Chapter 07 — Sepertinya Dia itu 5M
Keesokan harinya, Masachika bangun
saat sudah jam 11 lewat sedikit.
“Yang benar saja ...
jelas-jelas aku kebanyakan tidur, nih. Sebaliknya, bagaimana bisa aku tidur
sebanyak ini.”
Tidak peduli seberapa banyak Ia
kekurangan tidur, tidur selama hampir setengah hari jelas-jelas terlalu
berlebihan. Jika memasukkan jumlah waktu tidur di siang hari kemarin, Masachika
sudah menghabiskan sebagian besar harinya untuk tidur. Sebaliknya, hingga saat
ini, tubuhnya masih terasa lesu. Ia tidak tahu apakah rasa pening di kepala dan
tubuh lesunya ini karena sakit demam atau terlalu banyak tidur.
“Maksudku, hitungannya berarti
hari ini aku bolos sekolah, dong ...”
Masachika merasakan gelombang
kegelisahan dan keringat dingin ketika menyadari kalau Ia tertidur tanpa
memberitahu pihak sekolah tentang ketidakhadirannya. Namun, suara ketukan di
pintu memaksanya untuk berhenti berpikir.
“Masachika-sama, apa Anda sudah
bangun?”
“Ah, iya ...”
Saat Ia menanggapi suara yang
familiar dengan kebingungan, Ayano memasuki kamarnya dengan mengenakan pakaian
maid.
Dia mengatupkan tangannya di
depan perutnya, dan dengan postur tubuh indah yang membuat siapa saja jatuh
cinta padanya, dia dengan cepat menundukkan kepalanya yang dihiasi dengan hiasan
kepala.
“Selamat pagi. Masachika-sama.”
“Iya, pagi juga ... Apa kamu
juga ikutan tidak masuk sekolah?”
“Ya. Merawat Masachika-sama
jauh lebih penting daripada mengembalikan lembar ujian tes. Tomohisa-sama sudah
memberitahu pihak sekolah bahwa Masachika-sama akan absen, jadi anda tidak
perlu khawatir.”
“Dari Jii-chan ... begitu
rupanya.”
Ayano menyodorkan termometer
saat melirik ke Masachika yang menghela nafas lega.
“Ini silahkan. Masachika-sama.”
“Iya, makasih.”
“Bagaimana keadaan anda
sekarang?”
“Kupikir keadaanku jauh lebih
baik ... tapi kali ini badanku sangat lesu karena kebanyakan tidur ... dan tenggorokanku
masih terasa sakit. Yah, kurasa ini juga karena aku kebanyakan tidur dan tidak minum
air.”
“… Jadi begitu.”
Saat ditanya dan menjawab pertanyaan
tentang kondisi fisiknya, termometer berdering, dam Masachika mengeluarkannya
untuk memeriksa suhu tubuhnya.
“36,7 derajat. Yah, itu hampir
mendekati suhu normal.”
“Syukurlah kalau begitu. Saya
sedang berpikir untuk menyiapkan makanan, tapi mana yang anda pilih, mau bubur
atau udon?”
“Kalau begitu, aku pilih udon.”
“Baiklah, dipahami.”
Berterima kasih atas perhatian
Ayano, Masachika mencuci tangannya, mandi cepat untuk menghilangkan keringat, lalu
berganti pakaian santai dan kembali ke ruang tamu.
Masachika menyantap udon yang sudah
disiapkan Ayano untuknya, yang dibumbui dengan kaldu, dan memakan satu
setengah porsi.
“Haa ... Terima kasih atas
makanannya.”
“Sama-sama. Sepertinya nafsu
makan anda sudah kembali pulih.”
“Yah, karena aku sudah hampir
sembuh. Sakit tenggorokanku juga sudah sedikit lebih baik.”
“Aku merasa lega mendengarnya.
Tapi untuk jaga-jaga, tolong istirahatlah hari ini.”
“Yah, lagian juga sekolah sudah
hampir selesai ...”
Masachika berkata begitu
sembari melihat jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 12.35. Biasanya
sekarang sudah memasuki jam istirahat makan siang, tapi karena minggu ini cuma
ada pelajaran pagi saja, jadi waktu siang sudah memasuki jam pulang sekolah. Besok,
anggota OSIS seharusnya bersiap-siap untuk upacara akhir semester, tapi Ia
tidak memiliki keperluan mendesak yang harus dihadiri hari ini.
“Masachika-sama, ini obatnya.”
“Oh terima kasih ...?”
Saat mengingat jadwal di
kepalanya, Masachika ditawari obat dan air, lalu saat melihatnya, Ia merasakan
ada sesuatu yang janggal.
(Hmm? Apa tadi itu? Entah kenapa ada
sesuatu yang menggangguku?)
Ada sensasi ketidaknyamanan
samar-samar, seolah-olah ada fakta penting di sana, tetapi Ia tidak
menyadarinya. Namun, insting Masachika memperingatkan bahwa perasaan ketidaknyamanan
ini tidak boleh diabaikan.
(... Obat pil ini, ya?)
Saat Masachika menatap obat pil
di telapak tangan Ayano, Ia mengetahui sumber dari perasaan tidak nyamannya itu.
Ia tidak terlalu memperhatikannya kemarin karena Ia dalam keadaan linglung yang
disebabkan oleh demam, tetapi obat pil ini tampak familier.
“Apa ada sesuatu yang salah? Masachika-sama.”
Ayano yang memiringkan
kepalanya dengan ekspresi datar seperti biasanya. Namun, sepertinya dia
kelihatan sedikit gugup … Masachika lalu berkata pelan sembari menatap matanya.
“Ayano. Coba tunjukkan bungkus
dari obat ini.”
“...”
Wajahnya tidak menunjukkan
kegelisahan. Namun, dia juga tidak segera menanggapi. Keragu-raguan yang
ditunjukkan oleh Ayano semakin memperkuat kecurigaan Masachika.
“Ayano.”
“… Siap, laksanakan.”
Atas panggilan Masachika, Ayano
memejamkan matanya seolah-olah dia sudah menyerah dan mengeluarkan bungkus
obat. Ketika Masachika melihat nama produk dan bahan-bahan di belakangnya, Ia
mengangkat wajahnya dengan yakin.
“Ayano ... Obat ini, mempunyai
efek samping yang membuatku mengantuk, kan?”
“… Sepertinya begitu.”
Penegasan Ayano meyakinkan
Masachika. Tidak heran kenapa Ia jadi kebanyakan tidur. Bukan hanya kekurangan
tidur, tapi itu juga karena efek samping dari obat demam yang membuatnya
mengantuk.
Pertanyaan tersebut
terpecahkan. Obat yang dibeli Alisa tidak cocok dengan kondisi badan Masachika.
Namun, apa yang membuatnya penasaran adalah ... Mengapa Ayano dengan sengaja
memberinya obat ini. Namun sebelum itu, siapa yang memilih obat ini.
“Ayano, kamu tahu kalau obat ini
akan membuatku mengantuk, ‘kan? Kenapa kamu tidak memperingatkanku sama
sekali?”
“...”
Menanggapi interogasi
Masachika, Ayano tidak langsung menjawab … tapi dengan gerakan yang lancar, dia
langsung melakukan dogeza di tempat.
“Saya sungguh-sungguh minta
maaf.”
“...”
“Saya sudah melakukan tindakan
tak termaafkan karena memberikan obat yang tidak cocok dengan keadaan tubuh
Masachika-sama. Saya akan menerima hukuman apapun yang pantas.”
Masachika diam-diam bertanya kepada
Ayano, yang melakukan dogeza di atas karpet.
“Ayano ... Apa Yuki yang menyuruh Alya membeli obat
ini?”
“...”
Balasan yang didapatnya
hanyalah penegasan diam-diam. Diam karena dia tidak bisa membocorkan rahasia
tuannya, Yuki, tapi dia juga tidak bisa berbohong kepada Masachika.
“Apa yang sedang Yuki
rencanakan? Jika tujuannya membuatku bolos sekolah hari ini, apa tujuan dia
sebenarnya?”
“...”
Ayano hanya menutup mulutnya
erat-erat saat ditanya oleh Masachika. Masachika menghela nafas kecil dan berbicara
dengan santai serta nada yang lembut saat melihat sosok gadis yang telah
memutuskan untuk menanggung semua dosa demi tuannya.
“Ayano.”
“Ya.”
“Jika kamu mau memberitahuku
semuanya dengan jujur, aku akan menyerahkan semua perawatanku padamu sepenuhnya.
Aku tidak akan mengatakan apa-apa dan membiarkanmu mengurus diriku.”
“!? Ti, Tidak ... Saya takkan kalah
dengan godaan seperti itu.”
“Tidak, aku tidak bermaksud
menggodamu tau?”
Punggung Ayano tersentak, tapi
dia menolak usulan itu dalam posisi dogeza. Sambil menggaruk kepalanya karena responnya
yang sedikit salah arah, Masachika berkata pada dirinya sendiri.
“Yah, kalau begitu, jika kamu mau
menceritakan semuanya dengan jujur, aku akan menghinamu habis-habisan dan
berkata『Sampah
macam apa yang menghianati tuannya sendiri? 』 ”
“Ehhh!?”
“Oi, bukannya tadi kamu
terlihat sedikit tertarik?”
“! Ti-Tidak, hal semacam itu…”
“Jangan bohong. Kamu baru saja
memberikan reaksi terbaik tahun ini. Sudah lama aku tidak mendengar suaramu
yang seperti itu.”
Masachika mengalihkan
pandangannya dari Ayano yang tiba-tiba mengangkat wajahnya dengan mata penuh
kejutan dan harapan, tapi dia segera menundukkan kepalanya dan kembali ke
posisi Dogeza.
Kemudian Ayano mengangkat
wajahnya sedikit dan membuka mulutnya dengan malu-malu.
“Umm, Masachika-sama ...”
“… Apa?
“Ngomong-ngomong ... kalau saya
boleh tau, Apa penghinaan itu sambil
menginjak-nginjak kepala saya?”
“... Apa kamu ingin diinjak?”
“Tidak, saya hanya bertanya
apakah itu masalahnya karena posisi kita yang sekarang. Saya melihat kaki
telanjang Masachika-sama tepat di depan saya, jadi saya pikir apa itu yang akan
terjadi.”
“Jangan berbelit-belit. Jawab
pertanyaanku. Apa kamu mau diinjak?”
“...”
“Tidak mau menjawabnya, ya.”
Masachika melihat ke luar
jendela dengan tatapan jauh pada Ayano yang menegaskan dengan diam setelah
membuat alasan yang bertele-tele. Hm, hari ini cuacanya cerah ya~.
Di luar, sangat menyilaukan~.
Padahal Ia mengatakannya dengan
setengah bercanda dan setengah mengonfirmasi kecurigaannya terhadap sifat M
Ayano ... tapi ternyata reaksinya melampaui dugaannya. Rupa-rupanya, teman masa
kecilnya ini bukan hanya sekedar M tapi juga super M. Maid M yang pendiam, tak
bersuara, dan tanpa ekspresi. Kalau digabungkan, semuanya akan menjadi 5M[1]!
“Haa ...”
Masachika menghela nafas sambil
memegang dahinya seolah-olah kepalanya sakit, lalu berdiri dan menuju kamarnya.
“Aku mau pergi ke sekolah.
Hanya sebatas ini saja, mana mungkin aku akan menyalahkanmu, jadi cepat
berdiri.”
“Tidak, anda tidak bisa begitu.
Seharusnya ada hukuman atas dosa yang sudah saya lalkukan.”
“Kalau begitu, bersihkan rumah
ini secara menyeluruh saat aku di sekolah. Itu akan menjadi hukumanmu.”
“... Ya. Dipahami.”
Ayano akhirnya berdiri dan
menatap cemas Masachika.
“Apa Anda benar-benar inign pergi
ke sekolah? Lebih baik kalau anda beristirahat dulu ...”
“Demamku sudah turun, jadi
tidak ada masalah.”
“Setidaknya, apa anda ingin
diantar memakai mobil?”
“Lebih cepat berjalan kaki daripada
memakai mobil.”
“Tapi di cuaca yang panas terik
saat anda sakit ... terlebih lagi ...”
“Apa lagi?”
Ketika ditanya Masachika,
pandangan Ayano mengarah ke sana-kemari, dan kemudian dia membuka mulutnya
seolah-olah kesulitan mengatakan sesuatu.
“Bagaimanapun juga, kalau sekarang
... saya pikir semuanya sudah
terlambat.”
“… Apa?”
◇◇◇◇
Didorong oleh ketidaksabaran
berkat kata-kata Ayano yang tidak menyenangkan, Masachika membuat persiapannya
secepat mungkin dan menuju ke sekolah setelah bersusah payah meloloskan diri
dari pengekangan Ayano.
Di bawah terik matahari yang
panas, Ia memaksakan tubuhnya yang sakit dan berlari. Pada saat Masachika tiba
di sekolah, waktu sudah menunjukkan jam satu siang.
Orang-orang yang keluar dari
gerbang utama mungkin adalah siswa yang sudah selesai makan siang di kantin
sekolah. Saat para siswa yang meninggalkan area sekolah menatapnya dengan
curiga, Masachika berlari menuju gedung sekolah ke arah yang berlawanan dengan
mereka.
“Alya, Yuki ... mereka ada dimana?”
Sambil terengah-engah saat
mengganti sepatunya, Masachika merenungkan ke mana Ia harus pergi dan
memutuskan untuk pergi ke kelas dahulu, kemudian ke ruang OSIS.
Sembari menelan benda lengket
yang menempel di tenggorokannya, Masachika berjalan cepat menuju kelasnya.
Kemudian, Ia mendengar tiga
murid laki-laki berjalan dari depan dan mengobrol dengan penuh semangat tentang
sesuatu.
“Sudah kuduga kalau Suou-san
memang hebat bangettt~. Meski aku tahu itu, tapi kemampuan bicaranya berada di
tingkat yang berbeda.”
“Padahal putri Alya juga sudah
melakukan yang terbaik, tau~. Tapi yah, tingkatannya memang berbeda banget, sih.”
“Ketika aku menonton acara debat
terakhir kali, aku pikir kalau Kujou-san cukup bagus juga, tapi ternyata eh
ternyata … sepertinya dia tidak punya kemampuan untuk berimprovisasi sama
sekali. Pada debat tempo hari, kurasa dia hanya berbicara sesuai naskah saja
kali ya ?”
“Ah~ mungkin itu ada benarnya
juga~”
“Sepertinya emang begitu.”
Saat Masachika melewati tiga
siswa yang sedang mengobrol tanpa memperhatikan keberadaannya, Ia merasakan
kalau firasat buruknya semakin tumbuh.
(Apa yang sedang mereka bicarakan?
Kemampuan berbicara? Jangan-jangan, acara debat?! Tidak, seharusnya mana mungkin
mereka mengadakan debat di hari ini ...)
Ia tidak memiliki informasi
yang cukup untuk menemukan jawabannya. Namun, meskipun detailnya kurang jelas, Masachika
bisa menyimpulkan kalau Yuki telah melakukan sesuatu yang menghasilkan
peringkat antara dirinya dan Alisa.
(Sialan, aku lengah! Aku mengira takkan terjadi
apa-apa sebelum upacara penutupan akhir semester ... Aku tidak menyangka kalau
dia akan mengatur sesuatu di saat-saat seperti ini!)
Masachika melihat ke dalam
kelasnya seraya menggertakan giginya karena kecerobohannya sendiri. Dan ... di
sana, Ia menemukan Alisa sedang duduk sendirian di kursinya.
“Alya ...”
Saat Ia membuka pintu kelas,
Alisa yang menatap bagian atas mejanya, mendongak sedikit dan matanya melebar
saat menyadari keberadaan Masachika.
“Kuze-kun ...!? Kenapa kamu ada
di sini...!”
“... Aku mendengar dari Ayano
kalau Yuki sepertinya telah menyiapkan sesuatu.”
“Begitu ... apa tubuhmu
baik-baik saja?”
“Demamku sudah hilang, jadi
tidak ada masalah. Tapi yang lebih penting lagi ... apa yang terjadi?”
Ketika Masachika duduk di
kursinya menghadap Alisa, dia menggigit bibirnya dan menundukkan kepalanya.
“… Maafkan aku.”
“Alya?”
“Aku, sudah mengacaukannya.
Setelah semua bantuan yang sudah kamu berikan padaku, aku justru ...!”
“Tenanglah dulu. Kamu bisa
pelan-pelan menjelaskannya padaku, apa yang sebenarnya terjadi.”
Alisa mengeluarkan suara penuh
penyesalan saat dia mencengkeram tangannya erat-erat di pangkuannya. Setelah Masachika
dengan lembut menenangkannya, Alisa perlahan-lahan mulai menceritakan apa yang
sudah terjadi.
◇◇◇◇
Semuanya berawal saat sebelum
jam pelajaran wali kelas kemarin pagi. Alisa dipanggil oleh Yuki, yang datang
mengunjunginya di kelas 1-B, dan dia menghadap Yuki di ruang OSIS.
“Alya-san, aku tahu bahwa hal
ini terlalu mendadak, tapi bisakah kamu pergi ke rumah Masachika-kun hari ini
untuk mengantarkan obat?”
Alisa kebingungan dengan
permintaan Yuki yang begitu tiba-tiba. Namun, Yuki tidak terlalu memedulikannya
dan terus meletakkan tangannya di pipinya seolah-olah dia sedang dalam masalah.
“Sebenarnya, Masachika-kun
sedang demam dan sepertinya tidak bisa bergerak.”
“Eh? Benarkah?”
“Ya. Biasanya, aku ingin
menjenguknya sendiri, tapi sayangnya aku punya tugas yang harus dilakukan ... oleh
karena itu, kira-kira apa aku bisa meminta Alya-san, selaku rekannya dalam
kampanye pemilihan, untuk membantuku.”
“Begitu ... yah, aku tidak
keberatan, kok?”
Sambil merasa sedikit tidak
nyaman saat memikirkan diminta oleh Yuki untuk mengurus Masachika, tapi jika
dia menolaknya di sini dan seandainya Yuki berkata “Kalau begitu, biar aku saja ….” Maka hal itu akan terlalu
berlebihan untuknya, jadi Alisa memutuskan untuk menyanggupi permintaannya. Kemudian,
seolah-olah dia tahu kalau Alisa akan menerimanya, Yuki mengeluarkan selembar
catatan dari sakunya.
“Syukurlah. Kalau begitu, ini
obat demam yang selalu digunakan Masachika-kun dan alamat rumahnya tertulis di sini,
jadi mohon bantuannya ya?”
“Ya.”
Merasa terganggu sekali lagi oleh
informasi tentang Masachika yang tidak diketahuinya, Alisa menerima catatan itu.
“Kalau begitu, aku akan pergi
menjenguknya sepulang sekolah.”
Alisa hendak kembali ke kelasnya
lagi setelah mengatakan itu, tapi Yuki menghentikannya.
“Ah, tolong tunggu sebentar.
Sebenarnya, aku masih punya keperluan lain dengan Alya-san.”
“? Apa?”
“Kalau Alya-san tidak
keberatan. Apa kamu bersedia tampil sebagai bintang tamu di siaran sekolah
besok siang?”
“Eh?”
Saat Alisa kebingungan, Yuki
menjalin jari-jari tangannya dan tersenyum.
“Kamu tahu kalau aku bagian
dari humas OSIS dan aku menggunakan siaran siang sekolah setiap minggu untuk
melaporkan kegiatan OSIS, ‘kan? Mumpung kita sedang membahasnya, besok aku akan
membicarakan tentang debat pada minggu sebelumnya. Oleh karena itu, aku ingin
meminta Alya-san yang merupakan pihak terlibat, untuk hadir menjadi bintang
tamu dalam siaran besok ... “
“Ehh, besok ...?”
“Ya. Bukannya ini bisa menjadi
kesempatan bagus bagi Alya-san untuk membuat lebih banyak siswa terkesan dengan
kemenanganmu dalam debat tempo hari? Sama seperti pertandingan olahraga, terkadang
ada wawancara dengan pemenangnya, ‘kan?”
“Yah itu sih …”
Alisa merasa bimbang. Dia
merasa ragu untuk menyebutkan kejadian itu karena dia tidak yakin apakah dia
harus melakukannya.
Reputasi buruk Sayaka karena
perdebatan itu berhasil mereda berkat upaya Masachika dan Nonoa. Tampaknya ada
beberapa orang yang mengkritik Nonoa karena menyusupkan provokator di antara
penonton, tapi Nonoa sendiri tidak peduli sama sekali, jadi Alisa tidak bisa
berbuat apa-apa lagi tentang itu.
(Padahal Kuze-kun dan Miyamae-san sudah bersusah payah untuk mengendalikan
situasinya ... Apakah aku dibolehkan untuk membahasnya lagi nanti?)
Sejak awal, Alisa tidak punya
niatan untuk menyatakan kemenangannya, tapi bagaimana kalau mengatakan kalau
perdebatan tempo hari adalah pertandingan yang tidak valid? Bukankah itu sama
persis apa yang Masachika bicarakan, “belas
kasihan dan uluran tangan pemenang merupakan tindakan menginjak-injak harga
diri terakhir orang yang kalah”.
(Benar juga ... lagi pula, aku tidak boleh mengatakan hal-hal buruk)
Dalam hal hubungan manusia,
Masachika dan Nonoa jauh lebih baik daripada dirinya. Situasi yang mereka
berdua ciptakan tidak boleh diganggu oleh pemikiran dangkalnya sendiri.
Mempertimbangkan hal tersebut,
Alisa menyampaikan pemikirannya kepada Yuki.
“... Maaf, tapi aku merasa
kalau aku tidak memenangkan debat itu. Jadi, aku tidak berencana melakukan
wawancara kemenangan atau semacamnya, dan aku tidak mau membahasnya lagi.”
“Oh, apakah begitu?”
“Ya”
Ketika Alisa mengangguk, Yuki
tiba-tiba memiringkan kepalanya dengan ekspresi terkejut dan kemudian
tersenyum.
“Lalu, bagaimana kalau kita
tidak membahas debat dan membuatmu tampil sebagai tamu spesial?”
“Hah?”
“Lagipula, siaran besok akan
menjadi laporan kegiatan terakhir untuk semester ini, dan aku pikir tidak ada
salahnya untuk memiliki acara khusus kecil-kecilan. Bagaimana? Tidak masalah,
‘kan?”
“Eh, yah ... itu benar. Jika
memang begitu masalahnya ...”
“Uwaah, terima kasih banyak!”
Alisa tanpa sadar mengangguk
pada permohonan Yuki saat dia menyatukan kedua tangan di depan wajahnya. Dia
tersenyum polos dan memekik kegirangan, tapi tiba-tiba, Yuki menurunkan nada
suaranya dan berkata.
“Meski begitu... dari kelihatannya,
sepertinya Alya-san dan Masachika-kun benar-benar serius ingin menghapus
kemenangan kalian dalam debat, bukan?”
“!! Sepertinya kamu bisa
memahaminya dengan baik ...”
“Tentu saja. Akhir-akhir ini,
ada gosip yang beredar kalau Nonoa-san melakukan pelanggaran dalam debat
kemarin. Aku bisa melihat mengapa kalian melakukan itu. Jika kalian benar-benar
peduli tentang fakta kalau kalian memenangkan debat, Masachika-kun pasti akan
melakukan tugas yang lebih baik dalam memanipulasi informasi.”
“...”
Alisa langsung terdiam karena
niatnya benar-benar ditebak dengan tepat. Seolah memanfaatkan keadaan mentalnya,
Yuki tiba-tiba mengubah cara tertawanya.
“Fufuu, astaga ... sepertinya
Alisa-san menganggap remeh hal ini, ya? Menyerah atas kemenanganmu sendiri
dalam debat ... apa kamu benar-benar berniat untuk mengalahkanku?”
“Apa …?”
Suasana disekitar Yuki langsung
berubah, dan wajah yang sama sekali berbeda mengintip dari balik wajah ala
Ojou-sama sempurnanya. Mata Alisa terbelalak saat melihat Yuki memasang senyum
menakutkan yang belum pernah dia lihat sebelumnya.
“Terlebih lagi, aku tidak menyangka
kalau kamu menerima begitu saja ajakanku tanpa merasa waspada sama sekali
… bukannya kamu itu terlalu ceroboh? Karena
kamu tidak merasa waspada sama sekali, fufufu, tanpa sadar aku jadi memberimu
peringatan.”
Yuki tertawa mengejek dan
menatap Alisa dengan dingin di balik matanya yang menyipit.
Alisa segera membuang muka, merasa sedikit merinding pada tawa yang menakutkan dan mengerikan itu.
Dan kemudian dia menyadarinya.
Dia tidak boleh dikelabui oleh kata-kata “penampilan
bintang tamu”. Ini adalah ... undangan untuk pertempuran bicara menggunakan
siaran sekolah.
“Akhirnya kamu baru
menyadarinya? Fufuu, jangan sampai lengah hanya karena mengira ini undangan dari
teman, oke? Ini ajakan dari kandidat lawan dalam kampanye pemilihan … dimana
Masachika-kun sedang cuti sakit begini, kamu harusnya lebih bersikap waspada
saat didekati.”
“Jangan bilang ... kamu sengaja
mengincarnya?”
“Ya, aku pikir akan mengambil kesempatan
ini untuk melakukan serangan sekeras mungkin pada Alisa-san, karena kamu tidak
punya penasihat yang dapat diandalkan.”
Sembari tidak mengubah
senyumnya, Yuki mengatakan sesuatu yang kejam. Alisa lebih dari sedikit
terkejut melihat sisi lain temannya, tapi dia berhasil menanggapi untuk
menentang perkataan Yuki.
“Dengan kata lain ... kalau aku
sendirian, kamu bisa melakukan apapun sesukamu?”
“Yah, aku tidak perlu sampai
repot-repot memberimu peringatan begini, tapi ... Jika Alisa-san sendirian, aku
tidak perlu merasa terkejut . Apalagi ...”
Setelah jeda sejenak, Yuki memandang
Alisa dengan tatapan mengejek.
“Kamu takkan mencari-cari
alasan kalau ditantang dari depan dan dikalahkan dari depan, bukan?”
“!!! ... sepertinya aku sudah
diremehkan, ya.”
“Ara ara, walaupun tadi kamu
sudah dipermainkan olehku untuk sementara waktu, tapi kamu masih berani bilang
begitu ... ya?”
“!!!”
Usai mendengar kata-kata
menghina Yuki, Alisa benar-benar mengubah pemikirannya. Orang di depannya
sekarang bukanlah teman yang bekerja dengannya di OSIS. Dia adalah musuh yang
harus dikalahkan dalam kampanye pemilihan.
Mungkin merasakan perubahan
dalam proses berpikir Alisa, Yuki akhirnya berkata dengan senyum menyeringai di
mulutnya, tanpa repot-repot menyembunyikannya.
“Oh, tentu saja, kamu bisa
mengandalkan Masachika-kun, loh? Kamu bisa minta pendapatnya saat akan
mengantarkan obat untuknya hari ini.”
... Dia sadar kalau dirinya
sedang diprovokasi. Namun, harga diri Alisa tidak mengizinkannya untuk
bergantung pada Masachika setelah diberitahu begini.
“Aku tidak membutuhkannya. Aku
takkan membebani Kuze-kun yang sedang beristirahat karena sakit.”
“Ara~, apa kamu yakin? Kamu
tidak perlu menahan diri, loh?”
Kata-kata dan sorot matanya,
dengan jelas mengandung maksud, “Kamu
tidak bisa melakukan apa-apa sendirian, jadi cepatlah ke sana dan menangislah
pada Masachika.” Usai mendengar perkataannya, Alisa pun tersentak dan
membalas memprovokasinya.
“Fufufu, Yuki-san sendiri...
apa kamu akan baik-baik saja tanpa bantuan Kuze-kun?”
Maksud di balik ucapan Alisa
menyiratkan, “Kamu juga sama-sama
mengandalkan Kuze-kun, bukan?”, tapi Yuki tidak goyah sama sekali.
“Ya, tentu saja. Aku berharap
bahwa Alisa-san bisa sepantasnya memenuhi harapan layaknya julukan “Putri penyendiri”, oke?”
“Ugh! Aku pasti takkan
kalah...!”
Yuki hanya tersenyum santai
pada Alisa yang memelotinya dengan semangat juang yang jelas.
“Fufu, aku sangat menantikan
besok.”
Dengan demikian, kompetisi
tatap muka antara dua “Gadis cantik
seangkatan” tiba-tiba diadakan. Setelah itu, Alisa bersiap-siap untuk
pertarungannya melawan Yuki.
Dia memeriksa isi kotak saran
terlebih dahulu untuk memprediksi saran mana yang akan diambil. Selain itu,
saat merawat, dia mengingat sebanyak mungkin tentang aktivitas Yuki di masa
lalu, dan dengan hati-hati mensimulasikan percakapan seperti apa yang akan
terjadi.
Dan ... sepulang sekolah hari
ini. Alisa pergi ke ruang siaran setelah melakukan semua tindakan balasan yang
dia bisa dalam sehari.
“Permisi.”
Ketika dia mengetuk dan
memasuki ruang siaran, Yuki sudah berada di dalam untuk menunggunya.
“Selamat siang, Alya-san. Kamu
datang lebih cepat, ya.”
“... Ya, hari ini mohon kerja
samanya.”
“Ya, mohon kerja samanya juga.”
Alisa duduk di sebelah Yuki
tanpa mengendurkan semangat juangnya, meski alisnya sedikit terangkat saat Yuki
memanggilnya dengan panggilan yang biasanya.
Namun … kemudian, ada sesuatu
yang sama sekali tidak terduga bagi Alisa terjadi.
“Selagi masih ada waktu sebelum
waktu siaran dimulai ... Alya-san.”
“Apa?”
“Aku benar-benar minta maaf.”
Tiba-tiba, Yuki membungkuk
dalam-dalam ke arah Alisa. Alisa melebarkan matanya terhadap perilaku tak
terduga Yuki.
“Ini ... permintaan maaf untuk
apa?”
“Aku ingin meminta maaf atas
tindakan yang aku lakukan terhadap Alya-san kemarin.”
Dengan kepala tertunduk, Yuki
berbicara dengan nada yang penuh penyesalan.
“Bahkan bagiku, rasanya sungguh
menyakitkan untuk menantang temanku yang berharga dengan cara yang mengejutkan ... Aku mengambil sikap yang terlalu agresif
untuk menghilangkan keraguan semacam itu dalam diriku. Kemarin di rumah, aku
memikirkan kembali sikapku dan merenungkannya.”
“...”
“Aku tahu kalau ini permintaan
yang sangat egois ... tapi, aku tidak mau kehilangan pertemananku dengan Alya-san.
Kumohon ... Apa kamu bersedia untuk memaafkanku?”
“Sudah, tidak apa-apa ...
tolong angkat kepalamu, oke?”
Karena Alisa bilang dia merasa
tidak nyaman, Yuki mengangkat kepalanya sedikit dan menatap Alisa.
“Itu berarti ... kamu bersedia
mau memaafkanku?”
“Umm, ya ... aku memaafkanmu.
Permintaan maaf tadi menunjukkan seberapa seriusnya kamu, ‘kan?”
“Terima kasih banyak! Aah, aku
merasa lega.”
Sejujurnya, ada bagian di dalam
hati Alisa yang merasa “Kenapa baru minta
maaf sekarang”. Namun, ketika dia melihat Yuki mengangkat kepalanya dan
tersenyum lebar seolah-olah dia benar-benar merasa lega... Alisa jadi tidak
bisa berkata apa-apa lagi. Alisa secara alami tersenyum sedikit saat Yuki
menepuk dadanya seolah-olah beban di dalam hatinya sudah menghilang.
“Aku benar-benar minta maaf ...
bukannya aku ingin menjadikan ini alasan, tapi ... aku punya alasan tersendiri
mengapa aku harus memenangkan pemilihan ketua OSIS.”
Yuki mengatakan itu dengan
ekspresi serius seraya meremas tinju di depan dadanya. Alisa yang mengetahui
alasannya, secara refleks bertanya dengan rasa simpati ringan.
“Apa karena … keluargamu
menyuruhmu untuk menjadi ketua OSIS?”
Itulah yang Yuki ceritakan
ketika dia baru saja bergabung dengan OSIS. Pada waktu itu, Alisa berkata, “Yah, situasi setiap orang di rumah berbeda.
Pasti sulit berada di bawah tekanan seperti itu dari keluargamu.”
“Yah, ada alasan itu juga, tapi
...”
Setelah membiarkan pandangannya
berkeliaran seolah-olah dia tidak yakin harus berkata apa, Yuki menatap lurus
ke arah Alisa dan berkata.
“Aku punya kakak laki-laki.”
“Eh?”
Alisa dikejutkan oleh pengakuan
tak terduga Yuki, yang dulunya mengaku kalau dia adalah anak tunggal. Menghindari
dari tatapan mata lebar Alisa, Yuki berbicara lembut dengan mata yang
sepertinya melihat ke suatu tempat yang jauh.
“Kakakku jauh lebih berbakat dariku
... baik orang tua dan kakekku memiliki harapan yang tinggi untuknya. Jika itu
kakakku, aku yakin kalau Ia akan menjadi pewaris yang baik untuk keluarga Suou
... aku juga sangat menghormatinya.”
Apakah
tatapan lembut itu mengingatkannya tentang masa lalu mereka yang berharga? Yuki
berbicara tentang kakaknya dengan ekspresi lembut, tapi tiba-tiba ekspresi
lembutnya langsung berubah.
“Tapi, Ia sudah pergi.”
“Eh—”
Alisa benar-benar terkejut
dengan perubahan ekspresi Yuki dan kata-katanya. Yuki bilang kalau kakakknya
sudah pergi ... itu artinya ...
“Itu sebabnya, aku tidak boleh
kalah.”
Yuki berbicara sembari menatap
lurus ke mata Alisa yang terdiam. Kata-katanya itu langsung menusuk hati Alisa.
“Demi menggantikan kakakku yang
sudah tidak ada lagi ... aku harus memenuhi harapan keluargaku, karena itulah
... misi tersisa yang harus aku lakukan.”
“...”
Dia bangga menyatakan itu dengan
suara yang menyampaikan rasa misi dan kemauan yang kuat. Yuki lalu tiba-tiba
mengendurkan ekspresinya.
“... Namun, setiap orang
memiliki keadaannya mereka masing-masing, jadi tidak ada gunanya mengatakan
itu. Maaf, karena aku sudah memberitahumu sesuatu seperti ini.”
Yuki menurunkan alisnya dan
tertawa, seolah-olah dia mengatakan sesuatu yang tidak perlu, kemudian
menundukkan kepalanya lagi.
“I-Iya ... aku tidak
keberatan.”
Ketika Alisa menjawab dengan
mata gemetar karena gelisah, Yuki mengangkat kepalanya dengan senyum rapuh dan
berbicara riang untuk mengubah suasana hatinya.
“Oh! Sekarang sudah waktunya.
Alya-san, apa kamu sudah siap?”
“… Ya.”
Jangankan persiapan, apa yang
ada di pikiran Alisa saat ini bukan sedang memikirkan itu. Alisa lalu setengah
tidak sadar menoleh ke mikrofon, karena tidak bisa memikirkan apa yang akan dia
lakukan. Kemudian, Yuki melontarkan pertanyaan padanya.
“Ngomong-ngomong ... Alya-san
sendiri gimana?”
“Ehh?”
Kata-kata tersebut menyela
kegelisahan Alisa.
“Kenapa Alya-san ingin menjadi
ketua OSIS?”
Mendengar pertanyaan itu.
Pikiran Alisa menjadi kosong.
Dulu, Masachika pernah
menanyakan pertanyaan yang sama padanya. Alisa langsung menjawab tanpa
ragu-ragu. Dia mengatakan bahwa dia ingin menjadi ketua OSIS karena itulah
keinginannya. Namun, setelah dia mendengar tentang keadaan Yuki, Alisa merasa
kalau motifnya terlihat sangat sepele dibandingkan dengannya ...
“Astaga, sudah waktunya, ya.
Kalau begitu, mari kita mulai, Alya-san.”
“Ah, i-iya … ya.”
Setelah menjawab secara
refleks, Alisa samar-samar mengingat di sudut pikirannya …. mengenai apa yang
akan dia lakukan. Tetapi pada saat dia mengingatnya, tombol mikrofon sudah
dinyalakan dan siaran dimulai.
“Halo semuanya. Sekarang sudah
waktunya untuk laporan 2 mingguan kegiatan OSIS. Hari ini, saya, Suou
Yuki, selaku bagian humas akan
melaporkan kegiatan OSIS selama dua minggu terakhir. Nah, karena hari ini
merupakan siaran terakhir di semester ini, jadi saya mengundang seorang tamu
yang luar biasa. Bisakah Anda menyapa para pendengar?”
Sambil mendengarkan narasi Yuki
yang lancar, sekarang gilirannya untuk berbicara. Saat menoleh Yuki di
sebelahnya, Alisa buru-buru menuju mendekatkan dirinya ke mikrofon, tapi kalimat
sapaan yang sudah dia siapkan … benar-benar terbang dari kepalanya.
“Ah, saya Kujou Alisa. Umm,
saya menjabat sebagai bendahara OSIS ... yah, terima kasih atas waktunya hari
ini?”
Alhasil, kalimat yang keluar
dari mulutnya adalah sapaan paling canggung yang pernah didengarnya. Setelah
mengatakan itu, Alisa merasa kalau punggungnya menjadi panas karena malu.
“Ara ara, sepertinya Alya-san
merasa sedikit gugup. Jangan khawatir! Hari ini tidak banyak orang yang akan
mendengarkan siaran ini, kok! Meski seharusnya saya tidak berhak bilang begitu,
sih?”
Yuki dengan cepat membantunya,
dan Alisa bisa merasakan kalau tidak hanya di punggungnya saja, tapi pipinya
juga terasa panas.
(Aku harus tegas! Aku pasti akan mengalahkan Yuki-san! Wajahku mau
taruh di mana kalau lawan yang mau aku kalahkan justru berusaha membantu
kecerobohanku!)
Ya, Alisa berusaha mati-matian
memarahi dirinya sendiri ... Semangat juang yang dimilikinya untuk menghadapi
Yuki beberapa menit lalu sudah benar-benar menghilang.
(Dulu ... kenapa? Sejak awal, kenapa aku ingin menjadi ...)
Mengapa dirinya ingin menjadi
ketua OSIS? Pasti ada alasannya. Dia seharusnya punya alasannya sendiri yang
tidak kalah dari alasan Yuki.
(Tidak! Sekarang bukan waktunya untuk memikirkan itu, aku harus
berkonsentrasi pada siaran yang sedang berlangsung ini ... eh, eh ...)
Alisa sadar kalau siaran ini
begitu penting. Tapi sekarang, pertanyaan Yuki sebelumnya, masih terus
terngiang-ngiang di dalam kepalanya.
Kenapa
kamu ingin menjadi ketua OSIS? Jika Alisa tidak bisa menjawab
pertanyaan itu dengan bangga, dia takkan pernah bisa mengalahkan Yuki. Obsesi
semacam itu perlahan-lahan mendorong Alisa terjebak dalam keadaan di ujung
tanduk.
“—Itulah yang terjadi~ menurut
Alya-san sendiri bagaimana?”
“Eh? Be-Benar juga ... umm...”
Namun, siaran terus berlanjut
meski keadaannya masih tergoncang, dan semakin dia menjadi tidak sabaran, semakin
sempit pula jalan pemikirannya, dan Alisa pun menjadi tidak terampil
berbicara——
◇◇◇◇
“Setelah itu … semuanya jadi
berantakan. Tanpa bisa menenangkan pikiranku dan memulihkan kembali semangatku,
aku terus dibuat terombang-ambing … Aku tidak bisa berbicara dengan lancar seperti
yang kuinginkan, dan membuat Yuki-san terus-menerus membantuku…”
Saat mengatakan itu dengan nada
suara yang merupakan campuran dari kepahitan dan ejekan diri, Alisa mengatupkan
gigi putih mutiaranya. Sambil diam-diam mengawasi sosoknya itu, Masachika
bergumam dalam hatinya.
(Uwahh licik bangett ...)
Itulah kesan pertama yang
muncul di benak Masachika saat mendengar cerita Alisa. Masachika tidak bisa
menahan pipinya untuk tidak berkedut karena kekuatan serangan mental licik yang
dilancarkan Yuki.
Ketika menantangnya untuk
bertanding, Yuki berperilaku layaknya seorang penjahat, yang mana hal tersebut
memicu pemberontakan dan semangat juang Alisa. Dan kemudian, pada hari
pertandingan. Tepat sebelum pertandingan, Yuki mengubah perilakunya untuk
membuat Alisa berempati padanya, hal tersebut membuat semangat juang Alisa yang
tadinya menggebu-gebu, mendadak hilang.
Selain itu, Yuki juga
memastikan untuk menggunakan alasan dari motivasinya untuk pertandingan siaran
sekolah, seolah-olah menyiratkan “ Aku
akan bertarung dengan mengemban harapan keluargaku. Bagaimana denganmu?” Dia
sangat berhati-hati untuk memasukkan pertanyaan mengerikan seperti itu. Karena
Alisa mempunyai sifat jujur dan selalu serius, dia jadi terjebak ke dalam
perangkap Yuki.
Hal yang sangat disayangkan
adalah Alisa terlalu jujur sampai-sampai tidak menyadari kalau dirinya sedang
dijebak oleh Yuki.
Alisa yang dari awal tidak memiliki
banyak teman, dan ucapan serta tindakan Yuki hari ini ... yah, mungkin Yuki
tidak terlalu serius tentang itu ... tetapi jika dia mengetahui kalau perbuatan
Yuki itu dilakukan dengan pasti dan penuh perhitungan, Alisa mungkin akan
menumbuhkan rasa ketidakpercayaan pada orang-orang.
(Tidak ... Apa itu juga bagian dari
perhitungan Yuki kalau Alya tidak menyadarinya ...?)
Dengan ucapan permintaan maaf,
Yuki mampu mempertahankan persahabatannya dengan Alisa dan mengguncangnya
secara bersamaan. Meski dia adalah adik perempuannya, itu adalah upaya yang
sangat teliti dan menakutkan.
“Aku merasa frustasi ... ”
Ketika mengalihkan perhatiannya
ke sumber suara pilu yang Ia dengar, Masachika melihat wajah Alisa berkedut
saat dia berbicara sambil mengepal erat tangannya dan menggertakan giginya.
“Aku gampang sekali terpancing
... meski aku sendiri yang menerima tantangannya, tapi pada akhirnya aku tidak
bisa melakukan apa-apa.”
“Oke~ sudah cukup. Jalan
pemikiranmu condong ke arah yang salah.”
Saat Masachika menepuk kedua
tangannyna dan mengatakan itu, Alisa mengangkat wajahnya dari posisi menunduk
dan menatap Masachika.
“... Ke arah yang salah?”
“Bisa dibilang, kalau kamu
menari di atas telapak tangan Yuki. Kamu cuma tidak bisa berbicara seperti yang
kamu inginkan di siaran sekolah di mana Yuki menjadi pembawa acaranya, ‘kan?
Sejak kapan itu berubah menjadi kontes?”
“Kamu tanya, sejak kapan ...”
“Karena Yuki bilang begitu. Atau
karena dia membuatmu berpikir begitu, iya ‘kan?”
Usai mendengar kata-kata
Masachika, Alisa mengedipkan mata dan perlahan menggerakan tubuh bagian atasnya
kembali dari posisi condong ke depan. Setelah memastikan bahwa Alisa telah
mendapatkan kembali ketenangannya, Masachika berbicara dengan jelas.
“Semangat ingin mengalahkan
lawan memanglah penting. Tapi jika kamu terlalu terpaku dalam hal itu, kamu
akan mempersempit pandanganmu tentang hal yang penting, jadi kamu harus
berhati-hati.”
“Hal yang penting ...?”
“Ya. Dalam dalam hal ini ...
apa tujuan dia sebenarnya?”
Ketika Alisa menatapnya dengan
rasa penasaran tentang maksud dari perkataannya, Masachika mengangkat bahunya
dan melanjutkan.
“Pertama-tama, kepribadianmu
tidak cocok untuk pertandingan yang penuh trik. ... Kamu lebih cenderung ke
tipe orang yang selalu mengerahkan sekuat tenaga, tidak peduli siapa lawannya,
dan terus berjuang sampai kamu merasa puas, tak peduli dengan hasil yang akan
datang nanti, ‘kan?”
“Yah, bisa dibilang … aku
memang tipe yang seperti itu.”
“Bagi tipe orang seperti itu,
menyadari siapa lawan mereka merupakan tantangan tersendiri. Tentu saja, ada
kalanya kehadiran saingan bisa meningkatkan motivasi, tetapi dalam kasusmu,
kamu adalah tipe orang yang dapat mempertahankan motivasimu sendiri … Jika kamu
terlalu terpaku dengan lawanmu, kamu hanya mengekang dirimu sendiri dan tidak
dapat menunjukkan potensi yang sebenarnya.”
“...”
“Yah, wajar saja sih ... ini
adalah pertama kalinya kamu kehilangan ketenanganmu karena darah yang naik ke
kepalamu, kan?”
“Darah yang naik di kepalaku
... yah, setelah kamu bilang begitu mungkin ada benarnya juga ...”
Alisa menatapnya sambil
berpikir, seolah-olah menebak tentang sesuatu. Kemudian Masachika menyela dengan
nada tegas.
“Dengarkan baik-baik, kamu
harus merubah jalan pikiranmu. Tujuan Yuki bukanlah untuk mendapatkan
keuntungan darimu dalam siaran sekolah hari ini. Tujuan dia yang sebenarnya adalah
untuk membuatmu patah semangat berlarut-larut sehingga kamu takkan mampu
memberikan segalanya pada upacara akhir semester nanti.”
“!!”
“Nyatanya begitu, ‘kan? Hari
ini cuma ada jam pelajaran di pagi hari dan tidak ada banyak siswa yang mendengarkan
siaran sekolah selama istirahat makan siang. Jika dia memang sengaja
mengincarnya selama siaran sekolah, pasti ada waktu lain yang lebih efektif.”
“Itu karena ... dia mengincar
waktu saat Kuze-kun tidak ada ...”
“Mungkin itu benar. Tapi, meski
aku tidak sakit demam, jika Yuki menawarimu pertandingan satu lawan satu, kamu
akan menerimanya, kan?”
“...”
“Ingat baik-baik? Seperti yang
sudah kubilang tadi, ubah jalan pikiranmu. Kamu tidak perlu terpengaruh oleh
hasutannya. Ini cuma masalah sepele, bahkan bukan pendahuluan untuk pidato di upacara
akhir semester nanti. Kamu adalah bintang tamu di siaran sekolah hari ini dan tidak
bisa berbicara dengan lancar. Tapi hanya itu saja. Tidak ada siswa yang tahu
bahwa kamu dan Yuki sedang bersaing, dan kebanyakan dari mereka bahkan tidak
mendengarkan siaran itu sendiri. Tergantung pada hasil upacara akhir semester
lusa nanti, tidak ada yang peduli dengan apa yang terjadi hari ini.”
Masachika berbicara dengan
sungguh-sungguh sembari menatap lurus ke mata Alisa. Namun, Masachika sendiri
tahu betul bahwa apa yang baru saja Ia katakan tidak sepenuhnya benar. Ia tidak
bisa menjamin kalau siaran sekolah hari ini tidak mengubah keseimbangan
kekuatan antara Yuki dan Alisa.
Ini adalah pertama kalinya dua
orang yang belum pernah berseteru di depan umum, melakukan persaingan melalui
siaran sekolah. Masachika berpikir kalau acara yang secara alami akan menarik
lebih banyak perhatian adalah upacara akhir semester.
Akan tetapi kali ini, serangan
mendadak Yuki membalikkan prediksi itu. Setelah keberhasilannya dalam debat,
ada suasana “Ternyata Putri Alya lumayan hebat juga”, tapi kemudian peristiwa
ini justru terjadi. Bahkan Masachika, yang ingin memanfaatkan acara upacara
akhir semester sambil mempertahankan reputasi Alisa, merasa kalau dirinya
lengah.
Namun, hal terpenting yang
harus Ia lakukan ialah mengubah jalan pemikiran Alisa. Lagipula, kemampuannya itu
sangat bergantung pada kondisi mentalnya, jadi Masachika merasa sangat penting
untuk mengurus hal tersebut.
“Jadi itu ... tujuan dia
sebenarnya? Upacara akhir semester adalah tujuan yang sebenarnya, sedangkan
siaran sekolah adalah pendahuluan untuk itu ...?”
“Benar sekali. Dia mungkin
ingin mematahkan semangatmu ... tapi sepertinya prediksi Yuki sedikit meleset.”
“Eh?”
Sambil menyeringai, Masachika
memberitahu Alisa, yang mengedipkan matanya.
“Dia mungkin mengira kalau kamu
sedang depresi, ‘kan? Karena kamu tidak bisa berbicara dengan lancar dan dia
mencoba membuatmu tertekan saat upacara
akhir semester semester nanti ... tapi sayangnya, kamu merasa frustasi. Kalau
begitu, semuanya akan baik-baik saja. Kamu hanya perlu menggunakan rasa
frustasi itu demi keuntunganmu.”
Oleh
karena itu, jangan terlalu dipikirkan. Masachika menatap mata Alisa
seolah menyampaikan niat itu. Ia penasaran apakah niatnya berhasil tersampaikan
kepada Alisa. Setelah memejamkan mata
dan menarik napas dalam-dalam, Alisa menoleh ke Masachika dengan ekspresi baru.
“... Baiklah, aku mengerti,
terima kasih.”
“Hmm ... oh, dan frustasi sih boleh-boleh saja, tapi jangan terlalu
bersaing, oke? Karena kamu nantinya akan terpengaruh oleh dia lagi.”
“Benar juga ... dengan kata
lain, aku harus melupakan kejadian ini dan melakukan yang terbaik dengan caraku
sendiri, ‘kan?”
“Yup, itulah yang kumaksud.”
“Baiklah ... entah bagaimana,
aku akan mencobanya semampuku. Dan satu lagi, aku ingin minta maaf, karena
sudah menanggung semuanya sendiri.”
Usai mengatakan itu, Alisa
menundukkan kepalanya. Masachika merasa gelisah karena pengalaman yang sangat
langka dimana Alisa menundukkan kepalanya untuk meminta maaf.
“Tidak, itu sih ... Yah, ini
salahku juga karena jatuh sakit pada waktu yang begitu penting, dan ... aku
juga ingin meminta maaf tentang itu.”
“Mau bagaimana lagi ... karena
kamu kena demam.”
“Tapi, semua ini takkan terjadi
jika aku tidak menurunkan kewaspadaanku. ....Lagi pula, itu salahku karena
tidak mengantisipasi kalau Yuki akan bertindak sampai sejauh ini. Aku merasa
kesal pada diriku sendiri karena terlalu santai dan berkata 『Yah, lagipula ini bukan debat, jadi mana mungkin dia akan
mengganggapnya serius kalau ini cuma pidato di upacara akhir semester semester 』…”
“Aku juga sama-sama tidak
menduganya. Lagian, seandainya saja aku tidak bertingkah keras kepala dan
berkonsultasi denganmu, semuanya takkan berakhir seperti ini.”
“Sudah kubilang, itu karena aku
sakit ... duh, mau sampai kapan kita terus menyalahkan diri melulu. Baiklah
kalau begitu, bagaimana kalau kita berdua menganggapnya sebagai sama-sama
impas?”
Masachika menggaruk kepalanya
dan berkata begitu, dan Alisa mengangguk dengan ekspresi yang tampak sedikit
tidak meyakinkan. Demi menghilangkan suasana canggung, Masachika berdeham dan
melanjutkan.
“Namun, jika dipikir-pikir lagi,
ini adalah kesempatan yang sempurna untuk 『Menunjukkan
kerja kerasmu 』seperti yang pernah kita bicarakan di restoran
keluarga sebelumnya. Selain itu, ada baiknya kamu bisa mengetahui secara
langsung bahwa Yuki lebih baik darimu dalam taktik semacam ini. Lagipula,
mengetahui kemampuan lawanmu adalah salah satu faktor yang penting juga.”
“... Yah. Sejujurnya, aku tidak
menyangka kalau Yuki-san akan menggunakan taktik seperti ini, jadi kupikir itu
… bisa menjadi pengalaman yang baik bagiku untuk mewaspadai aspek itu mulai
sekarang.”
Alisa mengatakan demikian, yang
setengah perkataannya untuk dirinya sendiri. Masachika bertanya pada Alisa
dengan sedikit khawatir.
“... Apa kamu merasa kecewa?”
“Eh?”
“Saat kamu mengetahui kalau dia
melakukan serangan kejutan seperti ini ... aku bertanya apa kamu merasa kecewa
dengan Yuki.”
Ketika ditanya Masachika, Alisa
menggelengkan kepalanya setelah berkedip perlahan.
“Tidak juga, aku sama sekali
tidak merasa kecewa... Meski itu sedikit mengejutkan, tapi Yuki-san menantangku
secara langsung. Jika aku menyalahkan Yuki-san karena kalah, itu namanya dendam,
kan?”
“... Um. Begitu ya ... aku
senang mendengarnya.”
Masachika merasa lega saat menyadari
bahwa persahabatan antara Alisa dan Yuki tidak putus. Pada saat yang sama, Ia
merasa penasaran tentang ….
(Sudah kuduga ... dia tidak menyadari upaya Yuki yang berusaha
mengguncangnya secara mental.)
Rupanya, Alisa mempercayai
alasan Yuki kalau dirinya terlalu agresif untuk mematahkan keraguannya, dan tidak
menyadari bahwa itu semua hanyalah sandiwara yang diperhitungkan dengan cermat
oleh Yuki untuk mengguncang hati Alisa. Dia tampaknya berpikir kalau Yuki
menantangnya untuk berdebat dan kata-kata serta tindakannya mengguncang
mentalnya.
(Tidak, kamu salah paham, oke? Semuanya
sudah diperhitungkan dengan matang, tau? Tapi, bagaimana aku bisa memberitahunya
...)
Jika Ia menceritakan semuanya,
hal itu mungkin akan merusak persahabatan antara Alisa dan Yuki. Di sisi lain,
bila Ia tidak menjelaskan bagaimana cara Yuki melakukannya, Ia takkan bisa
memperingatkan Alisa. Saat Masachika merenungkan apa yang harus dilakukan, Alisa
memiringkan kepalanya.
“Kuze-kun? Ada apa?”
“Oh... tidak, bukan apa-apa.”
Melihat ekspresi polos di wajah
Alisa, Masachika memutuskan untuk diam. Sejak awal, Ia selalu pandai dalam
taktik semacam ini. Jika Alisa tidak pandai dalam hal itu, Masachika bisa
mendukung kekurangannya.
“Meski kamu bilang bukan
apa-apa ... Lantas, kenapa kamu tertawa begitu?”
“Eh?”
Masachika berkedip saat
mendengar perkataan Alisa. Kemudian, Ia menyentuh wajahnya sendiri dan
menyadari kalau Ia memang sedang tertawa.
“Benar juga ... kenapa, ya?”
“Kenapa kamu malah bertanya
balik ...”
Di depan Alisa yang kebingungan,
Masachika penasaran kenapa Ia memasang wajah seperti itu … dan kemudian, Ia
menyadarinya.
(Oh, apa aku merasa ... bersemangat? Karena
Yuki dan Ayano ... benar-benar berhasil mengakaliku)
Sebelumnya, Yuki pernah berkata,
“Aku sangat menantikan pertarungan antara saudara kandung untuk merebut posisi
Ketua OSIS,” dan ternyata Masachika juga merasakan hal yang sama.
“Begitu ya... Kuku, bukan apa-apa,
aku cuma berpikir kalau Yuki benar-benar menikam kita dari tempat yang tak
terduga.”
Begitu Ia menyadarinya, senyum
Masachika berubah menjadi senyuman licik yang tampak ganas.
“Aku penasaran perasaan apa
ini. Aku sendiri sedikit terkejut, karena merasa bersemangat begini.”
Baik Yuki … maupun Ayano
sepertinya tidak banyak berubah kemarin. Namun, pada kenyataannya, dia
menyembunyikan pedang di balik sikapnya yang biasa, sembari mencari-cari celah.
Dan saat Masachika lengah, dia berhasil mengakali Masachika tanpa membuatnya
menyadari keberadaan pedangnya.
Fakta ini sangat menggelikan
bahkan bagi Masachika. Singkatnya, perasaan tersebut mungkin mirip dengan
perasaan orang tua yang senang dengan pertumbuhan anaknya.
Suasana malas dan tidak
bersemangatnya yang biasa sudah tidak terlihat. Alisa melihat Masachika yang
memasang senyum menyeramkan di wajahnya, seolah-olah Ia akan menjilat lidahnya
... dan dengan lembut meletakkan tangannya di mulutnya dan membuang muka.
【Wajah seperti itu juga ... terlihat tampan】
Masachika mengedipkan matanya
karena Ia benar-benar tidak bisa mendengar gumaman bahasa Rusia yang dibisikkan di tangan
Alisa.
“Apa kamu barusan bilang
sesuatu?”
“Bukan apa-apa ... aku cuma
bilang, 'Kamu memasang wajah buruk.'”
“... Apa aku terlihat seburuk
itu?”
“... Iya.”
Alisa mengangguk, tapi pipinya
yang tidak bisa disembunyikan oleh tangannya, sedikit memerah. Masachika
sedikit bingung dengan ketidakseimbangan antara kata-kata dan ekspresi
wajahnya.
(Eh? Kenapa? Jangan-jangan ... dia menyukai
cowok nakal? Apakah karena semakin sopan seorang gadis, semakin dia tertarik
pada cowok nakal?)
Sekilas, bayangan Alisa yang
ditipu oleh cowok nakal berwajah bengis muncul di benaknya, dan Masachika
merasa terganggu. Masachika tahu kalau kata “nakal berwajah bengis”, yang umumnya tidak digunakan dalam arti
positif, diperlakukan seolah-olah itu adalah hal yang indah dalam karya khusus
untuk wanita.
“Alya...”
“Apa?”
“Satu-satunya hal keren tentang
tuan muda Yakuza cuma ada dalam karakter dua dimensi saja, oke? Kamu jangan
coba-coba terlibat dengan tuan muda Yakuza di dunia nyata, oke?”
“... Kadang-kadang kamu
mengatakan sesuatu yang aneh ... Apa sih yang sedang kamu bicarakan?”
“Tidak, karena kamu tadi
terlihat tersipu ... Aku pikir kalau kamu menyukai cowok nakal.”
“Kamu bicara apa sih, mana
mungkin aku menyukainya. Dan juga, aku tidak tersipu. Ini hanya ... wajah
Kuze-kun yang sedikit buruk, terlihat sangat konyol.”
“Bukannya itu kejam banget?”
(Jadi begitu rupanya, memang sih dia
terlihat seperti menutup mulutnya dan berusaha menahan tawa ...)
(Tidak, aku cukup yakin kalau dia
mengatakan sesuatu yang memalukan saat bergumam dalam bahasa Rusia....)
Terlepas dari apakah dia memang
bermaksud begitu atau tidak. Atau mungkin dia merasa malu dengan fakta bahwa
dia mengatakan sesuatu yang memalukan.
(Yah, terserahlah. Lagian, aku tidak berpikir kalau Alya bisa
gampang ditipu oleh cowok jahat ...)
Lalu tiba-tiba, seolah-olah
mendapat pencerahan, pikiran Masachika kembali mengingat kejadian di rumah.
Sosok Ayano yang berbinar-binar dalam menanggapi pernyataan mencemooh Masachika.
(Jangan bilang ... Alya, apa kamu juga
sama!?)
Dia bereaksi terhadap wajah buruk ...
jadi itu yang dimaksud !?
Pemikiran semacam itu terlintas
di benaknya, tapi Masachika dengan cepat melenyapkan kemungkinan itu.
(Tidak, tidak ... tidak peduli bagaimana
aku memikirkannya, Alya itu tipe gadis S. Dia juga sering menatapku seolah-olah
aku ini sampah)
Masachika merasa diyakinkan
dengan cara yang sangat kasar. Tapi kemudian, pola tertentu ala otaku muncul di
benaknya.
(Tidak, ada juga pola dimana gadis yang
jelas-jelas tipe S berubah menjadi M saat di depan seseorang yang dia cintaiii~!!)
Setelah membayangkannya sejauh
itu, Masachika memukul kepalanya sendiri di dalam hatinya.
(Gawat, Aku baru saja memikirkan sesuatu
yang keterlaluan dan menjijikkan. Yosh baiklah. Aku akan mencoba untuk tidak
memikirkannya lagi.)
Setelah mengalihkan pikirannya,
Masachika menoleh ke Alisa lagi dengan ekspresi baru di wajahnya———
【Aku menyukainya karena itu kamu】
“Uhh!!”
“Kuze-kun!?”
Ketika Masachika tiba-tiba
meninju dahinya sendiri (atau lebih
tepatnya, mengayunkan kepalanya ke kepalan tangannya), Alisa melebarkan
matanya karena terkejut.
“Ka-Kamu kenapa? Apa kamu
baik-baik saja?”
“... Hm? Apanya?”
“Kamu bilang apa ... ya ampun,
dahimu jadi memerah, tuh.”
Alisa yang tampaknya telah
kehilangan perlawanannya setelah merawatnya kemarin, mendekati Masachika dengan
wajah khawatir dan langsung mengusapkan
jarinya ke dahi Masachika. Kedekatan dan sentuhan menggoda di dahinya membuat
Masachika bersandar dan membuka mulutnya.
“Ka-Kamu sendiri bagaimana, apa
kamu baik-baik saja? Entah bagaimana, wajahmu masih terlihat murung, lo?”
Setengah dari perkataanya
diucapkan untuk mengalihkan topik, tapi ... Alisa berhenti bergerak saat
mendengar hal itu.
“...”
“Ada apa? Apa masih ada sesuatu
yang mengganggumu?”
Masachika bertanya pada Alisa
saat dia perlahan-lahan duduk kembali di kursinya. Setelah diam beberapa saat,
Alisa pun membalas.
“... Aku tidak bisa
menjawabnya.”
“Tentang apa?”
“Yuki-san bertanya … kenapa aku
ingin menjadi ketua OSIS ... dan aku tidak bisa menjawabnya.”
Dengan menundukkan kepalanya
dan mengepalkan tangannya di atas roknya, Alisa berbicara dengan getir.
“Yuki-san ... mengincar posisi
ketua OSIS dengan perasaan yang sangat kuat demi keluarganya...sedangkan,
sedangkan aku ... aku ingin menjadi ketua OSIS karena itu semua demi diriku
sendiri ... alasan semacam itu, masih tidak cukup baik. Dan saat aku berpikir
begitu, aku tidak bisa mengatakan apa-apa ...!”
Alisa mengepalkan tinjunya
erat-erat ke dadanya seolah berusaha menahan rasa sakit yang ada di hatinya.
“Aku malu pada diriku sendiri …
karena bimbang di depan Yuki-san. Aku merasa frustrasi karena … aku tidak mampu
menjawab pertanyaan Yuki-san dengan
membusungkan dada …!”
Seraya mengatakan itu, Alisa
menggigit bibirnya dan mengalihkan pandangannya ke bawah. Saat melihat sosoknya
itu ... Masachika tidak bisa berkata apa-apa. Alasan Ia berjuang ialah
karena ... Ia juga pernah mengalaminya.
Ia mengikuti pemilihan ketua
OSIS karena rasa bersalahnya pada Yuki.
Dan Masachika sendiri yang
menyingkirkan orang lain untuk menjadi wakil ketua OSIS. Karena Ia telah berjuang
dengan itu begitu lama .... Ia bisa memahami perasaan Alisa dengan sangat baik.
(Namun …)
Namun, ada seorang Senpai yang
menertawakan dan menerbangkan penderitaan itu. Ada Senpai yang baik dan dengan
lembut memberinya penegasan.
“Alya...”
Kali ini ... gilirannya. Sama
seperti para Senpai baik hati yang sudah mendukungnya, sekarang gilirannya
untuk mendukung Alisa. Ia harus menepati janji yang Ia buat hari itu untuk
mendukungnya.
“Lihatlah ke depan. Lihat aku!”
Menanggapi panggilan Masachika,
tubuh Alisa tersentak dan dia pun mendongak. Masachika menatap lurus ke mata
Alisa yang bibirnya tertutup rapat dalam kesedihan.
“Alasanmu tidak seberapa bila
dibandingkan dengan Yuki? Lantas apa?
Apa kamu sudah lupa? Aku tetap memilihmu meski mengetahui semua situasi Yuki
dan situasimu, tahu?”
Alisa membuka matanya lebar-lebar
mendengar perkataan Masachika. Ia berbicara tulus ke Alisa, yang tampaknya
terkejut.
“Bukannya aku pernah bilang
sebelumnya? 『Kamu adalah tipe orang
yang ingin aku dukung apa adanya. 』Aku
tahu betul. Aku mengetahui kecantikanmu. Kamu lebih berdedikasi daripada orang
lain, selalu bekerja keras ... dan menjalani hidup dengan lugas. Kamu layak
mendapatkan lebih. Kamu pantas untuk didukung dan disukai lebih banyak orang.”
Saat berbicara, Masachika bisa
merasakan kalau punggungnya perlahan-lahan memanas, tapi Ia berusaha mengabaikannya
dulu untuk saat ini. Ia merasa bahwa Ia tidak bisa mencapai hati Alisa kecuali
berbicara dari lubuk hatinya. Terlebih lagi, untuk saat ini, Masachika berpikir
kalau Ia harus menghadapinya dengan sepenuh hati.
“Oleh karena itu … Lihatkah ke
depan. Tetap busungkan dada dengan bangga dan jadilah dirimu sendiri apa
adanya. Jangan khawatir. Pesonamu sebagai gadis … sama sekali tidak kalah dengan
Yuki. Aku berani menjamin itu.”
Setelah mengatakannya sebanyak
itu, Masachika merasa kalau keringat mengalir di punggungnya. Ia merasa ingin
menggeliat dan membenturkan kepalanya ke meja sekarang, tapi Masachika berusaha
menahannya dan terus menatap mata Alisa.
Kemudian, Alisa perlahan-lahan mengedipkan
matanya yang terbuka lebar, lalu ... meletakkan tangannya di mulutnya dan mulai
tertawa.
“Fufufu, entah kenapa rasanya
seperti pengakuan cinta, ya?”
“Berisik, jangan katakan itu!
Aku bersumpah kalau takkan pernah mengatakannya lagi!”
Masachika berteriak tak
tertahankan saat diberitahu blak-blakan mengenai apa yang sudah Ia rasakan dari
tadi.
“Ah ~ badanku panas! Kayaknya
demamku kambuh lagi. Sudah kuduga, aku tidak boleh melakukan apapun yang tidak
biasa aku lakukan saat demam begini ~!”
“Fufufu, benar juga? Kalau sedang
demam … apa boleh buat, iya ‘kan?”
Alisa tertawa dan berjalan
mendekati Masachika yang mengipasi dirinya sendiri dengan meraih seragamnya
sambil melihat ke arah lain. Kemudian, dia meletakkan tangannya di pipi
Masachika, yang berpaling darinya, dan membalikkannya ke arahnya. .... Alisa
lalu menempelkan dahinya sendiri ke dahi Masachika, yang melebarkan matanya.
“... Sepertinya benar. Apa
demammu masih belum sembuh sepenuhnya?”
“!!?”
Wajah Alisa dengan mata
terpejam begitu dekat pada jarak di mana ujung hidung mereka hampir
bersentuhan. Seolah-olah mereka akan berciuman, pemandangan yang tidak
realistis tersebut membuat Masachika terbelalak dan kelabakan.
Itu adalah beberapa detik yang
sangat lama di mana Ia bahkan merasa ragu untuk bernafas. Akhirnya, Alisa
dengan cepat mengangkat wajahnya dan tersenyum lembut pada Masachika.
“Terima kasih, berkat kamu ...
aku bisa mengatasi keraguanku.”
“... Oh. Syukurlah kalau
begitu.”
Entah bagaimana, Ia tidak bisa
melihat langsung ke wajah Alisa, dan Masachika mengalihkan pandangannya dan
menjawab dengan beberapa patah kata. Sambil tersenyum lagi pada Masachika,
Alisa berkata dengan suara yang jelas.
“Benar sekali. Dibandingkan
dengan yang lain ... mau bagaimana lagi. Bagaimanapun juga, aku adalah aku.”
“Itu benar... Yuki adalah Yuki,
dan kamu adalah kamu.”
“Betul sekali.”
Begitu melihat partnernya sudah
mendapatkan kembali ketenangannya yang biasa, Masachika menghela napas
lega——
“Walaupun Yuki-san mengemban
kehendak mendiang kakaknya … aku tidak perlu takut melawannya.”
… Hmm? Masachika membeku setelah mendengar kata-kata yang tak terduga
masuk ke telinganya. Kehendak mendiang kakaknya … Kehendak kakaknya yang sudah
mati!?
(Oooooooiiiiiii!! Imoutoo yooooooo !!
Jadi kakakmu ini, aku, sudah matiii yaaaaa?!!!)
Masachika berteriak sekuat
tenaga terhadap ilusi adik perempuannya yang melakukan adegan tehepero[2] di otaknya. Jenis keringat
yang sama sekali berbeda menyembur keluar di sekujur seluruh tubuh.
(Ap-Ap-Ap-Apa yang harus aku lakukan !?
Entah bagaimana, Yuki malah membuat pengaturan masa lalu yang terlalu berat,
tapi ... Dengan posisi teman masa kecilnya, apa aku harus mengoreksi ini? Tapi
kalau begitu, Ada kemungkinan persahabatan antara Alya dan Yuki bisa retak ...
Tidak, tapi tetap saja ...)
Masachika mengalami perang
batin tentang masalah sulit yang tiba-tiba muncul ... Setelah berjuang selama
beberapa detik, Ia enggan memanggil Alisa.
“U-Umm. Alya …”
Namun, pada saat itu, pintu
kelas terbuka, Masachika dan Alisa melihat ke arah itu secara bersamaan.
“Yahoo~”
“Permisi.”
Nonoa membuka pintu dengan
suara santai dan memasuki ruang kelas. Di belakangnya, Sayaka bersusah payah
untuk membungkuk dan berjalan masuk. Masachika dan Alisa sama-sama
membelalakkan mata mereka pada pengunjung yang tiba-tiba dan tak terduga.
“Ohh~ sudah kuduga dia masih
ada di dalam kelas~ ... huh, Kuzecchi? Bukannya kamu tidak masuk hari ini?”
“Yah, aku juga baru datang ke
sini ...”
“Eh, begitu ya? Kalau begitu
kebetulan banget~”
Tapi Nonoa mengatakan itu tanpa
mempedulikan reaksi mereka, dan duduk dengan bunyi gedebuk di kursi Hikaru yang
ada di depan Masachika. ... dengan cara mengangkangi kursi.
“Nonoa ... itu tidak sopan,
tau.”
“Eh~ enggak apa-apa juga kali~.
Lagian enggak ada orang lain.”
Tanpa mendengarkan peringatan
Sayaka, Nonoa meletakkan pipinya di sandaran kursi dengan malas, tampak tidak
termotivasi seperti biasanya. Di depan Masachika. Dengan kaki yang terbentang
selebar mungkin.
(... Karena tingkahnya yang begitu, dalam
artian baik atau buruk, kurasa mereka tidak menganggapnya sebagai idola.)
Dari sudut pandang Masachika,
tidak mengherankan jika Nonoa dinobatkan menjadi “gadis tercantik seangkatan” dalam hal penampilan dan ketenaran.
Namun, alasan mengapa hal
tersebut tidak terjadi mungkin karena orang-orang merasa kalau Nonoa lebih
akrab dengan mereka dibandingkan dengan Alisa dan Yuki. Jika diibaratkan kalau
Alisa dan Yuki adalah bunga yang yang tak bisa dijangkau, maka Nonoa lebih
mirip seperti bunga besar yang mekar di atas tanah.
(... walaupun maksudnya bunga
insektivora, sih)
Masachika mengimbuhkan itu di
dalam hati, meningkatkan kewaspadaannya sedikit, dan menanyakan keperluan
mereka.
“Jadi? Ada urusan apa kamu
datang kemari?”
“Hmm~? Bukan aku yang punya
urusan, tapi Sayacchi, sih?”
“Taniyama?”
Saat Masachika menoleh ke arah
Sayaka yang berdiri secara diagonal di belakang Nonoa, alis Sayaka berkedut
sejenak dan kemudian dia menghembuskan napas untuk waktu yang lama. Kemudian,
dia meluruskan posturnya dengan ekspresi tulus.
“Meski sudah terlambat untuk
mengucapkan ini … Kuze-san dan Kujou-san. Aku mohon maaf atas ketidaknyamanan
yang aku sebabkan kepada kalian berdua. Aku mohon maaf atas sikap kasar yang
sudah aku lakukan terhadap kalian. Aku sungguh menyesalinya.”
Kemudian, dia membungkuk
dalam-dalam ke arah mereka berdua. Melihat itu, Nonoa juga membungkuk sedikit
sambil duduk di kursinya.
“Aku juga minta maaf. Ini salahku
juga karena tidak menghentikan Sayacchi saat aku tahu dia lepas kendali. Aku
tahu ini sedikit terlambat, tapi maukah kalian memaafkanku? Tentu saja, aku
takkan memintanya secara gratis.”
Nonoa menyatukan kedua tangan
di depan wajahnya, menutup satu mata dan meminta maaf. Sayaka masih berdiri dan
terus menundukkan kepalanya. Melihat permintaan maaf mereka, Masachika kembali
menatap Alisa.
“Aku tidak berhak membuat
keputusan itu. Semuanya terserah Alya.”
“Aku … tidak keberatan kalau
kamu meminta maaf atas kata-kata kasar itu. Adapun Miyamae-san, kamu tidak
melakukan sesuatu yang perlu dimintai maaf segala.”
“Tapi~ kurasa wajar-wajar saja
meminta maaf karena sudah menyusupkan provokator pada debat kemarin, iya ‘kan~?
”
Masachika melambaikan tangannya
pada Nonoa yang menyandarkan kepalanya dengan kedua tangan.
“Itu sih bagian dari strategi.
Lagipula, kenapa pihak yang kalah harus meminta maaf kepada yang menang?”
“Aha ... yah, memang bener sih
~?”
“... itu karena, kalian sendiri
yang mengabaikan kemenangan itu.”
Sembari mengangkat kepalanya,
Sayaka menatap ke arah Masachika. Tampaknya dia telah mengetahui kalau
Masachika meminta Nonoa untuk meredakan
rumor buruk Sayaka, dan Masachika hanya mengangkat bahu dengan santai.
“Aku cuma melakukannya karena
Alya bilang kalau itu mengganggunya. Selain itu, Miyamae yang benar-benar
bergerak, jadi kami tidak berhak mengomentari masalah tersebut.”
Itu artinya, ketimbang menerima
ucapan terima kasih karena sudah mengurus gosip buruk Sayaka, Masachika tidak
mengkritik apa-apa karena sudah membuat reputasi Nonoa menjadi jelek. Jika dia
memiliki sesuatu untuk dikatakan, Sayaka bisa mengatakannya langsung kepada
partner-nya, Nonoa.
Usai memahami maksud di balik
perkataan Masachika, Sayaka lalu mengalihkan perhatiannya ke Alisa.
“Tetap saja, hal itu tidak
mengubah fakta kalau kalian peduli padaku, ‘kan? Itu sebabnya … pada
siaran siang hari ini, kamu tidak
menyebutkan kejadian di debat kemarin, itu artinya kamu memang bermaksud
begitu, kan?”
Menanggapi tatapan Sayaka,
Alisa menatap lurus ke matanya.
“... Faktanya, jika pemungutan
suara dalam debat kemarin terus berjalan, aku tidak tahu siapa yang akan
menang. Aku hanya tidak ingin mendeklarasikan kemenangan saat tidak ada
pemenang yang jelas.”
Mendengar balasan Alisa, Sayaka
kembali menatap mata Alisa seolah-olah berusaha mencari niat yang sebenarnya. Tapi
akhirnya, dia memejamkan matanya dan mengangguk dengan senyum tipis.
“... begitu ya. Kamu ternyata
mempunyai harga diri yang tinggi, ya.”
Setelah menggumamkan itu,
Sayaka berbalik dan menuju pintu di depan kelas. Dia meletakkan tangannya di
pintu dan berhenti sejenak di sana.
“... Tapi, aku juga memiliki
harga diri.”
Berdasarkan kata-kata dan
bahasa tubuhnya, Masachika tahu bahwa Sayaka berniat melakukan sesuatu.
“Tunggu sebentar, Taniyama. Apa
yang sedang kamu rencanakan?”
Ketika ditanya begitu, Sayaka
menatap Masachika dan menjawab.
“... Aku takkan membengkokkan
fakta untuk melindungi kehormatanku.”
“Oleh karena itu, kamu ingin
membuat pernyataan kekalahan dan bukan kemenangan? Apa kamu berniat
melakukannya di siaran sekolah ... Tidak, pada upacara akhir semester nanti,
ya?”
Begitu mendengar kata-kata Masachika,
Sayaka membuang muka dan sepertinya kehilangan kata-kata. Masachika kemudian
berdiri, karena mengetahui bahwa tebakannya tepat sasaran.
“Maaf, tapi sebagai anggota
OSIS, aku tidak bisa membiarkan tindakan egoismu pada upacara akhir semester semester nanti...
Jika kamu ingin menanggapi ketulusan Alya, apa kamu bersedia melakukannya
dengan cara lain?”
“... cara lain?”
Ketika Sayaka berbalik,
Masachika memberitahu permintaannya. Tidak hanya Sayaka, tapi Alisa juga
melebarkan, dan Nonoa pun mengangkat alisnya.
“… apa kamu serius?”
“Ya, Alya juga tidak keberatan,
‘kan?”
“Eh, iya...”
“Miyamae juga, kamu tadi bilang
‘aku takkan memintanya secara gratis’,
‘kan? ”
“Ah~ aku memang bilang begitu
sih ...”
Alisa mengangguk kebingungan,
dan Nonoa tertawa kering. Melihat mereka berdua, Sayaka membalikkan tubuhnya ke
Masachika. Dia menatap Masachika dan Alisa dengan tatapan yang rumit, dan
berkata dengan suara yang sepertinya menahan berbagai emosi.
“... Aku masih tidak mendukung
kalian.”
“Ya, aku tahu.”
“... Bahkan sekarang, aku masih
berpikir kalau kamu harus bekerja sama dengan Suou-san.”
“Begitu rupanya. Tapi, alasan
kenapa aku memilih Alya ... kamu bisa memahaminya sedikit, bukan?”
Sayaka menatap wajah Alisa
sebagai tanggapan atas pertanyaan Masachika. Alisa juga diam-diam balas menatap
Sayaka. Mereka bertukar pandang selama beberapa detik, dan Sayaka diam-diam
memejamkan matanya.
“…ya, aku bisa mengerti
sedikit.”
Kemudia dia mengangguk kecil. Melihat
tanggapan Sayaka, Nonoa meraih bagian belakang kursi dan bersandar.
“Seriusan nih~... Kalau begitu,
aku juga tidak masalah, sih.”
Masachika mengangguk kuat pada
Nonoa, yang membalikkan tubuhnya dan mengangguk ringan ke arahnya.
“Terima kasih, mohon kerja
samanya.”
Ia lalu menoleh ke Alisa, yang
membelalakan matanya karena terkejut, dan memberitahunya.
“Alya, ini kekuatanmu. Dengan
ini ... kamu bisa mengalahkan mereka.”
“Eh ... mengalahkan mereka?
Bukannya kamu pernah bilang buat mengincar hasil imbang ...”
Masachika tersenyum ganas pada
Alisa, yang tampak kebingungan dengan perkembangan yang begitu tiba-tiba.
“Aku takkan mengincar hasil
imbang lagi. Karena pihak lain yang memulainya duluan ... kita akan menghancurkan mereka tanpa ampun.”
Pernyataan Masachika
menyebabkan Alisa terkesiap, Sayaka diam-diam mendorong kacamatanya, dan Nonoa
tertawa gembira.
<<=Sebelumnya | Daftar isi |
Selanjutnya=>>