Gimai Seikatsu Vol.2 Chapter 04 Bahasa Indonesia

Chapter 4 — 19 Juli (Minggu)

 

Tepat setelah bangun tidur, aku melirik jam yang ada di sebelah bantalku: jam 7:30 pagi. Syukurlah. Meski sekarang waktunya masih cukup pagi untuk bangun pada hari Minggu, tapi aku dengan tegas bangun. Aku memang pergi tidur lebih lambat dari biasanya kemarin, tapi kepalaku terasa segar dan jernih, jadi pasti tidurku sangat nyenyak.

Ketika aku pergi ke ruang tamu, Ayahku dan Akiko-san tidak ada. Mereka sepertinya masih tidur. Namun, seperti yang aku perkirakan, Ayase-san sudah bangun. Dia telah menyegarkan dirinya, sama sekali tidak menunjukkan kelemahan atau celah bahkan di rumah. Dia mengenakan pullover kain tipis di atas baju tanpa bahu.

“Selamat pagi, Ayase-san.”

“Pagi juga, Asamura-kun.”

Ayase-san segera berdiri setelah bertukar salam. Ketika dia melakukannya, aku bisa melihat pita yang terbuat dari kain yang mirip dengan pullover-nya tepat di atas pinggangnya, dengan hot pants merah di bawah.

“Ah, aku bisa mengurusnya sendiri. Kamu sudah selesai makan, ‘kan? ”

Aku merasa tidak enakan jika Ayase-san mengurus sarapanku ketika dia sudah duduk di atas meja dengan kopi, itulah sebabnya aku memintanya untuk tetap duduk.

“Tapi aku baru saja menyelesaikan milikku. Yang ini milikmu, Asamura-kun. ” Dia menunjuk ke makanan di atas meja.

“Aku hanya perlu memanaskannya, ‘kan?” Aku pergi untuk membawa mangkuk sup yang ditunjuk Ayase-san ke microwave, lalu berhenti di tengah jalan.

Apa aku perlu menghangatkannya? Atau memakannya selagi dingin? Aku mulai merenungkan pertanyaan itu, karena aku merasakan rasa dingin yang lembut dari mangkuk sup yang encer.

“Langsung memakannya juga tidak masalah. Memakannya selagi dingin justru tambah enak. Aku sebenarnya baru saja mengeluarkannya dari lemari es.”

Dia pasti mendengarku bangun dan menyiapkannya untukku. Seperti biasa, dia selalu memperhatikan hal-hal terkecil. Saat aku melihat apa yang ada di dalam mangkuk sup, aku bisa melihat sup kental berwarna kuning.

“Sup jenis apa ini?”

“Labu.”

“… Bukannya musim labu baru ada di antara musim panas dan musim gugur? Jadi kamu sudah bisa mendapatkannya, ya? ”

“Benarkah?”

“Ya, aku ingat pernah membaca kalau petani memanennya di musim panas dan memakannya selama musim gugur. Setelah dipanen, warnanya masih manis, jadi kamu membiarkannya sedikit menua. Pada hari Halloween, kamu menggantung lentera labu dan menunggu Labu Besar tiba.”

“Apa-apaan itu?”

“Apa kamu tidak tahu 'Peanuts'? Snoopy? Charlie Brown?”

“Ah, Linus dengan selimut keamanan.” [TN : Nama sebenarnya adalah Linus van Pelt, salah satu karakter dari komik strip harian yang berjudul “Peanuts” buatan Charles M. Shulz, info lebih lanjut bisa cek ke wiki]

“Kenapa hal itu yang menjadi pertama terlintas dalam pikiranmu?”

Linus, teman Charlie Brown, selalu membawa selimut bersamanya. Mereka menyebutnya 'sindrom selimut' atau semacamnya, tapi pada akhirnya, setiap orang memiliki sesuatu dalam hidup mereka yang tidak dapat mereka lepaskan, menurutku. Beberapa orang mungkin menyimpan sampah yang tidak berharga seperti harta yang tak tergantikan. Aku yakin bahkan Ayase-san memiliki sesuatu yang dia hargai seperti itu. Jika orang dewasa berpikir kalau itu sampah dan membuangnya, keterikatan itu akan semakin kuat. Ekspresi marah ibuku tiba-tiba muncul di benakku, tapi aku menggelengkan kepala dan membebaskan diriku dari pikiran itu.

“… Yah, apapun musimnya, kamu bisa memakan sayur-mayur sepanjang tahun. Aku hanya sedikit terkejut melihat sup labu yang begitu indah.”

Tampilannya tampak seperti sake suci. Warnanya samar, hampir transparan.

“Aku memanaskan labu dan beberapa bawang, menambahkan susu dan krim mentah, dan memasukkannya ke dalam food processor.” Ayase-san melihat kalau aku tertarik dan menjelaskan resepnya kepadaku.

Tentu saja, hanya karena aku sedikit tertarik bukan berarti aku akan mulai menikmati membuat makanan sendiri. Bahkan jika gaya hidup bento-ku tidak berubah, itu mungkin bisa berguna di suatu tempat di masa mendatang. Aku mengingat-ingat resep tersebut saat aku memasukkan sedikit roti ke dalam pemanggang roti.

“Jarang sekali kamu memasukkan dua potong ke dalam ... Ah, maaf sudah mengungkit itu.”

“Baik kamu dan Akiko-san selalu memikirkan sampai terperinci, bukan hanya tentang makanan, jadi aku tidak akan pernah menganggapnya seperti itu.” Aku menjawab, yang menyebabkan Ayase-san membuat ekspresi yang agak tidak nyaman.

Ayase-san mungkin tidak melupakan preferensi orang lain, tetapi semua orang tidaklah sama. Hal itu terkadang berlaku juga pada pertemanan. Kamu tidak bertindak seperti itu karena kamu ingin orang lain menyukaimu, tetapi karena kamu menghargai orang lain. Meski dia hanya menghargaiku sebagai anak dari orang yang dinikahi ibunya, aku rasa itu sama sekali tidak mengganggu.

“Aku hanya ingin menanyakan itu.” Dia bergumam dengan suara pelan.

Apa itu cuma imajinasiku, atau dia barusan memang bertingkah sedikit malu-malu? Jika kamu hanya melihat adegan itu sendiri, sepertinya sesuatu dari LN atau anime, tetapi kenyataannya tidak semanis itu. Jika kamu salah mengira reaksi dari seseorang yang dekat denganmu sebagai pemalu atau baik hati, kamu mungkin mengalami ketidakberuntungan atau bahkan kemalangan dari kesalahpahaman sepihak ini.

Sedangkan bagiku, aku selalu berhati-hati agar tidak salah paham dari tingkah laku Ayase-san. Aku pasti tak akan salah paham. Namun, aku tahu kalau itu tak bisa disalahi jika beberapa orang salah membaca situasi ini. Realitas bukanlah anime atau manga. Namun jika kamu mengalami situasi yang mirip dengan adegan yang pernah kamu tonton atau baca sebelumnya, Kamu bisa saja salah paham. Ini adalah kebiasaan yang tidak menguntungkan yang dimiliki semua manusia. Bahkan aku terkesiap sesaat ketika Yomiuri-senpai membuat lelucon tentang masa hidupnya. Serangan mendadak yang begitu memang yang terburuk dari semuanya.

“Jadi, tentang irisan roti panggang. Aku bekerja sepanjang hari kemarin, jadi aku lumayan lapar. Aku hanya makan sepotong roti kemarin, jadi perutku keroncongan sampai istirahat. ” Ucapku dengan suara santai saat duduk di kursi.

“Kerja bagus di pekerjaanmu.”

“Terima kasih.”

Berkat percakapan yang dibesar-besarkan ini, suasana kaku yang menyelimuti kami perlahan-lahan kembali normal, sedatar biasanya. Aku rasa ini adalah sesuatu yang dilakukan orang untuk menghilangkan suasana yang canggung.

Bersamaan dengan dua potong roti bakar dan sup labu, sebuah mangkuk besar dengan salad ayam di dalamnya berdiri di tengah meja. Sinar mentari pagi yang masuk dari jendela menyebabkan mangkuk bersinar dengan warna hijau.

“Kamu boleh memilih isian salad yang kamu suka.”

“Makasih.”

Ayase-san kembali menaruh perhatiannya ke smartphone sembari menyeruput kopi. Karena dia tidak mendengarkan apapun di earbud-nya, dia pasti sedang mencari-cari sesuatu. Ngomong-ngomong, aku akan mencoba sup labunya dulu.

Aku menyendok sedikit sup labunya dan mencicipi. Aku bisa mencium sedikit aromanya saat membawanya ke mulutku, tapi begitu sampai di lidahku, rasa labunya menjadi lebih jelas. Labu rebus biasanya terasa cukup lembut, tapi berkat mesin food processor, rasanya hampir berubah menjadi smoothie. Meski manis, rasanya sangat pas di lidah. Memakannya dalam keadaan dingin memang pilihan yang tepat. Aku selalu berpikir kalau yang namanya sup perlu dimakan dalam keadaan hangat.

“Asamura-kun.”

Saat aku menikmati lezatnya salad ayam, Ayase-san tiba-tiba memanggil. Aku lalu menatapnya.

“Kamu meletakkan selimut di atasku tadi malam, ‘kan?”

“Ah, yah…”

Jika aku menjawab dengan jujur, dia akan mengetahui kalau aku melihat wajahnya yang terlelap. Tapi aku sadar kalau terlalu bertele-tele hanya akan memperburuk keadaan. Bulan lalu aku kebetulan melihat pakaian dalam Ayase-san yang sedang dikeringkan di kamarnya, dan hal itu menyebabkanku berkeringat dingin karena panik. Oleh karena itu, mengatakan 'yah, iya', akan sedikit terlalu jujur. Jawaban tersebut membuatnya terdengar seperti aku menyembunyikan sesuatu.

“Sudah kuduga.”

“Aku tahu kalau kamu sangat ingin menghindari kelas tambahan, tapi merusak kesehatanmu demi ujian juga bukan menjadi pilihan, tahu?”

“Benar. Ya ……makasih.”

“Kamu tidak perlu berterima kasih padaku.”

Jika dia mulai berterima kasih kepadaku, aku jadi merasa perlu berterima kasih padanya karena selalu membuatkan makanan untukku. Tentu saja, aku sempat mengusulkan kalau aku harus membantunya, tapi Ayase-san menolak tawaranku. Dia harus melakukan keduanya, atau dia tidak keberatan melakukan keduanya. Ini sangat membantu, tapi bisakah dia benar-benar menjaga keseimbangan kegiatannya? Dia bilang kalau dia suka menjadi pihak yang memberi ketimbang menerima. Aku tahu itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Aku benar-benar perlu mencari metode lain untuk meningkatkan efisiensi belajarnya selain musik.

“Aku dengar kemarin kamu pergi menonton film, ya?”

Pertanyaan mendadak Ayase-san hampir membuatku tersedak.

“Um… Yah, aku menonton film tengah malam karena batas pemutarannya berakhir di pekan ini. Dari mana kamu mendengar hal itu?”

“Taichi-san sepertinya sangat senang. Saat makan malam Ia sampai bilang begini: 'Ini baru pertama kalinya Yuuta bermain di luar sampai malam! Aku sangat khawatir karena Ia terlalu rajin dan penurut, dan sejujurnya Ia agak membosankan, tapi kurasa Ia sudah dewasa sekarang! ', Dan semacamnya ...”

“Apa! Ia sampai bilang begitu!”

Dan, bagaimana mungkin kamu bisa mengingat semua perkataannya itu? Bagaimana mungkin ingatanmu sehebat itu?

“Kamu bersama Senpai yang dari tempat kerja, ‘kan?”

“Itu benar, tapi kami bukannya main-main atau semacamnya. Kami cuma ingin menonton film yang sama. Dan, kalau Senpai tidak memberitahuku tentang itu, aku bahkan tidak pernah kepikiran untuk menontonnya di jam larut malam.”

“Hmm.”

“Pernah mendengar novel ‘Azure Night’s Interval ’?”

“Ah.” Ayase-san balas mengangguk. “Aku pernah mendengarnya. Aku merasa seperti pernah melihat iklan untuk film tersebut.”

“Aku terkesan kamu bisa tahu, meski tidak banyak menonton TV.”

“Iklannya pernuh muncul di internet.”

Kali ini, akulah yang mengangguk. Iklan dan pengumuman harus ditampilkan di tempat yang dapat dilihat oleh sebagian besar orang. Meski generasi kami tidak banyak menonton TV, tapi kami sering menggunakan internet. Dalam hal ini, pihak media tinggal meletakkannya di seluruh media internet.

“Bagaimana itu?” Ayase-san bertanya.

Aku kira dia menanyakan kesanku tentang film itu?

“Ehhh… Yah, filmnya tidak terlalu buruk.” Aku memberitahu Ayase-san apa yang aku ingat.

Materi sumbernya berasal dari novel sastra ringan, yang mengisahkan tentang percintaan antara cowok SMA dan seorang gadis yang bertemu satu sama lain. Ada bagian komedinya juga dari cerita ini, tapi akhirnya menjadi sedikit lebih serius, dan alur cerita terakhir masih membekas di kepalaku.

“Ada seorang gadis yang hanya bisa ditemui protagonis seminggu sekali pada tengah malam di taman umum. Dia sebenarnya murid dari SMA yang sama dengan protagonis, tapi setiap kali mereka bertemu di siang hari, dia bersikap seolah-olah mereka tidak saling mengenal. Mereka hanya bisa bertemu di tengah malam, dan si gadis bertingkah seperti orang yang sama sekali berbeda. Semakin sering mereka bertemu, mereka semakin tertarik satu sama lain. Dan kemudian, suatu malam, si gadis memberitahu—” Aku berhenti sejenak untuk menekankan efek dramatis. “Aku hanya punya setengah tahun lagi untuk hidup'.”

Ayase-san menahan nafasnya. Ya, itu kejutan yang cukup besar. Maksudku, aku juga bereaksi sama saat Yomiuri-senpai memberitahuku itu.

“Klimaksnya mulai dari titik situ, tapi aku tidak ingin terlalu banyak memberi spoiler, jadi aku akan berhenti di sini saja.”

Aku bukanlah Maru atau semacamnya, tapi aku cenderung terus mengoceh tentang sesuatu jika aku sedang dalam mood. Itu menunjukkan seberapa “lumayan”-nya film tersebut, tapi sebenarnya meninggalkan kesan yang mendalam bagiku. Ini juga menunjukkan bahwa aku sudah berpikir untuk membeli novelnya nanti.

“Terima kasih. Kedengarannya menarik. ”

“Iya, ‘kan? Jika bukan karena ujian susulanmu, aku akan menyarankan untuk menontonnya hari ini.”

“Setelah ujian selesai.”

“Baiklah.”

“Jika ada sumber materinya, aku mungkin akan membacanya saja. Karena aku ingin membantu nilai Jepang Modern-ku, aku juga perlu membaca lebih banyak buku. ”

“Menurutku novel ringan tak akan muncul dalam ujian.”

Aku tidak terlalu tahu apakah novel ringan secara teknis adalah LN atau sastra ringan.

“Aku tidak pernah benar-benar membaca novel atau manga. Mungkin ada sesuatu yang bisa aku pelajari dari mereka.”

“Mungkin.”

Namun, tegasnya, Ayase-san tidak buruk dalam memahami isi sastra. Dia hanya kesulitan menangani karya yang menggambarkan emosi selain emosinya sendiri. Jika seseorang mencintai orang lain namun tetap menghina mereka, atau jika mereka berteriak untuk membunuh orang lain ketimbang perasaan asli mereka, dia mungkin akan kebingungan. Saat aku memberitahunya tentang itu, dia tampak sedikit terganggu.

“Mereka seharusnya jujur ​​mengenai hal-hal seperti itu.”

“Sifat setiap orang berbeda-beda. Karena itulah yang namanya drama lahir.”

Jika dua orang yang jatuh cinta satu sama lain dapat mengungkapkan perasaan mereka dengan jujur, ceritanya akan berakhir. Tentu ada banyak cerita yang seperti itu. Perbedaan terjadi jika orang tidak menyesuaikan diri dengan orang lain. Baik tragedi maupun komedi lahir dari sini. Kisah cinta yang dramatis menggunakan kesalahpahaman dan ketidaksesuaian untuk memajukan plotnya.

“Aku sama sekali tidak mengerti.”

“Itulah mengapa aku pikir kita harus membiarkannya sebagai kotak hitam, dan hanya fokus pada beberapa ovel yang bisa muncul dalam ujian, serta menghubungkan informasi untuk itu. Ngomong-ngomong, apa kamu merasa sedang membuat kemajuan?”

“Aku sudah mengerjakan pertanyaan uji coba, tapi aku merasa mendapatkan lebih banyak poin daripada sebelumnya. Sepertinya apa yang kamu katakan itu benar, Asamura-kun. Jika aku hanya mengingat latar belakang sejarah dan kaitannya dengan karya tersebut, aku merasa dapat menjawab banyak pertanyaan.”

“Karena ini adalah ujian.” Aku merasakan dorongan untuk menekankan hal itu.

“Apa maksudmu?”

“Karena kita sedang mengerjakan ujian, tidak ada pertanyaan atau masalah yang tidak bisa dijawab. Ayase-san, apa kamu pernah mendengar istilah 'open ending'? ”

“Seperti kesimpulan terbuka?”

“Namanya sedikit berbeda, tapi ya mirip seperti itu.”

Dan lagi, dia harus menanggapi ini dengan serius. Apakah itu sebabnya kedengarannya sangat aneh? Aku ragu Ayase-san sedang berpura-pura.

“Itu sering terjadi di film. Film berakhir tanpa mengetahui apa yang terjadi pada protagonisnya. Pada dasarnya, kesimpulan akhir film tersebut diserahkan pada imajinasi para penonton.”

“Aku benci itu. Itu mungkin membuatku stres.”

“Aku pikir kamu akan mengatakan itu. Bagaimanapun juga, intinya adalah hal yang begitu tak akan terjadi dalam ujian.”

Dan ini tidak terbatas pada open ending saja. Ada banyak karya lain di mana penulis tidak menjelaskan semuanya secara detail, dan justru menyerahkannya pada interpretasi pembaca. Aku bisa membuat banyak daftar contoh tentang ini. Namun, hal ini juga tidak muncul dalam ujian. Bagaimanapun, kamu tidak dapat menilai pendapat seseorang tentang sesuatu, terutama jika pendapat itu berbeda dari orang ke orang.

“Itu masuk akal.”

“Memang, itulah sebabnya mereka akan mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang pengalaman pembaca tidak akan berbeda… setidaknya tidak sampai pada tingkat yang dapat memengaruhi nilaimu. Seorang guru sekolah les terkenal pernah berkata 'Tidak ada soal di mana kamu tidak dapat memilih pada pertanyaan pilihan ganda'. ”

Tentunya selain pertanyaan di mana kreativitas, orisinalitas, atau pengetahuanmu tentang suatu topik sedang diuji.

“Ini sedikit blak-blakan, tapi masuk akal.”

“Benar, ‘kan?”

Namun, harus kuakui kalau sesekali membuatnya samar merupakan salah satu dari beberapa hal yang membuat buku begitu menawan. Dalam kasus seperti itu, kurangnya kejelasan akan merangsang imajinasimu. Aku mungkin lebih suka hubungan datar yang menghilangkan dugaan dalam kehidupan nyata, tapi aku bisa mendapatkan lebih banyak sudut pandang mengenai berbagai hal dengan membaca buku dan meningkatkan pengetahuanku. Tidak hanya membuatku bebas dari pemikiran sempit, membaca buku juga dapat melatih imajinasi dan kreativitasku serta memperluas wawasanku. Itulah sebabnya aku tidak ingin Ayase-san membaca buku semata-mata karena haus akan pengetahuan… Meski aku tidak akan benar-benar mengeluh jika dia melakukannya.

“Jadi, apa kamu pacaran dengan Yomiuri-senpai?”

Aku hampir menyemburkan kopiku. Apa yang kamu maksud dengan itu, huh? Saat menyadari kalau dia sedang menatapku, tanpa sadar aku berdiri tegak dan menjawab seolah-olah aku adalah terdakwa yang sedang diinterogasi oleh jaksa penuntut umum.

“Hubungan kami bukan seperti itu, kok.”

“Benarkah?”

“Serius. Dia cuma Senpai dari tempat kerja.”

“Hmmm.”

“Dia suka membaca buku, itulah sebabnya kami bisa dekat. Cuma itu saja.”

“Kamu banyak membaca buku juga, ‘kan? Perbedaan itu cukup signifikan, aku rasa… Begitu ya. Aku juga harus membaca buku… Aku mungkin harus pergi berbelanja. ” gumam Ayase-san, lalu tiba-tiba menghentikan dirinya, meraba-raba kata-katanya. “Penekanan besar pada 'kekuatan'.”

“Aku sangat senang melihat kelahiran pecinta buku yang lain. Tapi ujianmu lebih penting sekarang.”

“Hah? Ah, ya… Kamu benar. ” Ayase-san terdengar agak gelagapan, dan dia mengarahkan pandangannya ke layar smartphone lagi.

Dia meletakkan earbud di telinganya dan membuka catatannya, menandakan kalau dia telah masuk ke mode belajar. Aku membersihkan diri setelah selesai makan sarapan, mencuci piring, dan kemudian kembali ke kamarku. Aku ada shift kerja penuh lagi mulai sekitar siang hari ini. Karena aku langsung tidur setelah pulang kemarin, aku harus menyelesaikan PR-ku. Karena besok adalah batas waktu untuk pengumpulan PR tersebut, aku sedikit panik. Aku menjadi sangat fokus sehingga aku mengerjakannya sampai alarm smartphone-ku berdering. Berkat itu, aku sekali lagi tidak sempat makan siang.

Saat melangkah keluar dari apartemen ber-AC, sengatan panas musim panas menerpaku layaknya ombak yang menggulung. Aku terpaksa berkedip beberapa kali karena sinar matahari yang kuat menerpa wajahku. Sepertinya sang Surya kita benar-benar termotivasi hari ini. Aku bahkan bisa mencium bau samar aspal hangus. Meski belum siang, suhunya sudah melewati 30°C. Ini sudah 3 hari berturut-turut di pertengahan musim panas.

Terlepas dari kenyataan kalau sekarang adalah hari Minggu, ada banyak orang berkumpul di depan stasiun kereta Shibuya. Entah bagaimana aku berhasil melewati area sana, dan tiba di toko. Aku mengganti seragamku di ruang belakang, dan melangkah ke depan. Hari ini, giliran kerjaku sampai jam 9 malam.

“Yo, Kouhai-kun.”

Saat aku memasuki area toko, Yomiuri-senpai mulai memanggilku. Dia bertingkah sama seperti biasanya, seolah-olah kejadian yang tadi malam tidak pernah terjadi. Tentu saja, hal itu membuatku lebih mudah, dan sangat bersyukur karenanya. Dia pasti pandai membaca suasana.

“Halo Senpai. Apa kamu sedang menyetok rilisan baru?”

“Betul sekali. Bisakah kamu membantuku?”

“Tentu saja.”

Yomiuri-senpai sedang mendorong troli dengan kotak karton di depannya. Saat mengintip isinya, aku bisa melihat beberapa majalah yang berat di sana. Untungnya, aku bisa menghindari mesin kasir hari ini, jadi sebagai gantinya, aku fokus mengisi area kosong di rak buku dan mengatur rak-rak lainnya. Jika aku punya waktu luang, aku akan memperbaiki cover yang bengkok juga, atau memasukkan barang yang dikembalikan ke dalam kotak karton. Saat kamu bekerja di toko buku, selalu ada saja tugas kecil yang dilakukan.

Tentu saja, aku tidak dapat memberitahu pihak toko untuk memesan buku apa pun untukku, tapi aku dapat memberitahu Yomiuri-senpai tentangnya, dan dia dapat merekomendasikannya sebagai penggantiku.

“Majalah wanita, ya ... Sepertinya sulit untuk bulan ini.”

“Benar. Mungkin ini masuk ke dalam daftar 3 buku teratas yang merepotkan untuk ditangani.”

“Oh ya, bagian ekstra-nya memang gila.”

Untuk majalah yang menargetkan wanita atau ibu rumah tangga, selalu ada bagian ekstra tak terbatas yang ditambahkan ke jilid tersebut. Berkat itu, majalah wanita selalu tebal dan berat. Ekstra ini sering kali berisi tas ramah lingkungan, sampel riasan, atau bahkan kantong bergaya. Kapan pun kami memiliki ekstra besar ini, kami harus memastikan bahwa mereka tidak tercecer kemana-mana.

Demi mengantisipasi itu, kami biasanya mengikat bagian ekstra dengan tali atau selotip, atau menggunakan karet gelang. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangannya sendiri. Menyatukannya dengan tali atau selotip selalu merupakan cara yang aman untuk menyatukannya, tapi jika menggunakannya terlalu banyak, hal itu dapat merusak majalah dalam prosesnya. Karet gelang mudah dipasang atau dilepas, tetapi jika seseorang membeli majalah tanpa mendapat bagian ekstra, si pembeli pasti akan mengeluh.

Tentu saja, Kamu dapat menyatukannya dalam bungkus plastik yang sama, tapi menyegel majalah yang sudah tebal bersama dengan ekstra adalah sesuatu yang hampir tidak dapat dilakukan oleh toko buku mana pun. Setidaknya, aku ragu biaya untuk melakukannya membuatnya sangat berharga.

“Aku berharap mereka setidaknya membuatnya berukuran sama dengan majalah itu sendiri. Penerbit benar-benar tidak peduli betapa sulitnya menumpuk majalan ini. Kouhai-kun, pegang ini.”

“Wow! Jangan sembarangan melemparkannya kepadaku. … Wow, ini benar-benar sangat tidak seimbang.”

“Iya, ‘kan?.”

Kali ini, mereka menambahkan kotak kertas kecil dengan ukuran yang sama dengan majalah, yang mengimbangi bobot dari majalah lain.

“Kira-kira apa isi dari kotak ini?”

“Semacam kotak harta karun.”

“Hah?”

Saat aku melihat sampul majalahnya, dikatakan ada sesuatu mirip semacam aksesori di dalam kotak itu. Mereka tak akan memasukkan perhiasan asli ke dalam bagian ekstra majalah, namun sampulnya membuatnya tampak seperti sesuatu yang mewah.

“Bukannya ini… iklan palsu?”

“Seharusnya sih tidak ada masalah. ‘Kan diiklannya bilang 'sesuatu seperti kotak harta karun'.

“Tapi ...” Aku masih merasa ragu.

“Kotak luarnya cukup besar, tapi bagian dalamnya mungkin palingan sepertiga dari itu. Itulah sebabnya tidak bisa diseimbangkan.”

“Kenapa mereka tidak meletakkannya di tengah?”

“Kurasa mereka membuat kotaknya duluan. Tapi pada akhirnya, kotaknya jauh lebih besar ketimbang isinya.”

“Ahhh…”

Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi logika Senpai masuk akal juga.

“Yang ini saja sudah berat, tapi di satu sisi lebih berat daripada yang lain…”

“Ini akan sangat sulit untuk ditumpuk, ‘kan.”

“Majalah ini cukup laris manis, jadi kita harus menumpuknya.”

“Mari kita coba.”

Namun, begitu kami sampai di platform di depan majalah, ternyata hal itu seburuk dari yang kufuga, dan membuatku ingin mencela diriku sendiri. Ketika kami mulai menumpuk majalah, kami hanya dapat menumpuknya sekitar dua pertiga setinggi menara di sebelahnya. Lebih dari itu akan membuatnya miring dan akhirnya jatuh. Karena sampul majalah pada umumnya halus dan licin, mereka gampang tergelincir dan jatuh.

“Ini tidak berhasil.”

“Memang. Rasanya masih mungkin jika kita bergantian membaliknya satu sama lain.”

“Kalau cara begitu, pembeli baru tidak bisa melihat sampul depan setelah ada yang terjual. Kita tidak bisa melakukan itu.”

“Benar~”

Ini cukup merepotkan. Pada akhirnya, kami memutuskan untuk menumpuk bagian bawahnya terbalik, dengan bagian atas ditumpuk di atas menunjukkan sampulnya. Meskipun beberapa salinan dari majalah-majalah ini dijual, mereka tidak boleh sampai ke tempat sampulnya terbalik, setidaknya sebelum kita dapat menambahkan lebih banyak salinan di atasnya. Setelah semua bagian atasnya terjual, kita bisa membalikkan bagian bawahnya. Meski hal itu menguras tenaga, tapi setidaknya itu bisa meberi perlakuan baik pada majalah. Setelah itu, kami membangun tumpukan majalah lainnya di sekitaran mereka.

“Baiklah. Yang ini seharusnya berhasil.”

Setelah perlahan-lahan mengerjakan tumpukan buku di kotak kardus, aku mengangkat kepalaku ketika tidak mendapat tanggapan dari Yomiuri-senpai. Dia bahkan tidak menatapku. Tatapannya terpaku pada tempat di dekat sudut rak buku.

“Gadis itu sepertinya sedang mencari sesuatu. Kurasa aku akan bertanya padanya apa ada yang bisa kubantu.”

Aku mengikuti ke arah tatapan Senpai. Dia tidak sedang melihat rak majalah, melainkan di bagian depan rak yang agak jauh. Seorang gadis seusiaku berdiri di sana, tampak sedang kebingungan. Dia memiliki rambut pirang dan tindik telinga yang berkilau berkat lampu interior yang menyinarinya. Tepat saat aku berpikir sendiri. Tunggu, dia terlihat tidak asing, Yomiuri-senpai sudah mulai berjalan ke arahnya, berbicara dengannya dalam mode ala karyawan.

“Permisi, apa Anda sedang mencari sesuatu?”

Gadis itu mengejang karena terkejut dan berbalik ke arah senpai. “Umm, aku sedang mencari buku…”

“Hah? Ayase-san ?! ”

Saat aku meninggikan suaraku, Yomiuri-senpai berbalik ke arahku, dan gadis itu menatapku dari kejauhan. Sepertinya dia tidak menyadarinya kalau itu suaraku. Aku rasa itu wajar. Karena ini pasti pertama kalinya dia melihatku memakai celemek toko ini. Mulutnya terbuka lebar dan bulat, dan saat Yomiuri-senpai melihat ini, dia mulai bergegas mendekati Ayase-san layaknya kucing yang mengejar mangsanya. Dia pasti akan menggunakan ini untuk semacam pemerasan padaku nanti.

“Jadi, kamu sedang mencari sebuah buku. Biarkan aku yang membantumu!”

“Um, terima kasih banyak.”

“Serahkan saja padakuuuuu!”

Bahasa sopan yang anehnya tidak nyaman keluar dari mulut gadis yang biasanya ramah sebagai karyawan gadis sastra yang rajin dan penuh rasa ingin tahu. Yomiuri-senpai, kamu menunjukkan jati dirimu, lho. Aku mendekati mereka berdua sembari mendorong troli kosong.

“Hei, kamu adik perempuan dari bocah ini, ‘kan?” Yomiuri-senpai bertanya pada Ayase-san, sambil menunjuk ke arahku.

“Ah, ya, benar. Jadi, um, kamu…? ”

“Yomiuri Shiori. Senang bertemu denganmu.”

Ayase-san membuat ekspresi puas. “Ah, jadi kamu…”

“Wow! Kamu beneran cantik, persis seperti yang dikatakan Kouhai-kun! Imut banget~”

“Memangnya kamu ini om-om yang lagi mabuk, Yomiuri-senpai?”

“Bagaimana kamu bisa tahu, Kouhai-kun? Apa mungkin kamu pernah mengunjungi bar sebelumnya, Tuan Di Bawah Umur? ” Dia membalas tanpa ampun saat aku mendekati mereka berdua.

Jika aku membalas pernyataannya, justru aku yang akan kalah, itulah sebabnya aku terus berbicara dengan ekspresi tidak terpengaruh.

“Lebih penting lagi, apa yang membawamu kemari, Ayase-san?”

Aku mengira dia akan memfokuskan waktunya untuk belajar, jadi aku menanyakannya seolah-olah itu kejadian aneh, meski sebenarnya itu cukup biasa.

“Aku datang ke sini untuk membeli buku…”

“Kouhai-kun, pergi dan simpan ini dulu, oke?” Senpai menyuruhku sambil menunjuk ke troli.

Sekarang aku memikirkannya, kami masih bekerja, jadi itu harus menjadi prioritas utama. Aku mendorong troli kembali ke ruang belakang, meski agak enggan — dan berlari kembali dengan kecepatan penuh. Saat aku kembali, mereka berdua masih berbincang-bincang.

“Begitu rupanya. Sebesar itu, ya? ”

“Bukannya itu normal?”

“Menurutku, ukuran segitu bukan sesuatu yang bisa kamu sebut normal ...”

Mereka berdua lagi membicarakan apa sih?

“Oh, kamu sudah kembali, Kouhai-kun? Padahal baru dua menitan. ”

“Haaaa, huh, ka-kamu menghitung waktunya…?”

Seberapa terampilnya dia dalam multi-tasking seperti itu?

“Cuma pakai naluriku.”

“Maksudmu intuisi? Lagian, bukannya Senpai yang mengeluarkan troli itu, kan? ”

“Aku tidak suka kalau Kouhai-ku punya persepsi yang bagus.”

“Katakan itu pada seorang alkemis* di lain waktu… Sheesh. Jadi apa kamu sudah bertanya pada Ayase-san apa yang dia cari? ” (TN : Referensi Fullmetal alchemist)

“Belum.”

Lakukan pekerjaanmu dengan benar, dong !?

“Um, Asamura-kun, aku sedang mencari buku referensi. Ada bagian materi yang belum kumengerti… dan juga, film yang kamu tonton kemarin. Aku pikir aku akan membeli materi sumbernya karena mumpung lagi di sini.”

Begitu ya. Itu menjelaskan mengapa dia berhenti belajar — atau begitulah yang akan dikatakan protagonis anime atau manga, dan pasti sudah setuju dengannya. Namun, manusia bukanlah makhluk lugu yang bertindak karena satu motif belaka. Hanya punya satu motif saja hampir tidak realistis. Aku tidak berpikir dia berbohong, tapi… jika itu benar, maka ada kemungkinan kalau dia tertarik pada apa yang dilakukan salah satu anggota keluarganya di tempat kerja setidaknya terdengar lebih masuk akal. Belum lagi dia selalu penasaran dengan Yomiuri-senpai.

“Ya ampun, kamu tertarik dengan film itu? Hari ini adalah hari terakhir penayangannya. Apa aku perlu ikut menemanimu untuk pemutaran bioskop larut malam?”

“Ah, kalau itu sih agak…”

“Ayase-san harus belajar. Jadi, bisa tidak jangan menjerumuskannya ke jalan yang salah?”

“Bunga yang berdosa tumbuh dengan menghisap darah orang-orang cantik ...”

“Sungguh tidak efisien sekali. Bunga yang mengandalkan cahaya dan air untuk tumbuh biasanya jauh lebih unggul.”

“Kritikanmu cukup pedas juga ternyata. Baiklah, mari kesampingkan lelucon itu.”

“Padahal aku tadi itu serius.”

“Kita masih punya pekerjaan sebagai karyawan toko.”

“Aku sedang melakukan pekerjaanku. Bagaimana denganmu, Senpai?”

“Kouhai-kun, kita tidak punya waktu untuk berbicara omong kosong selama shift kita. Kita harus melakukan yang terbaik untuk memuaskan pelanggan!”

“... Kalau itu sih, aku tidak keberatan.”

Maksudku, pelanggan lain sampai menertawakan percakapan kami. Aku ingin pergi dari sini secepat mungkin.

“Jadi, si Imouto, buku yang kamu cari adalah—”

“Saki.”

“Hm?”

“Ayase Saki.”

“Ayase?”

“Kamu juga bisa memanggilku Asamura Saki, tapi itu akan membuat kita sulit untuk membedakan, jadi silakan panggil aku sesukamu.”

Aku pikir ini mungkin pertama kalinya Ayase-san menyebut dirinya sendiri sebagai 'Asamura Saki'. Nama ini terbilang asing di telingaku, membuatnya terasa cukup segar. Tapi aku rasa itu masuk akal. Dengan logika itu, ada kemungkinan aku akan berakhir sebagai 'Ayase Yuuta'. Jika aku memperkenalkan diri seperti itu, aku ingin tahu apa dia akan merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan sekarang?

“Hmm, begitu. Itulah kenapa Asamura-kun memanggilmu 'Ayase-san', ya? Kalau begitu aku akan memanggilmu Saki-chan. Jadi, tentang buku referensi, tempatnya ada di bagian rak pembelajaran. Kita harus mulai dengan novelnya dulu.”

“Iya. Dan… Asamura-kun. ” Ayase-san berkata sambil menatapku. “Jika kamu punya rekomendasi buku lain, beritahu aku. Aku rasa buku yang kamu suka bisa menjadi titik awal yang baik. ”

“Buku yang kusuka?”

Ayase-san mengangguk.

“Aku pikir jika kamu merekomendasikan sesuatu padaku, itu akan bagus. Menonton bisokop terus-terusan mungkin terlalu mahal, tapi jika hanya buku paperback, aku bisa membeli beberapa, dan membaca pasti akan membantu belajarku juga.”

“Begitu rupanya. Salah satu hal baik tentang novel adalah harganya yang tidak menguras isi dompet! Kamu benar-benar mengerti, Saki-chan! ”

“Bahkan ada subkultur film baru-baru ini juga.”

Aku rasa itu masuk akal. Harga merupakan faktor terbesar saat memutuskan untuk membeli buku atau tidak. Karena bekerja sambilan memberiku cukup uang untuk dibelanjakan, aku jadi tidak terlalu mengkhawatirkan harganya. Belum lagi, harga buku tidak selalu mahal. Tapi aku mungkin hanya berpikir begitu karena aku menyukai buku.

Maru bahkan pernah memberitahuku sebelumnya "Kamu benar-benar tidak peduli tentang apa pun kecuali buku, ya?" dengan nada jengkel. Memang benar aku tidak tertarik untuk membuat diriku terlihat baik seperti yang dilakukan Ayase-san. Aku tipe orang yang menganggap pakaian bermerek terlalu mahal. Tapi setiap orang memiliki minat mereka sendiri. Lihat saja Maru. Ia bahkan langsung membeli paket anime BD segera setelah keluar. Itu sebabnya aku sedikit terganggu saat Ia mengatakan itu kepadaku.

“Bahkan jika kamu memintaku untuk memberikan rekomendasi, masalahnya tidak semudah itu. Aku bahkan tidak tahu genre macam apa yang kamu suka.”

“Jika dia penasaran tentang 'Azure Night’s Interval', mengapa tidak merekomendasikan sejenisnya saja? Setelah itu, kamu bisa membuat rekomendasi berdasarkan selera tersebut. ”

“Ahh, itu masuk akal.” Aku sedikit bersyukur atas bantuan Yomiuri-senpai.

Veteran karyawan toko buku memang handal.

“Lalu aku memilih salah satu dari genre sastra ringan. Aku pikir sesuatu yang lebih realistis akan lebih baik sebagai permulaan… Ah, sebelum itu, materi sumber. Apa kita masih memilikinya?”

“Aku rasa sudah tidak dipajang dibagian depan lagi. Seharusnya sekarang ada di rak, dan ada kemungkinan pelanggan tidak dapat menemukannya di sana, jadi…”

Kemudian wakil manajer toko memanggil Yomiuri-senpai. Ia memintanya untuk mengurus kasir, karena dia sangat pas untuk pekerjaan itu berkat muka dan penampilannya. Dengan ekspresi yang terdiri dari keengganan dan kepasrahan, dia lalu menerimanya. Setelah mengucapakan salam singkat, Senpai menuju ke kasir. Senpai, aku tidak akan pernah melupakan apa yang telah kamu ajarkan padaku. Harap hidup kuat.

“Apa bertugas mesin kasir punya banyak masalah?”

“Aku rasa begitu. Ini pada dasarnya membutuhkan banyak komunikasi singkat dengan orang-orang yang umumnya tidak peduli dengan keadaanmu.”

Saat aku bilang begitu, wajah Ayase-san menegang, dan dia memeluk tubuhnya dengan kedua tangannya. Ayolah, tidak semenakutkan itu, kok. Kemudian, aku membawanya ke rak literatur ringan, dan mulai-mulai mencari novel ringan itu. Mungkin karena masih ada di rak, atau mungkin karena masih pagi, tapi masih ada satu salinan yang tersisa.

“Ini dia novelnya…”

“Ah, aku pernah membaca manga-nya. Jadi itu berdasarkan novel, ya? ”

“Menurutku novel yang menerima campuran media akan menjadi titik awal yang bagus.”

Meski itu tergantung pada preferensi pribadi apaka kaamu akan menyukai novel tertentu atau tidak.

“Bagian buku pembelajaran ada di sana. Ada pilar dengan poster besar 'Mempekerjakan pekerja sambilan' yang tergantung tepat di depannya. Padahal mungkin akan sulit untuk membaca dengan pencahayaan redup. Pokoknya, raknya ada di sebelah kanan itu.”

“Ahh, begitu. Aku mengerti… mungkin. ”

“Jika kamu mengalami kendala, tanyakan pada karyawan di sekitar sana, atau kembali dan aku akan mengantarmu ke sana.”

“Tidak usah. Aku harus bisa menemukannya sendiri. Lagipula kamu sedang bekerja sekarang.”

“Baiklah. Kalau begitu, aku akan kembali bekerja.”

“Kembali, ya? Oh ya, celemek itu terlihat bagus untukmu. ”

“Kalau itu…... Makasih.”

Sejujurnya, mendadak dipuji begitu membuatku lebih tercengang daripada senang. Jika memungkinkan, aku lebih suka mengantarnya ke bagian yang dicari, tapi aku sudah menghabiskan banyak waktu berurusan dengan Ayase-san, jadi lebih dari ini mungkin akan dianggap bermalas-malasan.

Ayase-san lalu menuju ke bagian buku pembelajaran sembari membawa 1 novel  sumber film dan dua buku yang aku rekomendasikan padanya. Setelah menatap poster itu, dia menuju ke kanan, dan menghilang menuju rak buku. Setelah menatapnya pergi, aku kembali ke tugasku sendiri untuk mengatur buku di rak.

Setelah sedikit waktu berlalu, Ayase-san memanggilku dari belakangku. Ketika aku berbalik, dia membawa buku berat lainnya, yang sepertinya semacam buku referensi.

“Aku akan membeli ini dan kemudian pulang. Terima kasih sudah membantuku selama shift kerjamu.”

“Aku senang bisa membantu. Jangan khawatirkan tentang itu.”

Aku melihat Ayase-san berjalan ke mesin kasir, ketika tiba-tiba ada seseorang memanggilku.

“Permisi, kalau boleh tahu, di mana ya letak kasirnya?”

Ketika aku menoleh ke arah sumber suara, aku melihat seorang wanita paruh baya membawa majalah tebal. Lengannya tampak gemetaran. Meskipun dia membawa tas, dia mungkin berpikir bahwa meletakkan buku itu di sana sebelum membayarnya akan membuatnya dalam masalah, itulah sebabnya dia membawanya dengan satu tangan.

“Mesin kasir ada di sebelah kiri setelah Anda berjalan menyusuri lorong ini ... Tapi apakah anda ingin saya bantu membawanya?”

“Seharusnya tidak, tapi… bisakah aku memintamu untuk itu?”

“Ya tentu saja.” Aku menerima majalah itu, yang ternyata jauh lebih berat dengan tambahan kotak kecil.

Aku memandu wanita paruh baya itu ke mesin kasir, dan karena saat ini masih buka, aku bisa sekalian mengurus proses pembayaran juga.

“Kamu benar-benar membantuku. Terima kasih banyak.”

“Tidak, tidak. Terima kasih banyak sudah membeli! ”

Wanita paruh baya itu lalu memasukkan majalah itu ke dalam tasnya dan pergi setelah mengucapkan selamat tinggal singkat.

“Tolong tunggu sebentar.”

Dan di sana, aku mendengar suara yang sangat kukenal dari kasir sebelahku, suara milik Yomiuri-senpai. Kebetulan, pelanggan yang saat ini dia hadapi adalah Ayase-san. Mereka sepertinya telah menyelesaikan proses pembayaran. Senpai meletakkan kembalian di piring perak di depan Ayase-san dan memasukkan buku-buku itu ke dalam cover kertas asli toko kami.

“Kamu cukup cepat.” Ujar Ayase-san, berbicara dengan nada kekaguman.

Mereka tidak menyadari kalau aku bisa mendengar pembicaraan mereka.

“Mm, aku sudah terbiasa. Yuuta-kun juga cukup cepat, kok.”

“Yuuta-kun…? Ah, maksudnya Asamura-kun.”

“Iya. Akan membingungkan jika aku terus memanggilnya 'Kouhai-kun', ‘kan? Ini, tiga bukumu… Um, pelanggan yang terhormat, apa Anda ingin sekalian meng-cover buku referensinya juga? ”

Senpai, sudah terlambat untuk kembali berbicara dengan bahasa formal.

“Tidak perlu, terima kasih.”

“Dimengerti. Tapi, cuma Yuuta-kun yang satu-satunya mulai bekerja setelahku, jadi secara teknis Ia adalah satu-satunya Kouhai-ku. Oh, dan ini pembayaranmu  sudah selesai.” Senpai memasukkan keempat buku itu ke dalam tas vinil dan memberikannya kepada Ayase-san.

“Terima kasih banyak.”

“Sama-sama. Terima kasih banyak atas pembelianmu! Jika kamu ingin melihat Yuuta-kun yang sedang bekerja lagi, kamu boleh mampir kapan saja! ”

“Bukan itu alasannya aku ...”

“Untukmu, Saki-chan, aku akan memberikan senyuman gratis seharga 0 yen!”

Jadi kamu mengambil uang dari pelanggan lain, Senpai? Namun Ayase-san, bagaimanapun juga, mengabaikan komentar itu dan keluar dari toko. Pelanggan berikutnya segera mengantri di kasir, dan aku kembali ke tugasku yang sebelumnya.

Begitu giliran kerja kami berakhir, Yomiuri-senpai datang menghampiri untuk berbicara denganku.

“Adik perempuanmu imut banget ~”

“Apa kamu masih membicarakan tentang itu?”

“Setelah kamu mencapai seusiaku, kamu perlu menyerap esensi anak muda, atau kamu akan membusuk lebih cepat ~”

Memanganya kamu ini makhluk apaan, vampir?

“Menurutku perbedaan umur kita tidak terlalu jauh.”

“Kita berbicara tentang SMA dan universitas di sini. Ini perbedaan yang sangat besar, tahu. Kamu sama sekali tidak mengerti, Kouhai-kun.”

“Sejujurnya, aku merasa takkan pernah memahaminya sama sekali.”

“Tapi dia beneran manis, ya. Dia punya reaksi yang begitu hidup. Setiap kali kamu muncul, ekspresinya akan berubah sedikit. Kouhai-kun, yang ini mungkin akan menghasilkan banyak uang.”

“Banyak apa?”

“Banyak uang ~!”

Untuk sesaat, aku tidak dapat memahami apa yang dia bicarakan. Namun, ketika aku melihat senyum cerah dan matanya yang berbinar-binar, aku segera mengetahuinya. Pada dasarnya, dia mengatakan kalau reaksi Ayase-san mengisyaratkan kalau dia punya ketertarikan romantis.

“Tidak, pasti bukan itu……”

“Benarkah? Apa kamu yakin? ”

“Ayase-san cuma adik tiriku, oke?”

Aku tidak bisa menganggapnya sebagai lawan jenis, dan aku yakin Ayase-san merasakan hal yang sama. Pasti begitu.

Giliran kerjaku untuk hari itu berakhir, dan aku langsung pulang. Kedua orang tuaku masih terjaga, jadi kami makan malam bersama. Meski sudah hampir larut malam, mereka masih menungguku sampai saat itu. Akiko-san memasak habis-habisan untuk pertama kalinya. Dia membuat ayam goreng yang enak. Sementara kami makan, Ayahku terus mengoceh tentang betapa lezatnya masakan itu dan mengunyah semuanya. Bagaimana Ia bisa memiliki energi sebanyak ini meski sudah tinggal bersamanya selama sebulan?

Ayase-san tidak ikut makan malam bersama kami. Dia rupanya sudah makan malam duluan, dan sekarang berada di kamarnya untuk belajar. Aku tidak melihat Ayase-san lagi malam itu.

 

 

<<=Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya=>>

close

1 Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

  1. Ngeliat 2 orang cantik bertemu itu kesannya seger yak.....enak diliat

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama