Prolog — Keluarga Suou
Terdapat rumah mewah yang
terletak di “area perumahan elit” dimana rumah-rumah besar lain saling
berjejeran.
Rumah bergaya Barat dengan
taman yang tertata rapi itu memberikan nuansa bersejarah. Dibandingkan dengan
rumah-rumah lain di sekitarnya, bangunan megah yang menonjol ini merupakan
kediaman dari keluarga Suou, keluarga terpandang yang memiliki sejarah ratusan
tahun.
Di dalam salah satu ruangan
bangunan itu, tiga anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut sedang menyantap
makan malam. Meja panjang di ruangan yang luas dengan suasana elegan dan tenang.
Orang
yang duduk di kursi paling ujung dengan punggung menghadap perapian adalah kepala
keluarga Suou saat ini, Suou Gensei.
Meski Ia sudah berusia 69 tahun,
tapi tubuhnya yang begitu kokoh, tidak terlihat lemah seiring bertambahnya
usia, dan dipadukan dengan punggungnya yang tegak, Ia memancarkan aura
berwibawa. Keriput di wajahnya memberi kesan bermartabat, dan tidak menunjukkan
kelemahan apapun. Ia mirip seperti pohon besar yang bertahan melalui berbagai
cobaan terpaan angin kencang dan hujan.
Dan orang yang duduk
berdampingan di hadapan Gensei adalah putrinya, Suou Yumi, dan cucunya, Suou
Yuki. Mereka berdua sepasang ibu dan anak yang sangat mirip, kecuali ada
perbedaan besar dalam tinggi dan gaya mereka. Bila Yuki terus bertambah dewasa,
dia akan terlihat mirip seperti Ibunya. Satu-satunya yang membedakan hanyalah
bagian mata. Sedangkan bagian hidung, wajah, dan konturnya, mereka berdua
terlihat sama persis.
Tidak seperti Yuki, ibunya,
Yumi, memiliki mata sayu dan tahi lalat di bawah mata kanannya. Pandangan mata
dan ekspresinya yang agak murung memberinya kesan pemalu yang kontras dengan
ayahnya, Suou Gensei.
“... Beberapa hari yang lalu, sepertinya
ada Rapat Umum Siswa, ya.”
Saat mereka sudah mencicipi
beberapa hidangan sampai batas tertentu, Gensei memulai pembicaraan.
“Aku mendengar bahwa pesertanya
adalah Masachika dan putri dari Taniyama Heavy
Industries.”
“Benar. Walau lebih tepatnya,
Onii-sama menjadi asisten dari Kujou-san.”
Yuki berusaha mengoreksinya
untuk berjaga-jaga, seraya berpikir bahwa informasi tersebut seharusnya sudah
diberitahukan kepada kakeknya dari Ayano yang sedang berdiri di belakangnya. Tapi
seperti yang sudah diduga, kakeknya tidak tertarik dengan informasi sepele
semacam itu dan hanya mendengus.
“Di SMP, aku pikir dia itu
orangnya seperti apa karena dia merupakan satu-satunya orang yang melawanmu
sampai akhir … tapi aku mendengar kalau dia melarikan diri di tengah-tengah
jalannya perdebatan.”
“Iya, itu benar. Pasti ada
suatu keadaan yang membuatnya begitu.”
“Hmmp! Apapun alasannya,
hasilnya justru membuat Masachika menjadi kandidat favorit sebagai calon Ketua
OSIS tahun mendatang.”
Ia meneguk habis minumannya
dengan kesal dan meletakkan gelas kosong itu di atas meja. Nenek Ayano yang
berdiri di belakangnya langsung menuangkan wine ke dalam gelas kosong. Sembari
menunggu, Gensei mengalihkan pandangannya ke arah Yuki.
“Camkan ini baik-baik. Tidak
peduli siapa lawanmu, kamu tidak boleh kalah. Kamu harus menjadi Ketua OSIS
dari Seirei Gakuen.”
“Saya sangat memahaminya.
Ojii-sama.”
“Dalam masalah bakat, kamu memang
bukan tandingan Masachika. Tapi kamu mengetahui tanggung jawab dari orang yang
berbakat. Perihal masalah itu, Masachika tidak bisa memahami hal tersebut.
Meski Ia mempunyai bakat terbaik dan diberkati dengan lingkungan yang istimewa,
Ia justru meninggalkannya.”
Saat Gensei mengatakan ini
dengan getir, Yumi dengan lembut menurunkan tatapan matanya.
“Ingat baik-baik. Dunia ini
tidak setara. Kekayaan, lingkungan keluarga, penampilan, dan bakat. Ada
pembagian yang jelas antara mereka yang dilahirkan dengan faktor itu dengan
mereka yang tidak memilikinya. Yuki, kamu dilahirkan sebagai pemilik dari semua
aspek itu. Oleh karena itu, kamu harus memberi kontribusi kepada dunia dengan
apa yang kamu miliki. Itulah tanggung jawab dari orang yang diberkati.”
Itulah ajaran yang telah ditanamkan
kepada Yuki dan kakaknya sejak kecil. Itu adalah nilai mutlak dari Suou Gensei.
“Kamu tahu betul bahwa mereka
yang berbakat tapi membiarkannya membusuk tanpa memanfaatkannya merupakan
sebuah dosa. Mereka yang memiliki bakat memiliki tanggung jawab untuk
menggunakannya demi kebaikan dunia. Kamu tidak boleh kalah dari pria yang
meninggalkan tanggung jawab itu. Kamu mengerti ‘kan, Yuki.”
Hati Yuki bergejolak terhadap
kata-kata kasar yang diarahkan kepada kakak kesayangannya itu. Namun, Yuki
masih memasang senyum lembut di wajahnya tanpa mengungkapkan perasaan batinnya.
“Saya mengerti, Ojii-sama”
Ya, dia hanya bisa mengangguk
pelan pada ucapan kakeknya.
◇ ◇ ◇ ◇
“Yuki-san”
“?? Okaa-sama?”
Ketika dia selesai makan dan
hendak kembali ke kamarnya, ibunya tiba-tiba memanggil, dan Yuki berbalik
dengan penuh rasa terkejut.
“Apa ada yang ingin Okaa-sama
bicarakan dengan saya?”
“.....”
Saat Yuki bertanya apa yang dia
inginkan, Ibunya hanya tertunduk dan terdiam beberapa saat. Namun, setelah
menunggu dengan sabar, Ibunya tiba-tiba mendongakkan kepalanya.
“Aku ingin tahu …. apa kamu
berhubungan rukun dengan Masachika-san ...?”
“Iya, tentu saja”
“...Begitu”
Yumi mengangguk pelan sambil mengalihkan
pandangannya dari putrinya yang menjawab dengan senyum cerah.
“Umm, memangnya ada apa dengan
Onii-sama?”
“Tidak, bukan apa-apa ....
Setelah ini, kamu ada les bahasa Cina, ‘kan?”
“Iya, lewat online.”
“Begitu... lakukan lah yang
terbaik”
“Iya”
Yuki membungkuk indah dan pergi
menuju kamarnya bersama Ayano. Yumi terus menatap punggung putrinya dengan diam.
“Fu...”
Setelah sampai di kamarnya
sendiri, dia menutup pintu kamarnya dan menghela nafas kecil. Yuki kemudian
menoleh ke depan dan memanggil Ayano yang berdiri di belakangnya.
“... Ayano”
“Ya, Yuki-sama”
“Tolong jadi bantal guling dulu
sebentar”
“Dipahami”
Ayano mengangguk dengan akrab
pada instruksi yang mungkin takkan dipercaya oleh orang asing jika mereka
mendengarnya, dan berkata, “Permisi,” seraya berbaring di tempat tidur. Yuki lalu
diam-diam membungkuk, memeluk Ayano dari depan dan membenamkan wajahnya di dada
Ayano.
Dalam posisi seperti itu, Yuki
mengusapkan kepalanya ke kiri dan ke kanan sambil merangkul Ayano. Selama waktu
itu, Ayano hanya diam mematung sesuai yang diperintahkan. Dia tidak balas
memeluk tubuh Yuki maupun mengelus kepalanya. Perbuatan tersebut akan melukai
harga diri Yuki sebagai Tuannya. Karena dia mengetahui hal itu, Ayano terus
diam dan membiarkan dirinya dipeluk. Beberapa menit kemudian, Yuki mengangkat
wajahnya dengan penuh semangat, berlutut di tempat tidur, dan menghembuskan
nafas.
“Yosh, aku sudah pulih!”
“Apa anda yakin?”
“Iya, makasih. Seriusan, Oppai
merupakan anugerah terbesar yang pernah ada.”
Yuki menuju meja komputernya
saat turun dari kasur, sambil mengatakan hal seperti itu.
“Izinkan saya merapikan rambut
anda.”
“Hm, Tolong ya~”
Ayano menggunakan sisir untuk
merapikan rambut Yuki yang sempat berantakan karena berguling-guling di tempat
tidur. Sentuhan tangannya selalu lembut, dan tatapan matanya dipenuhi dengan
kasih sayang yang tak ada habisnya.
“Dirapihkan seperlunya aja, ya?
Lagipula, yang diperlihatkan cuma sampai bahuku doang. Sebaliknya, tolong
buatkan aku minum.”
“Dipahami. Apa Anda ingin
kopi?”
“Iya, aku punya Brother dan anime itu malam hari ini.
Apalagi Brother sudah pasti menonton
tayangan mahakarya itu. Hehehe ~ aku takkan membiarkanmu tidur malam ini~,
Onii-chan~”
Yuki tersenyum bahagia saat
memikirkan anime yang tayang pada jam larut malam dan sesi memberi kesan mereka
setelah itu. Ayano meninggalkan ruangan tanpa suara, sembari dalam hati merasa
lega bahwa tuannya sudah sepenuhnya kembali seperti biasa.