Chapter 2 — 23 Agustus (Minggu)
Aku
terbangun dengan suhu panas yang menyesakkan. Usai berbalik, aku melihat jam
alarm yang berada di samping bantalku. Sekarang sudah jam 10 pagi, dan tiga…
tidak, lebih empat menit. Meski bulan Agustus masih tersisa satu minggu lagi, tapi
panasnya tidak menunjukkan tanda-tanda akan mereda.
“Kamu akan terkena sengatan panas meski
berada di kamarmu,” Akiko-san
pernah memperingatiku begitu, jadi aku segera menyalakan AC kamar. Karena aku
cukup berkeringat saat tidur tadi, aku berganti dengan pakaian bersih. Saat
membuka pintu menuju ruang tamu, gelombang panas yang kuat menerpaku saat
melangkah hingga membuatku sedikit kesulitan bernapas.
Saat
mendongak ke atas, aku bisa melihat Ayahku sedang berdiri di tangga, sambil
mengutak-atik AC, saat Akiko-san menatapnya dengan tatapan agak khawatir. Meski
sekarang cuma hari Minggu yang biasa, rasanya aneh melihat mereka berdua di
ruang tamu bersama, tapi lagi-lagi aku menyadari bahwa mungkin karena sekarang
hari Minggu jadi bisa melihat mereka berdua bersama.
“Ah,
Yuuta. Pagi.” Ayahku segera menyapaku saat melihatku.
“Yuuta-kun,
selamat pagi.” Akiko-san mengucapkan salam juga.
“Selamat
pagi juga. Jadi, uhh, apa itu rusak? ”
“Suhu
ruang tamu terasa panas dan tidak terasa dingin sama sekali. Akiko-san membangunkanku,
dan memberitahuku kalau AC-nya mengeluarkan suara berderak.”
“Apa
aku perlu membantumu?”
“Ah,
tidak usah, aku masih mencari kerusakannya. Aku juga tidak tahu apa yang harus
diperbaiki. Apalagi produk AC jaman sekarang tidak dibuat untuk diperbaiki oleh
seorang amatir lagi.”
Kurasa
itu masuk akal. Ayaku sepertinya memeriksa pesan kesalahan saat membaca manual
pengguna, terkadang mematikan dan menghidupkannya lagi, bahkan mengotak-atik
melalui mode yang berbeda. Namun, AC tersebut sepertinya tidak berniat
mengeluarkan udara dingin dalam waktu dekat.
“AC
yang di sini sudah cukup tua. Jika masih tidak menunjukkan tanda-tanda, kita
mungkin harus pergi dan membeli AC baru.”
“Kita
juga baru saja membeli untuk kamar Saki… maafkan aku.”
“Tidak
tidak. Jangan begitu. Kamar Saki-chan selalu menjadi ruang penyimpanan, itulah
sebabnya kamar itu tidak dilengkapi dengan unit A/C sejak awal. Belajar di
kamarnya tanpa AC pasti bikin pengap, iya ‘kan?”
“Terima
kasih, Taichi-san.”
Saat
mereka berdua mulai membicarakan Ayase-san, aku menyadari dia tidak bersama
kami di ruang tamu.
“Apa
Ayase-san ada di kamarnya sekarang?”
“Ya,
aku baru saja melihatnya. Tapi dengan panas dan sebagainya… Dia tidak pandai
menanganinya.”
“Benarkah?”
“Dia
selalu merengek tentang hal itu saat masih kecil dulu. Begitu musim panas tiba,
dia akan terus-menerus meminta es krim kepadaku, memintaku untuk membawanya ke
kolam renang, dan lain sebagainya. Dia juga sangat gigih saat memintanya.”
Ketika
dia menyebut Ayase-san saat masih kecil, aku teringat pada foto yang
ditunjukkan Ayahku sebelum menikah. Jika aku harus menebak, dia mungkin masih
SD saat itu, dan dia tampak cukup energik. Dibandingkan dengan yang sekarang,
dia jauh lebih penyendiri dan tenang. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan
dia sebagai seorang anak yang akan terus-menerus merengek pada ibunya seperti
itu.
“Tapi
beberapa tahun belakangan ini, dia mulai menjadi lebih tenang tentang hal itu,
yang mana membuatku sedikit kesepian dengan cara yang berbeda.”
“Kurasa
inilah yang akan terjadi ketika anak-anak memasuki masa remaja. Pasti rasanya
memalukan jika selalu berada di dekat orang tuamu. Yuuta juga sama.”
Saat
Ayahku mengatakan itu, Akiko-san sedikit menundukkan kepalanya dan menghela
nafas.
“Dalam
kasus anak itu, aku tidak berpikir kalau
masalahnya hanya karena dia tumbuh dewasa ... Saat SMP dulu, dia sudah menjadi
seperti yang sekarang.” Akiko-san memilih kata-katanya dengan hati-hati, yang
membuatku bisa menebak apa yang dia maksud.
Situasi
di keluarganya tidak seharmonis seperti dulu. Ayahnya bahkan tidak mau
repot-repot pulang ke rumah, dan Akiko-san selalu bekerja. Aku pikir dia
menyebutkan pada masa-masa itu. Ayase-san pasti menyadari kondisi keluarganya
yang menyedihkan dan mulai meminta banyak hal setiap saat.
“Maaf,
aku seharusnya tidak mengatakan itu.”
"Tidak
apa-apa." Akiko-san tersenyum tipis.
Aku
merasa Akiko-san bahkan tidak terlalu keberatan, tapi Ayahku tampak ketakutan.
Dengar, bahkan jika kamu melubangi tangga itu, kamu tidak bisa membantu siapa
pun. Jadi ketika masih kecil, Ayase-san sangat menyukai kolam renang, ya…?
Sejujurnya, aku tidak bisa membayangkan Ayase-san yang polos dan kecil berenang
seperti itu. Jadi, jika ada seseorang mengatakan kepadanya bahwa dia bebas
melakukan hal yang sama tanpa merasa khawatir, apa dia akan melakukan hal yang
sama?
Bagi
orang yang introvert dan pasif macam diriku, hanya mendengar bergerak dan berolahraga
terdengar sangat melelahkan, apalagi bergabung dengan banyak orang, jadi aku
lebih suka tidak melakukan olahraga.
“Hmm,
sepertinya aku tidak bisa memperbaikinya. Mungkin lebih baik memanggil
seseorang untuk memperbaikinya, tapi mengingat betapa sibuknya mereka sepanjang
tahun ini, aku bahkan tidak bisa menebak kapan ini bisa diperbaiki. ”
“Begitu
rupanya. Sungguh merepotkan. Ah, hati-hati saat turun, Taichi-san.”
“Yuuta,
kurasa lebih baik kalau kamu tinggal di kamarmu hari ini.”
“Aku
tidak keberatan.”
Hari
ini aku ada kerja sambilan di malam hari, jadi aku merasa tidak keberatan.
Ketika aku bertanya kepada mereka berdua apa yang akan mereka lakukan,
Akiko-san menjawab kalau dia ingin pergi berbelanja, dan Aayahku akan bergabung
dengannya untuk membawa barang belanjaan. Ya, melakukan sesuatu di luar juga
merupakan salah satu pilihan, ya …
“Aku
akan memberitahu Saki,” ujar Akiko-san seraya menuju ke arah dapur. Di
tengah-tengah jalan dia memanggilku. “Yuuta-kun, apa kamu ingin makan sesuatu? Aku
sendiri juga belum makan apa-apa. ”
“Ah,
ya tolong.”
Ayahku
dan Ayase-san sepertinya sudah menghabiskan sarapan mereka, jadi Akiko-san dan
aku menghangatkan sisa makanan dan menikmatinya. Ayahku membuka pintu ke kamar
tidur mereka, yang menyebabkan angin sejuk melewati ruang tamu, tetapi tidak
butuh waktu lama bagiku untuk mulai berkeringat seperti sedang duduk di dalam sauna.
Pada saat-saat seperti ini, aku benar-benar membutuhkan yang namanya kipas
tangan.
Setelah
selesai makan dan membersihkan peralatab, aku mengambil satu halaman dari buku
Ayase-san dengan mengambil beberapa minuman dingin dari kulkas dan bersembunyi
dari hawa panas di kamarku. Sekarang, apa yang harus kulakukan hari ini? Aku
penasaran, apa yang Ayase-san lakukan di
kamarnya? Pemikiran ini terbesit di benakku saat membolak-balik halaman buku
yang sedang kubaca, tapi aku terganggu oleh panggilan telepon mendadak Maru.
Ia
bertanya apa aku sedang sibuk atau tidak siang ini, dan ketika aku
memberitahunya kalau aku pada dasarnya lagi senggang, Ia memintaku untuk ikut
berbelanja dengannya. Pada awalnya, aku hampir menolak karena aku tidak mau repot-repot
keluar di panas ini, tapi aku teringat kalau aku sendiri sedang berada di
penjara panas di apartemenku, jadi aku langsung menerima ajakannya.
Area
di depan stasiun kereta Shibuya bahkan lebih bising dan dipenuhi orang
ketimbang hari-hari biasa lainnya, padahal waktunya baru menjelang siang hari.
Ketika aku melihat kerumunan ini, rasanya seperti hawa panas semakin meningkat.
Aku
memarkir sepedaku di tempat parkir biasa. Karena sore ini aku ada kerja
sambilan, memarkirkannya sekarang akan membuat pulang jauh lebih mudah nanti.
Maru mengajakku ke toko yang menjual barang-barang yang berhubungan dengan
anime. Karena tempat itu juga menjual manga dan novel ringan, toko tersebuut
adalah pesaing langsung dari toko tempatku bekerja. Yah, terus-menerus mengkhawatirkan
hal semacam itu takkan menguntungkanku sama sekali, dan toko buku tempatku
bekerja juga tidak menjual merchandise anime.
Setelah
berjalan dari depan stasiun kereta di jalan Jingu-dori
utara, aku berbelok ke arah Barat setelah memasuki jalan Inokashira-dori. Jalan kemudian bercabang, dan aku menuju ke jalan Udagawa-dori. Itu mungkin penjelasan
yang agak mudah untuk diikuti. Bagi orang yang tidak tahu tata letak Shibuya, jarak
ini mungkin tampak seperti jarak yang cukup jauh, tapi dengan kota yang tidak
pernah tidur dan selalu penuh hiruk pikuk, jarak segini sangat mudah dicapai
dengan berjalan kaki.
Ada
jus jenis baru di mesin penjual otomasi yang berada di pinggir jalan, dan
wanita muda menjajakan produk populer di depan toko. Kamu dapat menemukan
dirimu dengan cepat mencapai tujuan bila melihat area sekeliling. Sekitar lima
menit sebelum waktu yang ditentukan, aku sudah sampai di toko yang dimaksud.
“Yo,
maaf sudah memanggilmu jauh-jauh ke sini.” Temanku Maru Tomokazu datang
menghampiriku, wajahnya sedikit lebih cokelat dari sebelumnya.
“Lama
tidak ketemu. Jadi kamu tidak ada latihan hari ini, ya?”
“Ya.
Hari ini kami cuma ada latihan pagi. Jaman sekarang, latihan tanpa akhir sudah ketinggalan
jaman dan tidak keren. Apalagi dalam cuaca panas begini, yang ada malah para
pemain akan kelelahan atau bahkan terluka, jadi kami juga perlu mengambil
istirahat yang tepat. Begitulah cara kami melakukannya. ”
“Jadi
begitu rupanya.”
Yah,
aku masih menganggapnya sebagai pelatihan yang cukup keras, tapi aku yakin
mereka ingin menghindari cedera atau masalah terkait kesehatan lainnya.
“Ngomong-ngomong,
aku minta maaf karena sudah repot-repot memanggilmu ke sini.”
“Yah,
tentang itu…”
Aku
memberitahu Maru tentang kerusakan AC di ruang tamu, dan bagaimana kupikir
setidaknya akan bersenang-senang jika aku dipaksa untuk menahan panas. Bukannya
aku sangat ingin memberitahunya tentang situasi kehidupanku, tapi kupikir Ia
takkan terlalu merasa bersalah jika aku
memberinya inti umum.
“Kedengarannya
sulit. Jadi aku ingin menyelesaikan tujuan utamaku dulu. Bakalan gawat jika
mereka terjual habis sebelum aku mendapatkannya. ”
“Tentu.”
Biasanya,
Maru bukanlah tipe orang yang memaksakan minatnya pada orang lain, tapi saat Ia
benar-benar meminta bantuan, dia selalu punya alasan bagus. Seperti ketika
suatu produk dibatasi pembeliannya untuk satu orang saja. Kecuali kamu
memeriksa beberapa toko, kamu sering tidak bisa mendapatkan apa yang kamu
inginkan. Di saat seperti ini, Maru bisa sangat kejam. Lagi pula, karena
rilisnya pada hari Jumat, Ia pasti khawatir kalau barang yang diincarnya akan
terjual habis.
Karena
aku sudah berjanji untuk membantunya, aku siap untuk membantu sampai akhir yang
pahit ... Oh ya, aku bahkan tidak menanyakan barang apa yang kami incar.
“Setelah
kita menyelesaikan misi, ayo pesan sesuatu untuk dimakan.”
“Siap.”
Meski
aku sering mampir ke rak bagian manga dan novel ringan berkali-kali sebelumnya,
karena aku tidak terlalu tertarik dengan barang yang sebenarnya, aku meminta
Maru mengajakku berkeliling.
“Jadi,
kita mau membeli apa?”
Maru
menjawab saat kami terus berjalan. Sepertinya kita mencari barang untuk anime
yang tayang pada musim semi. Musim sudah berakhir beberapa bulan yang lalu, tapi
tergantung pada bagaimana penjualan berjalan, mereka mulai menjual barang
bahkan setelah musim tayangnya berakhir. Aku ingat nama anime ketika Maru
menyebutkannya. Anime yang bertema kehidupan sehari-hari dan mempunyai 5 karakter
cewek.
“Dan
ada robot.”
“Apa?”
Sejenak,
aku gagal memahami apa yang Ia katakan. Jika ingatanku benar, latarnya berada
di kota pedesaan, dan itu seperti cerita remaja biasa lainnya… ‘kan?
“Novel
ringan yang dibaca protagonis di episode 5 adalah karya fiksi ilmiah, ‘kan?”
“Ya…”
Aku
baru ingat sekarang. Akhir-akhir ini keberadaan otaku dan minatnya sudah mulai
bergeser menjadi pengetahuan umum, bahkan protagonis dan karakter sampingan
normie tertarik dengan dunia otaku, tapi… Oh ya, aku pikir Maru lumayan
menyukai hal-hal fiksi ilmiah, tapi tidak pernah benar-benar menggeluti genre tersebut.
“Jadi
tunggu, apa jangan-jangan kamu ...?”
“Ya,
aku kepincut dengan robot yang sangat disukai protagonis.”
“Apa
hubungannya dengan anime itu?!”
“Apa
boleh buat. Robot itu luar biasa.” ujar Maru. Ia memberitahuku nama ilustrator
yang bertanggung jawab untuk menggambar robot tersebut, tapi maafkan aku, aku sama
sekali tidak mengenali mereka.
Ketika
aku memberitahunya dengan jujur, Maru menatapku dengan kaget dan jijik lalu
mulai memberitahuku tentang betapa terkenalnya ilustrator itu.
“Jadi
pada dasarnya kamu menginginkan versi mainan dari robot ini, ‘kan?”
“Secara
ringkasnya sih begitu.”
Begitu
kami sampai di tempat penjualan, untungnya mereka masih memiliki beberapa mainan
robot yang diincar Maru. Jumlahnya sudah cukup untuk Maru dan aku, tapi kupikir
itu stok terkahir, jadi kami cukup beruntung. Kami berdua masing-masing membawa
satu saat berjalan ke kasir. Ada banyak pelanggan meski itu hari Minggu, jadi
antreannya cukup panjang. Kami terus berbicara saat menunggu giliran.
“Begitu
yaa. Robot ini sangat luar biasa.”
“Iya
‘kan?”
Aku
benar-benar tidak terbiasa dengan barang semacam ini, tapi penampilannya cukup
keren. Robot itu berada di dalam sebuah kotak dengan tinggi sekitar 50cm.
Sepertinya itu semacam robot tempur udara yang takkan pernah ada di dunia
nyata. Logo anime digambar di salah satu sudut kotak dengan font kecil, yang
benar-benar membuatku sulit untuk menebak genre apa series itu. Robot ini
benar-benar terlihat seperti langsung dari anime mecha.
“Robot
ini juga memiliki banyak bagian yang dapat digerakkan. Jadi kamu bisa
bermain-main dengan ini. ”
“Bermain-main
dengan itu…?”
“Oh?
Ayolah. Bukannya kamu pernah bermain-main dengan robot atau mainan monster saat
masih kecil, Asamura?”
“Mungkin
pernah, tapi yang jelas tidak terlalu sering.”
Aku
memahami mengumpulkan barang-barang begini sebagai semacam hobi, tapi aku tidak
mengerti apa gunanya bermain-main dengan mainan ini. Lagipula, aku selalu lebih
fokus pada manga dan novel ketimbang anime. Ketika aku masih kecil, Ayahku
mempunyai hobi membeli model plastik kapal perang, tapi ibuku kandungku memarahinya
karena benda-benda tersebut selalu menghalangi, itulah sebabnya Ayahku memutuskan
untuk tidak pernah meneruskan hobi itu lagi. Aku merasa itu akan menjadi hobi
yang menyenangkan jika keluarga dan gaya hidupmu mengizinkannya.
Dengan
manga dan novel, aku bisa mengisi kamarku, dan takkan pernah menghalangi
jikakKamu meletakkannya di rak.
“Oh
ya, Asamura, Narasaka, dan Ayase mengajakmu ke kolam renang, ‘kan?” Maru
tiba-tiba mengubah topik pembicaraan.
Otakku
seketika membeku usai mendengarnya. Siapa yang pergi ke kolam renang dengan
siapa? Tapi Maru bahkan tidak menyadari kebingunganku.
“Seriusan,
kamu sudah berubah menjadi playboy yang hebat saat aku tidak melihatmu beberapa
hari.”
“Apa
yang sedang kamu bicarakan?”
“Hah…?
Aku sedang membicarakanmu dan Ayase yang pergi ke kolam renang bersama
Narasaka.”
“Aku
baru pertama kali mendengarnya.”
Maru
lagi ngomongin apaan sih? Karena aku tidak menunjukkan tanda-tanda memahami apa
yang dimaksud Maru, Ia memberitahuku apa yang didengarnya melalui koneksinya di
klub bisbol. Menurut rumor yang beredar, Narasaka-san sedang mengumpulkan
sekelompok cewek dan cowok untuk bertemu di kolam renang, dan anggota dari
kelompok tersebut sepertinya termasuk Ayase Saki dan Asamura Yuuta.
“Apa
kamu tidak diundang?”
“Tidak
sama sekali. Aku justru belum berbicara dengan Narasaka-san sejak liburan musim
panas dimulai.”
“Hmm,
kalau begitu kamu mungkin akan segera diajak nanti.”
“Bulan
Agustus sudah hampir berakhir, tau?”
“Tapi
sekarang masih panas seperti biasa, jadi tidak ada masalah.”
“Yah…
kurasa begitu.”
Jadi
rencana seperti ini dijalankan tanpa sepengetahuanku, ya? Memangnya aku sedekat
itu dengan Narasaka-san sampai-sampai dia akan mengundangku ke acara seperti
itu? Aku masih bisa menghitung dengan beberapa jari jumlah kami berdua
berbicara satu sama lain. Aku tahu bahwa Narasaka Maaya sangat kuat dalam hal
hubungan dan bagaimana dia memperlakukan orang lain, tapi ini jauh lebih dari
yang kuharapkan. Yah, kurasa rencana itu belum tentu ada benarnya juga. Lagi
pula, sumber informasinya masih berstatus gosip belaka.
Saat
kami berbicara tentang itu, tibalah giliran kami di depan meja kasir. Kami
selesai membayar, kembali ke stasiun kereta dengan cara yang sama ketika aku
datang, dan memasuki kafe di dekat toko buku tempatku bekerja sambilan.
Kami
berdua memesan es kopi, dan Maru menambahkan menu sandwich ke dalam pesanannya.
Anggota klub memang berbeda. Nafsu makannya cukup besar. Dibandingkan dengan
kopi dari restoran keluarga, kopi dari tempat ini sekitar dua kali lebih mahal,
tapi setidaknya tempat ini menyediakan fasilitas tempat duduk yang nyaman dan
kalem. Meski aku menyebutnya kafe, tapi tempat ini sedikit lebih bergaya daripada
restoran keluarga biasa.
Meski
ini adalah tempat di mana para pelanggan tetap memberi pesanan yang cukup rumit
sampai-sampai terdengar seperti mereka sedang merapalkan ajian mantra, tapi
untungnya kami berhasil memesan sesuatu yang normal. Yah, bila dibandingkan
dengan kedai kopi kelas atas, tempat yang satu ini jauh lebih cocok bagi
kalangan siswa SMA. Pernah suatu ketika aku tak sengaja memasuki restoran tertentu
di dekat stasiun kereta Shibuya tanpa melihat menunya terlebih dahulu, dan
langsung pergi setelah melihat betapa mahal harganya. Secangkir kopi senilai
angka 4 digit pasti terlalu muluk bagi anak SMA.
Maru
dan aku meletakkan nampan makanan di atas meja dan menghela nafas.
“Jadi,
cepat mengaku. Kenapa kamu sampai membutuhkan dua barang ini? ” tanyaku, melirik
kantong plastik yang ada di dekat kami.
“Tentu
saja, yang satunya untuk penggunaan pribadi dan satunya lagi untuk cadangan.”
“Begitu
ya. Jadi bukan karena motif lain ya.”
“……Padahal
kamu sudah tahu dan masih bertanya padaku? Itu sifat yang tidak bagus, bung.”
“Sebenarnya
aku cuma ingin bertanya. Kamu pernah menyebutkan kalau kamu ingin memberikan
hadiah kepada seseorang, jadi aku menebak kalau ini ada kaitannya dengan itu. ”
Aku
tahu ada beberapa orang yang membeli beberapa barang yang sama dari sesuatu yang
mereka sukai. Akan tetapi, saat aku berpikir kalau Maru mungkin membeli ini
untuk orang lain, dan membutuhkan bantuanku untuk mengamankannya, entah kenapa
kedengarannya tidak terlalu realistis.
“Aku
sebenarnya diminta untuk melakukan ini.”
“Ssesorang
memintamu?”
“Ya,
teman daring. Dia sangat menginginkannya, tapi situasi saat ini tidak
mengizinkannya. Jadi aku yang pergi dan membelinya. Aku akan mengirimkannya
kepadanya nanti.”
“Hah.”
Aku
tidak tahu Maru punya teman seperti itu. Saat aku menanyakan detailnya, mereka
tampaknya mengenal satu sama lain di forum online ketika membicarakan anime
favorit mereka. Selera mereka cukup serasi, dan mereka cukup dekat untuk saling
mengirim barang. Oleh karena itu, mereka mungkin tahu alamat satu sama lain
juga. Meski begitu, mereka hanya mengenal satu sama lain dengan nama akun
mereka, tapi mereka tampaknya berteman baik. Maru tahu bahwa mereka tinggal di
kota yang sama, tapi Ia belum pernah bertemu dengan teman daringnya ini.
“Tapi
jika kalian berteman baik, kalian mungkin juga bertemu di kehidupan nyata, kan?
Apalagi aku merasa kalau kamu adalah tipe orang yang mengaturnya sendiri.”
Meski
secara teknis mereka bisa bertemu secara daring kapan saja, manusia lebih
menyukai bertemu orang lain secara tatap muka. Karena Maru tahu bagaimana
mengatur dan memiliki kemampuan untuk menyusun rencana, aku masih sedikit
bingung mengapa Ia belum melakukannya. Tapi, Ia selalu sibuk dengan kegiatan
klubnya, jadi mungkin peluang mereka bisa bertemu sangat terbatas.
“Itu
sih takkan mungkin berhasil.”
“Hmm,
memangnya kenapa?”
“Tentu
saja, tidak semua orang seperti itu, tapi ada sekelompok kecil cowok yang akan
menggunakan ini sebagai kesempatan untuk menggoda cewek. Jika tidak ada banyak
kepercayaan yang terlibat, semuanya hanya akan berakhir buruk. Setidaknya,
itulah yang kupikirkan.”
“Ya,
bersikap hati-hati ini sangat mirip dengan sifatmu… Hm? Menggoda cewek? Apa
orang yang dimaksud itu perempuan?”
“Dari
apa yang dia katakan padaku, ya. Bahkan seorang mahasiswi.”
“Mahasiswi…
jadi dia lebih tua darimu, ya?”
Sekilas,
wajah Yomiuri-senpai muncul di benakku. Dia satu-satunya mahasiswi yang kukenal
dan yang kutahu. Biasanya itu akan menjadi hal yang langka bagi anak SMA
semacam kami untuk berpapasan dengan mahasiswa, jadi jarang-jarang Maru dan aku
memiliki pengalaman seperti ini. Yah, kurasa untuk pertemanan daring akan lebih
jarang jika mereka seumuran.
“Dilihat
dari pesannya, dia cukup cerdas. Dia punya pengetahuan luas dan sifat yang
baik, dan tidak memiliki prasangka terhadapku. Percakapan yang kami lakukan
sebenarnya cukup bermakna. Tapi sekali lagi, fakta bahwa dia sangat positif
pasti sangat membantu, kurasa.”
“Huh,
ya, dia memang terdengar seperti seseorang yang bisa kamu ajak bergaul. Aku
yakin ada banyak orang lain yang merasakan hal yang sama denganmu… Ahh, jadi
itu penyebabnya, ya.”
“Ya,
dia cukup populer di forum obrolan.”
Begitu
rupanya. Jadi pertemuan offline akan mendatangkan orang-orang yang akan mencoba
untuk merayunya.
“Aku
terkejut kamu cukup dekat dengannya sampai bisa saling mengirim barang seperti
ini.”
“Yup,
itu kebetulan yang gila. Aku akan menceritakan keseluruhan cerita kapan-kapan
jika ada kesempatan. ”
“Aku
ingin sekali mendengarnya. Jadi, apa kamu jatuh cinta padanya?”
Maru
tampaknya tidak menyangka aku menanyakan pertanyaan ini, dan Ia tampak panik
sejenak.
“Tidak,
aku benar-benar tidak jatuh cinta... atau semacamnya.”
Oh,
reaksi yang langka. Yah, biasanya Ia akan bertindak tegas, jadi aku kadang-kadang
harus membalasnya.
“Hee..masa?”
Saat
aku terus mendesaknya, Maru sepertinya benar-benar dibuat kelagapan, dan menjadi
pendiam. Akhirnya, Ia mengucapkan, “Aku mau ke kamar kecil dulu” dan bangkit
dari tempat duduknya.
Sungguh
mengejutkan bahwa Maru sampai bertingkah seperti ini... Oh ya, orang yang
menerima hadiah Maru, dan orang yang menerima barang darinya... Apa mereka
orang yang sama? Itulah sisi lain dari Maru yang belum pernah kulihat, dan hal
itu membuatku tersadar kalau aku masih belum tahu segalanya tentang dirinya,
yang tentu saja sangat masuk akal. Walau harus kuakui kalau aku tidak menyangka
Ia mengalami perasaan romantis seperti ini. Kurasa kita sangat berbeda.
Sejauh
mengenai perasaan romantis, aku cukup menyukai novel romansa, tetapi aku tidak
benar-benar membayangkan diriku dalam situasi seperti dalam novel. Aku lebih
suka menonton peristiwa semacam ini yang melibatkan orang lain. Aku takkan
pernah berharap untuk mengalami sendiri kejadian yang mirip seperti rom-com. Lagipula, ini adalah kenyataan.
Sesuatu seperti mengenal seorang gadis cantik dan akhirnya berpacaran…
Yah,
aku akhirnya tinggal bersama seorang gadis seumuran karena pernikahan kembali
Ayahku, tapi bukannya berarti dia — Sebenarnya, dia imut. Secara objektif, dia
sangat cantik dan imut. Sial, kenapa aku bahkan membayangkannya sambil
memikirkan hal ini? Memang benar kalau Ayase-san itu imut, tapi dia ituadik
perempuanku.
“Asamura-kun?”
Benar
sekali, bahkan suaranya seimut ini, tapi yang namanya adik tetaplah adik ...
Tunggu, apa? Saat membalikkan badan, aku disambut dengan seorang gadis berambut
pirang yang melihat wajahku tepat dari jalan di sebelah tempat dudukku. Tentu
saja, itu bukan halusinasi, melainkan Ayase-san yang asli.
“Apa
yang sedang kamu lakukan di sini?”
“Ini
kafe terdekat dengan tempat kerja kita.”
“Ah…
Itu masuk akal.”
Tidak
ada yang aneh mengenai hal ini. Karena pekerjaan dan bahkan shift kami hampir
sama, tidak aneh rasanya jika dia menghabiskan waktunya dengan cara yang sama,
terutama mengingat situasi di rumah yang sekarang. Karena itu alasan utama
mengapa aku merekomendasikan kafe ini kepada Maru. Ini lebih dari kebetulan,
itu cukup jelas untuk diharapkan secara praktis. Namun, bukan berarti aku tidak
terkejut bertemu dengannya di sini, dan karenanya aku bahkan tidak tahu bagaimana
melanjutkan percakapan.
“Pokoknya,
aku akan pergi sekarang.”
“Eh?”
Semua
pemikiran dan ide topik pembicaran segera lenyap. Tanpa kusadari, aku sudah
melihat punggung Ayase-san saat dia berjalan pergi. Dia mengenakan atasan dengan
satu bahu terbuka yang cocok untuk cuaca panas begini, bersama dengan celana
pendek biru. Dia memiliki pinggul yang tinggi, hampir seperti model. Ah, dia
bahkan memakai sepatu kets hari ini, mungkin untuk menyesuaikan pakaiannya saat
ini. Saat dia berjalan dengan langkah ringan, pintu toko terbuka dan tertutup.
“Maaf
sudah membuatmu menunggu.”
“Eh?
Oh, Maru.”
“Aku
ingat kalau waktunya sudah mepet, jadi aku bergegas kembali, tapi… Asamura,
kamu barusan berbicara dengan Ayase, ‘kan?”
Waktu?
Aku melihat jam yang terpajang di dalam toko, dan menyadari bahwa sudah hampir
waktunya bagiku untuk berangkat kerja. Kurasa itu sebabnya Ayase-san pergi
begitu cepat.
“Ada
sesuatu yang terjadi antara kamu dan Ayase, ‘kan?”
“Tidak,
itu tidak…”
Benar—itulah
yang ingin aku katakan, tapi pernyataan tersebut akan membuatku menjadi
pembohong. Aku merasa akan jauh lebih efisien jika aku memberitahu Maru tentang
segalanya. Membeberkan kalau kami menjadi saudara tiri karena pernikahan
kembali orang tua kami, dan apapun yang Maru bayangkan tidak terjadi sama
sekali… Tapi apa yang akan Ia pikirkan?
Namun,
dengan mempertimbangkan waktu yang sudah mendesak, aku tidak bisa masuk lebih
dalam ke percakapan ini, jadi aku berpisah dengan Maru hampir seperti aku sedang
melarikan diri. Sekarang aku benar-benar kehilangan hak untuk mengkritik orang
dewasa yang hidup dengan pola pikir 'apapun yang terjadi biarlah terjadi'.
Namun, aku masih hampir sampai ke kantor tepat waktu untuk bekerja. Aku
berganti seragam, memakai celemek dan papan nama, dan meninggalkan ruang ganti.
Secara kebetulan, Ayase-san dan Yomiuri-senpai keluar dari ruang ganti wanita.
“Yo,
Kouhai-kun! Mohon kerja samanya juga hari ini!”
“Mohon
kerja samanya juga, Yomiuri-senpai.”
“Tolong
perlakukan aku dengan baik hari ini, Asamura-san.”
“Y-Ya,
mohon bantuannya juga, Ayase-san.” Aku tersandung kata-kataku.
Pengaruh
pertemuan mendadak di kafe itu rupanya masih membuatku terguncang.
“Sepertinya
cuma ada kita yang bekerja di jadwal malam ini.” Kata Yomiuri-senpai.
Pada
dasarnya, hanya kita bertiga, ya?
“Aku
merasa kalau tempat kita masih kekurangan orang.”
“Benar.
Yah, itu sih bakalan baik-baik saja. Karena Saki-chan bisa dihitung untuk dua
orang.”
“Pujianmu
terlalu berlebihan, Senpai.” Ayase-san tetap bersikap merendah, tapi begitu
pekerjaan dimulai, gerak-gerik dan etos kerjanya yang efisien benar-benar
membuatnya tampak seperti ada beberapa orang yang melakukannya.
Dia
benar-benar rajin, dan cepat beradaptasi. Karena dia bisa mengingat semuanya
saat ada yang mengajarinya sekali, dia bisa bekerja secara mandiri dengan cepat.
Belum lagi dia orangnya sangat teliti. Dia masih berambut pirang dan mencolok
yang menjadi ciri khasnya, tapi dia melepas tindikan di telinganya saat
bekerja.
Untungnya,
tidak ada pengunjung yang terlalu memeriksanya hanya karena penampilannya, tapi
saat bekerja di toko yang dikunjungi orang-orang dari segala usia, kamu tidak
pernah tahu kapan ada seseorang yang akan mengajukan keluhan kepada pihak
manajemen. Aku yakin dia bahkan tidak peduli apa yang orang lain pikirkan
mengenai dirinya, tapi bila dilihat dari sifat Ayase-san, merepotkan pihak toko
merupakan sesuatu yang ingin dia hindari.
Dia
bahkan menjaga kukunya tetap rapi, dan tidak dihias sama sekali. Lagipula, kuku
yang dihias akan mudah dilihat saat kamu meletakkan sampul di buku saat bekerja
di kasir. Aku ragu siapa pun akan mengeluh jika dia melakukan semua
pekerjaannya dengan sempurna, tapi ketika Ayase-san pertama kali mulai bekerja
di sini, dia mengalami sedikit kesulitan saat melepas plastik vinil. Bila kamu
berpenampilan mencolok meski masih pegawai baru yang belum bisa melakukan
pekerjaannya dengan sempurna, pasti akan lebih mudah mendapat keluhan dari para
pelanggan.
Penilaiannya
yang hati-hati dan manajemen risikonya yang melampaui apa pun yang bisa aku
bayangkan. Dan dia sendiri cukup rajin sampai-sampai membuatnya mulai sedikit
berkeringat karena kerja kerasnya, padahal AC di dalam toko buku berfungsi
dengan baik. Saat bekerja sambilan, kamu biasanya mengambil jeda istirahat
bergiliran dengan pekrja lain. Apalagi kalau di dalam toko cuma ada kami
bertiga, karena jika kami bertiga istirahat pada saat yang sama, maka tidak ada
yang akan membantu pelanggan.
Setelah
sekitar dua jam berlalu, Ayase-san mulai beristirahat. Tentu saja, bukan istirahat
yang sangat panjang, tapi sekitar sepuluh menit. Jika kamu pekerja tetap, kamu
mendapatkan sekitar satu jam. Namun, karena kami pada dasarnya bekerja empat
jam dari jam 6 sore sampai jam 10 malam, waktu istirahatnya dibuat singkat.
“Kalau
begitu aku akan segera kembali.”
“Ya
ya. Selamat beristirahat, Saki-chan.”
“Aku
akan kembali dalam sepuluh menit.” Setelah memberikan tanggapan singkat kepada Yomiuri-senpai,
Ayase-san menuju ke area karyawan.
“Hmmm…”
“Apa
ada yang salah?”
Saat
melihat Ayase-san melangkah pergi, Yomiuri-senpai sepertinya sedang memikirkan
sesuatu. Seorang pekerja tetap sedang mengurus daftar sekarang, dan jumlah
pelanggan sudah sedikit sepi. Semua orang mungkin sedang makan malam sekarang.
Jadi Yomiuri-senpai memberi isyarat padaku.
“Iya?”
Kami pindah ke tempat di belakang mesin kasir dan mulai saling berbisik.
“Ini
mengenai Sakicchi.”
“Julukan
macam apa itu?”
“Oh,
keluhan langsung dari kakak laki-lakinya?”
“Panggilan
Saki-chan, lalu nama Ayase-san di tempat umum, dan sekarang julukan aneh ini. Cara
memanggilmu terlalu bervariasi, Senpai. ”
“Aku
masih punya banyak. Saki-chan, Sakisuke, Sacchan… mana yang kamu pilih?”
“Kamu
tidak perlu bertanya padaku. Panggil saja dengan Ayase-san.”
“Kalau
begitu Saki-chan.”
Pada
akhirnya, cara panggilannya kembali ke titik awal. Yah, bukannya aku terlalu
peduli dengan cara penyebutannya saat memanggil Ayase-san. Aku tidak punya hak
untuk menghakimi atau mengeluh.
“Jadi,
bagaimana dengan Ayase-san?”
“Cih.”
“Kenapa
kamu malah mendecakkan lidahmu?”
“Ngomong-ngomong,
ayo bicara yang lebih serius.”
“Jadi
kamu tidak serius sebelumnya.”
“Adik
kecilmu. Dia itu terlalu rajin, ‘kan. ”
“Hah?”
Bagaimana
itu menjadi masalah?
“Ah,
jangan salah paham dulu. Aku berbicara tentang etos kerjanya. Dia mengingat
semuanya dengan cepat, dan melakukannya dengan sempurna. Sebagai sesama
karyawan yang sangat baik di sini, aku dapat mengatakan kalau dia melakukan
pekerjaan dengan baik.”
“Sebagai
pekerja sambilan.”
“Jangan
terlalu mempermasalahkan hal yang sepele! Ngomong-ngomong, aku merasa dia
terlalu menyalahkan dirinya sendiri untuk bagian yang tidak bisa dia lakukan.”
Aku
masih kebingungan dengan apa yang ingin dia katakan. Namun, Yomiuri-senpai
terus menjelaskan apa yang dia rasakan seperti yang dia lihat. Misalnya, sikap
mencela diri Ayase-san yang dia ambil setiap kali dia pergi. Meski ini perilaku
terpuji yang dimiliki banyak orang berbakat dan luar biasa, Ayase-san adalah
seseorang yang tidak pernah mengambil istirahat secara sukarela, jadi jika ada
waktu yang memaksanya untuk berhenti, hatinya akan hancur— atau semacam itu. Yomiuri-senpai
menyebutkan teman perempuannya yang memaksakan dirinya bekerja terus menerus
sampai membuatnya sakit, dan Ayase-san tampaknya mirip dengannya.
“Gadis
itu juga luar biasa. Dia selalu menjadi yang pertama dalam hampir semua hal di
SD. Tentu saja, dia tidak cuma berbakat saka. Dia juga berusaha keras untuk
mencapai semua itu. Dan di universitas, dia mengalami kegagalan untuk pertama
kalinya.”
Hal
itu mungkin sesuatu yang sering terjadi. Itulah yang mungkin dipikirkan
orang-orang di sekitarnya.
“Setiap
manusia memiliki satu atau dua hal yang tidak dapat mereka lakukan. Lagipula, itulah
artinya menjadi manusia. Namun, dia tidak setuju dengan pernyataan itu. Dia
tidak bisa memaafkan dirinya sendiri karena tidak bisa melakukan segalanya. Dia
tidak percaya ada sesuatu yang tidak bisa dia lakukan. Dan kemudian dia
menyalahkan dirinya sendiri untuk itu, meyakinkan dirinya sendiri bahwa karena
dia cuma malas.”
“Jadi…
apa yang terjadi padanya…?”
“Dia
pulang ke kampung halamannya. Aku pikir dia dari Shikkoku. Aku tidak tahu apa
yang sedang dia lakukan, tapi aku berharap kalau dia merasa bahagia.”
Yomiuri-senpai
benar-benar perhatian karena mengkhawatirkan seseorang yang cuma sebatas teman
sekelas. Tapi entah kenapa aku tidak bisa mengatakan ini padanya karena suatu
alasan. Dan dari apa yang dia katakan padaku, orang-orang dengan kecenderungan
yang kuat seperti Ayase-san terus-menerus menumpuk stres ketika mencoba untuk
meningkatkan, dan tidak beristirahat sama sekali.
Pada
dasarnya, ini adlaah proses berpikir yang berbunyi 'Aku tidak bisa berhenti sendiri'. Akhirnya, kamu merasa kelelahan,
dan hatimu ikut merasa lelah. Ketika orang memiliki pola pikir 'Jika aku tidak berhenti berlari, aku akan
mati', untuk benar-benar menghentikan mereka, ada kalanya kamu harus
menyela dan menghalangi apa pun yang mereka coba lakukan. Mungkin ada saatnya
di mana kamu ingin menghormati orang lain, tapi tidak ada pilihan lain selain
mengabaikan kebebasan dan pendapat mereka sendiri.
Setelah
mendengar semua ini dari Yomiuri-senpai, aku jadi teringat sesuatu. Ada suatu
waktu saat proses berpikir Ayase-san telah melewati ambang batas aman, dan dia
tidak mau mendengarkan apa yang kukatakan padanya. Pada saat itu, aku menghentikannya
dengan paksa sehingga dia mau mendengarkanku. Meski aku tidak benar-benar
menyadari apa yang kulakukan karena suasana. 'Memberikan segalanya pada saat tertentu' mungkin hal yang paling
mendekati untuk menggambarkan perilakunya.
“Mengatakan
bahwa semuanya itu penting pada dasarnya kamu berarti tidak menghargai apapun
sama sekali.”
“Hal
tersebut tidak sepenuhnya sama, Yomiuri-senpai.”
“Memang
ada orang yang benar-benar menghargai segalanya, dan berhasil. Mereka adalah
orang-orang yang memiliki bakat. Tetapi bagi kebanyakan orang, bagi orang
biasa, konsep seperti itu takkan berhasil. Terkadang ada beberapa hal yang
tidak bisa kita capai. Itulah yang aku yakini. Tidak ada yang menyalahkanmu
bila kamu tidak bisa menjadi ahli dalam segala hal.”
“Begitu
ya. Itu pemikiran yang menarik.”
“Itulah
sebabnya kamu perlu mempertahankan tekad ini untuk hal-hal yang benar-benar
penting bagimu. Menahan diri juga penting, paham? ”
“Ya.
Pada dasarnya, jika orang tidak bisa berjalan dengan benar, kamu harus memberitahu
mereka, bukan? ”
“Tepat
sekali! Kouhai-kun memang hebat! Oleh karena itu, kamu akan memberiku waktu
istirahatmu, ‘kan? ” Senpai menyatukan kedua tangannya seperti dia memohon padaku.
Aku
tidak percaya dia bisa selihai itu dari mengubah topik serius menjadi candaan
sedetik kemudian.
“Kenapa
Senpai meminta itu, huh? Memangnya ada urusan yang perlu dihadiri? ”
“Jika
aku menunggu sampai shift aku selesai, tokonya akan tutup. Jaraknya cuma
memakan waktu sekitar 15 menit, kok!”
Aku
menghela nafas tidak percaya. Orang ini benar-benar…
“Aku
mengerti. Aku akan memberi mu waktu istirahatku, jadi belilah apa pun yang
perlu Senpau beli. ”
“Yay,
Kouhai-kun!”
“Aku
tidak mau bersorak denganmu.”
“Reaksi
yang membosankan.”
“Aku
hanya tidak bisa mengikuti tempomu, oke?”
Aku
sebenarnya sedikit mengagumi Yomiuri-senpai karena menanam benih untuk
rangkaian pemikiran ini di dalam pikiranku, tapi dia harus pergi dan mengatakan
itu tanpa membuang-buang kesempatan.
“Yah,
jika kamu benar-benar menghargai adikmu, kamu mungkin perlu melangkah lebih
dalam ke wilayah pribadinya.” ujar Yomiuri-senpai dan menuju kasir.
“Jika
aku menghargainya, aku harus melangkah lebih dalam ke wilayah pribadinya, ya?”
Jadi
dia bahkan tidak terlalu bercanda, ya. Senpai benar-benar seseorang yang takkan
pernah kupahami.
Bahkan
setelah jadwal kerja kami berakhir, suhu panasnya tidak berkurang sama sekali.
Dalam perjalanan pulang, aku mendorong sepedaku seperti biasa, bersama
Ayase-san yang berjalan di sampingku. Aku ingat apa yang Yomiuri-senpai katakan
padaku. Selama sebulan terakhir ini, Ayase-san benar-benar mengabdikan dirinya
untuk pekerjaannya. Jika aku harus menebak, ini mungkin demi tujuannya untuk
bisa mandiri secepat mungkin. Salah satu alasan untuk ini kemungkinan besar
karena aku gagal menemukan cara yang menguntungkan tapi tidak menghabiskan
banyak waktu baginya untuk mendapatkan uang. Alasan lainnya mungkin karena
pengetahuanku tentang bagaimana toko buku beroperasi yang bisa dia gunakan
untuk dirinya sendiri. Alasan itu masuk akal.
Namun,
seperti yang dikatakan Ayahku, aku belum pernah melihat Ayase-san bersantai
atau bertingkah seperti kebanyakan pelajar selama liburan musim panas dalam
sebulan terakhir ini. Ada juga sesuatu yang dikatakan Maru yang masih terngiang
di kepalaku …
—Jika orang tidak beristirahat dengan baik, kamu
harus memberi tahu mereka.
Mungkin
aku harus bertanya sekarang…
“Ayase-san,
apa Narasaka-san mengajakmu ke kolam renang? … Ajakan yang diberikan kepadaku
juga?”
“…Apa
Maaya menghubungimu?” Ayase-san bertanya sambil mengernyitkan alisnya.
Sepertinya
dia memang mendapat ajakan.
“Tidak.
Lagipula dia tidak punya cara untuk menghubungiku.”
“Lalu
bagaimana kamu bisa mengetahuinya?”
Ya
ampun, dia benar-benar curiga sekarang.
“Aku
mendengarnya dari orang lain. Aku juga tidak tahu tentang itu.”
Aku
menjelaskan tentang bagaimana ada pembicaraan tentang Narasaka-san yang
mengajak teman-temannya ke kolam renang.
“Apa
kamu ingin pergi, Asamura-kun?”
Sekilas,
pertanyaannya tersebut terdengar seperti dia bertanya apa aku ingin pergi
bersamanya. Tapi itu tidak mungkin. Dia cuma bertanya apa aku tertarik pergi ke
kolam renang. Itulah satu-satunya cara Ayase-san mengajukan pertanyaan ini. Dia
benci disalahpahami. Dia bersikap acuh seperti biasa, hanya menanyakan apakah aku
ingin pergi atau tidak, itulah sebabnya aku memutuskan untuk menjawab dengan
kalimat pertama yang muncul di pikiranku saat pertanyaan itu diungkapkan dalam
konteks itu.
“Sejujurnya,
pergi ke kolam renang dengan gerombolan yang suka bergaul itu terdengar
menyebalkan.” Aku tersenyum masam saat menjawabnya.
Untuk
sesaat, aku merasa seperti melihat ekspresi sedih muncul di wajah Ayase-san di
bawah lampu jalan, tapi ekspresinya yang biasa kembali seperti semula.
“Begitu
ya. Kalau begitu, kamu tidak perlu memaksakan diri untuk pergi, kan? ”
Ada
sesuatu yang aneh dari cara dia menyampaikan kalimat itu, rasanya hampir
seolah-olah dia terganggu oleh jawabanku. Aku tidak bisa menebak apa yang sebenarnya
dia rasakan. Aku merasakan sedikit kemarahan, sedikit kesedihan, tetapi juga
sedikit rasa lega.
“Apa
kamu tidak pergi ke kolam renang?” tanyaku.
“Aku
tidak pergi.” balas Ayase-san.
“Kenapa
tidak?”
“………”
Aku
bertindak jauh dan melangkah lebih dalam ke wilayahnya, tapi Ayase-san tetap
diam dan tidak memberiku jawaban. Sebuah mobil melewati kami pada saat yang
tepat. Aku pikir mungkin dia tidak bisa mendengarnya, tapi jika dia memang
tidak mendengarnya, aku tidak ingin mengganggunya lebih jauh dengan terus
menerus memberinya pertanyaan. Namun, ada sesuatu yang terasa janggal dihatiku.
—Aku tidak pergi
Aku
ingin tahu, emosi macam apa yang Ayase-san rasakan saat mengatakan itu?
Saat kami berjalan pulang, aku melihat lampu bersinar dari apartemen kami. Aku
memarkir sepedaku di tempat parkir dan membiarkan Ayase-san pergi mendahuluiku.
Tapi sampai aku membuka pintu apartemen, aku terus memikirkan Ayase-san.
next
BalasHapus