Gimai Seikatsu Vol.3 Chapter 01 Bahasa Indonesia

Chapter 1 — 22 Agustus (Sabtu)

 

Di hari Sabtu pagi menjelang paruh akhir liburan musim panas. Dari luar jendela, aku bisa mendengar jangkrik tengah mengadakan konser langsung dengan meriah. Aku merenungkan kehidupan sambil menyantap telur dadar gulung dengan sumpitku. Biasanya, selama liburan musim panas, hari akhir pekan pada dasarnya menempatkan hari libur di atas hari liburmu, yang mana kemudian menciptakan sensasi di mana kamu serasa melewatkan sesuatu. Memangnya kita tidak bisa mengambil semua hari Sabtu dalam jatah liburan musim panas 40 hari ini sebagai hari libur tambahan setelah liburan ini selesai?

Kupikir permintaan tersebut tidak terlalu muluk. Jika ada hari libur umum atau nasional yang jatuh pada hari Minggu, kami biasanya mendapat libur pada hari Senin, jadi secara teknis kami harus mengambil semua hari Sabtu yang terjadi selama liburan musim panas—atau jika itu terlalu ngelunjak, setidaknya hari Minggu—diubah menjadi hari libur setelah liburan musim panas berakhir. Pasti dari kalian banyak yang setuju, ‘kan? Aku terus mempertimbangkan ide tersebut sampai-sampai aku masih memikirkannya saat sarapan.

“Kamu sudah punya jatah liburan satu bulan penuh, tapi kamu masih minta lagi? Memangnya ada sesuatu yang ingin kamu lakukan atau semacamnya? ” Ayahku menanggapi dengan heran, jadi aku berhenti makan dan mulai berpikir.

“—Tidak terlalu juga.”

“Jadi kenapa?”

“Aku merasa seperti membuang-buang waktu saja.”

“Itulah yang dinamakan masa muda.”

“Kupikir masalah usia tidak ada hubungannya dengan ini.”

“Begitu kamu mencapai usiaku, kamu tidak bisa memikirkan apa-apa untuk dilakukan bahkan jika kamu tiba-tiba mendapat hari libur.”

“Uwahh, kamu berani mengatakan itu di depan Akiko-san? Setidaknya buatlah terdengar seperti kamu merasa senang menghabiskan waktu bersamanya…”

“Fufu, kamu sangat perhatian sekali, Yuuta-kun. Tidak seperti orang tertentu.” Akiko-san berkomentar dari tempat duduknya di seberang Ayahku di meja saat dia mengambil sepotong telur dadar gulung.

Sejak Ayahku dan dia menikah lagi dua bulan lalu, pada dasarnya dia sekarang adalah ibu tiriku. Dia bekerja sebagai bartender di sebuah bar, jadi dia kebanyakan bekerja di malam hari dan pulang sampai larut malam. Sedangkan Ayahku sendiri hanya pegawai kantoran biasa, jadi Ia berangkat bekerja lebih pagi tetapi setidaknya tidak pulang selarut itu. Meski mereka masih pengantin baru, siklus siang dan malam mereka bertolak belakang kecuali pada akhir pekan dan hari libur. Itu sebabnya, aku kembali diingatkan bahwa hari ini adalah akhir pekan saat melihat Ayahku dan Akiko-san berbicara bersama di pagi hari seperti ini.

“Tapi kamu perlu memikirkan hal-hal semacam ini, Yuuta-kun.”

“Perlu memikirkan?”

“Misalnya, hari ini mungkin hari Sabtu dan hari libur sekolah, tapi itu tidak jauh berbeda dari hari lain yang kamu habiskan di liburan musim panas ini, kan?”

Aku mendapati diriku mengangguk terhadap argumen Akiko-san. Seperti yang dia katakan, masa liburan yang panjang dan tidak ada sekolah membuatmu kehilangan pemahaman tentang konsep hari, dan semuanya terasa samar dan kabur. Terlebih lagi karena aku sudah menjalani gaya hidup seperti itu selama sebulan penuh sejak liburan musim panas dimulai pada bulan Juli.

“Tapi hari ini adalah hari Sabtu, bukan hari biasa, ‘kan? Artinya kamu akan bekerja sambilan nanti, Yuuta-kun.”

“Ya, aku ada shift penuh lagi hari ini, jadi aku harus pergi siang hari nanti.”

“Sungguh mengagumkan. Jadi kamu akan bekerja dengan jadwal yang sama seperti kemarin, kan?”

“Iya.”

“Karena hari ini sebenarnya hari Sabtu, kamu akan mendapatkan bonus liburan, dan menghasilkan bayaran lebih tinggi! Itu luar biasa!”

“Eh… eh?”

“Ini mungkin terasa seperti hari biasa, tetapi kamu sebenarnya dibayar lebih banyak. Itu hal yang bagus. Bukannya setuju tentang itu?”

“Kurasa….begitu?”

“Jika hari ini bukan hari Sabtu, Kamu takkan mendapatkan bonus ini. Saat kamu memikirkannya seperti itu, bukannya caramu saat ini menghabiskan liburan musim panas merupakan cara yang terbaik?”

Setelah mendengarkannya, mau tak mau aku setidaknya merasa setuju dengan sebagian hal itu. Meski logikanya terdengar sangat kontradiktif, tapi itu jauh lebih mudah untuk dipercaya ketika kamu menggabungkannya dengan suara Akiko-san yang sedikit ceroboh.

“Ya ampun. Asamura-kun, kamu itu ditipu.” Ayase-san menyela, sepertinya tidak tahan lagi setelah cuma mendengarkan sampai sekarang.

“Benarkah?”

“Ya. Jika kamu mengikuti logika itu, maka bisa dibilang kalau kamu telah bekerja penuh dengan gaji biasa sampai kemarin.”

“Ahh… begitu rupanya.”

Pada dasarnya, Ayase-san menyampaikan bahwa hari kerja selama liburan musim panas bukanlah 'hari biasa', melainkan 'liburan' semua. Artinya, aku tidak mendapatkan apa-apa dengan bekerja hari ini; yang ada justru aku kehilangan potensi pendapatan. Alasan mengapa aku dengan mudah setuju dengan logika Akiko-san adalah karena dia telah membutakanku dengan logika bahwa hari Sabtu selama liburan musim panas seperti hari 'biasa' lainnya, yang dia kemukakan pertama kali dalam percakapan, sehingga menciptakan konsep bahwa hari ini adalah 'hari normal' dalam pikiranku. Menggiring proses pemikiran orang memang sungguh hal yang menakutkan.

“Hati-Hati. Ibu punya bakat menjadi penjual mobil bekas.”

“Jahat sekali, Saki. Apa itu sesuatu yang harus kamu katakan kepada ibumu sendiri?”

“Aku tahu persis bagaimana ibu benar-benar tergerak karena aku ini putrimu. Menyesatkan orang tidak jauh berbeda seperti menyantap sarapan untukmu, ‘kan? ”

“Ahh, hal itu membuatku teringat sesuatu. Tidak peduli seberapa sedih atau depresinya aku, Akiko-san selalu tahu bagaimana menghiburku.” Ayahku menimpali dengan komentarnya sendiri seola-olah baru mengingat sesuatu berkat apa yang Ayase-san katakan, tapi bukannya pada dasarnya kamu mengaku kena tipu?

Memangnya itu sesuatu yang bisa kamu katakan dengan nada suara yang begitu bahagia dan gembira? Lagi pula, wanita di depanku di sini dikenal sebagai bartender berpengalaman dari seluruh distrik bisnis Shibuya, jadi dia ahli dalam berurusan dengan pelanggan. Dia mungkin bisa membuat Ayahku dan aku menari di telapak tangannya. Tapi itu bukan di sini atau di sana.

“Dipaksa bekerja pada hari libur adalah cara berpikir yang sedikit menyedihkan, tapi selama aku ingat bahwa aku dibayar lebih hari ini, itu mungkin akan berdampak lebih baik pada kondisi mentalku, jadi aku mungkin menerima cara berpikir begitu “ ujarku. Akiko-san dengan lembut tersenyum dan menjulurkan tangannya yang ramping ke arahku.

“Yuuta-kun, apa kamu mau nambah sup miso lagi?”

“Ya, tolong.”

“Ah, biar aku saja. Lagipula aku juga mau nambah.” Ayase-san berdiri di depan Akiko-san dan mengambil mangkukku.

“Makasih.”

“Sama-sama.”

“Saki-chan, bisakah kamu sekalian memberiku satu porsi lagi?”

“Ah iya.” Ayase-san menerima mangkuk Ayahku dengan tangannya yang tidak memegang sendok.

Setelah itu, dia membawa mangkuk ke panci yang ada di dapur, menyalakan kompor, dan mengaduk sup miso. Sebelum mulai mendidih, dia mematikan api lagi dan dengan hati-hati menuangkan sup ke dalam mangkuk.

“Terima kasih banyak, Saki-chan.”

“Ini bukan sesuatu yang istimewa, jadi jangan khawatir tentang itu. Ini, Asamura-kun.”

“Terima kasih.”

Ayase-san meletakkan mangkukku di depanku dan duduk di kursinya sendiri untuk melanjutkan kembali sarapannya.

“Sup miso buatan Saki-chan terasa lezat seperti biasanya.” Ujar Ayahku sembari tersenyum cukup lebar hingga matanya terlihat setengah tertutup.

Di akhir pekan, Akiko-san dan Ayase-san sama-sama bertanggung jawab dalam membuat sarapan, tapi sup miso adalah keahlian dari Ayase-san. Hari ini, dia membuat sup miso standar dengan taburan daun bawang dan irisan tahu goreng. Tahunya tercampur dalam sup dengan sempurna, membuatnya terasa lembut dan kenyal, terlebih lagi tekstur daun bawang yang menyertai membuatnya enak untuk dimakan.

“Yup, kamu benar. Sup miso Ayase-san memang sangat fantastis.”

“…Terima kasih, Asamura-kun.” Ayase-san terdengar seperti ragu-ragu sejenak sebelum memberi tanggapan.

Setelah melihat ini, Akiko-san tersenyum mekar. “Fufu, kalian berdua sudah cukup dekat.”

“Yup, kelihatannya begitu.”

Ayahku dan Akiko-san saling bertukar pandang, dan tersenyum puas. Aku merasa lega melihat mereka seperti itu. Jika diingat-ingat kembali saat aku masih kecil, sarapan bersama seperti ini selalu dibarengi dengan suara kemarahan dan teriakan, atau percakapan canggung, yang mana membuat makanan kehilangan semua rasa dan kehangatan. Dibandingkan dengan masa itu, yang sekarang aku secara praktis dipaksa untuk menonton pasangan suami istri yang mesra bertukar kata kasih sayang tanpa akhir.

Tentu saja, digoda dan merasa sedikit tidak nyaman tentang itu semua bagian dari hubungan, tapi hal itu justru lebih baik daripada mereka menahan diri. Ayase-san tampaknya sering terganggu olehnya, tapi fakta bahwa dia tidak segera pergi menunjukkan bahwa dia merasakan hal yang sama denganku.

“Tapi kalian berdua masih memanggil satu sama lain dengan nama keluargamu, ya?” Ujar Ayahku.

Akiko-san juga melirik Ayase-san.

“Apa kamu masih terlalu malu untuk memanggil satu sama lain dengan nama aslimu? Kamu bisa memanggilanya dengan panggilan 'Yuuta-niisan', loh. ”

Aku mendapati diriku sepakat dengan usulan Akiko-san. Kurasa inilah yang disebut perbedaan dalam pengalaman. Aku tidak bisa membayangkan Ayase-san memanggilku 'Onii-chaaan~' dengan suara manis, tapi 'Yuuta-niisan' masih terdengar masuk akal. Panggilan tersebut tidak terlalu berbeda dari 'Yuuta-san', dan itu akan membuat kami terasa lebih seperti saudara… kurasa. Meski aku takkan pernah bisa benar-benar mengetahuinya karena aku tidak punya dan tidak pernah memiliki adik perempuan kandung. Tapi setidaknya, aku pikir ini cukup masuk akal. Namun, Ayase-san menanggapi dengan tenang sembari menggelengkan kepalanya.

“Bukannya aku merasa malu, tapi entah kenapa rasanya tidak benar.”

“Benarkah?”

“Beneran.”

“Yah, kamu benar. Panggilan 'Asamura-kun' membuatnya tidak terlalu rumit.”

“Rumit?” Aku bingung dengan tanggapan Ayahku, jadi Ia mulai menjelaskannya.

“Sebelum kami mulai berpacaran, Akiko-san memanggilku ‘Asamura-san’. Di rumah, ada panggilan itu juga. Jadi untuk Saki-chan, 'Asamura-san' mengacu padaku, dan 'Asamura-kun' mengacu padamu, Yuuta. Hal itu membuatnya lebih gampang untuk diikuti, kurasa. ”

Aku bahkan tidak bisa mendengar bagian kedua dari apa yang Ayahku bicarakan. Aku hanya tertegun, dengan mulut terbuka karena terkejut. Aku bahkan tidak pernah memikirkannya, tapi itu benar. Justru, sangat jelas. Tak peduli seberapa dekat hubungan mereka, masih ada tingkat kesopanan tertentu terhadap satu sama lain. Terlebih lagi karena Ia masih menjadi pelanggan pada saat itu, dan seorang veteran di bidang jasa tidak bisa tiba-tiba menutup jarak di antara mereka dengan memanggil Ayahku 'Taichi-san'.

Di ruang publik, Masyarakat Jepang Modern menganggap penambahan '-san' setelah nama cukup formal, tetapi terkadang menambahkan nama keluarga orang pun menjadi tak terhindarkan… Eh, tunggu sebentar.

“Tunggu, jadi saat itu, Ayah memanggil Akiko-san dengan panggilan..…”

“Yup, aku memanggilnya ‘Ayase-san.’ Masuk akal, iya ‘kan?”

“Butuh waktu cukup lama baginya untuk mulai memanggil nama asliku, ya ampun.”

“Hahaha, kamu membuatku jadi malu.” Ayahku menggaruk pipinya yang merah.

Gerakan yang hanya bisa digambarkan sebagai contoh orang yang telat puber ini bahkan membuatku merasa malu. Ah, ya ampun, aku dipaksa untuk menonton pasangan pengantin baru saling bermesraan di pagi hari. Tapi kurasa ini juga bisa menjadi bukti betapa bahagianya mereka. Saat aku mengangkat kepalaku dan melirik ke arah Ayase-san, dia membuat sedikit ekspresi bermasalah, tapi segera melanjutkan memakan sarapannya.

Berkat itu, aku berhasil mendapatkan kembali ketenanganku juga. Terima kasih, Ayase-san.

Setelah kami selesai sarapan, aku menyeduh kopi dan meletakkan cangkir di depan semua orang. Karena sarapan sudah selesai dan aku tidak membantu dalam urusan dapur, jadi kupikir setidaknya aku bisa melakukan sebanyak ini. Ayahku dan Ayase-san lebih suka kopi hitam, tapi Akiko-san suka dengan sedikit tambahan susu, jadi aku menuangkan sedikit ke dalam teko krim kecil dan menawarkannya padanya.

“Terima kasih, Yuuta-kun.”

“Sama-sama.”

Sedangkan diriku, aku tipe orang yang meminum jenis kopi tergantung dari suasana hati, jadi preferensiku lumayan acak. Untuk kopi, aku biasanya bergantian meminum kopi Brazil Santos dan Blue Mountain. Ayahku pernah mendengar di suatu tempat bahwa aromanya bisa membantumu fokus, jadi Ia membeli banyak. Aku pikir Ia membeli banyak tepat sebelum ujian susulan Ayase-san. Karena kami masih memiliki banyak stok, aku perlahan-lahan menghabiskannya. Adapun bagaimana aku menyelesaikan tugas musim panasku begitu cepat, entah karena waktu yang aku miliki di pekerjaan sambilanku atau karena kopi.

“Tetap saja, aku tidak pernah mengira kamu akan mulai bekerja sambilan di tempat Yuuta-kun, Saki.”

“Mau sampai berapa kali kita harus membahas itu, Bu?”

“Maksudku, aku tidak pernah membayangkan hal seperti itu.”

“Ini pertama kalinya aku bekerja sambilan, jadi kupikir jauh lebih mudah untuk masuk ke dalamnya jika seseorang yang dekat denganku memiliki pengalaman. Aku selalu menyukai buku, dan aku ingin membantu nilai bahasa jepang modernku juga, jadi kesempatannya cukup sempurna, itu saja.

Obrolan semacam ini mungkin telah terjadi setidaknya tiga atau empat kali sejak awal liburan musim panas. Akiko-san masih agak bingung dengan itu, tapi bagi Ayase-san, mungkin lebih mudah menjawabnya ketimbang pertanyaan di ujian susulan yang dia dapatkan sebelum masa liburan.

Tentu saja, aku cukup terkejut melihat Ayase-san ingin bekerja sambilan di toko buku, tempat yang menggabungkan pekerjaan fisik dengan gaji yang tidak seberapa, mengingat betapa bersikerasnya dia ingin mencari pekerjaan dengan bayaran tinggi. sedikit usaha dan waktu yang dihabiskan. Dia juga tampaknya tidak terlalu menyukai buku sepertiku, meski aku bukannya mencoba menilai hobinya atau semacamnya.

Oleh karena itu, aku sempat meragukan penglihatanku sendiri saat melihat Ayase-san di toko buku pada hari itu. Sampai waktu itu, dia tidak pernah mengungkit apapun mengenai rencananya maupun dia sudah memiliki tempat bekerja dalam pikirannya. Aku lumayan penasaran dan ingin bertanya padanya tentang hal itu segera, tapi aku tidak bisa mengabaikan pekerjaanku, jadi aku harus menekan rasa penasaranku sampai jadwal kerjaku selesai. Tapi lagi-lagi, semua itu cuma membuang-buang tenaga saja, karena dia langsung memberitahuku setelah aku sampai di rumah. Ketika aku bertanya mengapa dia tidak memberitahuku hal itu, jawaban yang dia ucapakan cukup sederhana.

“Rasanya akan memalukan jika mereka tidak menerimaku setelah aku melamar di sana.”

Ini bukan plot twist yang menarik seperti dalam pertunjukan drama. Memang benar kalau gagal dalam wawancara kerja itu memalukan, jadi aku memahami niatnya. Sambil menyeruput kopi, aku mengingat kembali malam itu ketika Ayase-san dengan santai memberitahuku 'Mulai besok, kita akan menjadi rekan kerja, Asamura-kun'.

“Apa kalian berdua yakin ingin bekerja sepanjang liburan musim panas?”

“Jangan khawatir. Aku masih menghadiri kursus musim panasku. Aku bisa menjaga diriku dengan baik, oke?”

Setelah duduk di bangku kelas 2 SMA, kamu harus mulai fokus pada ujian masuk perguruan tinggi incaranmu. Terutama di sekolah kami, SMA Suisei. Sekolah tersebut merupakan sekolah yang sangat bergengsi, jadi kebanyakan orang—selain temanku Maru Tomokazu yang menghabiskan liburan musim panasnya dengan kegiatan klub—umumnya fokus pada latihan ujian atau kursus musim panas. Sebagai catatan tambahan, Ayase-san tidak menghadiri kursus musim panas tersebut.

Karena kursus semacam itu biasanya ditawarkan oleh tempat les yang terkenal, tentu saja mereka akan memungut biaya, dia harus meminta uang kepada keluarganya untuk menghadirinya. Ayahku mengatakan kalau Ia tidak keberatan membayarnya, tapi kalian sudah tahu sendiri sifat kepala batu Ayase-san. Lagipula, dia berencana untuk memasuki universitas terkenal dengan upayanya sendiri tanpa menerima bantuan apapun dari orang lain, dan aku menghargai dirinya yang begitu.

“Kursus musim panas? Ahh, aku tidak terlalu peduli tentang itu.” Ujar Ayahku, berdasarkan kepercayaan (atau begitulah yang aku yakini), dan mengabaikan kerja kerasku.

Tapi sebaliknya, Ia menyuarakan keprihatinan ke arah yang berbeda.

“Maksudku, kamu dan Saki-chan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda pergi ke mana-mana selama liburan musim panasmu.”

“Itu yang kamu maksud?”

Baik Ayase-san dan aku cukup sibuk setiap hari, jadi bisa berkumpul bersama keluarga seperti ini saja sudah menjadi kejadian langka bahkan selama liburan musim panas. Oleh karena itu, aku tidak menyangka kalau Ayahku mengabaikan topik belajar dan tiba-tiba bersikap serius mengenai hal seperti itu.

“Ini sangat penting, tau. Begitu beranjak dewasa, kamu akan semakin kesulitan menemukan waktu untuk benar-benar menikmati dirimu sendiri. Tidak ada waktu seperti masa sekarang bagi kalian berdua untuk menghabiskan waktu masa muda yang penuh cinta bersama teman-teman.”

“Mmhmm. Jadi mengapa aku merasa seperti Ayah telah mengalami banyak hal meski sudah paruh baya begitu?”

“Dalam kasus kami, ini cinta antara orang dewasa. Tentu saja sangat berbeda.”

Atau begitulah katanya, tetapi ketika aku melihat pasangan ini, aku dibuat penasaran di mana letak perbedaannya. Tapi itu akan menjadi pertanyaan filosofis yang berlebihan saat ini. Mungkin semua orang di dunia hanya berasumsi bahwa siapapun yang mengatakan sesuatu terlebih dahulu merasa benar.

“Sebagai anak sekolahan, bukannya kamu seharusnya, kamu tahu sendiri lah, pergi jalan-jalan, mengunjungi festival, dan membuat banyak kenangan?”

“Sebagai orang dewasa, bukannya Ayah seharusnya, itu loh, memperingatkanku untuk tidak terlalu bersenang-senang? Lagian aku cukup bersenang-senang menjalani jadwalku di tempat kerja, jadi semuanya tidak terlalu membosankan dan bekerja melulu.” Aku menjawab dengan nada lelah.

Ayahku menggelengkan kepalanya sebagai tanggapan. “Yang namanya kerja tetap kerja. Kamu tidak dapat membandingkannya dengan jalan-jalan atau sesuatu seperti itu, ‘kan? ”

“Yah, memang tidak salah sih...”

Maksudku, dari sudut pandang orang dewasa, bekerja sambilan masih dianggap seperti bermain-main, bukan? Orang dewasa suka membicarakan sesutau dengan nuansa seperti ini, ‘kan? Rupanya hal yang sama tidak dapat dikatakan tentang Ayahku.

“Saat kamu sudah kelas 3 SMA, kamu akan sibuk dengan urusan ujian masuk universitas, jadi bersenang-senang selagi bisa tidak ada ruginya, ‘kan?”

“Benar sekali. Aku khawatir Saki hanya melihat hidupnya berlalu begitu saja.”

Ayahku dan Akiko-san mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka dengan cara yang sangat berbeda dari yang biasanya kamu harapkan dari orang tua. Sekali lagi aku diingatkan bahwa mereka berdua sebenarnya sangat mirip satu sama lain.

“Apalagi, temanmu mungkin merasa kesepian jika kamu tidak memberi mereka perhatian.”

Teman, ya? Saat ayahku memberitahu itu, orang pertama yang muncul di benakku adalah seorang pria berotot berkacamata.

“Aku tidak punya banyak teman, dan beberapa teman yang kupunya mengabdikan hidup mereka untuk klub …” Aku tersenyum masam saat menanggapi perkataan Ayahku.

Temanku, Maru Tomokazu adalah murid kelas 2 sama sepertiku, dan anggota reguler klub bisbol. Bahkan selama liburan musim panas ini, tidak ada hari tanpa latihan. Yang ada justru kamp pelatihan, latihan pertandingan di berbagai prefektur, dan sejenisnya. Bahkan jika aku punya waktu untuk nongkrong, Ia terlalu sibuk.

“Aku senang ada liburan panjang! Itu membuatku bisa berlatih lebih ketimbang hari-hari sekolah biasa!” Ia memberitahuku sambil tersenyum, jadi mungkin itulah sebabnya Ia masuk menjadi anggota reguler. Sambil memikirkan apa yang dikatakan Maru, aku melirik ke arah Ayase-san.

“Selain diriku, aku merasa teman-teman Ayase-san mungkin mengajaknya pergi keluar.”

“Tidak ada rencana.” Dia terus terang menyangkal semua asumsi yang kupikirkan.

Satu-satunya teman Ayase-san yang kukenal cuma Narasaka Maaya, tapi tidak seperti Maru, aku belum pernah mendengar apapun mengenai dirinya yang mengikuti suatu klub. Belum lagi dia umumnya sangat peduli pada orang lain, jadi kupikir, melihat seberapa dekat dia dengan Ayase-san, dia takkan membiarkan liburan musim panas ini berlalu tanpa mengajaknya ke suatu tempat. Karena Ayase-san telah menyangkal hal semacam itu, aku tidak dapat menanyakan detailnya dan terpaksa menghentikan topik pembicaraan.

 

*****

Kemudian, saat aku berada di kamarku untuk bersiap-siap pergi bekerja, ada seseorang mengetuk pintu kamarku. Ketika aku membukanya, Ayase-san tengah berdiri di sana.

“Jika kamu penasaran tentang Maaya, maka jangan khawatir tentang itu. Kami tidak memiliki  hubungan dimana kami akan pergi keluar bersama selama liburan musim panas. Cuma sekadar memberitahumu saja.”

Aku dibuat terdiam. Dia begitu blak-blakan tentang hal itu sampai-sampai membuatku hening sejenak apakah aku sudah merusak suasana hatinya.

“Tunggu, Ayase-san.”

“…Apa?”

Ayase-san hendak kembali ke kamarnya sendiri, dan secara naluriah aku memanggilnya. Tapi aku sendiri bahkan tidak tahu harus berkata apa. Aku tidak bisa mengungkapkannya dengan benar, tapi aku merasa ada sesuatu yang salah, dan sikapnya barusan terasa berbahaya. Biasanya instingku cukup bagus, jadi jika aku membiarkan masalah ini, bisa-bisa urusan ini bakal runyam dan menghantuiku dalam jangka panjang. Semua kesalahpahaman harus diselesaikan secepat mungkin.

Setelah menghabiskan tiga bulan terakhir bersama Ayase-san, aku sekarang sedikit mengerti bagaimana pola pikirnya dan bagaimana dia menghargai waktunya, jadi aku bisa melihat bagaimana dia tidak ingin menghabiskan waktu dengan teman-temannya di luar sekolah, terutama selama liburan. Karena itu, dia bahkan takkan berinteraksi dengan orang asing mana pun — yang mana tidak sepenuhnya benar. Dia mengundang Narasaka-san ke rumah, dan kami bermain game bersama, Narasaka-san mengajarinya di sini, dan dia bahkan membantu membuat makan malam. Bila kamu tiba-tiba melihat ada jarak di antara keduanya, sepertinya mereka tiba-tiba berkelahi atau semacamnya.

“Maaf.”

“Hah?” Aku segera mengangkat kepalaku, jalan pikiranku terputus sebelum aku bisa mengatakan sesuatu.

Dengan ekspresi yang agak bermasalah, Ayase-san terus berbicara.

“Aku bukannya marah atau dalam suasana hati yang buruk, oke? Maaf jika aku membuatmu khawatir. Tapi Maaya dan aku tidak terlalu sering jalan-jalan.”

“Bukannya dia pernah mampir ke sini beberapa kali?”

“Itu karena dia tertarik untuk mencari tahu kamu itu orang seperti apa. Pada kesempatan lainnya, aku mengundangnya karena dia pandai menjaga orang lain, kan?”

Benar juga, Narasaka-san bilang dia punya banyak adik laki-laki. Tidak seperti aku dan Ayase-san yang sama-sama anak tunggal, dia diajari sejak kecil bagaimana mempedulikan orang lain dan masalah mereka.

“Pada dasarnya, jika tidak ada yang mengajak, biasanya takkan terjadi apa-apa.”

“Ahh, baiklah. Aku mengerti. Aku sendiri bukan tipe orang yang benar-benar bergaul dengan orang lain.”

“Apa kamu lebih suka sendirian?”

“Lebih dari pergi keluar, kurasa.”

Bisa dibilang kalau aku cukup pandai menghibur diri sendiri. Aku dapat menghabiskan waktu sendiri selama yang aku mau, dan aku tidak merasa kalau itu membosankan atau sia-sia. Jika ada, menghabiskan waktu bersama orang lain bisa sangat melelahkan bagiku. Saat aku kecil, ibuku selalu dalam suasana hati yang buruk, jadi aku harus selalu berhati-hati untuk tidak membuatnya marah saat berada di rumah. Itu selalu membuatku merasa lelah dan tegang. Bagiku, rumah bukanlah tempat dimana aku bisa merasa nyaman. Mungkin itulah sebabnya aku mengembangkan tipe kepribadian kutu buku yang tertutup ini. Bukannya aku baik-baik saja sendiri. Tapi lebih seperti kesendirian hanya membuat segalanya lebih mudah bagiku.

“Jadi kamu juga sama, ya. Kurasa itu berarti topik ini sudah selesai?”

“Ya.” Aku setuju.

“Baiklah, aku harus bersiap-siap untuk bekerja. Dan, aku akan mengambil jalan memutar saat berangkat ke sana, jadi mungkin aku akan pergi duluan.”

“Baiklah.” Aku mengangguk, tetapi perasaan tidak nyaman di hatiku tidak mau hilang.

Aku tidak ingin berpikir kalau dia berbohong, tapi ada sesuatu yang janggal mengenai apa yang dikatakan Ayase-san. Setelah dia masuk ke kamarnya sendiri, aku terus merenungkan perasaan aneh yang menggangguku ini, dan menyadari satu hal. Kenapa Ayase-san sampai repot-repot mendatangi kamarku dan menekankan bahwa dia tidak punya rencana untuk pergi keluar dengan Narasaka-san selama liburan musim panas?

 

******

Aku keluar dari area apartemen tepat sebelum waktu tengah hari. Jadwal kerjaku untuk hari ini akan berlangsung dari sore hingga malam hari. Setelah memarkir sepeda di sudut tempat parkir, aku memeriksa jam. Aku menyadari bahwa aku masih punya waktu sekitar tiga puluh menit sampai giliran kerjaku dimulai.

“Lagi pula, sudah tidak ada banyak waktu buat keluar lagi ...”

Aku memutuskan untuk menghabiskan waktu di dalam toko, jadi aku masuk melalui pintu masuk pelanggan biasa. Begitu memasuki area toko, aku melihat rilisan baru dan buku-buku populer di rak dan pajangan depan. Ini mungkin lokasi yang paling menarik dari seluruh toko buku, tapi karena itu, selalu ada sedikit perjuangan untuk mendapatkan apapun di sana tergantung pada waktunya. Saat ini, seorang pegawai yang kutaksir berusia 40-an melirik sekilas di bagian rilisan baru sebelum berjalan menuju rak majalah olahraga.

Meski sudah tidak punya banyak waktu, selalu ada baiknya untuk melihat apa yang baru. Karena hanya ada satu pintu masuk ke toko, bagian kasirnya dekat. Wajar saja. Bagi orang-orang yang sudah menyelesaikan pembeliannya, hal terpenting adalah segera pindah ke lokasi lain, dan berjalan-jalan di dalam toko lebih dari yang diperlukan setelah menyelesaikan pembelian hanya akan merepotkan mereka.

Jika kamu berjalan melewati sudut ini dengan barang-barang baru dan populer, melewati beberapa rak buku, kamu akan mencapai area dengan buku-buku yang tidak benar-benar terlaris saat ini. Semua orang tahu kalau kamu harus meletakkan buku-buku populer di tempat di mana banyak mata menemukannya. Di setiap toko buku, ada sistem dan pengaturan tertentu mengenai bagaimana menampilkan buku di toko. Meski aku hanya diajari tentang itu oleh seorang senior di tempat kerja, hal itu sangat masuk akal bagiku. Oh ya, hal itu jadi membuatku teringat saat pertama kali mulai bekerja di sini.

…………

“Yomiuri-senpai, bukankah toko buku sering mengubah tampilan rak buku?”

Sekitar sekali atau dua kali dalam setahun, toko buku akan mengubah lokasi bagian populer ini. Bahkan toko yang lebih besar sepertinya tidak bisa meninggalkannya di tempat yang sama. Aku tidak bisa membayangkan perpustakaan melakukan itu.

“Pasti rasanye merepotkan, bukan? Tidak tahu letas di mana semua buku-buku tersebut.” Aku mengemukakan sesuatu yang harus dirasakan oleh setiap pelanggan toko buku biasa setidaknya sekali dalam hidup mereka.

“Yup, itu sebabnya,” itulah jawaban dari Yomiuri-senpai yang masih penuh teka-teki.

“Apa?”                        

“Pihak toko buku melakukan hal itu justru karena kamu ingat di mana letak segala sesuatunya.”

“Maksudnya apa? Aku masih belum paham”

“Secara teknisnya sih, itu karena kamu berpikir kalau kamu mengingatnya. Manusia sebenarnya tidak mengingat detail kecil meski mengingat gambaran yang lebih besar. Apa kamu ingat buku apa yang ada di sini sebelumnya? ” Senpai bertanya sambil mengetuk salah satu sudut rak buku tempat dia berdiri di sebelahnya.

Tampaknya belum terjual terlalu lama, tetapi ruang itu kosong. Karena ini adalah rak bagian novel ringan, aku cukup sering datang ke sini, namun aku masih tidak dapat mengingat dengan jelas buku apa yang ada di lokasi ini sebelumnya.

“Ini jawabanmu.”

Dia menunjukkan sampul buku yang baru saja kami terima hari ini. Buku tersebut cukup populer, dan berasal dari seorang penulis yang terkenal dengan cerita pendeknya. Tentu saja, aku sudah membaca beberapa karya sebelumnya, dan saat melihat sekeliling rak buku, aku seharusnya menyadari bahwa itu dipenuhi dengan buku-buku dari penulis yang sama. Meski itu bukan bagian dari seri lagi.

“Ah, jadi ini buku yang itu?”

“Tapi ketika kamu melihat rak buku, kamu tidak berpikir ada yang berbeda dari biasanya, kan?”

“Kalau itu…. memang sih.”

“Pada dasarnya, kamu tidak ingat apa yang ada di dalam rak. Namun, otakmu berpikir bahwa rak itu masih sama seperti sebelumnya. Manusia tidak jauh berbeda dengan binatang, jadi jika mereka tidak berpikir ada sesuatu yang salah atau berbeda, perhatian mereka akan menurun.”

Mau tak mau aku mengerang saat Senpai mengatakan itu. Meski dia menggunakanku sebagai contoh, aku masih bisa mengatakan bahwa apa yang dia katakan masuk akal. Tentu saja, aku tidak melewatkan senyum tipisnya di akhir. Dia mungkin terlihat seperti wanita yang cantik, tapi di dalanya sangat busuk. Setidaknya itulah yang sudah kupikirkan saat itu.

“Jadi itu sebabnya pihak toko mengubah tampilan rak buku?”

“Yup, itu sebabnya kami mengatur semua itu. Jika tidak ada perubahan, kamu mungkin bisa berbelanja tanpa harus benar-benar melihat. Pada dasarnya kami menghancurkan kenyataan itu, mengubah lokasi rak buku dan sejenisnya secara berkala . Kemudian kamu harus berjalan-jalan sebentar mencoba menemukan apa yang kamu cari, dan mau tidak mau kamu akan lebih memperhatikan lingkungan sekitarmu. Berbeda dari perpustakaan, kami secara aktif mencoba menjual buku. Jika kami cuma menempatkan rilisan baru dan populer di tampilan khusus, semua buku yang tersisa di toko akan tidak berguna, karena orang tidak melihat buku lain selain dari apa yang mereka cari. Toko buku tidak dapat bertahan tanpa memindahkan rak dari waktu ke waktu. Aku tahu toko buku yang menghilang seiring berjalannya waktu karena rak mereka pada dasarnya membusuk di tempat!”

“Terima kasih banyak atas penjelasan filosofis dan mendalamnya, Senpai.”

“Aku cukup keren, iya ‘kan?”

“Kamu mirip seperti kakek tua keriputan dari game RPG.”

“Hmph, itu tidak terdengar keren sama sekali.” Balasnya sambil cemberut.

……………

Sambil mengenang apa yang Senpai katakan saat itu, aku mengalihkan perhatianku dari deretan barang baru dan melihat ke bagian dalam toko. Toko buku cukup banyak memamerkan pengetahuan umat manusia. Selain itu, rilisan baru mencerminkan arus informasi dunia untuk generasi saat ini. Aku bisa merasakannya di kulitku hanya dengan melihat judul dan sampul. Sejujurnya, ini cara yang bagus untuk menghabiskan waktu.

Aku melewati pajangan buku dan memulai penjelajahanku di dalam toko. Aku memeriksa terbitan baru, menelusuri jilidan buku-buku di rak. Ketika aku melakukan ini, aku dapat memeriksa bagaimana kinerja toko, dan aku bisa  membantu pelanggan dengan lebih baik setelah giliran kerjaku benar-benar dimulai. Setelah beberapa saat berlalu, aku mulai berpikir kalau aku mungkin harus mengganti seragamku saat ada seseorang tiba-tiba menepuk pundakku.

“Yo, Kouhai-kun.”

Saat aku berbalik, Yomiuri-senpai berdiri di sana dengan pakaian santainya.

“Senpai, tolong jangan mengagetkanku begitu. Aku hampir terkena serangan jantung, tau.”

“Memangnya kamu selalu memiliki hati serapuh itu?”

“Mungkin tidak terlihat seperti itu, tapi aku memang punya.”

“Jika kamu mau menunjukkannya kepadaku, aku mungkin akan mempercayaimu.”

“Jika kamu mengembalikannya ke tempatnya setelah itu, aku tidak keberatan menunjukkannya padamu.”

Setelah mendengar jawabanku, Senpai tersenyum bahagia.

“Kamu itu siapa, Shakespeare? Bahkan aku tahu kalau kamu tidak dapat mengambil hatimu tanpa menumpahkan darah. Kurasa aku harus mempercayaimu tanpa bukti.”

“Aku sangat menghargainya.”

Hari ini, Yomiuri-senpai mengenakan celana jeans denim slim-fit dengan blus tanpa lengan, rambut panjangnya diikat ke belakang dengan model kepang dua. Pemilihan bajunya terlihat nyaman dan santai, bahkan tampak menyegarkan untuk musim sekarang.

“Bukannya kamu datang terlalu cepat?”

“Hal yang sama berlaku padamu, Senpai.”

Bukannya dia mempunyai jadwal kerja yang sama denganku dan Ayase-san?

“Bermalas-malasan terus di rumah bikin aku bosan. Mumpung di sini juga ada A/C, jadi kupikir aku akan melihat-lihat ke dalam toko dulu sebelum memulai giliranku.”

“Apa kamu sebosan itu?”

“Itulah artinya menjadi seorang mahasiswa.”

“Bagaimana dengan seminarmu, UKM-mu, dan penelitianmu?” (TN: Unit Kegiatan Mahasiswa adalah istilah ekskul di perguruan tinggi)

“Ahhhh, aku enggak dengaaaaaarrrrr, aku tidak bisa mendengarmu sama sekaliiii.”

“Jangan bertingkah seperti anak SD. Ingat umur coba.”

“Ingat pepatah 'Lebih baik terlalu besar daripada terlalu kecil', Kouhai-kun?”

“Logika murahanmu membuatmu terdengar seperti anak SMP.”

“Tak peduli berapa usiaku bertambah, apa yang ada di dalam tidak akan berubah.”

“Kamu mencoba terdengar pintar, tapi ini cuma upaya setengah-setengah menghindari pertanyaanku tentang kamu yang malas, kan?”

“Kamu akan mengerti bagaimana perasaanku setelah kamu mulai kuliah, Kouhai-kun. Mahasiswa perguruan tinggi tidak sedewasa yang kalian kira siswa SMA.” Yomiuri-senpai mencoba berbicara sendiri sambil tersenyum.

Kredibilitasnya saat mengatakan itu jauh berbeda dari sebelumnya.

“Ngomong-ngomong, di mana adik kecilmu?”

“Entah? Apa dia belum datang? Dia meninggalkan rumah lebih dulu, jadi aku berasumsi dia akan segera tiba di sini. ”

Selama sebulan terakhir ini, aku dan Ayase-san tidak pernah berangkat kerja bareng. Dia mengatakan sesuatu tentang bagaimana kami harus membuat batas mirip seperti bagaimana hubungan kami di sekolah, dan aku pun setuju. Bukannya ada hal buruk akan terjadi jika pihak toko mengetahui bahwa kami bersaudara, dan karena Ayase-san harus menyerahkan lamaran pekerjaannya, aku cukup yakin manajer toko sudah tahu bahwa kami bersaudara. Dia cuma tidak menyebarkan informasi ini kepada karyawan lain dari apa yang aku tahu.

Selain itu, aku biasanya berangkat menggunakan sepeda, sedangkan Ayase-san dengan berjalan, jadi aku harus memperlambat dan dia harus mempercepat untuk mengimbangi satu sama lain jika kita ingin datang ke sini bersama-sama, baik aku dan Ayase-san sama-sama menikmati bentuk pertimbangan yang mencolok seperti ini.

“Tetap saja, aku tidak pernah menyangka kalau adikmu akan bekerja di sini~ Eh, apa-apaan ekspresimu itu?”

“Yah ... aku sempat mendengar percakapan serupa di rumah.”

Kenapa semua orang berpikir kalau  Ayase-san yang bekerja sambilan di toko buku merupakan hal yang mengejutkan? Saat aku menanyakan pertanyaan ini pada Yomiuri-senpai, dia memikirkannya sejenak.

“Bukan hal yang aneh melihat seseorang bekerja sambilan di toko buku. Namun, pernyataan itu cuma berlaku untuk anak SMA yang hanya ingin sedikit bermain-main. Adikmu itu orang yang rajin dan serius dengan pekerjaannya seperti dirimu, Kouhai-kun.”

“Mungkin… Oh iya, Senpai, apa kamu punya rencana pergi ke suatu tempat di musim panas ini?”

“Hmmm? Aku? Tentu saja ada. Aku akan mengenakan baju renang yang seksi dan menunggu dirayu di pantai.”

Dia mengatakannya sambil membusungkan dada dengan penuh percaya diri. Memangnya kamu benar-benar perlu bertingkah sesombong ini? Belum lagi baju renang yang seksi? Baju renang apa? Yah, dari sudut pandang objektif, Yomiuri-senpai cukup cantik dan bertubuh modis. Andai saja dia menutup mulutnya, dia terlihat seperti contoh sempurna dari wanita ideal jepang, terutama dengan rambut hitam panjangnya yang memikat. Tapi lagi-lagi, di dalam dirinya hanyalah Om-Om tua yang suka candaan jorok.

“Laut, ya?”

“Apa-apaan dengan ekspresi terganggu itu?”

“Yah… aku hanya bisa membayangkannya sebagai gerombolan orang.”

Jika ingin berenang bebas, kamu perlu berada di pantai Honshuu untuk menghindari keramaian. Belum lagi bagi seorang introvert seperti diriku, pergi ke pantai yang ramai masih terlalu berat.

“Aku tidak pergi ke sana untuk berenang, jadi tidak masalah.”

“Kamu pergi ke sana cuma ingin untuk dirayu?”

“Yup, yup.”

“Memangnya ada bagusnya kena rayu?”

“Aku bisa makan gratis berkat itu.”

“Kamu bahkan tidak terlihat miskin ...”

Maksudku, aku tahu bayaran dari toko buku tidak seberapa. Pada dasarnya, toko buku tidak mempunyai rentang keuntungan yang bagus, jadi gajinya tidak bisa dibanggakan. Bahkan jika kamu menjadi karyawan tetap toko buku, gajinya masih pas-pasan. Bisa dibayangkan berapa besar bayaran yang didapat jika kamu cuma menjadi pekerja sambilan.

“Astaga, apa kamu tidak menyukai cara mendapatkan makanan gratis ini?”

“Tidak juga, aku hanya tidak suka berhutang pada orang lain. Lagian, terus-menerus ditraktir seperti itu pada dasarnya sama saja kamu mengakui kalau kamu tidak mendapatkan uang, yang mana masih meninggalkan perasaan getir.”

Aku suka menjalani hidupku dengan prinsip timbal balik. Jadi, selalu disuguhi hal-hal gratis, atau hanya menerima kebaikan orang lain, tidak sejalan dengan prinsipku. Tidak ada yang lebih mahal dari sesuatu yang gratis. Belum lagi makanan yang aku beli dengan uang yang kuperoleh dari jerih payahku sendiri rasanya sepuluh kali jauh lebih enak.

“Yah, itu sangat sesuai dengan sifatmu, Kouhai-kun. Tapi aku menawarkan mereka penampilan baju renang seksi dari gadis yang cantik, jadi bukan berarti aku sepenuhnya makan gratis, iya ‘kan?”

“Seksi…? Kamu sudah terdengar seperti Om-Om tua. Apa kamu yakin penampilanmu itu belum layu?”

“Jadi, kamu memanggilku gadis universitas yang punya penampilan peot?”

“Aku tidak pernah mengatakan itu.”

Aku hanya memikirkannya, itu saja.

“Aku bisa tahu apa yang kamu pikirkan!”

“Aku minta maaf.”

“Ngomong-ngomong,” Senpai meletakkan jari telunjuknya di bibirnya dan tersenyum seperti kucing yang menggoda. "Semua yang aku bilang tadi itu bohong.”

“…Semuanya?”

“Ya, semuanya.”

“Jadi, buat apa semua kobohongan tadi?”

“Tidak ada makna yang mendalam untuk itu!” Senpai bersikeras.

Saat aku melihat ke arah Yomiuri-senpai yang sekarang mengetahui bahwa semua perkataannya adalah bohong, aku mungkin seharusnya bisa mengetahuinya dari awal. Aku merenungkan kesalahanku. Lagi pula, lengannya yang terlihat dari balik blus tidak menunjukkan tanda-tanda kecokelatan atau terbakar sinar matahari. Kulitnya masih seputih salju seperti biasanya.

“Yah, kesampingkan candaan tadi, kita mungkin harus berganti seragam sekarang.”

Kami berjalan ke area belakang toko buku dan berpisah. Aku berganti pakaian di ruang ganti pria yang kosong, dan mengenakan seragam aku. Begitu aku melangkah keluar untuk menuju ke kantor, Yomiuri-senpai dan Ayase-san melangkah keluar dari ruang ganti wanita. Sepertinya dia datang tepat waktu.

Dia mengenakan celemek yang sama seperti Senpai. Tidak seperti di sekolah atau di rumah, dia sekarang mengikat rambut panjangnya dengan pita, mungkin untuk membantunya bekerja lebih efisien. Rambut pirangnya yang berkilauan tampak seperti ekor kuda yang sombong dan terkenal. Kesenjangan antara seragam karyawan dan gaya rambut mencolok membuatnya menonjol di toko, dan mataku kadang-kadang mengikuti sosoknya.

Rasanya tatapan mata kami bertemu sekilas. Namun, ini hanya berlangsung sesaat, dan dia langsung mengalihkan pandangannya lagi. Ini tidak bagus. Aku harus terbiasa dengan ini. Atau begitulah yang aku gumamkan pada diriku sendiri saat memperbaiki postur tubuhku. Aku ragu Ayase-san menyukainya saat aku meliriknya.

Di dalam toko sendiri sudah cukup ramai. Mungkin karena hari Sabtu, tapi mungkin juga karena sedang liburan musim panas. Meski begitu, ada rentang waktu singkat ketika gerombolan pelanggan mereda. Kupikir sekarang sudah sekitar jam 3 sore. Setelah menyelesaikan pembelian di kasir, Ayase-san dengan sopan mengucapkan "Terima kasih banyak!" kepada pelanggan saat mereka pergi. Karena sudah tidak ada pelanggan lain yang mengantri, Ayase-san, Yomiuri-senpai, dan diriku yang berbaris di belakang kasir, menghela nafas lega.

“Kamu melakukannya dengan hebat meski baru bekerja di sini selama satu bulan, Ayase-san!”

“Benarkah?”

“Yup. Kupikir kita punya anak yang pintar saat Kouhai-kun melamar kerja di sini, tapi kamu bahkan mungkin mengalahkannya.”

Nada suaranya terdengar seperti dia serius. Secara pribadi, aku pun setuju. Semua yang dia lakukan sempurna, mulai dari berurusan dengan kasir hingga membantu pelanggan. Aku bahkan tidak perlu turun tangan langsung dan membantunya. Belum lagi sekitar seminggu setelah dia mulai bekerja di sini, dia sudah mengingat semua detail kecil tentang pekerjaan ini, menyesuaikan diri jauh lebih cepat daripada diriku saat pertama kali bekerja di sini.

Itu mengingatkanku, Yomiuri-senpai memanggil Ayase-san 'adik kecil' ketika berada di hadapanku, tapi ketika dia berbicara langsung dengannya, terutama di dalam toko, dia juga sering memanggilnya 'Ayase-san'. Hal-hal semacam ini membuatnya tampak sangat dewasa. Tentu saja, secara mental. Bukan dalam artian secara fisik.

“Terima kasih banyak.” Ayase-san membalas senyuman hangat.

Akri-akhir ini, dia bertingkah lebih acuh dan cuek kalau di rumah, jadi saat aku melihatnya tersenyum seperti itu terasa baru. Tapi sekali lagi, senyumannya itu mendekati senyum palsu yang pertama kali dia tunjukan padaku di restoran keluarga.

“Tapi itu menunjukkan betapa bagusnya kamu dalam mengajariku, Senpai.”

“Tanggapan tersebut justru membuktikan betapa menakjubkannya dirimu.”

“Tidak tidak, aku sama sekali tidak bohong, kok.”

“Anoo…”

“Ah iya!”

Seorang pelanggan berbicara di sisi lain kasir, dan Ayase-san berbalik dan mulai membantu mereka dengan senyum sempurnanya. Pelanggan tersebut ialah wanita tua yang sepertinya sedang mencari manga.

“Gimana kalau aku saja yang mengurus mesin kasir?”

“Iya, mohon bantuannya.” Ayase-san mengangguk dan melangkah keluar ke toko utama.

Kupikir dia akan segera kembali, tapi setelah sekitar sepuluh menit, Ayase-san tidak menunjukkan tanda-tanda kembali. Sementara itu, ada banyak pelanggan mengantre di depan kasir, yang mana membuatku takbisa punya kesempatan untuk mencarinya. Selain buku, Ayase-san tidak membaca manga apapun. Dia mungkin tersesat saat mencoba membantu pelanggan.

“Serahkan mesin kasirnya padaku. Kamu bisa pergi membantunya. ” Senpai pasti melihat ekspresi khawatirku, karena dia menepuk punggungku.

Aku meninggalkan sisanya padanya dan melangkah keluar ke dalam area toko. Saat aku berjalan menuju bagian rak manga, aku dengan cepat melihat Ayase-san berjalan di sepanjang rak buku dengan pelanggan di belakangnya.

“Apa semuanya baik-baik saja, Ayase-san?”

“Asamura-san…” Ayase-san berbalik dengan ekspresi bermasalah di wajahnya, alisnya terlihat menggantung rendah.

Dari penjelasannya, wanita tua itu sedang mencari manga untuk cucunya. Dengan kata lain, dia sendiri tidak tahu banyak tentang manga, dan dia juga memiliki ekspresi yang agak kebingungan. Dia bilang sedang mencari rilisan baru dari bulan ini. Manga tersebut baru saja mendapatkan pengumuman adaptasi anime, dan memiliki penjualan yang cukup bagus. Mengingat berapa banyak salinan yang kami dapatkan dari seri populer, aku tidak bisa membayangkan kalau manga yang dimaksud akan terjual habis. Tapi Ayase-san tidak bisa menemukannya.

“Dilihat dari penerbitnya, seharusnya manga itu ada di rak sebelah sini ...”

“Apa kamu sudah memeriksanya?” Aku melirik ke mesin yang ada di sudut toko buku.

Kami harusnya bisa mengetahui apa manga itu masih tersedia atau tidaknya berkat fungsi pencarian mesin.

“Dari datanya kita masih memiliki lima salinan, tapi ...”

“Manga itu tidak ada di pajangan?”

“Iya, aku sudah memeriksanya.”

Setelah memastikan situasinya berkat masukan Ayase-san, aku mulai berpikir. Sungguh aneh bila tidak bisa menemukan manga yang dimkasud meski baru saja dirilis. Kami masih punya persedian yang tersisa meski betapa populernya seri itu juga. Namun, karena tidak ada dalam tampilan item populer, aku terpaksa melihat melalui sampul di rak. Rak ini dipenuhi dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan manga dari label penerbitan itu. Mencari nama penulis dengan urutan huruf A i u e o, aku melihat seri yang lebih lama dari mereka, tetapi bukan rilis terbaru. Sepertinya yang kami taruh di rak sudah habis terjual.

“Tidak ada di sini…”

“Ya. Aku tahu itu seharusnya ada di sini, tapi…”

“Itu artinya… Hmm, mungkin di sini…”

Aku memindahkan buku-buku yang ditumpuk di bawah rak. Kemudian manga lain, dan yang sama sekali berbeda dari yang lainnya, muncul. Manga itu adalah rilisan baru yang kami cari.

“Ah!”

“Ada. Apa benar yang ini?”

Di toko buku, para pelanggan sering mengambil buku dari rak untuk dilihat-lihat tapi sering tidak mengembalikannya ke tempat semula. Hal ini merupakan contoh lain dari kejadian itu. Jika buku itu disimpan secara acak di tempat lain, buku yang ditaruh mungkin akan lebih menonjol, dan dengan demikian lebih mudah bagi Ayase-san untuk menemukannya, tapi karena mereka menaruh manga lain di atas manga yang kami cari, secara efektif dan tidak disengaja jadi tersembunyi seperti itu. Jumlah salinan ada di bawah juga sama dengan jumlah yang mesin pencari katakan bahwa kami masih memiliki stok.

“Hebat sekali…! Bagaimana kamu bisa tahu?”

“Yah… insting, mungkin? Lebih penting lagi, pelanggan sedang menunggu.”

“Ah, ya. Um ... apa ini yang Anda inginkan? ” Ayase-san menoleh ke arah pelanggan, memeriksa apa manga itu yang dia inginkan.

Ketika dia menanyakan itu, wanita tersebut membalas dengan senyuman bahagianya.

“Ya, ya, sepertinya yang ini.”

“Syukurlah, apa hanya ini saja yang Anda butuhkan?”

Wanita itu hanya balas mengangguk, kami lalu mengantarnya ke meja kasir dan menyelesaikan pembayaran. Wanita itu tampak sangat senang karena berhasil dengan perjalanan belanjanya, dan dia dengan erat memeluk manga dan mengobrol sedikit, lalu pergi. Saat dia keluar dari toko, aku dan Ayase-san  menghela nafas lega.

“Aku senang akhirnya kita bisa menemukannya. Jadi bagaimana kamu bisa tahu untuk melihat ke sana? Rasanya sudah hampir seperti semacam kekuatan super.”

“Tidak, sama sekali bukan seperti itu.”

Di kartu yang dipajang, tertulis 'Rilis 2 Agustus!', tapi label pada buku di atas tumpukan merupakan label yang biasanya tidak boleh dirilis pada hari itu. Pada dasarnya, buku itu seharusnya tidak ada di tumpukan itu sejak awal, dan keanehan tersebut sangat menonjol di mataku.

“Aku sama sekali tidak tahu…”

Aku tidak menyalahkan Ayase-san karena tidak terbiasa dengan rilis manga. Berbeda dariku, dia tidak secara teratur memeriksa rilisan baru.

“Sulit untuk memperhatikan hal semacam itu jika kamu tidak terbiasa. Aku hanya punya sedikit pengalaman, cuma itu saja.”

—Jika binatang tidak berpikir ada sesuatu yang salah atau berbeda, maka perhatian mereka akan berkurang.

Ucapan yang pernah Senpai katakan padaku dulu sekarang kembali terlintas di pikiranku. Saat otakmu berpikir 'itu tidak ada di sana', lalu matamu juga akan mengabaikannya.

“Meski begitu, aku pikir itu sangat luar biasa.”

“Aku yakin Yomiuri-senpai akan menemukannya lebih cepat.”

Yomiuri-senpai berganti giliran dengan kami, dan sekarang tengah berpatroli di dalam toko. Saat aku sedang memikirkannya, Ayase-san menggumamkan 'Begitu ya' dengan nada acuh dan berdiri di belakang mesin kasir lagi. Semakin banyak pelanggan muncul untuk membeli sesuatu, jadi semuanya kembali sibuk.

Aku bisa melihat siluet rembulan mulai terbit di antara celah bangunan. Ada sekitar sepuluh hari tersisa di bulan Agustus, jadi hembusan angin masih terasa hangat, dan sisa panas mulai naik dari aspal. Waktu mengalir semakin cepat mendekati jam 10 malam, dan sebenarnya sudah lima belas menit sejak jadwal kerjaku berakhir. Pelajar SMA hanya diperbolehkan bekerja sampai jam 10 malam, tapi pada dasarnya kami diizinkan untuk pulang pada jam 21:50. Meski begitu, berganti pakaian dan mengucapkan selamat tinggal membutuhkan waktu sepuluh menit penuh.

Ayase-san dan aku pulang bersama, dan berjalan berdampingan. Karena kami berdua memilih untuk tidak terlalu perhatian satu sama lain, kami bedua sama-sama tidak keberatan dengan berangkat kerja pada waktu yang berbeda. Namun kami berjalan pulang bersama. Alasan untuk ini ada kaitannyanya dengan syarat Akiko-san untuk membiarkan Ayase-san bekerja sambilan. Syaratnya yaitu, dia meminta kami untuk berjalan pulang bersama ketika jadwal kerja kami selesai pada malam hari. Dia tidak ingin seorang gadis berjalan pulang sendirian di kota besar seperti Shibuya. Hal itu menunjukkan seberapa besar kasih sayangnya sebagai ibu.

Pada awalnya Ayase-san menentang syarat tersebut. Dia berpendapat bahwa meminta kakak laki-lakinya bertindak sebagai pengawal merupakan syarat yang terlalu berlebihan. Menurutnya, dia sering bolak-balik sendirian ke bar tempat Akiko-san bekerja, dan dia selalu aman. Oh ya, ada desas-desus mengenai Ayase-san yang terlibat dalam semacam bisnis kencan berbayar yang mencurigakan, tapi dalam kenyataannya, beberapa siswa kebetulan melihatnya saat dia sedang dalam perjalanan untuk bertemu Akiko-san, dan mereka salah paham dengan situasinya. Hal itu jadi bisa menjelaskan banyak hal.

Dan mungkin ada alasan lain mengapa Ayase-san awalnya mencoba menolak syarat aku harus menemaninya. Karena aku bepergian dengan sepeda dalam perjalanan ke tempat kerja kami, jadi aku bisa pulang lebih cepat. Jadi dia tidak ingin merepotkanku. Jika posisi kami terbalik, aku mungkin akan merasakan hal yang sama. Karena Ayase-san lebih suka berada di sisi memberi ketimbang menerima, jadi dia tidak mau menerima syarat yang diajukan Akiko-san.

Meski begitu, pada akhirnya dia tetap setuju. Dia tidak ingin membuat ibunya terlalu khawatir ketika dia sendiri sudah sibuk dengan pekerjaannya. Sejujurnya, aku sendiri merasa lega dalam hal itu. Meski orangnya sendiri bilang kalau baik-baik saja, aku tetap tidak tega membiarkan Ayase-san berjalan sendirian di jalanan malam Shibuya. Mungkin sekali saja tidak masalah, tapi karena kami bekerja hampir setiap hari, pasti ada masalah yang akan terjadi nanti.

Saat aku mengungkit kemungkinan itu, Ayase-san dengan acuh membalas, 'Kukira perkataanmu ada benarnya juga'. Setelah menjalaninya beberapa kali, kami sudah terbiasa berjalan pulang bersama. Aku menyeka keringat di pipiku sembari berharap kalau suhunya akan segera dingin.

“Ini musim panas yang sangat panas, ya?”

“Jadi ini sudah memasuki musim gugur, ya…?”

“Eh?”

“Apa?”

Kami berdua sama-sama berhenti. Ayase-san menatapku dengan ekspresi kebingungan, dan aku pun membalasnya dengan ekspresi yang sama. Setelah Ayase-san menyelidiki wajahku dengan cermat, dia mengangguk lemah.

“Apa kamu berbicara tentang suhu?”

“Ya. Bagaimana denganmu?”

“Itu.” Ayase-san mengarahkan dagunya ke arah jendela toko... butik?

Aku bisa melihat manekin yang berdiri di balik jendela kaca.

“Itu seharusnya jadi musim gugur?”

“Itu baju musim gugur, ‘kan? Memangnya apa lagi?”

Kekecewaan Ayase-san sepertinya semakin tumbuh saat melihat bahwa aku tetap bingung.

“Eh, apa kamu seriusan tidak tahu?”

“Maaf, aku tidak bisa melihat perbedaan antara gaya pakaian pada manekin itu dengan apa yang kamu kenakan sekarang, Ayase-san.”

Maksudku, aku bisa mengetahui kalau itu bukan pakaian pertengahan musim panas berkat dia yang menunjukkannya. Lengannya juga sedikit lebih panjang… Kurasa? Tapi Ayase-san mengenakan jaket kotak-kotak di atas tanktop rajutannya, jadi…

“Masalahnya bukan itu. Saat kamu melihat warna pakaian dan detail kecilnya, kamu bisa mengetahui apa yang sedang tren di musim gugur ini. Ditambah lagi, kebanyakan manekin tidak lagi mengenakan pakaian musim panas, setidaknya bukan baju yang diletakkan di jendela depan toko. Belum lagi mereka mengenakan pakaian yang berbeda dari kemarin, kan?”

“Benarkah?”

“Kamu pasti bercanda…”

“Ah, tidak, aku tidak meragukanmu atau apa pun. Aku yakin kalau perkataanmu benar. Jadi tolong jangan memasang ekspresi seolah-olah kamu habis bertemu zombie atau Santa di tengah kota.”

“Secara pribadi, aku merasa telah menemukan sesuatu yang lebih langka dari itu. Aku bahkan takkan terkejut melihat zombie atau Santa pada saat ini.”

“Bukannya itu sedikit kejam?”

Dia memperlakukanku seperti penghuni Area 51 atau objek SCP. Mungkin kepekaanku begitu sempit sampai-sampai aku bahkan tidak mengingat apa yang dikenakan manekin di rute harianku. (TN : S.C.P [Secure. Contain. Protect] Foundation adalah organisasi fiksi di internet yang dipenuhi berbagai cerita horror bergaya ilmiah, lebih jelasnya bisa kalian cek di google)

“Asamura-kun, apa kamu tipe orang yang tidak begitu tertarik dengan mode?”

“Apa lamu pernah melihatku membaca majalah mode?”

Jika aku punya uang dibelanjakan untuk pakaian, aku lebih suka membelanjakannya untuk buku. Lagian, aku yang penyendiri dan kutu buku, ingin memamerkan pakaian ini pada siapa? Ayase-san mengangguk, sepertinya memahami alasanku.

“Begitu ya. Kurasa kamu benar-benar tidak menyadarinya sama sekali jika kamu tidak tertarik. ”

“Sepertinya begitu.”

“Yah, kurasa tidak ada masalah jika kamu tidak bekerja sambilan demi pakaian itu…”

“… Hm? Apa maksudnya itu?”

“Jangan terlalu dipikirkan~” Ayase-san mulai berjalan di depan.

Aku tidak tahu persis apa yang baru saja dia bicarakan, tapi aku mendorong sepedaku dan mengikutinya. Untuk beberapa alasan, sejak saat itu suasana hati Ayase-san tampak lebih baik dibandingkan percakapan kami sebelumnya.

 

 

<<=Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya=>>

close

1 Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama