambut untuk merayakan pencapaianku yang luar biasa.

“Aku pulang, Ayase-san.”

“Selamat datang kembali, Asamura-kun.” Ayase-san mengenakan celemek di atas bajunya, sedang menghangatkan hot pot.

Belakangan ini, itu sudah menjadi pemandangan yang biasa bagiku, tetapi aku masih belum terbiasa dengan pemandangan gadis yang sebelumnya tidak pernah aku temui tiba-tiba tinggal dan memasak di rumah yang sama denganku. Sebagian diriku masih gugup, tapi lebih dari segalanya, aku merasa tidak enak karena pada dasarnya dia melakukan pekerjaanku untukku. Tentu saja, jika aku mengatakan itu padanya, dia akan membantah dan mengatakan 'Kita punya kesepakatan', atau 'Jangan cemaskan tentang itu'.

“Apa kamu masih belum makan malam, Ayase-san? Maaf jika aku membuatmu menungguku.”

“Tidak apa-apa.Lagipula, aku tadi sedang belajar.”

“Begitu ya. Aku akan mengelap mejanya, jadi tunggu sebentar.”

“Ya, terima kasih.”

Aku bukannya ingin membantunya, atau bersikap baik. Bagiku, tindakan ini merupakan hal yang wajar untuk dilakukan, dan Ayase-san tidak memaksa melakukannya sendiri, jadi dia hanya mengucapkan kata terima kasih. Aku pikir, jika kita tidak mengerjakan ini bersama-sama, kita tidak akan memiliki keseimbangan yang sama di antara kita berdua, dan Ayase-san sepertinya telah memahami pemikirkanku, itulah sebabnya kami tidak bercakap-cakap lebih lanjut.

Setelah mampir ke kamarku untuk meletakkan barang-barang dan mencuci tangan dengan bersih, aku kemudian kembali lagi ke ruang tamu.

“Dua mangkuk nasi, mangkuk biasa, dan piring besar, kurasa?”

“Tidak perlu menggunakan piring besar. Sedangkan untuk mangkuk biasa, aku perlu yang cukup besar untuk memuat udon, bukan hanya sup miso. ”

“Baiklah. Artinya kita akan makan sup miso babi?”

“Lebih tepatnya itu motsunabe.” (TN : Rebusan hot pot dibuat dengan jeroan, sayuran dan (sering kali) miso)

“Wow, kamu bisa membuat sesuatu seperti itu? Rasanya tidak terlihat seperti hidangan musim panas.”

“Aku pernah mendengar kalau hidangan ini ampuh melawan kelelahan musim panas. Kamu pasti merasa lelah karena pekerjaanmu, jadi aku pikir ini bisa menyembuhkan kelelahanmu. ”

“Motsunabe selama musim panas, ya? Baunya enak. Aku sudah merasa lapar.”

“Baik. Aku akan membawakan hot potnya, jadi bisakah kamu mengurus nasinya?”

“Tentu.”

Aku menyerahkan dua mangkuk udon kepada Ayase-san dan mulai memasukkan nasi dari penanak nasi ke dalam mangkuk nasi. Selama waktu itu, aroma kecap yang berbeda memenuhi ruangan, dan itu membuatku semakin lapar. Ayase-san selalu menjadi koki yang hebat, tapi berkat dia melakukannya setiap hari, aku merasa dia menjadi lebih baik. Setelah kami selesai mengatur meja, kami duduk berhadapan satu sama lain dan bertepuk tangan.

“Ittadakimasu.”

“Ittadakimasu.”

Meskipun kami tidak meniatinya, suara kami saling tumpang tindih. Ini mungkin cuma imajinasiku saja, tapi kami cenderung sering tumpang tindih dengan gerakan semacam ini akhir-akhir ini. Entah aku yang dipengaruhi olehnya, atau dia yang dipengaruhi olehku. Aku tidak tahu bagaimana, tapi itu terjadi begitu saja. Sementara aku merenungkan pengaruh gaya hidup kami bersama, aku menyendok sedikit motsunabe dan membawanya ke mulutku.

“Ah, enaknya. Rasanya manis dan lembut.”

