Otonari no Tenshi-sama Vol.3 Chapter 4 Bahasa Indonesia

Chapter 04 — Keputusan Tenshi-sama

 

“Itsuki! Fujimiya! Ayo makan bareng!”

Pada jam makan siang di sekolah, Amane yang sedang dalam perjalanan untuk makan siang bersama Itsuki seperti biasa, mendengar suara yang baru-baru ini Ia kenal memanggil namanya.

Seperti yang diduga, suara itu berasal dari Kadowaki Yuuta yang melambaikan tangannya sambil memancarkan senyumnya yang cerah dan ramah. Biasanya, Yuuta akan makan siang dengan teman-temannya yang lain, tapi ternyata hari ini sedikit berbeda, saat Ia mendekati mereka sembari membawa dompet di tangannya.

Yuuta sudah sering mengobrol dengan mereka sejak memasuki kelas dua, tetapi mereka masih belum bisa dibilang punya hubungan dekat atau semacamnya.

Tapi berkat Amane yang mendengarkan masalah Yuuta tempo hari, kedekatan telah tumbuh di antara mereka, dan yang lebih penting, Amane menyadari bahwa Yuuta sebenarnya adalah cowok yang cukup baik. Faktanya, Yuuta agak mengingatkan Amane pada Itsuki.

“Aku sih tidak keberatan …,” kata Amane. “Yah, kamu tidak keberatan juga, ‘kan, Itsuki?” Amane bertanya pada Itsuki.

“Kenapa kamu menganggapku keberatan? Maksudku, tentu saja aku tidak keberatan, tapi…”

“Kalau begitu oke-oke saja, ‘kan?”

“Ya, tidak masalah. Seperti, orang ini mungkin agak curiga padamu tanpa alasan yang jelas, tapi Ia cukup cepat menerimamu. Dan sepertinya kamu juga sangat nempel dengan Amane, Yuuta.”

“Nempel…?” Amane bergumam. “Ia bukan anjing, tau.”

“Tapi Yuuta terlihat seperti anjing. Ia adalah tipe orang yang, begitu kamu mendapatkan kepercayaannya, Ia akan selalu berada di dekatmu, mengibaskan ekornya. Dia seperti ... Apa jenisnya, ya ...? Ah iya, mirip seperti anjing Golden Retriever.”

“Kalian seharusnya jangan menyebut orang dengan sebutan anjing secara terang-terangan di depannya orangnya juga kali,” tegur Yuuta.

Tapi memang, begitu Amane membayangkannya sebagai anjing Golden Retriever, Ia tidak bisa menahan tawanya.

Yuuta memperhatikan bahu Amane bergetar karena kegembiraan dan membuat wajah masam, tetapi Amane tahu bahwa ejekan itu tidak terlalu mengganggunya.

“Jangan tertawa begitu, Fujimiya.”

“Ha-ha, maaf, maaf.”

“Amane pasti memikirkan hal yang sama, aku tahu itu.”

“Maksudku, itu deskripsi yang cukup akurat ...”

“Oh ayolah, masa kamu juga mengejekku begitu, Fujimiya. Dengar, aku hanya ingin menjadi temanmu karena kupikir kamu itu cowok yang baik, tahu?”

“Yah, kurasa untungnya Amane akhirnya bisa mengakuimu sedikit,” Itsuki menimpali. “Pokoknya, ayo, duduk dulu.”

“Astaga, kamu pikir kamu siapa?” Amane membalas, menampar Itsuki dengan main-main.

Kadowaki dengan patuh berjalan mendekat, dan ketika Ia melakukan kontak mata dengan Amane, Ia tersenyum berseri-seri. Jika Yuuta menunjukkan senyum itu pada gadis mana pun, si gadis pasti kegirangan.

Amane balas tersenyum kecut. “…Boleh aku bertanya sesuatu?” ujarnya.

“Hmm?”

“Apa kamu benar-benar ingin menjadi temanku?” tanya Amane. “Maksudku, aku tidak bisa membayangkan apa keuntungannya, tahu?”

Amane tidak berniat mengatakan hal seperti itu, tapi kaliamt itu keluar dari mulutnya sebelum Ia bisa menghentikannya.

Yuuta pasti sudah berusaha menjadi teman Amane karena Ia sedikit klop dengannya, tapi ingatan Amane tentang apa yang terjadi di masa lalu mungkin mengaburkan persepsinya.

Yuuta tampak bingung dengan pertanyaan Amane. “Kamu tidak berteman dengan seseorang karena keuntungan atau kerugiannya, ‘kan?”

“Kurasa tidak, tapi—”

“Kalau begitu, ini jawabanku. Aku berbicara denganmu karena aku ingin mengenalmu.”

Senyum Yuuta seperti pancaran matahari yang cerah. Amane menyipitkan mata melihat betapa menyilaukannya itu.

“…Oke,” akhirnya Ia setuju.

“Ya, bagus, aku senang kalian berdua bisa akrab,” sela Itsuki, memberikan pemikirannya tentang masalah ini dengan seringai nakal. Kemudian tatapannya dengan cepat beralih ke bagian lain kelas.

Ia sedang memadang Chitose yang menempel lengket pada Mahiru sambil tersenyum dan berseru, “Ya ampun~ kamu manis dan imut banget sih, Mahirun!”

Chitose selalu menjadi orang yang sensitif, dan tampaknya tidak peduli meskipun mereka ada di kelas. Semua orang menatap, entah karena mereka senang melihat dua gadis cantik saling menempel pada beberapa skinship atau mungkin karena mereka cemburu.

Bagi Amane, sepertinya gadis-gadis itu bertingkah seperti biasanya, tapi Itsuki menyeringai saat melihat mereka berdua saling bercanda.

“Apa ada sesuatu yang terjadi?”

“Tidak, bukan apa-apa.”

Itsuki tersenyum geli dan mulai berjalan menuju kantin. Amane dan Yuuta mengikuti di belakangnya.

 

◇◇◇◇

 

Setelah makan malam, Amane bertanya kepada Mahiru, “…Kamu ngambek, ya?” Dia tampak kesal tentang sesuatu belakangan ini.

Mahiru berkedip dramatis. “…Oh, apa itu bisa terlihat di wajahku?” Dia memegangi dan menyolek pipinya sendiri, seolah-olah dia baru saja menemukan ekspresinya.

“Ya, yah, kamu terlihat seperti sedang bad mood. Aku terus memikirkan apa aku telah melakukan suatu kesalahan padamu. ”

Biasanya ketika Mahiru sedang ngambek, itu karena Amane telah melakukan sesuatu. Tapi hari ini Amane jarang berinteraksi dengannya, jadi Ia benar-benar tidak tahu apa penyebabnya.

“Jika aku melakukan sesuatu, aku akan minta maaf, tapi—”

“Bu-Bukan, ini bukan salahmu, Amane-kun. Aku cuma berpikiran sempit saja.”

“Jika kamu orang berpikiran sempit, itu berarti pikiran kebanyakan orang dapat diukur dalam milimeter. Pokoknya, aku tidak yain apa aku sudah melakukan kesalahan atau tidak, tapi aku akan meminta maaf padamu.”

Mana mungkin Mahiru, gadis yang pada dasarnya tidak pernah marah, yang selalu siap mendengarkan seseorang atau menempatkan dirinya pada posisi orang lain, bisa berpikiran sempit. Atau jika iya, maka seseorang seperti Amane pasti cowok yang paling berpikiran sempit.

Ia tidak yakin mengapa Mahiru merajuk, tapi Ia pikir pasti ada alasannya. Dan Mahiru bukan tipe orang yang membiarkan orang asing mengganggunya, jadi sembilan dari sepuluh, jika dia merajuk, itu berarti Amane, satu-satunya cowok yang diperbolehkan dekat dengannya, merupakan sumber dari semua itu. .

“…Ini sebenarnya bukan salahmu, Amane-kun, tapi… Yah, itu ada hubungannya denganmu…”

“Aku tidak begitu mengerti, tapi jika aku adalah alasannya…”

“Kamu tidak perlu meminta maaf ketika kamu tidak mengerti alasannya. Sebenarnya, aku mungkin orang yang harus meminta maaf padamu.”

“Sekarang aku bahkan menjadi lebih bingung.”

“Itu karena aku sangat berpikiran sempit.”

“Oke, oke, mari asumsikan kalau kamu memang berpikiran sempit, lalu sebenarnya apa yang mengganggumu?”

Amane tidak berpikir kalau sedikit akurat, tetapi demi memajukan pembicaraan, Ia setuju untuk berpura-pura seolah itu benar.

Mahiru menolak untuk melihat langsung ke arahnya. “…Kupikir itu tidak adil.”

“Tidak adil?”

“Kadowaki-san.”

“Apa hubungannya dengan Kadowaki?”

“Rasanya tidak adil kalau Ia boleh berbicara denganmu kapan saja, hanya karena kalian berdua sama-sama cowok. Sementara itu, aku masih harus menahan diri.”

“Menahan diri?”

“Supaya tidak menimbulkan masalah … agar tidak menimbulkan terlalu banyak kecurigaan … dan demi menjaga kehidupan tenangmu yang berharga, kita harus bertingkah seperti orang asing di sekolah. Tapi … itu membuatku kesepian, dan cuma aku yang tertinggal.”

Dia pasti merasa terasing.

Di sekolah, Mahiru masih bertingkah ala tenshi seperti biasanya. Dia memberi Amane senyum yang sama seperti orang lain dan menjaga jarak yang sama seperti yang dia lakukan pada semua cowok lainnya. Ketelitian tindakannya agak mengesankan.

Tapi rupanya Mahiru ingin berbicara dengan Amane lebih dari biasanya. Dia sudah menahan diri untuk tidak melakukannya karena itu akan mengundang berbagai macam efek pada kehidupan sekolah mereka, tetapi sekarang Yuuta, cowok populer lainnya yang juga memiliki masalah dengan lawan jenis, berteman dengan Amane, dia menemukan kalau batasannya terlalu mengekang.

Amane tidak suka mendengar Mahiru kesepian, tetapi Ia tidak berpikir ada yang bisa mereka lakukan tentang itu. Ia mengerutkan kening, dan begitu juga Mahiru. Dia tampak sangat sedih.

“Itsuki-san, Chitose-san dan Kadowaki-san —mereka semua bisa bersenang-senang denganmu, Amane-kun, tapi cuma aku saja yang tidak bisa berbaur dengan kalian.”

“Ugh…”

Amane tidak tahan mendengarnya saat Mahiru mengatakan itu dengan ekspresi sedih di wajahnya.

Amane selalu berbicara dengan Chitose secara normal, jadi Ia bisa berbicara dengannya dan Itsuki, dua orang yang tahu tentang persahabatannya dengan Mahiru, di sekolah seperti biasanya. Tapi Amane tidak bisa berbicara dengan Mahiru, jadi ketika Chitose datang untuk berbicara dengan Itsuki, itu berarti Mahiru ditinggalkan sendirian.

Mahiru tampaknya memiliki beberapa teman lain di kelas mereka, tapi dia tidak terbuka dengan mereka, jadi tidak peduli apa, dia tampak sedikit kesepian. Tentu saja, dia menyembunyikan emosi yang bergolak di balik senyum anggunnya, tetapi Amane cukup mengenalnya sehingga waajah kesepiannya tampak jelas baginya.

Ia mengerti itu, dan berharap bisa melakukan sesuatu tentang itu, tetapi tentu saja Ia tidak bisa hanya mengangguk dan mengatakan kalau mereka bisa mulai berbicara satu sama lain kapan pun dia mau.

“…Tapi, yah, rasanya akan jadi aneh jika si Tenshi tiba-tiba bersikap akrab dengan karakter sampingan yang membosankan sepertiku, bukan?”

“Kenapa kamu selalu minder seperti itu? Itu benar-benar menggangguku, tau.” Mahiru mengerutkan kening lagi dan dengan marah menyolek hidung Amane dengan ujung jari telunjuknya.

“Aku mendengar kalian bertiga berbicara hari ini, dan kamu benar-benar harus berhenti bersikap merendah. Aku bahkan takkan repot-repot berteman denganmu jika semuanya benar-benar diperhitungkan dan dingin. Pikirkan betapa joroknya dirimu saat pertama kali bertemu denganmu. Bayangkan bagaimana kamu melihat dari sudut pandangku. Apa untungnya buatku karena mengenalmu? ”

“Kamu sangat persuasif sekali.”

Persahabatan mereka dimulai karena Mahiru merasa prihatin dengan Amane, terutama karena pola makannya. Mungkin sedikit pengaruh rasa bersalah juga. Ada sedikit alasan lain bagi mereka berdua untuk saling mengenal. Bila dilihat dari secara objektif, pertemanan mereka tidak masuk akal.

Tapi mereka tetap berteman, dan itu tidak ada hubungannya dengan salah satu dari mereka mengharapkan imbalan—itu karena cara mereka merasakan satu sama lain, perasaan yang berkisar dari kebahagiaan hingga rasa bersalah hingga belas kasih. Perasaan itu telah menjadi pemicu yang membuat mereka saling mengenal lebih baik.

“Tentu saja, sekarang aku mengetahui kalau kamu adalah orang dengan kepribadian yang baik, jadi itu akan menjadi latihan yang mudah jika seseorang memintaku untuk menjelaskan manfaat berteman denganmu, tapi aku tidak peduli tentang semua itu. Aku menyukaimu karena itu dirimu, dan aku yakin Kadowaki punya alasannya sendiri, seperti perkataannya. Jadi kamu tidak boleh terus-terusan menrendahkan dirimu seperti itu. Sikap mindermu itu merupakan penghinaan bagi semua orang yang peduli padamu.”

“…Maaf.”

“Kamu tidak perlu meminta maaf dengan wajah murung seperti itu. Aku hanya ingin kamu merasa lebih percaya diri saja.”

Hatinya masih merasa sedikit nyelekit karena diberitahu secara terang-terangan, tapi rasa sakit tersebut bukanlah hal yang buruk.

“Pokoknya, kita harus mengatasi rasa mindermu. Kamu harus lebih percaya diri.”

“Percaya diri, ya? Yah, semoga saja aku bisa …”

“Kalau kamu mau, aku bisa mulai menyebarkan rumor kalau kamu adalah cowok yang hebat.”

“Jika kamu melakukan itu padaku, aku akan mati karena harus menahan perasaan malu, dan semua orang akan kebingungan dengan apa yang kamu bicarakan.”

Hal itu akan menimbulkan kecurigaan jika Mahiru tiba-tiba mulai memuji seseorang yang tidak terlalu mereka kenal.

“Aku akan melakukan yang terbaik untuk memastikan supaya hal itu terlihat wajar, oke?”

“Apa itu berarti kamu sudah memutuskan akan berbicara denganku di sekolah?”

“…Dengar, aku tidak suka menjadi satu-satunya orang yang ditinggalkan. Jika kamu tidak keberatan, aku ingin menghabiskan waktu bersamamu sama seperti yang lainnya.”

Entah dia menyadari atau tidak bahwa Amane merasa hampir tidak mungkin untuk menahan wajah kecewa yang dia buat, Mahiru menundukkan kepalanya dan bergumam sedih dengan cara yang membuatnya merasa seperti dia akan menjadi gila.

“…Bukannya aku membantahnya, tapi jika kita tiba-tiba mulai bertingkah akrab, semua orang akan menyadari ada sesuatu yang terjadi di antara kita, tau.”

“Jadi jika aku melakukannya secara bertahap, apa aku boleh berbicara denganmu?”

Mana mungkin Amane menolaknya lagi begitu melihat tatapan matanya dan ekspresinya yang sumringah, jadi Amane mengangguk setuju.

“Cobalah untuk tidak terlalu mencolok, oke?”

“Baik … Jika itu yang kamu inginkan, aku takkan pernah memujimu lagi.”

Amane hanya bisa menahan lidahnya dan menatap ke kejauhan. Sepertinya, kehidupan sekolahnya akan sedikit lebih ramai dari biasanya.

 

Sebelumnya  || Daftar isi  ||  Selanjutnya

 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama