Chapter 5 — Kencan di Rumah
Saat tidak ada tempat khusus
yang ingin Ia datangi atau ketika tidak punya waktu maupun uang, Ichigo sering
mengunjungi rumah Sakura.
Pada kala itu, keluarga Sakura
cukup kaya dan menjalankan bisnis keluarga. Secara alami, rumah yang mereka
tinggali lumayan besar dan tampak elegan, walaupun itu bukan rumah besar.
Ketika Ichigo menyapa orang
tuanya dengan sopan, mereka menyambutnya dengan tangan terbuka. Mereka sudah
akrab dengannya dan Ia diizinkan naik ke rumah, lalu memasuki kamar Sakura.
Furnitur dan perabotannya
berwarna-warni penuh gaya. Tempat tidur empuk dan boneka binatang di tempat
tidurnya berjejer rapi. Aroma wanginya … Ichigo tidak punya banyak pengalaman
mengunjungi kamar gadis lain, tapi Ia berpikir kamar Sakura tampak biasa saja
untuk gadis seusianya.
Namun, pada saat itu, itu
adalah kamar gadis yang disukai Ichigo. Kamar tersebut tampak seperti ruang
suci.
Di kamar itu, Ichigo mengingat
kkalau dirinya dan Sakura sering bermain game bersama, membaca manga yang
dibawakan Ichigo, dan terkadang Sakura bahkan mengajarinya cara belajar.
–Di
sisi lain, Ichigo tidak pernah menyambut Sakura ke rumahnya.
Ia tidak pernah meminta Sakura
untuk datang ke rumahnya.
...Ada banyak hal yang
memalukan, misalnya seperti fakta bahwa rumah yang dia tinggali dan rumah
Ichigo berada pada level yang sama sekali berbeda.
Dan Ichigo yakin Sakura
mengerti ini.
Ketika Ichigo ingin pergi
mengunjungi rumahnya, dia menerimanya tanpa rasa enggan, dan sebaliknya, Sakura
tidak pernah memaksa dirinya untuk pergi ke rumah Ichigo.
Walaupun
dia masih gadis kecil pada usia itu, dia penuh perhatian dan kebaikan – pikir
Ichigo dalam hati.
Akhir-akhir ini, mungkin karena
pengaruh bertemu dengan Luna, Ichigo jadi sering mengingat kembali kenangan
lamanya bersama Sakura.
Ichigo merasa sadar untuk
menjadi orang yang spesial bagi Sakura, dan Sakura memperlakukan Ichigo
seolah-olah dia adalah seorang gadis yang lebih tua dengan banyak waktu luang.
Sakura selalu baik dan menerima
tindakan Ichigo tanpa ada penyangkalan. Dia juga memuji ide Ichigo tanpa melontarkan
komentar negatif.
Mana ada cowok yang tidak bersemangat
ketika orang yang Ia cintai melakukan itu padanya.
Saat Ichigo memikirkannya
kembali lagi, Ia dengan jujur menyadari kalau dirinya
terlalu terbawa suasana dalam banyak aspek pada saat itu.
Bisa dibilang Ichigo sedang
bersemangat.
Saat mengingat kenangan itu, ada
beberapa yang membuat Ichigo ingin mennggedorkan kepalanya di tembok.
Namun, itu menandakan kalau
dirinya merasa nyaman dengan Sakura, bahkan sampai dia melupakan dirinya yang
normal dan terbawa suasana.
…Tapi itu cuma untuk Ichigo.
Bagaimana dengan Sakura sendiri?
Ichigo mengira kalau Ia bisa
menghiburnya, tapi Ia tidak bisa mengingat apapun yang akan membuatnya yakin akan
hal itu.
Pada masa itu, Ichigo sudah
seperti adik bagi Sakura. Ia berasumsi kalau Sakura hanya menganggapnya sampai
sebatas itu.
Jadi ketika Ichigo bertemu
Luna, dan dia mulai mengejarnya, Ichigo merasa bahwa dia bisa membuat Sakura sadar
kalau dirinya seorang pria di masa itu.
Sekarang, ketika Luna datang
untuk Ichigo dan ketika dia mengatakan bahwa dia menikmati waktu yang mereka
habiskan bersama, Ichigo merasa agak puas.
Namun pada saat yang sama, Ia merasakan
rasa frustrasi serta bersalah yang tidak dapat dijelaskan – Tidak, Ia bahkan
akan menyebutnya krisis.
Seandainya Ia sampai melewati
batas, itu akan menjadi kesalahan yang tidak dapat diubahnya–—
※※※※※
“…Tidak ada program khusus,
ya?”
Hari ini adalah hari libur.
Di ruang tamu apartemen
perusahaan yang merupakan tempat tinggalnya, Ichigo bersantai malas-malasan dengan
menyalakan TV sambil duduk di sofa.
Namun, bukan berarti Ia
menghabiskan waktunya secara asal-asalan.
Sore hari adalah waktu di mana
banyak acara dan program berita ditayangkan di TV. Program tersebut
kadang-kadang memiliki segmen khusus, seperti 'Cara Menghemat Uang Sebagai Ibu Rumah Tangga', 'Rencana Renovasi Interior yang Mudah',
dan 'Barang Praktis untuk Bertahan di Era
Work-At-Home.'
Pengaruh televisi masih luar
biasa. Jumlah pertanyaan dan penjualan produk yang ditampilkan dalam program TV
akan meningkat secara nyata. Inilah sebabnya sangat penting untuk memeriksanya.
Tidak ada pekerjaan mendesak
yang harus dilakukan, dan Ichigo tidak memiliki apapun untuk dilakukan dalam
kehidupan pribadinya. Jadi hari ini, Ichigo menghabiskan hari di rumah seperti
itu, sibuk dengan tugas manajernya.
...Selain itu, Ichigo telah
menghadapi beberapa masalah sulit belakangan ini.
Terkadang, manusia hanya perlu
menghabiskan hari seperti ini untuk menyegarkan diri.
Dan pada saa itulah terjadi.
"Ding-dong" Bel
pintu berdering tiba-tiba.
“Hmm? Tukang antar paket?”
Ichigo tidak punya janji khusus
untuk pengunjung. Jika demikian, satu-satunya orang yang akan mengunjungi rumah
seorang pria adalah tukang antar paket, kolektor tagihan TV, dan sisanya
adalah... tukang sales dari pintu ke pintu.
Ichigo bangkit dari sofa dan
melihat ke kamera untuk pintu depan yang dipasang di dekat pintu masuk ruang
tamunya.
Di kamera, Ia melihat Luna
dengan wajah tersenyum dan kepala dimiringkan.
“…Hei, tunggu sebentar!”
Setelah beberapa saat tertegun,
Ia menjerit dari lubuk hatinya.
Dengan ekspresi tidak sabar di
wajahnya, Ichigo bergegas ke pintu depan dan membukanya dengan cepat.
Dan di sana, Luna berdiri
dengan seragam sekolahnya.
Pintu dibuka dengan kecepatan
sedemikian rupa sehingga tampak seperti terbanting dari dalam. Mau tak mau Luna
pun terlihat terkejut.
“… Luna-san.”
“Aku sudah menyuruhmu berhenti
memanggilku seperti itu.”
Namun, dia segera kembali ke
nada suaranya yang biasa ketika dia melihat tatapan tidak sabar pada Ichigo dan
berkomentar sambil berdeham.
“Seragam… Bagaimana dengan
sekolahmu?”
“Jam pelajaranku baru selesai
hari ini. Jadi aku baru saja pulang dari sekolah.”
Tidak, ada sesuatu yang harus
ditanyakan Ichigo sebelum itu.
Ichigo menghela napas
dalam-dalam “Hah...”, menenangkan napasnya, dan bertanya lagi pada Luna.
“Bagaimana kamu bisa mengetahui
di mana aku tinggal?”
Mana
mungkin aku menyerahkan alamat rumahku ketika aku mabuk di rumahnya, ‘kan? Ketika
memikirkan hal ini, Ichigo menjadi takut akan bahaya dan kurangnya
kehati-hatiannya saat Ia mabuk.
“Hahaha, bukan itu.” Namun,
Luna membantahnya sambil tersenyum. Seolah-olah dia menikmati setiap reaksi
yang dibuat Ichigo. “Sebenarnya, aku pergi ke toko Ichi sekitar jam makan siang
hari ini.”
“Apa kamu menyelinap keluar
dari jam istirahat makan siangmu lagi?”
“Ya, untuk mengantarkan makan
siangmu. Kamu tahu, terakhir kali aku membuatkanmu makan siang dan membawanya
kepada Kamu, Kamu bilang kalau rasanya itu enak.”
Kejadian itu sehari setelah
Ichigo pertama kali bertemu dengannya. Hal itu membawa kembali kenangan saat
dia tiba-tiba muncul untuk mengantarkannya kotak makan siang.
Dalam perjalanan pulang pada
hari itu, ketika Ichigo mengembalikan kotak makan siang kepada gadis yang telah
menunggunya di belakang toko, Ia ingat pernah mengobrol dengannya.
“Saat itu, aku bilang kalau ‘Aku akan membuatnya lagi,’ bukan? Jadi
aku akan menepati janji itu.”
“……”
“Tetapi ketika aku pergi ke
toko, mereka memberi tahuku kalau Ichi tidak bekerja. Kemudian, aku bertemu
Sonozaki-san, bibi paruh waktu yang bekerja di toko, dan mengobrol sebentar.
Dia memberiku alamat rumah Ichi. Itu sebabnya aku bisa mengunjungimu di sini. ”
“……”
Ya
ampun - pikir Ichigo dalam hati. Kali ini dengan cara yang sama
sekali berbeda dari sebelumnya.
Memberikan informasi pribadi
kepada orang lain tanpa alasan serius terkait pekerjaan… Mungkin mereka perlu
kembali dan mendidik diri mereka sendiri secara menyeluruh tentang kepatuhan
sebagai pekerja perusahaan.
Sementara Ichigo merasakan
perutnya sakit bersama dengan kepalanya,“Heh…
Ini akan menyenangkan. Ini seperti kencan rumah.” Luna menggumamkan kalimat
yang seperti itu.
“Kencan rumah…”
Ichigo, yang tidak terbiasa
dengan istilah asing tersebut, menghela nafas lelah. Ia bisa merasakan kalau
Luna tidak keberatan dengan itu, dan dia memiliki aura khas masa muda. Tentunya
bukan dalam artian yang buruk.
Tapi tempo hari, Ichigo sudah
memberitahu Luna bahwa dia tidak boleh datang ke rumahnya…
“Eh, tunggu, tunggu. Aku tidak
datang ke sini hanya untuk bersenang-senang.”
Melihat Ichigo dengan suasana
suram, dia pasti mengira dia telah membuatnya kesal. Luna terburu-buru berkata
"Ta-da," sambil menunjukkan kantong plastik dari supermarket di
tangannya.
Melihat ukurannya, Ichigo dapat
melihat bahwa dia telah membeli cukup banyak makanan.
“Untuk makan malam, aku akan
menyajikan makanan buatanku.”
“Buatan sendiri…”
“Aku tidak bisa memberimu makan
siang, jadi ini sebagai imbalan atas janjinya.” Luna berbicara dengan penuh semangat.
Karena dia merasa senang dan
ingin memuaskan Ichigo, Luna dengan sukarela datang jauh-jauh ke rumah Ichigo.
Perasaan ini disampaikan dengan sangat jujur dalam
suara dan sikapnya.
Polos
dan terus terang, Ichigo pikir dia imut. Selain itu, seorang
gadis yang tampak persis seperti cinta pertamanya, dengan semua kemiripannya
sejak saat itu, memperlakukannya dengan penuh kasih sayang.
Cinta, rasa ketidaknyataan yang
menggairahkan, serta imoralitas yang menjangkau dan menyentuh sesuatu di dalam
diri Ichigo yang melampaui etika dan kesalahan.
Ia tidak enggan menerima
permintaannya, tetapi ada juga garis yang tidak boleh Ia lewati.
Semua emosi ini bercampur aduk,
mengganggu dan menggerogoti pikiran Ichigo.
“Hei, Ichi. Bukankah sudah
waktunya kamu mengizinkanku masuk ke rumahmu?”
Dengan itu, kesadaran Ichigo
dibawa kembali ke masa sekarang.
Sambil mengayunkan koper di
tangannya, Luna menggembungkan pipinya dan menatapnya.
“……”
Seperti yang diharapkan, mana
mungkin Ia membiarkan seorang gadis SMA masuk ke perumahan perusahaan. Bahkan
asrama sewaan sangat ketat sehingga ada hukuman untuk membiarkan orang asing
masuk ke rumah tanpa alasan yang sah. Bukannya berarti ada kamera CCTV yang
terpasang di sana, tapi jika perusahaan mengetahuinya…
“Tas kresek ini berat. Lagi
pula, jika aku tidak segera memasukkannya ke dalam kulkas, bahan makanannya
akan rusak, jadi ayo cepat, cepatlah.”
“Tapi …”
Ichigo merasa tertekan dan
mengerang, kemudian dalam jeda sesaat itu …
“Kamu lengah!”
Semuanya benar-benar terjadi
dalam sekejap mata. Seperti pemain bola basket yang merunduk melewati
pertahanan musuh, Luna bergerak cepat untuk melewati Ichigo.
Dia dengan cepat berjalan ke
pintu depan dan melepas sepatunya. Kemudian, dia berbalik dan tersenyum nakal.
Melihat wajah Luna yang sperti
itu, Ichigo menghela nafas.
(...Wajahnya,
suaranya, segala sesuatu tentang dia terlihat sama.)
Tapi tindakan semacam ini tidaklah
sama.
…Tidak,
aku hanya tidak tahu itu. Mungkin dia seperti ini pada pria yang lebih tua – Ichigo
memikirkan ini dalam benaknya.
Merasa sedikit sedih, Ichigo
menutup pintu depan sebelum ada yang bisa melihat Luna.
※※※※※
“Wah, luas sekali!”
Begitu mereka memasuki ruang
tamu, Luna bereaksi berlebihan. Tentu, itu lebih besar dari kamar tempat dia
tinggal sendirian, tapi Ichigo, yang mengikutinya masuk, bertanya-tanya apakah
itu sepadan dengan kegembiraannya.
“Apa itu dapurnya? Aku akan
menaruh bahan makanannya di dalam kulkas”
Tepat di sebelah ruang tamu,
ada dapur sistem yang terpasang.
Luna bertanya sambil menunjuk
kulkas dan mengangkat kantong plastik di tangannya.
Ichigo tidak punya pilihan
selain pasrah pada kenyataan bahwa dia akan melakukan apapun yang dia inginkan.
“Hah~~ terserah. Ini adalah
kulkas besar yang disertakan dengan rumah, jadi tidak banyak barang di
dalamnya. Kulkas dan kompartemen sayuran pada dasarnya kosong. Aku pikir itu
akan masuk tanpa masalah. ”
Ketika Ichigo mengatakan itu,
Luna bergumam, “Heh,” dan mulai berlarian di sekitar ruang tamu lagi.
Katanya
kamu akan menaruh bahan makanan ke dalam kulkas? –
pikir Ichigo.
“Hmm, sekali lagi… Luar biasa,
Ichi. Sepertinya kamu adalah kepala keluarga. ”
Rupanya, dia sekali lagi
terkesan dengan kenyataan bahwa dia tinggal sendirian di ruang apartemen seperti
itu.
Luna mengalihkan pandangannya
yang berbinar pada Ichigo.
Ichigo menyandarkan tubuhnya ke
dinding dekat pintu masuk ke ruang tamu, dan ketika Luna menatapnya seperti
itu, Ia dengan canggung memalingkan muka.
“Awalnya, ruangan selevel ini
merupakan tunjangan yang bisa disewa oleh karyawan yang sudah berkeluarga. Aku
sebenarnya tidakmemenuhi syarat tetapi perusahaan memaksaku untuk menempatinya…
Manajer regional merasa geli dengan masalah tersebut, dan perusahaan tampaknya
menyetujuinya sebagai cara untuk memotivasi karyawan… Sejujurnya, ini terlalu
besar bagiku untuk hidup sendiri.”
Itulah perasaan Ichigo yang
sebenarnya.
Saat ini, ada beberapa ruangan
yang tidak a gunakan.
Bahkan di ruang tamu,
interiornya hanya sebatas sofa, meja, dan TV yang terpasang di dinding.
Satu-satunya hal lain yang dimiliki Ichigo hanyalah laptop yang dia gunakan
untuk bekerja. Ruangan apartemen itu terlalu luas untuknya.
Usai mendengar kata-kata
Ichigo, Luna hanya membalas, “Hmm,” terdengar sedikit terkejut.
“Begitu ya… Tapi itu tetap
menakjubkan. Bukannya itu menunjukkan seberapa tinggi mereka menghargai mu. ”
Saat itulah dia melihat
wajahnya tampak kepikiran sesuatu.
(...Dia
pasti memikirkan sesuatu yang aneh-aneh lagi.)
Ichigo berharap kalau itu bukan
sesuatu yang terlalu mengerikan, tapi sayangnya... Keinginannya itu tidak
dikabulkan.
“Nee, Ichi. Jika rumahmu
terlalu besar dan kamu merasa kesepian, bolehkah aku tinggal bersamamu?”
“…Aku tidak pernah bilang kalau
aku merasa kesepian.” Ichigo menjawab dengan tatapan tercengang pada Luna yang
telah datang dengan ide yang keterlaluan. “Dilarang tinggal dengan anggota
non-keluarga. Bahkan dilarang untuk memungut dan memelihara anjing liar. Tapi
lebih dari itu, membiarkan gadis di bawah umur masuk ke rumahmu sudah merupakan
ide yang buruk.”
“Aku cuma bercanda kok. Kamu
tidak perlu bilang sampai segitunya.” Wajah Luna cemberut saat dia mengeluarkan
“Mhmm ...”
Berpikir bahwa ini mungkin
kesempatan yang sempurna, Ichigo terus berbicara.
“Luna-san, seperti yang sudah
kukatakan berkali-kali sebelumnya, hubungan kita—”
“Ya, ya, dan ini, ambil ini.”
Kemudian, Luna menyodorkan
kantong plastik berisi bahan makanan ke arah Ichigo.
“Eh?”
“Masukkan ke dalam kulkas. Aku
mau berkeliling rumah dulu.”
“…Tidak, tunggu, apa?”
Sebelum Ia bisa berkata apa-apa,
Luna sudah menekan kantong plastik ke dada Ichigo dan berlari keluar dari ruang
tamu ke arah lorong secepat angin.
Luna sangat senang berada di
rumahnya karena dia ingin bersenang-senang dan memasak untuknya, namun, Ichigo
terlalu keras padanya. Seolah-olah dia mencoba meredam kegembiraannya.
Ichigo bertanya-tanya apakah
dia telah membuatnya merajuk.
Dia tampak seperti anak kecil.
Tidak, sebenarnya, dia memang masih kecil.
“Hei, jangan terlalu banyak
menyentuh barang, oke?” Ichigo berteriak ke ujung lorong dan menuju dapur
sambil membawa bahan-bahan di tangannya.
Karena tidak bisa bersikap
kasar atau keras kepada Luna, Ichigo merasa kalau dirinya sangat naif. Karena
sifat naif dari masalah ini, Ia tidak dapat menangani gambaran yang lebih
besar. Namun, di suatu tempat jauh di lubuk hatinya, Ia ingin menghabiskan
hari-harinya bersamanya.
Mantan cinta pertamanya… Tidak.
Ichigo merasa sulit untuk melepaskan hari-harinya bersama Luna yang sepertinya
sedang mengulang cinta pertamanya.
(...Aku
ingin tahu apa aku cuma berkemauan lemah daripada naif.)
Sambil menghela nafas, Ichigo
memasukkan bahan-bahan itu ke dalam kulkas.
“Ups, bukan yang ini.” ujarnya
sambil meletakkan kantong mie pasta kering di wastafel.
Entah bagaimana, Ichigo
mengaitkan bahan-bahannya dengan apa yang akan dia buat. Dia memilih cumi-cumi,
udang, dan kerang… Banyak makanan laut. Dengan pasta dari sebelumnya, dia
mungkin berniat membuat spageti seafood.
“…Baiklah.”
Saat sedang memikirkan menu makan
malam, Ichigo selesai menyimpan bahan-bahan dan menutup pintu kulkas.
Ia kembali lagi ke ruang tamu,
tetapi Luna belum kembali.
“Hei, mau sampai seberapa jauh
kamu pergi?”
Namun, tidak ada tanda-tanda
keberisikan dia ketimbang sebelumnya.
Jangan-jangan
… apa dia naik ke atas? Tapi sebenarnya tidak ada apa-apa di lantai atas –
pikir Ichigo dalam benaknya.
“Astaga ... Kamu itu sudah
bukan anak SD, tau.” Ichigo bergumam pada dirinya sendiri dengan sedikit
terperangah dan berbalik untuk mencarinya.
Kemudian …
“Ichi.”
Dia mendengar suara datang dari
lorong. Anehnya, jaraknya sangat dekat.
"Oh, kamu masih di bawah
..."
“Ta-da!”
Pada saat itu … dari arah
lorong, Luna muncul di pintu masuk ruang tamu.
“Hei…”
Dia melompat dan muncul, lalu
mata Ichigo melebar ketika dia melihat pakaiannya.
Luna mengenakan seragam
department store tempat Ichigo bekerja – Seragam untuk karyawan wanita paruh
waktu.
Dia berganti menjadi kemeja
musim panas yang ringan dan celana jeans yang terbuat dari bahan khusus dengan
elastisitas tinggi di bawahnya. Dia berpakaian dengan disiplin baik atas maupun
bawah.
Rambutnya juga diikat,
memberinya tampilan aktif dan kekanak-kanakan yang berbeda dari pakaiannya yang
rapi dan berkelas.
Hatinya hampir bergetar melihat
perbedaan di antara penampilan biasanya... Tapi tentu saja, bukan itu
masalahnya.
“Bagaimana penampilanku?”
“… Dari mana kamu mendapatkan
itu?”
Itu adalah seragam pegawai
wanita yang dibawa pulang oleh Ichigo… Untuk menghindari kesalahpahaman, tidak,
Ichigo tidak membawanya pulang sebagai bagian dari hobinya.
Salah satu pekerja paruh waktu
telah mengembalikannya ketika dia berhenti, dan Ichigo secara tidak sengaja
menumpahkan kopi di atas bajunya. Meski Ichigo bisa saja meminta perusahaan
pembersih yang dikontrak oleh toko untuk membersihkannya, Ia merasa tidak
nyaman karena suatu alasan sehingga Ia membawanya pulang untuk mencucinya
sendiri.
Seragam itu sudah dicuci,
dikeringkan dan siap untuk dibawa ke toko besok, jadi Ichigo meletakkannya di
tempat yang bisa dilihatnya.
“Hehehe, ini cosplay. Bagaimana
menurutmu? Apa ini imut?”
“……”
Dengan nada santai, Luna
memamerkan pakaiannya.
Sayangnya, Ichigo tidak bisa langsung menanggapinya karena Ia sangat terkejut.
Ichigo membenci kebodohan dan
kejujurannya sendiri.
“Bagaimana? Pak Manajer, aku
mohon bimbingannya hari ini!”
“……”
Luna menyapa Ichigo dengan
riang seraya mendekatinya. Dia menundukkan kepalanya dan berbicara dengan
ekspresi ceria yang menyegarkan layaknya langit biru yang cerah.
Itu adalah tampilan yang bahkan
takkan pernah dipakai Sakura, dan yang hanya bisa dilihat Ichigo karena dia
adalah Luna.
Di hadapan pemandangan seperti
itu, Ichigo menjadi gelisah.
Namun, tak memedulikan konflik
batin Ichigo, Luna terus menerus menyerang tanpa henti.
“Tentang apa yang baru saja aku
bilang, bagaimana menurutmu?”
“Apanya?”
“Tentang aku yang tinggal di
sini.”
Ekspresi dan tatapan matanya
terlihat serius. Dia sepertinya sedang tidak bercanda. Hal tersebut
mengingatkan Ichigo pada percakapan mereka malam itu.
Belakangan
ini… Kata-kata dan tindakannya semakin menjadi-jadi – pikir
Ichigo saat mengingat malam itu.
“Aku serius. Aku akan memasak,
mencuci, dan pekerjaan rumah lainnya. Seperti yang sudah pernah aku bilang
sebelumnya, aku akan berusaha untuk tidak mengganggu Ichi dengan hal-hal lain
juga.”
Ichigo memperhatikan bahwa pipi
Luna sedikit memerah. Bila dilihat-lihat lebih dekat lagi, Ia bahkan bisa
melihat butiran keringat di dahinya.
Apa
dia merasa gugup? Tidak, bukan itu. Dia benar-benar, sangat, sangat serius –
Ichigo berkata pada dirinya sendiri.
Dia bisa merasakan antusiasme
yang begitu kuat sampai-sampai hampir terasa berbahaya.
“Istri gadis SMA … Ah, hal
seperti itu akan menyenangkan, bukan?”
“…Cepat, ganti seragam itu.”
Kemudian, pikiran Ichigo
akhirnya mulai bergerak. Sebaliknya, setelah mendengar kata-kata Luna yang
terlalu blak-blakan, hal itu membantunya mendapatkan kembali ketenangannya.
Dalam upaya untuk terdengar
serius, Ichigo mengatakan dengan jelas bahwa dia tidak tertarik.
Ichigo telah memiliki firasat
tentang hal ini untuk sementara waktu sekarang. Pendekatan Luna semakin hari
semakin ekstrem.
Ia harus berhati-hati.
“…Baiklah aku mengerti.” Luna
menanggapi dengan tatapan yang sedikit sedih dan cemberut.
Kemudian, dia melepas
pakaiannya di tempat.
“Bukan di sini!”
Ichigo mencoba menghentikannya
dengan panik, tapi Luna dengan cepat melepas bagian atasnya, dan kemudian
bagian bawahnya… Ichigo tidak bisa menyentuh tubuhnya, jadi Ia tidak punya
pilihan lain selain membalikkan badannya.
“Ini bukan hal yang seharusnya
dilakukan gadis seusiamu.” Pada akhirnya, Ichigo mengatakan ini seolah-olah ini
adalah kalimat yang baru Ia pikirkan.
Ia terdengar seperti Om-Om.
Tidak, secara umum, umur dua puluh delapan tahun mungkin sudah termasuk dalam
kategori Om-Om.
“Oke, kamu boleh melihat
sekarang, Ichi.”
Suara Luna terdengar dari
belakang punggungnya, dan Ichigo berbalik ketakutan.
Di sana, Luna berdiri dengan aman mengenakan seragam
SMA aslinya. Menilai dari fakta bahwa dia mengganti pakaiannya agak cepat, dia
mungkin sudah menyiapkan seragamnya di lorong.
“Tapi Ichi, dilihat dari
reaksimu barusan berarti kamu menjadi sedikit lebih perhatian padaku.”
“Apa yang kamu katakan…”
Wajah Luna masih memerah, dan
semangatnya belum mendingin.
Di ruang tamu yang hening, Luna
mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke Ichigo.
“Nee Ichi, apa pendapatmu
tentangku? Apa aku imut? Apa aku menggairahkanmu? ” Dia melanjutkan dengan
kata-kata yang cukup berani.
Luna tampak tidak sabar
seolah-olah dia tidak bisa mengendalikan emosinya sendiri yang berdenyut.
“Apa kamu pikir aku semanis ...
Tidak. Apa kamu berpikir kalau aku lebih manis dari ibu?”
“…Jangan mengatakan hal semacam
itu.”
Dengan erat, Ichigo menggigit
bibirnya sendiri. Dia tidak percaya Luna begitu santai menyebut nama Sakura di
saat seperti ini...
Apa
Luna tidak peduli? Apa dia tidak menganggap kematian ibunya sebagai hal yang
menyakitkan? Padahal aku selalu khawatir untuk membicarakannya –
pikir Ichigo dalam hati.
Ichigo merasa seperti orang
bodoh karena memikirkan sesuatu yang tidak berarti, dan merasa seperti sedang
dihina oleh Sakura. Perasaan campur aduk tersebut dan membuat otaknya mati
rasa.
“Kenapa aku harus peduli? Ibu sudah
tidak ada di sini lagi, ingat?”
–Perkataan
yang keluar dari mulut Luna memotong alur penalaran Ichigo.
“CUKUP!!”
Teriakan itu hampir seperti
raungan.
Tangannya terulur mendorong
tubuh Luna menjauh darinya saat dia mendekat. Tubuh kecilnya terbang seperti
selembar kertas dan jatuh terduduk di atas sofa.
“Aku sudah memberitahumu
berkali-kali sebelumnya, kamu itu masih SMA, yang mana artinya kamu masih di
bawah umur. Sangat mustahil aku bisa mempunyai jenis hubungan seperti yang kamu
inginkan. ”
Ichigo mengatakannya begitu
jelas kepada Luna yang menatapnya dengan ekspresi terkejut. Dia berbicara
dengan suara kejam yang tanpa rasa manis dan penyesalan yang sudah lama ada di
benaknya.
“Jangan salah sangka.”
Itu bukan persuasi atau penjelasan.
Ini hanyalah teguran.
Itu adalah keinginan penolakan.
Merasa kalau dirinya
menggunakan beberapa kata yang kasar, rasa penyesalan juga muncul di benak
Ichigo.
Tapi Ia harus mengatakannya.
Ichigo perlu mengambil tindakan
di sini sebelum hubungan mereka semakin jauh.
“Ini tidak benar. Jangan
lakukan ini lagi.”
Dengan pernyataan terakhir itu,
Ichigo menutup mulutnya.
Waktu seakan-akan telah
berhenti.
Hanya suasana sunyi dan berat
yang memenuhi ruang tamu.
“Ah…”
Akhirnya, Luna yang tampak
linglung, berdiri seolah-olah dia sudah sadar kembali.
Luna menatapnya, tapi sedangkan
Ichigo, membalas tajam tatapannya yang melekat.
Seolah-olah meninggalkannya,
seolah-olah Ia sedang menjauhkannya.
Dia pasti akhirnya menerima
pernyataan Ichigo.
Luna buru-buru menutupi
wajahnya.
Di sudut matanya, Ichigo bisa
melihat butiran air mata mengalir.
Kemudian, dalam keadaan
terpukul, Luna segera meninggalkan rumah Ichigo seolah-olah ingin melarikan
diri darinya.