“Begitu. Aku senang mendengarnya. Ini hidangan ala Hakata, jadi aku khawatir rasanya akan sedikit terlalu kaya dan kental, tapi kurasa kelihatannya itu akan baik-baik saja. ” Ayase-san tersenyum lega.

Aku juga tidak hanya bersikap sopan. Rasa yang memenuhi mulutku benar-benar sesuai dengan kesukaanku. Jika Ayahku memakan ini, mungkin akan membebani perutnya, tapi karena Ia memberitahu kami kalau Ia makan malam di luar, jadi tidak perlu mengkhawatirkan tentang itu. Ayase-san mungkin mengingat hal itu ketika dia membuat menu ini.

“Kamu menyesuaikannya dengan seleraku, ‘kan? Terima kasih.”

“…… Yah, lumayan. Setelah mendengar kesanmu setiap hari, hal itu secara alami menjadi caraku untuk merujuk berbagai hal.”

“Aku merasa tidak enakan karena memaksamu membuatkan makanan untukku ... setidaknya itulah yang akan aku katakan kemarin.”

“Eh?”

Ketika aku berbicara dengan penuh percaya diri, Ayase-san merespon dengan ekspresi kebingungan. Aku menyalakan aplikasi YouTube di smartphone-ku dan mencari channel dari channel lofi hip hop yang sudah aku jadikan langganan sebelumnya. Dari sana, aku mengetuk streaming langsung 24/7 yang bertuliskan “radio”. Musik yang tenang dan menenangkan mulai terdengar. Musik yang sangat berbeda dari genre kuat dan energik. Sebaliknya, itu adalah jenis musik yang menyelimutimu dalam rasa rasionalitas, seakan-akan ditelan oleh hal-hal biasa. Rasanya seperti tiba-tiba aku dipindahkan ke dalam hutan belantara yang dalam, jauh dari hiruk pikuk peradaban.

Ayase-san pasti setuju dengan kesanku sampai batasan tertentu. Matanya terpaku pada smartphone-ku dan terbuka lebar seperti lensa kamera saat pemotretan.

“Ini …”

“Dengarkan saja dulu.”

“Ah, ya.” Ayase-san dengan lembut memejamkan matanya.

Waktu berlalu dengan perlahan saat kami berdua mendengarkan musik. Ayase-san menghela nafas dengan nada terkagum.

“Ini bagus. Genre apa ini? Ini jauh berbeda dari musik tenang biasa.”

“Ini disebut lofi hip hop. Kupikir ini bisa menjadi musik yang bagus untuk didengarkan saat kamu belajar.”

“Ah. Begitu, itulah sebabnya.” Dia membuat ekspresi seolah-olah menyelesaikan teka-teki di dalam kepalanya.

Rupanya dia tahu mengapa aku tiba-tiba mulai bermain musik meski kami sedang menyantap makan malam.

“Ini pertama kalinya aku mendengar genre itu. Aku terkejut kamu bisa mengetahuinya, Asamura-kun.”

“Aku baru mempelajarinya hari ini. Senpai di tempat kerja yang memberitahuku tentang itu.”

“Ah, orang itu, ‘kan? Gadis sastra Onee-san. ”

Oh iya, sepertinya kita pernah membicarakan Yomiuri-senpai bulan lalu. Aku masih ingat Ayase-san menggodaku bahwa dia terdengar sangat mirip denganku. Maksudku, kami berdua suka membaca buku, jadi itu masuk akal. Tapi meladeni sikap jahilnya yang biasa setiap hari terdengar cukup sulit bagiku. Aku yakin kalau di matanya, aku hanyalah seseorang yang bisa dia goda dan menjadi dirinya sendiri, tapi aku ragu apakah aku bisa menjadi kandidat pacar. Belum lagi aku bahkan belum pernah mendengar dia berbicara tentang seleranya pada cowok, jadi mana mungkin aku bisa menilai itu.

“Emang. Tidak berlebihan untuk mengatakan kalau dia punya banyak informasi di hampir setiap bidang.”

“Kamu cukup dekat dengannya, ya?”

“Shift kita sering berbarengan, tapi itu tentang… Ayase-san?” Aku merasa ada yang tidak beres, jadi aku berhenti di tengah kalimat.

Meski kami saling memandang dan bertatap muka, tapi untuk sesaat, rasanya seperti dia mengalihkan pandangannya.

“……Hah, apa?” Setelah jeda waktu sesaat, dia mulai bereaksi.

“Apa kamu baik-baik saja? Kamu sepertinya melamun sedikit. Kamu tidak berlebihan dengan belajarmu, kan?”

“Ah, tidak, aku baik-baik saja. Aku cuma terpesona oleh musiknya.”

Memang benar musik lofi hip hop masih dimainkan, tapi apa cuma itu saja? Aku tahu kalau Ayase-san cenderung bereaksi berlebihan, jadi mau tidak mau aku mulai khawatir. Namun, jika itu hanya ketakutan yang tidak berdasar, maka, aku menghargainya.

“Yomiuri-senpai, ‘kan? Jadi, dia punya selera bagus dalam musik juga ya, bukan hanya buku. ”

“Dia memang punya banyak pengalaman sebagai mahasiswa. Aku bahkan tidak tahu seberapa dalam pengetahuannya.”

“Keren.”

“Tapi, kepribadiannya yang sebenarnya adalah kebalikan dari itu.”

Jika pun ada, kata 'keren' lebih cocok untuk Ayase-san. Yomiuri-senpai lebih merupakan orang idiot, atau orang yang humoris, sesuatu seperti itu. Saat aku mengklarifikasi hal itu, Ayase-san terkekeh.

“Dia sepertinya orang yang menarik.”

“Kalau itu, aku bisa menjaminnya.”

Sayang sekali aku mungkin tidak mendapat kesempatan untuk memperkenalkan Yomiuri-senpai dalam waktu dekat. Karena kami tidak pernah pergi keluar di waktu privat, aku tidak bisa begitu saja mengundangnya ke rumah kami seperti Narasaka-san yang mengunjungi kami sebelumnya. Sungguh memalukan. Dengan pemikiran ini, aku menyadari bahwa Ayase-san mengarahkan layar smartphone-nya ke arahku.

“Aku langsung berlangganan.”

“Kamu benar. Itu keputusan yang cepat.”

“Aku adalah tipe orang yang percaya pada instingnya. Aku yakin lofi hip hop ini akan menjadi BGM terbaik untuk belajar.”

“Jika tidak membantu sama sekali, Kamu bisa berhenti kapan saja.”

“Aku tahu. Aku tidak akan mendengarkannya hanya karena kamu merekomendasikannya. Aku akan mencobanya, dan jika berhasil, aku akan meneruskannya.”

“Bagus. Sikap itu juga membantuku.”

Bersikap jujur ​​dan terus terang ​​merupakan jarak terbaik yang bisa aku minta. Jika hubungan kami terlalu tebal, itu akan menjadi beban, jadi di satu sisi, motsunabe ini bisa menjadi alegori yang sempurna untuk itu. Dan lagi, jika aku mengatakan itu dengan lantang, aku akan mendapatkan lebih banyak poin yang dihapus oleh Yomiuri-senpai untuk metaforaku.

Orang yang pertama selesai makan adalah Ayase-san. Dia pasti berusaha mencuri-curi waktu sebanyak mungkin untuk belajar. Dia memakan bagiannya dengan cara yang agak cepat, menyingkirkan piringnya setelah dia berdiri dengan membawa smartphone-nya.

“Aku akan mencobanya malam ini. Terima kasih atas tipsnya, Asamura-kun. ”

“Jangan dipikirkan. Selain itu, aku akan mengurus piringnya, jadi kamu bisa menaruhnya di wastafel. ”

“Makasih banyak, aku menghargainya.” Dia membawa mangkuk nasi yang kosong dan mangkuk lainnya ke dapur, menaruhnya di wastafel, dan kemudian menuju ke kamarnya.

Aku harap hal ini bisa sedikit membantu meningkatkan efisiensi belajarnya. Dengan pemikiran itu, aku menghabiskan sisa makanan yang ada di mangkuk nasiku.

—Berusahalah yang terbaik, Ayase-san.

 

 

<<=Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya=>>

 

close

2 Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

  1. kesimpulin dari chapter ini kalo mau belajar/lagi nyantai mending nyesel lofi hip hop thanks tipsnya

    BalasHapus
  2. Chapter kali ini panjang bet..... Tapi gpp

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama