Chapter 01 — Awal dari Semester Baru
“Dibilangin,
aku ini bukan anak kecil lagi, bu.” Kekesalan Amane terlihat dari caranya
menjawab panggilan telepon ibunya. Ia akan menghadiri upacara masuk sekolah
yang menandai dimulainya kelas 2 SMA-nya.
Amane
tidak bisa memutuskan apa Ia lebih terkesan atau kesal dengan kemampuan ibunya
untuk mengatur waktu teleponnya saat Amane sedang luang dalam rutinitas paginya
yang sibuk. Dia terlalu khawatiran,
pikirnya sambil duduk di sofa.
Ibunya
sudah menyetujui kalau Amane boleh tinggal sendirian, tapi dia masih mengkhawatirkan
bahwa luka lama anaknya mungkin akan terbuka lagi, menggali ingatan akan suatu
peristiwa di kelas 2 SMP-nya.
Sedangkan
Amane sendiri, meski bekas luka itu terkadang terasa sakit, tapi hal tersebut
tidak pernah terlalu mengganggunya. Dan yang lebih penting lagi, Ia tidak ingin
membuat orang tuanya khawatir.
“Aku
baik-baik saja. Sungguh—aku akan baik-baik saja sendiri.”
“Kamu boleh bilang ke ibu kapan saja kalau
kamu mengalami kesulitan, oke? Oh, mungkin lebih baik lagi, kamu bisa
mengandalkan Mahiru-chan!”
“Ya,
ya …”
(Kenapa dia selalu ingin mencomblangiku
dengan Mahiru?)
Ibunya
menyukai Mahiru dan jelas-jelas ingin mereka menghabiskan lebih banyak waktu
bersama, tapi Amane merasa itu bukan urusannya. Ketika menyangkut masalah
asmara, Ia tidak meminta atau menginginkan campur tangan orang tuanya, meskipun
Ibunya punya maksud baik.
Yang
terpenting, Amane tidak ingin ibunya mengetahui seberapa besar rasa sayangnya
pada Mahiru, jadi Ia memilih untuk diam dan tidak meladeninya.
“Aku yakin kalau Mahiru-chan akan menerimamu
dengan senang hati.”
“Uh-huh…”
“Pokoknya, jika kamu mengalami masalah atau
kesulitan, pastikan untuk meminta bantuan seseorang, oke? Itu bisa siapa saja.
Aku masih berpikir kalau Mahiru akan menjadi pilihan yang sempurna, tapi …”
“Dengar,
aku harus segera pergi, jadi aku tutup teleponnya, oke. Terima kasih sudah
mengkhawatirkanku pagi-pagi sekali.”
Amane
tidak ingin ibunya menduga-duga tentang hubungannya dengan Mahiru lagi, jadi Ia
dengan cepat berterima kasih padanya dan mengakhiri panggilan. Ia sudah bisa membayangkannya
kalau Ibunya mungkin sedang cemberut karena tidak senang.
Ibunya
mengkhawatirkan dirinya, tapi dia terlalu khawatiran.
Bekas
lukanya memang terasa sakit, tapi tidak sampai membuatnya putus asa. Selain
itu, itu tidak akan mengganggunya jika Ia tidak memikirkannya.
…Lebih baik tidak menjangkaunya jika tidak
perlu.
Selama orang yang aku percayai tetap bersamaku,
semuanya akan baik-baik saja.
Amane
tidak merasa cemas tentang perubahan kelas untuk semester baru. Lagi pula, itu
sudah diluar kendalinya, jadi Ia memutuskan untuk melakukan yang terbaik dan
menerima apa pun yang datang.
Menatap
bayangannya sendiri yang suram dan melankolis di layar gelap ponselnya, Amane
tersenyum muram.
Jika Chitose dan Itsuki melihatku seperti ini,
mereka akan menepak keras punggungku,
pikir Amane sambil berdiri dari sofa dan berangkat untuk hari pertama sekolah.
◇◇◇◇
Berjalan
menuju sekolah setelah dua minggu liburan terasa sedikit nostalgia. Setelah
tiba, Amane mendekati papan pengumuman, berniat untuk memeriksa daftar nama
untuk setiap kelas yang dipajang di sana.
Walau
Ia datang sedikit lebih cepat dari biasanya, karena hari ini awal dari semester
baru, ada begitu banyak siswa lain yang sudah ada di sana—dan yang mengejutkan,
salah satunya adalah temannya, Itsuki, yang muncul dari kerumunan untuk
menyambutnya.
“Yo,
apa kabar, Amane? Sepertinya kamu baru saja datang di sini, ya.”
“Pagi.
Apa langit hari ini akan runtuh, ya? Aku tidak menyangka kalau kamu sampai di
sini duluan sebelum aku. ”
“Ayahku
mengusirku dari rumah,” jawab Itsuki sambil tersenyum masam. “Ia bilang kalau aku
setidaknya harus datang lebih awal untuk hari pertama” ujarnya sembari mengangkat bahu, seolah-olah
tidak ada yang menarik tentang itu.
Itsuki
sering berselisih dengan ayahnya. Sejak bertemu Chitose, Ia sepertinya tidak
ingin melakukan apa pun yang diinginkan orang tuanya. Ayah Itsuki dengan keras
kepala menolak untuk menyetujui hubungannya dengan Chitose, dan sejak saat itu,
mereka berdua tidak pernah akur. Tentu saja, ayah Itsuki bisa sangat keras,
bahkan sebelum putranya mulai berpacaran dengan Chitose, Amane berpikir bahwa
beliau adalah Ayah yang tulus dan bijaksana—dan orang tua yang baik.
Meski
begitu, situasi Itsuki saat ini benar-benar membuat Amane menghargai
hubungannya dengan orang tuanya sendiri. Mereka memang kadang-kadang terlalu
berlebihan, tapi secara keseluruhan, mereka menghormati keinginan putra mereka,
dan Amane hampir tidak pernah berdebat dengan mereka. Lagi pula, mereka telah
bersusah payah mengirimnya ke sekolah yang jauh dari kampung halamannya. Dan
mereka memberinya kebebasan dengan siapa Amane berhubungan—Intinya, orang
tuanya sepenuhnya mendukungnya di aspek itu.
Amane
belum memberitahu orang tuanya tentang perasaannya terhadap Mahiru, tetapi
mereka jelas sangat menyukainya — bahkan secara terbuka menyebutkan kalau dia
akan menjadi calon menantu yang luar biasa. Jika kebetulan suatu hari nanti Ia menjalin hubungan semacam
itu dengan Mahiru, Amane yakin kalau orang tuanya akan sangat menyetujuinya.
Amane
sangat menyadari bahwa dia diberkati dengan keluarga yang penuh kasih sayang.
...Dibandingkan situasi Mahiru, aku
benar-benar beruntung, ya?
Amane
terdiam tidak nyaman saat mengingat ekspresi dingin yang dilihatnya pada ibu
Mahiru, Ia lalu melihat Itsuki yang memberinya seringai sembrono. Sepertinya Ia
sudah mendapatkan kembali keceriaannya yang biasa.
“Yah,
jangan bahas ayahku lagi. Ayo periksa daftar kelas mana kita masuk. ”
“Dari
caramu tersenyum, aku kurang lebih bisa menebak apa yang dipajang di sana.”
Amane
menatap Itsuki dengan wajah lelah ketika melihat senyum biasa temannya berubah
menjadi seringai licik, lalu mencari namanya sendiri di antara kerumunan siswa
yang melakukan hal yang sama dengannya.
Tidak
butuh waktu lama bagi Amane untuk menemukan namanya. Saat Ia mulai memastikan
siapa teman sekelasnya untuk tahun ini, senyum nakal Itsuki mulai lebih masuk
akal.
Ada
banyak nama yang dikenalnya tertulis di daftar kelas yang sama dengan Amane.
Di
antaranya ada beberapa yang sekelas dengannya tahun lalu—yaitu, Itsuki dan anak
laki-laki yang sering disebut Ouji, Kadowaki Yuuta.
Amane
juga menemukan nama Chitose, yang tentu saja menjelaskan suasana senang Itsuki.
Dan
ada satu lagi nama yang Ia kenali.
Shiina
Mahiru—nama tetangga yang selalu menjaganya, objek rahasia kasih sayangnya.
Jika aku tidak tahu sistem pembagian kelas di
sekolah ini, aku bersumpah kalau ada seseorang yang sengaja merencanakan
semuanya.
Tentu
saja, pembagian kelas diputuskan oleh pihak sekolah, artinya Amane dan
teman-temannya tidak tahu di mana kelas mana yang akan mereka masuki, tapi Ia
tidak pernah menyangka akan ditempatkan dengan begitu banyak wajah yang
dikenalnya.
“Kita
benar-benar beruntung, iya ‘kan, Amane?”
“Aku
tidak tahu apanya yang beruntung tentang itu. Kurasa aku cukup merasa lega bisa
sekelas lagi denganmu. ”
“Ada
apa, apa kamu merasa malu?”
“Berisik.
Dan kalau ngomongin masalah beruntung, itu pastinya kamu, ‘kan? Karena bisa
sekelas dengan Chitose.”
“Benar
sekali, bung. Aku tadinya khawatir kalau pihak sekolah akan memisahkan kami
berdua…”
“Tapi
kalau dipikir-pikir lagi, mungkin ada untungnya juga memisahkan kalian berdua
demi kebaikan semua orang.”
Dengan
adanya baka-couple ini, suasana kelas
pasti akan selalu heboh —atau lebih tepatnya, tidak pernah ada kedamaian. Dan
tingkah laku kemesraan mereka yang terus-menerus hampir dijamin akan mengganggu
semua para jomblo.
Amane
sendiri merasa senang berada di kelas yang sama dengan teman-temannya, Itsuki
dan Chitose, tapi di sisi lain, Ia sudah tahu kalau tahun ini akan penuh
gejolak dan kesulitan.
“Kenapa
omonganmu kasar begitu ? Ah, jangan bilang—itu karena kamu masih jomblo, ya~?”
“Coba
katakan itu pada orang lain. Siap-siap saja kamu bakal dicincang habis-habisan.”
“Bercanda
doang kok, canda! Tapi serius, kelas ini ternyata cukup bagus, ya? Kamu
akhirnya bisa berada di kelas yang sama dengan gadis yang kamu sukai.”
“…Berisik.”
Amane memalingkan wajahnya dari godaan Itsuki.
Lalu
ada suara ceria menyela percakapan mereka.
“Mungkin
aku salah mengira, tapi apa Fujimiya terlihat sedikit kesal, bukan?” Ada tawa
yang tenang. “Ia akan mulai membencimu jika kamu terlalu menggodanya loh,
Itsuki.”
Amane
merasa dirinya mengerutkan kening saat menoleh dan melihat Yuuta, si Ouji,
berdiri di samping Itsuki dengan satu tangan bertumpu di bahunya.
Mustahil
untuk melewatkan tatapan berkedip yang berkumpul padanya di lorong. Tingkat
perhatian ini pasti sangat normal bagi Yuuta, karena Ia tidak terlihat
terganggu sedikit pun. Yuuta hanya menunjukkan senyum ramah kepada Amane.
“Pagi.
Kita berada di kelas yang sama lagi tahun ini. Mohon kerja samanya, ya.”
Sekilas
itu tidak tampak seperti interaksi yang sangat signifikan. Yuuta sudah sedari
tadi melihat Itsuki dan Amane berbicara di papan buletin dan datang untuk
menyambut mereka.
Yuuta
berteman dengan baik dengan Itsuki, jadi hal itu tidak aneh, tapi itu tidak
biasa melihat Yuuta begitu ramah dengan Amane.
Amane
merasa sedikit tidak nyaman berbicara dengan cowok populer seperti Yuuta. Secara
pribadi, tidak ada yang salah dengan Yuuta, tapi Amane tidak suka menarik
terlalu banyak perhatian.
Apalagi,
mendapat teman baru seperti ini di awal semester baru membuatnya jadi hampir mengingat
kejadian di masa lalu. Rasa sakit yang menjalar perlahan tapi pasti dari
celah-celah dadanya yang dalam terasa begitu nostalgia. Itu adalah sensasi yang
Amane pikir sudah kubur dalam-dalam.
“…Fujimiya?”
“Eh?
Ah maaf, Aku melamun sejenak. Semoga kita bisa menghabiskan tahun yang
menyenangkan.” Amane balas tersenyum kecil pada Yuuta, yang sekarang sedikit
mengernyit, tampak khawatir sejenak sebelum akhirnya membiarkan wajahnya
melunak menjadi senyum lega.
Kamu harus menunjukkan senyum seperti itu untuk
para penggemarmu, pikir Amane.
Tapi
Yuuta terlihat sangat senang, jadi Amane juga merasa lega.
Pada
saat itu, beberapa murid cowok lain datang, dan Yuuta pergi untuk mengobrol
dengan mereka.
Itsuki,
yang sedari tadi diam melihat percakapan di antara mereka, menatap Amane,
seolah-olah dia sedang membuat dugaan. “Apa ini cuma perasaanku saja, atau apa
kamu memang sedikit waspada di sekitar Yuuta?”
“…Tidak,
bukan itu. Hanya saja … aku cuma berpikir rasanya aneh saja saat Ia mencoba
berteman denganku.”
“Astaga,
kamu selalu saja bersikap minder. Dengar, bukannya Yuuta punya motif
tersembunyi untuk bersikap ramah denganmu, oke? Tidak semua orang yang bersikap
baik ingin mendapatkan keuntungan. Kamu ini memang cowok yang terlalu parno,
Amane.”
“Munngki
memang begitu,” jawab Amane, “tapi—” Saat Ia menyadarinya, Itsuki memelototinya
dengan putus asa, Ia menelan kembali kata-kata yang akan dia katakan
selanjutnya. —Tapi ada juga orang yang
seperti itu di luar sana.
Bukannya
Ia mencurigai Yuuta mempunyai sifat seperti itu atau semacamnya.
Mereka
hanya menghabiskan satu tahun terakhir sebagai teman sekelas biasa, tapi meski
begitu, Amane tahu bahwa Yuuta adalah cowok yang baik. Dengan kepribadiannya
yang baik, jujur, dan menawan, tidak mengherankan kalau Ia sangat populer, dan
tidak aneh kalau Ia memiliki banyak teman.
Tetap
saja, waktu khusus tahun ini membawa kembali banyak kenangan yang tidak
menyenangkan bagi Amane, dan itu membuatnya semakin curiga, walaupun Ia tahu
tidak ada gunanya melakukan itu.
“Ini
tidak ada hubungannya dengan Kadowaki itu cowok semacam apa. Aku hanya pemalu,
jadi aku sedikit takut saat ada seseorang yang tiba-tiba ingin berbicara
denganku.”
“Yah, kurasa itu ada benarnya juga. Saat pertama
kali kita berbicara, kamu langsung waspada seperti kucing yang gugup. ”
“Siapa yang kamu panggil kucing?!”
“Sadar
diri, coba. Penakut dan pendiam selama tidak ada yang menyentuhmu, tetapi saat
seseorang melakukan kontak, doorr,
kamu rasanya seperti akan mencakar seseorang. ”
Amane
mengerutkan kening pada analogi Itsuki. Sebagai pecinta kucing, Ia tidak menyetujui
sikap cemberutnya disamakan dengan makhluk yang menggemaskan dan berjiwa bebas.
“Ngomong-ngomong,
aku pikir kamu bakalan akrab dengan Yuuta jika kamu memberinya kesempatan.
Sejak SMP, kami sudah berada di kelas yang sama selama tiga tahun, jadi aku
bisa menjaminnya. Ia itu cowok yang baik.”
“Aku
bisa mengetahuinya hanya dengan melihatnya, tetapi cuma perasaan aku saja yang
menjadi masalahnya. Lagipula, aku jarang berbicara dengannya…”
“Aku
cukup yakin itu tidak akan lama sebelum Ia mengubahnya sendiri."
“Tunggu,
kenapa?”
“Itu
karena bahkan Yuuta bisa mengatakan kalau kamu adalah cowok yang baik.”
Itsuki
mengatakan itu dengan senyum lebar lagi, tapi Amane secara refleks mengerutkan
kening. Ia sama sekali tidak memahami maksud di balik perkataannya.
◇◇◇◇
“Pagiiiii!
Sepertinya kita berada di kelas yang sama tahun ini!”
Setelah
Amane memasuki kelas barunya, lalu menemukan tempat duduknya, dan memeriksa
bahwa tidak ada kesalahan dalam dokumen sekolahnya, Chitose mendekatinya,
sepertinya dia baru saja tiba di sekolah.
Tahun
ini, baik Chitose dan Itsuki, satu kelas bersamanya, jadi Amane tahu betul
kalau baru hari pertama dari sekian hari yang riuh dan membuat perutnya mulas.
“Selamat
pagi. Kamu tidak berangkat bersama Itsuki hari ini, ya?”
“Ya,
aku ketiduran. Sejujurnya, aku benar-benar lupa tentang semester baru, dan
ibuku harus membangunkanku. Ikkun sendiri di mana?”
“Ia
baru saja pergi ke mesin penjual otomatis.”
“Woke.
Kurasa aku akan mengiriminya pesan dan meminta dibeliin teh susu. Ah, Mahirun,
Mahirun! Kita berada di kelas yang sama tahun ini! Aku senang banget!”
Chitose
melambaikan tangannya dengan penuh semangat dan tidak malu-malu di sekitar
siapa pun, berlari menuju Mahiru, yang baru saja memasuki kelas. Mahiru, yang dikelilingi
oleh banyak anak laki-laki dan perempuan, berkedip karena terkejut. Semua orang
di sekitarnya terperangah saat mendengar Chitose memanggilnya dengan panggilan
begitu santai, tapi ketika Mahiru bereaksi secara normal dan langsung
menunjukkan senyum ala malaikatnya, Chitose diizinkan untuk berbicara dengannya
seperti itu. Saat itulah suasana hati orang banyak berubah menjadi kecemburuan.
Menyaksikan
Chitose bergegas ke Mahiru dengan begitu banyak energi di pagi-pagi begini
membuat Amane merasakan frustrasi dan kekaguman yang setara. Ketika tatapannya
tertuju pada Mahiru, pandangan mata mereka bertemu sejenak, dan Amane pikir Ia
melihat sedikit perubahan dalam senyum lembutnya. Tapi di saat berikutnya, Mahiru
mengalihkan pandangannya ke Chitose dengan tatapan lembut.
“Mahirun, mumpung sekolah pulang lebih cepat
hari ini, ayo makan crepes saat pulang nanti, yuk! Toko crepes di depan stasiun
sangat enak, loh!”
“Kedengarannya
bagus. Aku ingin pergi jika kamu benar-benar tidak keberatan.”
Itu
mungkin cuma imajinasi Amane saja, tapi Ia merasa kalau Mahiru melirik ke arahnya
lagi. Amane sendiri merasa kalau Mahiru tidak perlu mendapatkan izinnya setiap
kali dia ingin pergi ke suatu tempat, dan Ia tidak berniat menjadi rantai yang
mencegahnya pergi keluar saat Mahiru mau. Amane selalu bisa makan makanan cepat
saji atau pergi ke minimarket untuk makan siang. Mahiru sedang mengembangkan
persahabatan yang baru tumbuh, dan Amane turut senang.
Chitose
sangat pandai berhubungan dengan orang-orang seperti itu, jadi Amane berharap kalau
mereka akan bersenang-senang bersama—dan dia akan menunjukkan kepada Mahiru,
yang biasanya tidak bergaul dengan banyak orang lain, waktu yang menyenangkan
tanpa membuatnya terlalu lelah.
Mungkin,
Mahiru lah orang yang paling diuntungkan dengan memiliki Chitose di kelas yang
sama. Dia tersenyum bahagia, terlepas dari skinship
Chitose. Amane merasakan senyumnya sendiri ikut melebar.
◇◇◇◇
Hari
pertama di semester baru terdiri dari upacara pembukaan, kemudian pengenalan
diri dan pengumuman biasa di dalam kelas. Setelah semuanya selesai, para siswa
boleh pulang.
Sejak
sekolah bubar sebelum waktu makan siang, Amane yang berencana untuk makan dengan
Mahiru, malah membeli kotak makan siang dari minimarket yang semakin jarang Ia
makan. Setelah sampai di rumah dan melahap porsi makan siangnya, Amane
berbaring malas-malasan di sofa.
Amane
memiliki banyak kenalan di kelas barunya, dan dari apa yang dilihatnya,
sebagian besar siswa lain berada di sisi murid teladan, jadi sepertinya Ia bisa
menanganinya. Sangat melegakan bisa mengenal begitu banyak teman sekelasnya. Ia
tidak bisa membayangkan betapa menyedihkan untuk menghabiskan satu tahun tanpa
memiliki teman satu pun.
Amane
memiliki kesadaran diri yang cukup untuk memahami bahwa dirinya memiliki watak
yang suram, jadi Ia menyangka kalau itu akan menjadi rintangan yang cukup besar
untuk mendapatkan teman baru dan mengenal mereka. Pada dasarnya, Ia tidak
gampang percaya kepada orang lain.
Sambil
dengan malas memikirkan betapa hebatnya dirinya yang dulu berteman dengan Itsuki
dan memuji dirinya karena pandangan yang jauh ke depan, Amane perlahan
memejamkan matanya.
Ia
merasa lelah karena perlu beradaptasi dengan kelas baru. Ditambah dengan kantuk
setelah makan, Amane tidak membutuhkan waktu lama untuk tertidur.
◇◇◇◇
Bagi
Amane, berusaha melupakan kenangan yang telah Ia tutup membawa rasa sakit yang
kecil namun tajam, layaknya menggores bintil.
Biasanya,
Ia bisa melupakan kenangan itu dan menguburnya dalam-dalam dengan berfokus pada
banyak hal baik dalam kehidupannya.
Sejak
bertemu Mahiru, Amane bahkan hampir tidak memikirkannya lagi, dan ketika
ingatan itu muncul kembali, rasanya seperti gelembung yang meledak saat mereka
menyentuh permukaan air. Rasa sakitnya hanya bertahan sebentar. Kenangan yang
mendadak muncul baru-baru ini mungkin karena semester baru, atau mungkin dipicu
ketika dia mengetahui tentang masa lalu Mahiru. Atau mungkin karena dia
menyadari Itsuki, yang menjadi teman baru pertamanya setelah semuanya terjadi,
juga berteman dengan Yuuta.
“Ayo jalani tahun yang hebat.”
Dulu
ada anak cowok lain yang mengatakan itu dan mengulurkan tangan ke Amane.
Pada
saat itu, Amane lebih gampang percaya—dan kurang waspada terhadap orang lain. Ia
selalu dikelilingi oleh orang-orang baik dan tidak pernah belajar untuk mengenali
saat ada seseorang yang berniat menyakitinya.
Oleh
karena itu, Amane tidak pernah meragukan cowok itu. Ia tidak meragukan satupun
dari mereka.
“—Sejak awal … kamu itu—”
Amane
tersentak bangun, dan kata-kata yang Ia ketahui selanjutnya menghilang.
Melalui
pandangan yang kabur, Ia bisa melihat sinar mentari musim semi mengalir masuk
melalui jendela dan dengan lembut menerangi apartemen gelap yang familiar.
Tidak
ada seorang pun di sana kecuali Amane dan tidak ada suara selain napasnya
sendiri, yang lebih kasar dari biasanya.
Ia
menghela nafas berat ketika melihat jam dan menyadari kalau sudah satu jam
berlalu sejak Ia tertidur. Tidur siang yang cukup, tapi Amane masih merasa
sangat lelah, mungkin karena mimpi buruknya.
Mengingat
betapa lelahnya tubuh dan pikirannya, Ia bisa saja tidur lagi, tapi Amane
tiba-tiba kehilangan keinginan untuk beristirahat lagi.
Setidaknya aku harus mencuci muka dan
menjernihkan kepalaku.
Sembari
mengharapkan bahwa air tawar bisa membersihkan sisa-sisa kesedihan yang
tersisa, Amane menuju ke kamar kecil.
◇◇◇◇
“…
Wajahmu kelihatan sedikit pucat, Amane-kun.”
Meskipun
sudah mencuci muka, perasaan kabur di dada Amane masih belum hilang. Perasaan
tersebut cuma sedikit surut cukup baginya untuk menyimpannya di lubuk hatinya
dan menunggu untuk melupakannya lagi. Amane pikir kalau ekspresinya sudah
kembali normal sehingga hal itu takkan mengundang kecurigaan Mahiru, tapi dia
sangat peka dan tidak mudah tertipu. Dia datang setelah jalan-jalan bersama
Chitose, dan saat mereka sudah duduk setelah makan malam, Mahiru mengamati
wajah Amane dan menanyainya.
“…Apa
kamu sedang tidak enak badan?”
“Tidak,
aku tidak apa-apa … Uh, hanya saja… aku tidur siang, tapi sepertinya aku
bermimpi buruk.”
“Oh,
kamu mengalami mimpi buruk?” Dia menatapnya dengan rasa penasaran.
“Mm,
begitulah.” Amane menggelengkan kepalanya. “Ini bukan masalah besar, sungguh.
Jangan terlalu dipikirkan.” Alasan yang kurang kuat.
Mahiru lumayan peka. Dia akan berhenti jika
sudah jelas itu yang aku inginkan.
Dia tipe orang yang akan menyerah jika tahu
kalau aku tidak ingin membicarakannya sekarang.
Bukannya
Amane tidak mau menceritakannya, tapi luka lama itu masih merupakan tempat yang
menyakitkan baginya, jadi Ia tidak ingin memberitahunya dulu. Amane tahu bahwa Mahiru
tidak akan menekan masalah ini.
Mahiru
sepertinya merasakan kalau Amane tidak berniat membuka diri saat ini, dan hanya
menatap tajam ke arahnya dengan mata berwarna karamel yang terfokus. Dia jelas
tidak marah, atau sedih, atau bermasalah. Ekspresinya itu membuatnya merasa
sedikit canggung, tetapi Mahiru tidak berhenti menatap, seolah-olah ingin
mengatakan kalau dia memahami apa yang Amane alami.
“Ada
apa?”
“Bukan
apa-apa, aku hanya berpikir kalau rambutmu terlihat sangat lembut.”
“Hah?”
Amane
sudah meningkatkan penjagaannnya, menebak-nebak apa yang akan Mahiru katakan selanjutnya,
tapi ucapannya yang tak terduga itu sedikit mengejutkannya. Ia mengira kalau
dirinya akan mengalami semacam interogasi, jadi saat Mahiru mengatakan kalau
dia ingin menyentuh rambutnya membuat Amane kesulitan menjawab.
Mahiru
sedang melihat-lihat rambut Amane dengan ekspresinya yang biasa.
“Boleh
aku menyentuhnya?”
“Apa?
Kenapa kamu mendadak mengatakan itu…? Maksudku, kamu boleh saja jika kamu mau,
tapi—”
“Oh
benarkah? Kalau begitu, datang ke sini. ”
Mahiru
bergeser ke tepi sofa dan menepuk-nepuk pangkuannya. Amane menjawab sekali lagi
dengan, “Hah?”
Ia
masih belum paham.
“Kamu
bisa berbaring di sini supaya aku bisa menyentuhnya.”
“Tidak, tidak, tidak.”
Mahiru
menatap Amane dengan tenang, yang menggelengkan kepalanya dengan tajam pada
perkembangan yang terlalu mendadak ini. Amane kebingungan mengapa dia tiba-tiba
mengusulkan hal seperti itu. Di sisi lain, Mahiru tampak sangat tenang, yang mana
semakin meningkatkan kebingungannya.
“Apa
kamu tidak mau tidur di pangkuanku?”
“Ti-Tidak,
bukannya begitu—”
Amane
buru-buru menggelengkan kepalanya ketika merasakan ketidaksenangan di dalam
suara Mahiru.
Kesempatan
untuk tidur di atas pangkuan orang yang kamu sukai adalah momen keberuntungan
yang super langka.
Tapi
apakah Ia harus menuruti dan menerima tawaran itu merupakan dua hal yang
berbeda. Tak peduli berapa banyak kontak fisik yang mereka lakukan sebelumnya,
meletakkan kepalanya di pangkuannya adalah tingkat keintiman yang baru. Ada
kemungkinan besar dia akan merasa pingsan karena saking malunya. Pelukan mereka
tempo hari itu karena keadaan yang mendesak dan demi menenangkan serta
menghibur Mahiru, jadi Ia tidak terlalu menyadarinya pada saat itu, tapi usulan
ini adalah masalah lain.
“Tidak
apa-apa, ayo cepetan ke sini.”
“Ti-Tidak,
itu…”
“Amane-kun.”
“…Baik.”
Ia
mencoba untuk melawan, tetapi tekadnya langsung runtuh saat Mahiru memanggil
namanya sambil tersenyum. Kekuatan persuasinya yang terpendam, sekali lagi muncul
saat dia dengan mengundang Amane sembari merapikan kain roknya, menghapus semua
kemauan perlawanannya yang tersisa.
Untung saja dia mengenakan rok panjang, pikir Amane dari lubuk hatinya saat Ia
dengan ragu-ragu berbaring di sofa untuk menyandarkan kepalanya di pangkuan
Mahiru. Amane membelakanginya dan fokus melihat ke lututnya saat Ia merasakan
kelembutan paha Mahiru.
Kakinya
yang lembut nan ramping namun tetap feminin, menopang berat kepala Amane dengan
sempurna. Pangkuannya berada pada ketinggian yang tepat, dan Ia bisa mencium
aroma wangi Mahiru yang samar dan merasakan panas tubuhnya. Tekad Amane yang
terakhir menghilang saat Mahiru menjulurkan tangannya dan dengan lembut
mengusap pipi Amane.
“Apa
yang akan kamu lakukan jika aku melakukan sesuatu yang sangat kasar saat sedang
berbaring begini?” gumam Amane dengan suara kasar, melakukan upaya terakhirnya
untuk melawan.
Ia
lalu mendengar tawa pelan dari atas kepalanya.
“Kurasa
aku akan segera berdiri dan kemudian menginjak-nginjakmu.”
“Maaf
karena sudah bertanya aneh-aneh.”
Akhir-akhir
ini, Mahiru menjadi sedikit lebih pendiam, jadi mendengarnya menggodanya
setelah sekian lama hampir seperti nostalgia. Amane langsung meminta maaf,
kalau-kalau ancamannya serius, tapi Mahiru tersenyum geli melihat reaksi Amane.
“Yah,
aku tahu kamu takkan melakukan hal semacam itu. Kamu tampaknya tidak memiliki
keberanian atau tenaga untuk melakukannya.”
Perasaan
Amane jadi campur aduk saat diberitahu sifat kepengecutannya, tapi
kenyataannya, Ia tidak memiliki keberanian untuk mencoba apa pun karena Ia
pikir Mahiru akan membencinya jika dirinya melakukan sesuatu, jadi perkataan
Mahiru tidak sepenuhnya salah.
“Yah,
kenapa kamu tidak santai saja? Akan lebih mudah untuk mengelusmu jika kamu sedikit
lebih tenang. ”
Amane
tidak punya banyak alasan untuk menolak saat Mahiru dengan lembut mengusapkan
jari-jemarinya ke rambut hitamnya, jadi Ia tutup mulut.
…Dia pasti mengkhawatirkanku.
Ini
mungkin cara Mahiru untuk menghiburnya.
Amane
menduga kalau Mahiru sudah menyadari kalau dirinya merasa stres akhir-akhir ini
dan memutuskan untuk membantunya menghilangkan beban tersebut. Amane sendiri
tidak mehungapa ide pertama yang Mahiru
pikirkan adalah membuatnya santai berbaring di pangkuannya seperti ini, tetapi
sebenarnya, tidur di pangkuannya itu sangat nyaman, jadi Amane takkan mengeluh.
Dan jantungnya tidak berdebar sekeras yang Ia duga, mungkin karena dia sangat
lelah.
Rasa
kantuk mulai menyerbu dirinya. Amane tidak menyangka kalau ada seseorang dengan
lembut menyisir rambutnya dengan jari bisa senyaman ini. Sudah lama sekali sejak
dirinya dimanjakan oleh seseorang seperti ini, dan Ia tidak yakin apa, jika
ada, yang harus dilakukannya. Amane bisa merasakan dirinya tenggelam secara
bertahap ke dalam lautan kebahagiaan dan kepuasan yang dalam. Mungkin tidak
butuh waktu lama sebelum dirinya bisa tertidur lelap.
Saat
tidur nyenyak hampir menghampirinya, Amane lalu mendengar Mahiru berkata, “Yah,
bukankah cowok jantan harusnya punya satu atau dua pendapat yang perlu
dikatakan tentang bagaimana rasanya berbaring di pangkuan seorang gadis?”
Mata
Amane terbelalak saat Ia menghela nafas dengan kasar. “Ah, baiklah, itu sih—”
“Aku
mendengar dari Chitose-san kalau kamu membiarkan cowok yang sedang kelelahan
berbaring di pangkuanmu, hal itu seperti mimpi yang menjadi kenyataan dan akan
membantunya merasa lebih baik.”
Amane
sekarang menyadari kalau keintiman yang sedikit tidak biasa ini ada campur
tangan Chitose. Meski, Amane tidak bisa membantah kalau perkataannya
benar-benar melenceng. Bahkan sebenarnya, Ia merasa benar-benar harus berterima
kasih padanya.
Amane
mengerutkan bibirnya saat memikirkan bagaimana harus menjawab pertanyaan
Mahiru. Saat Amane tengah merenung, Mahiru terus mengelus-ngelus pipinya dengan
jari.
Terus
terang saja, berbaring di pangkuannya adalah sensasi ternyaman yang pernah ada,
dan Amane berharap bisa menikmatinya setiap hari. Tapi Ia khawatir jika Ia
blak-blakan mengatakan itu, Mahiru akan merasa jijik atau terkejut, jadi Ia
tidak berani mengatakan apa-apa.
Amane
tidak bisa sepenuhnya jujur, tetapi di sisi lain, Ia harus mengatakan sesuatu
untuk memujinya. Amane sedang dimanjakan di sini, jadi Ia tidak bisa berbohong
dan mengklaim kalau itu tidak terlalu istimewa. Namun, Ia bisa membayangkan
dirinya mengatakan sesuatu yang bodoh dan blak-blakan yang akan mengusirnya.
Setelah
termenung untuk beberapa saat, Amane memutuskan untuk menanggapi dengan pujian
ringan.
“…Kupikir
itu sangat bagus. Tapi jangan menganggapnya sesuatu yang aneh.”
“Bagaimana
aku bisa aku menganggap itu aneh karena baru pertama kalinya aku melakukan ini?”
Amane
tidak bisa menahan hatinya berdegup kencang saat mendengar kata-kata untuk
pertama kalinya. Ia ingat kalau Mahiru tidak suka terlalu dekat dengan
cowok dan benar-benar menghindari sebagian besar kontak fisik sama sekali.
Tentu saja Amane akan menjadi orang yang pertama.
Ketika
Ia menyadari betapa besar rasa kepercayaan Mahiru untuk membiarkannya begitu
dekat, Amane merasakan dada dan wajahnya memanas. Tapi Mahiru sepertinya tidak
menyadarinya dan terus menyisir rambutnya dengan perasaan puas.
“Yah,
karena ini adalah sesuatu yang ingin aku coba, jadi kamu tinggal berbaring dan
bersantai. Lagipula aku cuma ingin mengelus kepalamu.”
“…Kurasa
begitu.”
Mahiru
menekankan bahwa dia hanya melakukan apa yang dia suka, jadi Amane tidak perlu
menahan diri atau cemas. Merasa sedikit malu tentang itu semua, Amane
memutuskan untuk menerima tawaran Mahiru.
“…Amane-kun,
bagaimana pendapatmu tentang kelas baru kita tahun ini?”
Mahiru sudah memainkan rambut Amane dalam diam untuk beberapa saat sebelum dengan
santai mengajukan pertanyaan.
“Hmm,
yah, aku tidak pernah mengira kalau kita akan berakhir di kelas yang sama.”
Ia
berharap, setidaknya ada satu teman di kelasnya, tapi Amane tidak menyangka
kalau semua orang yang dikenalnya berakhir di kelas yang sama.
“Heh-heh.
Rasanya sangat menyenangkan melihatmu begitu tercengang.”
“Hei…
Tapi ya, itu benar-benar membuatku terkejut. Oleh karena itu, aku perlu
waspada.”
“Apa
maksudmu?”
“Aku
harus menjaga jarak agar aku tidak berbicara denganmu terlalu santai atau
bersikap terlalu akrab.”
Di
satu sisi, Amane merasa lega karena teman-temannya akan berada di dekatnya,
namun di sisi lain, karena Mahiru juga sekelas dengannya, Ia harus berhati-hati
dengan cara mereka berinteraksi. Amane sebisa mungkin menghindari berbicara
dengannya, tetapi jika Ia keceplosan dan tak sengaja membuat orang lain tahu
mengenai kedekatan mereka, itu mungkin akan menjadi skandal besar.
Terlepas
dari perasaannya, Amane tidak ingin mengungkapkan hubungannya dengan Mahiru di
sekolah. Bagi Amane, selama mereka bisa menghabiskan waktu bersama di rumah,
itu saja sudah cukup. Ia tidak punya keinginan membuat musuh dari sebagian
besar cowok di sekolah karena kedekatannya dengan Mahiru.
Selama
orang tidak tahu hubungan mereka, mereka takkan mencoba menginterogasinya.
Amane berencana untuk bertingkah seolah-olah mereka berdua adalah orang asing.
Berpikir bahwa Mahiru pasti memahami hal tersebut, Ia membiarkan matanya
terpejam—tapi Mahiru justru mencubit keras pipinya.
“…
Apa yang sedang kamu lakukan?”
“…
Ah, bukan apa-apa. Aku mengerti logikamu, tapi aku tidak bisa mengabaikan
perkataanmu begitu saja tanpa melakukan apapun, jadi…”
“Apa
maksudnya itu…?”
Entah
kenapa, Mahiru tampak sangat cemberut, tapi tidak ada yang bisa dilakukan
Amane. Ia menduga kalau Mahiru ingin mereka berdua berbicara seperti biasanya,
bahkan di sekolah. Bagaimanapun juga, Mahiru bisa bersantai di sekitarnya. Tapi
dia bukan yang akan terlibat masalah.
Seandainya
saja Amane adalah cowok yang populer dan tampan—misalnya saja seperti Itsuki— mungkin mereka berdua bisa
berjalan-jalan kapanpun dan dimanapun mereka mau. Tapi karena Amane tidak
populer dan bahkan tidak ramah, semuanya jadi bakal berbeda.
Tidak
sulit untuk membayangkan kalau ada beberapa orang yang akan menganggap bahwa
Amane tidak layak mendapatkan perhatian dari si Tenshi dan memburunya.
Amane
sudah terbiasa sendirian. Ia hanya ingin menjalani kehidupan sekolah yang damai.
“…Yah,
aku akan menurutinya… untuk saat ini,” ungkap Mahiru akhirnya.
“Aku
tidak tahu harus merespon apa tentang 'untuk
saat ini'...tapi ini permulaan.”
“Tapi,
kita tetap bersikap normal di rumah, kan?”
“Tentu
saja… Tapi jika kita ingin bersikap normal, bukankah aku harus bangkit dari
pangkuanmu?”
“Yang
ini tidak masuk hitungan.”
Mahiru
mengumumkan pengecualian aneh ini dan menyisir rambut Amane lagi. Atau lebih
tepatnya, dia memain-mainkannya. Amane tahu kalau dirinya mengatakan sesuatu
lagi, Mahiru akan memasang wajah cemberut lagi, dan selama Ia menutup mulutnya,
dirinya bisa terus menikmati momen bahagia ini. Itu adalah keputusan yang
mudah.
Mungkin
karena dia senang dengan penegasan diam Amane dan menurutinya, Mahiru mulai
menata rambutnya dengan lebih hati-hati.
Gerakannya
terasa lembut dan penuh kasih sayang, serta sedikit canggung, tetapi Amane
tunduk pada sensasi yang menenangkan, dan itu tidak lama sebelum dia
benar-benar berada di bawah belas kasihannya.
…Aku benar-benar dimanjakan…
Jika
begini terus, Amane pasti akan tenggelam dalam tidur lelapnya. Ia merasa matanya
mulai terpejam lagi saat menikmati kehangatan Mahiru, dan gelombang rasa kantuk
lainnya menyapu dirinya. Sungguh, tidak ada yang menentang kekuatan meninabobokan
dari pangkuan Tenshi.
Amane
menahan keinginan untuk berguling ke arahnya dan menggali ke dalam kehangatan
yang mengundang dan mengelilingi dirinya dengan aroma Mahiru. Ia tahu kalau Ia
melakukan itu, tidak akan ada jalan untuk kembali, jadi Amane sengaja memunggungi Mahiru meski nyaris tidak
bisa menahan diri.
Saat
Mahiru terus membelai kepalanya dengan penuh kasih sayang, Ia mulai merasa
berat, dan setelah beberapa saat melawan, Ia akhirnya menyerah pada kenyamanan
yang tak tertahankan.
“…
Kamu kelihatannya mengantuk.”
Amane
mendengar gumamannya yang tenang tetapi tidak lagi memiliki energi untuk
membuka kelopak matanya.
“Jangan
khawatir. aku akan membangunkanmu sebentar lagi. Silakan, tidurlah dengan
nyenyak. ”
Saat
mendengarkan bisikan lembutnya, Amane tidak bisa lagi tetap terjaga dan dengan
cepat menyerah pada sensasi nyaman yang membuatnya menuju ke dunia mimpi.
◇◇◇◇
Saat
membuka kelopak matanya yang berat, Amane melihat ke atas dua bukit kembar yang
ditutupi oleh blus, dan di balik itu, ada wajah Mahiru yang memasang ekspresi
lembut. Amane segera duduk dengan matanya terbuka lebar karena terkejut.
Rupanya,
Ia membalikkan badan dalam tidurnya dan menghadap langit-langit. Berkat itu,
tatapan matanya langsung disambut dengan pemandangan yang agak merangsang saat
bangun tidur, dan jantungnya berdebar aneh.
“…Sudah
berapa lama aku tertidur?”
Mendengar
pertanyaan ini, Mahiru tersenyum tipis.
“Sekitar
satu jam. Kamu terlihat imut saat sedang tidur tadi.”
“Jangan
menatapku terus, astaga.”
“Kamu
tidak berhak mengatakan itu.”
Amane
berusaha menegur Mahiru karena sudah menggodanya, tapi Mahiru segera
membalikkan keadaan. Memang benar, Ia melihat wajah Mahiru tidur beberapa kali
sebelumnya—dan bahkan menyentuh wajahnya
sekali—jadi Ia memang tak berhak mengatakan itu.
“Aku
membiarkanmu melihatku saat aku sedang lengah, jadi kupikir sudah waktunya
untuk menyamakan keadaan.”
“Tapi,
itu salahmu sendiri yang ketiduran …jadi…mghnhgh…”
“Oh,
jadi sekarang kamu membalasku?”
Mahiru
dengan lembut mencubit kedua pipi Amane.
“Mhaafkhan
akhu …,” Amane dengan lemah lembut meminta maaf, masih berjuang untuk berbicara
dengan benar. “Baiklah kumaafkan. Ya ampun.”
Tampak
puas dengan permintaan maaf Amane, Mahiru berhenti menarik-narik pipinya dan
mulai menyolek-nyoleknya. Pada akhirnya, itu tidak mengubah fakta bahwa dia
menyentuh wajahnya, tapi Amane juga mencubitnya, jadi ini karma untuk dirinya.
Pipinya
kurang lentur dan lembut dibandingkan pipi Mahiru, jadi Ia merasa apa menyenangkannya dari mencubit pipinya. Tetap
saja, Mahiru masih tersenyum bahagia, perlahan-lahan mengelus pipinya.
“Kamu
terlihat jauh lebih baik sekarang.”
“Apa
aku benar-benar terlihat sangat pucat sebelumnya?”
“Tidak
juga. Tapi, karena aku melihatmu setiap hari, jadi aku bisa tahu. Maksudku, kamu
juga langsung menyadari setiap kali aku mengalami kesulitan, ‘kan, Amane-kun?”
“Kurasa
itu benar.”
“Yah.
Jadi mirip semacam itu.”
Mahiru
membuat pernyataan ini dengan ekspresi datar, lalu menelusuri pipi Amane lagi
dan tersenyum nakal.
“Setiap
kali kamu mengalami kesulitan, aku ingin kamu mengandalkan aku, oke? Sama
seperti saat kamu membiarkanku bersandar dan mengandalkanmu.”
“…Aku
akan berusaha melakukannya nanti.”
Tiba-tiba,
Mahiru mencubitnya lagi, mencengkeram pipinya di antara ibu jari dan dua
jarinya.
Berharap
untuk menyelamatkan wajahnya yang malang dari kerusakan terkait cubitan nakal
Mahiru, Amane menjawab dengan panik, “I-Iya, aku mengerti!”
Mahiru
mengangguk puas. “Bagus.”
“…Ini
namanya pemaksaan, tahu.”
“Gadis-gadis
terkadang bisa menjadi agresif saat dibutuhkan. Selain itu, aku tidak pernah
membiarkan orang lain selain kamu melihatku berperilaku seperti ini, jadi tidak
ada masalah, kok.”
“Uhh,
justru itu ada banyak masalah.”
Malahan, itu lebih menakutkan.
Mahiru
baru saja mengakui bahwa dia memberikan perlakuan khusus kepada Amane. Tapi dia
sepertinya tidak terlalu peduli dengan maksud di balik apa yang baru saja dia
katakan dan hanya tersenyum saat melihat reaksi malu-malu Amane.
“Dasar
bodoh,” gumam Amane, berbalik dalam upaya lemah untuk menyembunyikan wajah
tersipunya.