Gimai Seikatsu Vol.4 Chapter 09 Bahasa Indonesia

Chapter 09 — 26 September (Sabtu) Ayase Saki

 

Universitas Wanita Tsukinomiya terletak di sepanjang Jalur Yamanote. Dari stasiun kereta Shibuya, kamu pergi ke arah utara Jalur Yamanote (dari sudut pandang Jalur Yamanote, mungkin di luar), dan kemudian turun di stasiun Ikebukuro. Dua perhentian lagi di kereta, dan sedikit lagi berjalan di sepanjang jalan, dan kamu bisa mencapai gerbang depannya.

“Luas sekali…”

Kesan pertama yang aku rasakan ialah luas kampusnya. Kira-kira berapa banyak bangunan yang muat di dalam dinding bagian dalam dari keseluruhan area ini? Meski berada di dalam pusat kota, mereka entah bagaimana berhasil mendirikan kampus besar. Seperti yang diharapkan dari universitas negeri yang memiliki sejarah panjang. Jalan beraspal batu yang menuju ke dalam gerbang depan dihiasi dengan pepohonan tinggi di sebelah kiri dan kanan, serta bangunan persegi panjang yang tampak seperti sedang bersaing satu sama lain. Menurut peta yang aku miliki di smartphone-ku, kebanyakan bangunan di kiri dan kanan ini adalah sekolah SD dan SMA yang berafiliasi dengan universitas. Sedikit jauh di kejauhan ada sekolah SMP juga.

Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku takkan pernah menyangka bahwa mereka memiliki segalanya mulai dari sekolah SD hingga perguruan tinggi di tempat yang sama. Tersapu oleh kerumunan orang yang berdiri di pintu masuk, aku berjalan menuju ke gedung universitas. Hari ini adalah hari Sabtu, jadi seharusnya tidak ada jam kuliah. Dengan kata lain, kerumunan orang ini semua ada di sini untuk menghadiri kampus terbuka…?

Tepat setelah masuk melalui gerbang depan, seorang wanita dewasa yang mengenakan t-shirt menyerahkan brosur acara hari ini padaku. Sepertinya mereka semacam staf. Yah, takkan banyak membantu jika hanya para murid yang datang ke sini untuk acara hari ini. Ketika aku melihat sekeliling, di tengah orang-orang yang berjalan bersamaku, aku juga melihat gadis-gadis yang lebih tua dariku, dan bahkan senior. Mereka pasti mahasiswi yang masuk ke universitas ini.

Di kejauhan, aku bisa mendengar suara-suara yang bersemangat, mungkin dari berbagai klub olahraga, dan aku melihat bayangan di balik jendela gedung utama. Kurasa tidak ada hari libur di universitas, ya? Apa semua orang rajin kuliah setiap hari? Jujur saja, aku sangat tidak menyangkanya.

Berjalan menyusuri jalanan beraspal batu, aku menuju lebih dalam ke area kampus. Fakultas humaniora yang aku minati terletak cukup jauh di dalam, dan aku harus berjalan di sekitar gedung besar di hadapanku. Saat berjalan di sekitar bangunan persegi panjang, aku melihat sebuah halaman di sisi kananku, sedikit lebih tinggi di atas jalanku.

Rumput hijau itu sangat memanjakan mata… Kecuali ada seseorang yang tidur di atasnya. Anehnya, ada seorang wanita yang mengenakan jas lab putih sedang tidur dengan santai di rumput seakan-akan itu adalah tempat tidurnya sendiri. Hei, apa dia boleh tiduran di tempat seperti? Ah, ada seseorang yang menghampirinya ... dan sekarang dia dimarahi. Maksudku, memangnya apa yang kamu harapkan? Bahkan jika matahari terasa nyaman saat ini, kamu tidak boleh melakukannya begitu saja. Aku kira beberapa orang suka mengambil jeda sejenak di waktu luang mereka sendiri, meski dia melakukannya sudah keterlaluan sih. Kurasa kamu dapat menemukan banyak tipe orang yang berbeda di perguruan tinggi.

Aku melihat tanda bangunan di depanku. Ya, tempatnya pasti di sini. Meski, begitu aku memasuki gedung, untuk beberapa alasan sepertinya ada seseorang yang memanggil namaku. Namun, seharusnya itu mustahil. Aku tidak mengenal siapa pun di universitas ini.

“Saki-chaaaaan! Waaaaaaahhhh! Kamu datang ke kampusku ?! ”

…Apa?

“Yomiuri-san?”

Ternyata Senpai-ku di tempat kerja—Yomiuri Shiori-san. Belum lagi dia duduk di meja resepsionis. Tunggu sebentar, apa itu berarti…?

“Kamu mahasiswi di universitas ini?”

“Ya. Mungkin kurang lebih begitu!”

'Mungkin'? Apa kamu sendiri tidak yakin? Ketika aku melihat sekeliling, meja penerimaan untuk setiap fakultas berbeda, dan dia secara kebetulan duduk di fakultas humaniora.

“Jika kamu memberitahuku kalau kamu akan datang, aku akan menyiapkan beberapa minuman untukmu.”

“Aku juga memutuskan datang ke sini secara mendadak.”

Juga, aku bahkan tidak tahu kalau dia adalah seorang mahasiswa di universitas ini. Aku juga tidak punya cara untuk menghubunginya.

“Begitu rupanya~ Jadi, kamu datang ke sini untuk melihat contoh perkuliahan?”

“…Ya, mungkin juga.”

Aku bergeser sedikit supaya tidak menghalangi orang-orang di belakangku dan menjawab dengan singkat. Pada kenyataannya, aku baru saja berencana untuk memeriksa perkuliahan mana yang terdengar cukup menarik, tapi kurasa aku tidak perlu mengatakannya sampai sejauh itu. Belum lagi, aku tidak punya alasan untuk tidak memeriksa kuliah dari fakultas yang dipelajari oleh Yomiuri-san yang bijaksana.

“Baiklah. Mumpung masih ada waktu, jadi biarkan aku mengajakmu berkeliling.”

“Apa kamu yakin?”

Aku melirik meja resepsionis lagi. Sebenarnya ada gadis lain yang duduk di sebelah Yomiuri-san, membagikan brosur kepada orang-orang saat mereka tiba. Dia melihat bahwa aku belum mendapatkan brosur dan dengan cepat menyerahkannya padaku. Tampaknya brosur tersebut menjelaskan detail untuk perkuliahan hari ini.

“Shiori~ Jika kamu tidak melakukan pekerjaanmu, setidaknya jangan ganggu orang yang mau liat-liat. Sebelah sana, di sana.”

“Ya! Makasih banyak. Ayo, biarkan aku mengajakmu berkeliling. ”

“Tapi…”

“Oh, Yomiuri-kun, apa dia itu temanmu?”

Aku menoleh ke sumber suara baru lainnya dan disambut oleh pemandangan seorang wanita yang ternyata bukan mahasiswi biasa di universitas ini. Dia pasti seorang dosen. Dia tampak berusia akhir dua puluhan, atau mungkin awal tiga puluhan. Jika dia seorang dosen di sini, maka dia mungkin sedikit lebih tua, tapi itu cuma perkiraan dari penampilannya saja. Dia mengenakan setelan ungu muda, memancarkan kesan kedewasaan, tetapi berkat kurang tidur atau semacamnya, dia memiliki kantong besar di bawah matanya, yang merusak kecantikan bawaannya—


Tunggu, aku pernah melihatnya di suatu tempat. Di kepalaku, aku membayangkan dia mengenakan jas putih di atas setelan ungu itu.

“Ah.”

Dia adalah orang yang tidur di rumput beberapa menit yang lalu.

“Hm?”

“Oh, Saki-chan, kamu mengenalnya?”

“Y-Yah, tadi, di atas rumput halaman…”

Aku tidak bisa menyelesaikan kalimatku. Namun, Yomiuri-san sepertinya bisa menebak apa yang ingin kukatakan dari itu saja.

 “Kudou-sensei… Anda melakukannya lagi? Anda membeli setelan bermerek mahal untuk pengunjung luar, kan? Jas anda akan menangis jika anda mengotorinya seperti itu…”

“Aku mengenakan mantel di atas jasku.”

“Bukan itu masalahnya di sini.”

“Itu tergantung pada definisi masalah masing-masing orang. Selama hidup kita yang singkat, rasanya akan sia-sia bila memperlakukan pakaian dengan label mahal sebagai sesuatu selain pakaian sederhana untuk dikenakan. Lebih penting lagi, Yomiuri-kun, ceritakan lebih banyak tentang individu rupawan ini.”

Yomiuri-san sepertinya masih punya banyak yang ingin dikatakannya, tapi dia akhirnya membuat wajah pasrah dan memperkenalkanku.

“…Dia adalah Ayase Saki-chan, seorang Kouhai di pekerjaan paruh waktuku.”

“Nama saya Ayase. Um, senang bertemu dengan anda.” Aku membungkuk sopan, dan wanita berjas itu menggumamkan 'Hm, waktu yang tepat'.

Permisi, apa yang sedang dia bicarakan?

“Senang bertemu denganmu, Saki-chan. Aku Kudou Eiha. Aku seorang profesor asosiasi di universitas ini, meneliti etika dan filsafat moral secara keseluruhan. Jika aku boleh bertanya, kamu kelihatannya anak SMA, ya?”

“Ya… saya sudah kelas dua SMA.”

“Baik sekali. Cukup indah memang. Sungguh hoki sekali. Ada sesuatu sangat penting yang ingin kubicarakan denganmu, jadi tolong dengarkan baik-baik.” Dia terus berbicara tanpa berhenti untuk bernapas.

Hanya dari itu, aku mengerti bahwa dia pintar. Seperti yang diharapkan dari seorang profesor universitas.

“Ya apa yang ingin anda bicarakan?”

“Sudah berapa banyak orang kamu melakukannya sejauh ini?”

“Hah?”


Untuk sesaat, aku tidak dapat memahami apa yang baru saja ditanyakan. Melakukan apa dengan… siapa sebenarnya? Eh, tunggu, maksudnya hal semacam itu?

“Um, maaf, saya tidak bisa memahami maksud anda—”

Aku benar-benar mengerti apa yang dia bicarakan, meski aku benar-benar tidak mau mengakuinya.

“Profesor! Pertanyaan macam apa yang sudah anda tanyakan pada anak di bawah umur di pertemuan pertama anda?! ” Seolah ingin melindungiku, Yomiuri-san berdiri di antara aku dan Profesor Kudou, lalu mulai menyerang secara verbal.

“Hah?”

“Topik ini bukanlah sesuatu yang harus anda tanyakan di depan umum.”

“Hmmm? Maksudku, aku sangat menyadarinya. Itu sebabnya aku menjadi perhatian dan menggunakan kosakata yang ambigu sebagai gantinya. Hmm. Meski mungkin itu bukan sesuatu yang terlalu rahasia. Bagi seluruh umat manusia, ini adalah fenomena yang wajar dan biasa-biasa saja. Kurasa mengungkitnya secara luas adalah… kamu tahu, tindakan menyembunyikan sesuatu memberikan kesan yang lebih kuat dan lebih ditekankan, lebih daripada mengungkitnya secara terbuka… Jadi dengan kata lain, sudah berapa banyak pria—tentu saja, wanita juga tidak masalah—yang pernah melakukan hubungan seksual denganmu?”

“Profesor.”

“Hm? Mengapa kamu membuat wajah menakutkan seperti itu? Tidak seperti aku, Yomiuri-kun, kamu tidak diperlakukan sebagai vampir yang kurang tidur, jadi pertahankan kecantikan yang kamu miliki. Dengarkan baik-baik. Aku jarang mendapatkan kesempatan yang begitu penting untuk berbicara dengan gadis SMA tulen, jadi ini semua merupakan data berharga untuk penelitianku.”

“Namun anda perlu membutuhkan persetujuannya sebelum memperlakukannya seperti subjek tes. Mana mungkin saya harus mengingatkan seorang profesor di fakultas ini tentang masalah tersebut, bukan? ”

Untuk sesaat, mata Profesor Kudou terbuka lebar, dan dia tersenyum.

“Huh, kamu menunjukkan taringmu dengan cukup aktif hari ini, Yomiuri-kun. Argumen yang bagus.”

“Terima kasih banyak.”

“Memang, kamu benar sekali. Jadi, Saki-chan… atau apa aku perlu memanggilmu Ayase-kun?”

“Ah, saya tidak masalah dengan panggilan yang mana saja ...”

“Kalau begitu, Saki-chan. Setidaknya itu jauh lebih imut.”

Dia bahkan mengatakan itu dengan wajah datar. Sungguh orang yang aneh. Mungkinkah semua dosen di universitas seperti ini?

“Kamu tahu, aku kebanyakan fokus pada hubungan laki-laki dan perempuan, sebagai hubungan keluarga, melakukan penelitian mengenai etika dan akhlak.”

“Hubungan keluarga…?”

“Memang. Berbicara tentang etika dalam penjelasan kamus, etika merupakan  tentang apa yang baik dan apa yang buruk serta mengenai hak dan kewajiban moral (akhlak)… Dengan kata lain, norma sosial. Aku sedang meneliti ini. ”

“Anda bisa meneliti sesuatu seperti itu?”

“Tentu saja. Dengarkan baik-baik. Masyarakat itu sendiri terdiri dari beberapa etika. Apa yang lebih diperbolehkan kamu lakukan, apa yang tidak boleh kamu lakukan—bahkan hal yang tabu. Tapi ini mungkin bukan sesuatu yang tetap sama untuk selamanya. Jika aku boleh memberi contoh … pertimbangkan tentang kerabat dekat seperti saudara laki-laki dan perempuan tidak diperbolehkan untuk saling mencintai.”

Aku tahu aku seharusnya tidak boleh menunjukkan reaksi apapun hanya karena topik yang melibatkanku, tapi aku bisa dengan jelas merasakan ekspresiku menegang.

“Etika dan moral bukanlah ilmu ilmiah. Paling tidak, mereka tidak diciptakan untuk begitu.”

“Mirip dengan alasan hal tersebut dibuat, tetapi setiap penelitian membutuhkan semacam sains.”

“Yah, ini bukan bagian dari diskusi utama sekarang, jadi kita bisa berdebat tentang itu sepuasnya di lain waktu, Yomiuri-kun. Yang penting sekarang adalah bahwa etika dan moral sangat penting bagi makhluk hidup, yang membuat mereka tunduk pada perubahan terus-menerus seiring berjalannya waktu. Namun, perubahan apa yang perlu bagi masyarakat dan perubahan kesadaran terhadap hal itu selalu tidak sinkron, dan sebagai akibatnya, masyarakat kita—”

Kudou-sensei berhenti dan melihat sekeliling sejenak, menyadari bahwa dia menjadi terlalu bersemangat.

“Hm. Kamu… Saki-chan, jika kamu punya waktu setelah ini, apa kamu mau datang ke kantorku?”

“Lagi-lagi begini, anda berusaha mengajak orang.” Yomiuri-san menghela nafas tak percaya.

Profesor Kudou dengan terampil mengabaikan komentar itu dan melanjutkan.

“Saki-chan… kamu sedang mempermasalahkan sesuatu sekarang, kan?”

Tubuhku segera membeku.

“Aku mungkin bisa memberimu jawaban untuk itu, tahu?”

“Ap— , um…”

Sejujurnya, aku merasa sedikit penasaran dengan jawabannya. Jika seseorang secerdas beliau, seorang profesor di universitas terkenal, dia mungkin bisa mengarahkanku ke jalan yang benar.

“Bila hanya sebentar, seharusnya baik-baik saja.”

“Kalau begitu diputuskan. Ikuti aku.”

“Kudou-sensei mencoba melakukan hal buruk padamu!” Kata Yomiuri-san, mencoba mengikuti kami.

“Hei hei, kita berada di kampus terbuka. Kamu tidak bisa kabur begitu saja dari tempatmu,” Profesor Kudou menegurnya.

“Maaf, tapi saya sudah menawarkan untuk mengajak Saki-chan berkeliling, dan aku mendapat izin dari setiap—”

“Batas waktu laporan tugasmu tiga hari lagi, ‘kan?”

“Ugh.”

“Kurasa kamu belum menyelesaikannya, ya.”

“Itu sih…”

“Jangan khawatir. Aku akan mengembalikannya tepat waktu. Tapi sampai saat itu, aku akan meminjamnya. Kemari, Saki-chan, ikuti aku. Kamu pasti penasaran seperti apa kantor penelitian di universitas itu.” Dengan kata-kata ini, profesor asosiasi etika, Kudou Eiha, mulai berjalan, dan aku mendapati diriku mengikuti di belakangnya.

“Kamu lebih suka yang mana, kopi atau teh hitam?”

“Ah, saya lebih memilih teh.” balasku dan melihat sekeliling ruangan tempatku dibawa.

Luasnya kira-kira 13 meter persegi, tapi rasanya hampir 7 setengah. Perasaan ini tercipta melalui banyaknya buku yang bertebaran dimana-mana. Bukan hanya rak baja yang menempel di dinding. Setiap meja dipenuhi dengan buku, dan menara buku memenuhi lantai di sana-sini, dan kamu harus menlewati semua ini untuk mencapai meja di belakang. Hanya ada sedikit ruang kosong di sekitar meja tersebut.

Di depan meja ada meja pendek, dengan dua sofa saling berhadapan di kedua sisi. Yang ini pasti menjadi ruang di mana dia menerima pengunjung. Kudou-sensei mendesakku untuk duduk saat dia menyalakan ketel listrik, mengeluarkan teko dan dua cangkir. Dia kemudian membuka kaleng teh.

“Apa kamu tidak masalah dengan teh Nilgiri?”

“Ah, ya, apa saja tidak—Tunggu, apa anda yakin?”

“Ohh, jadi kamu tahu tentang teh Nilgiri ini?”

“…Saya pernah mendengarnya.”

“Beritahu padaku apa yang kamu tahu.”

Jelas sekali bahwa dia benar-benar seorang dosen. Tetapi pada saat yang sama, aku menyadari bahwa caranya berbicara juga tidak seperti guru pada umumnya. Sebagian besar yang aku kenal akan mengajukan pertanyaan yang dapat mereka jawab dengan 'Benar'. Tapi bukan itu yang dia minta. Sebaliknya, dia ingin melihat apa aku dapat menyampaikan apa yang aku ketahui dengan menggunakan kalimatku sendiri.

“Ini adalah istilah umum untuk daun teh yang dipetik di India Selatan. Istilah umumnya adalah 'Teh Hitam Gunung Biru'."

“Ohh, ternyata kamu tahu banyak, ya.”

“Lagipula, informasi semacam itu mudah ditemukan secara online.”

“Apa kamu pernah mencobanya?”

“Tidak pernah.”

Sama seperti Kopi Gunung Biru, Teh Hitam Gunung Biru seharusnya agak mahal. Dulu ketika hanya ada aku dan Ibu, kami harus hidup dari kotak teh celup sederhana dengan 50 teh celup, yang harganya 500 yen (artinya satu cangkir harganya 10 yen), dan aku sudah senang hanya dengan itu, jadi aku cuma memiliki pengetahuannya saja dan belum pernah mencicipinya.

“Kalau begitu, ini akan menjadi pertama kalinya bagimu.”

Dia mengucapkan kosakata khusus dengan sangat kejam. Dengan suara klik, ketel listrik dimatikan. Dia membiarkan air mendidih sejenak dan kemudian menuangkan sedikit ke dalam cerek, menghangatkannya. Kemudian dia menekan tombol lagi, merebus air. Dia pindah ke cerek, menuangkan air ke dalam cangkir sampai kosong, dan kemudian dengan cepat menambahkan daun teh ke dalam cerek, menuangkan air panas ke dalamnya, dan menutup tutupnya. Setelah itu selesai, dia membalik jam pasir di atas meja.

“Beberapa buku mungkin akan mengatakan kalau kamu tidak bisa membiarkan air mendidih menjadi dingin, jadi kamu tidak boleh memindahkan ketel listrik dari api kompor, atau menuangkan air ke dalam cerek. Sayangnya, ruangan ini tidak memiliki kompor gas seperti itu. Suhunya mungkin lebih rendah dari biasanya, tapi tahan dengan itu.”

“Tidak, saya tidak keberatan sama sekali”

Jika ada, jika Anda memiliki kompor gas, apa anda berniat akan membawa ketel jadul?

“Kamu tahu, seorang temanku yang pergi ke India mengirimiku teh ini.”

“Bepergian?”

“Kerja lapangan.”

“Jadi sebagai pekerjaan?”

“Tidak, sebagai penelitian. Dia adalah seorang peneliti.”

“Aku tidak begitu mengerti perbedaannya. Jika menjadi peneliti adalah sebuah profesi, bukankah melakukan penelitian adalah pekerjaan anda.”

“Ahh, begitu ya. Dari sudut pandang orang awam, kebanyakan akan bermuara pada itu, ya. Itu sama bagiku, tetapi persepsiku mengenai pekerjaan ini cukup lemah. ”

“Benarkah? Lalu, apa yang anda lakukan?”

“Hidup.”

“Maaf?”

“Paling tidak, satu-satunya hal yang aku lakukan adalah hidup. Seorang peneliti hanyalah makhluk hidup.”

“…Aku tidak begitu mengerti perbedaannya.”

“Wajar saja. Tidak banyak orang yang melakukannya, yang membuat menjelaskannya menjadi pekerjaan yang sulit.” Dia selesai menyeduh teh. Dia mengosongkan cangkir dan menuangkan teh ke dalamnya.

Uap putih membawa aroma khas ke udara, menggelitik hidungku.

“Sayangnya, aku tidak bisa menawarkan cemilan apa pun hari ini. Biasanya aku ada beberapa, tapi aku baru saja kehabisan, jadi—”

“Tidak perlu repot-repot. Terima kasih banyak.”

“Yah, kita tidak punya banyak waktu sampai kuliah percobaan dimulai.”

Kami lalu duduk di sofa, saling berhadapan, dan menyesap teh. Ketika aku meraih cangkir dengan kedua tanganku dan membiarkan cairan merah mengalir ke tenggorokanku, rasanya menghangatkan tubuhku dari dalam sementara udara dingin AC bertiup ke arahku. Merasakan kehangatan, terutama di sekitar perutku, aku menghela napas dengan nyaman.

“Aku sebenarnya pernah mendengar tentangmu dari Yomiuri-kun.”

“Tentang saya?”

“Atau lebih tepatnya, tentang kalian berdua. Umm … siapa namanya lagi?”

“Apa Anda membicarakan tentang Asamura-kun?”

“Begitu, jadi namanya Asamura-kun, ya.”

“…Anda tidak mengetahuinya, ‘kan?”

“Tebakan yang bagus.” balasnya tanpa rasa malu sama sekali.

Jadi semua barusan hanyalah kepura-puraan bahwa dia melupakan namanya supaya aku bisa memberitahunya. Dan aku benar-benar menanggapi pancingannya.

“Aku tidak tahu namanya. Aku hanya mendengar tentang seorang rekan menarik yang bekerja dengan Yomiuri-kun di pekerjaan paruh waktunya. Aku pikir semuanya bermula pada musim panas lalu. Sejak saat itu, dia mulai berbicara tentang kalian berdua, tapi dia tidak pernah memberitahuku nama atau informasi lainnya. Dia mungkin tidak terlihat seperti itu, tapi Yomiuri-kun sebenarnya cukup protektif terhadap informasi pribadi.”

“Mungkin tidak terlihat seperti itu… namun bagi saya, Yomiuri-senpai terlihat seperti seseorang yang mempunyai moral yang tinggi.”

“Ohh, jadi kamu sudah memanggilnya Senpai, ya. Sungguh kepribadian yang kuat. Kamu sudah bertingkah seolah-olah sudah diterima di universitas ini. ”

“…Yomiuri-san.” Aku segera memperbaiki pernyataanku sebelumnya.

Dia pasti tahu bahwa Yomiuri-san adalah seniorku di tempat kerja, namun dia masih menggodaku tentang ini.

“Haha, jangan dianggap serius. Aku hanya merasa ingin bercanda denganmu. Tapi bisa kubilang, kalian berdua jauh lebih menarik daripada yang aku harapkan.”

“Apa Anda pernah bertemu Asamura-kun sebelumnya?”

“Tidak pernah, akan menjadi jawabanku. Namun, Yomiuri-kun tampaknya menikmati dirinya sendiri dengan kalian berdua, dan karena kamu adalah individu yang cukup menarik, jadi aku yakin kalau Ia harus setara denganmu dalam hal itu. Aku ingin berbicara dengan Asamura-kun ini.”

Bentuk mulutku berubah menjadi , menunjukkan ketidaktertarikan yang jelas. Aku mendapati diriku tidak ingin Asamura-kun bertemu orang ini.

“Jadi, mari membahas topik utamanya.”

“Topik utama…?”

Profesor Kudou membuat ekspresi terkejut yang berlebihan.

“Kamu ini bicara apa? Aku sudah memberitahumu kalau aku mungkin dapat membantu dalam masalah yang mengganggumu. ”

“Ah, benar.”

Sekarang dia mengungkitnya, itu benar-benar terselip dari pikiranku.

“Izinkan aku langsung ke intinya. Kamu kemungkinan besar jatuh cinta dengan Asamura-kun ini, ‘kan? Namun, karena masalah moral dan etika umum, Ia juga seseorang yang seharusnya tidak boleh kamu cintai.”

“Kenapa Anda berpikiran begitu?”

“Menilai dari caramu mengungkapkannya, sepertinya perkiraanku tepat sasaran.”

“…Saya benar-benar tidak tahan dengan anda.”

“Hahaha, aku suka orang jujur ​​sepertimu. Profesor Kudou tersenyum dan melanjutkan. Kamu tahu, menilai dari informasi yang kudapat dari pekerjaan paruh waktumu, fantasiku menjadi ikutan liar. Kamu jelas tertarik satu sama lain, tapi di saat yang sama, kalian mencoba untuk menjaga jarak tertentu di antara kalian berdua. Mengapa bisa begtu? Itu karena kamu merasa bertentangan dengan hal yang tabu. Misalnya saja, menjadi saudara tiri.”

Dia benar-benar orang yang blak-blakan. Aku tidak mahir menghadapi orang yang mempunyai kepekaan tinggi seperti ini.

“Anda bahkan menyimpulkan bahwa kami adalah saudara tiri.”

“Jika kamu memiliki hubungan darah, maka aku takkan menilainya sebagai sesuatu yang pantas untuk diderita… Jadi kamu menyukai Asamura-kun, ya?”

“…Yah, menurut saya Ia adalah kakak laki-laki yang hebat.”

“Aku tidak bermaksud 'suka' dalam pengertian itu. Aku bertanya apa kamu memiliki perasaan romantis untuknya. ”

“…Ia itu kakak laki-laki saya, tahu?”

“Pada dasarnya tidak sedarah.”

“Meski pun kami tidak sedarah, Ia tetaplah kakak saya.”

“Ia baru menjadi kakakmu sampai tiga bulan lalu.”

Dia bahkan bisa menebak dengan tepat waktunya. Cara dia menghubungkan potongan kecil informasi dengan sempurna untuk mendapatkan gambaran yang lebih besar benar-benar membuatnya menjadi orang yang merepotkan untuk dihadapi.

“Tapi Ia adalah keluarga saya. Mana mungkin saya memendam perasaan semacam itu. Ibu senang bahwa Ia bergantung padanya. Dia pasti menghargainya sebagai anak dari ayah tiri, yang sangat dia cintai.”

“Aku tidak menanyakan keadaan orang-orang di sekitarmu , Saki-chan. Yang ingin aku tanyakan, bagaimana perasaanmu?”

“Saya…”

Aku merasa ragu. Apa aku perlu benar-benar memberitahu profesor tentang hal yang mencurigakan ini? Belum lagi dia adalah profesor Yomiuri-san juga. Jika aku sembarangan mengatakan sesuatu, Yomiuri-san mungkin akan mengetahuinya... dan meskipun aku merasa seperti ini, pada akhirnya—

“Saya sendiri tidak begitu memahaminya. Tapi belakangan ini saya selalu memikirkannya…”

Tanpa kusadari, aku sudah mulai menjelaskan perubahan yang aku alami selama tiga bulan terakhir. Setelah aku selesai menceritakan semuanya, aku menyesap teh. Teh dingin sekarang terasa lebih pahit dari sebelumnya.

“Saya tidak yakin apakah ini benar-benar perasaan romantis…” kataku.

“Hm, aku mengerti.” Profesor Kudou bersandar ke belakang di sofa, mengangkat dagunya, dan memejamkan matanya.

Dia menyilangkan tangannya di depan dadanya dan mulai berpikir. Hanya jari telunjuk tangan kanannya yang mengetuk ke atas dan ke bawah secara berirama.

“Hm.” Dia membuka matanya dan melihat ke luar jendela. “Sepertinya itu hanya kesalahpahamanmu saja.” Dia bergumam.

…Eh?

“Apa maksudnya itu?”

“Bagaimana jika itu sebenarnya bukan perasaan romantis?”

“Itu …”

… seharusnya mustahil. Mungkinkah perasaan yang membuat dadaku sesak ini adalah sebuah kesalahan?

“Yah, jangan terburu-buru begitu. Kamu harus memikirkannya dengan tempomu sendiri. ” Profesor Kudou mengendurkan lengannya dan mengangkat jari telunjuk kanannya.

Dan kemudian dia mulai menunjuk penampilanku.

Hal pertama yang ditunjukkan Profesor Kudou adalah tentang penampilan luar  dan alasan aku bertindak seperti itu.

“Kamu memakai seragammu hari ini?”

“Ya, karena pihak sekolah menyuruh saya perlu memakai seragam.”

Suisei mungkin tidak terlalu ketat dengan peraturan mereka, tetapi ketika datang ke kampus terbuka dari universitas unggulan yang berfokus pada pekerjaan, aku harus menjaga kode berpakaianku. Dengan kata lain, mereka mendesakku untuk pergi dengan jas atau seragamku, dan karena aku tidak memiliki jas, aku pergi dengan seragam ku yang biasa.

“Aku mendengar tentang penampilanmu yang biasa dari Yomiuri-kun. Bagaimana cara bilangnya hmm ... itu adalah pakaian dengan kekuatan bertarung yang sengit, ya? ”

“Bisa dibilang begitu.”

Jadi konsep fashionku tentang kekuatan bertarung adalah sesuatu yang dia pahami? Bahkan Maaya terkadang kesulitan mengikuti argumenku. Yah, dia tipe orang yang suka mendandani adik laki-lakinya.

“Meski aku tidak tahu apakah itu berfungsi sebagai serangan dua pukulan atau serangan area luas.”

“Apa lelucon semacam itu sedang populer sekarang?”

Aku merasa Asamura-kun pernah mengatakan hal serupa.

“Yah, tidak perlu terpaku pada itu. Bagi sebagian orang, kamu sepertinya cuma bermain-main bila memakai model penampilan seperti itu .”

Argumen Profesor Kudou membuatku mengingat apa yang dikatakan Satou-sensei kemarin. Dia mengkhawatirkanku karena pakaianku yang mencolok. Yah, aku tahu bahwa orang-orang di sekitarku cenderung berpikir aku selalu bermain-main di suatu tempat di Shibuya. Namun, terlalu merepotkan untuk mengoreksi hal itu setiap saat, jadi aku mencoba menghindarinya.

“Namun, gaya itu hanya akting saja, kan?”

“Akting?”

“Maksudku, kemungkinan besar kamu mencoba memamerkan gaya penampilanmu kepada orang-orang di sekitarmu.”

“Ahhh…”

Dia mungkin benar tentang itu. Setidaknya, aku tidak berniat menyembunyikannya. Pandai belajar, tapi tidak bisa tampil modis —Terlihat cantik tapi otaknya kopong—aku tidak ingin mendengar salah satu dari pernyataan itu. Aku tidak ingin kalah di kedua sisi. Kurasa aku pernah menyebutkan ini pada Asamura-kun. Aku menghormati ibuku karena membesarkanku seperti yang dia lakukan, tetapi mengingat penampilan dan catatan akademisnya, orang sering menganggapnya sebagai orang yang tidak perlu dihormati. Aku hanya ingin membungkam orang yang semacam itu.

“Jadi penampilan luarmu secara sadar dibuat seperti ini.”

“Itu benar.”

“Adapun bagaimana kamu bertindak jauh di lubuk hati … Kamu masih kelas 2 SMA, namun kamu datang ke kampus terbuka universitas negeri, itu artinya kamu merupakan orang yang rajin.”

“Saya direkomendasikan untuk ke sini pada pertemuan orang tua-guru yang baru terjadi kemarin.”

“Tidak, tidak, tidak. Bukan itu yang aku maksud. Karaktermu yang memamerkan penampilan luarnya takkan datang ke sini bahkan jika guru di sekolahmu merekomendasikannya padamu.”

Benarkah? Aku merasa seperti ... ada sesuatu yang berbeda di sana.

“Bukan itu masalahnya.”

Saat aku memprotes, Profesor Kudou menelan napasnya, dan menunjukkan ekspresi seperti sedang menikmati dirinya sendiri.

“Kalau begitu tolong, tunjukkan argumen tandinganmu.”

“Saya tidak ingin bertindak sebagai 'Gadis yang cuma bermain-main'. Saya tidak ingin mempermainkan fakta bahwa saya suka bermain-main. Saya hanya ingin menunjukkan kepada orang-orang di sekeliling saya bahwa saya bisa menjadi 'Imut' atau 'Cantik' dengan penampilan luar saya.”

Sama seperti yang Ibu lakukan.

“Oh? Terus?”

“Alasan saya datang ke sini bukan karena saya orang yang rajin, tetapi untuk menunjukkan bahwa saya pintar. Bagian dari itu.”

“Kamu bermaksud mengumumkan ini kepada orang-orang di sekitarmu, itulah sebabnya kamu datang ke sini untuk kampus terbuka?”

“Tidak juga. Saya tidak melakukan itu. Namun, saya hanya berpikir kalau saya mampu meningkatkan derajat hidup saya sendiri dengan datang kemari. Saya ingin membuktikan itu pada diri saya sendiri lebih dari apapun. Bahkan jika saya mengendur melakukan sesuatu, tidak ada jaminan bahwa orang lain akan menyaksikannya, tetapi saya sendiri selalu mengawasi tingkah laku saya sendiri.”

Profesor Kudou dengan cermat memeriksa ekspresiku, mendengarkan pernyataanku dalam diam. Aku merasa seperti akan kalah jika aku memalingkan muka, jadi aku terus menatap tajam padanya. Setelah sedikit waktu berlalu, kami berdua akhirnya mengalihkan pandangan kami. Profesor Kudou meneguk sisa tehnya dan bangkit.

“Begitu, jadi kontradiksi antara penampilan luar dan batin ini diciptakan melalui keinginanmu sendiri. Tapi kamu juga bisa mengatakannya dengan cara yang berbeda.”

“Misalnya?”

“Kamu adalah tipe orang yang tidak ingin menunjukkan semua kelemahanmu kepada orang lain, bukan?”

Tatapan mataku terbuka lebar.

“Dengarkan baik-baik. Kamu baru saja mengatakan sesuatu yang penting. Tindakanmu di luar dan tindakanmu di dalam keduanya mengikuti prinsip yang sama. Poin kuncinya, dalam hal ini, ialah kamu tidak ingin kalah.”

Aku terdiam, hanya mendengarkan apa yang dia katakan.

“Pada dasarnya kamu bertarung selama 24/7. Belum lagi dengan dirimu sendiri. Saat berada di luar, dan bahkan di oasis yang seharusnya, tempat yang bisa disebut rumahamu. Kamu tidak pernah menunjukkan kelemahan apa pun sehingga kamu tidak kalah. Namun, tipe orang seperti ini biasanya haus akan kasih sayang dan pengakuan, dan segera menjadi terikat bila mendapat sedikit dukungan.”

“Terikat…?”

Di dalam kepalaku, aku membayangkan seekor anjing mengibaskan ekornya saat berlari ke arah pemiliknya—Memangnya aku ini, sejenis anak anjing? Dan juga, aku akan mengabaikan fakta bahwa pemilik dalam penglihatanku sebenarnya adalah Asamura-kun.

“Saat melakukan penelitian semacam ini, kamu akan sering menjumpai kasus seperti ini.”

“Kasus macam apa?”

“Saudara tiri, atau orang tua tiri dengan anak tiri. Pada dasarnya orang asing yang tiba-tiba dipaksa untuk hidup bersama. Ketika orang-orang yang haus akan pengakuan dari lawan jenis tiba-tiba mulai hidup bersama dengan seseorang seperti itu, dan memiliki lebih banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan mereka, hal tersebut membuat perasaan romantis lebih mudah berkembang.”

…Jadi aku salah satu dari kasus itu? Untuk sesaat, pikiranku mendidih, tetapi aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.

“Saya keberatan.”

“Oh, silahkan, kenapa kamu merasa keberatan?”

“Bila mengikuti logika itu, pengakuan dari lawan jenis harus dianggap penting untuk pertumbuhan seseorang, dan ketika hal tersebut hilang, lebih dari keinginan alami apa pun, seseorang akan segera mengembangkan perasaan khusus untuk seseorang dari lawan jenis hanya dari hal-hal terkecil—itulah yang ingin anda coba katakan, bukan?”

“Memangnya ada yang salah dengan itu?” Dia mendesakku untuk terus melanjutkan.

“Apakah prasangka semacam itu benar? Jika tidak, maka logika ini tidak tepat untuk zaman modern ini. Hal tersebut sama sekali menyangkal keberadaan pernikahan sesama jenis atau ibu dan ayah tunggal. Menilik dari sudut pandang sejarah, tidak ada jaminan bahwa anak laki-laki atau perempuan akan dibesarkan di tempat dengan anggota lawan jenis yang dekat dengan mereka.”

“Contohnya?”

“Ada pepatah yang mengatakan 'setelah usia 7 tahun, anak laki-laki dan perempuan harus dipisahkan,' bukan?”

“Ya, aku tahu itu. Meski pernyataan itu cukup ketinggalan jaman. ”

“Namun, begitulah hal-hal diajarkan sejak dulu. Itulah mengapa lokasi tertentu seperti sekolah SMA khusus perempuan dengan asrama khusus perempuan—atau universitas wanita—masih ada.”

“Oh.”

Aku pikir aku berhasil mendaratkan satu serangan padanya.

“Dengan logika yang anda ikuti, orang-orang yang dibesarkan di lingkungan semacam ini akan segera menangkap perasaan romantis terhadap lawan jenis hanya dari koneksi dan interaksi terkecil, ‘kan?”

“Ya, ya. Terus?”

Dia benar-benar terlihat seperti sedang bersenang-senang.

“Anda tadi menyebutkannya, tetapi saya ingin melihat hasil penelitian anda dan siapa saja yang menjadi subjek untuk digunakan sebagai dasar pernyataan anda. Jika bukan karena itu, hanya memikirkannya saja tidak ada gunanya. Dan itu juga akan menyangkal lingkungan tempat saya dibesarkan.”

Mengatakan kalau aku menjadi gadis gampangan hanya karena ibuku melakukan yang terbaik untuk membesarkanku sendirian adalah sesuatu yang tidak bisa aku terima mentah-mentah.

“Bagaimana jika instingmu sebagai makhluk hidup membatasi daya nalarmu?”

“Bila memang begitu, saya percaya bahwa kemampuan kita untuk bernalar ada untuk menyesuaikan naluri kita dengan standar masyarakat.”

“Jadi begitu. Sudut pandang seperti itu pasti masuk akal. Jadi?”

“Tanpa dasar pemikiran bahwa perasaan romantis seseorang dapat menjadi tidak stabil hanya karena kurangnya kontak dengan lawan jenis selama pertumbuhannya, itu akan mengubah semua ini menjadi klaim yang tidak valid. Pada saat yang sama, itu hanya akan mengubah klaim tersebut menjadi standar masyarakat zaman dulu bahwa anak-anak membutuhkan kedua orang tua. Saya tidak bisa setuju dengan itu.”

“Jadi maksudmu standar masyarakat modern itu berbeda?”

“Aku ingin meyakini bahwa itulah yang terjadi.”

“Keyakinan sederhana tidak menyelesaikan apa pun.”

“Namun, bahkan jika setiap makhluk hidup memiliki semacam lingkungan esensial, saya mempercayai bahwa mengandalkan ini untuk mengendalikan naluri seseorang akan mengalahkan tujuan di balik penalaran dan kecerdasan. Jika ini terwujud, standar masyarakat harus berubah, dan penerapan moral konvensional yang buta—membiarkan seseorang menggembar-gemborkan tanpa alasan dan mengeluh tanpa berpikir panjang seperti 'Anakmu membutuhkan seorang ayah'—tidak ada artinya. Itulah yang saya pikirkan.” Aku berbicara dengan nada menantang, dan Profesor Kudou, yang berdiri di belakang sofa, dengan tangan condong ke depan, mengangguk.

“Memikirkan argumen semacam ini adalah apa yang kami lakukan—dalam filsafat etika dan moral.”

…! Aku merasa semua tenagaku menghilang dari tubuhku. Jadi begitu rupanya.

“Kamu boleh terus menunjukkan bukti dan membuktikan alasan argumenmu sebanyak yang kamu inginkan. Misalnya, makalah tesis biologi atau psikologi pasti memiliki segudang penelitian yang mendukung hipotesis—Namun, hal tersebut hanyalah tren atau kecenderungan, dan tentu saja tidak menunjuk pada jawaban yang akan membantu kesimpulanmu. Masalah yang kamu hadapi di dalam hatimu adalah sesuatu yang cuma kamu sendiri yang dapat menyelesaikannya.”

“Rasanya seperti anda membuat saya menari di telapak tangan anda.”

Aku duduk bersandar ke sofa, merasa seperti menjadi ubur-ubur di darat. Aku hanya bisa melihat ke langit-langit dan menghela nafas.

“Jadi Yomiuri-senpai mengalami hal semacam ini setiap hari…”

Profesor Kudou juga kembali ke sofa, duduk sendiri—cukup jauh untuk membuat kerutan di setelan merek barunya—tapi dia berkata 'Tidak juga'.

“Mungkin dua atau tiga kali salam seminggu.”

“… Itu masih terlalu sering.”

Aku merasa lelah. Sungguh, sangat lelah. Sampai-sampai aku lebih suka tidak melakukan ini lagi.

“Apa anda tidak merasa kelelahan, Sensei?”

“Entahlah. Sejujurnya, aku tidak bisa mengatakannya. Aku buruk dalam tidak memikirkan hal-hal. Aku memikirkan hal semacam ini sepanjang waktu. Sepanjang waktu, kecuali aku sedang tidur… tapi terkadang bahkan dalam mimpiku juga.”

“Bukankah anda seharusnya beristirahat?”

“Aku tidak bisa istirahat. Aku mencobanya beberapa kali, tetapi aku tidak bisa. Satu-satunya saat pikiranku akan berhenti adalah ketika aku mati untuk selamanya.”

Dia seperti ikan yang akan mati jika tidak bisa berenang. Jadi begitu. Jadi itulah yang dia maksud ketika dia mengatakan dia hanya hidup sebagai peneliti. Semuanya jadi masuk akal.

“Yah, sebelum masuk ke perselisihan lain, ada beberapa saran yang bermaksud baik.”

“Ya?”

“Kamu mengira kalau kamu menyukai Asamura atau siapalah namanya, tapi kapan kamu pernah berbagi hubungan dekat dengan pria lain selain Ia?”

“Ugh ... Yah.”

Satu-satunya laki-laki selain Asamura-kun yang aku kenal adalah ayahku ketika aku masih kecil, meski aku hanya memiliki ingatan samar-sama tentang dirinya. Ada juga sedikit yang aku ketahui tentang ayah tiri dari tiga bulan terakhir ini.

“Kebetulan saja cumah ada satu lawan jenis di sekitarmu, jadi kamu jatuh cinta padanya. Apa kamu bisa merasa yakin mengatakan bahwa ini tidak benar? Yah, aku minta maaf atas cara yang kasar untuk mengungkapkan pertanyaan itu.” Profesor Kudou berkata.

Mengingat seluruh percakapan kami sebelumnya, aku terkejut mendengar dia benar-benar meminta maaf tepat di akhir.

“Bahkan jika anda memberitahu saya hal itu ... saya tidak bisa mengatakannya dengan pasti.”

“Jika demikian, akan lebih baik kalau kamu berinteraksi dengan lebih banyak orang, mengingat usiamu yang masih sangat muda. Ada kemungkinan kamu menemukan anak laki-laki menawan lain yang akhirnya membuatmu tertarik, dan kamu akan melupakan semua kecemasanmu.”

“Dengan orang lain…”

“Kamu tidak harus mendapatkan pacar atau semacamnya. Aku menggunakan kata 'berinteraksi.' Sempitnya sudut pandang merupakan musuh bagi kecerdasan dan kemampuanmu untuk bernalar.”

“Itu benar… saya setuju.”

“Kamu juga bisa mengabaikan semua yang aku katakan tadi. Anggap saja itu bukan sebagai kata-kata seorang profesor filsafat moral, tapi dari orang yang lebih senior dan lebih berpengalaman dalam hidup.” Dia melanjutkan. “Namun, jika kamu berinteraksi dengan laki-laki lain yang menarik, dan perasaanmu sendiri masih tidak berubah sedikit pun, maka pastikan untuk menghargai baik-baik perasaan yang kamu miliki sekarang.” Dia memberiku nasihat terakhir ini, berdiri dari sofa, dan mengulurkan tangannya.

Ketika aku melirik jam di dinding, aku melihat bahwa sudah hampir waktunya untuk kuliah percobaan. Dengan penuh syukur aku menjabat tangannya.

“Itu benar. Terkadang, penting sekali untuk bersikap jujur, Saki-chan.”

“…Sebenarnya, saya lebih suka jika anda memanggil saya Ayase.”

Setelah mendengar apa yang aku katakan, dia membuat ekspresi kecewa yang aneh. Yomiuri-san kemungkinan besar melihat kelelahan di wajahku, karena dia terlihat sangat khawatir ketika datang untuk menjemputku, tapi dia masih memperlakukanku dengan baik dengan sedikit ejekan seperti biasa. Kuliah di kampus terbuka juga sangat menarik.

Temanya adalah cinta antara kakak beradik, menggunakan gagasan moral dan etika yang berubah seiring waktu untuk premis mereka. Fakta bahwa cinta antara saudara tiri tidak dapat diterima secara moral hanya karena moral masyarakat saat ini secara keseluruhan melihatnya seperti itu, tetapi nilai-nilai pribadi tidak, dan tidak seharusnya, memiliki kaitan dengan itu. Moral masyarakat selalu mengalami perubahan, terutama setiap kali kebebasan memilih seseorang berbenturan dengan moral tersebut dalam beberapa hal. Jujur saja, itu adalah topik yang menarik.

Tentu saja, Profesor Kudou yang memberi kuliah. Sambil berjalan dari kiri ke kanan di depan kelas, dia mengisi papan tulis dengan poin-poin penting, berbicara dengan penuh semangat hingga mulutnya berbusa. Sepuluh menit terakhir seharusnya menjadi waktu tanya jawab, tapi tidak ada satu orang pun yang mengangkat tangannya. Terlihat sedikit kecewa, Profesor Kudou meninggalkan ruang kuliah.

Jika aku memiliki lebih banyak energi dan stamina yang tersisa, aku mungkin akan menanyakan beberapa hal padanya, tetapi pada saat ini, aku merasa kelelahan. Suatu hari—dalam waktu dekat, aku ingin bertanya padanya. Aku merasa bisa bertanya padanya.

Untuk saat ini, aku harus mencari orang lain selain Asamura-kun yang bisa menghabiskan waktu bersamaku. Kesempitan sudut pandang adalah musuh bagi kecerdasan dan kemampuan untuk bernalar—Sambil menelaah kata-kata Kudou-sensei, aku berjalan pulang. Saat menuju pulang ke stasiun kereta, angin sepoi-sepoi bertiup di punggungku. Hembusan angin musim gugur seakan mengingatkanku bahwa musim dingin akan segera tiba.

 

 

Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama