Chapter 4 — 19 Juli (Minggu)
Tepat setelah bangun tidur, aku
melirik jam yang ada di sebelah bantalku: jam 7:30 pagi. Syukurlah. Meski
sekarang waktunya masih cukup pagi untuk bangun pada hari Minggu, tapi aku
dengan tegas bangun. Aku memang pergi tidur lebih lambat dari biasanya kemarin,
tapi kepalaku terasa segar dan jernih, jadi pasti tidurku sangat nyenyak.
Ketika aku pergi ke ruang tamu,
Ayahku dan Akiko-san tidak ada. Mereka sepertinya masih tidur. Namun, seperti
yang aku perkirakan, Ayase-san sudah bangun. Dia telah menyegarkan dirinya,
sama sekali tidak menunjukkan kelemahan atau celah bahkan di rumah. Dia
mengenakan pullover kain tipis di
atas baju tanpa bahu.
“Selamat pagi, Ayase-san.”
“Pagi juga, Asamura-kun.”
Ayase-san segera berdiri
setelah bertukar salam. Ketika dia melakukannya, aku bisa melihat pita yang
terbuat dari kain yang mirip dengan pullover-nya
tepat di atas pinggangnya, dengan hot
pants merah di bawah.
“Ah, aku bisa mengurusnya
sendiri. Kamu sudah selesai makan, ‘kan? ”
Aku merasa tidak enakan jika
Ayase-san mengurus sarapanku ketika dia sudah duduk di atas meja dengan kopi,
itulah sebabnya aku memintanya untuk tetap duduk.
“Tapi aku baru saja
menyelesaikan milikku. Yang ini milikmu, Asamura-kun. ” Dia menunjuk ke makanan
di atas meja.
“Aku hanya perlu memanaskannya,
‘kan?” Aku pergi untuk membawa mangkuk sup yang ditunjuk Ayase-san ke
microwave, lalu berhenti di tengah jalan.
Apa aku perlu menghangatkannya?
Atau memakannya selagi dingin? Aku mulai merenungkan pertanyaan itu, karena aku
merasakan rasa dingin yang lembut dari mangkuk sup yang encer.
“Langsung memakannya juga tidak
masalah. Memakannya selagi dingin justru tambah enak. Aku sebenarnya baru saja
mengeluarkannya dari lemari es.”
Dia pasti mendengarku bangun
dan menyiapkannya untukku. Seperti biasa, dia selalu memperhatikan hal-hal
terkecil. Saat aku melihat apa yang ada di dalam mangkuk sup, aku bisa melihat
sup kental berwarna kuning.
“Sup jenis apa ini?”
“Labu.”
“… Bukannya musim labu baru ada
di antara musim panas dan musim gugur? Jadi kamu sudah bisa mendapatkannya, ya?
”
“Benarkah?”
“Ya, aku ingat pernah membaca
kalau petani memanennya di musim panas dan memakannya selama musim gugur.
Setelah dipanen, warnanya masih manis, jadi kamu membiarkannya sedikit menua.
Pada hari Halloween, kamu menggantung lentera labu dan menunggu Labu Besar
tiba.”
“Apa-apaan itu?”
“Apa kamu tidak tahu 'Peanuts'? Snoopy? Charlie Brown?”
“Ah, Linus dengan selimut
keamanan.” [TN :
Nama sebenarnya adalah Linus van Pelt, salah satu karakter dari komik strip
harian yang berjudul “Peanuts” buatan Charles M. Shulz, info lebih lanjut bisa
cek ke wiki]
“Kenapa hal itu yang menjadi
pertama terlintas dalam pikiranmu?”
Linus, teman Charlie Brown,
selalu membawa selimut bersamanya. Mereka menyebutnya 'sindrom selimut' atau semacamnya, tapi pada akhirnya, setiap orang
memiliki sesuatu dalam hidup mereka yang tidak dapat mereka lepaskan, menurutku.
Beberapa orang mungkin menyimpan sampah yang tidak berharga seperti harta yang
tak tergantikan. Aku yakin bahkan Ayase-san memiliki sesuatu yang dia hargai
seperti itu. Jika orang dewasa berpikir kalau itu sampah dan membuangnya,
keterikatan itu akan semakin kuat. Ekspresi marah ibuku tiba-tiba muncul di
benakku, tapi aku menggelengkan kepala dan membebaskan diriku dari pikiran itu.
“… Yah, apapun musimnya, kamu
bisa memakan sayur-mayur sepanjang tahun. Aku hanya sedikit terkejut melihat
sup labu yang begitu indah.”
Tampilannya tampak seperti sake
suci. Warnanya samar, hampir transparan.
“Aku memanaskan labu dan
beberapa bawang, menambahkan susu dan krim mentah, dan memasukkannya ke dalam food processor.” Ayase-san melihat kalau
aku tertarik dan menjelaskan resepnya kepadaku.
Tentu saja, hanya karena aku
sedikit tertarik bukan berarti aku akan mulai menikmati membuat makanan
sendiri. Bahkan jika gaya hidup bento-ku tidak berubah, itu mungkin bisa berguna
di suatu tempat di masa mendatang. Aku mengingat-ingat resep tersebut saat aku
memasukkan sedikit roti ke dalam pemanggang roti.
“Jarang sekali kamu memasukkan
dua potong ke dalam ... Ah, maaf sudah mengungkit itu.”
“Baik kamu dan Akiko-san selalu
memikirkan sampai terperinci, bukan hanya tentang makanan, jadi aku tidak akan
pernah menganggapnya seperti itu.” Aku menjawab, yang menyebabkan Ayase-san
membuat ekspresi yang agak tidak nyaman.
Ayase-san mungkin tidak
melupakan preferensi orang lain, tetapi semua orang tidaklah sama. Hal itu terkadang
berlaku juga pada pertemanan. Kamu tidak bertindak seperti itu karena kamu ingin
orang lain menyukaimu, tetapi karena kamu menghargai orang lain. Meski dia
hanya menghargaiku sebagai anak dari orang yang dinikahi ibunya, aku rasa itu
sama sekali tidak mengganggu.
“Aku hanya ingin menanyakan
itu.” Dia bergumam dengan suara pelan.
Apa itu cuma imajinasiku, atau
dia barusan memang bertingkah sedikit malu-malu? Jika kamu hanya melihat adegan
itu sendiri, sepertinya sesuatu dari LN atau anime, tetapi kenyataannya tidak
semanis itu. Jika kamu salah mengira reaksi dari seseorang yang dekat denganmu
sebagai pemalu atau baik hati, kamu mungkin mengalami ketidakberuntungan atau
bahkan kemalangan dari kesalahpahaman sepihak ini.
