Chapter 04 — Keputusan Tenshi-sama
“Itsuki! Fujimiya! Ayo makan
bareng!”
Pada jam makan siang di
sekolah, Amane yang sedang dalam perjalanan untuk makan siang bersama Itsuki
seperti biasa, mendengar suara yang baru-baru ini Ia kenal memanggil namanya.
Seperti yang diduga, suara itu
berasal dari Kadowaki Yuuta yang melambaikan tangannya sambil memancarkan
senyumnya yang cerah dan ramah. Biasanya, Yuuta akan makan siang dengan
teman-temannya yang lain, tapi ternyata hari ini sedikit berbeda, saat Ia
mendekati mereka sembari membawa dompet di tangannya.
Yuuta sudah sering mengobrol
dengan mereka sejak memasuki kelas dua, tetapi mereka masih belum bisa dibilang
punya hubungan dekat atau semacamnya.
Tapi berkat Amane yang
mendengarkan masalah Yuuta tempo hari, kedekatan telah tumbuh di antara mereka,
dan yang lebih penting, Amane menyadari bahwa Yuuta sebenarnya adalah cowok
yang cukup baik. Faktanya, Yuuta agak mengingatkan Amane pada Itsuki.
“Aku sih tidak keberatan …,”
kata Amane. “Yah, kamu tidak keberatan juga, ‘kan, Itsuki?” Amane bertanya pada
Itsuki.
“Kenapa kamu menganggapku keberatan?
Maksudku, tentu saja aku tidak keberatan, tapi…”
“Kalau begitu oke-oke saja, ‘kan?”
“Ya, tidak masalah. Seperti,
orang ini mungkin agak curiga padamu tanpa alasan yang jelas, tapi Ia cukup
cepat menerimamu. Dan sepertinya kamu juga sangat nempel dengan Amane, Yuuta.”
“Nempel…?” Amane bergumam. “Ia
bukan anjing, tau.”
“Tapi Yuuta terlihat seperti
anjing. Ia adalah tipe orang yang, begitu kamu mendapatkan kepercayaannya, Ia
akan selalu berada di dekatmu, mengibaskan ekornya. Dia seperti ... Apa
jenisnya, ya ...? Ah iya, mirip seperti anjing Golden Retriever.”
“Kalian seharusnya jangan
menyebut orang dengan sebutan anjing secara terang-terangan di depannya
orangnya juga kali,” tegur Yuuta.
Tapi memang, begitu Amane
membayangkannya sebagai anjing Golden
Retriever, Ia tidak bisa menahan tawanya.
Yuuta memperhatikan bahu Amane
bergetar karena kegembiraan dan membuat wajah masam, tetapi Amane tahu bahwa
ejekan itu tidak terlalu mengganggunya.
“Jangan tertawa begitu,
Fujimiya.”
“Ha-ha, maaf, maaf.”
“Amane pasti memikirkan hal
yang sama, aku tahu itu.”
“Maksudku, itu deskripsi yang
cukup akurat ...”
“Oh ayolah, masa kamu juga
mengejekku begitu, Fujimiya. Dengar, aku hanya ingin menjadi temanmu karena
kupikir kamu itu cowok yang baik, tahu?”
“Yah, kurasa untungnya Amane
akhirnya bisa mengakuimu sedikit,” Itsuki menimpali. “Pokoknya, ayo, duduk
dulu.”
“Astaga, kamu pikir kamu
siapa?” Amane membalas, menampar Itsuki dengan main-main.
Kadowaki dengan patuh berjalan
mendekat, dan ketika Ia melakukan kontak mata dengan Amane, Ia tersenyum
berseri-seri. Jika Yuuta menunjukkan senyum itu pada gadis mana pun, si gadis
pasti kegirangan.
Amane balas tersenyum kecut. “…Boleh
aku bertanya sesuatu?” ujarnya.
“Hmm?”
“Apa kamu benar-benar ingin
menjadi temanku?” tanya Amane. “Maksudku, aku tidak bisa membayangkan apa keuntungannya,
tahu?”
Amane tidak berniat mengatakan
hal seperti itu, tapi kaliamt itu keluar dari mulutnya sebelum Ia bisa
menghentikannya.
Yuuta pasti sudah berusaha
menjadi teman Amane karena Ia sedikit klop
dengannya, tapi ingatan Amane tentang apa yang terjadi di masa lalu mungkin
mengaburkan persepsinya.
Yuuta tampak bingung dengan pertanyaan
Amane. “Kamu tidak berteman dengan seseorang karena keuntungan atau kerugiannya,
‘kan?”
“Kurasa tidak, tapi—”
“Kalau begitu, ini jawabanku.
Aku berbicara denganmu karena aku ingin mengenalmu.”
Senyum Yuuta seperti pancaran
matahari yang cerah. Amane menyipitkan mata melihat betapa menyilaukannya itu.
“…Oke,” akhirnya Ia setuju.
“Ya, bagus, aku senang kalian
berdua bisa akrab,” sela Itsuki, memberikan pemikirannya tentang masalah ini
dengan seringai nakal. Kemudian tatapannya dengan cepat beralih ke bagian lain
kelas.
Ia sedang memadang Chitose yang
menempel lengket pada Mahiru sambil tersenyum dan berseru, “Ya ampun~ kamu
manis dan imut banget sih, Mahirun!”
Chitose selalu menjadi orang
yang sensitif, dan tampaknya tidak peduli meskipun mereka ada di kelas. Semua
orang menatap, entah karena mereka senang melihat dua gadis cantik saling
menempel pada beberapa skinship atau
mungkin karena mereka cemburu.
Bagi Amane, sepertinya
gadis-gadis itu bertingkah seperti biasanya, tapi Itsuki menyeringai saat melihat
mereka berdua saling bercanda.
“Apa ada sesuatu yang terjadi?”
“Tidak, bukan apa-apa.”
Itsuki tersenyum geli dan mulai
berjalan menuju kantin. Amane dan Yuuta mengikuti di belakangnya.
◇◇◇◇
Setelah makan malam, Amane
bertanya kepada Mahiru, “…Kamu ngambek, ya?” Dia tampak kesal tentang sesuatu
belakangan ini.
Mahiru berkedip dramatis. “…Oh,
apa itu bisa terlihat di wajahku?” Dia memegangi dan menyolek pipinya sendiri,
seolah-olah dia baru saja menemukan ekspresinya.
“Ya, yah, kamu terlihat seperti
sedang bad mood. Aku terus memikirkan
apa aku telah melakukan suatu kesalahan padamu. ”
Biasanya ketika Mahiru sedang
ngambek, itu karena Amane telah melakukan sesuatu. Tapi hari ini Amane jarang
berinteraksi dengannya, jadi Ia benar-benar tidak tahu apa penyebabnya.
“Jika aku melakukan sesuatu,
aku akan minta maaf, tapi—”
“Bu-Bukan, ini bukan salahmu,
Amane-kun. Aku cuma berpikiran sempit saja.”
“Jika kamu orang berpikiran
sempit, itu berarti pikiran kebanyakan orang dapat diukur dalam milimeter. Pokoknya,
aku tidak yain apa aku sudah melakukan kesalahan atau tidak, tapi aku akan
meminta maaf padamu.”
Mana mungkin Mahiru, gadis yang
pada dasarnya tidak pernah marah, yang selalu siap mendengarkan seseorang atau
menempatkan dirinya pada posisi orang lain, bisa berpikiran sempit. Atau jika
iya, maka seseorang seperti Amane pasti cowok yang paling berpikiran sempit.
Ia tidak yakin mengapa Mahiru
merajuk, tapi Ia pikir pasti ada alasannya. Dan Mahiru bukan tipe orang yang
membiarkan orang asing mengganggunya, jadi sembilan dari sepuluh, jika dia
merajuk, itu berarti Amane, satu-satunya cowok yang diperbolehkan dekat
dengannya, merupakan sumber dari semua itu. .
“…Ini sebenarnya bukan salahmu,
Amane-kun, tapi… Yah, itu ada hubungannya denganmu…”
“Aku tidak begitu mengerti,
tapi jika aku adalah alasannya…”
“Kamu tidak perlu meminta maaf
ketika kamu tidak mengerti alasannya. Sebenarnya, aku mungkin orang yang harus
meminta maaf padamu.”
“Sekarang aku bahkan menjadi
lebih bingung.”
“Itu karena aku sangat berpikiran
sempit.”
“Oke, oke, mari asumsikan kalau
kamu memang berpikiran sempit, lalu sebenarnya apa yang mengganggumu?”
Amane tidak berpikir kalau
sedikit akurat, tetapi demi memajukan pembicaraan, Ia setuju untuk berpura-pura
seolah itu benar.
Mahiru menolak untuk melihat
langsung ke arahnya. “…Kupikir itu tidak adil.”
“Tidak adil?”
“Kadowaki-san.”
“Apa hubungannya dengan
Kadowaki?”
“Rasanya tidak adil kalau Ia
boleh berbicara denganmu kapan saja, hanya karena kalian berdua sama-sama cowok.
Sementara itu, aku masih harus menahan diri.”
“Menahan diri?”
“Supaya tidak menimbulkan
masalah … agar tidak menimbulkan terlalu banyak kecurigaan … dan demi menjaga
kehidupan tenangmu yang berharga, kita harus bertingkah seperti orang asing di
sekolah. Tapi … itu membuatku kesepian, dan cuma aku yang tertinggal.”
Dia pasti merasa terasing.
Di sekolah, Mahiru masih
bertingkah ala tenshi seperti biasanya. Dia memberi Amane senyum yang sama
seperti orang lain dan menjaga jarak yang sama seperti yang dia lakukan pada semua
cowok lainnya. Ketelitian tindakannya agak mengesankan.
Tapi rupanya Mahiru ingin
berbicara dengan Amane lebih dari biasanya. Dia sudah menahan diri untuk tidak
melakukannya karena itu akan mengundang berbagai macam efek pada kehidupan
sekolah mereka, tetapi sekarang Yuuta, cowok populer lainnya yang juga memiliki
masalah dengan lawan jenis, berteman dengan Amane, dia menemukan kalau
batasannya terlalu mengekang.
Amane tidak suka mendengar
Mahiru kesepian, tetapi Ia tidak berpikir ada yang bisa mereka lakukan tentang
itu. Ia mengerutkan kening, dan begitu juga Mahiru. Dia tampak sangat sedih.
“Itsuki-san, Chitose-san dan
Kadowaki-san —mereka semua bisa bersenang-senang denganmu, Amane-kun, tapi cuma
aku saja yang tidak bisa berbaur dengan kalian.”
“Ugh…”
Amane tidak tahan mendengarnya
saat Mahiru mengatakan itu dengan ekspresi sedih di wajahnya.
Amane selalu berbicara dengan
Chitose secara normal, jadi Ia bisa berbicara dengannya dan Itsuki, dua orang
yang tahu tentang persahabatannya dengan Mahiru, di sekolah seperti biasanya.
Tapi Amane tidak bisa berbicara dengan Mahiru, jadi ketika Chitose datang untuk
berbicara dengan Itsuki, itu berarti Mahiru ditinggalkan sendirian.
Mahiru tampaknya memiliki
beberapa teman lain di kelas mereka, tapi dia tidak terbuka dengan mereka, jadi
tidak peduli apa, dia tampak sedikit kesepian. Tentu saja, dia menyembunyikan
emosi yang bergolak di balik senyum anggunnya, tetapi Amane cukup mengenalnya
sehingga waajah kesepiannya tampak jelas baginya.
Ia mengerti itu, dan berharap
bisa melakukan sesuatu tentang itu, tetapi tentu saja Ia tidak bisa hanya mengangguk
dan mengatakan kalau mereka bisa mulai berbicara satu sama lain kapan pun dia
mau.
“…Tapi, yah, rasanya akan jadi
aneh jika si Tenshi tiba-tiba bersikap akrab dengan karakter sampingan yang
membosankan sepertiku, bukan?”
“Kenapa kamu selalu minder
seperti itu? Itu benar-benar menggangguku, tau.” Mahiru mengerutkan kening lagi
dan dengan marah menyolek hidung Amane dengan ujung jari telunjuknya.
“Aku mendengar kalian bertiga
berbicara hari ini, dan kamu benar-benar harus berhenti bersikap merendah. Aku
bahkan takkan repot-repot berteman denganmu jika semuanya benar-benar
diperhitungkan dan dingin. Pikirkan betapa joroknya dirimu saat pertama kali
bertemu denganmu. Bayangkan bagaimana kamu melihat dari sudut pandangku. Apa
untungnya buatku karena mengenalmu? ”
“Kamu sangat persuasif sekali.”
Persahabatan mereka dimulai
karena Mahiru merasa prihatin dengan Amane, terutama karena pola makannya.
Mungkin sedikit pengaruh rasa bersalah juga. Ada sedikit alasan lain bagi
mereka berdua untuk saling mengenal. Bila dilihat dari secara objektif,
pertemanan mereka tidak masuk akal.
Tapi mereka tetap berteman, dan
itu tidak ada hubungannya dengan salah satu dari mereka mengharapkan imbalan—itu
karena cara mereka merasakan satu sama lain, perasaan yang berkisar dari
kebahagiaan hingga rasa bersalah hingga belas kasih. Perasaan itu telah menjadi
pemicu yang membuat mereka saling mengenal lebih baik.
“Tentu saja, sekarang aku
mengetahui kalau kamu adalah orang dengan kepribadian yang baik, jadi itu akan
menjadi latihan yang mudah jika seseorang memintaku untuk menjelaskan manfaat
berteman denganmu, tapi aku tidak peduli tentang semua itu. Aku menyukaimu
karena itu dirimu, dan aku yakin Kadowaki punya alasannya sendiri, seperti
perkataannya. Jadi kamu tidak boleh terus-terusan menrendahkan dirimu seperti
itu. Sikap mindermu itu merupakan penghinaan bagi semua orang yang peduli
padamu.”
“…Maaf.”
“Kamu tidak perlu meminta maaf
dengan wajah murung seperti itu. Aku hanya ingin kamu merasa lebih percaya diri
saja.”
Hatinya masih merasa sedikit
nyelekit karena diberitahu secara terang-terangan, tapi rasa sakit tersebut
bukanlah hal yang buruk.
“Pokoknya, kita harus mengatasi
rasa mindermu. Kamu harus lebih percaya diri.”
“Percaya diri, ya? Yah, semoga
saja aku bisa …”
“Kalau kamu mau, aku bisa mulai
menyebarkan rumor kalau kamu adalah cowok yang hebat.”
“Jika kamu melakukan itu
padaku, aku akan mati karena harus menahan perasaan malu, dan semua orang akan
kebingungan dengan apa yang kamu bicarakan.”
Hal itu akan menimbulkan
kecurigaan jika Mahiru tiba-tiba mulai memuji seseorang yang tidak terlalu
mereka kenal.
“Aku akan melakukan yang
terbaik untuk memastikan supaya hal itu terlihat wajar, oke?”
“Apa itu berarti kamu sudah
memutuskan akan berbicara denganku di sekolah?”
“…Dengar, aku tidak suka
menjadi satu-satunya orang yang ditinggalkan. Jika kamu tidak keberatan, aku ingin
menghabiskan waktu bersamamu sama seperti yang lainnya.”
Entah dia menyadari atau tidak
bahwa Amane merasa hampir tidak mungkin untuk menahan wajah kecewa yang dia buat,
Mahiru menundukkan kepalanya dan bergumam sedih dengan cara yang membuatnya
merasa seperti dia akan menjadi gila.
“…Bukannya aku membantahnya,
tapi jika kita tiba-tiba mulai bertingkah akrab, semua orang akan menyadari ada
sesuatu yang terjadi di antara kita, tau.”
“Jadi jika aku melakukannya secara
bertahap, apa aku boleh berbicara denganmu?”
Mana mungkin Amane menolaknya
lagi begitu melihat tatapan matanya dan ekspresinya yang sumringah, jadi Amane
mengangguk setuju.
“Cobalah untuk tidak terlalu
mencolok, oke?”
“Baik … Jika itu yang kamu
inginkan, aku takkan pernah memujimu lagi.”
Amane hanya bisa menahan
lidahnya dan menatap ke kejauhan. Sepertinya, kehidupan sekolahnya akan sedikit
lebih ramai dari biasanya.
Sebelumnya || Daftar isi
|| Selanjutnya