Chapter 1 — 22 Agustus (Sabtu)
Di
hari Sabtu pagi menjelang paruh akhir liburan musim panas. Dari luar jendela, aku
bisa mendengar jangkrik tengah mengadakan konser langsung dengan meriah. Aku
merenungkan kehidupan sambil menyantap telur dadar gulung dengan sumpitku.
Biasanya, selama liburan musim panas, hari akhir pekan pada dasarnya
menempatkan hari libur di atas hari liburmu, yang mana kemudian menciptakan
sensasi di mana kamu serasa melewatkan sesuatu. Memangnya kita tidak bisa mengambil
semua hari Sabtu dalam jatah liburan musim panas 40 hari ini sebagai hari libur
tambahan setelah liburan ini selesai?
Kupikir
permintaan tersebut tidak terlalu muluk. Jika ada hari libur umum atau nasional
yang jatuh pada hari Minggu, kami biasanya mendapat libur pada hari Senin, jadi
secara teknis kami harus mengambil semua hari Sabtu yang terjadi selama liburan
musim panas—atau jika itu terlalu
ngelunjak, setidaknya hari Minggu—diubah menjadi hari libur setelah liburan
musim panas berakhir. Pasti dari kalian banyak yang setuju, ‘kan? Aku terus mempertimbangkan
ide tersebut sampai-sampai aku masih memikirkannya saat sarapan.
“Kamu
sudah punya jatah liburan satu bulan penuh, tapi kamu masih minta lagi?
Memangnya ada sesuatu yang ingin kamu lakukan atau semacamnya? ” Ayahku
menanggapi dengan heran, jadi aku berhenti makan dan mulai berpikir.
“—Tidak
terlalu juga.”
“Jadi
kenapa?”
“Aku
merasa seperti membuang-buang waktu saja.”
“Itulah
yang dinamakan masa muda.”
“Kupikir
masalah usia tidak ada hubungannya dengan ini.”
“Begitu
kamu mencapai usiaku, kamu tidak bisa memikirkan apa-apa untuk dilakukan bahkan
jika kamu tiba-tiba mendapat hari libur.”
“Uwahh,
kamu berani mengatakan itu di depan Akiko-san? Setidaknya buatlah terdengar
seperti kamu merasa senang menghabiskan waktu bersamanya…”
“Fufu,
kamu sangat perhatian sekali, Yuuta-kun. Tidak seperti orang tertentu.”
Akiko-san berkomentar dari tempat duduknya di seberang Ayahku di meja saat dia
mengambil sepotong telur dadar gulung.
Sejak
Ayahku dan dia menikah lagi dua bulan lalu, pada dasarnya dia sekarang adalah
ibu tiriku. Dia bekerja sebagai bartender di sebuah bar, jadi dia kebanyakan
bekerja di malam hari dan pulang sampai larut malam. Sedangkan Ayahku sendiri
hanya pegawai kantoran biasa, jadi Ia berangkat bekerja lebih pagi tetapi
setidaknya tidak pulang selarut itu. Meski mereka masih pengantin baru, siklus
siang dan malam mereka bertolak belakang kecuali pada akhir pekan dan hari
libur. Itu sebabnya, aku kembali diingatkan bahwa hari ini adalah akhir pekan
saat melihat Ayahku dan Akiko-san berbicara bersama di pagi hari seperti ini.
“Tapi
kamu perlu memikirkan hal-hal semacam ini, Yuuta-kun.”
“Perlu
memikirkan?”
“Misalnya,
hari ini mungkin hari Sabtu dan hari libur sekolah, tapi itu tidak jauh berbeda
dari hari lain yang kamu habiskan di liburan musim panas ini, kan?”
Aku
mendapati diriku mengangguk terhadap argumen Akiko-san. Seperti yang dia
katakan, masa liburan yang panjang dan tidak ada sekolah membuatmu kehilangan
pemahaman tentang konsep hari, dan semuanya terasa samar dan kabur. Terlebih
lagi karena aku sudah menjalani gaya hidup seperti itu selama sebulan penuh
sejak liburan musim panas dimulai pada bulan Juli.
“Tapi
hari ini adalah hari Sabtu, bukan hari biasa, ‘kan? Artinya kamu akan bekerja
sambilan nanti, Yuuta-kun.”
“Ya,
aku ada shift penuh lagi hari ini, jadi aku harus pergi siang hari nanti.”
“Sungguh
mengagumkan. Jadi kamu akan bekerja dengan jadwal yang sama seperti kemarin,
kan?”
“Iya.”
“Karena
hari ini sebenarnya hari Sabtu, kamu akan mendapatkan bonus liburan, dan
menghasilkan bayaran lebih tinggi! Itu luar biasa!”
“Eh…
eh?”
“Ini
mungkin terasa seperti hari biasa, tetapi kamu sebenarnya dibayar lebih banyak.
Itu hal yang bagus. Bukannya setuju tentang itu?”
“Kurasa….begitu?”
“Jika
hari ini bukan hari Sabtu, Kamu takkan mendapatkan bonus ini. Saat kamu
memikirkannya seperti itu, bukannya caramu saat ini menghabiskan liburan musim
panas merupakan cara yang terbaik?”
Setelah
mendengarkannya, mau tak mau aku setidaknya merasa setuju dengan sebagian hal
itu. Meski logikanya terdengar sangat kontradiktif, tapi itu jauh lebih mudah
untuk dipercaya ketika kamu menggabungkannya dengan suara Akiko-san yang
sedikit ceroboh.
“Ya
ampun. Asamura-kun, kamu itu ditipu.” Ayase-san menyela, sepertinya tidak tahan
lagi setelah cuma mendengarkan sampai sekarang.
“Benarkah?”
“Ya.
Jika kamu mengikuti logika itu, maka bisa dibilang kalau kamu telah bekerja
penuh dengan gaji biasa sampai kemarin.”
“Ahh…
begitu rupanya.”
Pada
dasarnya, Ayase-san menyampaikan bahwa hari kerja selama liburan musim panas
bukanlah 'hari biasa', melainkan 'liburan' semua. Artinya, aku tidak
mendapatkan apa-apa dengan bekerja hari ini; yang ada justru aku kehilangan
potensi pendapatan. Alasan mengapa aku dengan mudah setuju dengan logika
Akiko-san adalah karena dia telah membutakanku dengan logika bahwa hari Sabtu
selama liburan musim panas seperti hari 'biasa'
lainnya, yang dia kemukakan pertama kali dalam percakapan, sehingga menciptakan
konsep bahwa hari ini adalah 'hari normal'
dalam pikiranku. Menggiring proses pemikiran orang memang sungguh hal yang
menakutkan.
“Hati-Hati.
Ibu punya bakat menjadi penjual mobil bekas.”
“Jahat
sekali, Saki. Apa itu sesuatu yang harus kamu katakan kepada ibumu sendiri?”
“Aku
tahu persis bagaimana ibu benar-benar tergerak karena aku ini putrimu. Menyesatkan orang tidak jauh berbeda
seperti menyantap sarapan untukmu, ‘kan? ”
“Ahh,
hal itu membuatku teringat sesuatu. Tidak peduli seberapa sedih atau depresinya
aku, Akiko-san selalu tahu bagaimana menghiburku.” Ayahku menimpali dengan komentarnya
sendiri seola-olah baru mengingat sesuatu berkat apa yang Ayase-san katakan,
tapi bukannya pada dasarnya kamu mengaku kena tipu?
Memangnya
itu sesuatu yang bisa kamu katakan dengan nada suara yang begitu bahagia dan
gembira? Lagi pula, wanita di depanku di sini dikenal sebagai bartender berpengalaman
dari seluruh distrik bisnis Shibuya, jadi dia ahli dalam berurusan dengan
pelanggan. Dia mungkin bisa membuat Ayahku dan aku menari di telapak tangannya.
Tapi itu bukan di sini atau di sana.
“Dipaksa
bekerja pada hari libur adalah cara berpikir yang sedikit menyedihkan, tapi
selama aku ingat bahwa aku dibayar lebih hari ini, itu mungkin akan berdampak
lebih baik pada kondisi mentalku, jadi aku mungkin menerima cara berpikir
begitu “ ujarku. Akiko-san dengan lembut tersenyum dan menjulurkan tangannya
yang ramping ke arahku.
“Yuuta-kun,
apa kamu mau nambah sup miso lagi?”
“Ya,
tolong.”
“Ah,
biar aku saja. Lagipula aku juga mau nambah.” Ayase-san berdiri di depan
Akiko-san dan mengambil mangkukku.
“Makasih.”
“Sama-sama.”
“Saki-chan,
bisakah kamu sekalian memberiku satu porsi lagi?”
“Ah
iya.” Ayase-san menerima mangkuk Ayahku dengan tangannya yang tidak memegang
sendok.
Setelah
itu, dia membawa mangkuk ke panci yang ada di dapur, menyalakan kompor, dan
mengaduk sup miso. Sebelum mulai mendidih, dia mematikan api lagi dan dengan
hati-hati menuangkan sup ke dalam mangkuk.
“Terima
kasih banyak, Saki-chan.”
“Ini
bukan sesuatu yang istimewa, jadi jangan khawatir tentang itu. Ini,
Asamura-kun.”
“Terima
kasih.”
Ayase-san
meletakkan mangkukku di depanku dan duduk di kursinya sendiri untuk melanjutkan
kembali sarapannya.
“Sup
miso buatan Saki-chan terasa lezat seperti biasanya.” Ujar Ayahku sembari
tersenyum cukup lebar hingga matanya terlihat setengah tertutup.
Di
akhir pekan, Akiko-san dan Ayase-san sama-sama bertanggung jawab dalam membuat
sarapan, tapi sup miso adalah keahlian dari Ayase-san. Hari ini, dia membuat
sup miso standar dengan taburan daun bawang dan irisan tahu goreng. Tahunya
tercampur dalam sup dengan sempurna, membuatnya terasa lembut dan kenyal,
terlebih lagi tekstur daun bawang yang menyertai membuatnya enak untuk dimakan.
“Yup,
kamu benar. Sup miso Ayase-san memang sangat fantastis.”
“…Terima
kasih, Asamura-kun.” Ayase-san terdengar seperti ragu-ragu sejenak sebelum
memberi tanggapan.
Setelah
melihat ini, Akiko-san tersenyum mekar. “Fufu, kalian berdua sudah cukup
dekat.”
“Yup,
kelihatannya begitu.”
Ayahku
dan Akiko-san saling bertukar pandang, dan tersenyum puas. Aku merasa lega
melihat mereka seperti itu. Jika diingat-ingat kembali saat aku masih kecil,
sarapan bersama seperti ini selalu dibarengi dengan suara kemarahan dan teriakan,
atau percakapan canggung, yang mana membuat makanan kehilangan semua rasa dan
kehangatan. Dibandingkan dengan masa itu, yang sekarang aku secara praktis
dipaksa untuk menonton pasangan suami istri yang mesra bertukar kata kasih sayang
tanpa akhir.
Tentu
saja, digoda dan merasa sedikit tidak nyaman tentang itu semua bagian dari
hubungan, tapi hal itu justru lebih baik daripada mereka menahan diri.
Ayase-san tampaknya sering terganggu olehnya, tapi fakta bahwa dia tidak segera
pergi menunjukkan bahwa dia merasakan hal yang sama denganku.
“Tapi
kalian berdua masih memanggil satu sama lain dengan nama keluargamu, ya?” Ujar
Ayahku.
Akiko-san
juga melirik Ayase-san.
“Apa
kamu masih terlalu malu untuk memanggil satu sama lain dengan nama aslimu? Kamu
bisa memanggilanya dengan panggilan 'Yuuta-niisan',
loh. ”
Aku
mendapati diriku sepakat dengan usulan Akiko-san. Kurasa inilah yang disebut
perbedaan dalam pengalaman. Aku tidak bisa membayangkan Ayase-san memanggilku 'Onii-chaaan~' dengan suara manis, tapi 'Yuuta-niisan' masih terdengar masuk
akal. Panggilan tersebut tidak terlalu berbeda dari 'Yuuta-san', dan itu akan membuat kami terasa lebih seperti saudara…
kurasa. Meski aku takkan pernah bisa benar-benar mengetahuinya karena aku tidak
punya dan tidak pernah memiliki adik perempuan kandung. Tapi setidaknya, aku
pikir ini cukup masuk akal. Namun, Ayase-san menanggapi dengan tenang sembari
menggelengkan kepalanya.
“Bukannya
aku merasa malu, tapi entah kenapa rasanya tidak benar.”
“Benarkah?”
“Beneran.”
“Yah,
kamu benar. Panggilan 'Asamura-kun' membuatnya
tidak terlalu rumit.”
“Rumit?”
Aku bingung dengan tanggapan Ayahku, jadi Ia mulai menjelaskannya.
“Sebelum
kami mulai berpacaran, Akiko-san memanggilku ‘Asamura-san’. Di rumah, ada panggilan itu juga. Jadi untuk
Saki-chan, 'Asamura-san' mengacu
padaku, dan 'Asamura-kun' mengacu
padamu, Yuuta. Hal itu membuatnya lebih gampang untuk diikuti, kurasa. ”
Aku
bahkan tidak bisa mendengar bagian kedua dari apa yang Ayahku bicarakan. Aku
hanya tertegun, dengan mulut terbuka karena terkejut. Aku bahkan tidak pernah
memikirkannya, tapi itu benar. Justru, sangat jelas. Tak peduli seberapa dekat
hubungan mereka, masih ada tingkat kesopanan tertentu terhadap satu sama lain.
Terlebih lagi karena Ia masih menjadi pelanggan pada saat itu, dan seorang
veteran di bidang jasa tidak bisa tiba-tiba menutup jarak di antara mereka
dengan memanggil Ayahku 'Taichi-san'.
Di
ruang publik, Masyarakat Jepang Modern menganggap penambahan '-san' setelah nama cukup formal, tetapi
terkadang menambahkan nama keluarga orang pun menjadi tak terhindarkan… Eh,
tunggu sebentar.
“Tunggu,
jadi saat itu, Ayah memanggil Akiko-san dengan panggilan..…”
“Yup,
aku memanggilnya ‘Ayase-san.’ Masuk
akal, iya ‘kan?”
“Butuh
waktu cukup lama baginya untuk mulai memanggil nama asliku, ya ampun.”
“Hahaha,
kamu membuatku jadi malu.” Ayahku menggaruk pipinya yang merah.
Gerakan
yang hanya bisa digambarkan sebagai contoh orang yang telat puber ini bahkan
membuatku merasa malu. Ah, ya ampun, aku dipaksa untuk menonton pasangan pengantin
baru saling bermesraan di pagi hari. Tapi kurasa ini juga bisa menjadi bukti
betapa bahagianya mereka. Saat aku mengangkat kepalaku dan melirik ke arah
Ayase-san, dia membuat sedikit ekspresi bermasalah, tapi segera melanjutkan
memakan sarapannya.
Berkat
itu, aku berhasil mendapatkan kembali ketenanganku juga. Terima kasih,
Ayase-san.
Setelah
kami selesai sarapan, aku menyeduh kopi dan meletakkan cangkir di depan semua
orang. Karena sarapan sudah selesai dan aku tidak membantu dalam urusan dapur, jadi
kupikir setidaknya aku bisa melakukan sebanyak ini. Ayahku dan Ayase-san lebih
suka kopi hitam, tapi Akiko-san suka dengan sedikit tambahan susu, jadi aku
menuangkan sedikit ke dalam teko krim kecil dan menawarkannya padanya.
“Terima
kasih, Yuuta-kun.”
“Sama-sama.”
Sedangkan
diriku, aku tipe orang yang meminum jenis kopi tergantung dari suasana hati,
jadi preferensiku lumayan acak. Untuk kopi, aku biasanya bergantian meminum
kopi Brazil Santos dan Blue Mountain. Ayahku pernah mendengar
di suatu tempat bahwa aromanya bisa membantumu fokus, jadi Ia membeli banyak. Aku
pikir Ia membeli banyak tepat sebelum ujian susulan Ayase-san. Karena kami
masih memiliki banyak stok, aku perlahan-lahan menghabiskannya. Adapun
bagaimana aku menyelesaikan tugas musim panasku begitu cepat, entah karena
waktu yang aku miliki di pekerjaan sambilanku atau karena kopi.
“Tetap
saja, aku tidak pernah mengira kamu akan mulai bekerja sambilan di tempat
Yuuta-kun, Saki.”
“Mau
sampai berapa kali kita harus membahas itu, Bu?”
“Maksudku,
aku tidak pernah membayangkan hal seperti itu.”
“Ini
pertama kalinya aku bekerja sambilan, jadi kupikir jauh lebih mudah untuk masuk
ke dalamnya jika seseorang yang dekat denganku memiliki pengalaman. Aku selalu
menyukai buku, dan aku ingin membantu nilai bahasa jepang modernku juga, jadi
kesempatannya cukup sempurna, itu saja.”
Obrolan
semacam ini mungkin telah terjadi setidaknya tiga atau empat kali sejak awal
liburan musim panas. Akiko-san masih agak bingung dengan itu, tapi bagi
Ayase-san, mungkin lebih mudah menjawabnya ketimbang pertanyaan di ujian
susulan yang dia dapatkan sebelum masa liburan.
Tentu
saja, aku cukup terkejut melihat Ayase-san ingin bekerja sambilan di toko buku,
tempat yang menggabungkan pekerjaan fisik dengan gaji yang tidak seberapa,
mengingat betapa bersikerasnya dia ingin mencari pekerjaan dengan bayaran
tinggi. sedikit usaha dan waktu yang dihabiskan. Dia juga tampaknya tidak
terlalu menyukai buku sepertiku, meski aku bukannya mencoba menilai hobinya
atau semacamnya.
Oleh
karena itu, aku sempat meragukan penglihatanku sendiri saat melihat Ayase-san
di toko buku pada hari itu. Sampai waktu itu, dia tidak pernah mengungkit
apapun mengenai rencananya maupun dia sudah memiliki tempat bekerja dalam
pikirannya. Aku lumayan penasaran dan ingin bertanya padanya tentang hal itu
segera, tapi aku tidak bisa mengabaikan pekerjaanku, jadi aku harus menekan
rasa penasaranku sampai jadwal kerjaku selesai. Tapi lagi-lagi, semua itu cuma
membuang-buang tenaga saja, karena dia langsung memberitahuku setelah aku
sampai di rumah. Ketika aku bertanya mengapa dia tidak memberitahuku hal itu,
jawaban yang dia ucapakan cukup sederhana.
“Rasanya
akan memalukan jika mereka tidak menerimaku setelah aku melamar di sana.”
Ini
bukan plot twist yang menarik seperti
dalam pertunjukan drama. Memang benar kalau gagal dalam wawancara kerja itu
memalukan, jadi aku memahami niatnya. Sambil menyeruput kopi, aku mengingat
kembali malam itu ketika Ayase-san dengan santai memberitahuku 'Mulai besok, kita akan menjadi rekan kerja,
Asamura-kun'.
“Apa
kalian berdua yakin ingin bekerja sepanjang liburan musim panas?”
“Jangan
khawatir. Aku masih menghadiri kursus musim panasku. Aku bisa menjaga diriku
dengan baik, oke?”
Setelah
duduk di bangku kelas 2 SMA, kamu harus mulai fokus pada ujian masuk perguruan
tinggi incaranmu. Terutama di sekolah kami, SMA Suisei. Sekolah tersebut
merupakan sekolah yang sangat bergengsi, jadi kebanyakan orang—selain temanku Maru Tomokazu yang
menghabiskan liburan musim panasnya dengan kegiatan klub—umumnya fokus pada
latihan ujian atau kursus musim panas. Sebagai catatan tambahan, Ayase-san
tidak menghadiri kursus musim panas tersebut.
Karena
kursus semacam itu biasanya ditawarkan oleh tempat les yang terkenal, tentu
saja mereka akan memungut biaya, dia harus meminta uang kepada keluarganya
untuk menghadirinya. Ayahku mengatakan kalau Ia tidak keberatan membayarnya, tapi
kalian sudah tahu sendiri sifat kepala batu Ayase-san. Lagipula, dia berencana
untuk memasuki universitas terkenal dengan upayanya sendiri tanpa menerima
bantuan apapun dari orang lain, dan aku menghargai dirinya yang begitu.
“Kursus
musim panas? Ahh, aku tidak terlalu peduli tentang itu.” Ujar Ayahku,
berdasarkan kepercayaan (atau begitulah yang aku yakini), dan mengabaikan kerja
kerasku.
Tapi
sebaliknya, Ia menyuarakan keprihatinan ke arah yang berbeda.
“Maksudku,
kamu dan Saki-chan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda pergi ke mana-mana
selama liburan musim panasmu.”
“Itu
yang kamu maksud?”
Baik
Ayase-san dan aku cukup sibuk setiap hari, jadi bisa berkumpul bersama keluarga
seperti ini saja sudah menjadi kejadian langka bahkan selama liburan musim
panas. Oleh karena itu, aku tidak menyangka kalau Ayahku mengabaikan topik
belajar dan tiba-tiba bersikap serius mengenai hal seperti itu.
“Ini
sangat penting, tau. Begitu beranjak dewasa, kamu akan semakin kesulitan
menemukan waktu untuk benar-benar menikmati dirimu sendiri. Tidak ada waktu
seperti masa sekarang bagi kalian berdua untuk menghabiskan waktu masa muda
yang penuh cinta bersama teman-teman.”
“Mmhmm.
Jadi mengapa aku merasa seperti Ayah telah mengalami banyak hal meski sudah
paruh baya begitu?”
“Dalam
kasus kami, ini cinta antara orang dewasa. Tentu saja sangat berbeda.”
Atau
begitulah katanya, tetapi ketika aku melihat pasangan ini, aku dibuat penasaran
di mana letak perbedaannya. Tapi itu akan menjadi pertanyaan filosofis yang
berlebihan saat ini. Mungkin semua orang di dunia hanya berasumsi bahwa siapapun
yang mengatakan sesuatu terlebih dahulu merasa benar.
“Sebagai
anak sekolahan, bukannya kamu seharusnya, kamu tahu sendiri lah, pergi
jalan-jalan, mengunjungi festival, dan membuat banyak kenangan?”
“Sebagai
orang dewasa, bukannya Ayah seharusnya, itu loh, memperingatkanku untuk tidak
terlalu bersenang-senang? Lagian aku cukup bersenang-senang menjalani jadwalku
di tempat kerja, jadi semuanya tidak terlalu membosankan dan bekerja melulu.”
Aku menjawab dengan nada lelah.
Ayahku
menggelengkan kepalanya sebagai tanggapan. “Yang namanya kerja tetap kerja. Kamu
tidak dapat membandingkannya dengan jalan-jalan atau sesuatu seperti itu, ‘kan?
”
“Yah,
memang tidak salah sih...”
Maksudku,
dari sudut pandang orang dewasa, bekerja sambilan masih dianggap seperti
bermain-main, bukan? Orang dewasa suka membicarakan sesutau dengan nuansa
seperti ini, ‘kan? Rupanya hal yang sama tidak dapat dikatakan tentang Ayahku.
“Saat
kamu sudah kelas 3 SMA, kamu akan sibuk dengan urusan ujian masuk universitas,
jadi bersenang-senang selagi bisa tidak ada ruginya, ‘kan?”
“Benar
sekali. Aku khawatir Saki hanya melihat hidupnya berlalu begitu saja.”
Ayahku
dan Akiko-san mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka dengan cara yang sangat
berbeda dari yang biasanya kamu harapkan dari orang tua. Sekali lagi aku
diingatkan bahwa mereka berdua sebenarnya sangat mirip satu sama lain.
“Apalagi,
temanmu mungkin merasa kesepian jika kamu tidak memberi mereka perhatian.”
Teman,
ya? Saat ayahku memberitahu itu, orang pertama yang muncul di benakku adalah
seorang pria berotot berkacamata.
“Aku
tidak punya banyak teman, dan beberapa teman yang kupunya mengabdikan hidup
mereka untuk klub …” Aku tersenyum masam saat menanggapi perkataan Ayahku.
Temanku,
Maru Tomokazu adalah murid kelas 2 sama sepertiku, dan anggota reguler klub
bisbol. Bahkan selama liburan musim panas ini, tidak ada hari tanpa latihan.
Yang ada justru kamp pelatihan, latihan pertandingan di berbagai prefektur, dan
sejenisnya. Bahkan jika aku punya waktu untuk nongkrong, Ia terlalu sibuk.
“Aku senang ada liburan panjang! Itu
membuatku bisa berlatih lebih ketimbang hari-hari sekolah biasa!” Ia memberitahuku sambil tersenyum, jadi
mungkin itulah sebabnya Ia masuk menjadi anggota reguler. Sambil memikirkan apa
yang dikatakan Maru, aku melirik ke arah Ayase-san.
“Selain
diriku, aku merasa teman-teman Ayase-san mungkin mengajaknya pergi keluar.”
“Tidak
ada rencana.” Dia terus terang menyangkal semua asumsi yang kupikirkan.
Satu-satunya
teman Ayase-san yang kukenal cuma Narasaka Maaya, tapi tidak seperti Maru, aku
belum pernah mendengar apapun mengenai dirinya yang mengikuti suatu klub. Belum
lagi dia umumnya sangat peduli pada orang lain, jadi kupikir, melihat seberapa
dekat dia dengan Ayase-san, dia takkan membiarkan liburan musim panas ini
berlalu tanpa mengajaknya ke suatu tempat. Karena Ayase-san telah menyangkal
hal semacam itu, aku tidak dapat menanyakan detailnya dan terpaksa menghentikan
topik pembicaraan.
*****
Kemudian,
saat aku berada di kamarku untuk bersiap-siap pergi bekerja, ada seseorang
mengetuk pintu kamarku. Ketika aku membukanya, Ayase-san tengah berdiri di
sana.
“Jika
kamu penasaran tentang Maaya, maka jangan khawatir tentang itu. Kami tidak
memiliki hubungan dimana kami akan pergi
keluar bersama selama liburan musim panas. Cuma sekadar memberitahumu saja.”
Aku
dibuat terdiam. Dia begitu blak-blakan tentang hal itu sampai-sampai membuatku
hening sejenak apakah aku sudah merusak suasana hatinya.
“Tunggu,
Ayase-san.”
“…Apa?”
Ayase-san
hendak kembali ke kamarnya sendiri, dan secara naluriah aku memanggilnya. Tapi
aku sendiri bahkan tidak tahu harus berkata apa. Aku tidak bisa
mengungkapkannya dengan benar, tapi aku merasa ada sesuatu yang salah, dan sikapnya
barusan terasa berbahaya. Biasanya instingku cukup bagus, jadi jika aku
membiarkan masalah ini, bisa-bisa urusan ini bakal runyam dan menghantuiku
dalam jangka panjang. Semua kesalahpahaman harus diselesaikan secepat mungkin.
Setelah
menghabiskan tiga bulan terakhir bersama Ayase-san, aku sekarang sedikit
mengerti bagaimana pola pikirnya dan bagaimana dia menghargai waktunya, jadi aku
bisa melihat bagaimana dia tidak ingin menghabiskan waktu dengan teman-temannya
di luar sekolah, terutama selama liburan. Karena itu, dia bahkan takkan
berinteraksi dengan orang asing mana pun — yang mana tidak sepenuhnya benar.
Dia mengundang Narasaka-san ke rumah, dan kami bermain game bersama,
Narasaka-san mengajarinya di sini, dan dia bahkan membantu membuat makan malam.
Bila kamu tiba-tiba melihat ada jarak di antara keduanya, sepertinya mereka
tiba-tiba berkelahi atau semacamnya.
“Maaf.”
“Hah?”
Aku segera mengangkat kepalaku, jalan pikiranku terputus sebelum aku bisa
mengatakan sesuatu.
Dengan
ekspresi yang agak bermasalah, Ayase-san terus berbicara.
“Aku
bukannya marah atau dalam suasana hati yang buruk, oke? Maaf jika aku membuatmu
khawatir. Tapi Maaya dan aku tidak terlalu sering jalan-jalan.”
“Bukannya
dia pernah mampir ke sini beberapa kali?”
“Itu
karena dia tertarik untuk mencari tahu kamu itu orang seperti apa. Pada
kesempatan lainnya, aku mengundangnya karena dia pandai menjaga orang lain,
kan?”
Benar
juga, Narasaka-san bilang dia punya banyak adik laki-laki. Tidak seperti aku
dan Ayase-san yang sama-sama anak tunggal, dia diajari sejak kecil bagaimana
mempedulikan orang lain dan masalah mereka.
“Pada
dasarnya, jika tidak ada yang mengajak, biasanya takkan terjadi apa-apa.”
“Ahh,
baiklah. Aku mengerti. Aku sendiri bukan tipe orang yang benar-benar bergaul
dengan orang lain.”
“Apa
kamu lebih suka sendirian?”
“Lebih
dari pergi keluar, kurasa.”
Bisa
dibilang kalau aku cukup pandai menghibur diri sendiri. Aku dapat menghabiskan
waktu sendiri selama yang aku mau, dan aku tidak merasa kalau itu membosankan
atau sia-sia. Jika ada, menghabiskan waktu bersama orang lain bisa sangat
melelahkan bagiku. Saat aku kecil, ibuku selalu dalam suasana hati yang buruk,
jadi aku harus selalu berhati-hati untuk tidak membuatnya marah saat berada di
rumah. Itu selalu membuatku merasa lelah dan tegang. Bagiku, rumah bukanlah
tempat dimana aku bisa merasa nyaman. Mungkin itulah sebabnya aku mengembangkan
tipe kepribadian kutu buku yang tertutup ini. Bukannya aku baik-baik saja
sendiri. Tapi lebih seperti kesendirian hanya membuat segalanya lebih mudah
bagiku.
“Jadi
kamu juga sama, ya. Kurasa itu berarti topik ini sudah selesai?”
“Ya.”
Aku setuju.
“Baiklah,
aku harus bersiap-siap untuk bekerja. Dan, aku akan mengambil jalan memutar
saat berangkat ke sana, jadi mungkin aku akan pergi duluan.”
“Baiklah.”
Aku mengangguk, tetapi perasaan tidak nyaman di hatiku tidak mau hilang.
Aku
tidak ingin berpikir kalau dia berbohong, tapi ada sesuatu yang janggal
mengenai apa yang dikatakan Ayase-san. Setelah dia masuk ke kamarnya sendiri, aku
terus merenungkan perasaan aneh yang menggangguku ini, dan menyadari satu hal.
Kenapa Ayase-san sampai repot-repot mendatangi kamarku dan menekankan bahwa dia
tidak punya rencana untuk pergi keluar dengan Narasaka-san selama liburan musim
panas?
******
Aku
keluar dari area apartemen tepat sebelum waktu tengah hari. Jadwal kerjaku
untuk hari ini akan berlangsung dari sore hingga malam hari. Setelah memarkir
sepeda di sudut tempat parkir, aku memeriksa jam. Aku menyadari bahwa aku masih
punya waktu sekitar tiga puluh menit sampai giliran kerjaku dimulai.
“Lagi
pula, sudah tidak ada banyak waktu buat keluar lagi ...”
Aku
memutuskan untuk menghabiskan waktu di dalam toko, jadi aku masuk melalui pintu
masuk pelanggan biasa. Begitu memasuki area toko, aku melihat rilisan baru dan
buku-buku populer di rak dan pajangan depan. Ini mungkin lokasi yang paling menarik
dari seluruh toko buku, tapi karena itu, selalu ada sedikit perjuangan untuk
mendapatkan apapun di sana tergantung pada waktunya. Saat ini, seorang pegawai
yang kutaksir berusia 40-an melirik sekilas di bagian rilisan baru sebelum
berjalan menuju rak majalah olahraga.
Meski
sudah tidak punya banyak waktu, selalu ada baiknya untuk melihat apa yang baru.
Karena hanya ada satu pintu masuk ke toko, bagian kasirnya dekat. Wajar saja.
Bagi orang-orang yang sudah menyelesaikan pembeliannya, hal terpenting adalah
segera pindah ke lokasi lain, dan berjalan-jalan di dalam toko lebih dari yang
diperlukan setelah menyelesaikan pembelian hanya akan merepotkan mereka.
Jika
kamu berjalan melewati sudut ini dengan barang-barang baru dan populer,
melewati beberapa rak buku, kamu akan mencapai area dengan buku-buku yang tidak
benar-benar terlaris saat ini. Semua orang tahu kalau kamu harus meletakkan
buku-buku populer di tempat di mana banyak mata menemukannya. Di setiap toko
buku, ada sistem dan pengaturan tertentu mengenai bagaimana menampilkan buku di
toko. Meski aku hanya diajari tentang itu oleh seorang senior di tempat kerja, hal
itu sangat masuk akal bagiku. Oh ya, hal itu jadi membuatku teringat saat
pertama kali mulai bekerja di sini.
…………
“Yomiuri-senpai,
bukankah toko buku sering mengubah tampilan rak buku?”
Sekitar
sekali atau dua kali dalam setahun, toko buku akan mengubah lokasi bagian
populer ini. Bahkan toko yang lebih besar sepertinya tidak bisa meninggalkannya
di tempat yang sama. Aku tidak bisa membayangkan perpustakaan melakukan itu.
“Pasti
rasanye merepotkan, bukan? Tidak tahu letas di mana semua buku-buku tersebut.” Aku
mengemukakan sesuatu yang harus dirasakan oleh setiap pelanggan toko buku biasa
setidaknya sekali dalam hidup mereka.
“Yup,
itu sebabnya,” itulah jawaban dari Yomiuri-senpai yang masih penuh teka-teki.
“Apa?”
“Pihak
toko buku melakukan hal itu justru karena kamu ingat di mana letak segala
sesuatunya.”
“Maksudnya
apa? Aku masih belum paham”
“Secara
teknisnya sih, itu karena kamu berpikir kalau kamu mengingatnya. Manusia
sebenarnya tidak mengingat detail kecil meski mengingat gambaran yang lebih
besar. Apa kamu ingat buku apa yang ada di sini sebelumnya? ” Senpai bertanya
sambil mengetuk salah satu sudut rak buku tempat dia berdiri di sebelahnya.
Tampaknya
belum terjual terlalu lama, tetapi ruang itu kosong. Karena ini adalah rak
bagian novel ringan, aku cukup sering datang ke sini, namun aku masih tidak
dapat mengingat dengan jelas buku apa yang ada di lokasi ini sebelumnya.
“Ini
jawabanmu.”
Dia
menunjukkan sampul buku yang baru saja kami terima hari ini. Buku tersebut
cukup populer, dan berasal dari seorang penulis yang terkenal dengan cerita
pendeknya. Tentu saja, aku sudah membaca beberapa karya sebelumnya, dan saat
melihat sekeliling rak buku, aku seharusnya menyadari bahwa itu dipenuhi dengan
buku-buku dari penulis yang sama. Meski itu bukan bagian dari seri lagi.
“Ah,
jadi ini buku yang itu?”
“Tapi
ketika kamu melihat rak buku, kamu tidak berpikir ada yang berbeda dari
biasanya, kan?”
“Kalau
itu…. memang sih.”
“Pada
dasarnya, kamu tidak ingat apa yang ada di dalam rak. Namun, otakmu berpikir
bahwa rak itu masih sama seperti sebelumnya. Manusia tidak jauh berbeda dengan
binatang, jadi jika mereka tidak berpikir ada sesuatu yang salah atau berbeda,
perhatian mereka akan menurun.”
Mau
tak mau aku mengerang saat Senpai mengatakan itu. Meski dia menggunakanku
sebagai contoh, aku masih bisa mengatakan bahwa apa yang dia katakan masuk
akal. Tentu saja, aku tidak melewatkan senyum tipisnya di akhir. Dia mungkin
terlihat seperti wanita yang cantik, tapi di dalanya sangat busuk. Setidaknya
itulah yang sudah kupikirkan saat itu.
“Jadi
itu sebabnya pihak toko mengubah tampilan rak buku?”
“Yup,
itu sebabnya kami mengatur semua itu. Jika tidak ada perubahan, kamu mungkin
bisa berbelanja tanpa harus benar-benar melihat. Pada dasarnya kami
menghancurkan kenyataan itu, mengubah lokasi rak buku dan sejenisnya secara
berkala . Kemudian kamu harus berjalan-jalan sebentar mencoba menemukan apa
yang kamu cari, dan mau tidak mau kamu akan lebih memperhatikan lingkungan
sekitarmu. Berbeda dari perpustakaan, kami secara aktif mencoba menjual buku.
Jika kami cuma menempatkan rilisan baru dan populer di tampilan khusus, semua
buku yang tersisa di toko akan tidak berguna, karena orang tidak melihat buku
lain selain dari apa yang mereka cari. Toko buku tidak dapat bertahan tanpa
memindahkan rak dari waktu ke waktu. Aku tahu toko buku yang menghilang seiring
berjalannya waktu karena rak mereka pada dasarnya membusuk di tempat!”
“Terima
kasih banyak atas penjelasan filosofis dan mendalamnya, Senpai.”
“Aku
cukup keren, iya ‘kan?”
“Kamu
mirip seperti kakek tua keriputan dari game RPG.”
“Hmph,
itu tidak terdengar keren sama sekali.” Balasnya sambil cemberut.
……………
Sambil
mengenang apa yang Senpai katakan saat itu, aku mengalihkan perhatianku dari
deretan barang baru dan melihat ke bagian dalam toko. Toko buku cukup banyak
memamerkan pengetahuan umat manusia. Selain itu, rilisan baru mencerminkan arus
informasi dunia untuk generasi saat ini. Aku bisa merasakannya di kulitku hanya
dengan melihat judul dan sampul. Sejujurnya, ini cara yang bagus untuk
menghabiskan waktu.
Aku
melewati pajangan buku dan memulai penjelajahanku di dalam toko. Aku memeriksa
terbitan baru, menelusuri jilidan buku-buku di rak. Ketika aku melakukan ini, aku
dapat memeriksa bagaimana kinerja toko, dan aku bisa membantu pelanggan dengan lebih baik setelah
giliran kerjaku benar-benar dimulai. Setelah beberapa saat berlalu, aku mulai
berpikir kalau aku mungkin harus mengganti seragamku saat ada seseorang
tiba-tiba menepuk pundakku.
“Yo,
Kouhai-kun.”
Saat
aku berbalik, Yomiuri-senpai berdiri di sana dengan pakaian santainya.
“Senpai,
tolong jangan mengagetkanku begitu. Aku hampir terkena serangan jantung, tau.”
“Memangnya
kamu selalu memiliki hati serapuh itu?”
“Mungkin
tidak terlihat seperti itu, tapi aku memang punya.”
“Jika
kamu mau menunjukkannya kepadaku, aku mungkin akan mempercayaimu.”
“Jika
kamu mengembalikannya ke tempatnya setelah itu, aku tidak keberatan
menunjukkannya padamu.”
Setelah
mendengar jawabanku, Senpai tersenyum bahagia.
“Kamu
itu siapa, Shakespeare? Bahkan aku tahu kalau kamu tidak dapat mengambil hatimu
tanpa menumpahkan darah. Kurasa aku harus mempercayaimu tanpa bukti.”
“Aku
sangat menghargainya.”
Hari
ini, Yomiuri-senpai mengenakan celana jeans
denim slim-fit dengan blus tanpa
lengan, rambut panjangnya diikat ke belakang dengan model kepang dua. Pemilihan
bajunya terlihat nyaman dan santai, bahkan tampak menyegarkan untuk musim
sekarang.
“Bukannya
kamu datang terlalu cepat?”
“Hal
yang sama berlaku padamu, Senpai.”
Bukannya
dia mempunyai jadwal kerja yang sama denganku dan Ayase-san?
“Bermalas-malasan
terus di rumah bikin aku bosan. Mumpung di sini juga ada A/C, jadi kupikir aku
akan melihat-lihat ke dalam toko dulu sebelum memulai giliranku.”
“Apa
kamu sebosan itu?”
“Itulah
artinya menjadi seorang mahasiswa.”
“Bagaimana
dengan seminarmu, UKM-mu, dan penelitianmu?” (TN: Unit Kegiatan Mahasiswa adalah istilah ekskul di perguruan
tinggi)
“Ahhhh,
aku enggak dengaaaaaarrrrr, aku tidak bisa mendengarmu sama sekaliiii.”
“Jangan
bertingkah seperti anak SD. Ingat umur coba.”
“Ingat
pepatah 'Lebih baik terlalu besar
daripada terlalu kecil', Kouhai-kun?”
“Logika
murahanmu membuatmu terdengar seperti anak SMP.”
“Tak
peduli berapa usiaku bertambah, apa yang ada di dalam tidak akan berubah.”
“Kamu
mencoba terdengar pintar, tapi ini cuma upaya setengah-setengah menghindari
pertanyaanku tentang kamu yang malas, kan?”
“Kamu
akan mengerti bagaimana perasaanku setelah kamu mulai kuliah, Kouhai-kun.
Mahasiswa perguruan tinggi tidak sedewasa yang kalian kira siswa SMA.”
Yomiuri-senpai mencoba berbicara sendiri sambil tersenyum.
Kredibilitasnya
saat mengatakan itu jauh berbeda dari sebelumnya.
“Ngomong-ngomong,
di mana adik kecilmu?”
“Entah?
Apa dia belum datang? Dia meninggalkan rumah lebih dulu, jadi aku berasumsi dia
akan segera tiba di sini. ”
Selama
sebulan terakhir ini, aku dan Ayase-san tidak pernah berangkat kerja bareng.
Dia mengatakan sesuatu tentang bagaimana kami harus membuat batas mirip seperti
bagaimana hubungan kami di sekolah, dan aku pun setuju. Bukannya ada hal buruk
akan terjadi jika pihak toko mengetahui bahwa kami bersaudara, dan karena
Ayase-san harus menyerahkan lamaran pekerjaannya, aku cukup yakin manajer toko
sudah tahu bahwa kami bersaudara. Dia cuma tidak menyebarkan informasi ini
kepada karyawan lain dari apa yang aku tahu.
Selain
itu, aku biasanya berangkat menggunakan sepeda, sedangkan Ayase-san dengan berjalan,
jadi aku harus memperlambat dan dia harus mempercepat untuk mengimbangi satu
sama lain jika kita ingin datang ke sini bersama-sama, baik aku dan Ayase-san
sama-sama menikmati bentuk pertimbangan yang mencolok seperti ini.
“Tetap
saja, aku tidak pernah menyangka kalau adikmu akan bekerja di sini~ Eh,
apa-apaan ekspresimu itu?”
“Yah
... aku sempat mendengar percakapan serupa di rumah.”
Kenapa
semua orang berpikir kalau Ayase-san
yang bekerja sambilan di toko buku merupakan hal yang mengejutkan? Saat aku
menanyakan pertanyaan ini pada Yomiuri-senpai, dia memikirkannya sejenak.
“Bukan
hal yang aneh melihat seseorang bekerja sambilan di toko buku. Namun, pernyataan
itu cuma berlaku untuk anak SMA yang hanya ingin sedikit bermain-main. Adikmu
itu orang yang rajin dan serius dengan pekerjaannya seperti dirimu, Kouhai-kun.”
“Mungkin…
Oh iya, Senpai, apa kamu punya rencana pergi ke suatu tempat di musim panas
ini?”
“Hmmm?
Aku? Tentu saja ada. Aku akan mengenakan baju renang yang seksi dan menunggu
dirayu di pantai.”
Dia
mengatakannya sambil membusungkan dada dengan penuh percaya diri. Memangnya
kamu benar-benar perlu bertingkah sesombong ini? Belum lagi baju renang yang
seksi? Baju renang apa? Yah, dari sudut pandang objektif, Yomiuri-senpai cukup
cantik dan bertubuh modis. Andai saja dia menutup mulutnya, dia terlihat
seperti contoh sempurna dari wanita ideal jepang, terutama dengan rambut hitam
panjangnya yang memikat. Tapi lagi-lagi, di dalam dirinya hanyalah Om-Om tua
yang suka candaan jorok.
“Laut,
ya?”
“Apa-apaan
dengan ekspresi terganggu itu?”
“Yah…
aku hanya bisa membayangkannya sebagai gerombolan orang.”
Jika
ingin berenang bebas, kamu perlu berada di pantai Honshuu untuk menghindari
keramaian. Belum lagi bagi seorang introvert seperti diriku, pergi ke pantai
yang ramai masih terlalu berat.
“Aku
tidak pergi ke sana untuk berenang, jadi tidak masalah.”
“Kamu
pergi ke sana cuma ingin untuk dirayu?”
“Yup,
yup.”
“Memangnya
ada bagusnya kena rayu?”
“Aku
bisa makan gratis berkat itu.”
“Kamu
bahkan tidak terlihat miskin ...”
Maksudku,
aku tahu bayaran dari toko buku tidak seberapa. Pada dasarnya, toko buku tidak
mempunyai rentang keuntungan yang bagus, jadi gajinya tidak bisa dibanggakan.
Bahkan jika kamu menjadi karyawan tetap toko buku, gajinya masih pas-pasan.
Bisa dibayangkan berapa besar bayaran yang didapat jika kamu cuma menjadi
pekerja sambilan.
“Astaga,
apa kamu tidak menyukai cara mendapatkan makanan gratis ini?”
“Tidak
juga, aku hanya tidak suka berhutang pada orang lain. Lagian, terus-menerus
ditraktir seperti itu pada dasarnya sama saja kamu mengakui kalau kamu tidak
mendapatkan uang, yang mana masih meninggalkan perasaan getir.”
Aku
suka menjalani hidupku dengan prinsip timbal balik. Jadi, selalu disuguhi
hal-hal gratis, atau hanya menerima kebaikan orang lain, tidak sejalan dengan
prinsipku. Tidak ada yang lebih mahal dari sesuatu yang gratis. Belum lagi
makanan yang aku beli dengan uang yang kuperoleh dari jerih payahku sendiri rasanya
sepuluh kali jauh lebih enak.
“Yah,
itu sangat sesuai dengan sifatmu, Kouhai-kun. Tapi aku menawarkan mereka
penampilan baju renang seksi dari gadis yang cantik, jadi bukan berarti aku
sepenuhnya makan gratis, iya ‘kan?”
“Seksi…?
Kamu sudah terdengar seperti Om-Om tua. Apa kamu yakin penampilanmu itu belum
layu?”
“Jadi,
kamu memanggilku gadis universitas yang punya penampilan peot?”
“Aku
tidak pernah mengatakan itu.”
Aku
hanya memikirkannya, itu saja.
“Aku
bisa tahu apa yang kamu pikirkan!”
“Aku
minta maaf.”
“Ngomong-ngomong,”
Senpai meletakkan jari telunjuknya di bibirnya dan tersenyum seperti kucing
yang menggoda. "Semua yang aku bilang tadi itu bohong.”
“…Semuanya?”
“Ya,
semuanya.”
“Jadi,
buat apa semua kobohongan tadi?”
“Tidak
ada makna yang mendalam untuk itu!” Senpai bersikeras.
Saat
aku melihat ke arah Yomiuri-senpai yang sekarang mengetahui bahwa semua
perkataannya adalah bohong, aku mungkin seharusnya bisa mengetahuinya dari
awal. Aku merenungkan kesalahanku. Lagi pula, lengannya yang terlihat dari
balik blus tidak menunjukkan tanda-tanda kecokelatan atau terbakar sinar
matahari. Kulitnya masih seputih salju seperti biasanya.
“Yah,
kesampingkan candaan tadi, kita mungkin harus berganti seragam sekarang.”
Kami
berjalan ke area belakang toko buku dan berpisah. Aku berganti pakaian di ruang
ganti pria yang kosong, dan mengenakan seragam aku. Begitu aku melangkah keluar
untuk menuju ke kantor, Yomiuri-senpai dan Ayase-san melangkah keluar dari
ruang ganti wanita. Sepertinya dia datang tepat waktu.
Dia
mengenakan celemek yang sama seperti Senpai. Tidak seperti di sekolah atau di
rumah, dia sekarang mengikat rambut panjangnya dengan pita, mungkin untuk
membantunya bekerja lebih efisien. Rambut pirangnya yang berkilauan tampak
seperti ekor kuda yang sombong dan terkenal. Kesenjangan antara seragam
karyawan dan gaya rambut mencolok membuatnya menonjol di toko, dan mataku
kadang-kadang mengikuti sosoknya.
Rasanya
tatapan mata kami bertemu sekilas. Namun, ini hanya berlangsung sesaat, dan dia
langsung mengalihkan pandangannya lagi. Ini tidak bagus. Aku harus terbiasa
dengan ini. Atau begitulah yang aku gumamkan pada diriku sendiri saat
memperbaiki postur tubuhku. Aku ragu Ayase-san menyukainya saat aku meliriknya.
Di
dalam toko sendiri sudah cukup ramai. Mungkin karena hari Sabtu, tapi mungkin juga
karena sedang liburan musim panas. Meski begitu, ada rentang waktu singkat
ketika gerombolan pelanggan mereda. Kupikir sekarang sudah sekitar jam 3 sore. Setelah
menyelesaikan pembelian di kasir, Ayase-san dengan sopan mengucapkan "Terima kasih banyak!" kepada
pelanggan saat mereka pergi. Karena sudah tidak ada pelanggan lain yang
mengantri, Ayase-san, Yomiuri-senpai, dan diriku yang berbaris di belakang kasir,
menghela nafas lega.
“Kamu
melakukannya dengan hebat meski baru bekerja di sini selama satu bulan,
Ayase-san!”
“Benarkah?”
“Yup.
Kupikir kita punya anak yang pintar saat Kouhai-kun melamar kerja di sini, tapi
kamu bahkan mungkin mengalahkannya.”
Nada
suaranya terdengar seperti dia serius. Secara pribadi, aku pun setuju. Semua
yang dia lakukan sempurna, mulai dari berurusan dengan kasir hingga membantu
pelanggan. Aku bahkan tidak perlu turun tangan langsung dan membantunya. Belum
lagi sekitar seminggu setelah dia mulai bekerja di sini, dia sudah mengingat
semua detail kecil tentang pekerjaan ini, menyesuaikan diri jauh lebih cepat
daripada diriku saat pertama kali bekerja di sini.
Itu
mengingatkanku, Yomiuri-senpai memanggil Ayase-san 'adik kecil' ketika berada di hadapanku, tapi ketika dia berbicara
langsung dengannya, terutama di dalam toko, dia juga sering memanggilnya 'Ayase-san'. Hal-hal semacam ini
membuatnya tampak sangat dewasa. Tentu saja, secara mental. Bukan dalam artian
secara fisik.
“Terima
kasih banyak.” Ayase-san membalas senyuman hangat.
Akri-akhir
ini, dia bertingkah lebih acuh dan cuek kalau di rumah, jadi saat aku melihatnya
tersenyum seperti itu terasa baru. Tapi sekali lagi, senyumannya itu mendekati
senyum palsu yang pertama kali dia tunjukan padaku di restoran keluarga.
“Tapi
itu menunjukkan betapa bagusnya kamu dalam mengajariku, Senpai.”
“Tanggapan
tersebut justru membuktikan betapa menakjubkannya dirimu.”
“Tidak
tidak, aku sama sekali tidak bohong, kok.”
“Anoo…”
“Ah
iya!”
Seorang
pelanggan berbicara di sisi lain kasir, dan Ayase-san berbalik dan mulai
membantu mereka dengan senyum sempurnanya. Pelanggan tersebut ialah wanita tua
yang sepertinya sedang mencari manga.
“Gimana
kalau aku saja yang mengurus mesin kasir?”
“Iya,
mohon bantuannya.” Ayase-san mengangguk dan melangkah keluar ke toko utama.
Kupikir
dia akan segera kembali, tapi setelah sekitar sepuluh menit, Ayase-san tidak
menunjukkan tanda-tanda kembali. Sementara itu, ada banyak pelanggan mengantre
di depan kasir, yang mana membuatku takbisa punya kesempatan untuk mencarinya.
Selain buku, Ayase-san tidak membaca manga apapun. Dia mungkin tersesat saat
mencoba membantu pelanggan.
“Serahkan
mesin kasirnya padaku. Kamu bisa pergi membantunya. ” Senpai pasti melihat ekspresi
khawatirku, karena dia menepuk punggungku.
Aku
meninggalkan sisanya padanya dan melangkah keluar ke dalam area toko. Saat aku
berjalan menuju bagian rak manga, aku dengan cepat melihat Ayase-san berjalan
di sepanjang rak buku dengan pelanggan di belakangnya.
“Apa
semuanya baik-baik saja, Ayase-san?”
“Asamura-san…” Ayase-san berbalik dengan
ekspresi bermasalah di wajahnya, alisnya terlihat menggantung rendah.
Dari
penjelasannya, wanita tua itu sedang mencari manga untuk cucunya. Dengan kata
lain, dia sendiri tidak tahu banyak tentang manga, dan dia juga memiliki
ekspresi yang agak kebingungan. Dia bilang sedang mencari rilisan baru dari
bulan ini. Manga tersebut baru saja mendapatkan pengumuman adaptasi anime, dan
memiliki penjualan yang cukup bagus. Mengingat berapa banyak salinan yang kami
dapatkan dari seri populer, aku tidak bisa membayangkan kalau manga yang
dimaksud akan terjual habis. Tapi Ayase-san tidak bisa menemukannya.
“Dilihat
dari penerbitnya, seharusnya manga itu ada di rak sebelah sini ...”
“Apa
kamu sudah memeriksanya?” Aku melirik ke mesin yang ada di sudut toko buku.
Kami
harusnya bisa mengetahui apa manga itu masih tersedia atau tidaknya berkat
fungsi pencarian mesin.
“Dari
datanya kita masih memiliki lima salinan, tapi ...”
“Manga
itu tidak ada di pajangan?”
“Iya,
aku sudah memeriksanya.”
Setelah
memastikan situasinya berkat masukan Ayase-san, aku mulai berpikir. Sungguh
aneh bila tidak bisa menemukan manga yang dimkasud meski baru saja dirilis.
Kami masih punya persedian yang tersisa meski betapa populernya seri itu juga.
Namun, karena tidak ada dalam tampilan item populer, aku terpaksa melihat
melalui sampul di rak. Rak ini dipenuhi dari ujung kepala hingga ujung kaki
dengan manga dari label penerbitan itu. Mencari nama penulis dengan urutan
huruf A i u e o, aku melihat seri yang lebih lama dari mereka, tetapi bukan
rilis terbaru. Sepertinya yang kami taruh di rak sudah habis terjual.
“Tidak
ada di sini…”
“Ya.
Aku tahu itu seharusnya ada di sini, tapi…”
“Itu
artinya… Hmm, mungkin di sini…”
Aku
memindahkan buku-buku yang ditumpuk di bawah rak. Kemudian manga lain, dan yang
sama sekali berbeda dari yang lainnya, muncul. Manga itu adalah rilisan baru
yang kami cari.
“Ah!”
“Ada.
Apa benar yang ini?”
Di
toko buku, para pelanggan sering mengambil buku dari rak untuk dilihat-lihat tapi
sering tidak mengembalikannya ke tempat semula. Hal ini merupakan contoh lain
dari kejadian itu. Jika buku itu disimpan secara acak di tempat lain, buku yang
ditaruh mungkin akan lebih menonjol, dan dengan demikian lebih mudah bagi Ayase-san
untuk menemukannya, tapi karena mereka menaruh manga lain di atas manga yang
kami cari, secara efektif dan tidak disengaja jadi tersembunyi seperti itu. Jumlah
salinan ada di bawah juga sama dengan jumlah yang mesin pencari katakan bahwa
kami masih memiliki stok.
“Hebat
sekali…! Bagaimana kamu bisa tahu?”
“Yah…
insting, mungkin? Lebih penting lagi, pelanggan sedang menunggu.”
“Ah,
ya. Um ... apa ini yang Anda inginkan? ” Ayase-san menoleh ke arah pelanggan,
memeriksa apa manga itu yang dia inginkan.
Ketika
dia menanyakan itu, wanita tersebut membalas dengan senyuman bahagianya.
“Ya,
ya, sepertinya yang ini.”
“Syukurlah,
apa hanya ini saja yang Anda butuhkan?”
Wanita
itu hanya balas mengangguk, kami lalu mengantarnya ke meja kasir dan
menyelesaikan pembayaran. Wanita itu tampak sangat senang karena berhasil
dengan perjalanan belanjanya, dan dia dengan erat memeluk manga dan mengobrol
sedikit, lalu pergi. Saat dia keluar dari toko, aku dan Ayase-san menghela nafas lega.
“Aku
senang akhirnya kita bisa menemukannya. Jadi bagaimana kamu bisa tahu untuk
melihat ke sana? Rasanya sudah hampir seperti semacam kekuatan super.”
“Tidak,
sama sekali bukan seperti itu.”
Di
kartu yang dipajang, tertulis 'Rilis 2
Agustus!', tapi label pada buku di atas tumpukan merupakan label yang
biasanya tidak boleh dirilis pada hari itu. Pada dasarnya, buku itu seharusnya
tidak ada di tumpukan itu sejak awal, dan keanehan tersebut sangat menonjol di
mataku.
“Aku
sama sekali tidak tahu…”
Aku
tidak menyalahkan Ayase-san karena tidak terbiasa dengan rilis manga. Berbeda
dariku, dia tidak secara teratur memeriksa rilisan baru.
“Sulit
untuk memperhatikan hal semacam itu jika kamu tidak terbiasa. Aku hanya punya
sedikit pengalaman, cuma itu saja.”
—Jika binatang tidak berpikir ada sesuatu
yang salah atau berbeda, maka perhatian mereka akan berkurang.
Ucapan
yang pernah Senpai katakan padaku dulu sekarang kembali terlintas di pikiranku.
Saat otakmu berpikir 'itu tidak ada di
sana', lalu matamu juga akan mengabaikannya.
“Meski
begitu, aku pikir itu sangat luar biasa.”
“Aku
yakin Yomiuri-senpai akan menemukannya lebih cepat.”
Yomiuri-senpai
berganti giliran dengan kami, dan sekarang tengah berpatroli di dalam toko.
Saat aku sedang memikirkannya, Ayase-san menggumamkan 'Begitu ya' dengan nada acuh dan berdiri di belakang mesin kasir
lagi. Semakin banyak pelanggan muncul untuk membeli sesuatu, jadi semuanya
kembali sibuk.
Aku
bisa melihat siluet rembulan mulai terbit di antara celah bangunan. Ada sekitar
sepuluh hari tersisa di bulan Agustus, jadi hembusan angin masih terasa hangat,
dan sisa panas mulai naik dari aspal. Waktu mengalir semakin cepat mendekati
jam 10 malam, dan sebenarnya sudah lima belas menit sejak jadwal kerjaku
berakhir. Pelajar SMA hanya diperbolehkan bekerja sampai jam 10 malam, tapi
pada dasarnya kami diizinkan untuk pulang pada jam 21:50. Meski begitu,
berganti pakaian dan mengucapkan selamat tinggal membutuhkan waktu sepuluh
menit penuh.
Ayase-san
dan aku pulang bersama, dan berjalan berdampingan. Karena kami berdua memilih untuk
tidak terlalu perhatian satu sama lain, kami bedua sama-sama tidak keberatan
dengan berangkat kerja pada waktu yang berbeda. Namun kami berjalan pulang
bersama. Alasan untuk ini ada kaitannyanya dengan syarat Akiko-san untuk
membiarkan Ayase-san bekerja sambilan. Syaratnya yaitu, dia meminta kami untuk
berjalan pulang bersama ketika jadwal kerja kami selesai pada malam hari. Dia
tidak ingin seorang gadis berjalan pulang sendirian di kota besar seperti
Shibuya. Hal itu menunjukkan seberapa besar kasih sayangnya sebagai ibu.
Pada
awalnya Ayase-san menentang syarat tersebut. Dia berpendapat bahwa meminta
kakak laki-lakinya bertindak sebagai pengawal merupakan syarat yang terlalu
berlebihan. Menurutnya, dia sering bolak-balik sendirian ke bar tempat
Akiko-san bekerja, dan dia selalu aman. Oh ya, ada desas-desus mengenai
Ayase-san yang terlibat dalam semacam bisnis kencan berbayar yang mencurigakan,
tapi dalam kenyataannya, beberapa siswa kebetulan melihatnya saat dia sedang
dalam perjalanan untuk bertemu Akiko-san, dan mereka salah paham dengan
situasinya. Hal itu jadi bisa menjelaskan banyak hal.
Dan
mungkin ada alasan lain mengapa Ayase-san awalnya mencoba menolak syarat aku
harus menemaninya. Karena aku bepergian dengan sepeda dalam perjalanan ke
tempat kerja kami, jadi aku bisa pulang lebih cepat. Jadi dia tidak ingin
merepotkanku. Jika posisi kami terbalik, aku mungkin akan merasakan hal yang
sama. Karena Ayase-san lebih suka berada di sisi memberi ketimbang menerima, jadi
dia tidak mau menerima syarat yang diajukan Akiko-san.
Meski
begitu, pada akhirnya dia tetap setuju. Dia tidak ingin membuat ibunya terlalu
khawatir ketika dia sendiri sudah sibuk dengan pekerjaannya. Sejujurnya, aku
sendiri merasa lega dalam hal itu. Meski orangnya sendiri bilang kalau
baik-baik saja, aku tetap tidak tega membiarkan Ayase-san berjalan sendirian di
jalanan malam Shibuya. Mungkin sekali saja tidak masalah, tapi karena kami
bekerja hampir setiap hari, pasti ada masalah yang akan terjadi nanti.
Saat
aku mengungkit kemungkinan itu, Ayase-san dengan acuh membalas, 'Kukira perkataanmu ada benarnya juga'. Setelah
menjalaninya beberapa kali, kami sudah terbiasa berjalan pulang bersama. Aku
menyeka keringat di pipiku sembari berharap kalau suhunya akan segera dingin.
“Ini
musim panas yang sangat panas, ya?”
“Jadi
ini sudah memasuki musim gugur, ya…?”
“Eh?”
“Apa?”
Kami
berdua sama-sama berhenti. Ayase-san menatapku dengan ekspresi kebingungan, dan
aku pun membalasnya dengan ekspresi yang sama. Setelah Ayase-san menyelidiki
wajahku dengan cermat, dia mengangguk lemah.
“Apa
kamu berbicara tentang suhu?”
“Ya.
Bagaimana denganmu?”
“Itu.”
Ayase-san mengarahkan dagunya ke arah jendela toko... butik?
Aku
bisa melihat manekin yang berdiri di balik jendela kaca.
“Itu
seharusnya jadi musim gugur?”
“Itu
baju musim gugur, ‘kan? Memangnya apa lagi?”
Kekecewaan
Ayase-san sepertinya semakin tumbuh saat melihat bahwa aku tetap bingung.
“Eh,
apa kamu seriusan tidak tahu?”
“Maaf,
aku tidak bisa melihat perbedaan antara gaya pakaian pada manekin itu dengan apa
yang kamu kenakan sekarang, Ayase-san.”
Maksudku,
aku bisa mengetahui kalau itu bukan pakaian pertengahan musim panas berkat dia
yang menunjukkannya. Lengannya juga sedikit lebih panjang… Kurasa? Tapi
Ayase-san mengenakan jaket kotak-kotak di atas tanktop rajutannya, jadi…
“Masalahnya
bukan itu. Saat kamu melihat warna pakaian dan detail kecilnya, kamu bisa
mengetahui apa yang sedang tren di musim gugur ini. Ditambah lagi, kebanyakan
manekin tidak lagi mengenakan pakaian musim panas, setidaknya bukan baju yang
diletakkan di jendela depan toko. Belum lagi mereka mengenakan pakaian yang
berbeda dari kemarin, kan?”
“Benarkah?”
“Kamu
pasti bercanda…”
“Ah,
tidak, aku tidak meragukanmu atau apa pun. Aku yakin kalau perkataanmu benar. Jadi
tolong jangan memasang ekspresi seolah-olah kamu habis bertemu zombie atau
Santa di tengah kota.”
“Secara
pribadi, aku merasa telah menemukan sesuatu yang lebih langka dari itu. Aku
bahkan takkan terkejut melihat zombie atau Santa pada saat ini.”
“Bukannya
itu sedikit kejam?”
Dia
memperlakukanku seperti penghuni Area 51 atau objek SCP. Mungkin kepekaanku
begitu sempit sampai-sampai aku bahkan tidak mengingat apa yang dikenakan
manekin di rute harianku. (TN : S.C.P [Secure. Contain. Protect] Foundation adalah organisasi
fiksi di internet yang dipenuhi berbagai cerita horror bergaya ilmiah, lebih
jelasnya bisa kalian cek di google)
“Asamura-kun,
apa kamu tipe orang yang tidak begitu tertarik dengan mode?”
“Apa
lamu pernah melihatku membaca majalah mode?”
Jika
aku punya uang dibelanjakan untuk pakaian, aku lebih suka membelanjakannya
untuk buku. Lagian, aku yang penyendiri dan kutu buku, ingin memamerkan pakaian
ini pada siapa? Ayase-san mengangguk, sepertinya memahami alasanku.
“Begitu
ya. Kurasa kamu benar-benar tidak menyadarinya sama sekali jika kamu tidak
tertarik. ”
“Sepertinya
begitu.”
“Yah,
kurasa tidak ada masalah jika kamu tidak bekerja sambilan demi pakaian itu…”
“…
Hm? Apa maksudnya itu?”
“Jangan
terlalu dipikirkan~” Ayase-san mulai berjalan di depan.
Aku
tidak tahu persis apa yang baru saja dia bicarakan, tapi aku mendorong sepedaku
dan mengikutinya. Untuk beberapa alasan, sejak saat itu suasana hati Ayase-san
tampak lebih baik dibandingkan percakapan kami sebelumnya.
Kode keras dari senpai
BalasHapus