Sedangkan bagiku, aku selalu
berhati-hati agar tidak salah paham dari tingkah laku Ayase-san. Aku pasti tak
akan salah paham. Namun, aku tahu kalau itu tak bisa disalahi jika beberapa orang
salah membaca situasi ini. Realitas bukanlah anime atau manga. Namun jika kamu
mengalami situasi yang mirip dengan adegan yang pernah kamu tonton atau baca
sebelumnya, Kamu bisa saja salah paham. Ini adalah kebiasaan yang tidak
menguntungkan yang dimiliki semua manusia. Bahkan aku terkesiap sesaat ketika
Yomiuri-senpai membuat lelucon tentang masa hidupnya. Serangan mendadak yang
begitu memang yang terburuk dari semuanya.
“Jadi, tentang irisan roti
panggang. Aku bekerja sepanjang hari kemarin, jadi aku lumayan lapar. Aku hanya
makan sepotong roti kemarin, jadi perutku keroncongan sampai istirahat. ”
Ucapku dengan suara santai saat duduk di kursi.
“Kerja bagus di pekerjaanmu.”
“Terima kasih.”
Berkat percakapan yang
dibesar-besarkan ini, suasana kaku yang menyelimuti kami perlahan-lahan kembali
normal, sedatar biasanya. Aku rasa ini adalah sesuatu yang dilakukan orang
untuk menghilangkan suasana yang canggung.
Bersamaan dengan dua potong
roti bakar dan sup labu, sebuah mangkuk besar dengan salad ayam di dalamnya
berdiri di tengah meja. Sinar mentari pagi yang masuk dari jendela menyebabkan
mangkuk bersinar dengan warna hijau.
“Kamu boleh memilih isian salad
yang kamu suka.”
“Makasih.”
Ayase-san kembali menaruh
perhatiannya ke smartphone sembari menyeruput kopi. Karena dia tidak
mendengarkan apapun di earbud-nya,
dia pasti sedang mencari-cari sesuatu. Ngomong-ngomong, aku akan mencoba sup
labunya dulu.
Aku menyendok sedikit sup
labunya dan mencicipi. Aku bisa mencium sedikit aromanya saat membawanya ke
mulutku, tapi begitu sampai di lidahku, rasa labunya menjadi lebih jelas. Labu
rebus biasanya terasa cukup lembut, tapi berkat mesin food processor, rasanya hampir berubah menjadi smoothie. Meski manis, rasanya sangat pas di lidah. Memakannya
dalam keadaan dingin memang pilihan yang tepat. Aku selalu berpikir kalau yang
namanya sup perlu dimakan dalam keadaan hangat.
“Asamura-kun.”
Saat aku menikmati lezatnya
salad ayam, Ayase-san tiba-tiba memanggil. Aku lalu menatapnya.
“Kamu meletakkan selimut di
atasku tadi malam, ‘kan?”
“Ah, yah…”
Jika aku menjawab dengan jujur,
dia akan mengetahui kalau aku melihat wajahnya yang terlelap. Tapi aku sadar
kalau terlalu bertele-tele hanya akan memperburuk keadaan. Bulan lalu aku
kebetulan melihat pakaian dalam Ayase-san yang sedang dikeringkan di kamarnya,
dan hal itu menyebabkanku berkeringat dingin karena panik. Oleh karena itu,
mengatakan 'yah, iya', akan sedikit
terlalu jujur. Jawaban tersebut membuatnya terdengar seperti aku menyembunyikan
sesuatu.
“Sudah kuduga.”
“Aku tahu kalau kamu sangat
ingin menghindari kelas tambahan, tapi merusak kesehatanmu demi ujian juga
bukan menjadi pilihan, tahu?”
“Benar. Ya ……makasih.”
“Kamu tidak perlu berterima
kasih padaku.”
Jika dia mulai berterima kasih
kepadaku, aku jadi merasa perlu berterima kasih padanya karena selalu
membuatkan makanan untukku. Tentu saja, aku sempat mengusulkan kalau aku harus
membantunya, tapi Ayase-san menolak tawaranku. Dia harus melakukan keduanya,
atau dia tidak keberatan melakukan keduanya. Ini sangat membantu, tapi bisakah dia
benar-benar menjaga keseimbangan kegiatannya? Dia bilang kalau dia suka menjadi
pihak yang memberi ketimbang menerima. Aku tahu itu lebih mudah diucapkan daripada
dilakukan. Aku benar-benar perlu mencari metode lain untuk meningkatkan efisiensi
belajarnya selain musik.
“Aku dengar kemarin kamu pergi
menonton film, ya?”
Pertanyaan mendadak Ayase-san
hampir membuatku tersedak.
“Um… Yah, aku menonton film tengah
malam karena batas pemutarannya berakhir di pekan ini. Dari mana kamu mendengar
hal itu?”
“Taichi-san sepertinya sangat
senang. Saat makan malam Ia sampai bilang begini: 'Ini baru pertama kalinya Yuuta bermain di luar sampai malam! Aku
sangat khawatir karena Ia terlalu rajin dan penurut, dan sejujurnya Ia agak
membosankan, tapi kurasa Ia sudah dewasa sekarang! ', Dan semacamnya ...”
“Apa! Ia sampai bilang begitu!”
Dan, bagaimana mungkin kamu
bisa mengingat semua perkataannya itu? Bagaimana mungkin ingatanmu sehebat itu?
“Kamu bersama Senpai yang dari
tempat kerja, ‘kan?”
“Itu benar, tapi kami bukannya
main-main atau semacamnya. Kami cuma ingin menonton film yang sama. Dan, kalau
Senpai tidak memberitahuku tentang itu, aku bahkan tidak pernah kepikiran untuk
menontonnya di jam larut malam.”
“Hmm.”
“Pernah mendengar novel ‘Azure Night’s Interval ’?”
“Ah.” Ayase-san balas
mengangguk. “Aku pernah mendengarnya. Aku merasa seperti pernah melihat iklan
untuk film tersebut.”
“Aku terkesan kamu bisa tahu, meski
tidak banyak menonton TV.”
“Iklannya pernuh muncul di
internet.”
Kali ini, akulah yang
mengangguk. Iklan dan pengumuman harus ditampilkan di tempat yang dapat dilihat
oleh sebagian besar orang. Meski generasi kami tidak banyak menonton TV, tapi
kami sering menggunakan internet. Dalam hal ini, pihak media tinggal
meletakkannya di seluruh media internet.
“Bagaimana itu?” Ayase-san
bertanya.
Aku kira dia menanyakan kesanku
tentang film itu?
“Ehhh… Yah, filmnya tidak
terlalu buruk.” Aku memberitahu Ayase-san apa yang aku ingat.
Materi sumbernya berasal dari
novel sastra ringan, yang mengisahkan tentang percintaan antara cowok SMA dan
seorang gadis yang bertemu satu sama lain. Ada bagian komedinya juga dari
cerita ini, tapi akhirnya menjadi sedikit lebih serius, dan alur cerita terakhir
masih membekas di kepalaku.
“Ada seorang gadis yang hanya
bisa ditemui protagonis seminggu sekali pada tengah malam di taman umum. Dia
sebenarnya murid dari SMA yang sama dengan protagonis, tapi setiap kali mereka
bertemu di siang hari, dia bersikap seolah-olah mereka tidak saling mengenal.
Mereka hanya bisa bertemu di tengah malam, dan si gadis bertingkah seperti
orang yang sama sekali berbeda. Semakin sering mereka bertemu, mereka semakin
tertarik satu sama lain. Dan kemudian, suatu malam, si gadis memberitahu—” Aku
berhenti sejenak untuk menekankan efek dramatis. “Aku hanya punya setengah tahun lagi untuk hidup'.”
Ayase-san menahan nafasnya. Ya,
itu kejutan yang cukup besar. Maksudku, aku juga bereaksi sama saat
Yomiuri-senpai memberitahuku itu.
“Klimaksnya mulai dari titik
situ, tapi aku tidak ingin terlalu banyak memberi spoiler, jadi aku akan
berhenti di sini saja.”
Aku bukanlah Maru atau
semacamnya, tapi aku cenderung terus mengoceh tentang sesuatu jika aku sedang
dalam mood. Itu menunjukkan seberapa “lumayan”-nya film tersebut, tapi
sebenarnya meninggalkan kesan yang mendalam bagiku. Ini juga menunjukkan bahwa aku
sudah berpikir untuk membeli novelnya nanti.
“Terima kasih. Kedengarannya
menarik. ”
“Iya, ‘kan? Jika bukan karena
ujian susulanmu, aku akan menyarankan untuk menontonnya hari ini.”
“Setelah ujian selesai.”
“Baiklah.”
“Jika ada sumber materinya, aku
mungkin akan membacanya saja. Karena aku ingin membantu nilai Jepang Modern-ku,
aku juga perlu membaca lebih banyak buku. ”
“Menurutku novel ringan tak
akan muncul dalam ujian.”
Aku tidak terlalu tahu apakah
novel ringan secara teknis adalah LN atau sastra ringan.
“Aku tidak pernah benar-benar
membaca novel atau manga. Mungkin ada sesuatu yang bisa aku pelajari dari
mereka.”
“Mungkin.”
Namun, tegasnya, Ayase-san
tidak buruk dalam memahami isi sastra. Dia hanya kesulitan menangani karya yang
menggambarkan emosi selain emosinya sendiri. Jika seseorang mencintai orang
lain namun tetap menghina mereka, atau jika mereka berteriak untuk membunuh
orang lain ketimbang perasaan asli mereka, dia mungkin akan kebingungan. Saat
aku memberitahunya tentang itu, dia tampak sedikit terganggu.
“Mereka seharusnya jujur mengenai
hal-hal seperti itu.”
“Sifat setiap orang
berbeda-beda. Karena itulah yang namanya drama lahir.”
Jika dua orang yang jatuh cinta
satu sama lain dapat mengungkapkan perasaan mereka dengan jujur, ceritanya akan
berakhir. Tentu ada banyak cerita yang seperti itu. Perbedaan terjadi jika
orang tidak menyesuaikan diri dengan orang lain. Baik tragedi maupun komedi
lahir dari sini. Kisah cinta yang dramatis menggunakan kesalahpahaman dan
ketidaksesuaian untuk memajukan plotnya.
“Aku sama sekali tidak
mengerti.”
“Itulah mengapa aku pikir kita
harus membiarkannya sebagai kotak hitam, dan hanya fokus pada beberapa ovel
yang bisa muncul dalam ujian, serta menghubungkan informasi untuk itu.
Ngomong-ngomong, apa kamu merasa sedang membuat kemajuan?”
“Aku sudah mengerjakan
pertanyaan uji coba, tapi aku merasa mendapatkan lebih banyak poin daripada
sebelumnya. Sepertinya apa yang kamu katakan itu benar, Asamura-kun. Jika aku
hanya mengingat latar belakang sejarah dan kaitannya dengan karya tersebut, aku
merasa dapat menjawab banyak pertanyaan.”
“Karena ini adalah ujian.” Aku
merasakan dorongan untuk menekankan hal itu.
“Apa maksudmu?”
“Karena kita sedang mengerjakan
ujian, tidak ada pertanyaan atau masalah yang tidak bisa dijawab. Ayase-san,
apa kamu pernah mendengar istilah 'open
ending'? ”
“Seperti kesimpulan terbuka?”
“Namanya sedikit berbeda, tapi
ya mirip seperti itu.”
Dan lagi, dia harus menanggapi
ini dengan serius. Apakah itu sebabnya kedengarannya sangat aneh? Aku ragu Ayase-san
sedang berpura-pura.
“Itu sering terjadi di film.
Film berakhir tanpa mengetahui apa yang terjadi pada protagonisnya. Pada
dasarnya, kesimpulan akhir film tersebut diserahkan pada imajinasi para penonton.”
“Aku benci itu. Itu mungkin
membuatku stres.”
“Aku pikir kamu akan mengatakan
itu. Bagaimanapun juga, intinya adalah hal yang begitu tak akan terjadi dalam
ujian.”
Dan ini tidak terbatas pada open ending saja. Ada banyak karya lain
di mana penulis tidak menjelaskan semuanya secara detail, dan justru
menyerahkannya pada interpretasi pembaca. Aku bisa membuat banyak daftar contoh
tentang ini. Namun, hal ini juga tidak muncul dalam ujian. Bagaimanapun, kamu
tidak dapat menilai pendapat seseorang tentang sesuatu, terutama jika pendapat
itu berbeda dari orang ke orang.
“Itu masuk akal.”
“Memang, itulah sebabnya mereka
akan mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang pengalaman pembaca tidak akan
berbeda… setidaknya tidak sampai pada tingkat yang dapat memengaruhi nilaimu.
Seorang guru sekolah les terkenal pernah berkata 'Tidak ada soal di mana kamu tidak dapat memilih pada pertanyaan
pilihan ganda'. ”
Tentunya selain pertanyaan di
mana kreativitas, orisinalitas, atau pengetahuanmu tentang suatu topik sedang
diuji.
“Ini sedikit blak-blakan, tapi
masuk akal.”
“Benar, ‘kan?”
Namun, harus kuakui kalau
sesekali membuatnya samar merupakan salah satu dari beberapa hal yang membuat
buku begitu menawan. Dalam kasus seperti itu, kurangnya kejelasan akan
merangsang imajinasimu. Aku mungkin lebih suka hubungan datar yang
menghilangkan dugaan dalam kehidupan nyata, tapi aku bisa mendapatkan lebih
banyak sudut pandang mengenai berbagai hal dengan membaca buku dan meningkatkan
pengetahuanku. Tidak hanya membuatku bebas dari pemikiran sempit, membaca buku
juga dapat melatih imajinasi dan kreativitasku serta memperluas wawasanku.
Itulah sebabnya aku tidak ingin Ayase-san membaca buku semata-mata karena haus
akan pengetahuan… Meski aku tidak akan benar-benar mengeluh jika dia
melakukannya.
“Jadi, apa kamu pacaran dengan
Yomiuri-senpai?”
Aku hampir menyemburkan kopiku.
Apa yang kamu maksud dengan itu, huh?
Saat menyadari kalau dia sedang menatapku, tanpa sadar aku berdiri tegak dan
menjawab seolah-olah aku adalah terdakwa yang sedang diinterogasi oleh jaksa
penuntut umum.
“Hubungan kami bukan seperti
itu, kok.”
“Benarkah?”
“Serius. Dia cuma Senpai dari
tempat kerja.”
“Hmmm.”
“Dia suka membaca buku, itulah
sebabnya kami bisa dekat. Cuma itu saja.”
“Kamu banyak membaca buku juga,
‘kan? Perbedaan itu cukup signifikan, aku rasa… Begitu ya. Aku juga harus
membaca buku… Aku mungkin harus pergi berbelanja. ” gumam Ayase-san, lalu
tiba-tiba menghentikan dirinya, meraba-raba kata-katanya. “Penekanan besar pada
'kekuatan'.”
“Aku sangat senang melihat
kelahiran pecinta buku yang lain. Tapi ujianmu lebih penting sekarang.”
“Hah? Ah, ya… Kamu benar. ” Ayase-san
terdengar agak gelagapan, dan dia mengarahkan pandangannya ke layar smartphone
lagi.
Dia meletakkan earbud di telinganya dan membuka
catatannya, menandakan kalau dia telah masuk ke mode belajar. Aku membersihkan
diri setelah selesai makan sarapan, mencuci piring, dan kemudian kembali ke
kamarku. Aku ada shift kerja penuh lagi mulai sekitar siang hari ini. Karena aku
langsung tidur setelah pulang kemarin, aku harus menyelesaikan PR-ku. Karena besok
adalah batas waktu untuk pengumpulan PR tersebut, aku sedikit panik. Aku
menjadi sangat fokus sehingga aku mengerjakannya sampai alarm smartphone-ku
berdering. Berkat itu, aku sekali lagi tidak sempat makan siang.
Saat melangkah keluar dari
apartemen ber-AC, sengatan panas musim panas menerpaku layaknya ombak yang
menggulung. Aku terpaksa berkedip beberapa kali karena sinar matahari yang kuat
menerpa wajahku. Sepertinya sang Surya kita benar-benar termotivasi hari ini.
Aku bahkan bisa mencium bau samar aspal hangus. Meski belum siang, suhunya
sudah melewati 30°C. Ini sudah 3 hari berturut-turut di pertengahan musim
panas.
Terlepas dari kenyataan kalau
sekarang adalah hari Minggu, ada banyak orang berkumpul di depan stasiun kereta
Shibuya. Entah bagaimana aku berhasil melewati area sana, dan tiba di toko. Aku
mengganti seragamku di ruang belakang, dan melangkah ke depan. Hari ini,
giliran kerjaku sampai jam 9 malam.
“Yo, Kouhai-kun.”
Saat aku memasuki area toko,
Yomiuri-senpai mulai memanggilku. Dia bertingkah sama seperti biasanya,
seolah-olah kejadian yang tadi malam tidak pernah terjadi. Tentu saja, hal itu
membuatku lebih mudah, dan sangat bersyukur karenanya. Dia pasti pandai membaca
suasana.
“Halo Senpai. Apa kamu sedang
menyetok rilisan baru?”
“Betul sekali. Bisakah kamu
membantuku?”
“Tentu saja.”
Yomiuri-senpai sedang mendorong
troli dengan kotak karton di depannya. Saat mengintip isinya, aku bisa melihat
beberapa majalah yang berat di sana. Untungnya, aku bisa menghindari mesin
kasir hari ini, jadi sebagai gantinya, aku fokus mengisi area kosong di rak
buku dan mengatur rak-rak lainnya. Jika aku punya waktu luang, aku akan
memperbaiki cover yang bengkok juga, atau memasukkan barang yang dikembalikan
ke dalam kotak karton. Saat kamu bekerja di toko buku, selalu ada saja tugas
kecil yang dilakukan.
Tentu saja, aku tidak dapat
memberitahu pihak toko untuk memesan buku apa pun untukku, tapi aku dapat
memberitahu Yomiuri-senpai tentangnya, dan dia dapat merekomendasikannya sebagai
penggantiku.
“Majalah wanita, ya ...
Sepertinya sulit untuk bulan ini.”
“Benar. Mungkin ini masuk ke
dalam daftar 3 buku teratas yang merepotkan untuk ditangani.”
“Oh ya, bagian ekstra-nya
memang gila.”
Untuk majalah yang menargetkan
wanita atau ibu rumah tangga, selalu ada bagian ekstra tak terbatas yang
ditambahkan ke jilid tersebut. Berkat itu, majalah wanita selalu tebal dan
berat. Ekstra ini sering kali berisi tas ramah lingkungan, sampel riasan, atau
bahkan kantong bergaya. Kapan pun kami memiliki ekstra besar ini, kami harus
memastikan bahwa mereka tidak tercecer kemana-mana.
Demi mengantisipasi itu, kami
biasanya mengikat bagian ekstra dengan tali atau selotip, atau menggunakan
karet gelang. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangannya sendiri.
Menyatukannya dengan tali atau selotip selalu merupakan cara yang aman untuk
menyatukannya, tapi jika menggunakannya terlalu banyak, hal itu dapat merusak
majalah dalam prosesnya. Karet gelang mudah dipasang atau dilepas, tetapi jika
seseorang membeli majalah tanpa mendapat bagian ekstra, si pembeli pasti akan
mengeluh.
Tentu saja, Kamu dapat
menyatukannya dalam bungkus plastik yang sama, tapi menyegel majalah yang sudah
tebal bersama dengan ekstra adalah sesuatu yang hampir tidak dapat dilakukan
oleh toko buku mana pun. Setidaknya, aku ragu biaya untuk melakukannya
membuatnya sangat berharga.
“Aku berharap mereka setidaknya
membuatnya berukuran sama dengan majalah itu sendiri. Penerbit benar-benar
tidak peduli betapa sulitnya menumpuk majalan ini. Kouhai-kun, pegang ini.”
“Wow! Jangan sembarangan
melemparkannya kepadaku. … Wow, ini benar-benar sangat tidak seimbang.”
“Iya, ‘kan?.”
Kali ini, mereka menambahkan
kotak kertas kecil dengan ukuran yang sama dengan majalah, yang mengimbangi
bobot dari majalah lain.
“Kira-kira apa isi dari kotak
ini?”
“Semacam kotak harta karun.”
“Hah?”
Saat aku melihat sampul
majalahnya, dikatakan ada sesuatu mirip semacam aksesori di dalam kotak itu.
Mereka tak akan memasukkan perhiasan asli ke dalam bagian ekstra majalah, namun
sampulnya membuatnya tampak seperti sesuatu yang mewah.
“Bukannya ini… iklan palsu?”
“Seharusnya sih tidak ada
masalah. ‘Kan diiklannya bilang 'sesuatu
seperti kotak harta karun'.”
“Tapi ...” Aku masih merasa ragu.
“Kotak luarnya cukup besar,
tapi bagian dalamnya mungkin palingan sepertiga dari itu. Itulah sebabnya tidak
bisa diseimbangkan.”
“Kenapa mereka tidak
meletakkannya di tengah?”
“Kurasa mereka membuat kotaknya
duluan. Tapi pada akhirnya, kotaknya jauh lebih besar ketimbang isinya.”
“Ahhh…”
Aku tidak tahu apa yang sebenarnya
terjadi, tapi logika Senpai masuk akal juga.
“Yang ini saja sudah berat,
tapi di satu sisi lebih berat daripada yang lain…”
“Ini akan sangat sulit untuk
ditumpuk, ‘kan.”
“Majalah ini cukup laris manis,
jadi kita harus menumpuknya.”
“Mari kita coba.”
Namun, begitu kami sampai di
platform di depan majalah, ternyata hal itu seburuk dari yang kufuga, dan membuatku
ingin mencela diriku sendiri. Ketika kami mulai menumpuk majalah, kami hanya
dapat menumpuknya sekitar dua pertiga setinggi menara di sebelahnya. Lebih dari
itu akan membuatnya miring dan akhirnya jatuh. Karena sampul majalah pada
umumnya halus dan licin, mereka gampang tergelincir dan jatuh.
“Ini tidak berhasil.”
“Memang. Rasanya masih mungkin
jika kita bergantian membaliknya satu sama lain.”
“Kalau cara begitu, pembeli
baru tidak bisa melihat sampul depan setelah ada yang terjual. Kita tidak bisa
melakukan itu.”
“Benar~”
Ini cukup merepotkan. Pada
akhirnya, kami memutuskan untuk menumpuk bagian bawahnya terbalik, dengan
bagian atas ditumpuk di atas menunjukkan sampulnya. Meskipun beberapa salinan
dari majalah-majalah ini dijual, mereka tidak boleh sampai ke tempat sampulnya
terbalik, setidaknya sebelum kita dapat menambahkan lebih banyak salinan di
atasnya. Setelah semua bagian atasnya terjual, kita bisa membalikkan bagian
bawahnya. Meski hal itu menguras tenaga, tapi setidaknya itu bisa meberi
perlakuan baik pada majalah. Setelah itu, kami membangun tumpukan majalah
lainnya di sekitaran mereka.
“Baiklah. Yang ini seharusnya
berhasil.”
Setelah perlahan-lahan
mengerjakan tumpukan buku di kotak kardus, aku mengangkat kepalaku ketika tidak
mendapat tanggapan dari Yomiuri-senpai. Dia bahkan tidak menatapku. Tatapannya
terpaku pada tempat di dekat sudut rak buku.
“Gadis itu sepertinya sedang
mencari sesuatu. Kurasa aku akan bertanya padanya apa ada yang bisa kubantu.”
Aku mengikuti ke arah tatapan Senpai.
Dia tidak sedang melihat rak majalah, melainkan di bagian depan rak yang agak
jauh. Seorang gadis seusiaku berdiri di sana, tampak sedang kebingungan. Dia
memiliki rambut pirang dan tindik telinga yang berkilau berkat lampu interior
yang menyinarinya. Tepat saat aku berpikir sendiri. Tunggu, dia terlihat tidak asing, Yomiuri-senpai sudah mulai
berjalan ke arahnya, berbicara dengannya dalam mode ala karyawan.
“Permisi, apa Anda sedang
mencari sesuatu?”
Gadis itu mengejang karena
terkejut dan berbalik ke arah senpai. “Umm, aku sedang mencari buku…”
“Hah? Ayase-san ?! ”
Saat aku meninggikan suaraku,
Yomiuri-senpai berbalik ke arahku, dan gadis itu menatapku dari kejauhan.
Sepertinya dia tidak menyadarinya kalau itu suaraku. Aku rasa itu wajar. Karena
ini pasti pertama kalinya dia melihatku memakai celemek toko ini. Mulutnya
terbuka lebar dan bulat, dan saat Yomiuri-senpai melihat ini, dia mulai
bergegas mendekati Ayase-san layaknya kucing yang mengejar mangsanya. Dia pasti
akan menggunakan ini untuk semacam pemerasan padaku nanti.
“Jadi, kamu sedang mencari
sebuah buku. Biarkan aku yang membantumu!”
“Um, terima kasih banyak.”
“Serahkan saja padakuuuuu!”
Bahasa sopan yang anehnya tidak
nyaman keluar dari mulut gadis yang biasanya ramah sebagai karyawan gadis
sastra yang rajin dan penuh rasa ingin tahu. Yomiuri-senpai, kamu menunjukkan
jati dirimu, lho. Aku mendekati mereka berdua sembari mendorong troli kosong.
“Hei, kamu adik perempuan dari
bocah ini, ‘kan?” Yomiuri-senpai bertanya pada Ayase-san, sambil menunjuk ke
arahku.
“Ah, ya, benar. Jadi, um, kamu…?
”
“Yomiuri Shiori. Senang bertemu
denganmu.”
Ayase-san membuat ekspresi
puas. “Ah, jadi kamu…”
“Wow! Kamu beneran cantik, persis
seperti yang dikatakan Kouhai-kun! Imut banget~”
“Memangnya kamu ini om-om yang
lagi mabuk, Yomiuri-senpai?”
“Bagaimana kamu bisa tahu,
Kouhai-kun? Apa mungkin kamu pernah mengunjungi bar sebelumnya, Tuan Di Bawah
Umur? ” Dia membalas tanpa ampun saat aku mendekati mereka berdua.
Jika aku membalas
pernyataannya, justru aku yang akan kalah, itulah sebabnya aku terus berbicara
dengan ekspresi tidak terpengaruh.
“Lebih penting lagi, apa yang
membawamu kemari, Ayase-san?”
Aku mengira dia akan
memfokuskan waktunya untuk belajar, jadi aku menanyakannya seolah-olah itu
kejadian aneh, meski sebenarnya itu cukup biasa.
“Aku datang ke sini untuk
membeli buku…”
“Kouhai-kun, pergi dan simpan
ini dulu, oke?” Senpai menyuruhku sambil menunjuk ke troli.
Sekarang aku memikirkannya,
kami masih bekerja, jadi itu harus menjadi prioritas utama. Aku mendorong troli
kembali ke ruang belakang, meski agak enggan — dan berlari kembali dengan
kecepatan penuh. Saat aku kembali, mereka berdua masih berbincang-bincang.
“Begitu rupanya. Sebesar itu,
ya? ”
“Bukannya itu normal?”
“Menurutku, ukuran segitu bukan
sesuatu yang bisa kamu sebut normal ...”
Mereka berdua lagi membicarakan
apa sih?
“Oh, kamu sudah kembali,
Kouhai-kun? Padahal baru dua menitan. ”
“Haaaa, huh, ka-kamu menghitung
waktunya…?”
Seberapa terampilnya dia dalam multi-tasking seperti itu?
“Cuma pakai naluriku.”
“Maksudmu intuisi? Lagian,
bukannya Senpai yang mengeluarkan troli itu, kan? ”
“Aku tidak suka kalau Kouhai-ku
punya persepsi yang bagus.”
“Katakan itu pada seorang
alkemis* di lain waktu… Sheesh. Jadi apa kamu sudah bertanya pada Ayase-san apa
yang dia cari? ” (TN
: Referensi Fullmetal alchemist)
“Belum.”
Lakukan pekerjaanmu dengan
benar, dong !?
“Um, Asamura-kun, aku sedang mencari
buku referensi. Ada bagian materi yang belum kumengerti… dan juga, film yang kamu
tonton kemarin. Aku pikir aku akan membeli materi sumbernya karena mumpung lagi
di sini.”
Begitu
ya. Itu menjelaskan mengapa dia berhenti belajar — atau
begitulah yang akan dikatakan protagonis anime atau manga, dan pasti sudah
setuju dengannya. Namun, manusia bukanlah makhluk lugu yang bertindak karena
satu motif belaka. Hanya punya satu motif saja hampir tidak realistis. Aku
tidak berpikir dia berbohong, tapi… jika itu benar, maka ada kemungkinan kalau dia
tertarik pada apa yang dilakukan salah satu anggota keluarganya di tempat kerja
setidaknya terdengar lebih masuk akal. Belum lagi dia selalu penasaran dengan
Yomiuri-senpai.
“Ya ampun, kamu tertarik dengan
film itu? Hari ini adalah hari terakhir penayangannya. Apa aku perlu ikut
menemanimu untuk pemutaran bioskop larut malam?”
“Ah, kalau itu sih agak…”
“Ayase-san harus belajar. Jadi,
bisa tidak jangan menjerumuskannya ke jalan yang salah?”
“Bunga yang berdosa tumbuh
dengan menghisap darah orang-orang cantik ...”
“Sungguh tidak efisien sekali.
Bunga yang mengandalkan cahaya dan air untuk tumbuh biasanya jauh lebih
unggul.”
“Kritikanmu cukup pedas juga
ternyata. Baiklah, mari kesampingkan lelucon itu.”
“Padahal aku tadi itu serius.”
“Kita masih punya pekerjaan
sebagai karyawan toko.”
“Aku sedang melakukan
pekerjaanku. Bagaimana denganmu, Senpai?”
“Kouhai-kun, kita tidak punya
waktu untuk berbicara omong kosong selama shift kita. Kita harus melakukan yang
terbaik untuk memuaskan pelanggan!”
“... Kalau itu sih, aku tidak
keberatan.”
Maksudku, pelanggan lain sampai
menertawakan percakapan kami. Aku ingin pergi dari sini secepat mungkin.
“Jadi, si Imouto, buku yang
kamu cari adalah—”
“Saki.”
“Hm?”
“Ayase Saki.”
“Ayase?”
“Kamu juga bisa memanggilku
Asamura Saki, tapi itu akan membuat kita sulit untuk membedakan, jadi silakan
panggil aku sesukamu.”
Aku pikir ini mungkin pertama
kalinya Ayase-san menyebut dirinya sendiri sebagai 'Asamura Saki'. Nama ini
terbilang asing di telingaku, membuatnya terasa cukup segar. Tapi aku rasa itu
masuk akal. Dengan logika itu, ada kemungkinan aku akan berakhir sebagai 'Ayase
Yuuta'. Jika aku memperkenalkan diri seperti itu, aku ingin tahu apa dia akan
merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan sekarang?
“Hmm, begitu. Itulah kenapa
Asamura-kun memanggilmu 'Ayase-san',
ya? Kalau begitu aku akan memanggilmu Saki-chan. Jadi, tentang buku referensi,
tempatnya ada di bagian rak pembelajaran. Kita harus mulai dengan novelnya
dulu.”
“Iya. Dan… Asamura-kun. ”
Ayase-san berkata sambil menatapku. “Jika kamu punya rekomendasi buku lain,
beritahu aku. Aku rasa buku yang kamu suka bisa menjadi titik awal yang baik. ”
“Buku yang kusuka?”
Ayase-san mengangguk.
“Aku pikir jika kamu
merekomendasikan sesuatu padaku, itu akan bagus. Menonton bisokop terus-terusan
mungkin terlalu mahal, tapi jika hanya buku paperback, aku bisa membeli beberapa,
dan membaca pasti akan membantu belajarku juga.”
“Begitu rupanya. Salah satu hal
baik tentang novel adalah harganya yang tidak menguras isi dompet! Kamu
benar-benar mengerti, Saki-chan! ”
“Bahkan ada subkultur film
baru-baru ini juga.”
Aku rasa itu masuk akal. Harga
merupakan faktor terbesar saat memutuskan untuk membeli buku atau tidak. Karena
bekerja sambilan memberiku cukup uang untuk dibelanjakan, aku jadi tidak
terlalu mengkhawatirkan harganya. Belum lagi, harga buku tidak selalu mahal. Tapi
aku mungkin hanya berpikir begitu karena aku menyukai buku.
Maru bahkan pernah
memberitahuku sebelumnya "Kamu
benar-benar tidak peduli tentang apa pun kecuali buku, ya?" dengan
nada jengkel. Memang benar aku tidak tertarik untuk membuat diriku terlihat
baik seperti yang dilakukan Ayase-san. Aku tipe orang yang menganggap pakaian
bermerek terlalu mahal. Tapi setiap orang memiliki minat mereka sendiri. Lihat
saja Maru. Ia bahkan langsung membeli paket anime BD segera setelah keluar. Itu
sebabnya aku sedikit terganggu saat Ia mengatakan itu kepadaku.
“Bahkan jika kamu memintaku untuk
memberikan rekomendasi, masalahnya tidak semudah itu. Aku bahkan tidak tahu
genre macam apa yang kamu suka.”
“Jika dia penasaran tentang 'Azure Night’s Interval', mengapa tidak
merekomendasikan sejenisnya saja? Setelah itu, kamu bisa membuat rekomendasi
berdasarkan selera tersebut. ”
“Ahh, itu masuk akal.” Aku
sedikit bersyukur atas bantuan Yomiuri-senpai.
Veteran karyawan toko buku
memang handal.
“Lalu aku memilih salah satu
dari genre sastra ringan. Aku pikir sesuatu yang lebih realistis akan lebih
baik sebagai permulaan… Ah, sebelum itu, materi sumber. Apa kita masih memilikinya?”
“Aku rasa sudah tidak dipajang
dibagian depan lagi. Seharusnya sekarang ada di rak, dan ada kemungkinan
pelanggan tidak dapat menemukannya di sana, jadi…”
Kemudian wakil manajer toko
memanggil Yomiuri-senpai. Ia memintanya untuk mengurus kasir, karena dia sangat
pas untuk pekerjaan itu berkat muka dan penampilannya. Dengan ekspresi yang
terdiri dari keengganan dan kepasrahan, dia lalu menerimanya. Setelah
mengucapakan salam singkat, Senpai menuju ke kasir. Senpai, aku tidak akan
pernah melupakan apa yang telah kamu ajarkan padaku. Harap hidup kuat.
“Apa bertugas mesin kasir punya
banyak masalah?”
“Aku rasa begitu. Ini pada
dasarnya membutuhkan banyak komunikasi singkat dengan orang-orang yang umumnya
tidak peduli dengan keadaanmu.”
Saat aku bilang begitu, wajah
Ayase-san menegang, dan dia memeluk tubuhnya dengan kedua tangannya. Ayolah,
tidak semenakutkan itu, kok. Kemudian, aku membawanya ke rak literatur ringan,
dan mulai-mulai mencari novel ringan itu. Mungkin karena masih ada di rak, atau
mungkin karena masih pagi, tapi masih ada satu salinan yang tersisa.
“Ini dia novelnya…”
“Ah, aku pernah membaca
manga-nya. Jadi itu berdasarkan novel, ya? ”
“Menurutku novel yang menerima
campuran media akan menjadi titik awal yang bagus.”
Meski itu tergantung pada
preferensi pribadi apaka kaamu akan menyukai novel tertentu atau tidak.
“Bagian buku pembelajaran ada
di sana. Ada pilar dengan poster besar 'Mempekerjakan
pekerja sambilan' yang tergantung tepat di depannya. Padahal mungkin akan
sulit untuk membaca dengan pencahayaan redup. Pokoknya, raknya ada di sebelah
kanan itu.”
“Ahh, begitu. Aku mengerti… mungkin.
”
“Jika kamu mengalami kendala,
tanyakan pada karyawan di sekitar sana, atau kembali dan aku akan mengantarmu
ke sana.”
“Tidak usah. Aku harus bisa
menemukannya sendiri. Lagipula kamu sedang bekerja sekarang.”
“Baiklah. Kalau begitu, aku
akan kembali bekerja.”
“Kembali, ya? Oh ya, celemek
itu terlihat bagus untukmu. ”
“Kalau itu…... Makasih.”
Sejujurnya, mendadak dipuji begitu
membuatku lebih tercengang daripada senang. Jika memungkinkan, aku lebih suka
mengantarnya ke bagian yang dicari, tapi aku sudah menghabiskan banyak waktu
berurusan dengan Ayase-san, jadi lebih dari ini mungkin akan dianggap
bermalas-malasan.
Ayase-san lalu menuju ke bagian
buku pembelajaran sembari membawa 1 novel sumber film dan dua buku yang aku
rekomendasikan padanya. Setelah menatap poster itu, dia menuju ke kanan, dan menghilang
menuju rak buku. Setelah menatapnya pergi, aku kembali ke tugasku sendiri untuk
mengatur buku di rak.
Setelah sedikit waktu berlalu,
Ayase-san memanggilku dari belakangku. Ketika aku berbalik, dia membawa buku
berat lainnya, yang sepertinya semacam buku referensi.
“Aku akan membeli ini dan
kemudian pulang. Terima kasih sudah membantuku selama shift kerjamu.”
