Chapter 6 — Ketergantungan
“……”
Ichigo menyadarinya.
Cahaya oranye yang masuk
melalui tirai telah mereda, dan jarum jam di jam dinding benar-benar menunjuk
ke waktu malam.
Terduduk di sofa di ruang tamu
dan menatap kosong ke dalam kehampaan, Ichigo menyadari bahwa dia telah
membiarkan waktu berlalu begitu saja.
Dalam benaknya, Ia membayangkan
Luna saat dia pergi.
Bayangan punggung Luna saat
meninggalkan rumah dengan cepat dan diam-diam, berusaha untuk tidak menjatuhkan
air mata yang menumpuk di sudut matanya yang sipit, kembali muncul di pikiran
Ichigo.
Ia merasakan rasa khawatir yang
belum pernah Ia rasakan sebelumnya.
Seiring berjalannya waktu,
sepertinya dia bisa perlahan mendapatkan kembali ketenangannya dan secara akurat
menilai situasi saat ini.
Dan hasilnya …
Kesadarannya.
“Aku benar-benar melakukannya
...” Ichigo bergumam penuh nada getir sambil menundukkan kepalanya meminta
maaf.
Lalu, dahinya membentur ujung
meja di depannya.
Setelah beberapa saat, Ia
mengangkat kepalanya sedikit dan membenturkan dahinya lagi.
Lagi, lagi, lagi, lagi, lagi,
lagi, dan lagi
Ichigo terus memukul-mukul
keningnya.
Hal tersebut menunjukkan
seberapa kuat penyesalannya.
Ia dipenuhi dengan penyesalan
dan kebencian pada diri sendiri.
Ichigo merasa malu pada dirinya
sendirikarena Ia yang jelas-jelas sepuluh tahunan lebih tua dari Luna, telah
menolaknya dengan melontarkan kata-kata kasar karena emosi.
Ichigo telah memaksakan rasa
frustrasi di hatinya padanya.
Ia berburuk sangka kalau Luna
tidak peduli tentang Sakura, tentang kematian ibunya sendiri ...
Bagaimana
mungkin bisa begitu?
Ichigo kembali memikirkannya.
Dia adalah putri kandung Sakura.
Mana mungkin dia tidak peduli
dengan kematian ibunya sendiri, bahkan jika dia berkata begitu …
Bahkan bisa dibilang karena itu
sangat menyakitkan, Luna berusaha menjaga keseimbangan dalam dirinya dengan
mengambil sikap tegar dan periang.
Tanpa mempertimbangkan
perasaannya yang sebenarnya, Ichigo menilai mentalitas anak yang masih labil
itu sebagai hal yang sembrono, dan menyerang dengan emosinya sendiri.
Ichigo menyadari sikapnya terhadap
gadis remaja yang sensitif.
“Apa yang harus kulakukan…”
Jika Ia terus bertanya pada
dirinya sendiri pertanyaan yang sama berulang-ulang, Ia tidak bisa membuat kemajuan
sama sekali. Dia harus menemukan solusi dan membuat perubahan.
Ichigo bertanya-tanya apa yang
harus Ia lakukan.
Tidak, hanya ada satu hal yang
harus dilakukannya.
Hari ini sudah larut malam, dan
itu semua baru saja terjadi.
Jika Ichigo mengunjungi Luna
sekarang, dia akan marah dan mereka tidak bisa melakukan diskusi dengan kepala
dingin.
Mereka berdua membutuhkan
sedikit lebih banyak waktu untuk menenangkan diri.
“…Besok pagi, aku harus meminta
maaf padanya.”
Ichigo membuat keputusan dan
mengalihkan pikirannya tentang apa yang harus Ia lakukan dengan bahan-bahan
yang telah dia siapkan.
–Namun,
jika dipikir-pikir, keputusannya tersebut justru menjadi sebuah kesalahan.
Setelah mendapatkan kembali
akal sehatnya, Ichigo seharusnya segera mengejarnya–
※※※※※
Keesokan harinya.
“…Aku sungguh minta maaf.
Karena aku—”
[Tidak
apa-apa. Tolong jangan khawatirkan tentang itu.]
Sambil bersuara bernada rendah,
Ichigo meminta maaf kepada orang di ujung telepon.
Dari rumah, Ia memberi tahu
orang-orang di kantor kalau Ia akan mengambil cuti sakit. Dan tentu saja, Ia
sedang tidak sakit sama sekali.
Hari ini sebenarnya hari kerja,
namun, Ia harus mengunjungi rumah Luna nanti.
Dengan kata lain, ini cuma
teknik tipu dayanya.
[Untuk
saat ini, Saya akan memasukkannya sebagai setengah hari cuti dalam jadwal. Jika
terlalu sulit bagi anda untuk datang bekerja di siang hari, saya akan
memperlakukannya sebagai cuti seharian penuh.]
Orang di ujung telepon adalah
Wakana, asistennya.
Ichigo meminta maaf karena dia
mengambil tanggung jawab sebagai manajer pengganti di toko karena dia tidak
bisa muncul di tempat kerja.
“Aku minta maaf karena
membiarkanmu bertanggung jawab atas banyak hal.”
[Jangan
khawatir. Pekerjaan utama untuk minggu ini sebagian besar telah diselesaikan
oleh manajer.]
Dengan nada suara yang sopan,
Wakana berkata kepada Ichigo seolah-olah dia mengkhawatirkannya.
[Musim
sibuk baru saja selesai sampai beberapa hari yang lalu, jadi hal ini tidak bisa
dihindari. Mohon luangkan waktu anda untuk beristirahat. Jika ... Jika itu
tidak terlalu merepotkan buat anda, saya bisa membawakan sesuatu untuk dimakan
setelah waktu toko tutup.]
“Tidak, tidak, tidak perlu! Aku
tidak bisa membuatmu melakukannya sampai sejauh itu!”
Ketika Ichigo buru-buru
menolak, Wakana berkata, [Begitu ya…] Terdengar sedikit kecewa di belakang
gagang telepon.
Setelah menyelesaikan
laporannya dan menutup telepon, Ichigo merosot ke sofa dan menghela napas
panjang.
“Aku sampai berbohong dan bolos
kerja…”
Mengingat kata-kata penuh
perhatian yang dikatakan Wakana kepadanya, hati Ichigo terasa sakit. Namun,
meski dipenuhi dengan penyesalan, Ia tidak punya pilihan lain sekarang karena
Ia sudah memutuskan hal itu.
Karena Ichigo tidak punya
pilihan, Ia harus menyelesaikan tujuan awalnya.
(...Jika
aku bisa bertemu dengannya tanpa hambatan dan menyelesaikan masalahku... Aku
akan datang bekerja siang ini setelah urusan ini selesai.)
Dengan pemikiran begitu, Ichigo
meninggalkan apartemen perusahaan dan pergi ke apartemen Luna.
Beberapa puluh menit kemudian,
Ia akhirnya tiba.
Sebuah gedung apartemen yang
cukup bagus dengan sistem kunci otomatis, di mana Luna tinggal sendirian. Itu
adalah tempat yang sudah Ichigo kunjungi berkali-kali sebelumnya.
“Ayo temui dia…”
Ichigo melewati pintu otomatis
ke dalam gedung dan berdiri di depan panel layar sentuh yang terletak di depan
pintu masuk.
Pada panel tersebut terdapat
angka dari 0 sampai 9 yang berjajar seperti kalkulator, dan dengan menekan
nomor ruangan, lonceng ruangan yang diinginkan akan berbunyi. Jika penghuninya
ada di dalam rumah, Ia dapat berbicara melalui mikrofon.
“Hah...” Ichigo menarik napas
dalam-dalam dan menenangkan detak jantungnya.
Kemudian, setelah mengambil
keputusan, dia memasuki nomor kamar Luna dan menekan tombol panggil.
Suara lonceng kecil terdengar
dari speaker dengan pesan [Memanggil.]
“…Hmm?”
Namun, usai menunggu selama
beberapa puluh detik, tidak ada jawaban darinya. Ichigo menekan tombol panggil
beberapa kali lagi, tapi Luna tidak menjawab.
“Mungkin dia tidak ada di
rumah…?”
Rupanya, Luna tidak ada di
rumahnya.
Ichigo penasaran apa dia sudah
meninggalkan rumah untuk pergi ke sekolah.
Sejauh yang Ichigo ingat dari
pagi ketika Ia menghabiskan malam di rumahnya sebelumnya ... pada waktu segini,
Luna seharusnya masih di rumah saat ini.
“Apa boleh buat.”
Terlalu membuang-buang waktu
kalau terus berkutat di sini.
“Aku harus pergi mengunjungi
sekolah Luna ...”
Begitu meninggalkan apartemen,
Ichigo memutuskan untuk menuju sekolah SMA Luna. Ia bisa mengetahui Luna dari
sekolah SMA mana berdasarkan seragamnya yang terkenal dan fakta bahwa dia
memberi tahu semua orang di kantor ketika dia memperkenalkan dirinya pada hari
dia mengirimkan kotak makan siang ke tokonya.
SMA khusus Perempuan
Himesuhara.
Alamatnya juga bisa ditemukan
dengan memasukkan nama lokasi ke dalam sistem navigasi mobil.
Jika Ichigo bisa mengemudi dan
maju tepat waktu, dia akan bisa tiba di sekolah tepat sebelum jam pelajaran
dimulai. Oleh karena itu, Ichigo masuk ke mobil lagi dan menghabiskan beberapa
puluh menit perjalanan ke SMA Himesuhara.
“Akhirnya sampai…”
Gedung sekolahnya terlihat
bonafid dan penuh sejarah.
Segerombolan siswi yang
mengenakan seragam yang sama dengan Luna berjalan menuju gerbang sekolah yang
terbuat dari bata. Mereka semua tampak seperti Ojou-sama yang tumbuh di
lingkungan yang baik dan mereka semua memiliki suasana kesopanan tentang
mereka. Pemandangan beberapa gadis seperti itu pergi ke sekolah, berbicara
secara harmonis satu sama lain, adalah pemandangan yang indah bagi Ichigo.
Udara dipenuhi dengan cahaya, dan aroma wangi sepertinya menghembus di udara.
“…Sekarang bukan waktunya
memikirkan hal-hal yang tidak penting.”
Ichigo menghentikan mobilnya di
pinggir jalan, sedikit sebelum pintu masuk SMA, dan menurunkan kaca jendela. Ia
kemudian mulai dengan hati-hati mencari Luna di antara siswa yang lewat di
depannya. Paras cantiknya pasti akan membuatnya menonjol di keramaian ini. Jika
Ichigo terus mengawasinya, Ia seharusnya mudah ditemukan.
(Tapi…)
Namun, jika ada seorang pria
dewasa, yang bukan orang tua siswa, memarkir mobilnya di depan gerbang dan
mengawasi sekelompok siswa dalam perjalanan ke sekolah, itu mungkin tampak
mencurigakan. Tidak, itu pasti akan mencurigakan. Bahkan sekarang, Ichigo mulai
merasa khawatir.
Di depan gerbang sekolah batu
bata, ada penjaga yang tampak seperti iblis yang tidak menunjukkan reaksi
tertentu. Seolah-olah Ia belum memperhatikan Ichigo atau mungkin Ia masih
mengamatinya.
“…Aku harus berhati-hati agar
tidak ketahuan.”
Sekedar jaga-jaga, Ichigo
keluar dari mobil dan mulai bertingkah seolah-olah dia sedang bertemu dengan
seseorang. Ia bergegas berkeliling seolah mencari seseorang dan melihat layar
ponsel yang dia keluarkan dari sakunya.
(...Ini
seharusnya mengelabuinya sedikit...)
Saat itulah terjadi …
“Aku tidak melihat
Hoshigami-san di bus hari ini.”
Tiba-tiba, suara seperti itu
terdengar di telinga Ichigo.
“Biasanya, aku selalu naik bus
bersamaan dengan Hoshigami-san…”
Seorang siswi yang kebetulan
melewati Ichigo, berkata dengan sangat menyesal.
Hoshigami-san –
Tentu saja, itulah yang dia katakan.
Segera, tatapan mata Ichigo
mengikuti para siswa yang sedang membicarakan percakapan itu.
“Ini salah satu saat dimana aku
bisa berbincang-bincang dengan Hoshigami-san!”
“Fuyuko, kamu sangat menyukai
Hoshigami-san, ‘kan?”
“Aku penggemar beratnya.”
Salah satu gadis SMA sedang
membicarakan Luna dengan antusias. Teman-teman sekelas di sekitarnya tampak
saling menertawakan seolah-olah itu adalah sesuatu yang biasa.
“……”
Ichigo penasaran dengan
percakapan itu dan secara alami mengikuti gadis-gadis itu.
Hoshigami-san – Kemungkinan
besar, Ichigo yakin dia mengacu pada Luna.
Fuyuko, gadis SMA yang
dimaksud, adalah seorang gadis dengan rambut dikepang yang agak kecoklatan. Dia
sepertinya cukup mengagumi Luna, dan Ichigo bisa merasakannya di setiap kata
yang dia ucapkan…
Tidak, lebih penting dari itu–
(...Tidak
di bus pada waktu biasanya?)
Luna belum datang ke sekolah? –
Ichigo mengerutkan alisnya dan menyentuh ujung dagunya seolah sedang berpikir.
“……”
“……”
“…Hmm?”
Kemudian, Ichigo menyadari.
Gadis-gadis yang secara tidak
sadar dia ikuti, berhenti di jalur mereka dan kembali menatapnya. Mereka pasti
memperhatikan Ichigo yang mendengarkan percakapan mereka. Gadis-gadis itu
menatapnya seolah-olah dia adalah seseorang yang mencurigakan.
(…Gawat.)
Mereka benar-benar curiga.
Setelah bertemu dengan tatapan
gadis-gadis itu, ada jeda yang tidak nyaman. Ichigo tahu bahwa kewaspadaan para
gadis hanya akan terus tumbuh jika dia tetap diam.
(...
Mumpung sudah sampai sini.)
Namun, Ia tidak bisa membiarkan
petunjuk yang baru saja Ia temukan lolos begitu saja, jadi Ichigo segera
beraksi.
“Permisi, apa kamu punya
waktu?" Ichigo memanggil gadis-gadis dari sisinya.
Gadis-gadis itu bergidik ketika
mereka tiba-tiba didekati oleh orang yang mencurigakan.
“A-Apa…?”
Gadis dengan rambut kepang,
yang dipanggil Fuyuko, merespons saat dia melangkah mundur. Dia tampak sangat
waspada dan benar-benar ketakutan.
Seperti yang diharapkan dari seorang
siswa sekolah Ojou-sama. Fakta bahwa Luna akan membiarkan dirinya begitu
terbuka pada pria asing lebih tidak normal.
Tapi itu selain intinya.
(...Sekarang,
bagaimana aku harus memulai ini?)
Ichigo memanggil mereka dan
memulai percakapan, tapi Ia tidak tahu bagaimana membuat mereka lengah. Ia
langsung berpikir, dan akhirnya,
(...Ah,
benar juga.)
Dia menemukan pembukaan yang
sempurna.
“Aku kenalan Hoshigami
Luna-san, orang yang baru saja kamu bicarakan.”
“Apa?”
Ketika Ichigo mengatakan ini,
gadis-gadis SMA itu melebarkan matanya.
“Hubungan seperti apa yang Anda
miliki dengan Hoshigami-san?”
Namun, mereka masih tidak
lengah dan dengan hati-hati mengembalikan pertanyaan itu.
Ichigo menjawab pertanyaan
mereka dengan tenang,
“Ah, Hoshigami Luna-san, apa
dia menyelinap keluar dari sekolah saat istirahat makan siang atau semacamnya
akhir-akhir ini?”
“Saat istirahat makan siang?”
“Ah, sekarang setelah anda
menyebutkannya …” Kemudian, seolah-olah dia punya ide, Fuyuko, gadis SMA
berambut kepang menanggapinya. “Aku disuruh merahasiakannya karena guru akan
memarahi kami jika mereka tahu… Bagaimana anda bisa mengetahui tentang ini?”
Bagus –
pikir Ichigo sambil berbalik menghadap Fuyuko.
“Aku orang dari toko yang Luna
datangi untuk berterima kasih.” Dengan berani, Ichigo memberikan informasi yang
orang lain tidak sebutkan sebelumnya. Dengan cara ini, dia bisa membuktikan
legitimasinya dan tidak dicurigai.
“Datangi untuk berterima kasih…
Kalau begitu, apa anda mungkin orang yang menolong Hoshigami-san saat dia dalam
masalah?” Fuyuko berkata dengan terkejut.
Rupanya, Luna juga telah
memberitahu teman-teman sekelasnya tentang hari kejadian yang melibatkan
Ichigo.
“Betul sekali. Yah, itu hanya
kebetulan. Aku di sini untuk masalah lain, tapi kemudian aku mendengar nama
yang aku kenal.”
“Aku tidak tahu itu!”
“Sungguh, suatu kebetulan!”
Gadis-gadis SMA menjadi
bersemangat.
Dan gadis-gadis itu benar, itu
benar-benar kebetulan yang luar biasa.
Namun, Ichigo masih belum bisa
merasa lega.
“Hoshigami-san tampak sangat
senang ketika dia berbicara tentang bagaimana anda membantunya ketika dia dalam
masalah di depan stasiun.”
“Heh…”
Tampaknya Luna telah
membicarakan peristiwa itu kepada beberapa orang di sekitarnya. Ichigo tidak
tahu apakah Luna naif atau tidak, tapi mungkin begitulah saat dirimu masih
menjadi anak SMA.
“Hoshigami-san, dia benar-benar
berusaha keras untuk berterima kasih kepada orang-orang.”
“Dia sangat sopan, iya ‘kan?”
“Tentu saja, itu karena dia
adalah Hoshigami-san.”
Dengan sendirinya, gadis-gadis
SMA yang mendengar cerita dari Ichigo sedang melakukan percakapan seperti itu.
Dari apa yang Ichigo dengar
dari percakapan mereka , sepertinya Luna memiliki reputasi yang baik di
sekolah. Semua orang membicarakannya seolah-olah dia adalah siswa teladan.
Ichigo merasa bahwa dia sama seperti Sakura di masa itu.
“Tapi Luna-san tidak ada di bus
hari ini, kan?”
“Ya, kami biasanya naik bus
pada jam yang sama, tapi hari ini…” jawab Fuyuko ketika ditanya dengan santai.
Seperti dugaan Ichigo, Luna
tidak berada di bus biasanya.
"Ini belum pernah terjadi
sebelumnya, tapi kebetulan, mungkin dia sudah berangkat duluan ke sekolah.”
“Hoshigami-san tidak terlibat
dalam aktivitas klub… Dan seharusnya tidak ada tugas yang mengharuskannya
datang lebih awal.”
Gadis-gadis tersebut mulai
khawatir.
“Oh, tidak, sudah hampir
waktunya pelajaran dimulai!” Kemudian, salah satu dari mereka melihat jam besar
di dinding gedung sekolah dan berseru.
Ichigo melihat sekeliling dan
menemukan bahwa sebagian besar murid Himesuhara yang berjalan-jalan sudah
pergi.
Dan tanpa Ia sadari, penjaga
sekolah sudah menatapnya dengan waspada.
“Jadi begitu ya. Maaf sudah
menghentikanmu. Jika kamu melihat Luna-san, bisakah kamu sampaikan salamku
padanya?”
“Ya!”
Ichigo kemudian mengucapkan
terima kasih kepada mereka karena sudah berbagi cerita dengannya dan
mengucapkan selamat tinggal.
Setelah melihat gadis-gadis
melewati gerbang sekolah, Ichigo masuk ke mobilnya dan mulai pergi.
“Tapi…”
Berdasarkan informasi yang
didapatnya sejauh ini, kemungkinan besar Luna tidak di rumah, dan juga tidak di
sekolah.
Kalau
begitu, kemana Luna pergi setelah tadi malam? Pertanyaan tersebut
mulai muncul.
“…Tidak mungkin.”
... Ia punya firasat buruk
tentang ini.
Ichigo memarkir mobilnya di
sisi jalan dan mengeluarkan ponselnya dari kantongnya. Setelah menekan daftar
kontaknya, dan di sana, Ia mencari informasi kontak Luna yang telah dia
tukarkan dengannya.
“…Seharusnya aku melakukan ini
dari awal.”
Ya betul sekali.
Seandainya saja Ichigo
memanggilnya begitu dia tahu bahwa dia tidak ada di rumah, daripada repot-repot
pergi ke sekolahnya – Tidak,sedari awal, Ia seharusnya melakukannya tadi malam
saat emosinya sudah mereda.
Ia menyadari bahwa dirinya
masih merasa kesal dengan dirinya sendiri.
Ichigo tampaknya telah
kehilangan ketenangannya yang biasa dan penilaian yang terkumpul.
Ia bahkan tidak bisa mulai
mempermalukan dirinya sendiri.
Ichigo tanpa berpikir menekan
tombol panggil dan menempelkan telepon ke telinganya.
Nada dering ponselnya terus
berbunyi.
Sepuluh detik, dua puluh detik,
dan bahkan lebih lama dari itu... Tapi dia tidak menjawab.
Seolah-olah waktu mengalir
untuk selamanya, hanya melodi yang berulang yang bergema di kepala Ichigo.
–Tiba-tiba, deringnya terputus.
– Pihak lain mengangkat
telepon.
“Halo?”
[Ah…
Ich- Kugiyama-san?]
Dari sisi lain telepon, Ichigo
mendengar suara serak.
Itu suara Luna.
“Luna-san, sekarang, kamu ada
di mana?”
Dia tidak menggunakan kata-kata
kasar seperti teguran, melainkan, kata-kata lembut seperti peringatan.
Mencoba untuk tidak memasukkan
terlalu banyak emosi ke dalamnya, Ichigo bertanya pada Luna.
[…Aku
tidak tahu.]
“Tidak tahu?”
[Sejak tadi malam… aku sudah
berjalan… Dan tanpa disadari …]
Luna rupanya sendirian dan sedang
di tempat yang jauh.
Akibat mengembara tanpa sadar
setelah meninggalkan rumah Ichigo tadi malam, dia sepertinya berakhir di tempat
yang tidak diketahui.
“Apa yang kamu lihat di
dekatmu? Apa kamu melihat gedung-gedung tinggi?” Ichigo menanyakan informasi
tentang daerah sekitar dimana Luna berada sekarang.
Dia memintanya untuk menemukan
bangunan atau tanda terdekat dengan nama, dan kemudian mencarinya.
Ichigo menggunakan fungsi peta
di ponselnya untuk mengidentifikasi lokasi.
“Aku sedang dalam perjalanan. Untuk saat ini, jangan pergi kemana-mana dulu.”
[Tapi itu-]
Sebelum dia bisa mengatakan apa-apa
lagi, Ichigo sudah mengemudikan mobilnya.
Sungguh ...
Ia seharusnya melakukan ini
lebih cepat.
(...Apa
yang aku takutkan?)
※※※※※
Ichigo mengemudikan mobil di
bawah batas kecepatan yang diperbolehkan dan menuju tempat yang ditunjukkan
oleh fungsi navigasi di ponselnya.
Dan ternyata tempatnya lumayan
jauh.
Sekali lagi, dia memikirkan
lokasi Luna saat ini dan lokasi di mana dia secara tentatif menetapkan tujuan
yang sangat berjauhan.
“…Seberapa jauh dia berjalan
sejak tadi malam?”
Gigi belakangnya terkatup dan
rasa sakit yang tumpul merembes ke rahangnya. Semakin Ia memikirkannya, semakin
sering pula pikirannya berbisik dan kata-kata itu menjadi semakin keras.
Tentu saja, itu sama sekali
bukan perasaan kesal terhadap Luna.
Tapi melainkan kemarahan
terhadap dirinya sendiri.
Ichigo bertanya-tanya mengapa
dia bertindak tidak seperti biasanya tadi malam.
Kenapa
aku tidak segera mengejarnya?
Kenapa
aku tidak meneleponnya saat itu juga?
Mengapa
aku membuang-buang waktu seperti pergi ke apartemen di pagi hari untuk
memeriksanya, atau mencoba pergi ke sekolahnya lebih dulu?
Ichigo merasa sangat marah pada
dirinya sendiri karena begitu menyedihkan.
Didorong oleh amarahnya, Ichigo
menginjak pedal gas dan terus mengemudikan mobil.
Ia tidak tahu sudah berapa lama
Ia mengemudi.
Jauh dari pusat kota, fasilitas
perkotaan dan pemandangan berangsur-angsur menghilang – Ia akhirnya tiba di
jalan pegunungan yang remang-remang yang tidak dapat diidentifikasi di mana
pun.
Meski hari masih siang, dia
bisa tahu dari dalam mobil bahwa dedaunan yang lebat membuatnya redup seperti
senja dan suasananya basah dan lembap.
Tidak ada satu orang pun yang
terlihat.
Suara kepakan sayap serangga
dan kadang-kadang, seekor binatang buas yang tidak dapat dikenali akan melintas
di depan mobil dengan kecepatan tinggi.
Tempat yang cukup terpencil
dari keramaian.
Itu bukan tempat yang bisa
dicapai oleh seorang gadis SMA dengan berjalan kaki.
(...Mungkin
dia sampai di sini setelah naik beberapa transportasi.)
Ichigo terus mengemudi di sepanjang
jalan pegunungan yang berkelok-kelok, memperkecil jarak dan perkiraan waktu
yang ditampilkan pada peta di layar ponselnya.
Pada akhirnya …
“…Itu dia.”
Mengemudikan mobilnya di
jalanan aspal yang dipenuhi dedaunan dan buah beri, Ichigo menemukan seorang
gadis berjongkok dengan punggung bersandar pada pagar pembatas untuk mencegah
tubuhnya jatuh.
Rambut hitam berkilau itu –
Ichigo tahu kalau gadis tersebut adalah Luna.
Tadi malam, dan pagi ini
seharusnya, Ichigo melihatnya mengenakan seragam yang sudah dikenalnya.
Dia masih berpakaian seperti
kemarin.
Ichigo memperlambat mobilnya
dan berhenti di depannya. Luna menyadari hal ini dan mendongak dengan gusar.
Wajah Luna terlihat pucat. Dia
diselimuti warna tanah dan Ichigo bisa tahu hanya dengan melihatnya bahwa dia
kelelahan baik secara fisik maupun mental.
Tetap saja, usai melihat
wajahnya, Ichigo merasa lega.
Entah bagaimana, Luna berhasil
melindungi dirinya sendiri.
“Kugiyama-san…”
Saat memarkir mobil dan keluar
dari kursi pengemudi, Luna memanggilnya dengan wajah menangis.
Dia memanggilnya dengan nama belakangnya, bukan dengan nama panggilannya yang biasa. Dari situ, Ichigo bisa merasakan jarak di hati mereka, atau lebih tepatnya, dinding di antara mereka. Seperti yang diharapkan Ichigo, dia juga pasti khawatir tentang apa yang terjadi tadi malam.
“…Aku khawatir.” Ichigo berkata
kepada Luna saat Ia memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Kenapa kamu bisa
berakhir di tempat ini?”
“……”
“… Untuk sekarang, ayo masuk ke
mobil.” bujuk Ichigo sambil mengulurkan tangannya.
Perlahan-lahan, Luna meraih
tangannya dan berdiri.
Begitu menempatkannya di kursi
penumpang mobilnya, Ichigo memutar balik dan mulai mengemudi ke arah yang berlawanan
dari tempat Ia datang.
“……”
“……”
Ada keheningan berat di dalam
mobil.
Wajar saja.
Cuma ada mereka berdua di dalam
mobil. Sama halnya di jalanan di sini, hampir tidak ada satu orang pun yang
terlihat.
Hanya ada mereka berdua – Ruang
pribadi mereka sendiri untuk berbagi hubungan rahasia ini.
“Bagaimana kamu bisa sampai di
sini?”
Setelah beberapa saat, Ichigo
memulai percakapan.
“…Aku tidak tahu, aku tidak
ingat sama sekali.”
Luna menjawab dengan pelan.
Suaranya begitu sunyi sehingga Ichigo harus menajamkan telinganya untuk
mendengarnya.
Ichigo bisa melihat betapa
terpukul perasaannya.
“Tadi malam, aku naik kereta,
dan hal berikutnya yang aku tahu, aku berada di kereta terakhir ...”
Apa
ingatannya masih samar-samar? – Ichigo bertanya-tanya apakah
kejutan itu terlalu berat untuknya.
“Setelah aku keluar dari stasiun,
aku tidak tahu jalan, dan tidak ada bus yang berjalan, jadi aku hanya berjalan
ke arah rumahku …”
“……”
Kisah itu membuat punggung
Ichigo merinding. Mau tak mau Ia membuka mulutnya untuk bertanya.
“Apa kamu berjalan sepanjang
jalan setelah keluar dari stasiun? Bagaimana jika ada sesuatu yang terjadi
padamu?”
“……”
Sebagai tanggapan, Luna hanya
terdiam.
Sikap ceria dan riangnya yang
biasa terhadap Ichigo telah hilang.
Ternyata, pikirannya masih
belum stabil.
Tidak ada gunanya memarahinya
dalam keadaan seperti itu, dan sejak awal, Ichigo tidak dalam posisi untuk
menegurnya.
“…Oh.”
Kemudian, dari sudut matanya,
Ichigo melihat sebuah mesin penjual minuman otomatis di sisi jalan.
Waktu
yang tepat – pikirnya sambil menghentikan laju mobil.
"Aku akan segera kembali.”
“Hah…”
Ichigo turun dari mobil dan
membeli café au lait panas dari mesin penjual minuman otomatis. Saat kembali ke
mobil, Ia menyerahkannya kepada Luna.
“Sepertinya, kamu belum makan
atau minum apa-apa sejak tadi malam, kan? Untuk mengganjal perut, ini, Kamu
harus meminum gula. Itu akan menghangatkanmu.”
“……”
Luna mengedipkan matanya dengan
tercengang selama beberapa saat dan menatap café au lait di tangan Ichigo.
“Aku selalu minum café au lait
dari mesin kopi toko saat aku sedang bekerja.”
“…Itadakimasu.”
Dia mengangkat tab penarik dan
mendekatkannya ke bibirnya.
Dengan menyeruput, tenggorokan
Luna bergemuruh, setelah itu, “Hah…” Napas panas keluar darinya.
Kulit pucatnya berubah sedikit
merah seolah-olah kehidupan telah kembali padanya.
“…Terima kasih banyak.”
Dia sepertinya sudah sedikit
tenang.
“Bagus, ayo pulang sekarang.” ucap
Ichigo untuk mengalihkan suasana saat Ia melihat sedikit perubahan Luna.
Sebenarnya, masalahnya tidak
berubah sedikit pun. Itu hanya masalah suasana hati.
“Kamu harus melaporkan alasan
ketidakhadiranmu dan menjelaskannya ke sekolah. Lebih penting lagi, teman
sekelasmu mengkhawatirkanmu.”
“Eh?”
Mengemudi di jalan pegunungan
yang berliku membutuhkan perhatian terus-menerus ke jalan di depan.
Itu sebabnya Ichigo tidak bisa
melihat ke arah Luna.
…Yah, wajar saja untuk tidak
melihat ke samping bahkan selama mengemudi normal.
Tapi bagaimanapun, tanpa
melihat ke belakang pada Luna yang bereaksi dengan terkejut, Ichigo terus
melihat ke depan dan berbicara,
“Pagi ini, aku pergi ke rumahmu
untuk mencarimu, tetapi kamu tidak ada di sana. Setelah itu, aku pergi ke
sekolahmu. Di sana, aku bertemu dengan beberapa teman sekelasmu dan berbicara
dengan mereka.”
“……”
“Sepertinya kamu punya banyak
pengagum. Kamu sangat disukai.”
Ketika Ichigo memujinya, Luna
menundukkan kepalanya. Ekspresinya disembunyikan oleh rambut hitam panjang dan
indah yang tergerai dengan mulus. Ichigo tidak bisa melihat langsung ke arahnya,
tapi dia tidak terlihat tersipu.
“Aku tahu ini hanya penyakit
sementara, tapi aku pikir kamu harus menelepon sekolah dan memberitahu mereka
bahwa kamu tidak enak badan. Jangan khawatir dan yakinlah, aku menggunakan
alasan yang sama untuk menemukanmu hari ini.”
Apa
yang begitu meyakinkan tentang itu? - Ichigo berkata pada dirinya
sendiri, bingung dengan pernyataannya sendiri.
Kemudian …
“…Apa kamu sudah mencariku
selama ini?”
Suara bergumam keluar dari
mulut Luna.
“…Maafkan aku.”
Suaranya bergetar dan Ichigo
bisa melihat air mata jatuh dari sudut mata Luna.
“Kamu tidak perlu meminta maaf…
sejak awal, ini adalah salahku. Kemarin, aku sudah berbicara kasar padamu.”
“…Tidak, ini bukan salahmu,
Kugiyama-san. Tanpa memikirkan Kugiyama-san, aku terus melakukan hal-hal
egois... Aku hanya mendapatkan apa yang pantas kudapatkan.”
“Kugiyama-san.” ucapnya dan
berhenti sejenak.
Lalu,
“Selama ini... rasanya sangat
menyakitkan."
“…Apa?”
“Aku bukan murid teladan. Aku
hanya berpura-pura jadi murid teladan ... Sebenarnya, aku selalu ingin
seseorang memanjakan aku.”
Luna mulai berbicara. Dia
mengakui sifat aslinya. Perasaanya meluap dan dia tidak bisa berhenti.
“Setelah kehilangan ayah, ibu
tidak menerima hak waris atau semacamnya… Semua itu diberikan kepada keluarga
ayah dan para eksekutif di perusahaan. Ibu
hanya mewarisi sebagian dari harta yang dia butuhkan untuk
membesarkanku, dan kemudian dia membesarkanku sendiri.”
“……”
“Setelah kematian ibu, keluarga
ibu menjadi waliku.”
Rumah keluarga ibu – Dengan
kata lain, tempat kelahiran Sakura.
Rumah tempat bisnis keluarganya
dijalankan, yang menyebabkan pernikahan politik Sakura.
Ichigo tidak tahu detailnya,
tetapi Ia yakin kalau mereka menjalankan bisnis memproduksi, memproses, dan
mendistribusikan buah-buahan dan produk pertanian lainnya.
Di masa lalu, penjualan
berjalan dengan baik, jadi mereka memutuskan untuk memperluas bisnis mereka dan
menghabiskan banyak uang untuk periklanan. Namun, rencana tersebut gagal dan
keluarga tersebut berakhir dengan banyak hutang.
“Kakek dari pihak ibu, nenek,
dan kerabat ibuku bukanlah orang jahat… Tapi aku melihat ibu mengalami beberapa
perselisihan tentang fakta bahwa dia hanya mewarisi sebagian dari harta ayah…”
“……”
“Karena aku tidak ingin
merepotkan keluarga ibu, dan supaya aku tidak merasa malu dengan ibu yang sudah
bekerja sangat keras demi aku… Aku memutuskan untuk juga berusaha keras dan
berperan sebagai murid teladan.”
Tapi, itu bukan beban yang bisa
dia pikul sendiri... Itu sebabnya,
“Ayah dan ibu pergi
meninggalkanku, dan aku tidak punya siapa-siapa untuk membuatku terbuka... aku
merasa sangat sendirian.”
Tapi kemudian, suatu hari–
“Aku bertemu Kugiyama-san. Anak
laki-laki yang ibuku ceritakan padaku dalam ingatan masa kecilnya. Aku tertarik
pada Kugiyama-san yang telah menjadi pria ideal bagiku, dan aku mencari tempat
menyendiri dalam dirinya ... Sejujurnya, aku bahkan tidak tahu apa yang aku
lakukan, aku— ”
Luna terisak saat dia dengan
hati-hati menyeka matanya dengan ujung jarinya.
“Aku sudah mengatakan dan
melakukan begitu banyak hal egois sehingga aku hanya membuat masalah bagi Kugiyama-san…
Aku benar-benar minta maaf.”
–Ichigo menghentikan laju mobilnya.
Ia menepi ke sisi jalan dan
kali ini, Ia menatap langsung ke arah Luna yang meminta maaf dengan air mata di
matanya.
“Kugiyama…san?”
“…Jadi begitu rupanya.”
Bahkan dalam penampilan Luna
yang terlihat rapuh, Ichigo juga bisa melihat bayangan Sakura.
“Aku juga punya sesuatu untuk
kuakui padamu.”
Luna memberi tahu Ichigo
bagaimana perasaannya yang sebenarnya.
Kemudian, sekarang gilirannya
untuk angkat bicara.
“Aku dulu mencintai ibumu, Sakura.
Dia adalah cinta pertamaku… Itu fakta yang tidak bisa dibantah.”
“……”
“Ketika aku masih kecil, yang
bisa aku pikirkan hanyalah dia dan apa yang bisa aku lakukan untuk membuatnya
bahagia. Hanya itu yang bisa kupikirkan, bahkan setelah dia menghilang dari
hidupku dan menikah… Mungkin karena dari cara kami berpisah, tapi keberadaan
Sakura masih sangat membekas dalam diriku sejak lama.”
“…….”
“Saat itu, aku bertemu
denganmu. Seorang gadis yang terlihat persis seperti dia, dan mau tak mau aku
jadi melihat bayangan Sakura di dalam dirimu.”
“……”
Luna terus mendengarkan
kata-kata Ichigo dalam diam.
Ichigo mungkin mengatakan
hal-hal buruk padanya.
Tetap saja, Ia merasa bersyukur
pada Luna karena tidak mengatakan apa-apa dan karena mencoba menerima apa yang
Ia coba katakan.
"Aku sudah memikirkannya sedari
dulu. Aku pikir Sakura memiliki semacam penderitaan yang tidak bisa dia
ceritakan kepadaku atau siapa pun. Sama seperti yang kamu rasakan sekarang.”
Itu adalah kisah tentang
bagaimana orang tuanya mengenal satu sama lain. Sesuatu seperti ini, mungkin
kurang perhatian, tapi Ichigo merasa bahwa dia tidak bisa membicarakannya
kecuali di sini dan sekarang – Tidak, Ia tahu pada akhirnya Ia harus
membicarakannya.
“…Aku melihat bayangan Sakura
di dalam dirimu. Dan waktu yang kuhabiskan bersamamu, di satu sisi aku
membencinya, tapi ada juga bagian dari diriku yang menginginkannya. Itu
sebabnya aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian dan mencarimu sampai ke sini.”
Ichigo terus melanjutkan,
“Aku juga tertarik padamu. Itu
fakta yang tak terbantahkan. Jika kamu menikmati menghabiskan waktu bersamaku,
dan merasa terbebas dari penderitaanmu bila saat bersamaku, maka hal itu
menjadi kebahagiaan terbesar bagiku.”
Ichigo mengerti.
Ia memahami apa yang selama ini
Ia takutkan.
Dalam hatinya, Ia masih
menerima kenyataan bahwa Ia berhubungan dengan Luna dan merasa sulit untuk
melepaskannya.
Mendengar pengakuan Ichigo, tatapan
mata Luna melebar dan tak mampu berkata-kata.
Tapi akhirnya, dia bisa
mencerna kata-kata Ichigo dalam pikirannya sendiri.
Di kedalaman matanya yang
lembab, cahaya redup muncul.
Seolah berusaha mati-matian
untuk menekan perasaan yang menggenang dalam dirinya, dia memeluk dadanya
sendiri.
“… Ich—”
“Tetapi …”
Tapi tetap saja,
Ichigo menyela Luna yang akan
berbicara, dan melanjutkan,
“Kita harus memisahkan
idealisme dari kenyataan.”
“……”
Itu sebabnya, semuanya akan baik-baik
saja.
Jika Ia memasrahkan tubuh dan pikirannya, hal yang menunggunya di depan hanyalah keputusasaan dan kehancuran.
Itulah sifat hubungan antara
Ichigo dan Luna.
Ya, Ichigo sendiri sangat
menyadari itu.
Ia memahami itu.
Ia merasa yakin.
Itu sebabnya, Ia harus
mengatakannya.
Ia tidak bisa melibatkan gadis
ini ... Seorang gadis muda, dalam keinginannya.
“Terlebih lagi, aku tertarik
padamu, tapi itu karena aku melihat bayangan Sakura di dalam dirimu. Aku pikir
itu tidak sopan kepadamu yang benar-benar menyukaiku. ”
Karena itu, supaya menjelaskan
status hubungan mereka …
“…Itulah sebabnya, aku tidak
bisa menjadi kekasih yang kamu inginkan.”
“……”
“Mulai sekarang, dengan
mengingat hal itu, mari kita menjalin hubungan yang baik dan sehat.”
Betul sekali.
Ichigo merasa bahwa mereka
seharusnya tidak memiliki hubungan ketergantungan seperti itu.
“……”
“……”
Ichigo mulai menyalakan mobil
yang diparkir, dan sekali lagi, mengemudi tanpa suara di jalan pegunungan yang
remang-remang.
Akhirnya, setelah keluar dari
jalan pegunungan, mereka memasuki area pedesaan yang diterangi oleh sinar
matahari.
Suasana di dalam mobil terasa
sunyi.
Mereka tidak mengatakan sepatah
kata pun, mereka tidak memiliki apa-apa lagi untuk dikatakan.
Dengan Ichigo dan Luna yang di
dalam, mobil terus melaju kencang, kembali ke kota tempat di mana mereka berdua
tinggal.
<<=Sebelumnya |
Daftar isi | Selanjutnya=>>