Motokano Vol.1 Chapter 07 Bahasa Indonesia

Chapter 7 — Bukti Ikatan Cinta

 

Dua pekan telah berlalu sejak aku dan Rio mulai menjalani hidup bersama. Pada suatu hari, kami berdua meninggalkan rumah bersama. Aku menyelesaikan persiapanku lebih awal, sembari menunggu Rio selesai saat aku duduk di sofa. Aku menunggu… dan menunggu lebih lama lagi…

“... Duhhh.” Aku menghela nafas lagi.

Aku merasa sudah tahu tentang ini sebelumnya, tapi begitu aku mulai tinggal bersama Rio, hal menjadi lebih jelas bagiku ... bahwa wanita membutuhkan waktu yang sangat lama untuk bersiap-siap.

“… Hei, Rio. Kamu masih belum selesai saja? ”

Aku memeriksa waktu dengan smartphone-ku, dan memanggil Rio, yang sedang merias wajahnya.

“Jika kita tidak segera pergi, kita akan ketinggalan bus.”

“Wahh, tunggu sebentar, sebentar lagi selesai!”

“Kamu terus mengatakan hal yang sama dari tadi.”

“Apa boleh buat ‘kan, Aku berubah pikiran mengenai riasan di tengah jalan.”

“Mengapa kamu melakukan itu… Siapa juga yang peduli dengan riasan?”

“Pelecehan moral! Kamu menyangkal nilai-nilai istrimu, jadi aku sebut pelecehan moral! "

“… Aku tidak menyangkal riasan secara keseluruhan. Jika kamu tahu bahwa ini akan memakan waktu lebih lama, kenapa tidak memulainya lebih awal? Kamu justru menghabiskan waktu manismu dengan sarapan, dan melihat-lihat media sosialmu setelah… ”

“Baiklah, pelecehan logis. Jangan salahkan istrimu dengan logika! "

“………” Aku hanya bisa mendongak ke langit-langit.

Perdebatan ini cuma membuang-buang waktu, dan bahkan jika aku terus mengkritiknya, itu hanya akan menjadi bumerang. Mustahil bisa menang melawan wanita dengan logika. Ini merupakan hal lain yang aku pelajari setelah pindah bersama Rio, dan baru sekarang memahami kata-kata yang sering aku dengar sebelumnya.

Pada dasarnya, ini bukan masalah menang atau kalah dalam argumen verbalmu… karena tidak ada artinya juga meski kamu menang. Bahkan jika kamu berdebat dengan logika dan penalaran, itu hanya akan memperburuk suasana hati orang lain. Lebih tepatnya, pemikiran untuk mencoba menang saja sudah salah. Istri atau pacarmu bukanlah musuh, tapi pihak yang perlu diajak berkompromi.

“Kamu tidak perlu panik begitu, meski kita ketinggalan bus, aku bisa menelepon Hayashida saja.”

“Jangan gunakan Hayashida-san seenak udelmu.”

“Dia tidak keberatan, dan aku juga tidak memerintahnya. Cuma permintaan imut-imut. Hayashida dan aku seperti keluarga, jadi dia Onee-chan-ku yang mengantarku, adik perempuannya yang imut, berkeliling dengan membawa SIM-nya. Sangat normal, bukan? ”

“... Jangan berpikir dia bisa membuktikan itu. Ini sama saja seperti dirut perusahaan mengatakan 'Karyawanku adalah keluarga' hanya untuk membuat mereka bekerja lembur.”

“—Baiklah, aku selesai!”

Akhirnya. Aku pikir kita mungkin bisa melakukannya tepat waktu. Aku meraih barang-barangku, dan berdiri dari sofa.

“Ayo, Haru, cepatlah! Kalau tidak, kita akan ketinggalan bus!"

“Menurutmu ini salah siapa?”

“Apa kamu membawa photobook upacara pernikahan?”

“Ya.” Aku melihat tas di tanganku. “Tabletnya juga ada di dalam ... Kamu juga membawa barang-barangmu ‘kan?”

“Ya, aku sudah menyiapkannya tadi malam.”

Setelah memastikan bahwa tidak ada yang ketinggalan, kami segera meninggalkan apartemen. Jalan-jalan bersama seperti ini terjadi terakhir kali pada hari pertama kita pergi berbelanja, tapi… ini bukanlah kencan.

“... Tetap saja, aku sangat senang.” Begitu kamu memasuki lift, Rio menggumamkan kata-kata ini. “Kabar baik bahwa Nenek kembali sehat jadi kita bisa datang menjenguknya.”

“Memang.” Aku setuju dengan sepenuh hati.

Rencana kami hari ini adalah menjenguk Fumie-san.

Tamaki Fumie adalah nenek Rio, dan salah satu pendiri Tamakiya. Awal mula pembuat manisan terbesar di timur laut Jepang, Tamakiya, terjadi dengan dia dan suaminya, sebagai toko dorayaki lokal. Dorayaki mereka segera menjadi terkenal di daerah tersebut, yang memungkinkan mereka untuk menambah dua, tiga toko cabang. Tepat ketika bisnis mereka mulai berkembang, dan suaminya meninggal mendadak karena penyakit, dia terus bekerja sebagai presiden wanita Tamakiya.

Namun, pada ulang tahunnya yang ke-60, putranya — pada dasarnya adalah ayah Rio — mengambil alih perusahaan, dan dia mundur sepenuhnya. Dia masih menjabat presiden, tapi dia tidak pernah memberikan perintah apapun terkait dengan manajemen Tamakiya. Rio sudah lahir sekitar waktu itu, jadi setelah pensiun dari pekerjaannya, Fumie-san malah bekerja untuk merawat Rio. Setiap kali aku datang mengunjungi rumah Rio, dia akan bermain dengan kami. Itu mungkin alasannya… Aku tidak benar-benar memiliki gambaran tentang 'pendiri penjual manisan tradisional' di dalam kepalaku.

Dia baik hati, nyaman untuk bergaul, dan seorang nenek yang kadang-kadang memanjakan kita dengan ini dan itu. Namun… selama beberapa tahun terakhir, penyakit menggeregoti tubuhnya, itulah sebabnya dia harus dirawat di rumah sakit akhir-akhir ini.

Jika kesehatannya memungkinkan, dia akan menghadiri pernikahan kami, tapi dikarenakan situasinya semakin memburuk, dia harus dirawat inap di rumah sakit. Untuk sesaat, tidak ada pengunjung yang diizinkan, tapi untungnya keadaannya semakin membaik, jadi kami sekarang bisa mengunjunginya.

“-Nenek.”

Rio tidak bisa menunggu lebih lama lagi, dan segera berlari ke kamar.

“Ya ampun, Rio-chan, selamat datang.” Fumie-san mendorong bagian atas tubuhnya, menunjukkan suara yang nyaman dan senyum hangat saat melihat Rio.

Dia memiliki rambut seputih salju dan wajah penuh keriput. Aku sudah tidak melihatnya selama beberapa tahun, dan meski kami berencana untuk mengunjunginya di sini sebelum upacara, kondisinya sendiri tidak memungkinkan hal itu terjadi.

“Sudah lama tidak bertemu, Nek. Apa kamu baik-baik saja bangun seperti itu? ”

“Ya, aku merasa baikan hari ini.”

“Jangan memaksakan diri. Jika masih tidak enakan, nenek bisa lebih banyak istirahat. ”

“Terima kasih. Kamu masih lembut seperti biasanya, Rio-chan. ” Fumie-san tersenyum senang.

Setelah menunggu sebentar, aku memasuk kamar inap juga. Tempat ini merupakan salah satu dari sedikit rumah sakit umum di prefektur, khususnya bangsal rawat inap. Fumie-san saat ini sedang dirawat di kamar rumah sakit VVIP di lantai tertinggi. Ruangannya sendiri cukup besar untuk seukuran kamar rumah sakit, dengan furnitur yang lumayan mewah, bahkan TV besar, sama sekali berbeda dengan kamar biasa yang memuat beberapa orang. Tentu saja, harga kamar ini sangat berbeda.

Jika… Jika manajemen Tamakiya semakin menderita, maka dia mungkin tidak mampu membayar kamar rumah sakit ini. Aku yakin bahwa yang paling ingin dilindungi Rio adalah Tamakiya, tapi memastikan kesehatan neneknya juga merupakan bagian penting darinya. Semakin baik lingkungannya, semakin sehat pula keadaannya. Hal tersebut menunjukkan betapa sayangnya Rio kepada neneknya.

“… Haru? Kenapa kamu melamun terus? Ayo kemari.” Didesak oleh Rio, aku perlahan berjalan menuju, dan kemudian menundukkan kepalaku.

“Sudah lama tak berjumpa, Fumie-san.”

“Haru-kun…? Astaga, kamu sudah tumbuh jadi pria menawan. ” Melihat respons emosional Fumie-san, aku sendiri merasa geli.

Dibandingkan dengan Fumie-san yang kumiliki dalam ingatanku, dia pasti menderita karena penyakitnya. Namun, senyum hangat dan suara yang dia tujukan padaku masih terdengar sama. Beliau masih menjadi Nenek Fumie yang sangat kucintai.

“Sepertinya kamu sudah tumbuh dewasa saat aku tidak melihatmu beberapa tahun.”

“Haru masih 19 tahun.”

“… Tidak perlu menambahkan bagian itu juga kali.” Aku memberikan jawaban ringan.

“… Sungguh… rasanya masih terasa tidak nyata.” Fumie-san menyipitkan matanya, menatap kami berdua. “Rasanya seperti aku baru saja bermain denganmu di taman kami, namun kamu tumbuh seperti ini…”

“Sudah lebih dari sepuluh tahun sekarang, nek, tentu saja kita akan tumbuh dewasa.”

“Begitu kamu mencapai usiaku, sepuluh tahun terasa seperti kemarin.” Setelah mengolok-olok komentar Rio, Fumie-san sekali lagi melanjutkan dengan nada nostalgia. “Sungguh… segalanya terjadi dalam sekejap mata. Cucu perempuanku yang lucu lahir, bermain dengan anak dari Isurugi-san… dan sekarang anak-anak tersebut tumbuh besar dan menikah secara nyata. ” Dia memejamkan matanya, dan dengan lembut menundukkan kepalanya.

“Rio-chan, Haru-kun, selamat atas pernikahan kalian.” Ujarnya memberikan selamat.

Aku… cuma bisa membalas dengan senyuman samar. Aku merasa agak tersipu, malu, dan yang terpenting — bersalah. Aku tidak bisa menghilangkan rasa bersalah yang menggangguku karena pernikahan palsu ini.

“Maaf… aku tidak bisa tidak berpartisipasi dalam upacara pernikahan kalian. Aku benar-benar ingin merayakannya dengan kalian. ”

“Jangan khawatir, Nek. Aku juga minta maaf karena tidak dapat mengunjungimu sama sekali. Itu terjadi begitu cepat sehingga… Ah, kami membawa beberapa foto, tahu? Haru, bisa tolong bawakan albumnya kemari? ”

Aku mengeluarkan album foto, dan menyerahkannya kepada Rio. Kami membuatnya secara profesional, dan berfungsi seperti buku foto yang berisi foto-foto acara perayaan dan foto-foto sebelumnya.

“Ara.”

Saat Fumie-san membuka album foto, mulutnya menunjukkan senyuman. Dalam gambar album tersebut, terlihat Rio dan aku berdiri dengan pakaian resmi. Secara pribadi, melihat orang lain melihat gambar itu cukup memalukan, tapi Rio tampak percaya diri, dan Fumie-san juga memasang ekspresi bahagia di wajahnya.

“Rio-chan, kamu benar-benar cantik. Gaun putih itu terlihat sempurna untukmu.”

“Benar, ‘kan? Padahal aku ingin sekali memakai beberapa gaun lain ~ ”

“… Dua kali saja sudah lebih dari cukup.” balasku dengan suara pelan.

Kami mengadakan upacara di dalam aula upacara kota, dan hanya mengundang keluarga dekat.

'Karena kita masih pelajar, kita tidak boleh mengadakan upacara yang begitu besar' Cuma alasan palsu, tapi kenyataannya, kita sebenarnya terburu-buru. Mengumpulkan keluarga terdekat lainnya dan orang-orang yang bekerja di perusahaan, mengirimkan undangan, dan bahkan mendapatkan aula yang lebih besar akan memakan waktu setidaknya setengah tahun. Supaya Keluarga Isurugi mulai membantu Tamakiya secepat mungkin, kami menilai bahwa menyelesaikan pernikahan dengan cepat sangatlah penting.

… Yah, bahkan dalam upacara pernikahan 'terpencil' ini, Rio menjadi kacau. Dia mengenakan beberapa gaun pernikahan yang berbeda, mengambil foto ke tingkat yang tidak ingin aku ambil lagi selama sisa hidupku.

“Tuksedo itu terlihat bagus untukmu, Haru-kun. Menurutku itu cukup bergaya.”

“Terima kasih banyak…”

“Yah, memang sih, tapi… heh. Jika nenek melihatnya saat Ia mencoba memakainya, itu tidak akan terlihat bergaya lagi. Coba dengarkan ini, nek. Saat Haru mengenakan tuksedo, Ia diperingatkan oleh staf— "

“H-Hei, Fumie-san tidak perlu tahu itu!”

Dia tiba-tiba membocorkan ingatan memalukan padaku. Saat mengenakan tuksedo di acara pernikahan, mengenakannya seperti dasi kupu-kupu (di mana kamu hanya melipat ujung kerah) tampaknya masuk akal. Aku tidak tahu tentang itu, jadi aku melipat kerahnya seperti aku akan melakukannya dengan setelan jas, itulah sebabnya aku diperingatkan oleh staf… Siapa yang peduli tentang itu, sejujurnya.

“Lihat ini, Nek, masih ada banyak foto lain.” Rio menunjukkan layar tablet pada Fumie-san.

Di sana, kami berfoto-foto oleh keluarga dan staf lain. Saat melihat tayangan slide, Fumie-san menyaksikan setiap foto seolah itu adalah kenangan berharga miliknya. Setelah selesai melihat-lihat gambar ...

“Ahh… aku sangat bahagia.” Fumie-san menunjukkan senyuman yang diberkati. “Sekarang aku bisa melihat Rio-chan dengan gaun pengantin, aku tidak punya penyesalan lagi di dunia ini.”

“N-Nek, jangan katakan itu. Kamu masih harus terus hidup. Setidaknya sampai umur 100, atau aku akan marah.”

“Fufu, kamu benar. Kalau begitu, mungkin aku harus tetap hidup sampai aku bisa melihat wajah cicitku. ”

“Be-Benar… !? Y-Ya, serahkan pada kami, kami akan melakukan yang terbaik! Benar ‘kan, Haru !? ”

“Y-Ya.”

Melihat suasananya, aku hanya bisa mengangguk. Rio memiliki kakak laki-laki yang bekerja di Tamakiya, tapi Ia belum menikah. Mungkin itulah sebabnya Fumie-san mengharapkan cicit dari Rio sekarang. Kurasa wajar-wajar saja berharap begitu. Saat kami berdua memberikan tanggapan yang canggung, Fumie-san mengawasi kami dengan senyuman lembut.

Kami terus membicarakan ini dan itu sebentar, sampai…

“… Rio, sekarang sudah waktunya.” Aku melihat waktu, dan memanggil Rio dengan suara pelan.

Meski kesehatan Fumie-san telah pulih, perawat memberi tahu kami bahwa kami harus menghindari mengunjunginya terlalu lama. Secara pribadi, aku ingin berbicara dengannya lagi… tetapi, kami memiliki urusan penting lain yang harus diselesaikan.

“Ah, ya.” Rio memasukkan tangannya ke dalam tasnya, mengeluarkan selembar kertas. “Kami ingin Nenek membubuhkan tanda tangan di sini.”

“Apa ini…”

“Itu benar, formulir pendaftaran pernikahan kita.”

Pendaftaran pernikahan sangat penting untuk sebuah pernikahan. Dari sudut pandang hukum, pada hari kamu menyerahkan ini, kamu secara resmi menjadi pasangan yang sudah menikah.

“Pendaftaran pernikahan…? Kalian masih belum menyerahkannya? ”

“…Ya. Itu sebabnya kami berdua secara teknis belum menikah.”

“Memang ada yang salah? Bukannya kalian harus melakukan hal ini dulu?”

“Tentang itu… Kami ingin Nenek menjadi orang yang menuliskan tanda tangannya di atasnya.” Dengan senyum masam, Rio menunjuk ke satu area kosong di atas kertas.

Di sana, dikatakan 'Saksi'. Untuk menerima pendaftaran pernikahan sepenuhnya, kantor kotamadya membutuhkan tanda tangan dari dua orang dewasa. Selama orang tersebut berusia lebih 20 tahun, siapa saja tidak masalah, tapi biasanya, orang yang menjadi saksi ialah seseorang dari keluarga kedua mempelai. Satu orang sudah menandatanganinya, yaitu ayahku sendiri. Dan untuk saksi kedua, kami masih mengosongkannya sampai hari ini—

“Ya ampun, sekarang aku jadi merasa tidak enakan. Apa kalian baik-baik saja dengan aku yang menjadi saksi? Bukan Mama atau Papamu? ”

“Tentu saja, saksinya harus Nenek.”

“Sepakat.” Aku juga ikut mengangguk.

Ketika kami berbicara tentang pencatatan pernikahan, Rio mengatakan bahwa 'Aku ingin Nenek menuliskan tanda tangannya untuk saksi kedua'. Aku tidak keberatan dengan itu, dan begitu pula keluarga Rio. Awalnya, kami berencana untuk menyerahkannya lebih awal, tapi karena kesehatan Fumie-san memburuk  pada waktu yang paling buruk, kami harus menunggu hingga hari ini.

“Begitu ya. Kalau begitu, aku dengan senang hati akan melakukannya.”

“Tolong lakukan, Nenek. Kami sudah membawa capnya.”

“… Um.” Fumie-san menunjukkan ekspresi bermasalah. “Apa kamu punya sesuatu untuk aku tulis?”

“…Ah.”

“… Rio? Apa-apaan dengan 'Ah' tadi? Jangan bilang kalau kamu lupa membawa pulpennya? ”

“…Aku memang lupa.” Rio menatapku dengan kaget.

“Kalau kamu lupa membawanya, itu cukup merepotkan. Ruangan ini cuma ada pensil warna dan kuas kaligrafi… ”

“… Bukannya kamu sudah memeriksanya lebih awal, Rio?”

“A-Aku membawa kertasnya, oke!”

“Jadi bagaimana bisa kamu lupa dengan pulpennya…?”

“… Baiklah, aku mengerti. Mereka menjualnya di mana saja, jadi aku akan segera membelinya!” Dia berteriak marah, dan lari keluar kamar tanpa menutup pintu sepenuhnya.

“… Ya ampun.”

“Fufu, Rio-chan masih kikuknya seperti biasanya.” Fumie-san menunjukkan senyum gembira. “Dari sudut pandangmu, dia adalah Onee-san yang lebih tua, jadi pastikan dia tidak terlalu mendominasimu.”

“Ahahaha ...” Aku tertawa samar, dan duduk di kursi terdekat.

Setelah keheningan singkat berlalu…

“... Sepertinya kami banyak berhutang budi padamu, Haru-kun." Fumie-san bergumam. “Aku sudah mendengar tentang itu. Saat kami berada dalam situasi genting… Keluarga Isurugi membantu kami keluar dari situasi itu. ”

"Tidak, bukan itu ... Kami berdua sama-sama mendapat manfaat ... terlebih lagi aku tidak melakukan apa-apa.”

“Alasan kalian berdua terburu-buru untuk menikah karena Tamakiya juga, ‘kan?”

“Itu ...”

“Sungguh menyedihkan… Memaksa gadis untuk menggunakan pernikahannya yang berharga demi keluarganya…”

“……”

“Jika Rio-chan menyetujui pernikahan ini semata-mata demi keluarga kita, aku akan keluar dari rumah sakit ini untuk menghentikannya…” Dia melanjutkan seraya menatapku. "Jika kamu yang menjadi pasangannya, maka aku tidak memiliki keluhan.”

“……”

“Aku yakin kamu akan menghargai Rio-chan lebih dari siapapun di dunia ini.”

Aku merasakan sakit yang tajam menyerang dadaku. Dia menatapku tanpa keraguan sedikit pun di matanya, tapi aku tidak bisa membalas tatapan itu.

“Rio-chan terkadang sedikit canggung dan egois… tapi kenyataannya, dia mudah kesepian, dan merupakan anak manja… Cukup baik untuk mencintai keluarganya sebanyak ini. Dia agak mudah salah paham, tapi… saat mengetahui bahwa dia bersamamu, aku merasa yakin kalau kamu akan membuatnya bahagia.” Saat dia berbicara dengan nada percaya diri, dia meraihku dengan tangannya.

Ketika aku menanggapi tangan itu, dia mengikuti dengan tangannya yang lain, membungkus tanganku. Tangannya lemah dan tanpa banyak kekuatan, namun dia mencoba yang terbaik untuk meraih tanganku dengan erat.

“Terima kasih… Aku sangat berterima kasih padamu, Haru-kun.” Sambil menundukkan kepalanya, dia berkata begitu. “Kamu dan Rio-chan menikah, menunjukkan padaku semua foto itu… Aku sangat bahagia. Terima kasih banyak… ”Aku bisa melihat butiran air mata menggenang di sudut mata Fumie-san.

Bersama dengan kata-katanya, dia memegang tanganku lebih kuat lagi. Pada saat yang sama, rasa sakit yang menyerang dadaku mulai menguat tak terkendali.

“……”

Aku mati-matian mencoba menelan kata-kata yang mencoba keluar dari tenggorokanku. Hentikan, aku berteriak di dalam hatiku. Hentikan. Tidak ada gunanya meski kamu melakukan ini. Apa yang kamu peroleh dengan mengatakan yang sebenarnya pada Fumie-san? Itu cuma cara melarikan diri, memuaskan hasratmu sendiri. Aku sudah memutuskan untuk membawa kebohongan ini sampai akhir hayatku. Berhenti, jangan katakan itu, jangan berani-berani—

“—Aku minta maaf .”

Pada akhirnya, kata-kata maaf keluar dari mulutku.

“Fumie-san… maafkan aku… maafkan aku…”

Meski aku memahami kalau apa yang aku lakukan itu salah, hatiku tidak mau mendengarkan. Aku tidak bisa menipu orang ini lebih lama lagi, setelah dia menunjukkan kepercayaan yang begitu mendalam kepada kami.

Sekarang setelah aku membuka mulut, kata-kata permintaan maaf dan membenci diri sendiri tidak berhenti untuk sementara waktu. Seolah-olah bendungan di dalam diriku telah rusak, aku menceritakan semuanya padanya. Tentang Rio dan hubungan singkatku, bagaimana kami putus, dan bahkan — tentang pernikahan palsu ini. Aku memberitahu segalanya.

“—Pernikahan… palsu…?” Setelah mendengarkan sampai akhir, Fumie-san tampak bingung.

Dia… terlihat tidak bisa mempercayai apa yang baru saja dia dengar.

“... Aku sangat menyesal karena sudah membohongimu seperti ini.” Aku sangat menundukkan kepalaku.

Itu bukan karena ketulusan ... Aku tidak bisa memaksa diriku untuk melihat wajahnya. Aku takut melihat tatapan kecewa dan jijik yang diarahkan padaku. Seriusan… apa sih yang sedang aku lakukan? Meski kita mampu menipu semua orang di sekitar kita, bahkan orang tua kita sendiri… Hanya Fumie-san saja yang tidak bisa kubohongi. Kata-kata kebahagiaannya yang tulus untuk kami terlalu berat bagiku. Rasanya perutku aka terkoyak hanya karena memikirkan mengkhianati ekspektasinya.

Pada akhirnya, aku melakukan semuanya untuk mengatasi rasa bersalah yang menggangguku. Aku harus mempersiapkan diri untuk ini saat aku mengemukakan gagasan tentang pernikahan palsu. Tapi… semuanya hanya setengah matang.

“Haru-kun, tolong angkat kepalamu.” ujar Fumie-san.

Setelah ragu-ragu, aku perlahan melakukan apa yang diperintahkan. Aku takut melihat reaksinya, melihat ekspresinya. Ketakutan bahwa dia akan membenciku… namun….

“Terima kasih sudah mengatakan yang sebenarnya, Haru-kun.”

Ekspresi yang kulihat adalah senyuman sehangat matahari terbit. Itu adalah senyuman yang sama yang dia tunjukkan padaku sebelumnya — senyum yang telah kulihat selama 15 tahun terakhir.

“Begitu… pernikahan palsu, ya. Anak-anak muda jaman sekarang sering melakukan hal-hal teraneh. ”

“… Eh, um… Fumie-san?”

“Hm?”

“A-Apa kamu tidak marah?”

“Marah? Mengapa aku harus marah? ”

“Maksudku ...” Saat aku tak bisa menemukan kata yang tepat, Fumie-san melanjutkan.

“Aku takkan marah hanya karena itu… Tapi, bisa dibilang kalau aku sedikit kecewa.”

“……”

“Karena… kurasa aku takkan bisa mendapatkan cicitku dalam waktu dekat.” Dia berbicara dengan nada bercanda, sambil tetap menjaga senyum lembutnya.

Aku dibuat terperangah. Aku sudah siap menermia penghinaan dan keluhan, namun sikap Fumie-san masih sama seperti sebelumnya.

“Sejujurnya… aku lebih puas dari apapun.”

“Puas…”

“Melihat kalian berdua hari ini, aku jadi merasa nostalgia. Apa kamu ingat? Kamu sering main nikah-nikahan di taman kami, dengan aku yang menjadi pendetanya. ”

“… Ya, Aku masih mengingatnya.”

“Aku heran kenapa, tapi saat melihat kalian berdua barusan, itu membuatku mengingat kembali hari-hari itu.” Fumie-san terkekeh. “Begitu ya, jadi kalian berdua masih bermain nikah-nikahan.”

Bermain nikah-nikahan, pernikahan palsu… Rio sempat membicarakan hal itu sebelumnya ketika dia berakting mabuk. Meski kami berdua sudah dewasa dibandingkan sebelumnya, kami masih bermain. Hanya saja kami menjadi lebih buruk dari sebelumnya.

“Jika seseorang memaksakan ini padamu, maka aku akan menjadi orang pertama yang mengeluh, tapi ... kalian berdua memutuskan ini sendiri, kan?”

“…Iya.”

“Kamu memutuskan untuk bahagia bersama, kan?”

“……Iya!” Aku mengangguk dengan kuat.

Tatapan Fumie-san terlihat lembut, hangat, dan juga dalam. Rasanya seperti dia bisa melihat menembus diriku, namun mampu menerima segalanya. Tidak peduli apa alasan kami, atau alibi yang kami kemukakan, kami tetap mengkhianati orang-orang di sekitar kami. Kami menyakiti orang-orang yang dengan tulus memberi selamat atas pernikahan kami.

Namun, kebohongan ini… merupakan dusta agar semua orang bisa bahagia. Untuk itu, kami memilih pernikahan palsu ini. Supaya aku bisa membuat diriku sendiri, orang-orang di sekitar kita, dan yang terpenting — Tamaki Rio, merasa bahagia.

“Jika itu sesuatu yang kalian berdua putuskan, maka aku takkan keberatan.”

“……”

“Aku bahkan tidak merasa khawatir. Lagipula… Rio-chan sepertinya terlihat sangat senang. ” tambahnya, dan mengalihkan pandangannya ke album foto. “Ekspresinya tampak bahagia di semua foto ini. Tentu saja, begitu pula wajahnya hari ini. Karena dia bisa tersenyum seperti itu, aku yakin dia akan baik-baik saja, dan aku jamin jalan yang kamu tempuh tidaklah salah.”

“…!” Aku mengertakkan gigi.

Jika tidak melakukan itu, aku mungkin sudah mulai menangis. Fumie-san bisa menebak dengan jelas kelemahan dan kurangnya pengalamanku setelah memutuskan untuk melakukan ini, namun beliau memutuskan untuk tidak mengatakan apapun. Dia tidak menyangkal atau mencaciku, dan menerimanya begitu saja. Kebaikan dan kehangatannya ini sekarang meresap lebih dalam ke dalam hatiku yang terluka.

“Terlebih lagi...” Fumie-san menunjukkan senyum menggoda. “Orang-orang takkan mengetahui seberapa palsunya hubungan kalian.”

“……”

“Ada banyak kasus di dunia ini di mana pasangan yang menikah dengan benar malah bercerai setelah beberapa tahun menjalani bahtera rumah tangga ... Itu sebabnya, tidak aneh jika pasangan palsu akhirnya menjadi pasangan sejati.”

Pasangan sejati… memangnya itu mungkin? Memangnya kamu benar-benar bisa mengubah kalkulasi dan kedok di atas pernikahan ini, menjadi pasangan sejati? Saat aku terdiam, Fumie-san melihat ke arah pintu masuk ruangan, dan berbicara.

“… Hei, Haru-kun?” Dia membuka mulutnya. “Bagaimana kalau kita memainkan upacara pernikahan seperti sebelumnya?”

“Eh…? Se-Sekarang? ”

“Iya. Di sini, sekarang.”

“Tapi…”

“Anggap saja itu sebagai permintaan dari wanita tua ini.”

Bagaimana mungkin aku bisa menolak permintaannya sekarang, sialan.

“Tak masalah jika pernikahan ini cuma main-main. Bohong pun tak apa, begitu pula dengan sandiwara kalian, namun aku hanya ingin mendengar perasaanmu sekarang, Haru-kun. ”

“……”

“Mmm… Uhuk uhuk.” Fumie-san mengabaikan kurangnya tanggapanku, dan berdehem, melakukan pemanasan vokal.

Aku pikir Rio mewarisi sikap memaksa dari neneknya.

“Mempelai Laki-laki, Haru-kun, apa kamu bersumpah untuk saling mencintai baik dalam keadaan sehat maupun sakit, kaya maupun miskin, dengan penuh hormat dan kasih sayang?”

Kalimat yang dia ucapkan dengan tenang dan penuh kedamaian, membuatku teringat kembali pada kenangan masa lalu — 15 tahun yang lalu. Aku mengingat diriku di taman kediaman Tamaki, bersama dengan Rio dan Fumie-san. Dengan cincin semanggi putih buatan, kami bermain nikah-nikahan sepanjang waktu. Saat itu, dari lubuk hatiku, aku percaya bahwa setelah kami dewasa, aku akan menikahi gadis yang sangat kucintai.

“-Aku bersumpah.” Balasku. “Bagiku, Rio adalah wanita terpenting di seluruh dunia ini. Dulu, dan bahkan sekarang, fakta tersebut tidak berubah. Itu sebabnya, apapun yang mungkin terjadi nanti, aku akan bersumpah di sini bahwa kita akan selalu berjalan maju bersama.”

Sekarang aku benar-benar mengucapkan kata-kata ini dengan lantang, kalimat tersebut dilontarkan jauh lebih mudah dari yang kuharapkan, yang mana membuatku bingung. Aku tahu bahwa janji ini sangatlah samar, namun — Fumie-san mendengarkannya dengan ekspresi puas.

Malam harinya, sekitar jam 11 malam.

“Yah, aku senang kesehatan Fumie-san sudah baikan. Selama keadaannya tidak bertambah buruk, dia mungkin akan segera keluar dari rumah sakit, dan itu bagus. "

“………”

“Dia juga memberi kita tanda tangan untuk registrasi pernikahan, jadi ayo kita serahkan secepat mungkin. Akan ada lebih banyak masalah jika kita terlalu-berlama-lama.”

“……”

“Hei, Rio? Apa kamu mendengarkanku?”

“…Hah? Ah, ya, aku. Baik. Kuharap Hayashida segera menemukan pasangan hdiupnya. ”

“… Kamu tidak mendengarkan sama sekali.” Aku menghela nafas.

Dia sudah seperti ini sejak kami pulang dari rumah sakkit. Rasanya dia seperti berada di atas awan, tidak mendengarkanku sama sekali. Bahkan setelah makan, atau mandi, dia masih terlihat linglung. Atau lebih akuratnya, dia sudah seperti ini bahkan saat kami masih keluar. Begitu dia kembali dari membeli pulpen, ada sesuatu yang aneh tentang dirinya. Hmm… mungkin karena terjadi sesuatu saat dia membeli pulpen?

“Kamu serius baik-baik saja? Mungkin kamu kena demam? ”

“Ak-Aku baik-baik saja kok. Tidak apa-apa, semuanya baik-baik saja, jadi… ”

“Jika kamu sampai ngotot begitu… Kalau begitu, selamat malam.”

“Ya, Malam juga.”

Kami mengucapkan salam, dan aku menutup pintu kamar tidur di belakangku. Bahkan sekarang, aku tidur di tempat tidurku sendiri, sedangkan Rio tidur di kasur di ruang tamu. Salah satu dari beberapa aturan yang kami putuskan saat pertama kali pindah ke sini, kami masih mempertahankannya sampai sekarang. Pada awalnya, hatiku akan berdegup kencang hanya dengan membayangkan Rio tidur di kamar sebelahku, yang membuatku tidak bisa tidur beberapa malam, tapi… Aku sudah terbiasa sekarang.

Setelah mengotak-atik smartphone-ku sebentar, aku menutupi diriku dengan selimut, dan memejamkan mata. Saat kesadaranku hendak terlelap, dan aku akan tertidur — Kreakk, aku mendengar bunyi pintu kamar terbuka.

“Eh…? R-Rio? ” Karena bingung, aku bangun dari tempat tidur.

Rio tengah berdiri di pintu masuk. Dia masih mengenakan piyamanya dari sebelumnya, dan menatapku dengan tatapan gelisah.

"Apa ada yang salah? Apa ada sesuatu yang terjadi?”

“… H-Hei, Haru.” Dia berbicara dengan suara yang bergetar dari ketegangannya — memegang bantal di tangannya. “Bisakah kita… tidur bersama hari ini?”

 

❀❀❀❀

[Sudut Pandang Tamaki Rio]

Aku tidak tahu mengapa aku sampai mengatakan itu. Tapi, aku sadar kalau akau tidak bisa menahan lebih lama lagi. Sejak aku mendengar kata-kata Haru di kamar rumah sakit tadi, rasanya kakiku tidak menyentuh tanah lagi. Aku merasa gelisah, hatiku dibuat tidak karuan… mana mungkin aku bisa tidur dalam kondisi itu.

“……”

Setelah kami berdua benar-benar berbaring berdempetan satu sama lain, aku menyadari betapa sempitnya tempat tidur ukuran single. Haru jelas ragu-ragu, tapi Ia terpaksa menyerah saat aku mendorong diriku di bawah selimut yang sama. Tentu saja, seperti yang bisa kuduga, kami saling berhadapan, pindah ke sudut tempat tidur masing-masing sejauh mungkin. Namun, di tempat tidur yang sempit ini, kami segera mencapai batasnya.

Cuma sedikit gerak saja, tubuh kami akan bersentuhan ... dan setiap kali itu terjadi, badan kami akan tersentak karena terkejut. Sungguh, apa sih yang kupikirkan ... Aku tidak percaya. Kenapa tiba-tiba aku menjadi berani begini? Ini hampir seperti akulah yang mencoba mengundangnya—

"…Apa yang kamu pikirkan?” Haru bergumam di belakangku, nampaknya putus asa untuk mengendalikan suaranya yang bergetar.

Sepertinya Ia sendiri tidak yakin bagaimana perasaannya tentang ini.

"A-Apa, emangnya kamu punya masalah dengan ini?"

“Banyak, sebenarnya… ini aneh. Mengapa kamu tiba-tiba… ”

“Um… Y-Ya! Ini latihan skinship!”

“Latihan…"

“Mungkin ada saatnya Akino-san datang dan menginap dengan paksa, kan? Jika itu terjadi, maka dia harus tidur di futon itu, dan kita berdua harus tidur di satu tempat ... Itu sebabnya, ini hanya latihan untuk mengantisipasi kemungkinan itu.”

“……”

“Itu dia. Cuma itu saja, jadi ...”

Aku menyadari betapa putus asanya aku mencoba mencari-cari alasan. Karena aku tidak dapat melihat wajahnya, aku tidak tahu apa aku berhasil menipunya atau tidak. Alasanku ingin kami tidur bersama — aku sendiri bahkan tidak mengetahuinya. Aku cuma… tidak bisa menahan diri. Untuk malam ini, aku ingin lebih dekat dengannya.

Jantungku berdegup kencang, dan wajahku terasa panas serta tak nyaman. Di dalam kepalaku, aku mendengar kata-kata Haru dari kamar rumah sakit berulang kali. Meski aku tahu kalau Ia tidak serius dengan itu, hanya didesak oleh Nenek… hatiku tidak yakin hanya dengan itu.

Ahh, seriusan deh… Kenapa kamu mengatakan sesuatu seperti itu sih, Haru. Rasanya tidak adil. Kamu tidak adil, tau. Padahal aku ingin menyerah, memutuskan untuk menyerah, dan memutuskan untuk tidak terlalu berharap lagi… Tapi jika kamu mengatakan hal seperti itu, hatiku jadi menaruh harapan lagi.

“… Po-Pokoknya, karena ini cuma latihan, jangan sampai memikirkan hal yang –aneh-aneh, oke?” Aku hanya bisa melontarkan kata-kata ini untuk melindungi perasaan jujur ku. “Aku akan marah jika kamu menyentuhku di tempat yang aneh, oke.”

“… Aku sudah mengerti.”

“Jangan bertingkah seperti kamu tertidur untuk menyentuhku dengan aneh, oke?”

“Ya.”

“Tentu saja, menatapku sepanjang malam juga dilarang.”

“Aye aye.”

“Juga, jangan coba-coba—"

“Sudah cukup! Kamu ini keras kepala sekali.” Haru mengeluarkan suara kesal. “Jangan khawatir, aku takkan melakukan apa-apa. Jadi mending tidur saja sana.”

“…”

A-Apa-apaan perkataannya tadi !? Kenapa kamu tidak peduli sama sekali !? Dan juga, keras kepala !? Serius!? Ka-Kamu itu tidur di ranjang yang sama denganku, mantan pacarmu, dan kamu tidak merasakan apa-apa? Kamu tidak menderita karenanya !? Jantungmu berada pada detak jantung yang tenang dan stabil ?! Maksudku, bukannya aku mengharapkan sesuatu, oke!

Aku tahu aku mengatakan padanya untuk tidak melakukan apa-apa, dan aku tahu itu menyedihkan bahwa aku masih mengeluh mengenai dirinya yang tidak menunjukkan reaksi, tapi memangnya kamu beneran bisa setenang ini… !? Ahhhhhh… astagaaaaaaaa!

“……”

Sungguh, apa sih yang sedang aku lakukan. Terlalu GR, terlalu bersemangat sendiri. Aku merasa seperti orang bodoh. Aku seharusnya sudah tahu. Kata-kata yang diucapkan Haru di kamar rumah sakit tadi hanya untuk memuaskan Nenek. Satu-satunya alasan Haru dan aku menikah adalah demi kepentingan keluarga kami. Ia tidak menaruh perasaan spesial terhadapku. Saat aku menggodanya dan Ia tersipu ... itu hanya karena Ia tidak terbiasa dengan wanita lain, dan itu tidak berarti dia selalu memandangku sebagai wanita. Aku seharusnya sudah mengetahui ini sejak awal ...

“…Benar.” Aku bergumam pada diriku sendiri.

Frustrasi, aku tidak bisa menahan kebencian terhadap diri sendiri.

“Bahkan jika aku tidur di sebelahmu, kamu takkan melakukan apa-apa. Kamu mungkin membenci wanita vulgar sepertiku ‘kan.”

“…Hah?”

“Bahkan jika kita tidur bersebelahan, kamu bahkan tidak repot-repot menyentuhku. Kamu mungkin bahkan tidak terangsang. Aku mengerti, aku sangat paham ... Maaf, kamu pasti teringatdengan  apa yang terjadi sebelumnya. Ada wanita kasar di sebelahmu pasti terasa merepotkan, bukan.”

“H-Hei… tunggu sebentar?” Aku mendengar Haru mendorong tubuhnya di belakangku, tapi aku tidak bisa berbalik.

Bagaimanapun juga — Air mata mengalir di pipiku. Ya ampun, aku benar-benar yang terburuk… Kenapa aku malah menangis sekarang… !?

“Apa yang kamu bicarakan? Vulgar, kasar… kenapa kamu bilang begitu? ”

“Maksudku ... kamu menganggapku seperti itu, ‘kan Haru?"

“Eh? Kamu… apa? Tidak, aku sama sekali tidak menganggapmu begitu ...” Haru terdengar sangat bingung, tapi aku tidak bisa mempercayai kata-kata itu.

“Bohong.”

“S-Sungguh, aku tidak bohong.”

“Itu pasti bohong.”

“Aku tidak berbohong. Aku tidak pernah memikirkanmu seperti itu.”

“Lantas, mengapa—“ Aku tidak tahan lagi, berbalik, dan menyentuhnya.

Tersentuh pada masa lalu kelam yang kami berdua bagikan, yang kami berdua putuskan untuk diabaikan sampai sekarang. Aku tidak ingin memikirkannya, tetapi aku yang sekarang tidak peduli dengan ini.

“Kenapa — kamu mendorongku saat itu?”

“……”

Ruangan yang gelap, tapi karena aku sudah terbiasa dengan kegelapan, aku bisa dengan jelas melihat wajah Haru yang penuh kebingungan dan keterkejutan. Ahh… sekarang aku terlanjur mengatakannya. Aku benar-benar kacau. Aku sangat menyedihkan. Hanya karena hubungan fisikku ditolak… sekarang aku menyalahkannya? Jika ini sebaliknya, dan seorang pria mengeluh karena ditolak seperti itu, Ia akan mendapatkan segala macam keluhan sebagai gantinya. Ia akan disebut yang terburuk. Jika seorang wanita membicarakan hal itu ke media  online, semua orang akan menyuruhnya untuk putus dengannya.

Cuma karena kebalikannya bukan berarti membuat masalah ini terlihat berbeda. Aku sangat payah. Menjijikkan. Rasanya menyakitkan. Aku tidak tahan ini. Sungguh, Apa yang aku lakukan?

“… Jadi kamu membicarakan tentang saat itu?” Setelah hening sejenak, Haru membuka mulutnya dengan tidak nyaman. “Apa yang terjadi di kamarmu… sebelum kita putus, ‘kan…”

“Y-Ya.”

“Itu ...”

“... Kamu tidak perlu mencari-cari alasan apa pun. Aku tidak menyalahkanmu.” Karena takut mendengar perasaannya yang sebenarnya, aku melanjutkan. “Kamu pasti muak dengan aku yang begitu vulgar, ‘kan? Wajar saja. Mana ada yang akan nyaman dengan itu… Aku yakin kamu lebih memilih gadis yang lebih polos dan sopan daripada— ”

“Tidak!” Karena teriakan panik Haru, aku mengangkat kepalaku.

Ia menunjukkan ekspresi bermasalah, dan meminta maaf.

“Kamu… Jadi kamu merasa seperti itu? Tidak… tidak, kau jauh… Ah, sial… aku membuatmu merasa seperti itu? ” Haru menggertakkan giginya, mengacak-acak rambutnya karena marah. “Ngomong-ngomong, kamu salah. Aku tidak merasa jijik, dan aku tidak berpikir buruk tentangmu.”

“Bo-Bohong. Kamu Cuma mencoba perhatian denganku ... Katakan dengan jelas kamu kamu membenci wanita yang begitu nafsuan sepertiku.”

“Aku tidak berbohong ... dan, aku sama sekali tidak membencimu.” ujar Haru, berusaha mencoba menunjukkan ketulusannya. “Mana mungkin ada pria… yang  benci punya pacar yang agresif.”

“……”

“Jika ada… aku justru… se-senang. Mengetahui bahwa bukan hanya aku yang ingin melakukan itu… dan membuatku bahagia. Cuma sedikit senang! ”

“……”

Ia merasa senang? Senang karena aku merasakan hal yang sama dengannya? Jadi… Haru ingin melakukannya juga? Ia tidak membenci wanita yang tegas… Hah? Tu-Tunggu dulu?

“Lalu, kenapa kamu sangat membencinya?”

“... I-Itu ...” Haru menundukkan kepalanya.

Karena aku menunggu jawabannya, aku menatap langsung ke arahnya.

“Ka-Katakan padaku. Apa alasannya…”

“… Kamu jangan tertawa. Jangan sampai tertawa, oke? ” Ia mulai tersipu, dan menutupi wajahnya. “—I-Itu… karena aku sudah keluar*.” (TN : Paham enggak? maksudnya si Haru udah crottt duluan sebelum ena-ena :v)

Aku menatapnya dengan tidak percaya.

“… Eh? Keluar? ”

“……”

“Keluar…? Apanya yang keluar…? Di mana?”

“Ayolah, cuma ada satu hal dalam konteks ini… maksudku yang itu, oke?”

“Itu…?”

“Ayolah, masa masih belum paham juga ... cuma ada satu hal yang dapat keluar dari seorang pria ... Karena kamu tiba-tiba menyentuhku, jadi itu keluar ...” Mukanya mulai memerah tidak seperti sebelumnya, dan mencoba yang terbaik agar suaranya tidak putus.

Aku pikir-pikir lagi, dan akhirnya mencapai kesimpulan.

“… ~~~ !?”

Eh !? Ehhhhhhhhhhhhh !? Jadi maksudnya… yang itu !?

“… J-Jadi… cairan itu… apa yang keluar ketika seorang pria… keluar…?”

“…Ya.”

“Dulu… saat aku menyentuhmu, kamu sudah keluar…?”

“……”

“Eh? Aku tidak ... Aku tidak mengerti. Memangnya hal itu bisa keluar dengan mudah? Bukannya itu ... sesuatu yang biasa keluar setelah mencapai klimaks? Aku ‘kan hanya menyentuhmu sedikit… ”

“~~! Ma-Mana mungkin aku bisa menahannya!” Haru justru mengomel padaku. “Saat itu aku masih SMA, tahu? Masa yang penuh pubertas… Dalam waktu tersulitku. Dan, kamu yang dua tahun lebih tua dariku, seorang wanita dewasa, dengan tubuh yang super cabul ...”

“Tu-Tubuh super cabul… !?”

“Wanita itu adalah pacarku, sangat agresif, dan bahkan membiarkanku menyentuh payudaranya… Semua rangsangan ini terlalu berlebihan sehingga aku keluar…”

“……”

Bahkan jika Haru sampai bilang begitu ... Aku tidak tahu apakah Iaa serius atau tidak. Memangnya benar-benar sulit untuk menahan diri? Kalau tidak salah apa sebutannya… ejakulasi dini? Bagi orang-orang yang kurang pengalaman atau tidak memiliki pengalaman sama sekali, mereka jauh lebih sensitif terhadap rangsangan apa pun, dan tidak dapat menahan ejakulasi mereka… Aku merasa seperti aku membaca tentang itu secara online.

“Um, lalu ...” aku angkat bicara.

Mau tidak mau aku mengungkapkan imajinasi, yang juga harapanku, ke dalam kata-kata.

“Alasan kamu akan menangis, dan sepertinya kamu sangat membencinya adalah hanya karena kamu sudah keluar duluan… dan bukan karena kamu membenciku?”

“... Ja-Jangan menjelaskan semuanya seperti itu, dasar tolol.”

“Apa-apaan itu… Kamu ‘kan bisa saja memberitahuku.”

“Mana mungkin aku bisa memberitahumu!? Keluar duluan hanya karena kamu menyentuhku di atas pakaianku… Itu sangat payah. ” Haru menggertakkan giginya. “Aku… Aku juga merasa perlu melakukan sesuatu. Kamu sudah mengumpulkan semua keberanian itu, namun aku gagal total… Tapi, aku tidak tahu harus berkata apa, bagaimana untuk berbaikan denganmu… lalu kamu meneleponku, memberitahuku bahwa kita harus putus… ”

Akulah yang memanggilnya untuk putus seminggu setelah keheningan yang canggung. Lagipula, kupikir dia membenciku. Aku pikir, sebelum ditolak, jika aku menolaknya lebih dulu, tidak akan terlalu menyakitkan.

“Saat kamu memberitahuku bahwa kita harus putus… Kupikir kamu mulai membenciku. Wajar saja, melihat betapa menyedihkannya aku yang dulu ... Dan, karena aku takut kamu mungkin tahu tentang ... itu ... aku tidak bisa mengatakan apa-apa.”

“……”

Saat itu, Haru berada di bawah berasumsi bahwa aku pasti membencinya. Karena takut tersakiti, Ia tidak bisa berkata apa-apa — Pada dasarnya, Ia sama persis denganku.

“Aku… berada di batasku dalam banyak hal. Di depanmu, aku sangat menyedihkan, dan menggelikan… sehingga aku tidak tahu harus berbuat apa, dan itu membuatku merasa cemas… ” tambahnya.

Rasa malu itu pasti terlalu berat baginya, karena Ia bahkan tidak menahan nada suaranya.

“Apa kamu menyadari betapa besar aku mencintaimu saat itu?!”

“~~~!” Aku merasa jantungku berdetak kencang.

Detaknya begitu cepat, namun membuatnya terasa mati rasa karena semua perasaan cinta yang mengalir dari kata-katanya.

“… Ah, tidak… Aku hanya berbicara tentang masa lalu! Aku menggunakan bentuk lampau! ”

“A-aku tahu!”

Aku tahu… Aku seharusnya lebih tahu, tapi…

“… Pokoknya, ayo akhiri perbicaraan ini di sini. Semua yang terjadi hari itu adalah masalahku, jadi kamu tidak perlu mengkhawatirkannya. Sudah itu saja, selamat malam.” Haru dengan paksa mengakhiri percakapan, berbalik ke arah lain, dan tetap diam.

Aku… tercengang. Kepalaku masih berusaha memahami kenyataan. Pikiranku menjadi liar, dan segala macam emosi mulai merajalela. Kemarahan, frustrasi, penyesalan, kesedihan… Aku memiliki banyak emosi negatif, tetapi…

“… Fufu.”

Yang terbesar — ​​ternyata perasaan lega. Sesuatu yang menyerupai jaminan, mungkin kebahagiaan, memenuhi tubuhku. Ahh, begitu rupanya. Aku tidak ditolak olehnya. Ia tidak membenci gagasan menjadi satu denganku. Aku bukan satu-satunya yang bersemangat secara egois, tetapi Haru berbagi kegembiraan denganku… atau bahkan merasakannya lebih sampai taraf tertentu.

“Ahaha.”

“... Sudah kubilang jangan ketawa.” Haru mengeluh, dengan wajah berpaling dariku.

“Ah… maaf, kamu salah. Aku tidak menertawakanmu, itu terjadi begitu saja. "

“………”

“Ka-Kamu tidak perlu terlalu khawatir tentang itu. Kamu tahu… mereka mengatakan bahwa persetubuhan antara simpanse hanya berlangsung sekitar lima detik, dibandingkan dengan itu… Yah, Kamu bahkan tidak bertahan selama lima detik sejak kamu keluar duluan saat aku menyentuhnya. ”

“... Kamu hanya menyakitiku dengan itu, oke.”

Ia tampak benar-benar sedih kali ini. Ugh… Aku tidak tahu dukungan seperti apa yang harus aku berikan di sini. Aku merasa apapun yang aku katakan di sini, itu hanya akan memperburuk keadaan. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa, dan malah berbaring, menutupi diriku dengan selimut.

Di sana, aku melirik ke arah Haru, yang masih menghadap ke arah lain. Ia pasti malu karena wajahnya dilihat olehku. Aku menggunakan ini sebagai kesempatan untuk berguling, dan menatap punggungnya. Punggungnya besar, dan lebar, hampir meyakinkan untuk dilihat. Tapi, mungkin karena Ia masih merasa sedih, punggungnya terlihat agak meringkuk. Untuk beberapa alasan — semakin aku melihatnya, semakin aku merindukannya.

“… Hei, Haru.” Aku mulai angkat bicara. “Jika… jika saat itu kita melakukannya sampai akhir dan berhubungan badan… apa menurutmu kita masih akan bersama?”

Jika kita tidak berhenti, dan melewati garis terakhir itu… atau, jika aku tidak terburu-buru.

“… Mana mungkin aku bisa tahu.” Ia menghentikan dirinya sendiri sejenak. “Tidak ada gunanya memikirkan itu sekarang… Cerita itu sudah berakhir.”

“…Begitu ya.”

Benar. Persis seperti yang Haru katakan, cerita itu sudah berakhir. Karena kesalahpahaman yang disebabkan oleh masa remaja kami, hubungan kami berakhir kandas. Bagi orang lain, ini mungkin tampak seperti tidak ada yang luar biasa, tapi bagi kami berdua saat itu, hal itu jauh lebih penting daripada apapun.

Saat itu, kami masih muda, naif, dan tidak berpengalaman. Hal terbaik yang bisa kami lakukan adalah melindungi martabat kami sendiri, yang membuat kami melupakan bagian tentang menghadapi orang lain dengan benar. Namun, tak peduli seberapa besar kami menyesalinya, kami tidak dapat memutar waktu. Kami tidak bisa mengulang masa muda kami. Karena itu sudah berakhir. Akan tetapi…

“... Kita bisa memulai lagi, ‘kan.”

“Eh…?”

“Tidak, itu bukan apa-apa.” Balasku dengan panik, dan berbalik ke arah lain.

Jika aku melihat Haru lebih lama dari ini, aku mungkin takkan bisa menahan diri.

Cerita kami mungkin berakhir dengan akhir yang buruk. Namun, justru karena ini, kami mungkin dapat memulai awal yang baru.

 

 

<<=Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya=>>

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama