Chapter 06 — Dalam Banyak Artian, Demamnya Jadi Naik
Pada kenyataannya ... tidak ada
sesuatu yang dramatis terjadi.
Tidak ada kejadian yang
istimewa seperti mengalami penganiayaan oleh ibu, atau Ibu berselingkuh dengan
pria lain. Sebaliknya, bila aku pikir-pikir lagi sekarang ... aku pikir kalau beliau adalah ibu yang sangat
lembut dan baik hati. Meski ada banyak hal yang terjadi dengan ayah, tetapi ibu
masih bersikap baik kepada kami berdua. Dia akan memujiku saat aku mendapat
nilai yang bagus, dan kadang-kadang dia bahkan membuatkan cemilan untukku. Aku
yakin kalau dari sudut pandang masyrakat umum, beliau adalah ibu yang sangat
baik.
Baik aku dan adikku, dulu
sangat menyayangi ibu kami yang seperti itu.
...... Pemicunya hanyalah
sesuatu yang sangat sepele. Aku yakin kalau banyak orang di dunia ini akan
tercengang sambil menanyakan, “Apa? Cuma
itu saja?” ... tapi saat kupikir-pikir lagi, hal itu memang bukan masalah
besar. Namun, pada suatu hari ... ibuku tiba-tiba berhenti menatap mataku.
Ibuku, yang selalu menatap
lurus ke mataku dan mengelus kepalaku sambil berkata, “Kamu sudah melakukan yang terbaik,” dan “Itu sungguh luar biasa.” mulai … memalingkan mukanya. Sering kali,
senyum lembutnya akan menjadi canggung ... dan pada saat itulah aku mulai
menyadari kalau ibu sedang memaksakan dirinya.
Aku yakin kalau beliau tidak
puas dengan level ini. Aku masih belum berusaha cukup keras. Aku harus
mendapatkan hasil yang lebih baik dan lebih baik lagi. Supaya bisa membuat Ibu
senang dari lubuk hatinya.
Hei bu, tolong lihat aku. Aku mendapat
pujian dari guru merangkai bunga tempo hari, loh? Aku bahkan sudah menyabet
sabuk hitam karate. Aku juga sudah mempelajari materi pelajaran setingkat SMP,
dan aku juga memainkan piano yang ibu sukai——
“Sudah cukup, hentikan itu!!”
.... Aku tidak ingin melihat
tatapan mata seperti itu. Aku hanya——
◇◇◇◇
“Ughh …”
Ia bangun dengan suara merintih
karena panas dan nyeri yang menyelimuti seluruh tubuhnya.
“Ahh……”
Masachika berbaring di atas tempat
tidur, merasa seolah-olah gerakan sekecil apa pun akan membuat kepalanya pusing
dan nyeri ke sekujur tubuhnya. Sebenarnya, Ia sudah mempunyai firasat buruk
tentang ini tadi malam, tapi ...... sepertinya Ia benar-benar mengalami demam.
Ia menyadari kalau
tenggorokannya terasa sakit, dan yang terpenting, tubuhnya sangat lesu. Ia yakin kalau suhu tubuhnya
lumayan tinggi.
Pada saat itu, jam alarm di
meja samping tempat tidurnya mulai berdering, dan Masachika mengangkat
lengannya yang berat untuk menghentikannya.
Ia sekalian mengambil smartphone
yang diletakkan di sebelahnya dan berguling ke sisi kanan. Ia merasakan nyeri
di lengan kanan atas dan bahu, tapi untungnya tidak separah nyeri saat
mengangkat tangannya.
“Ini sih percuma ...”
Setelah mengaktifkan smartphone-nya,
Masachika mencoba menghubungi pihak sekolah untuk melaporkan ketidakhadirannya.
Namun, Ia tidak dapat menemukan alamat kontaknya. Ia merasa sudah menuliskannya
di suatu tempat, tetapi Ia tidak dapat mengingatnya. Masachika mempertimbangkan
untuk mencari nomor telepon sekolah di Internet ... tapi Ia merasa kalau itu
terlalu merepotkan.
“Takeshi ... Tidak, mungkin
Hikaru saja kali ya?”
Masachika memutuskan untuk
meminta salah satu dari dua sahabatnya untuk menyampaikan pesan kepada guru
wali kelasnya, dan memilih Hikaru berdasarkan kepercayaannya. Ilusi mengenai
Takeshi memprotes “Kenapa!” muncul di
kepalanya, tapi Ia tidak peduli. Ia tidak punya waktu untuk mengkhawatirkannya.
[... Halo, Masachika?]
“Oh ... maaf Hikaru, sepertinya
aku mengalami demam.”
[Eh? Apa kamu baik-baik saja?]
“Yah ... hari ini aku izin
tidak masuk dulu buat istirahat. Apa kamu bisa memberitahu hal itu pada guru
wali kelas kita nanti?”
[Baiklah. Aku mengerti. ......
Bagaimana kalau kami pergi menjengukmu sepulang sekolah? Sekarang kamu sedang sendirian
di rumah, ‘kan?]
“Tidak perlu, aku sudah meminta
bantuan kepada seseorang ... Terima kasih banyak, YA.”
“Begitu ya … kalau begitu
semoga lekas sembuh.”
“Iya~”
Setelah menyelesaikan panggilan
dengan Hikaru, Masachika mengerahkan tenaganya dan mengirim pesan ke Yuki.
『Maaf, sepertinya aku kena
demam. 』
『Bisakah kamu meminta Ayano
untuk membawakan obat untukku? 』
Setelah berjuang untuk mengetik
sebanyak itu dan mengirimkannya, Masachika menjatuhkan ponselnya dan berbaring
telentang lagi.
“Hah ...”
Setidaknya, Ia ingin meminum
segelas air, tapi bahkan bangun dari tempat tidur saja sudah terlalu berat
untuknya. Untungnya, Ia masih merasa mengantuk, jadi Ia memutuskan untuk
kembali tidur.
(Entah kenapa, aku merasa baru saja
mengalami mimpi yang buruk ...)
Mungkin karena bertemu ibunya
kemarin setelah sekian lama tidak melihatnya. Masachika merasa kalau Ia
memimpikan masa lalu yang biasanya tidak pernah Ia ingat lagi.
(Atau lebih tepatnya, akhir-akhir ini ada
sesuatu yang sepertinya banyak mengingatkanku pada masa lalu ...)
Kenangannya saat masih menjadi
Suou Masachika merupakan sesuatu yang tidak ingin Ia ingat sekarang. Hal-hal
yang tidak menyenangkan, hal-hal yang menyedihkan, serta hal-hal yang
menyakitkan. Karena saat mengingatnya, perasaan tidak nyaman menyebar di hatinya.
(Tidak, justru sebaliknya ... mungkin itu
karena aku tidak mencoba mengingatnya kali, ya)
Masachika tidak pernah
mengingat detail masa lalu. Setiap kali mencoba mengingatnya, Ia akan menghentikan
dirinya sendiri. Padahal Masachika yakin kalau sebenarnya kenangan masa lalu tidak
melulu sesuatu yang menyakitkan.
Tapi, mau tak mau Ia masih
mengingatnya. Kenangan tentang memutuskan hubungan dengan ibunya, atau
perpisahan dengan gadis itu. Demi
menghindari mengaitkannya satu sama lain, Ia menyatukan semua kenangan lama dan
menyegelnya jauh-jauh ke dalam ingatannya.
Dengan begini, bayangan tentang
“masa lalu” sebagai sesuatu yang “tidak menyenangkan” tetap ada, dan setiap
kali Ia berusaha keras untuk tidak mengingatnya, bayangan itu menjadi lebih
kuat.
(Banyak orang mengatakan kalau kemarahan
dan kebencian berangsur-angsur memudar seiring berjalannya waktu ... Tapi mana
mungkin semudah itu, iya ‘kan.)
Masachika yang sekarang justru
memiliki kesan yang kuat tentang kesedihan dan rasa sakit waktu itu, walaupun
ingatannya tentang waktu itu sudah memudar. Apa sebenarnya yang begitu
menyedihkan dan menyakitkan tentang waktu itu malah sudah tidak jelas lagi.
Bahkan sekarang, saat dirinya
mencoba mengingat masa lalu, Ia mengalami penolakan yang kuat.
Masachika hanya ingin berpaling
dan tidak mau menyentuh ingatan masa lalu.
(... Haa, yah sudahlah.)
Masachika memaksa dirinya untuk
berhenti berpikir, karena sekarang bukan waktunya untuk memikirkan itu.
Buat apa Ia membuat dirinya
semakin tertekan padahal keadaannya sendiri sedang tidak sehat?
Ia cuma kebetulan bertemu
dengannya kemarin, dan Ia tidak punya rencana maupun niatan untuk berurusan
dengan ibunya lagi di masa depan.
Masa lalu itu sudah tidak layak lagi untuk
dikenang. Kuze Masachika tidak perlu mengingat saat-saat masih menjadi Suou
Masachika. Itulah yang Ia katakan pada dirinya sendiri. ... dan
kemudian Masachika kembali tertidur.
◇◇◇◇
Pingpong.
“Uhh …?”
Masachika terbangun karena
mendengar bunyi interkom. Dalam keadaan setengah sadar, Ia penasaran apa Yuki
atau Ayano sudah datang, tapi Ia segera menyadari ada sesuatu yang janggal.
Yuki memiliki kunci unit
ruangan apartemen ini. Entah itu Yuki atau Ayano, mereka bisa masuk tanpa perlu
membunyikan bel pintu. Selain itu...kalau tidak salah, bunyi yang baru saja Ia dengar
bukanlah bunyi dari bel pintu depan, melainkan bunyi dari pintu masuk
apartemen.
Bahkan jika mereka membunyikan
bel pintu untuk mengumumkan kedatangannya, mereka tidak perlu repot-repot
membunyikan intercom di pintu masuk apartemen.
“Apaan, apa dia mengirimkan
obat lewat jasa antar paket ...?”
Masachika mencoba untuk bangun
dari tempat tidurnya dengan tubuh yang lesu, tapi tubuhnya sudah terasa lelah
setelah berbalik sebentar . Pemikiran untuk menggunakan mesin penjawab
terlintas di benaknya, tapi pada saat itu, bel pintu masuk apartemen berbunyi
lagi.
“Ya, ya ... tunggu sebentar ~”
Sebagian karena berpikir kalau sudah
waktunya untuk bangun, Masachika berusaha bangkit dari tempat tidurnya dengan
sekuat tenaga. Sambil mengerutkan kening pada rasa pening di kepalanya saat
setiap kali mengambil langkah, Masachika membuka pintu kamarnya dan menuju
mesin interkom.
Kemudian, saat melihat sosok yang
di tampilkan layar interkom ... Masachika melebarkan matanya karena terkejut.
“... Hah!?”
Rambut peraknya yang berkilau
serta mata birunya tertangkap kamera intercom. Penampilannya begitu rapi
seolah-olah seperti kebohongan. Benar, ada Alisa yang sedang berdiri di pintu
masuk gedung apartemen dengan baju kasualnya.
“... Eh, haa? Kok bisa?”
Masachika tidak pernah memberi
tahu Alisa alamat rumahnya. Tentu saja, Ia tidak pernah mengundang Alisa ke
rumahnya juga.
Pertanyaan-pertanyaan semacam
itu muncul di benaknya , tapi untuk sementara waktu, Masachika menekan tombol
jawab dulu karena panggilan akan terputus jika Ia tidak cepat-cepat menjawabnya.
“... Alya?”
[Ah,
Kuze-kun? Apa kamu baik-baik saja?]
“Umm ... apa mungkin kamu
mendengar sesuatu dari Yuki?”
[Ya
... Yuki-san memintaku untuk membawakan obat karena dia bilang kalau kamu sakit
demam...]
“Oh, begitu ya ... untuk saat
ini, aku akan membukanya dulu.”
[Ah,
iya]
Ia menekan tombol buka kunci
dan mengawasi Alisa memasuki mansion. Selepas itu, Masachika kembali ke
kamarnya dan mengambil smartphone yang tergeletak di tempat tidur.
Kemudian, saat Ia menyalakan
smartphone-nya ... Masachika melihat pesan dari Yuki ditampilkan di layar dan
langsung melemparkan smartphone-nya lagi ke atas kasur.
『Oi,
oi, ada apa? Ini event dirawat oleh gadis cantik berambut perak, loh?
Seharusnya kamu merasa bahagia.』
Itulah pesan yang tertulis di
layar bersamaan dengan ikon wajah menyeringai.
“Setidaknya ... beri tahu aku
dulu cobaa~~!!”
Masachika berbaring ke tempat
tidur lagi sembari meneriakkan rasa frustasinya pada Yuki. Walaupun Ia ingin
berbaring dan beristirahat, Masachika tahu kalau Ia setidaknya harus mencuci
tangannya dulu sebelum Alisa tiba, jadi Ia mengumpulkan tenaganya dan menuju
kamar mandi.
Kemudian, tepat setelah selesai
buang air dan mencuci tangannya, bel pintu depannya berbunyi dan Masachika
menuju pintu depan sambil berpegangan pada dinding.
Ia mengenakan piyama tipis di
bagian atas dan bawah, lalu rambut kepalanya acak-acakan karena belum sempat
merapikannya. Meski itu merupakan penampilan yang tidak layak di depan umum,
tapi Masachika sudah menyerah. Ia sudah dalam keadaan tidak terlalu memedulikan
penampilannya.
“Iya~.”
Saat Ia akan membuka pintu
depan dengan sandalnya, Masachika baru kepikiran kalau Ia harus memakai masker.
(Tidak, tapi ... aku taruh di mana
maskernya, ya?)
Ia dibuat sedikit kebingungan
sejenak. Tapi, Masachika memutuskan kalau tidak baik juga membuat Alisa
menunggu, jadi Ia memutar kunci dan dengan enggan membuka pintu. Segera, panas yang
begitu terik dan dengungan jangkrik menyerbu masuk.
“Alya...? Umm, terima kasih
banyak, ya? Sudah repot-repot datang kemari segala ...”
Seakan-akan menggunakan pintu
sebagai tameng, Ia mengintip sedikit dari celah pintu. Sejujurnya, menjaga pintu
dalam keadaan setengah terbuka begini sangat sulit bagi keadaan Masachika yang
sekarang, tetapi Ia harus menahannya. Namun, wajah Alisa masih menunjukkan
keterkejutannya dan dia sedikit mengalihkan pandangannya.
“Ya, itu sih ... tidak apa-apa.
Tapi kelihatannya keadaanmu lebih buruk dari yang aku duga, ya?”
“... Ah, apa kamu barusan
berpikir, 『Ternyata orang bodoh pun bisa masuk angin』, iya
‘kan?”
“Tentu saja tidak.”
Ketika Masachika mencoba
membuat lelucon dari keadaannya, Alisa menghela nafas sedikit dan menatap sekilas
pada kantung belanjaan yang ada di tangannya.
“Apa kamu tidak keberatan jika
aku masuk sebentar?”
“Eh? Ah tidak usah, aku hanya
perlu mendapatkan obatku saja…”
“... Yuki-san sudah memintaku
untuk menjagamu, tau. Dia ingin kalau aku yang merawatmu.”
Alisa mengucapkan itu sembari
bibirnya sedikit cemberut, lalu Masachika mau tak mau mengeluh pada Yuki dalam
hatinya.
(Imouto yo ... Aku tidak keberatan jika
kamu berimajinasi dengan fantasi otakumu, tapi jangan melibatkan orang lain
juga kali ...)
【Itu bohong, sih】
(Ah, maaf. Karena sudah asal menuduhmu.)
Saat Alisa meliriknya sambil
memain-mainkan ujung rambutnya, Masachika meminta maaf kepada Yuki di dalam
pikirannya. Yuki cuma dijadikan alasan untuk menyembunyikan rasa malu Alisa.
“Umm tidak perlu, aku mungkin
akan sembuh jika meminum obat dan pergi tidur ...”
“Tapi jauh lebih baik kalau
perutmu diisi dengan sesuatu, ‘kan? Apa kamu punya tenaga untuk memasaknya
sendiri?”
“Yah, memang sih ... tapi aku
tidak enakan jika kamu sampai ketularan masuk angin ...”
“Jangan khawatir, oke? Karena
aku sudah membawa masker.”
Saat mengatakan itu, Alisa
mengeluarkan selembar masker dari tas belanjaan dan memakainya seperti yang dia
katakan. Bahkan pada saat seperti ini, gadis cantik yang sempurna selalu saja
bersikap serius. Sikap kehati-hatiannya ini ... membuat perasaan Masachika jadi
campur aduk.
(Tidak, sudah benar, kok? Itu memang benar,
tapi ...)
Entah kenapa, Ia merasa sangat
kecewa. Rasanya seperti Ia menjadi patogen yang sangat kotor, atau event merawat yang mendebarkan telah
berubah menjadi prosedur medis yang biasa ...
(Lagi pula, ‘peristiwa di mana seorang
gadis cantik dari kelasku merawatku hingga kembali sehat tanpa masker hanyalah
fantasi belaka!’ Sesuatu seperti itu, ya ....)
Sekali lagi, Masachika dibuat
tersadar kalau ada perbedaan antara kehidupan nyata dengan kehidupan 2D, dan
tatapan matanya menjadi jauh.
“Apalagi ... aku sudah membawa
banyak barang, jadi mana mungkin aku langsung pulang begitu saja, ‘kan?”
Usai mengatakan itu, Alisa
mengangkat tas belanja yang berisi banyak. Rupanya, dia membawa berbagai bahan makanan
dan hal-hal lain selain obat. Pastinya, rasanya akan terlalu berlebihan untuk
memintanya “Aku tidak membutuhkannya,
jadi pulang saja sana,” setelah membuatnya membawa barang bawaan yang berat
di bawah terik matahari. Meskipun bukan itu yang Ia minta.
“Umm, benar juga ... kalau
begitu, yah, kurasa aku dalam perawatanmu sebentar ...”
Karena tenaga dan kekuatan
fisiknya sudah mencapai batas, Masachika menyambut Alisa dengan pasrah.
“Permisi.”
Saat Alisa memasuki pintu depan
dan pintu terbanting menutup, Masachika tiba-tiba menjadi gelisah.
Dengungan jangkrik di luar
menghilang, dan keheningan tiba-tiba menyelimuti mereka. Pada saat yang sama,
Masachika menjadi sadar akan fakta kalau dirinya sedang berduaan dengan seorang
gadis, dan bahkan tindakan menutup pintu depan saja sudah membuatnya seperti
melakukan sesuatu yang salah.
“Kuze-kun.”
“I, Iya.”
“Untuk saat ini, pakai masker
dulu.”
“Ah, iya.”
Masachika merasa sedikit
gelisah, tetapi saat Alisa memberinya masker, ekspresi wajahnya langsung
berubah menjadi datar. Rasanya seperti ... Ia sedang diberitahu, “Pakai maskernya, bego.”. Tidak, Alisa takkan
pernah berpikir seperti itu. Bagaimana pun juga, Ia berpikir kalau masker
merupakan musuh besar untuk event
komedi romantis.
(Yah,
aku bahkan tidak bisa berciuman jika memakai masker ... Pertama-tama,
tidak bisa melihat setengah wajahnya saja sudah cukup fatal dalam event komedi
romantis ... Tidak, belakangan ini kelihatannya ada karakter heroine yang
benar-benar menyembunyikan wajahnya dengan masker.
Namun, mereka terlihat imut karena aku
bisa melihat ekspresi wajah mereka bahkan melalui masker karena efek dan
hal-hal khusus untuk manga dan anime, dan bila melihatnya secara langsung di
kehidupan nyata, mereka justru terlihat
menakutkan.
Sebaliknya, jika dia ingin menyembunyikan
wajahnya, secara pribadi aku lebih suka akan penutup mata yang menutupi matanya
ketimbang memakai masker, tapi jika Alya benar-benar memakainya, dia tampak
seperti seorang kriminal, dan perasaan tak senonoh itulah yang ditunggu-tunggu
dalam perkembangan buku tipis, duh apa sih yang kupikirkan?)
Saat mengenakan masker, imajinasi
ala otaku Masachika menjadi liar. Alisa terlihat khawatir saat melihat
Masachika berjalan sempoyongan dengan tatapan yang agak linglung.
“Kuze-kun? Apa kamu baik-baik
saja?”
“Jadi begitu rupanya, perasaan
tak bermoral dengan aroma kriminalitas. Itulah yang membuat heroine yang memakai
penutup mata terlihat begitu menarik.”
“... Sepertinya kamu tidak
baik-baik saja, ya.”
“… Aku pikir juga begitu.”
Merasa canggung dengan tatapan
Alisa yang memandangnya dengan kasihan, Masachika memandu jalan ke ruang tamu
sebelum Ia bisa mengatakan sesuatu yang lebih aneh lagi.
“Sebelah sana ada kamar kecil, lalu yang sebelah ini toilet, kamar itu dan
itu ... yah, tolong jangan masuk ke sana. Kemudian kamarku ada di sebelahh
sana. Dan yang ini ruang tamu. Kamu bisa meninggalkan barang bawaanmu di
sekitar sana. Yah, kalau kamu merasa
haus, kamu boleh mengambil air dan teh jelai di dalam kulkas dan gunakan
cangkir sesukanya ... apa kamu punya pertanyaan?”
“Hmm, yah. ... aku akan
bertanya saat kepikiran sesuatu, tapi lebih baik kalau kamu harus berbaring
secepat mungkin.”
“Aku juga berniat akan
melakukan itu ...”
Bahkan untuk berdiri seperti
ini saja sudah cukup sulit, jadi Masachika menuruti perkataan Alisa dan kembali
kamarnya sendiri. Saat dia ambruk di tempat tidur dan mengambil smartphoe-nya
untuk diletakkan di samping bantal ... smartphone-nya bergetar dan pesan dari
Yuki ditampilkan di layar.
『Jangan berimajinasi tentang
Alya yang memakai penutup mata, oke? 』
“Memangnya kamu ini cenayang!”
Masachika secara naluriah
berteriak pada waktu dan isi pesan yang membuatnya berpikir kalau Yuki sedang
membaca pikirannya. Kemudian, smartphone-nya bergetar lagi dan sebuah pesan
baru ditampilkan.
『Aku bukan cenayang. Itu semua
berkat kekuatan cinta. 』
“Apa kamu tidak merasa malu karena
mengatakan itu sendiri?”
『Apa kamu tidak merasa malu
mengoceh sendiri tidak jelas di depan smartphonemu? 』
“Salah siapa coba! Tuh, kamu
beneran membaca pikiranku, ‘kan!”
Masachika tanpa sadar membalas
dengan sekuat tenaga dan terbatuk-batuk karena rasa sakit di tenggorokannya.
『Tenggorokanmu terasa sakit, ‘kan?
Jangan memaksakan diri, oke? 』
“...”
『Maksudku, bukannya candaan “cenayang”
sudah terlalu jadul? Jaman sekarang sudah enggak ada lagi yang memakai kata
itu.』
Masachika sudah tidak punya
tenaga untuk melakukan tsukkomi dan
membanting smartphone-nya sedikit kasar ke bawah bantalnya.
Saat ini, Ia berpura-pura tidak
melihat pesan “Aduh! by smartphone”
yang ditampilkan di layar. Meski mereka bukan saudara kembar, tapi adiknya itu
terlalu pandai membaca pikiran kakaknya.
(Kalau sudah sembuh nanti, aku akan memastikan
kalau kamar ini tidak ada kamera pengintai atau perangkat pendengar ...)
Sembari diam-diam memutuskan
hal itu, Masachika berbaring lemas di tempat tidur.
“Kuze-kun? Apa aku boleh
masuk?”
“Hmm?... Iya.”
Setelah melihat sekeliling
ruangan sejenak dan memastikan kalau tidak ada sesuatu yang tidak ingin dilihat
orang, Masachika mulai menanggapinya.
(Tidak apa-apa. Aku tidak menyembunyikan
buku erotis di bawah tempat tidur seperti di manga shounen, atau bingkai foto
yang tersembunyi seperti di manga shoujo.)
Jika mencari-cari di lemari
rumah ini, kamu mungkin menemukan sesuatu yang menunjukkan kalau Masachika
dulunya anggota keluarga Suou. Namun, tidak ada hal seperti itu di tempat di
mana kamu bisa melihatnya secara normal. Wajar saja jika Masachika sendiri akan
menjauhkan hal-hal seperti itu dari pandangannya.
“Permisi.”
Alisa masuk ke dalam ruangan
dengan sedikit sungkan dan tangannya membawa botol air yang tidak dikenalnya.
Alisa tampaknya kesulitan harus melihat ke arah mana, dan dia menyodorkan botol
air kepada Masachika dengan gugup.
“Ini, teh hitam yang sudah
dicampur dengan madu. Kalau kamu tidak keberatan, silahkan diminum?”
“Oh, makasih ... maaf, laci
meja itu, atau mungkin rak? Jika kamu menariknya, itu akan berubah menjadi meja
kecil ...”
Seperti yang Masachika katakan,
Alisa mengeluarkan rak beroda di meja belajar Masachika dan memindahkannya ke
samping tempat tidur untuk meletakkan botol air di atasnya.
“Kalau begitu, umm ... apa kamu
mau makan sesuatu? Itupun kalau kamu punya tenaga untuk makan.”
“Ah, iya. Maksudku, kamu tidak
perlu gugup begitu.”
“Aku tidak gugup, kok. Hanya
saja ... aku cuma sedikit gelisah.”
Sesuai perkataannya, Alisa
menggumamkan, 【Baunya seperti anak laki-laki ... 】 seraya tatapannya berkeliaran
dengan gelisah.
(Jangan katakan itu dengan bisik-bisik!
Jangan terlihat malu-malu saat mengatakannya!)
Masachika juga ikutan merasa
gelisah saat tatapan Alisa melirik ke sana-sini sambil memainkan ujung
rambutnya dan terlihat semakin tidak nyaman. Layaknya dalam adegan komedi
romantis, Alisa membuka mulutnya dengan malu-malu.
“Umm, ... kalau begitu, kamu
mau pilih yang mana, bubur atau borscht?”
“Apa-apaan dua pilihan itu?”
Masachika secara naluriah
meneriakan tsukkomi pada pilihan hal yang sangat ekstrem tersebut. Lalu, Alisa berbicara
dengan ekspresi yang sedikit kesal.
“Itu sangat bagus buat tubuhmu,
loh? Borscht. Sangat mudah untuk dimakan meski tubuhmu sedang lemah karena
sayurannya direbus sampai lunak, bawang putih dan bawang bombay akan meningkatkan
kekebalanmu, dan bisa membantu sedikit pencernaan, jadi hal itu sangat baik
bagi perut atau ususmu——”
“Ah, aku mengerti, aku
mengerti. Jangan mengatakan sesuatu yang mirip seperti nenek-nenek dari pedesaan
juga kali ...”
“...”
Rasanya agak kasar untuk
mengatakan itu kepada seorang gadis muda, tapi Alisa sepertinya tak bisa berkata-kata
dan terdiam. Mungkin hal itu benar-benar sesuatu yang dikatakan oleh nenek
Rusianya.
“Jadi, mau yang mana?”
“Hmm ... Kalau begitu, mumpung
ada pilihan itu, aku pilih Borscht saja ...”
“Begitu. Lalu, hmmm ... kalau
kamu mau menunggu sekitar empat jam—”
“Jadi aku harus menunggu! Tidak,
apa aku harus menunggu?”
Masachika secara refleks
membalas tentang apa yang Ia pikir kalau itu merupakan candaan. Namun, Alisa
menurunkan alisnya seolah-olah dia tidak bermaksud membuat candaan.
“Tapi masakan borscht memiliki
banyak bahan ... Aku mungkin bisa menghemat waktu dengan menggunakan pressure cooker, tapi itu ide yang buruk
...”
“Tidak, aku tidak tahu proses
bertele-tele semacam itu. Jika memang begitu, aku memilih bubur saja. Ah,
mungkin rasanya tidak sopan untuk mengatakan itu, tapi aku benar-benar minta
maaf karena sudah banyak merepotkanmu ...”
Semakin lama rasanya semakin
sulit untuk berbicara, jadi Masachika menurunkan nada suaranya dan berbaring
kembali di tempat tidur.
“Baiklah, aku mengerti. Kalau
begitu, aku akan membuat bubur dulu ... aku pinjam dulu dapurnya.”
“Iya~ ...”
Ia menjawab dengan anggukan
kepalanya dan melihat punggung Alisa. Lalu saat membuka pintu, Alisa
mengeluarkan smartphone-nya dan mulai mengetik sesuatu dengan alis terangkat.
Saat melihat gerakan jarinya itu ... Masachika menatap ke arah yang jauh.
“... Astaga, kamu baru mencari
tahu cara membuat bubur, ya.”
Tsukomi lesu
Masachika bergema di ruangan tempat Alisa pergi.
(Padahal kamu tinggal memasak nasi dengan
air atau kaldu dan menambahkan garam...? Sebelah mana ada unsur kesalahannya...)
Itulah yang dipikirkan
Masachika diam-diam.
◇◇◇◇
“Begitu ya ... Jadi aku perlu
membumbuinya dengan garam dan bukan gula. Benar sekali iya ‘kan, lagian ini
bukan kasha.”
Ternyata ada banyak ruang untuk
kesalahan. Omong-omong, kasha adalah bubur Rusia yang dibuat dengan oatmeal dan biji gandum kuda* sebagai
pengganti nasi, susu sebagai pengganti kaldu, dan gula sebagai pengganti garam.
(TN : Gandum kuda
, buckwheat atau soba (Fagopyrum esculentum) adalah tanaman yang bijinya dapat
diolah menjadi tepung.)
Untung saja dia memeriksanya
terlebih dulu. Kalau tidak, percakapan seperti, “Euww! Kamu salah memasukan garam dan malah menukarnya dengan gula!”
“Eh? Aku tidak salah memasukannya, kok?” “Eh?” “Eh?”, akan terjadi di
antara mereka.
“Ummm, kalau memakai beras
kemasan ... Apa aku boleh memasukkan semuanya ke dalam panci? ... Oh, aku harus
memanaskannya di microwave dulu.”
Sembari memegang smartphone di
tangannya, Alisa memasukkan beras kemasan yang dibelinya ke dalam microwave.
“‘Lalu masukkan air’, lebih tepatnya berapa liter air yang
dibutuhkan, sih ...”
Sambil mengeluh dengan
deskripsi yang tidak jelas, Alisa melihat beberapa resep dan mengisi panci
dengan air.
“Oh, berasnya sudah hangat ...
aduh, panas! Panas!”
Dia pertama kali dikejutkan
oleh panas beras kemasannya, dan kemudian kaget karena panasnya uap yang
mengepul saat membuka tutupnya. Entah bagaimana dia berhasil meraih ujung
kemasan dan membawanya ke bagian atas panci, tetapi karena tergesa-gesa untuk
menghindari panas, dia langsung memiringkan kemasan itu dan nasi kental itu
jatuh ke air dengan keras, sehingga menyipratkan air ke mana-mana. Apalagi,
karena kemasan itu miring ke arahnya, percikan airnya mengarah ke perutnya.
“...”
Air berceceran di atas meja
dapur dan pakaiannya terlalu basah untuk ditutupi. Alisa menatap pemandangan
itu seolah-olah dia membeku … tetapi, dia tiba-tiba mengangkat wajahnya
perlahan dan menyeka pakaian serta meja dapur dengan saputangannya.
“Tidak apa-apa ... semuanya
aman jika aku memakai celemek.”
Dia mengeluarkan celemek dari
tasnya, lalu dengan cepat memakainya, dan melanjutkan memasak seolah-olah tidak
terjadi apa-apa. Bila ditanya apanya yang aman, mungkin jawabannya aman untuk
martabat Alisa. Mungkin. Selama tidak ada yang mengetahuinya, maka tidak ada
masalah.
“... Kira-kira seberapa banyak
air yang terciprat?”
Alisa sedikit mengkhawatirkan
jumlah air yang ada di dalam panci, tapi dia masih berhasil mengatur jumlah air
dan meletakkan panci di atas kompor.
“...”
Dia menutup panci dan menunggu
sampai nasinya mendidih. Menunggu. Terus menunggu …
“… Apa hanya segini saja? Entah kenapa rasanya
aku melupakan sesuatu ..."
Segera setelah tidak ada
sesuatu yang dilakukan lagi, Alisa menjadi cemas tanpa alasan yang jelas. Entah
bagaimana dia membuka tutupnya dan mengaduk-ngaduk isinya, lalu berulang kali
memeriksa resep untuk melihat apa ada kekurangan ...
“ ‘Tunggu sampai mengental’, sampai berapa lama tepatnya, sih? ... memangnya
tidak ada cara yang lebih mudah untuk menggambarkannya, seperti membiarkan air
menguap sepenuhnya.”
Dan begitulah, sambil mengeluh
terus-menerus, dia entah bagaimana berhasil membuat bubur.
“Kira-kira segini saja sudah
cukup ...?”
Dia memutuskan kalau biar
Masachika sendiri yang menyesuaikan rasa asin buburnya, lalu menyajikannya di
piring, dan diakhiri dengan taburan bawang hijau (yang mana membutuhkan waktu 5 menit untuk dipotong). Dengan sendok
dan sebotol garam, Alisa menuju ke kamar Masachika.
(Kenapa sebelah sini sedikit penyok...?)
Sembari mengomentari hal itu
dalam hati dan memiringkan kepalanya saat
melihat ke area yang sedikit penyok di bawah kenop pintu, Alisa
memanggilnya sebelum memasuki kamar.
“Kuze-kun? Aku membawakan bubur
untukmu.”
“Oh … terima kasih.”
Masachika terbaring lemas di
tempat tidur. Suaranya terdengar sedikit serak dan tatapan matanya agak
linglung saat menatap Alisa. Melihat penampilan Masachika yang melemah dan tak
seperti biasanya, Alisa...
(Aku ingin mengelus-ngelusnnya ...)
Insting keibuan muncul dalam
dirinya. Tapi kemudian, dia segera menghancurkan pemikiran tersebut. Dia
menginjak-nginjaknya hingga hancur berkeping-keping dan membuangnya ke luar
batas ruang di otaknya. Sementara itu, Masachika perlahan-lahan mengangkat
tangan kanannya dan mengacungkan jempolnya.
“Untuk penampilan celemeknya,
terima kasih banyak.”
“... Sepertinya keadaanmu sudah
lumayan membaik dari yang kuduga.”
Berkat masker yang
menyembunyikan pipi dan mulutnya, Alisa berkata sembari mengalihkan
pandangannya dan menggerakkan kakinya yang berhenti. ... Alisa tidak menyadari
kalau ujung telinganya, yang tidak tertutup oleh masker, berubah menjadi merah.
Tapi Masachika sangat menyadarinya.
“... Apa kamu bisa memakannya?”
“Hm... Yah.”
Masachika berusaha bangun dan duduk
di tepi tempat tidur. Setelah Alisa meletakkan bubur di depannya, Masachika
melepas maskernya dan mengambil sendok.
“... Apa kamu tidak melakukan ‘fu~fu~’ untuk mendinginkan buburnya?”
“Apa kamu ingin aku
melakukannya?”
“... Maaf, aku tadi cuma
bercanda.”
Dengan senyum sembrono dan
konyol, Masachika menggumamkan “Itadakimasu”
dan membawa bubur ke mulutnya. Di depan Alisa, yang sedang duduk di kursi
melihat adegan itu, Masachika menyantap buburnya dan kemudian berkata.
“… Enak, kok.”
“Begitu.”
Meskipun dia ragu apakah bubur
itu rasanya enak atau tidak, tapi Alisa sudah merasa senang kalau Masachika
tidak bilang bahwa rasanya tidak enak.
Untuk beberapa saat, dia
melihat Masachika memakan buburnya, tapi kemudian Alisa merasa kalau tidak
sopan juga menatap orang lain makan, jadi dia mengalihkan perhatiannya ke
sekeliling kamar.
“...”
Hal pertama yang Alisa rasakan
saat melihat sekeliling kamar Masachika adalah kamarnya lebih bersih dari yang
dia duga ... atau lebih tepatnya, kamarnya tidak punya banyak barang. Sebagai otaku
terbuka, Alisa mengira kalau kamar Masachika akan dipenuhi dengan rak besar
yang berisi manga dan novel ringan serta beberapa figurines yang berjejer di meja belajar … tapi dia tidak menemukan
benda semacam itu.
Memang ada manga, tapi itu cuma
ada beberapa yang menumpuk di meja belajar.
“... Jika kamu mencari barang
otaku, aku menaruhnya di kamar lain.”
“Oh, umm, begitu ya.”
Seolah-olah menebak pikirannya,
Masachika memberitahunya dan Alisa memalingkan wajahnya ke depan dengan
canggung. Kemudian, untuk mengubah topik pembicaraan, dia mengatakan sesuatu
yang membuatnya penasaran.
“Umm ... di mana orang tuamu?”
“Ayahku sibuk dengan pekerjaannya.
Enggak ada ibu.”
“Eh …?”
“Yah, bukannya aku berusaha
menyembunyikannya sih, tapi ... keluargaku, cuma ada aku dan ayahku.”
“Eh, jadi ... begitu ya ...”
Alisa merasa menyesal dengan
kata-kata yang keluar dari mulutnya tanpa berpikir panjang. Namun, Masachika
terus melanjutkannya seolah-olah itu bukan sesuatu yang penting.
“Bukannya meninggal dunia, oke?
Itu cuma perceraian biasa. Bukan hal yang aneh di jaman sekarang.”
“Apa begitu …”
Ia mungkin merasa sedikit lelah
karena sakit demamnya. Namun, ketika Masachika berbicara tentang ibunya dengan
cara yang merepotkan, Alisa merasa sedikit sedih.
Sekarang Alisa mengerti mengapa
kakeknya datang ke pertemuan orang tua-guru kemarin dan merasa sedikit kecewa
dengan kebodohannya sendiri. Pada saat yang sama, dia baru menyadari kalau
dirinya tidak tahu banyak tentang Masachika.
(Omong-omong ... aku bahkan tidak tahu ulang tahun Kuze-kun sampai
baru-baru ini ...)
Mereka berdua sudah duduk
bersebelahan selama lebih dari setahun sekarang, tetapi dia bahkan tidak mengetahui
itu. Dan Alisa semakin kecewa karena dia tidak menyadari hal tersebut sampai
dia diberitahu.
Fakta bahwa Ia tidak
menyembunyikannya berarti informasi itu... Tentu saja, teman masa kecilnya, Yuki
dan Ayano, pasti tahu tentang itu.
Pemikiran bahwa Yuki dan Ayano
mungkin merayakan ulang tahun Masachika di rumah yang sepi ini tanpa
sepengetahuannya, membuat hati Alisa menjadi murung. Namun, jika Yuki tidak
memberitahunya hari ini, Alisa mungkin takkan pernah mengetahui situasi
keluarga Masachika. Saat berpikir begitu, mungkin dia perlu … berterima kasih
pada Yuki. Meskipun dia sedikit bingung.
(Lain kali, aku akan membicarakan banyak hal dengan Kuze-kun)
Saat Alisa diam-diam memutuskan
untuk melakukan hal itu, Masachika selesai memakan buburnya.
“Terima kasih atas makanannya
... rasanya enak. Oh, teh ini juga.”
“Sama-sama ... Tehnya dari
Masha, jadi aku akan memberitahunya kalau kamu sangat menghargainya.”
“Tolong, ya.”
“Lalu ... selanjutnya, meminum
obat, ya. Oh, tapi sebelum itu, apa kamu mau ganti baju dulu?”
Ketika Alisa mengatakan itu
sembari melihat piyama Masachika yang basah oleh keringat, Masachika terkekeh
dengan cara yang lucu.
“Oi,oi, event menyeka keringat dan berganti pakaian adalah fans-service karena para gadis yang
melakukannya, ‘kan?”
“Jangan mengatakan hal konyol
begitu, cepat ganti bajumu. Aku akan membawakanmu obat dan air.”
“…Ya.”
“Apa kamu butuh air panas dan
handuk?”
“Tidak, tidak perlu. Aku akan
menyeka keringatku dengan piyama ini.”
“Begitu ... oh iya, di mana termometernya?”
“Oh, aku menaruhnya di——”
Setelah mendengar dari
Masachika tempat di mana termometer disimpan, Alisa mengambil piring kosong dan
meninggalkan ruangan. Dia lalu mencucinya di wastafel dan saat dengan santai
memasukkannya ke dalam keranjang drainase ...
“Ah …”
Di sana, Alisa menemukan mug
yang dia berikan pada Masachika tempo hari dulu.
(Jadi ... Ia menggunakannya, ya)
Hal tersebut membuat hati Alisa
merasa hangat. Dia tanpa sadar mengambil cangkir tersebut dan tersenyum senang
... Sekitar 10 detik kemudian, dia kembali tersadar dan buru-buru meletakkannya
kembali. Dia dengan cepat melihat sekeliling untuk memastikan bahwa tidak ada
yang melihatnya, dan kemudian berpura-pura terbatuk.
Setelah tenang, dia kembali ke
kamar Masachika sambil membawa air, obat, dan barang lainnya.
“Boleh aku masuk?”
“… Ya.”
Saat dia memasuki ruangan,
Masachika yang sudah berganti piyama barunya, sedang duduk di tempat tidurnya
dan menunggu. Alisa tidak bisa menemukan piyama yang Ia lepas, tapi mungkin
Masachika terlalu malu kalau piyama kotornya dilihat, jadi Ia menyembunyikannya
di suatu tempat.
“Oke, ini obatnya dan plester
kompres penurun demam ... lalu, ini termometernya.”
“Terima kasih.”
Masachika menyelipkan
termometer di bawah lengannya dan menuangkan obat dengan air. Lalu saat
menunggu sebentar, termometer mengeluarkan bunyi. Kemudian, Masachika mencoba
mengeluarkan termometer ... dan menyeringai seolah-olah telah menemukan
sesuatu.
“Menurutmu berapa suhunya?”
“Sudah, jangan bercanda terus.”
“Muu... yah, baiklah. Yosh!! 38,4 derajat!”
“...”
“Mmm! Hampir saja! Ternyata
38,6 derajat! U-Uhukk!”
“Jangan melakukan hal konyol
terus, cepetan tidur.”
“Uhukk, ... ya.”
Begitu menyibakkan poninya, Masachika
menempelkan plester kompres penurun demam di dahinya, dan Ia jatuh di tempat
tidur.
Masachika menggeliat untuk
mencari posisi nyaman di tempat tidur, mengangkat masker ke hidungnya dan
merilekskan seluruh tubuhnya.
“... Sungguh, terima kasih
banyak, ya. Aku akan mengembalikan uangnya nanti, jadi tolong tinggalkan tanda
terimanya di meja.”
“Jangan terlalu dipikirkan,
hanya sebanyak ini, kok.”
“Tidak, aku mau masalah uang
harus dikembalikan semestinya.”
“Iya, iya. Aku mengerti.”
“Kalau begitu, aku mau tidur
lagi ... Kamu boleh pulang sekarang. Umm, kuncinya ...”
“Jangan khawatir tentang itu.
Aku nanti akan belajar di ruang tamu.”
“Tidak, kamu tidak perlu sampai
sejauh itu ...”
“Orang sakit tidak boleh banyak
mengkhawatirkan sesuatu. Ayo, cepetan tidur.”
“Oke~...”
Lampu di ruangan itu dimatikan
dan Masachika memejamkan matanya seolah-olah Ia sudah menyerah. Lalu Ia bisa
mendengar langkah kaki Alisa yang tadinya Ia pikir sudah meninggalkan ruangan.
(Oh, jadi dia mau membawa termometer dan
cangkir yang kelupaan ...)
Bertentangan dengan dugaan
Masachika, Ia mendengar suara kursi berderit tepat di sebelahnya, kemudian Ia merasakan
ada sebuah tangan di dadanya dan menepuk-nepuknya dengan lembut.
“... Alya-san?”
“Apa.”
Masachika membuka matanya saat melihat
tingkah Alisa yang seolah-olah sedang menidurkan anak kecil dan mencoba berkata,
“Tidak, jelas-jelas ini memalukan...”,
tapi saat melihat tatapan Alisa, Ia menelan kembali kata-kata tersebut.
“Bukan apa-apa ... Terima kasih banyak ya, buat segalanya.”
“Jangan terlalu dipikirkan ...
itu karena, kamu selalu membantuku ...”
“Justru aku yang selalu
dibantumu, loh?”
Masachika memejamkan matanya
lagi dan menambahkan “misalnya saja saat
aku melupakan sesuatu”. Kemudian, mungkin karena sensasi tepukan lembut di
dadanya, Ia merasakan kalau rasa kantuknya meningkat dengan cepat.
“Hal seperti itu
...dibandingkan dengan bantuanmu dalam kampanye pemilihan, ini masih belum
seberapa ... Selain itu, ada banyak hal lainnya ...”
“Jangan khawatir tentang itu ...
itu karena aku cuma ingin melakukannya saja.”
Masachika menyela kata-kata
Alisa dengan kesadarannya semakin kabur karena rasa kantuk yang mendekat.
Dengan begini percakapan selesai, sudah waktunya untuk tidur … saat Masachika berpikir begitu, bertentangan
dengan harapannya, Alisa masih mengatakan sesuatu.
“Karena kamu ingin
melakukannya? Apa maksudnya itu ...”
“Hmm? Apanya ...”
“Kenapa kamu selalu membantuku?”
“Itu sih, karena aku … padamu
...”
“... Kuze-kun?”
“...”
Alisa sepertinya mengatakan sesuatu.
Aku harus menjawabnya ... pemikiran
tersebut tersapu oleh rasa kantuk yang menyerang. Kemudian Masachika benar-benar
tertidur lelap ... Tapi tepat sebelum itu, bisikan Alisa terdengar lembut di
telinganya.
“Selamat malam ...
Masachika-kun.”
◇◇◇◇
“Ugh ...”
Saat Masachika membuka matanya
lagi, keadaan di luar sudah gelap.
“Ahh ...”
Mungkin obatnya manjur, Masachika
merasa kalau keadaannya jauh lebih baik daripada siang hari. Badannya masih
sedikit nyeri dan kepalanya terasa pening, tapi itu mungkin karena Ia terlalu
banyak tidur.
Pada saat Ia melihat jam,
waktunya sudah lewat jam 8 malam. Sepertinya Ia sudah tertidur lebih dari 5 jam.
Mempertimbangkan
jumlah tidur di pagi hari, Ia jelas-jelas kebanyakan tidur.
( Alya ... pastinya sudah pulang, iya
‘kan?)
Dengan pemikiran seperti itu,
Masachika mengambil smartphone-nya karena kebiasaan sebelum meninggalkan
ruangan dan mengerutkan kening pada layar kunci yang diaktifkan.
Layar tersebut menampilkan 2
pesan dari Yuki, yang isinya, 『Apa
pesananmu seorang maid? 』 dan『Aku
sudah memantikan percikannya ZE ☆』.
Merasakan firasat buruk,
Masachika membuka pintu kamarnya ... dan berbalik menantikan hari lusa untuk
melarikan diri dari kenyataan.
Karena di ruang tamunya, ada
dua gadis cantik yang sedang diam-diam ... ya, sedang diam-diam saling melotot.
(Begitu rupanya, jadi ini yang dinamakan
perang dingin, ya? Aku tidak tahu kalau bakalan ada perang dingin antara Rusia
dan Jepang)
Masachika memikirkan hal konyol
seolah-olah melarikan diri dari kenyataan, tetapi Ia secara paksa ditarik
kembali ke kenyataan ketika dua orang itu memanggilnya pada saat yang bersamaan
karena mereka mendengar suara pintu terbuka.
“Kuze-kun, apa kamu tidak
apa-apa untuk bangun?”
“Masachika-sama, bagaimana
keadaan anda?”
Salah satunya adalah Alisa,
sedangkan yang lainnya ialah ... Ayano yang memakai perlengkapan lengkap (?) dengan
rambutnya yang terurai ke belakang dan dahinya terbuka, serta mengenakan baju
seragam maid. Ngomong-ngomong, model
baju maid Ayano mempunyai renda dan
memiliki nuansa seperti seragam maid
di Akihabara, tapi ini hanya sebatas hobi Yuki, bukan pakaian pelayan keluarga Suou.
Seragam pelayan keluarga Suou jauh
lebih sederhana dan tidak ada hiasan kepala. Ini adalah hasil dari permintaan
langsung Yuki “Menurutku gadis-gadis muda
harus memakai pakaian yang lebih lucu!” kepada kakeknya, tapi dengan syarat
“dia hanya boleh memakainya saat tidak
ada tamu”, seragam maid buatan Yuki sendiri.
(Memang benar kelihatan imut sih, tapi
... baju itu tidak cocok untuk tempat ini)
Masachika memandang ke arah
jauh dalam banyak hal saat melihat penampilan baju maid Ayano setelah sekian
lama. Sementara itu, Ayano yang duduk di seberang Alisa, berdiri dengan cepat
dan tanpa suara, lalu dengan gerakan yang lihai, dia dengan mudah menyelinap ke
bawah lengan Masachika.
“Silahkan, anda bisa bersandar
di bahu saya.”
Tanpa disadari, Ayano sudah meringkuk
di sisi kanan Masachika. Lengan kiri Ayano melingkari pinggang Masachika, dan
tangan kanan Ayano berada di dadanya.
“Tidak, kamu tidak perlu
melakukanya sejauh itu.”
“Anda tidak perlu sungkan-sungkan
segala.”
Masachika mencoba menjauhkan
dirinya, tapi lengan Ayano dengan cepat melingkari pinggangnya, dan tubuh Ayano
ditekan ke sisi kanannya.
“Tenang dulu Ayano. Satu-satunya
orang yang diizinkan merangkul bahu maid
hanyalah bos organisasi dunia bawah yang memiliki budak sebagai samurainya,
tahu?”
“Kamulah yang harusnya tetap
tenang. Dan Kimishima-san, cepat menyingkir darinya.”
“Tidak, ini sudah menjadi tugas
saya sebagai maid.”
“Kamu itu bukan maid-nya Kuze-kun, melainkan maid Yuki-san, ‘kan?.”
Usai mendengar ucapan Alisa,
Ayano tiba-tiba tertegun ... Selama jeda itu, Masachika dengan lembut mencoba
menjauhkan tubuhnya. Namun,
“... Yuki-sama telah
memerintahkan saya untuk merawat Masachika-sama. Jadi, ini adalah tugas saya
sebagai maid.”
“Saya
takkan membiarkannya!” Ayano mendorong tubuhnya lagi untuk
memeluk erat Masachika. Melihat pemandangan itu, alis Alisa terangkat.
“Oleh karena itu, saya akan
mengambil alih perawatan Masachika-sama. Karena waktunya sudah malam, Alisa-sama
bisa pulang duluan. Mobil keluarga Suou akan mengantar anda pulang.”
(Ooii cara bicaramu! Aku tahu kalau kamu
tidak bermaksud begitu, tapi omonganmu tadi terdengar seolah-olah kamu
mengusirnya!?)
Adapaun Ayano, dia mungkin
benar-benar tulus mengatakan “Karena
sudah malam, biar saya saja yang mengurus sisanya, oke?” pasti maksudnya
begitu. Tetapi, saat posisinya sedang merangkul Masachika dan mengatakan itu
dengan acuh tak acuh, “Karena Ia sudah
memiliki saya, Anda tidak lagi diperlukan. Saya sudah menyiapkan mobil untuk
Anda, jadi mengapa Anda tidak pulang saja ke rumah?” dapat disimpulkan
kalau dia mencoba mengatakan sesuatu seperti itu.
Kenyataannya, Alisa mengangkat
alisnya pada kata-kata Ayano dan hanya menatap tajam Ayano. Namun, Ayano tidak
bergeming dan membalas kembali tatapannya dengan ekspresi datar.
(Eh? Dia tidak tersinggung ... ya?)
Biasanya, jika kamu tidak memiliki motif
tersembunyi, kamu akan memiringkan kepala seolah-olah tidak mengerti mengapa
seseorang memelototimu. Ehh? Apa ini mungkin shuraba? Apa akan terjadi shuraba?
Keraguan muncul di dalam
Masachika, dan pada saat yang sama, pesan Yuki, 『Aku
sudah memantikan percikannya ZE ☆』 muncul kembali di benaknya. Meski dibilang
percikan tapi hal itu membuatnya merinding, Masachika penasaran apa itu karena
Ia sedang demam atau sesuatu yang lain?
“Selain itu, bukannya Alisa-sama
sibuk mempersiapkan kegiatan besok?”
“...”
Alis Alisa berkedut mendengar
kata-kata Ayano. Tapi ... Masachika tidak tahu apa yang mereka bicarakan.
“Besok? Memangnya ada sesuatu
yang terjadi?”
“Bukan apa-apa. Cuma kegiatan
di sekolah saja, kok.”
Alisa segera menjawab
seolah-olah berusaha menutupinya, dan Masachika merasakan sedikit penasaran
tentang hal itu ....
“... Di antara kami, Kuze-kun
sendiri lebih suka dirawat sama siapa?”
Perkataan Alisa selanjutnya
menghilangkan keraguan yang Ia miliki.
(Apa-apaan pertanyaan itu!?)
Masachika berteriak dalam hati
pada pertanyaan jebakan, yang tidak peduli bagaimana Ia menjawabnya, akan
selalu menyinggung salah satu pihak.
(Jika disuruh memilih, Ayano mungkin lebih
terbiasa dengan hal semacam ini, dan aku merasa tidak enakan merepotkan Alya
terus, jadi jawabannya sudah pasti Ayano, kan? Namun, sudah pasti dia tidak
ingin mendengar jawaban seperti itu ...)
Ini bukan masalah logika. Dalam
situasi seperti ini, wanita ingin mendengar apa yang sebenarnya kamu rasakan,
dan bukan apa yang menurutmu masuk akal. Masachika sendiri sangat menyadari hal
tersebut.
(Apa yang benar-benar kurasakan, ya ...)
Dengan kepalanya yang sedikit
pening karena demam yang kembali, Masachika bertanya pada dirinya sendiri. Apa
yang sebenarnya Ia inginkan. Ia ingin dirawat oleh siapa ... Jawabannya secara
alami keluar dari mulutnya.
“Aku ingin mencoba harem.”
Jawaban yang brengsek. Ia
benar-benar orang yang brengsek. Mendengar jawaban seperti itu, tatapan mata
Alisa kehilangan cahayanya dalam sekejap.
“Ah bukan, tadi itu ...”
“...”
“Dipahami. Apa saya perlu
memanggil Yuki-sama untuk bergabung ke sini?”
“Jangan langsung setuju saja,
oi.”
“Kalau begitu, Alisa-sama,
tolong bantu bahu kiri Masachika-sama.”
“Tidak perlu, kamu tidak perlu
melakukannya.”
“Anda tidak perlu merasa malu-malu
segala, tau? Saya sangat menyadari bahwa pria lebih suka memiliki lebih banyak
wanita.”
“Bisa tidak jangan terus
memojokanku tanpa sedikit pun niat buruk!?”
Masachika berteriak pada Ayano,
yang menatapnya dengan mata jernih yang berbeda dari Alisa. Segera setelah itu,
desahan panjang Alisa mencapai telinganya, dan Masachika menjauhkan tubuhnya
dari Ayano.
“... Jika kamu bisa berteriak sekencang
itu, kurasa keadaanmu sudah sedikit baikan.”
“Ah, Alya-san?”
“Aku mau pulang dulu. Oh, ada
borscht di dapur, jadi kamu bisa memakannya untuk makan malam.”
“Bo-Borscht? Oh, jadi bau ini
dari masakan itu ya?”
Masachika melihat sekeliling
pada aroma familier yang menyebar di ruang tamu. Mengangguk dalam diam sebagai
penegasan, Alisa mengemasi barang bawaannya dan berbalik untuk meninggalkan
ruang tamu.
“A-Ayano? Bisakah kamu menjauh
sedikit karena aku agak kesulitan untuk berjalan?”
“… Dipahami.”
Dia berhasil membuat Ayano menjauh
dan Masachika mengikuti Alisa. Ketika berhasil menyusulnya di pintu masuk, Ia
menurunkan alisnya dan meminta maaf kepada Alisa.
“Entah kenapa maaf ya. Padahal
kamu sudah datang jauh-jauh malah jadinya begini ... Tapi aku sangat
menghargainya. Terima kasih banyak.”
Ketika Masachika berterima
kasih padanya, ekspresi Arisa sedikit melunak.
“Tidak apa-apa ... Aku juga,
hanya ingin melakukannya.”
“... Hmm? Aku ‘juga’?”
“… Jangan terlalu dipikirkan.”
Ketika dia mengalihkan
pandangannya dari Masachika yang memiringkan kepalanya, Alisa menatap Ayano
yang berdiri secara diagonal di belakang Masachika.
“Kalau begitu, aku serahkan perawatan
Kuze-kun padamu, ya?”
“Ya, serahkan saja pada saya.”
Mengangguk sedikit pada Ayano
yang membungkuk, Alisa menatap wajah Masachika lagi.
“?”
Tatapan mata Alisa dipenuhi
tekad. Masachika memiringkan kepalanya pada keinginan yang kuat seolah-olah dia
telah memutuskan sesuatu.
“Alya?”
“Kalau begitu Kuze-kun, sampai
jumpa lagi.”
“Oh, iya ... sampai jumpa
lagi.”
Namun, Alisa tidak menanggapi
panggilan pertanyaan Masachika. Alisa membalikkan badan dan mendorong pintu depan
hingga terbuka, lalu berjalan keluar.
Masachika membuang muka dengan
perasaan yang sulit dijelaskan, tetapi kekhawatirannya terputus ketika Ayano
melangkah keluar dari belakangnya dan menutup pintu depan.
“Apa Anda baik-baik saja?
Seperti yang saya kira, apa anda membutuhkan saya untuk menopang bahu anda?”
“Tidak, tidak perlu.”
Saat Masachika berdiri di sana
dengan linglung, Ayano menutup jarak lagi, dan Masachika mundur.
“Maksudku, barusan rasanya
kakiku mengenai sesuatu ... Apa ada sesuatu di kantongmu?”
Masachika berkata begitu sambil
mengelus bagian luar pahanya yang kesakitan. Kemudian, Ayano berhenti bergerak,
lalu memiringkan kepalanya perlahan dan berkedip seolah-olah dia baru menyadari
sesuatu.
“Oh, itu sih ...”
Kemudian, dia tiba-tiba meraih rok
seragam maid-nya dan langsung mengangkatnya tanpa menunjukkan keraguan sedikit
pun.
“Tunggu— , apa yang sedang kamu
lakukan—— !?”
Di hadapan Masachika, lutut
Ayano yang terbungkus kaus kaki lutut putih, terbuka, serta paha mulusnya bisa
terlihat … jelas...?
“Apa-apaan itu?”
Wajah Masachika berubah serius
ketika melihat benda yang melilit paha Ayano.
Namun, wajar saja ekspresinya
berubah serius. Karena ada dua pita hitam melilit di masing-masing paha Ayano
dan benda yang tampak seperti pena perak dimasukkan ke dalamnya.
“Ini adalah senjata.”
“Apa-apaan itu!?”
Di depan Masachika yang
berteriak dan menjerit, Ayano mengayunkan lengan kanannya untuk mengibaskan
roknya. Rok yang berkibar dengan jelas, memamerkan area daya tarik mutlak yang
tampaknya terlihat, tapi tidak terlihat.
Tangan kanan Ayano terangkat … di
depan Masachika yang mau tidak mau dibuat tercengang saat melihat pemandangan
yang tidak bisa dilawan oleh cowok mana pun.
“Ini adalah senjata.”
“Tidak, sudah kubilang itu
apaan.”
Ada tiga pensil mekanik
berbahan logam dengan ujung yang runcing di antara jari-jari Ayano. Memang
benar jika dia menikamnya di leher seseorang dengan sekuat tenaga, benda itu sudah
cukup untuk membunuh seseorang ... Mengapa benda semacam itu disimpan di roknya?
“Yuki-sama bilang ... kalau ini
‘bagus’.”
“Ya, aku tahu.”
“Yuki-sama bilang kalau seragam
maid adalah pakaian tempur, jadi saya harus selalu siap untuk bertempur setiap
saat...”
“Begitu ya. Kira-kira apa sih
yang sedang dia coba lawan?”
Dengan pasrah, Masachika
kembali ke ruang tamu tanpa mengomentari lebih lanjut.
“Apa anda punya nafsu makan? Barusan
Alisa-sama bilang kalau dia sudah menyiapkan borscht untuk anda ...”
“Ah, kalau begitu aku akan
memakannya.”
“Dipahami. Tolong tunggu
sebentar.”
Saat duduk di kursi, Masachika mengukur
suhu tubuhnya dan menunggu, lalu aroma sedap tercium di hidungnya.
“Maaf sudah membuat anda
menunggu. Apa anda masih demam?”
“Oh ... 37,4 derajat. Yah,
keadaanku jauh lebih baik dari sebelumnya.”
“Syukurlah kalau begitu ...
saya sudah menghangatkannya kembali, silakan dinikmati.”
“Terima kasih.”
Ketika Masachika melihat ke
piring dengan sendok di tangannya, Ia melihat sup berwarna merah pekat yang
terlihat seperti borscht. Rupanya,
itu dibuat hanya dengan merebus sayur tanpa daging, mungkin karena
mempertimbangkan keadaan orang sakit.
“Kalau begitu ... itadakimasu.”
Segera setelah Ia mencicipi sup,
rasa asam yang kuat langsung merangsang lidahnya. Namun, rasa manis dari sayuran
segera menyebar dan Ia merasa kalau lidahnya yang tumpul karena demam, pulih
kembali dengan cepat.
“Lezat …”
Nafsu makannya langsung
meningkat, Masachika menyendok sayuran berikutnya. Semua sayuran dimasak dengan
baik dan meleleh di mulutnya tanpa dikunyah lagi. Kubis dan bawangnya terasa
manis dan bahan biji-bijiannya hampir tidak berbau tanah.
(Saat aku masih kecil, ketika aku makan
hidangan ini di rumah Jii-chan, aku tidak suka bau tanah ini ... Jii-chan
justru tertawa dan bilang kalau Ia menyukai bau ini, tapi aku pasti lebih suka
yang ini.)
Ia memakannya dengan lahap, dan
tanpa disadari, Masachika sudah menghabiskan semuanya.
“Masih ada sisa borscht di dalam panci ... Apa anda
ingin nambah lagi?”
“... Lalu, apa kamu bisa
mengambilkannya untukku?”
Ia juga menghabiskan sisa
makanannya. Masachika sedikit terkejut, karena Ia tidak menyangka kalau dirinya
bisa makan sebanyak itu sendirian.
“Terima kasih atas makanannya
... kurasa aku harus berterima kasih pada Alya.”
Kalau tidak salah, Alisa
sendiri yang bilang kalau itu akan memakan waktu sekitar empat jam untuk
membuatnya. Masachika hanya bisa bersyukur karena dia sudah meluangkan waktu
dan usaha untuk membuatkan ini untuknya.
“Fu...”
Setelah menyelesaikan makannya,
Masachika mulai merasa mengantuk lagi. Mungkin karena perutnya sudah kenyang,
atau mungkin karena demamnya naik lagi ...
“Masachika-sama, silahkan, ini
obatnya.”
“Oh, makasih.”
Setelah meminum obat yang
diberikan oleh Ayano, Masachika mencoba berdiri. Ia menghentikan Ayano yang
mencoba membantunya, dan perlahan kembali ke kamarnya dan berbaring di tempat
tidurnya.
“Hwahaaaaa ...”
“Masachika-sama, bagaimana
dengan mandinya?”
“Hmm~ hari ini mungkin tidak
dulu ...”
“Kalau begitu, setidaknya
ijinkan saya menyeka badan anda.”
“Kupikir aku mending mandi saja
kali, ya.”
Masachika segera menarik
pernyataan sebelumnya kepada Ayano yang mengepalkan tinjunya dengan tatapan
mata yang termotivasi. Entah bagaimana, Ia punya firasat bahwa akan sangat
buruk jika Ia meninggalkan Ayano dalam keadaan seperti itu.
“Lalu, membasuh punggung
anda——”
“Tidak usah, tidak usah.”
“Jangan khawatir. Saya akan
memakai penutup mata dengan benar.”
“Tak disangka kalau flag penutup mata bakalan muncul di sini?
Tidak, aku punya firasat buruk tentang mencuci tubuhku dengan penutup mata.”
“Kalau begitu ... tanpa penutup
mata.”
“Aku punya firasat buruk
tentang hal itu.”
“Anda tidak perlu cemas.
Sebagai seorang pelayan, saya berjanji kalau saya tidak akan pernah melihat
Masachika-sama dengan tatapan seksual.”
“Deklarasi macam apa itu? Oi,
deklarasi macam apa itu?”
“Seandainya saya melanggar
janji ini, Anda bebas melakukan apapun pada tubuh saya ...”
“Terlalu berat, terlalu berat, terlalu
berat.”
Setelah itu, Ayano berusaha
mati-matian untuk merawat Masachika dengan segala cara yang diperlukan, tapi
pada saat bersiap-siap untuk tidur, Masachika merasa lelah dalam banyak hal.
“Lalu, Masachika-sama ...
Selamat malam.”
“Oh. .. selamat malam.”
Masachika pura-pura tidak
memperhatikan Ayano, yang tampaknya masih kurang puas dalam beberapa hal, dan
melambaikan tangannya ke udara.
“Saya kira, kalau tidur bersama
...”
“Kamu tidak perlu melakukan
itu, kamu nanti akan ketularan sakit.”
“Setidaknya, menyanyikan lagu
pengantar tidur ...”
“Tidak butuh, tidak butuh.”
Apa
anda yakin tentang itu? Anda yakin? Ayano masih belum menutup
pintu dengan mudah. Masachika menghela nafas ringan pada pelayan yang menatap
melalui celah di pintu yang sedikit terbuka dan sedikit menajamkan tatapannya.
“Ayano.”
“! Ya, apa anda perlu sesuatu?”
Anda
membutuhkanya, ‘kan? Anda ingin saya menyanyikan lagu pengantar tidur, ‘kan? Kepada
Ayano membuka pintu dengan tatapan berbinar di matanya, Masachika berkata
dengan nada yang sedikit keras.
“Ini perintah. Kamu harus tidur
di kamar Yuki.”
“! Dipahami. Semoga mimpi
indah, Masachika-sama.”
Begitu Masachika mengucapkan
kata “perintah,” tubuh Ayano
tersentak, lalu segera menundukkan kepalanya dan menutup pintu.
“... Seharusnya aku melakukan ini dari awal...”
Dengan tersenyum masam,
Masachika mengambil smartphone-nya sebelum tidur. Kemudian, ada pesan dari Yuki
yang bertuliskan 『Pertarungan
antar gadis, babak pertama: Ayano vs Alya-san, pemenangnya adalah Ayano』.
“Tidak, memangnya bakalan ada
babak kedua ...”
Saat mengomentari itu,
Masachika meletakkan smartphone-nya dan membalikkan badannya untuk tidur.
Meskipun Ia sudah kebanyakan
tidur, Ia pikir akan sulit untuk tertidur lagi, tapi ternyata rasa kantuk
datang dengan sangat cepat. Masachika tidak melawan rasa kantuk tersebut dan
perlahan-lahan tertidur.
... Ya, Ia tertidur dengan
pulas. Ketidaknyamanan yang Ia rasakan dari sikap Alisa dibiarkan begitu saja.
Ia bahkan tidak berpikir mendalam tentang maksud di balik pesan Yuki.
Pada saat Masachika menyadari
apa yang sebenarnya terjadi, semuanya sudah berakhir ... ya, semuanya sudah
terlambat.