Penerjemah :MeZhael
Editor : Kareha
Chapter
1 — Alasan Kenapa Aku Mulai Mengobrol Lagi Dengan Teman Masa Kecilku Yang
Terpisah.
“Apa kamu mau berhenti?”
Saat itu adalah liburan di musim semi. Setelah mengajukan formulir
pemberitahuan kalau aku keluar dai klub kepada guru, aku berpapasan dengan
Hinagata. Kami berdua sudah jarang mengobrol sejak naik kelas 2 SMA. Rasanya sedikit kaku dan canggung setelah sekian lama
tidak mengobrol.
“Ah, iya.”
“Barusan aku mendengarmu berbicara dengan guru.”
Aku tidak mau melibatkannya cuma karena dia menguping
pembicaraanku dengan guru tadi, jadi aku berniat kabur. Aku tidak ingin cari
alasan apapun dengannya, dan aku juga tidak mau ditanyai kenapa aku keluar dari
klub.
Alasannya, karena berhenti dari klub bukanlah hal yang bagus untuk
di bicarakan. Walau kami sudah saling kenal sejak kecil, tetap saja, aku masih
punya yang namanya harga diri. Aku memalingkan muka darinya; aku tidak ingin
dia meliatku seperti ini.
“Jangan berhenti.” “Jangan menyerah” “Sangat disayangkan…” Aku muak mendengar
orang-orang mengucapkan kalimat semacam itu. Nampaknya sudah tidak pantas lagi
untuk seseorang yang ingin mengobrol denganku setelah sekian lama tidak saling
sapa.
Tapi Hinagata berbeda dari yang lain.
“Kamu sudah melakukan yang terbaik. Terima kasih atas kerja
kerasmu.”
Saat aku menatapnya, aku melihat senyum simpul di wajahnya.
Yah, aku masih mengingat bermain tangkap-tangkapan bola bersama
Hinagata.
“Apa kamu masih ingat? Dulunya, aku adalah penangkap yang
lebih jago ketimbang kamu.”
“Cuma pertamanya doang. Habis itu aku jauh lebih jago darimu.”
“…dasar tukang pamer.”
Saat Hinagata mengobrol denganku, ekspresi canggungnya nampak
hilang.
“Tapi kenyataannya memang begitu kan.”
Setelah melihat matanya, rasanya saat ini seperti waktu pertama
kali kita mengobrol. Tapi obrolan kami barusan hanya terkesan biasa-biasa saja.
Hari itu adalah kali terakhir kami bertemu. Pertemuan kami
berikutnya ialah saat upacara pembukaan, dan di papan pengunguman sudah
tertempel daftar pembagian kelas.
“Hm, aku dan Hinagata ada di kelas yang sama, ya.”
“…Iya.”
Suaraku begitu pelan yang aku saja hampir tidak bisa mendengarnya,
tapi tak disangka kalau suaraku barusan ternyata terdengar oleh Hinagata.
Lalu saat aku masuk kelas dan mengecek tempat dudukku, aku
menemukan kalau kami duduk bersebelahan, dan Hinagata yang baru saja tiba,
langsung duduk di tempat duduknya.
“Jika buku tulismu hilang, sekarang kamu tidak perlu repot-repot
pergi ke kelas sebelah untuk meminjamnya dariku.”
“Kapan, tuh? Kelas 3 SD, kan?”
“Itu kelas 4.”
Ya, aku sedikit agak lupa tentang itu.
“Sekarang, tolong jangan seceroboh kayak dulu, ya.”
“Siap.”
Aku bisa dengar orang-orang sekitar yang sedang mengobrol dan
berkata, “Aku tidak sabar untuk belajar
denganmu sampai tahun depan.” Dan kurasa aku juga sekarang sudah tidak
perlu sok lagi dengan temen masa kecilku.
Suasana canggung sudah nampak hilang setelah beberapa hari yang
lalu saat kami mengobrol, dan sejak itu, kami juga sudah sering mengobrol
selama jam kelas dan istirahat.
Tidak perlu diragukan lagi kalau Hinagata populer, keinginan
teguhnya akan sesuatu yang masih misteri itu juga banyak yang sudah tahu. Dia
selalu menolak semua jenis orang yang menembaknya, dan kurasa keinginan
teguhnya muncul karena dia sedang menyukai seseorang
Perasaan Hinagata begitu teguh hingga dia menolak begitu banyak
orang. Saat aku memahami keteguhan dan keseriusan itu, aku memutuskan untuk menjadi teman curhatnya karena aku ingin mambantu dan mendukungnya.