“Aku senang bisa membantu.
Jangan khawatirkan tentang itu.”
Aku melihat Ayase-san berjalan
ke mesin kasir, ketika tiba-tiba ada seseorang memanggilku.
“Permisi, kalau boleh tahu, di
mana ya letak kasirnya?”
Ketika aku menoleh ke arah sumber
suara, aku melihat seorang wanita paruh baya membawa majalah tebal. Lengannya
tampak gemetaran. Meskipun dia membawa tas, dia mungkin berpikir bahwa
meletakkan buku itu di sana sebelum membayarnya akan membuatnya dalam masalah,
itulah sebabnya dia membawanya dengan satu tangan.
“Mesin kasir ada di sebelah
kiri setelah Anda berjalan menyusuri lorong ini ... Tapi apakah anda ingin saya
bantu membawanya?”
“Seharusnya tidak, tapi…
bisakah aku memintamu untuk itu?”
“Ya tentu saja.” Aku menerima
majalah itu, yang ternyata jauh lebih berat dengan tambahan kotak kecil.
Aku memandu wanita paruh baya
itu ke mesin kasir, dan karena saat ini masih buka, aku bisa sekalian mengurus
proses pembayaran juga.
“Kamu benar-benar membantuku.
Terima kasih banyak.”
“Tidak, tidak. Terima kasih
banyak sudah membeli! ”
Wanita paruh baya itu lalu
memasukkan majalah itu ke dalam tasnya dan pergi setelah mengucapkan selamat
tinggal singkat.
“Tolong tunggu sebentar.”
Dan di sana, aku mendengar
suara yang sangat kukenal dari kasir sebelahku, suara milik Yomiuri-senpai. Kebetulan,
pelanggan yang saat ini dia hadapi adalah Ayase-san. Mereka sepertinya telah
menyelesaikan proses pembayaran. Senpai meletakkan kembalian di piring perak di
depan Ayase-san dan memasukkan buku-buku itu ke dalam cover kertas asli toko kami.
“Kamu cukup cepat.” Ujar
Ayase-san, berbicara dengan nada kekaguman.
Mereka tidak menyadari kalau aku
bisa mendengar pembicaraan mereka.
“Mm, aku sudah terbiasa.
Yuuta-kun juga cukup cepat, kok.”
“Yuuta-kun…? Ah, maksudnya
Asamura-kun.”
“Iya. Akan membingungkan jika
aku terus memanggilnya 'Kouhai-kun', ‘kan?
Ini, tiga bukumu… Um, pelanggan yang terhormat, apa Anda ingin sekalian
meng-cover buku referensinya juga? ”
Senpai, sudah terlambat untuk
kembali berbicara dengan bahasa formal.
“Tidak perlu, terima kasih.”
“Dimengerti. Tapi, cuma
Yuuta-kun yang satu-satunya mulai bekerja setelahku, jadi secara teknis Ia
adalah satu-satunya Kouhai-ku. Oh, dan ini pembayaranmu sudah selesai.” Senpai memasukkan keempat buku
itu ke dalam tas vinil dan memberikannya kepada Ayase-san.
“Terima kasih banyak.”
“Sama-sama. Terima kasih banyak
atas pembelianmu! Jika kamu ingin melihat Yuuta-kun yang sedang bekerja lagi, kamu
boleh mampir kapan saja! ”
“Bukan itu alasannya aku ...”
“Untukmu, Saki-chan, aku akan
memberikan senyuman gratis seharga 0 yen!”
Jadi kamu mengambil uang dari
pelanggan lain, Senpai? Namun Ayase-san, bagaimanapun juga, mengabaikan
komentar itu dan keluar dari toko. Pelanggan berikutnya segera mengantri di
kasir, dan aku kembali ke tugasku yang sebelumnya.
Begitu giliran kerja kami
berakhir, Yomiuri-senpai datang menghampiri untuk berbicara denganku.
“Adik perempuanmu imut banget
~”
“Apa kamu masih membicarakan
tentang itu?”
“Setelah kamu mencapai seusiaku,
kamu perlu menyerap esensi anak muda, atau kamu akan membusuk lebih cepat ~”
Memanganya kamu ini makhluk
apaan, vampir?
“Menurutku perbedaan umur kita
tidak terlalu jauh.”
“Kita berbicara tentang SMA dan
universitas di sini. Ini perbedaan yang sangat besar, tahu. Kamu sama sekali
tidak mengerti, Kouhai-kun.”
“Sejujurnya, aku merasa takkan
pernah memahaminya sama sekali.”
“Tapi dia beneran manis, ya.
Dia punya reaksi yang begitu hidup. Setiap kali kamu muncul, ekspresinya akan
berubah sedikit. Kouhai-kun, yang ini mungkin akan menghasilkan banyak uang.”
“Banyak apa?”
“Banyak uang ~!”
Untuk sesaat, aku tidak dapat
memahami apa yang dia bicarakan. Namun, ketika aku melihat senyum cerah dan
matanya yang berbinar-binar, aku segera mengetahuinya. Pada dasarnya, dia
mengatakan kalau reaksi Ayase-san mengisyaratkan kalau dia punya ketertarikan
romantis.
“Tidak, pasti bukan itu……”
“Benarkah? Apa kamu yakin? ”
“Ayase-san cuma adik tiriku,
oke?”
Aku tidak bisa menganggapnya
sebagai lawan jenis, dan aku yakin Ayase-san merasakan hal yang sama. Pasti
begitu.
Giliran kerjaku untuk hari itu
berakhir, dan aku langsung pulang. Kedua orang tuaku masih terjaga, jadi kami
makan malam bersama. Meski sudah hampir larut malam, mereka masih menungguku sampai
saat itu. Akiko-san memasak habis-habisan untuk pertama kalinya. Dia membuat
ayam goreng yang enak. Sementara kami makan, Ayahku terus mengoceh tentang
betapa lezatnya masakan itu dan mengunyah semuanya. Bagaimana Ia bisa memiliki
energi sebanyak ini meski sudah tinggal bersamanya selama sebulan?
Ayase-san tidak ikut makan
malam bersama kami. Dia rupanya sudah makan malam duluan, dan sekarang berada
di kamarnya untuk belajar. Aku tidak melihat Ayase-san lagi malam itu.
<<=Sebelumnya |
Daftar isi | Selanjutnya=>>
Ngeliat 2 orang cantik bertemu itu kesannya seger yak.....enak diliat
BalasHapus