Prolog
Pada
hari Minggu di sebuah warung makan yang dipenuhi pembeli dan keluarga mereka.
Kai, alias Nakamura Ash, sedang duduk di kursi dekat meja plastik kecil saat
tengah terlibat dalam obrolan satu lawan satu yang meriah. Lawan bicaranya
adalah gadis yang setahun lebih muda darinya dan pegawai baru di tempat
pekerjaan paruh waktunya.
Gadis
tersebut, terus terang saja, mempunyai paras yang cantik. Ekspresinya sering
berubah menjadi senyuman nakal, yang mana hal tersebut meningkatkan pesona si
gadis berkat proporsi wajahnya yang sangat sempurna. Namun, dia masih memiliki
aura keanggunan padanya, mungkin karena rambut hitam lurus yang memanjang
sampai ke pinggulnya. Rambutnya memiliki kemilau indah yang bisa terlihat jelas
oleh semua orang, seakan-akan seorang seniman telah mencurahkan jiwanya untuk
memoles setiap helainya siang dan malam. Dan nama gadis itu adalah Hotei
Kotobuki.
Kai
memperhatikan Kotobuki yang sedang menyeruput ujung sedotannya seolah-olah itu
adalah minuman mewah, bukan cangkir kertas murahan yang diisi dengan jus jeruk
bali. Entah bagaimana, Ia tidak menganggap pemandangan itu menjengkelkan.
Sebaliknya, Ia justru menganggapnya sebagai pemandangan yang sempurna.
“Kamu
benar-benar tahu bagaimana cara membuat minuman itu terlihat enak, ya.” goda
Kai seraya tertawa kecil.
“Apa
itu bisa kuangggap kalau kamu ingin mencobanya?”
Ketimbang
menunjukkan kejengkelan, Kotobuki malah membalas dengan nada aneh dan lesu. Dia
baru mulai bekerja tiga bulan yang lalu, jadi dia masih pemula dan belum
terbiasa dengan cara bicara sopan yang diperlukan untuk pekerjaan bidang layanan.
Dia
mengulurkan ujung sedotannya ke arah Kai dengan ekspresi puas di wajahnya,
tampilan kepercayaan diri yang tidak dimiliki oleh bahasa tubuhnya yang lain.
Kai mengikuti contoh rekan kerjanya dan beralih menggunakan nada lesu yang sama
sebelum menjawab.
“Kurasa
aku harus menahan diri. Ini hanya jus jeruk bali, ‘kan?”
“Oh,
ini bukan ‘hanya’ jus biasa. Ini
adalah jus jeruk bali yang sudah diberkati oleh bibir gadis cantik. Harta mana
lagi yang kamu dustakan?”
“Kamu
tidak bermaksud menyarankan itu meningkatkan rasanya, kan?”
“Mungkin
kamu perlu mencobanya untuk mencari tahu?”
“Walaupun
itu bakal menghasilkan sesuatu yang disebut banyak orang sebagai 'ciuman tidak langsung'?”
“Ini
cara bertele-tele untuk menyatakan kalau aku ingin ciuman tidak langsung.
Tolong jangan buat aku mengatakannya secara langsung, itu membuatku merasa
malu, tau.”
“Apa
kamu selalu menyembunyikan kepribadian yang begitu pemalu?"
“Apa
yang kamu sebut 'sembunyikan' adalah
apa yang aku lebih suka sebut 'berperilaku
elegan.'”
“Setiap
orang punya selera berbeda-beda, ya.”
“Aku pikir kecerdasanku yang tajam pantas
mendapat sanjungan,” kata Kotobuki sambil berseri-seri dengan kebanggaan yang menjengkelkan.
Tentu, dia memasang ekspresi imut itu dengan tidak adil, tapi Kai tidak bisa
memaksa dirinya untuk membencinya.
“Karena
akulah yang meminta kencan pertama kita ini,” lanjut Kotobuki, “Kupikir aku
harus berusaha untuk memainkan suasana romantis. Apa rangsangannya agak kuat untuk
seseorang yang masih perjaka seperti dirimu?”
Dia
menghela nafas dan dengan lelah mengangkat bahunya seolah-olah dia adalah
wanita dewasa yang punya banyak pengalaman. Dari tatapannya, jelas sekali kalau
dia memandang rendah teman kencannya. Sampai...
“Yah,
jika kamu bersikeras, aku akan mengabulkan permintaan ciuman tidak langsungmu.”
“Whafgaughuh?!”
Kai
dengan santai mencondongkan kepalanya ke depan untuk menyeruput sedotannya,
tapi Kotobuki berteriak mundur dengan panik. Suasana superioritas yang dia
miliki beberapa saat yang lalu menghilang sekejap mata saat wajahnya memerah
sampai ke leher.
“Oh?
Ada masalah apa, Kotobuki?”
“N-Nakamura,
kamu nakal.”
“Bukannya
kamu sendiri yang meminta ciuman tidak langsung?”
“Dasar
tidak tau malu!?”
Kai
terus mencondongkan tubuh ke depan untuk menyedot sedotannya, jadi Kotobuki
dengan panik mengarahkan cangkir ke kiri dan ke kanan di tangannya untuk
menghindari upaya Kai.
Apa dia benar-benar berharap kalau aku jatuh
dalam gertakannya? pikir Kai. Dasar bodoh. Trik-trik semacam itu mungkin
berhasil padaku saat di SMP, tapi tekadku sudah diperkuat oleh kontak fisik
biasa dengan sahabat gadisku selama setahun terakhir!
“Kenapa
kamu terus lari, Kotobuki? Izinkan aku untuk menikmati sedotan yang telah
menghiasi bibir indahmu itu. Ayo cepat!”
“Na-Nakamura,
dasar mesum. Perkataanmu benar-benar cabul. ”
“Aku
cuma merasa tersentuh oleh upaya tulusmu dan ingin bekerja sama dalam memainkan
suasana romantis.”
“Siapa
juga yang menyebut jarak yang jauh begini dengan kata romantis ?!”
Kai
hanya menggodanya dengan iseng, tapi Kotobuki terus-menerus tersipu saat dia
dengan agresif membantah.
Sebenarnya,
Kotobuki memiliki mental krupuk. Memang, dia bisa saja bertingkah
menjengkelkan, tetapi kepura-puraannya yang sering menunjukkan sikap kedewasaan
dan omong kosong hanyalah upaya putus asa untuk mempertahankan ketenangannya.
Dia mungkin mengira kalau dia sudah menyembunyikannya dengan baik, tapi sayang
sekali! Kai bisa melihat jelas semuanya. Tidak peduli seberapa angkuhnya
seringai atau nasihatnya yang sinis, Ia cuma bisa mendecakkan lidahnya. Kai
tidak bisa membencinya; pada kenyataannya, tingkah lakunya itu justru
membuatnya lebih manis.
“Oooooh,”
rengek Kotobuki saat dia akhirnya menarik kembali tangannya dan menyembunyikan
cangkirnya di belakang punggungnya.
“Kamu
tidak perlu sampai sejauh itu juga kali,” Kai terkekeh saat kembali ke nada
khasnya untuk mengolok-olok Kotobuki.
Sementara
itu, Kotobuki berusaha menyembunyikan ekspresi bersalah di wajahnya. Dia
menatap Kai dengan tatapan tajam dan berkata, “Ini diperlukan demi
mempertahankan kesucianku. Aku berjuang dengan sekuat tenaga.”
"Kesucian dengkulmu!?”
Kai
tidak bisa menahan tawa pada pernyataan yang satu itu. Dan dia mengejekku dengan perkataan perjaka, pikirnya, merasa
ironi. Tapi itu membuatnya sadar bahwa Kotobuki benar-benar gadis kecil yang
lugu; kekebalannya terhadap lawan jenis tidak sekuat yang dia banggakan. Ada
berbagai lelucon dan permainan kata-kata yang bisa digunakan, tapi...
Sebaiknya aku berhati-hati supaya tidak
melewati batas, renung Kai
pada dirinya sendiri. Itu adalah pengingat bahwa Ia harus berhati-hati dalam
menjaga sopan santunnya; pengalamannya dengan gadis tidak cukup luas untuk
membuatnya bisa melakukannya dengan mudah.