Chapter 4 — Kesalahpahaman Mengenai Masa Lalu
[Sudut Pandang Isurugi Haru]
'Sebelum
menikah, kamu harus coba hidup bersama dulu' itulah yang sering
banyak orang katakan. Begitu mulai hidup bersama, kamu bisa mengamati semua
ciri khas yang belum pernah kamu lihat sebelumnya. Kebiasaan pasanganmu, ritme
gaya hidup, kecenderungan belanja, hobi, dan selera makanan… Kamu akhirnya bisa
merasakan 'perbedaan' dengan orang
yang seharusnya kamu kenal, yang menciptakan kekecewaan yang sering kali
menyebabkan pasangan putus dengan kalimat 'Ini
bukanlah yang aku harapkan'.
Karena perceraian setelah menikah
akan berakibat fatal, banyak pasangan jaman sekarang memulai dengan tinggal
bersama terlebih dahulu untuk melihat apakah semuanya bisa berjalan lancar*. Mungkin
itulah manfaat terbesar hidup bersama tanpa terikat tali pernikahan. Tentu
saja, tanpa harapan untuk hidup bersama tertulis di atas batu, kamu bisa saja
melewatkan waktu yang tepat untuk menikah, yang akan menjadi kekurangannya,
tapi… kesampingkan dulu masalah tersebut. (TN : Kagak berlaku di Indonesia :v )
Dalam kasusku dan Rio, kami
sama sekali mengabaikan semua bagian 'kencan', dan mulai hidup bersama tanpa
persiapan sebelumnya. Aku berharap bahwa kami berdua, yang dibesarkan di dua
lingkungan yang berbeda, akan mengalami beberapa masalah di sana-sini, tapi…
Bagiku, Tamaki Rio adalah teman masa kecil sekaligus mantanku. Dia bukan orang
asing. Itulah sebabnya aku pikir kalau setidaknya aku bisa memahaminya sampai batas
tertentu.
Tapi kenyataannya, aku terlalu
naif. Aku tidak memikirkan dalam-dalam mengenai artinya dari hidup bersama.
Bahkan belum seminggu berlalu… namun kami terlibat dalam banyak pertengkaran.
Yah, meski tidak terlalu merepotkan seperti insiden kancut di hari ketiga, tapi
kami masih sering bertengkar masalah sepele.
Misalnya — bagaimana kita
memotong roti, jika kita memotongnya menjadi enam atau delapan irisan,
bagaimana kita membuat telur goreng, rasa sikat gigi dan pasta gigi, tisu
toilet, berapa kali kita mencuci handuk mandi, di mana kami menempatkan remote,
pernik kecil untuk membersihkan… dll.
Contoh tersebut tidak ada
habisnya. Berkat tinggal bersama, kami jadi mengetahui kecenderungan dan selera
yang berbeda satu sama lain. Kami sering bertengkar tentang sesuatu, dan
mengakhiri hari setelah mempelajari sesuatu yang baru tentang pihak lain.
Perlahan, hal itu mulai ditetapkan bahwa kami tinggal bersama… dan, bahwa aku
masih belum tahu apa-apa tentang Rio.
Hari itu dimulai dengan ejekan
kecil lainnya.
“Hei, Rio…”
Setelah aku keluar dari toilet,
aku berjalan menuju Rio, yang sedang merias wajah di kamar mandi.
Tumben-tumbennya dia harus meninggalkan apartemen lebih awal dariku hari ini.
Rupanya hari ini ada mata kuliah yang tidak boleh dia lewatkan satu kali pun.
“Apa? Dan ... bisa tidak jangan
seenaknya masuk saat aku sedang merias wajah?”
“Dengar… setidaknya isi ulang
tisu toilet jika kamu sudah menghabiskan semuanya, oke.” Aku mengabaikan kata-kata
Rio. “Menempatkan tisu baru di sana setelah kamu menggunakannya merupakan hal
lumrah, bukan?”
“Ahhh…” Rio terdengar seperti
dia teringat sesuatu seperti itu.
Pagi ini, Rio pergi ke toilet
sebelum aku. Sehari setelah kami mulai hidup bersama, dia mengemukakan tentang
kondisi 'Kamu tidak diizinkan menggunakan
toilet 15 menit setelah aku, oke! Dilarang! Dilarang! ', Jadi aku menahan
selama 15 menit ini, dan yang menungguku di sana… adalah gulungan tisu toilet
kosong. Aku diizinkan untuk marah karena ini, bukan?
“Kamu tidak tinggal sendiri
lagi, jadi pertimbangkan apa yang mungkin dirasakan orang lain. Serius… Aku
senang aku menyadarinya ketika aku masuk ke dalam, tapi bayangkan tragedi apa
yang akan terjadi jika aku tidak segera menyadarinya. ”
“… Berisik sekali, sih. Lagian
tisunya ‘kan tidak sepenuhnya kosong. Masih ada sisa di atasnya. ”
“Tidak juga, tidak. Tidak akan
cukup untuk satu kali sapuan.”
“Kalau itu sudah cukup bagiku.”
“Sungguh logika yang mengerikan
... Mengapa kamu tidak bisa mengakui begitu saja kalau kamu salah?”
“Sudah selesai? Aku ‘kan sudah
meminta maaf, jadi bisakah kamu membiarkan aku?”
“… Kamu belum meminta maaf, tau?
Tidak ada satu kata pun yang menyerupai permintaan maaf yang keluar dari mulutmu.”
“Aku meminta maaf di dalam
kepalaku. Pada saat yang sama, kamu juga meminta maaf dengan ‘Beri perhatian lebih lain kali. Maaf karena
sudah marah karena sesuatu yang sangat tidak relevan '.”
“Jangan seenaknya mengarang
suara orang lain, oke.”
“Astaga, kenapa kamu selalu
meributkan hal-hal kecil, sih? Itu sama saja dengan yang kemarin. Karena aku
membiarkan laci terbuka, kamu langsung sewot 'Jika Kamu membukanya, tutup lagi'. Memangnya kamu siapa, ibuku? ”
“… Ayolah, aku takkan
memberitahumu sesuatu yang gila. Jika kamu mengacaukan sesuatu seperti anak
kecil, maka aku harus memperingatkanmu seperti seorang ibu.”
“… Astaga, sikap merendahkan
inilah yang membuatku kesal. Seluruh omongan 'Aku mengatakan hal yang benar' darimu sangat buruk. "
Kami berdua saling memelototi,
dan menjadi putus asa mencari kesalahan satu sama lain. Ini hanyalah salah satu
dari banyak pertengkaran yang kami alami selama seminggu terakhir, berulang
kali untuk hal yang berbeda. Benar, ini sama seperti biasanya—
“Kamu sangat sensitif tentang
segalanya.” Rio terus mengeluh.
“Aku tidak sensitif, kamunya
saja yang terlalu kasar dan ceroboh.” Balasku.
“Menunjukkan kesalahan orang
lain untuk mendapatkan peringkat psikologis ... Kamu kurang toleransi. Ahh,
ihhh jijik banget. Itulah sebabnya kamu sama sekali tidak populer. Aku bisa
mencium keperjakaanmu dari jarak satu mil.”
“Dasar ...” Karena tak tahan
dengan penghinaan dan amarah, aku angkat bicara. “Kamu selalu membicarakanku
mengenai 'tidak populer' atau 'perjaka', tapi bagaimana denganmu? Kamu tidak
jauh berbeda, bukan? ”
“Eh?”
“Kamu tidak pernah berpacaran
dengan siapa pun kecuali aku, kan?”
“Hah? Aku pacaran, kok. ”
ungkap Rio dengan tenang dan terus terang.
Aku gagal untuk benar-benar
memahami apa yang baru saja dia katakan.
“… Eh?”
“Apa-apaan ekspresi aneh itu”
“… Se-Serius? Kamu berpacaran
dengan cowok lain selain aku?”
“Tentu saja. Kenapa? Emangnya saking
mengejutkan itu?” Rio menyisir rambutnya dengan jari, saat dia melanjutkan
dengan nada sombong. “Bisa tidak jangan samakan aku denganmu? Aku cukup
populer, oke? Ada banyak pria yang mencoba merayuku saat aku berjalan-jalan di
kota.”
“………”
“Setelah putus denganmu, aku
mulai kuliah, ‘kan? Dan aku bukan masuk ke universitas khusus perempuan,
melainkan universitas biasa. Wajar-wajar saja kalau aku akan diajak seseorang.
Gadis cantik sepertiku selalu dikelilingi cowok. Saat kamu berjalan di jalur
yang tidak populer, aku mengalami banyak hal, dan tumbuh menjadi wanita dewasa.
Sungguh memalukan bagimu.”
“………”
“Yah, jangan khawatir tentang
itu. Demi pernikahan palsu ini, aku mengakhiri semua hubunganku dengan mereka
…… Wah, sudah terlambat! Aku tidak punya waktu untuk berbicara denganmu di
sini. Aku pasti tidak boleh melewatkan kuliah hari ini. " Dia secara sepihak
memutuskan percakapan, dan berlari keluar dari apartemen.
Pada saat yang sama — aku tidak
bisa bergerak sama sekali. Setelah hening sejenak, aku tergelatak ke lantai
seakan-akan benang yang menahanku telah terputus.
“… Serius.”
Rio punya mantan pacar lain
selain aku. Kebenaran ini membuat dadaku sakit. Setiap kali kami bertengkar, aku
belajar sesuatu yang baru tentang Rio. Ini membuatku sadar kalau aku tidak tahu
apa-apa mengenai dirinya. Dan, hari ini aku belajar kebenaran lain — bahwa ada
cowok lain yang mengetahui sesuatu tentang Rio yang tidak kuketahui.
Aku tidak terlalu ingat apa
yang terjadi setelah itu. Aku kembali tersadar saat berendam di bak mandi pada
malam hari. Aku pergi kuliah, bekerja di pekerjaan sambilanku, makan malam
bersama dengan Rio — tapi itu saja. Isi kepalaku kacau balau, semua kegiatan
har ini kulakukan dengan setengah sadar.
“… Ahhh… ya tuhan…” Berendam di
air panas, aku mengerang.
Ini gawat… Tidak, lebih buruk
dari yang kubayangkan. Kenyataan bahwa Rio berpacaran dengan cowok lain setelah
dia putus denganku… menjadi pukulan berat yang takkan bisa kulupakan. Rasanya
hatiku diikat dengan tali tipis, membuatnya sulit untuk bernafas, otakku
digenggam oleh tangan yang tak terlihat untuk tidak membiarkanku melupakannya…
yang secara bertahap menghancurkan seluruh tubuhku.
“… Ugh.”
Aku tahu. Aku menyadari betapa
menjijikkannya diriku, terlalu kaget oleh kebenaran yang seharusnya menjadi
jelas bagiku. Apa hubungannya dengan apa yang dia lakukan setelah kita putus?
Sangat wajar dan dapat dimengerti kalau dia berpacaran dengan orang lain. Fakta
bahwa aku sangat terkejut dengan hal ini — menunjukkan bahwa aku tidak lebih
dari mantan pacar yang masih memiliki perasaan padanya. Aku… memang menjijikkan.
Aku merasa muak dengan diriku
sendiri. Aku tidak menyangka aku memiliki pemikiran menjijikkan seperti itu…
Sial, mengapa rasanya seperti aku diselingkuhi, sih? Karena hubungan kami
berakhir dengan sehat, apa pun yang dia lakukan setelah itu terserah padanya.
“... Astaga.”
Tidak. Sejujurnya, di suatu
tempat di lubuk hatiku, aku selalu samar-samar merasakannya. Rio memang imut.
Dia wanita yang menawan. Wajahnya yang cantik, gayanya, ke tingkat di mana aku
akan menyebutnya penarik perhatian, karena pria akan selalu meliriknya. Begitu
dia masuk kuliah — banyak cowok yang mengantri untuk menjadi pacarnya.
Kupikir aku selalu menyadari
kemungkinan ini. Tapi, aku memutuskan untuk mengabaikannya, memalingkan
pandanganku darinya. Aku pasti memiliki secercah harapan bahwa dia masih memiliki
perasaan yang tersisa untukku, dan tidak berpacaran dengan cowok lain. Bodoh
sekali. Mengharapkan kemurnian seperti itu dari mantan pacarku adalah gambaran
sempurna dari seorang pria yang tidak populer. Aku memang menyedihkan, dengan
semua perasaanku yang masih tersisa.
“… Haaaaaa…”
Bahkan jika aku memaksakan diri
untuk memikirkan hal lain, kepalaku secara alami mengarah ke sana lagi. Setelah
kami putus, komunikasi apa pun terputus, menciptakan ruang kosong selama dua
tahun — Aku ingin tahu cowok macam apa yang dipacari Rio. Apa mereka lebih muda
dariku atau lebih tua dariku. Sesama mahasiswa, atau pekerja? Apa hanya satu
atau dua orang? Atau, lebih dari itu?
Dan… seberapa jauh hubungan
mereka? Rio dan aku belum melakukan semuanya. Karena berbagai keadaan, kami
putus sebelum melewati garis terakhir itu. Jika… Jika ada cowok lain selain aku,
yang melakukan hal itu dengan Rio. Jika Ia menggunakan bibir dan tangannya
untuk kesenangannya — mencicipi setiap bagian tubuh Rio yang bahkan aku tidak
tahu—
“——!”
Cuma membayangkannya saja sudah
membuatku ingin muntah. Rasa sakit yang menyerang kepalaku ini membuatku ingin
menangis, serta membuat tubuhku menggigil. Perasaan yang menyerupai kebencian
terhadap Rio dan orang lain itu mulai tumbuh di dalam diriku — yang diikuti
oleh dorongan untuk bunuh diri karena perasaan egois ini. Segala macam emosi
muncul di dalam diriku dan bercampur, lalu membuatku sengsara.
Rio punya mantan pacar lain
selain aku.
Tampaknya aku menjadi pria
menyedihkan karena fakta yang jelas ini saja sudah membuatku jatuh ke dalam
kondisi yang tidak sedap dipandang.
❀❀❀❀
[Sudut Pandang Tamaki Rio]
'Umu,
begitu rupanya. Jadi setelah putus dengan Haru-sama, anda sangat populer, dan
berkencan dengan pria lain… itulah yang anda katakan, Rio-sama. '
Saat Haru sedang mandi, aku
menjelaskan situasinya kepada Hayashida, yang menyimpulkannya dengan nada lelah.
'Sekarang
... kenapa anda berbohong tentang itu?'
“Ka-Karena apa boleh buat. Mata
dibalas mata, seperti yang orang bilang.”
Setelah putus dengan Haru dan
masuk kuliah, aku berkencan dengan cowok lain selain Haru — Tentu saja, hal itu
jelas-jelas bohong. Aku tak pernah berpacaran dengan cowok lain selain Haru. Aku
bahkan tidak pernah memikirkan hal itu. Sejak kami putus, aku terus
memikirkannya sampai-sampai aku membenci diriku sendiri karenanya.
“Karena Haru memutuskan itu
sendiri ... mau tidak mau aku jadi melawan.”
'Dalih
seorang wanita, begitu. Saya mengerti kenapa anda mengatakan itu.
'Hayashida berkata sambil mendesah. 'Namun,
ketimbang menjadi populer, syok yang anda terima karena putus dengan Haru-sama
membuat anda tidak banyak masuk kuliah pada awalnya. Jadi, anda harus mengulang
satu tahun. "
“Ugh…”
Benar sekali. Tahun pertama aku
masuk kuliah ..… sangat tidak karuan. Setelah putus dengan Haru, aku tidak bisa
memotivasi diriku sendiri untuk melakukan apa pun, hanya mengunci diri di kamar
sepanjang hari. Bermain game, menonton drama luar negeri, acara TV, Cuma itu
satu-satunya pelepas stresku.
'Jadi
... bagaimana reaksi Haru-sama mengenai hal itu?'
“… Ia pasti bertingkah aneh. Ia
tampak melamun saat kami makan, tidak berbicara denganku sama sekali. ”
'Ahhh
... Ia pasti sangat syok.'
“M-Menurutmu begitu?”
Apa Haru syok mendengarnya? Apa
Ia tidak suka kalau aku berpacaran dengan orang lain? Pada dasarnya-
"Semua
pria adalah makhluk yang egois. Mereka akan membenci mantan pacarnya diambil
oleh cowok lain. Terutama Haru-sama, aku yakin. Menilai dari apa yang aku
dengar, Haru-sama tampaknya cukup khawatir tentang keper — kemurniannya.'
“………”
"Pokoknya,
saya sarankan anda untuk meminta maaf dengan segera."
“Ap… A-Aku tidak bisa melakukan
itu.”
Aku harus mengakui bahwa semua
yang aku katakan hanyalah kebohongan, dan meminta maaf? Mustahil, aku tidak
bisa.
“A-Apalagi… aku tidak perlu
meminta maaf segala, ‘kan? Memang benar kalau aku berbohong, tapi… siapa peduli
dengan kebohongan seperti itu? Itu ‘kan pilihanku sendiri dengan siapa aku akan
berpacaran setelah kita putus, dan itu bukan haknya untuk menyalahkanku karena
itu ...”
'Hal
itu memang benar. Saya yakin anda tidak salah. Bahkan jika anda berpacaran
dengan cowok lain setelah putus dengan Haru-sama, Ia tidak punya hak untuk
mengeluh atau merasa terganggu. '
Namun, Hayashida terus
melanjutkan.
"Yang
terpenting saat ini bukanlah logika. Dengan kebohongan itu — anda sudah
menyakiti Haru-sama.”
“…!”
'Demi
menebus hal itu, apa yang ingin anda lakukan sekarang, Rio-sama?' tutur
Hayashida.
Dia terdengar acuh tak acuh
tentang itu, tapi rasanya dia mengatakannya atas dasar kebaikan.
"Rio-sama
yang saya kenal mungkin berkepala batu dan selalu hidup dalam kepura-puraan
dengan harga diri yang tidak perlu yang membuatnya sulit untuk dihadapi, tapi —
Anda tidak pernah bersikap kejam, ‘kan."
Setelah mengakhiri panggilan
dengan Hayashida, aku menuju ke ruang ganti. Yang mengejutkanku, Haru masih
mandi. Biasanya, Ia akan menyelesaikannya dalam waktu sepuluh menit, tapi hari
ini Ia sudah berada di sana setidaknya selama 30 menit.
“… Haru? Apa kamu baik-baik
saja? Kamu masih hidup ‘kan?” Aku memanggilnya melalui kaca patri.
“Rio… A-Ada apa?”
“Jangan tanya ada apa. Karena
kamu mandi terlalu lama, aku khawatir sesuatu akan terjadi.”
“… Apa aku sudah selama itu?”
“Sekitar 30 menit, ya.”
“Masa… Maaf soal itu, aku cuma kepikiran
beberapa hal…”
“… Bukannya kamu harus
menyelesaikan tugas laporan yang kamu bicarakan hari ini? Kamu bilang kalay
batas waktu penyerahannya adalah besok.”
“Ahh… itu, ya… aku lupa.”
“Kamu lupa…?”
Apakah Haru pernah melupakan
sesuatu dari pekerjaan atau tugas kuliahnya? Pasti ada yang salah… dan itu
mungkin karena kebohonganku, iya ‘kan.
“……”
Kenapa ... Kenapa kamu sangat
syok mengenai hal itu? Seharusnya tidak ada hubungannya denganmu, ‘kan. Atau —
apa kamu pikir itu memang ada kaitannya denganmu? Apa Kamu penasaran dengan apa
yang aku lakukan? Apa kamu sangat terkejut saat aku berpacaran dengan orang
lain? Apa… ini keinginanmu untuk memonopoli segalanya? Apa kamu merasa kesal
karena mantan pacarmu sudah melupakanmu dan bisa berpacaran dengan orang lain?
Sebagai teman masa kecilku, apa kamu khawatir aku akan terjebak dalam hubungan
yang berbahaya dengan cowok yang mencurigakan? Atau… apa kamu masih memiliki
perasaan padaku?
“… D-Dengar.” Aku menekan semua
pertanyaan dan perasaan ini menciptakan pusaran di dalam diriku, dan membuka
mulut. “Ak-Aku bohong!”
“…Hah?”
“Apa yang aku katakan… pagi
ini. Kalau aku berpacaran dengan orang lain setelah putus denganmu ... itu
semua bohong.”
“Eh… Bo-Bohong?”
“Ya, bohong. Setelah putus denganmu,
aku tidak pernah berpacaran dengan orang lain.”
“………”
“Ja-Jangan terlalu dipikirkan.
Memang benar kalau aku populer di universitasku, tetapi sayangnya tidak ada
orang yang sepadan dengan waktu dan usahaku! Ini bukannya aku membandingkan
mereka denganmu, jadi jangan salah paham, oke!”
“……”
“Ka-Karena kamu membuatku kesal
pagi ini, aku cuma mengoceh kebohongan acak untuk mengatasinya. Aku tidak
benar-benar berpikir aku perlu memperbaikinya, tapi… Aku tidak ingin kamu
menganggapku sebagai wanita lonte, jadi kupikir sebaiknya aku mengatakan yang
sebenarnya. ”
“……”
“Po-Pokoknya, itulah yang ingin
aku katakan! Cepat keluar dari bak mandi, aku belum mandi! "
Aku mengatakan apa yang aku
inginkan, dan berlari keluar dari ruang ganti. Tepat saat aku membanting pintu
hingga tertutup di belakangku, aku berjongkok, dan menarik napas dalam-dalam.
“Haaaa…”
Aku mengatakannya. Aku berhasil
mengatakan yang sebenarnya. Aku dipenuhi dengan kelegaan dan rasa kebebasan… tapi
juga penyesalan. Jika aku membiarkan kebohongan itu berlangsung lebih lama, aku
bisa menggunakannya sebagai strategi. Biasanya, Haru selalu tenang dan kalem,
jadi jarang melihatnya terguncang seperti ini. Jika aku terus menggunakan ini
demi keuntunganku, aku mungkin bisa membuatnya berkata jujur.
Misalnya saja mengenai perasaannya
yang sebenarnya, bagaimana perasaannya terhadapku, jika Ia masih memiliki
perasaan yang tersisa untukku.
Tapi… Aku tidak bisa melakukan
sesuatu yang terlalu kasar. Aku tidak bisa begitu saja meninggalkan Haru
sendirian ketika Ia dalam keadaan linglung seperti itu, dan yang lebih penting…
Aku tidak ingin Ia salah paham. Aku tidak ingin Haru berpikir kalau aku adalah
wanita murahan yang akan bepacaran dengan siapa saja.
Selang beberapa saat kemudian, aku
mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. Haru pasti sudah melangkah ke ruang
ganti. Dan, yang mengejutkanku — Ia sampai bersiul-siul segala. Ia mungkin
mengira tidak ada aku.
“… suasana hatimu bagus sekarang
‘kan, dasar idiot.” Aku melontarkan komentar racun padanya.
Tapi, aku tahu bahwa aku
sendiri sedang tersenyum.
Setelah mendapatkan kembali
sebagian energinya, Haru mengunci diri di kamar untuk mengerjakan tugas laporannya,
jadi aku melangkah ke balkon untuk menceritakan kejadiannya pada Hayashida.
'...
Saya tahu kalau saya sendiri yang memberi anda nasihat, tapi anda berbaikan
dengan cepat, jadi rasanya sama sekali tidak menarik. Apa anda tidak bisa bertengkar sedikit lebih lama lagi?”
“… Kenapa kamu mengatakan hal
semacam itu? ”
'Setiap
kali anda menelepon, Anda terus membual mengenai kehidupan cinta anda, saya
sudah mulai bosan.'
“A-Aku tidak membual sama
sekali, kok!”
'Ahh,
saya sangat cemburu. Saya juga ingin melakukan pertengkaran dalam pernikahan.”
“... Itu bahkan bukan pertengkaran
dalam pernikahan, kami ini pasangan palsu.” Aku memberikan jawaban yang aneh.
'Apa
anda mengalami pertengkaran kekasih seperti ini juga saat masih berpacaran?'
"... Kami tidak pernah bertengkar
seperti ini saat masih pacaran.”
"Begitu
rupanya, jadi anda berdua adalah pasangan yang mesra."
“Kami adalah pasangan yang
normal! Sangat normal! ”
'Hmm
...'
Hayashida sepertinya sedang memikirkan sesuatu. 'Rio-sama, saya sudah penasaran mengenai hal ini,' lanjutnya. 'Kenapa ... kalian berdua bisa putus?'
“………”
“Sekitar waktu itu, saya keluar dari pekerjaan saya, jadi saya tidak
mendengar rinciannya. Apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian berdua… ’
Aku tidak bisa membalas segera.
Sekarang setelah dipikir-pikir lagi, aku tidak pernah memberi tahu Hayashida
sebelumnya. Saat kami putus dulu, dia sudah mengundurkan diri karena
pernikahannya akan datang sebentar lagi. Meski dia kembali beberapa bulan
setelahnya. Selama jangka waktu itu, Haru dan aku mengakhiri hubungan kami.
“... Tidak ada alasan yang
serius.” tuturku. “Meski kami resmi pacaran, tapi kami tidak tahu harus berbuat
apa ... Jadi kami berdua menjadi canggung satu sama lain, yang membuat kami
terasing ... Dan begitulah akhirnya.”
“Kedengarannya
seperti masalah khas pasangan pelajar." Hayashida menanggapi
dengan suara puas, tapi aku merasa bersalah.
Semua kenangan yang lebih suka
tidak kuingat kembali mengalir ke dalam kepalaku.
Aku tidak benar-benar berbohong
pada Hayashida. Fakta bahwa kami terlalu canggung satu sama lain sehingga kami
mulai menjauh adalah benar. Berbeda umur dan sekolah yang berbeda, kami tidak
dapat menemukan banyak waktu untuk berkencan bersama. Selain itu, karena kami
berdua tinggal di rumah keluarga kami, kami bahkan tidak dapat menelepon satu
sama lain.
Yah, kalau dipikir-pikir lagi,
kami bisa saja mengumumkan hubungan kami kepada keluarga, dan berpacaran secara
terbuka, tapi karena kita berdua sama-sama masih dalam masa pubertas, hal
tersebut menjadi rintangan yang terlalu sulit untuk kami selesaikan.
Intinya, kami terjebak dalam
cinta yang terbatas ini. Aku ingin lebih sering bertemu Haru, lebih sering
mengobrol dengannya, dan lebih sering menyentuhnya — aku tidak bisa
mengungkapkan kejujuran untuk menunjukkan perasaan ini secara terbuka.
Akibatnya, meski kami berpacaran dengan perasaan yang sama, kami tidak pernah membuat
kemajuan dengan hubungan kami, dan rasa frustrasi tersebut menumpuk.
Kami tidak pernah bertengkar, tapi
pada saat yang sama, bisa dibilang kalau kami selalu berusaha untuk saling
perhatian. Fakta ini membuatku merasa — seperti aku meminta terlalu banyak.
Saat kami mulai berpacaran, rasanya seperti berada di surga, dan kupikir
saat-saat bahagia kami bersama akan berlanjut selamanya. Aku tidak pernah ragu
bahwa kami akan mengatasi puncak dari arti menjadi pasangan.
Sungguh, kesalahpahaman yang
bodoh. Persis karena aku hidup dengan fantasi-fantasi ini, kesenjangan
kenyataan membuatku semakin sulit untuk mengatasinya.
Dan yang paling membuatku takut
— ialah kalau Haru mungkin membenciku.
“Ini
bukan seperti yang aku harapkan.”
'Kamu
lebih membosankan dari yang kukira.'
Apa yang harus kulakukan jika
Haru menganggapku seperti itu? Tidak seperti aku, yang bersekolah di sekolah
khusus perempuan, Haru bersekolah di sekolah umum yang elit. Bagaimana jika Ia
kehilangan minat padaku dan malah mencari gadis di dekatnya? Dipenuhi dengan
kepanikan dan kecemasan — Saat rasa frustasiku meledak, aku melampiaskannya ke
arah yang aneh.
“R-Rio— !?”
Beberapa bulan berlalu setelah
kami mulai berpacaran. Dan, itu terjadi pada hari kami tidak sekolah pada sore
hari. Aku mengajukan alasan acak untuk memanggilnya ke rumahku — dan kemudian
mendorongnya ke bawah.
Dengan paksa, aku membantingnya
ke atas tempat tidur. Kupikir, semakin banyak kami berbicara, semakin besar
tekadku goyah, jadi aku tidak memberinya banyak pilihan, dan mengatasinya.
“Ti-Tidak apa-apa ... Ini oke
...” Aku mengabaikan ketidaknyamananku sendiri, dan membuka kancing blusku.
Aku mengulangi kalimat 'Tidak apa-apa' yang sama berulang kali,
seolah-olah mengatakan kepada diriku sendiri.
“Begitu mulai pacaran, hal
semacam ini pastinya normal, ‘kan… Kamu sekarang sudah SMA, jadi kamu pasti
tertarik dengan hal semacam ini, bukan?”
“… It-Itu…”
“Kamu tahu, aku sendiri tidak
punya pengalaman, tapi… jangan khawatir. Aku sudah mempelajarinya! Itulah
sebabnya… Kamu tidak perlu melakukan apa pun. Aku akan ... Aku akan mengurus
semuanya. Karena aku yang lebih tua ... aku akan memimpin dengan baik.” Aku
mati-matian berusaha menyembunyikan kecemasanku sendiri, dan bertindak seperti
orang yang lebih tua, bertingkah seperti 'Onee-san',
yang membuatku menekan perasaan malu dan gugup yang terus menggangguku.
Bisa dibilang, hatiku berdetak
kencang seakan-akan ingin meledak, tubuhku juga terasa. Aku bahkan tidak ingat
wajah seperti apa yang dibuat Haru. Kepalaku sudah menjadi kosong, karena aku
bahkan tidak bisa melihat orang di bawahku.
“… Aku menyiapkan semuanya,
jadi kamu tidak perlu khawatir sama sekali… Um, aku bahkan berlatih bagaimana
untuk… me-memakainya.”
Jika aku diizinkan untuk
beralasan, aku sendiri tidak memiliki
niat buruk. Hal yang mendorongku berbuat ini hanyalah perasaan murni kepada
Haru. Aku pikir jika kami melakukan ini, hubungan kami akan semakin dalam. Itu
akan mencapai level lain, dan Haru takkan menentang ini.
Padahal, jika dipikir dengan
tenang, aku hanya mementingkan diriku sendiri. Semua yang aku lakukan demi
kepuasanku sendiri, dan tidak pernah memikirkan tentang perasaan Haru.
“Tu-Tunggu, Rio…”
“Tidak apa-apa. Kamu tidak
perlu menahan diri… Jika itu kamu Haru… maka aku tidak keberatan… ”
“Tapi…”
“Duduk diam saja!” Aku
berteriak untuk menyela Haru, dan meraih pergelangan tangannya.
Aku membimbing lengannya menuju
dadaku, membuatnya membelai salah satu payudaraku, cukup kuat untuk mengubah
bentuknya.
“Ap… Urk…”
“Li-Lihat, bagaimana? Cowok
menyukai gadis berukuran payudaraku, ‘kan? Kamu selalu menatapku, bukan.”
“…!”
“Jika itu kamu, Haru, aku tak
keberatan melakukan hal semacam ini ...”
Tentu saja, aku sama sekali
tidak baik-baik saja. Aku merasa seperti akan menjadi gila karena aliran darah
dan kecemasan. Aku bahkan hampir tidak bisa mendengar suara Haru. Aku hanya
melafalkan kata-kata yang aku latih di dalam kepalaku. Tapi, karena isi kepala
yang kacau balau, aku bahkan tidak bisa mengingat apa yang ingin kukatakan.
Awalnya, aku tidak berencana
untuk langsung le tahap meraba-raba seperti ini. Tampilanku tak karuan,
rencanaku kacai balau — aku mengacaukan urutanya, dan segera meraih tempat
berharga Haru.
“—!” Alhasil, tubuh Haru
mengejang karena syok.
Ini pertama kalinya aku
menyentuh barang seorang pria di bawah sana. Bahkan melalui celananya, aku bisa
tahu seberapa keras, besar… dan juga panasnya. Di saat yang sama, kepalaku
hampir meledak. Saat aku menjadi putus asa memikirkan apa yang harus dilakukan
selanjutnya — hal itu pun terjadi.
Haru meraih tanganku, dengan
paksa menyingkirkannya.
“…Hentikan.” Suaranya terdengar
dalam, namun bergetar.
Saat aku secara refleks
mengangkat kepalaku, tatapanku bertemu dengan tatapan mata Haru.
“Tolong hentikan.” Haru menatapku
dengan ekspresi seolah-olah Ia akan menangis.
Dengan mata gemetar, ketakutan,
dan juga malu, dia merengut padaku. Dalam tatapannya — ada tersirat penolakan
yang jelas. Di sana, aku menyadarinya sepenuhnya. Ia tidak hanya menyembunyikan
rasa malunya, dia sebenarnya membenci situasi ini.
“Ah…” Aku merasakan semua darah
mengalir dari tubuhku.
Kepalaku mendingin dengan
kecepatan yang hampir mengkhawatirkan, dan kenyataan dari apa yang telah aku
lakukan langsung tertanam dalam diriku.
“Ak-Aku ...” Bercampur dengan
rasa malu dan amarah pada diriku sendiri, aku bahkan tidak meminta maaf dan
malah berlari keluar ruangan.
Aku tidak ingat banyak tentang
apa yang terjadi setelah itu. Kami hanya berbicara seminggu kemudian, melalui
telepon. Aku mulai menelepon — untuk mengakhiri hubungan kami.
“Bagaimana kalau kita putus
saja?”
Terlalu canggung, terlalu malu,
terlalu merasa bersalah, tidak tahu harus memasang wajah seperti apa, aku pun
memanggilnya. Aku tahu pasti bahwa Haru akan membenciku. Tapi, ada juga bagian
dari diriku yang masih memiliki harapan. Bahwa jika aku menelponnya sendiri, Ia
mungkin akan mengatakan sesuatu seperti 'Aku
tidak mau', itulah sebabnya panggilanku juga sedikit licik. Tapi…
“…Ya.”
Balasan yang kudapat terdengar
terlalu acuh tak acuh, dan hampir dingin. Dengan begitu, hubungan kami
berakhir… bahkan tidak bertahan setahun.
“… Haaa.” Setelah aku menyelesaikan
panggilan teleponku dengan Hayashida, aku menghela nafas panjang.
Sungguh kenangan mengerikan —
Tidak, menyebutnya mengerikan adalah kata yang salah. Satu-satunya yang berhak
menyebutnya mengerikan adalah Haru. Tanpa meminta persetujuannya, aku memaksakan
diri kepadanya, menginginkan hubungan fisik… dan bahkan meminta putus dengannya.
Rasanya kejam, terlalu kejam.
Aku yakin Haru pasti sudah kehilangan perasaan yang dulu Ia miliki untukku, dan
siapa yang bisa menyalahkannya, dengan wanita labil sepertiku.
“…Ya itu benar. Aku seharusnya
tidak… terlalu berharap. ”
Hal itu sudah terukir kuat di
kepalaku sejak kami mulai tinggal bersama, tapi aku merasa aku sudah agak tenang.
Mari hentikan ini. Jangan terlalu berharap. Hubungan kita sudah berakhir. Mana
mungkin Haru masih menyukaiku. Satu-satunya alasan Ia menyetujui pernikahan
palsu ini adalah untuk membantuku. Ia selalu bersikap perhatian selama hidup
kita bersama karena Ia selalu baik. Satu-satunya alasan kenapa Ia merasa sedih
karena Ia tidak dapat menerima kenyataan bahwa mantan pacarnya mendapatkan
pacar lain tepat setelahnya.
Tidak apa-apa, aku tahu. Tidak
apa-apa. Meskipun tidak ada cinta yang terlibat di sini, pernikahan palsu ini
tidak seburuk yang aku duga, jadi aku sudah merasa puas. Itu sebabnya, aku
tidak akan punya ekspektasi lagi.
“… Hm?”
Aku mengambil keputusan dengan
sesuatu yang menyerupai pengunduran diri, dan kembali ke ruang tamu. Entah kenapa,
Haru ada di sana. Apa Ia sedang istirahat dulu dari tugas laporannya? Ia duduk
di sofa sambil memegangi kepalanya. Sampai tingkat di mana aku bisa membaca
kata 'Suram' di atasnya.
“A-Ada apa, Haru? Bagaimana
dengan tugas laporannya? ”
“… Aku sudah menyelesaikannya.
Itu sebabnya aku beristirahat sebentar ... tapi, seseorang baru saja menelponku.”
“Siapa?”
“... Seseorang yang sangat berbahaya.”
balasnya dengan suara gemetar, dan melanjutkan. “Akino-san ... akan datang
berkunjung.” Kedengarannya Ia baru saja mengumumkan kalau dunia mau kiamat.
Haru masih mengaktifkan layar
ponselnya, mungkin baru saja menerima pesan tersebut, karena nama pada tampilan
bertuliskan 'Isurugi Akino'.
Akino-san. Isurugi Akino. Dia
adalah istri dari kakak kedua Haru, dengan kata lain, dia adalah — saudari ipar
Haru.
<<=Sebelumnya |
Daftar isi | Selanjutnya=>>