Chapter 02 — Berinteraksi dengan si Ouji
Walau
dirinya dan Mahiru berada di kelas yang sama, kehidupan sehari-hari Amane
hampir tidak ada perubahan sama sekali. Ia masih rajin bersekolah seperti
biasanya, makan siang bersama Itsuki di kantin, dan langsung pulang ke
apartemennya karena Ia tidak mengikuti kegiatan klub. Ia hampir tidak pernah
berinteraksi dengan Mahiru. Semuanya masih sama seperti yang seharusnya.
Namun,
ada satu hal yang sedikit berubah. Amane mulai berbicara dengan Yuuta lebih
sering ketimbang saat mereka kelas 1 dulu.
Meskipun
begitu, bukan Amane yang mengajak ngobrol duluan. Melainkan, Yuuta sendiri yang
sering mendekatinya, dan Amane melakukan yang terbaik untuk menangani perhatian
orang meskipun wajah kebingungannya terlihat jelas.
Pada
hari upacara pembukaan, Amane merasakan sekilas bahwa kejadian di masa lalu
mungkin terulang kembali, dan itu secara alami membuatnya gelisah. Tapi Yuuta
jelas orang yang berbeda dari mantan temannya di SMP.
Amane
masih sedikit waspada, tapi bukan berarti Ia ingin menjaga jarak dengan Yuuta,
dan saat mereka menghabiskan waktu bersama, Amane mulai menyadari bahwa Yuuta
adalah cowok yang ceria, jujur, dan pengertian. Di atas segalanya, Ia memiliki
persetujuan Itsuki, jadi Amane berpikir kalau Yuuta bukanlah seseorang yang
patut mendapat kecurigaannya.
Setelah
menghadiri minggu pertama sekolahnya sebagai murid kelas 2 SMA, Amane menyadari
bahwa rasa sakit yang selama ini Ia pendam mulai memudar.
“Hei,
apa kamu baik-baik saja dengan keadaan ini?”
Ketika
duduk di seberang Amane, Itsuki mengatakan itu seolah-olah Ia baru mengingat
apa yang ingin Ia tanyakan.
Saat
ini, mereka sedang makan siang di kantin seperti yang biasa mereka lakukan saat
kelas 1.
Kadang-kadang
Chitose juga akan bergabung dengan mereka, tapi hari ini dia pergi makan
bersama Mahiru. Amane senang mereka berdua terlihat akrab, bahkan di depan
umum.
“Apanya?”
“Maksudku,
membiarkan keadaan terus seperti ini dengan kamu-tahu-sendiri-siapa-yang-kumaksud.”
“Tidak
perlu repot-repot untuk berbicara dengannya di sekolah.”
Maksudku, jika aku berbicara dengannya, semua
orang di sekitar kami akan menonton dan mereka pasti penasaran aku dapat nyali
dari mana untuk berbicara dengannya.
Mana
mungkin Amane, cowok yang terlihat seperti cowok suram dan tidak modis, bisa
mendekati Mahiru.
“Oh
ayolah, padahal dia sangat ingin berbicara denganmu, dan itu kelihatan jelas
sekali.”
“…Ya,
aku juga tahu.”
Mahiru
tampaknya sudah berusaha yang terbaik untuk mengabaikan Amane, tetapi sesekali
tatapannya akan melirik Amane dan menatapnya dengan muram.
Sejauh
ini, dia hanya melakukannya ketika tidak ada orang lain yang melihat, tapi
Chitose telah mengambil keputusan sendiri untuk mulai menatap cemooh Amane demi
Mahiru, jadi itu menjadi semakin sulit untuk bertahan.
“Kamu
perlu berubah. Tidak ada cara lain lagi.”
“Ogah,
berdandan seperti itu sangat merepotkan, dan kamu tahu sendiri kalau aku tidak
suka menarik perhatian.”
Selain
itu, walaupun gosipnya sudah mereda untuk saat ini, beberapa orang telah
melihatnya bersama Mahiru, bahkan jika mereka tidak mengenalinya. Jika orang mengaitkan
kalau Amane adalah cowok misterius yang bersama Mahiru, segala sesuatunya akan
menjadi sangat runyam sehingga akan menggagalkan kehidupan sekolah SMA-nya yang
damai.
“Kenapa
kamu selalu pesimis begini…? Jujur saja, kamu bisa menjadi sangat populer, lo.”
“Itu
justru sangat tidak masuk akal.”
Amane
tidak bisa membayangkan kalau mengubah sedikit gaya rambutnya saja akan
membuatnya mendadak populer, tapi Itsuki tampak yakin karena suatu alasan.
“Aku
pikir kamu mempunyai kepribadian yang sangat diidam-idamkan para gadis. Kamu
memiliki sisi cuek, tetapi kamu juga tulus, dan kamu adalah tipe cowok yang
memperlakukan gadis dengan baik.”
“…Bukannya
itu normal?”
“Kupikir
ada banyak cowok yang bahkan tidak bisa melakukan sebanyak itu. Misalnya saja,
kamu tipe yang bisa mengetahui apa yang diinginkan seorang gadis dan kemudian
mewujudkannya. Kamu tidak membuatnya seolah-olah itu perkara besar; Kamu hanya
memperhatikan gerak-gerik si gadis dan kemudian bertindak berdasarkan apa yang kamu
lihat.”
“…Kamu
terdengar sangat yakin tentang ini.”
“Kalau
kamu bukan tipe cowok yang semacam itu, memangnya kamu pikir gadis yang selalu
bersembunyi di balik senyum palsunya itu akan merasa nyaman denganmu?”
Ketika
Itsuki menganalogikannya seperti itu, Amane tidak bisa membantah teori
temannya. Ia menggigit bibirnya saat merenungkan hal tersebut dan Itsuki
tertawa ketika melihat wajah Amane.
“…
terus, boleh aku mengatakan satu hal?” ujarnya.
“Apa?”
balas Amane.
“Jika
kamu tidak menyukainya, mana mungkin kamu akan memperlakukannya seistimewa itu.”
“Cerewet.
Memangnya salah bersikap baik kepada seseorang?”
Itsuki
bisa menebak dengan tepat isi hati Amane. Ia tidak mampu menyembunyikan
perasaannya di hadapan Itsuki. Amane membuang muka dan memasang wajah cemberut saat
menyeruput mie yang Ia pesan untuk makan siang.
Daripada
menggodanya lebih jauh, Itsuki mengangguk dengan bijak dan bertindak terkesan.
“Jika
boleh berkomentar sih, kamu seharusnya merasa senang. Bisa menemukan seseorang yang berharga untukmu merupakan hal yang luar biasa.”
“Oh,
kamu pikir kalau kamu sudah sepuh dalam urusan percintaan?”
“Memang,
aku ini sepuh.”
“…Aku
tidak keberatan kalau kami tidak bisa pacaran. Jika ada seseorang di luar sana
yang bisa membuatnya bahagia, aku tidak mempermasalahkannya jika orang tersebut
bukan aku.”
Jika
Mahiru memilih cowok lain yang tidak dikenalnya dan benar-benar merasa bahagia
dengannya, Amane akan memberi mereka restu. Jika ada orang yang pantas
mendapatkan kebahagiaan, orang itu adalah Mahiru. Tentu saja, Amane sangat
ingin menjadi orang yang bisa membuat Mahiru bahagia, tapi jika Mahiru menemukan kebahagiannya bersama cowok lain,
Amane akan memendam dalam-dalam perasaannya.
“…Kamu
ini emang cowok minderan.”
“Dan
kamu memang cowok brengsek... Dengar, aku memang ingin membuatnya bahagia,
tapi—”
“Kalau
begitu, coba katakan langsung padanya.”
“Mana
mungkin aku mendadak mengatakan hal itu, dasar tol*l!”
Bagaimana aku bisa mengakui perasaanku kalau
aku sendiri belum bisa memahaminya dengan baik?
Mahiru
sangat berhati-hati dalam menjalin hubungan sehingga Amane yakin kalau dia
takkan sembarangan berpacaran hanya untuk bersenang-senang atau hanya untuk
mencoba sesuatu.
Dan mengingat tentang orang tua Mahiru, dia
mungkin takkan mudah menyetejui ajakan berpacaran.
“…Dasar
cowok telat puber.”
“Berisik.
Tidak masalah. Toh, aku bisa membuatnya menyukaiku dengan caraku
sendiri.”
“…Yah,
sebagai pengamat objektif, kupikir lebih baik kalau kamu mengatakan semuanya
langsung padanya, tapi—”
“Tapi
apa?”
“…Bukan
apa-apa,” gumam Itsuki. “…Baiklah, semoga berhasil, bung. Aku mendukungmu.”
Amane
mengerutkan kening, tapi Ia sebenarnya sangat berterima kasih atas dorongan
temannya yang agak misterius itu.
◇◇◇◇
“Oh,
Fujimiya, tumben sekali melihatmu ada di sini.”
Amane
mampir ke pusat gim lokal sepulang sekolah. Ia baru saja memasukkan uang ke
dalam mesin penukaran uang ketika mendengar suara yang akrab.
Ia
memasukkan kembalian ke dompetnya dan berbalik untuk menemukan Yuuta sedang berdiri
di sana. Ia rupanya juga datang untuk bermain gim dan berdiri di belakang Amane
sembari membawa dompet di tangannya.
“Kadowaki?
Kamu bahkan menjadi pemandangan langka. Bagaimana dengan kegiatan klub larimu?”
“Hari
ini ada jadwal libur. Lagipula, latihan yang terlalu keras tidak baik buat
tubuh.”
“Ah.”
Jadi bintang atlet klub lari sekolah pun
sesekali mengambil libur juga, ya?
Amane
mundur dari mesin penukaran, Yuuta lalu memasukkan uangnya dan menunggu
kembaliannya. Setelah Ia mengembalikan koin senilai sekitar dua ribu yen ke
dompetnya, Yuuta menyadari Amane sedang menatapnya dan tersenyum.
“Aku
terkejut melihatmu di tempat seperti ini, Fujimiya. Kamu sepertinya bukan tipe
orang yang suka dengan tempat penuh kebisingan.”
“Aku
juga mengunjungi pusat gim sama seperti orang lain. Aku hanya tidak suka
membuang-buang uang, jadi aku tidak sering pergi ke sini.”
“Hmm.
Yah jadi, untuk apa kamu datang hari ini?”
“Aku
mau melihat-lihat gim capit. Aku mendapat perintah untuk mengambil boneka
binatang.”
Sebenarnya,
itu semua berkat ulah Chitose yang sudah menunjukkan halaman KEDATANGAN BARU dari situs web pusat gim
dan menunjukkan mana yang mungkin disukai Mahiru, jadi Amane memutuskan untuk
memberikannya sebagai hadiah untuk Mahiru, karena dia tampak sedikit sedih
belakangan ini.
Apalagi,
seperti yang pernah Ia lihat di foto yang dikirim Chitose kepadanya, kelihatannya
ruangan apartemen Mahiru minim dekorasi. Jadi Amane berharap untuk memenangkan
teman lucu untuk menemani boneka beruang yang sudah pernah Ia berikan pada
Mahiru.
“Apa
kamu pikir bisa memenangkan boneka binatang dari gim capit?”
“Ini
sudah seperti keahlianku.”
Alat
capit di arcade khusus ini lebih kuat dari biasanya, jadi lebih mudah untuk
mengambil mainannya. Selama Ia memperhitungkan keseimbangan dan posisi boneka
binatang saat mengendalikan mesin capitnya, Ia bisa mendapatkan hadiahnya
dengan mudah.
Sebenarnya,
ibunya sendiri yang mengajari Amane trik rahasia di balik gim capit ini saat SD
dulu. “Kamu lihat yang ini? Jika kamu
menurunkan lengan capitnya di sini, kamu bisa mendapatkannya tanpa masalah. Dan
yang ini juga bagus. Tinggal kaitkan saja labelnya dengan lengan capit.” Itu
adalah salah satu dari banyak bakat tak berguna yang telah diwariskan padanya.
Yuuta
menatapnya dengan pandangan tidak percaya, jadi Amane memandu teman sekelasnya
ke bagian yang penuh dengan semua gim capit. Ia memutuskan untuk mencoba
peruntungannya pada mesin di bagian pendatang baru yang diisi dengan boneka
kelinci.
Amane
dengan santai memasukkan koin ke dalam slot. Dilihat dari penempatan boneka binatang
dan ukuran lengan capit, satu koin saja sudah cukup. Beberapa hadiah
membutuhkan banyak uang untuk dimenangkan, tapi salah satu boneka kelinci ini—karakter yang tidak dikenali Amane—seharusnya
mudah untuk diambil.
Ia
mengarahkan lengan capit ke tempat bagian kepala dan tubuh kelinci bertemu dan
dengan terampil mengarahkan lengan capit ke tempatnya, mengapit bagian kepala
dan menghindari tubuh. Saat lengan capit itu naik, lengan capit tersebut
membawa boneka kelinci itu berayun-ayun ke lubang keluar. Ketika dia melepaskan
tangannya dari tuas, boneka kelinci itu jatuh ke lubang hadiah dengan bunyi plop.
Amane
dengan santai menariknya keluar dan berbalik untuk menunjukkan Yuuta yang
tampak terkesan.
“Wow!”
“Lengan
capit di pusat gim ini lumayan kuat, dan stafnya juga ramah-ramah, jadi jika
kamu merasa kesulitan, mereka akan menunjukkan cara untuk menang. Ini juga
tempat yang bagus untuk pemula.”
“Itu
sebabnya Itsuki dan yang lainnya bilang kalau ini tempat yang bagus? Aku jadi
paham sekarang.” Yuuta mengangguk. “Ngomong-ngomong, apa itu hadiah untuk
seseorang ?”
“Ya.
Untuk seseorang yang sudah merawatku dengan baik. Aku ingin menunjukkan balas
budiku padanya.”
Yah, aku tidak berbohong juga sih.
Aku cuma mengabaikan fakta bahwa aku sedang
berbicara tentang Mahiru. Memang benar dia sudah merawatku, dan aku bersyukur
atas apa yang sudah dia lakukan setiap hari.
Amane
langsung bisa membayangkan pemandangan menggemaskan Mahiru yang dikelilingi oleh boneka
binatang, jadi pilihan hadiahnya tidak sepenuhnya tulus.
“Kamu
benar-benar cowok yang perhatian, Fujimiya. Meski aku sudah tahu itu, sih.”
“Apa
maksudmu, kamu tahu itu?”
“Yah,
kamu sensitif, dan kamu selalu bertingkah seperti cowok jantan. Ditambah, Kamu
membantu orang lain tanpa pamrih. ”
“Kadang-kadang,
kurasa.”
“Walaupun
cuma kadang-kadang, tapi kamu sudah membantuku. Misalnya saja seperti kejadian
tas belanjaan dan lainnya, itu sangat membantuku.” Yuuta mengucapkan terima
kasih lagi dengan senyum cerah, dan Amane merasa sedikit malu.
Sebenarnya
itu hanya masalah sepele, tapi rupanya Yuuta masih mengingatnya.
Amane
biasanya membawa tas belanjaan, dan bukan niatnya untuk membuat Yuuta merasa
berhutang budi padanya.
“…Oh
ya, apa kamu memakan semua cokelat Valentine itu, Kadowaki?” Amane bertanya,
mencoba untuk melewati kecanggungan yang Ia rasakan ketika dihadapkan dengan
rasa terima kasih Yuuta yang berlebihan.
Ekspresi
Yuuta tiba-tiba menjadi muram. “Ah… apa kamu bisa jaga rahasia? Sebenarnya, aku
cuma memakan cokelat yang dibeli di toko.”
“Kamu
tidak memakan yang buatan tangan?”
“…
Untuk yang cokelat buatan tangan … Bagaimana cara bilangnya, ya? Aku yakin ada
beberapa gadis yang bisa membuatnya dengan bagus, tapi—”
“Rasanya
tidak enak?”
“Bukan
begitu, hanya saja... Kadang-kadang di dalam cokelat itu ada rambut atau
benda-benda lain yang jelas-jelas tidak boleh ada di sana.”
“Seriusan
…?”
Mengetahui
bahwa sesuatu seperti itu secara tidak sengaja tercampur saja sudah membuat
siapa saja merasa jengkel, tapi dari nada bicaranya, Amane mencurigai kalau
Yuuta sudah sering menemukan cokelat pelet
yang seperti itu.
Amane
ingat pernah membaca di suatu tempat kalau dahulu kala, orang-orang mempercayai
kalau mencampurkan bagian tubuh ke dalam makanan seseorang bisa bekerja seperti
jimat ajaib atau pelet untuk membuat orang yang disukai jatuh cinta. Orang yang
mengonsumsi ramuan rahasia itu tidak bisa berdaya untuk menahan efeknya.
“Aku
masih menerima hadiahnya, bahkan jika ada …sesuatu yang aneh di dalamnya,
tapi…itu sering terjadi, dan aku masih takut itu akan terjadi lagi, jadi aku
memberitahu semua orang dulu kalau aku takkan memakan cokelat yang buatan
tangan. Orang-orang yang tetap memberikannya kepadaku… Yah, aku menghargai niat
baik di balik hadiah ini, dan aku masih membalas setiap hadiah yang kuterima. Sayangnya,
ada beberapa gadis yang mencoba menyamarkannya sebagai cokelat yang dibeli di
toko, tapi… mau bagaimana lagi? Dan tentu saja, jika itu terjadi lebih dari
sekali, aku takkan pernah menerima coklat dari gadis itu lagi, jadi…” Yuuta
terdiam, terlihat sedih dan galau. Mau tak mau Amane jadi merasa kasihan
padanya.
“…Kurasa
bahkan cowok populer juga mempunyai masalahnya tersendiri, ya.”
“Sementara
itu, semua orang sangat iri padaku, aku merasa aku tidak bisa mengeluh, tapi… Bukannya
aku ingin populer. Sejujurnya, itu menyedihkan. Jika bisa, aku dengan senang
hati menyerahkan kepopuleran ini kepada orang lain. ”
“Kedengarannya
serius.” Amane mengangguk.
“Maksudku,
ya, itu mengganggu. Gadis-gadis memberiku cemilan atau makanan dengan
benda-benda aneh yang tersembunyi di dalamnya, dan mereka memberinya sambil
tersenyum sepanjang waktu.”
Wajar
saja Ia merasa khawatir.
Biasanya,
kebanyakan anak cowok akan menghargai makanan buatan tangan seorang gadis, tapi
bagi Yuuta, itu adalah potensial ancaman. Mengalami sesuatu yang begitu
mengerikan berkali-kali pasti membuatnya trauma.
“Kadang-kadang,
aku sempat pikir kalau jauh lebih mudah jika aku berpacaran dengan seseorang,
jadi gadis-gadis lain akan berhenti mendekatiku … tapi aku takut kalau gadis
yang aku pilih akan dibully.”
“…
Yang namanya kecemburuan memang menakutkan.”
“Ya…”
Bahu
Yuuta merosot seolah-olah Ia tak berdaya dengan nasibnya.
Amane
memenangkan sekantong besar cemilan kentang dari mesin terdekat dan menawarkannya
kepada cowok sedih yang ada di hadapannya.
“Makanlah
ini, kamu akan merasa baikan,” hiburnya. “Dan kamu tahu, jika kamu ingin curhat
atau membicarakan sesuatu, kamu bisa datang ke Itsuki atau aku.”
“Kadang-kadang
rasanya memang sulit … Jadi aku menghargainya.”
Melihat
Yuuta begitu bermasalah, Amane sadar bahwa popularitas tidak selalu membuat
hidup orang lebih mudah atau lebih baik.
◇◇◇◇
Ketika
Amane sampai di rumah, Mahiru mendengar kepulangannya dan menuju pintu masuk
untuk menyambutnya.
Dia
mengenakan celemek dengan gaya rambut yang di sanggul. Dia selalu menguncirnya
ke belakang saat sedang memasak, tapi kali ini dia menambahkan kepang sebagai
hiasan imut yang menonjolkan gaya praktisnya.
Mahiru
tersenyum, merasa sedikit lega karena Amane sudah kembali. Rupanya, dia sudah
selesai membuat makan malam.
Setelah
meninggalkan pusat gim, Amane pergi ke kafe bersama Yuuta untuk mendengarkan
keluhannya sambil ditemani kopi. Ia sudah memberi tahu Mahiru kalau Ia akan pulang
terlambat, tetapi ternyata Mahiru masih tetap khawatir.
“Selamat
datang kembali di rumah, Amane-kun … Apa yang ada di dalam tas itu?”
“Aku
mampir ke pusat gim dan mendapat beberapa hadiah.”
Tas
besar itu penuh dengan semua barang yang Amane menangkan, termasuk boneka
kelinci. Hanya dengan melihat saja sudah kelihatan jelas kalau ada banyak
barang di dalamnya.
“...
Itu cukup banyak.”
“Dan
aku hanya menggunakan uang yang setara dengan uang jatah makan siang selama dua
hari.”
“Uwahh,
apa yang kamu menangkan?”
“Mungkin
kita bisa menyimpannya untuk nanti? Aku sudah lapar, nih.”
Amane
ingin menemukan saat yang tepat untuk memberikan boneka kelinci itu padanya.
Ekspresi kagetnya sangat layak untuk ditunggu.
Apalagi
perutnya sudah keroncongan. Amane tidak berbohong saat mengatakan kalau Ia
ingin menikmati masakan Mahiru yang lezat.
“Kalau
begitu, ganti baju dan cuci tanganmu—dan jangan lupa untuk berkumur. Sementara kamu
melakukan itu, aku akan menyiapkan makanannya. ”
“Oke,
siap.”
Ia
sebenarnya tidak perlu diingatkan segala, tetapi itu masih membuatnya senang
ketika mendengar perhatian Mahiru padanya. Dia bahkan mungkin bertingkah
sedikit keibuan, tetapi Amane tidak mengatakan itu dengan keras dan malah
menuju ke kamar mandi.
◇◇◇◇
“…Jadi
tadi kamu membawa pulang apa sampai membutuhkan tas sebesar itu?”
Hadiah
itu pasti terus mengganggu pikiran Mahiru. Setelah makan malam, dia melirik tas
yang ada di samping sofa dan menanyakannya lagi.
“Hmm?
Boneka binatang.”
Amane
tidak berniat menyembunyikannya, jadi Ia mengambil tas itu dan meletakkannya di
pangkuannya, lalu melepas selotip yang menutupnya.
“Boneka
binatang?”
“Yeah,
kamu menyukainya, ‘kan, Mahiru?”
“Y-ya,
aku suka sih, tapi—”
“Aku
melihat beberapa boneka yang kupikir kamu akan menyukainya, jadi aku
mendapatkannya untukmu. Ini.”
Hadiah
terbaik di antara kemenangan hari itu adalah boneka kelinci yang ukurannya
hampir sama dengan boneka beruang yang pernah Amane berikan sebelumnya.
Ukurannya cukup besar, dan Ia bisa memenangkannya hanya dengan satu koin, jadi
Ia memutuskan tidak apa-apa untuk merasa sedikit bangga.
Amane
mengeluarkan boneka kelinci dan meletakkannya di lutut Mahiru, di mana dia bisa
melihat bulu putih dan mata bundarnya yang besar.
Ia
tidak terlalu mengenal tentang maskot tertentu. Amane hanya memilihnya karena
kelinci tersebut tampak seperti boneka yang diingankan Mahiru.
Mahiru
menatap boneka kelinci yang duduk di lututnya.
“Kamu
... tidak suka boneka kelinci?” tanya Amane.
“...
Ini imut.”
“Syukurlah,
aku senang.”
Mahiru
melingkarkan kedua tangannya di sekitar boneka kelinci dan meremasnya erat-erat
di pipinya, seperti yang selalu dia lakukan dengan bantal favoritnya. Sekilas,
Amane sempat berpikir untuk mengeluarkan ponselnya untuk mengambil fotonya
tetapi akhirnya memutuskan untuk tidak melakukannya.
Mahiru
tersenyum lembut sembari memeluk boneka, jadi Amane menangkap adegan itu dengan
kamera mentalnya dan menarik boneka binatang lain dari tas yang padat.
“Masih
ada lagi, lo. Aku juga mendapatkan boneka kucing, anjing dan—”
Berkat
lengan capit di pusat gim itu yang relatif kuat, Amane bisa mendapatkan
sebagian besar hadiah dengan uang yang sangat sedikit, jadi Ia memenangkan
mainan demi mainan, mengambil semua yang Ia pikir akan diinginkan Mahiru.
Saat
Ia menambahkan boneka kucing krem-putih yang terlihat seperti gaya Mahiru dan boneka
anjing Shiba Inu, Mahiru menatapnya dengan wajah tercengang.
“Uh,
um, sebanyak ini…?”
“Aku…
Uh, kuharap mereka tidak menghalangi …”
“Tidak,
tidak sama sekali, kok! Aku tidak memiliki banyak dekorasi di apartemenku, dan
itu sangat lucu. Aku justru merasa sangat senang.”
“Syukurlah
kalau kamu menyukainya.”
Sama
seperti yang dibayangkannya, Mahiru tampak menggemaskan ketika dikelilingi oleh
sekawanan kecil boneka binatang.
Dia
masih mendekap boneka kelinci itu, tapi dia melihat bolak-balik dengan gelisah
antara boneka kucing dan boneka anjing, kesulitan memilih mana yang harus
dipeluk selanjutnya. Amane tidak bisa menahan senyum, dan Mahiru pasti menyadari
kalau Amane sedang menatapnya, karena wajahnya menjadi merah padam, dan mencoba
bersembunyi di balik boneka kelinci.
Kontras
antara bulu putih kelinci dan pipinya yang memerah sangat mencolok.
Tatapan
Mahiru yang mengintip dari celah di antara telinga kelinci, sedikit
berkaca-kaca, yang mana pemandangan itu justru membuatnya semakin menggemaskan.
Akhirnya, karena tidak tahan menanggung rasa malunya, Mahiru mencondongkan
badannya dan membenamkan wajahnya di bahu Amane.
“…Jangan
menyeringai padaku seperti itu.”
“Tidak,
kok.”
“Apanya
yang tidak! Kamu terlihat menyeringai lebar seperti itu. Jelas-jelas kamu menertawakanku
karena kekanak-kanakan.”
“Bukan
karena itu aku tersenyum. Itu karena kamu terlihat imut saat bersama
boneka-boneka itu.”
“…
Jadi kamu mengakui kalau kamu menyeringai padaku, ‘kan?”
“Kamu
benar-benar menjebakku,” katanya menggoda, memberinya senyum lebar lagi. Kali
ini, Mahiru menepak-nepak paha Amane, jadi Ia mengelus kepala Mahiru untuk
menenangkannya untuk saat ini.
Mahiru
tampaknya sudah sedikit tenang, dan ketika Amane menyeringai padanya lagi, Ia
melakukan yang terbaik untuk memastikan kalau Mahiru tidak menyadarinya.
“…Aku
merasa ini semua hanyalah tipuan atau semacamnya.”
“Itu
hanya imajinasimu saja.”
“…Yah,
hanya untuk hari ini, aku akan membiarkannya,” gumam Mahiru tidak setuju.
Amane
memutuskan untuk tidak menunjukkan bahwa dirinya masih tersenyum.
Saat
melihat boneka kucing yang ada di pangkuan Mahiru dan boneka kelinci yang dia
peluk, Amane pikir dia sedikit mengingatkannya pada kedua hewan itu sambil
terus membelai rambutnya.
Mahiru
tiba-tiba duduk. Pipinya masih merah merona, tapi Amane bisa melihat nada
protes baru di matanya.
“…Aku
selalu saja yang menjadi pihak penerima.”
Rupanya,
semua hadiah itu membuatnya tidak nyaman.
“Aku
hanya melakukan apa yang ingin aku lakukan, jadi jangan terlalu dipikirkan
tentang itu.” tegas Amane.
“Tapi
… aku selalu mendapatkan sesuatu darimu. Kamu memberiku hadiah, selalu
perhatian, dan kamu menghabiskan begitu banyak waktu denganku… Semuanya.”
“Tapi
hanya itu saja yang ingin kuberikan padamu, jadi tidak ada yang perlu kamu
khawatirkan.”
Bukannya aku mengharapkan balas budi atau
lainnya. Itu hanya karena aku ingin membuatnya bahagia. Mungkin itu membuatnya terdengar
seperti kebahagiaan Mahiru adalah kompensasiku atau sejenisnya, tapi sebenarnya
itu semua demi kepuasanku sendiri. Rasanya sangat memuaskan saat bisa
membuatnya bahagia, jadi itu sebabnya aku melakukan ini. Cuma itu saja
alasannya.
Namun
rupanya Mahiru merasa tidak enakan. Itu tampak tidak masuk akal bagi Amane,
mengingat semua masalah yang Mahiru alami demi dia, ditambah semua perawatan
dan perhatian yang selalu Mahiru berikan padanya. Sejujurnya, Amane berpikir kalau
semua yang Ia lakukan tidak sebanding dengan apa yang sudah Mahiru berikan
padannya.
Tapi
sepertinya Mahiru justru merasakan sebaliknya.
“Aku
ingin membalasmu dengan sesuatu,” dia bersikeras.
“Kamu
ngotot sekali...,” goda Amane. “Tapi … kurasa jika kamu bersikeras begitu,
mungkin ada satu hal yang aku suka.” imbuhnya.
“Jika
itu sesuatu yang bisa aku berikan, katakan saja.”
Mahiru
benar-benar tampak siap menuruti apa pun yang Amane minta. Tentu saja, Amane
takkan meminta yang aneh-aneh. Tapi Ia harus mengajukan semacam permintaan, atau
Mahiru akan merasa tidak enakan terus.
“Aku
ingin puding.”
Oleh
karena itu, Amane dengan senang hati meminta sesuatu yang bisa ditangani
Mahiru.
“…Puding?”
“Ya,
jenis puding yang dengan banyak telur. Aku ingin mencicipi versi buatanmu.”
“…Maksudmu
bukan dari toko, ‘kan? Itu hampir tidak cukup untuk membalasmu. ”
“Tentu
saja bukan. Aku akan merasa puas jika itu buatanmu sendiri. ”
Amane
tidak peduli dengan makanan manis lainnya, tapi puding adalah masalah yang
berbeda.
Ia
menyukai krim puff yang dibuat hanya dengan puding atau isian custard-krim dan
tahu betul kalau puding buatan Mahiru pasti rasanya sangat lezat. Sebuah
suguhan manis yang dibuat dengan terampil dari gadis yang disukainya... Ia
tidak bisa memikirkan hal lain yang lebih baik.
Amane
mengajukan permintaannya dengan sangat serius, dan Mahiru menatapnya diam-diam
sejenak, lalu mengangguk tegas.
“…Baiklah,
aku akan membuatnya akhir pekan ini. Puding kenyal dengan banyak telur, kan?”
“Mm-hm.”
“Aku
akan melakukan yang terbaik untuk membuat sesuatu yang enak!"
“Oke,
oke, kamu tidak perlu terlalu bersemangat begitu ...”
“Jika
aku sudah memutuskan melakukannya, aku akan melakukannya dengan sempurna.”
“Begitukah?”
Mahiru
tampaknya menganggap ini sangat serius karena suatu alasan. Amane berpikir
bahwa mungkin dia tidak perlu berusaha terlalu keras, tetapi karena Ia akan
mendapatkan puding yang enak dari Mahiru, Amane tidak bisa terlalu mengeluh.
Amane
membelai kepalanya sekali lagi untuk menunjukkan dukungannya, dan Mahiru
terlihat sedikit malu dan membenamkan bagian bawah wajahnya di belakang kepala
kelinci.
◇◇◇◇
Puding
lembut dengan banyak krim kental memanglah nikmat, tapi bagi Amane, puding yang
paling enak adalah puding yang kaku dengan banyak telur, jenis puding yang
mempertahankan bentuknya meskipun sudah di sendok.
Puding
yang dibuat Mahiru dengan jelas menonjolkan rasa kuning telur sambil dengan
hati-hati menyeimbangkan kekayaan rasa krim kentalnya. Puding tersebut memiliki
perpaduan rasa yang berbeda, dan sentuhan kepahitan gula karamel yang dibakar
membuat rasanya tidak terlalu manis.
Amane
mendapati dirinya tidak bisa menghentikan tangannya untuk menyendok puding dan
membawa ke mulutnya seolah-olah sedang kesurupan. Tanpa Ia sadari, pudding
buatan Mahiru benar-benar lenyap dari atas piringnya.
“Astaga,
itu tadi sangat enak sekali.”
“Aku
benar-benar tersanjung mendengarnya.”
Mahiru
menyajikan puding setelah makan malam, dan Amane langsung menghabiskannya. Satu
porsi tidak cukup, jadi Ia meminta tambah.
Untuk
setingkat cowok SMA, Amane tidak memiliki nafsu makan yang besar, tapi ketika
berkaitan tentang makanan penutup buatan Mahiru, Ia tidak merasa heran kalau
perutnya masih bisa menampung sebanyak mungkin.
Merasa
lebih puas dari yang Ia duga, Amane merasa sangat puas. Ia mengusap perutnya
yang membuncit karena kekenyangan.
“Kamu
benar-benar bisa membuat apa saja, ya?”
“Yah,
aku memiliki pendidikan yang sangat… menuntut,” jawab Mahiru. Dia tidak membual
sedikit pun, tetapi memang benar bahwa daftar masakan yang bisa dibuatnya cukup
banyak. Terkadang dia bahkan membuat hidangan yang belum pernah dilihat Amane
sebelumnya.
Masakan
Mahiru selalu enak, dan Ia merasa sangat puas dengan masakannya. Memiliki
seseorang seperti Mahiru untuk membuatkannya makanan lezat adalah salah satu
kebahagiaan terbesar Amane.
“Yah,
aku tidak tahu harus berkata apa lagi, kecuali berterima kasih. Aku merasa
sangat bahagia.”
“…
Bahagia?”
“Tentu.
Maksudku, siapa yang tidak puas menjalani kehidupan seperti ini saat mereka
bisa memakan makanan enak setiap hari? Aku selalu menantikannya.”
Masakan
Mahiru merupakan sesuatu yang paling Amane nantikan setiap hari. Selama Ia bisa
menikmati makan bersamanya di penghujung hari, Amane bisa melupakan semua
kesengsaraan dan masalahnya.
Fakta
bahwa dia memasak untuknya sepanjang waktu adalah penyebab kegembiraan, dan
dibanjiri dengan perasaan bahagia setiap kali Ia menyantapnya, tapi Mahiru
tampaknya tidak benar-benar memahami nilai masakannya sendiri.
Sebelumnya,
Amane pernah mengatakan bahwa masakan Mahiru terasa seperti kebahagiaan, tapi Mahiru
sepertinya tidak paham. Jika Amane tidak memberikan pujian yang tinggi padanya,
dia mungkin takkan pernah menyadari nilainya.
Selain
itu, memuji juru masak ketika hidangan
mereka terasa enak merupakan salah satu bentuk sopan santun, dan Amane bermaksud
untuk menerapkan terus hal itu.
“...Ka-Kamu
benar-benar berpikir begitu?”
Pipi
Mahiru sedikit memerah karena pujian Amane.
“…Itu
membuatku senang saat kamu mengatakannya begitu, Amane-kun.”
“Yah,
jika kamu tidak keberatan kalau itu dariku, aku bisa memberimu pujian sebanyak
yang kamu suka. Mungkin kamu ingin aku lebih detail ketimbang cuma bilang kalau
semuanya terasa enak? Aku juga bisa melakukannya, kok.”
Keretakan hubungan di antara pasangan sering
kali dimulai dengan lupa untuk saling berterima kasih.
Bukannya
Ia dan Mahiru adalah sepasang kekasih atau semacamnya. Tapi Mahiru sudah
membuatkan makan malam untuknya hampir setiap hari, dan Amane percaya bahwa
penting untuk sering mengungkapkan rasa terima kasihnya. Dan selain itu,
mendapatkan timbal balik yang baik mungkin membuatnya merasa lebih termotivasi,
jadi jika dia mau, Amane siap untuk menyajikan catatan terperinci.
Tapi
Mahiru menggelengkan kepalanya, langsung membantah ide itu.
“To-Tolong
jangan… aku akan mati jika kau beneran melakukannya.”
“Bukannya
itu sedikit ekstrim?”
“Aku
serius, tau. Apa yang kamu lakukan sekarang sudah cukup.”
“Benarkah?
Tapi kamu akan terus membuat makanan untukku, jadi aku ingin menunjukkan rasa
terima kasihku dengan benar. Terima kasih untuk semuanya.”
Sejujurnya,
takaran gizi Amane sepenuhnya bergantung pada masakan Mahiru, jadi Ia merasa
berhutang banyak padanya dan ingin melakukan apapun yang Ia bisa untuknya.
Mahiru sudah menjadi keberadaan yang sangat penting baginya. Ketika Mahiru
tidak ada, Amane dengan cepat kembali ke kebiasaan lamanya yang tidak ada
harapan, jadi Ia berharap kalau Mahiru akan tinggal di sisinya untuk waktu yang
lama.
Amane
tersenyum penuh terima kasih, dan Mahiru gemetar seperti telepon yang bergetar,
lalu dengan cepat berdiri.
“…Amane-kun
no baka …” katanya dengan suara lucu. Kemudian dia membawa piring ke wastafel.
Amane mengikutinya sambil membawa piringnya sendiri di tangan.
Dia
tiba-tiba bergerak, jadi Amane ingin mendapatkan perhatiannya untuk
memberitahunya bahwa Ia yang akan menangani bersih-bersih dan Mahiru tidak perlu
melakukan hal lain. Saat Amane dengan ringan memegang lengan Mahiru, dia lalu
berbalik untuk menghadap Amane.
Mahiru
menatapnya dengan pipi yang merah merona. Dia sepertinya benar-benar tidak
tahan berada di sana lebih lama lagi.
“…
Biar …Biar aku saja yang mencuci piringnya. Kamu bisa pergi duduk di sofa.
Oke?”
Amane
mengacak-acak rambut Mahiru dan menyuruhnya keluar dari dapur. Sambil mengerang
pelan, Mahiru bergegas ke sofa dan membenamkan wajahnya di bantal. Amane
sedikit terkejut atas kurangnya ketenangan Mahiru yang begitu tiba-tiba.
Saat
mencuci piring, Amane tidak bisa menghilangkan ekspresi tersipu Mahiru dari
pikirannya. Ia mengganti keran ke air dingin, berharap kalau hal itu bisa
mendinginkan kepalanya sedikit.
<<=Sebelumnya |
Daftar isi | Selanjutnya=>>