Gimai Seikatsu Vol.4 Chapter 10 Bahasa Indonesia

Chapter 10 — 26 September (Sabtu) Asamura Yuuta

 

Seusai menghabiskan sarapan, aku segera meninggalkan rumah dan mengayuh sepeda menyusuri jalan Omotesando. Meski waktunya belum pukul 9 pagi, sudah ada banyak orang keluar berlalu-lalang, dan cukup banyak orang yang berjalan di jalan untuk menyentuh bahu mereka. Ya, berjalan menyusuri jalan Omotesando di akhir pekan seperti ini hanyalah siksaan. Aku tahu bahwa pemikiran ini sendiri membuatku terdengar seperti penyendiri, tapi aku tidak dapat menahan perasaan semacam itu saat mengayuh untuk melewati jalan ini.

Aku tidak merasakan kehadiran khas musim panas di dalam angin yang berhembus ke arahku. Aroma aspal yang terik bahkan tidak mencapai hidungku, dan sensasi mendesis di kulitku terasa lemah dan nyaris tidak ada. Benar saja, musim gugur akan segera datang. Aku memarkir sepedaku di parkiran khusus sepeda dan melihat ke gedung yang berisi sekolah lesku. Kira-kira sudah sebulan sejak aku mulai menghadiri hanya pada hari Sabtu. Nilaiku jelas meningkat setelah kelas tambahan musim panas, seperti yang ditunjukkan pada tes dan ujianku, jadi aku memberi tahu orang tuaku bahwa aku ingin secara resmi menghadiri sekolah les ini dan meyakinkan mereka untuk mengizinkanku melakukannya.

Tentu saja, aku tidak berbohong sama sekali. Namun, alasan terbesarnya ialah karena aku ingin berada di mana saja selain di rumah, semuanya supaya aku bisa melupakan perasaan yang kumiliki untuk Ayase-san. Biaya lesnya menghabiskan cukup banyak dari gaji pekerjaan paruh waktuku, tapi itu adalah pengorbanan yang diperlukan. Aku bukan hanya mencoba lari dari kenyataan. Hasil lain dari keputusanku adalah bahwa nilaiku telah meningkat pesat, dan pilihanku dalam memilih universitas semakin luas jangkauannya. Aku bahkan diberitahu hal itu secara langsung selama pertemuan orang tua-guru tempo hari.

Segera setelah memasuki gedung, aku berhenti sejenak. Biasanya aku akan langsung pergi ke kelas sekarang, tetapi aku berubah pikiran. Aku melihat peta yang menampilkan denah sekolah les dan berjalan ke lokasi yang berbeda dari ruang kelasku yang biasa.

'Ruang belajar mandiri.'

Aku membaca plat yang tergantung di atas pintu. Aku bahkan tidak pernah menyadari bahwa mereka memiliki ruangan semacam ini di sini. Aku membuka pintu dengan tenang. Aku melihat beberapa meja berjejeran dengan sedikit ruang di antaranya, memungkinkan fokus yang tidak terhalang. Yah, bukannya tempat ini juga dipenuhi orang. Seperti yang biasa kamu harapkan. Sekolah les adalah tempat yang biasanya kamu kunjungi untuk menghadiri jam pelajaran dan mendengarkan guru, dan jika kamu ingin belajar sendiri, kamu pasti biasanya akan memilih di perpustakaan, atau bahkan kafe. Walau aku yakin kalau ada banyak siswa yang tidak mengetahui ada ruangan begini.

Saat memeriksa deretan siswa, aku melihat wajah yang familier di bagian paling ujung. Fujinami Musim Panas Berlayar-san, alias dikenal juga sebagai Kaho-san. Untungnya, ada beberapa ruang terbuka di sebelahnya. Karena dia duduk di barisan paling ujung, jadi tidak ada orang lain di belakangnya, jadi kurasa itu memungkinkan fokus yang lebih baik, ya? Dalam apa yang aku anggap kebetulan, Fujinami-san mengangkat kepalanya dan melihatku. Dia kemudian dengan lembut mengangguk dan meletakkan satu jari di bibirnya, memberi isyarat padaku untuk diam, seakan ingin menekankan bahwa tidak boleh ada percakapan pribadi yang diizinkan di ruang belajar mandiri. Yah dari awal, aku tidak ada niatan untuk berbicara dengannya.

Aku duduk di baris terakhir dan mengeluarkan alat belajarku. Karena aku (jelas) tidak punya sesuatu yang dibicarakan dengan Fujinami-san, aku hanya fokus pada buku pelajaranku. Setelah sedikit waktu berlalu dan membuat kemajuan yang baik dengan perkembanganku, aku mengerti betapa nyamannya suasana di dalam ruangan ini. Hembusan A/C secara teratur memberi kami udara sejuk, dan berkat dinding di setiap sisi meja, yang bisa aku lihat hanyalah apa yang ada di mejaku sendiri, hal itu membantuku untuk lebih fokus.

Demikian pula, karena di sini cuma ada siswa yang ingin belajar, aku bisa merasakan diriku merasa jauh lebih termotivasi daripada biasanya. Ini jauh lebih baik daripada ruang perpustakaan atau kafe dengan orang-orang yang terus berjalan mondar-mandir. Berkat konsentrasi yang meningkat, saat berikutnya aku melamun, sudah waktunya makan siang. Perutku menggerutu pelan. Jumlah orang di ruangan itu juga berkurang. Mereka mungkin pergi makan siang. Aku membereskan mejaku dan berdiri, berpikir bahwa aku mungkin juga membeli sesuatu untuk dimakan dari minimarket.

Fujinami-san melakukan hal yang sama, berjalan ke arahku. Aku bingung sejenak, tetapi karena aku tidak mau mengganggu orang-orang di sekitar kami, aku hanya berjalan diam-diam bersamanya ke pintu. Begitu kami melangkah keluar ke lorong, aku mulai angkat bicara.

“Apa kamu juga akan makan siang di luar, Fujinami-san?”

“Ya. Selain itu…”

“Hm?”

“Karena kamu datang jauh-jauh ke kursi yang dekat denganku, aku jadi penasaran apa kamu membutuhkan sesuatu dariku.”

“Ah, yah…”

Bukannya aku tidak punya niatan seperti itu. Sejak aku bertemu dengannya di tempat simulasi golf, aku merasa ingin berbicara lebih banyak dengannya, tapi—

“Aku benar-benar tidak punya urusan mendesak atau semacamnya ..."

“Ah, begitukah?”

“…Yah, jika kamu akan makan siang, mungkin sebaiknya kamu bergegas?”

“Aku berencana makan sesuatu dari minimarket terdekat.”

“Aku juga sama.”

“Kalau begitu ayo beli sesuatu dulu. Kita selalu bisa makan di ruang santai.”

“Kalau dipikir-pikir lagi, aku belum pernah ke sana. Baiklah, kedengarannya bagus.”

“Ya, ayo pergi.”

Menurut penuturan Fujinami-san, ruang santai itu seperti tempat istirahat yang bisa digunakan semua orang di waktu luang mereka. Kamu bahkan diperbolehkan makan dan minum di sana (walaupun mereka melarang ramen, udon, atau hidangan apa pun yang berbau menyengat). Yah, itu mungkin hampir sama dengan ruang istirahat di tempat kerjaku.

Kami membeli makan siang di minimarket yang ada di sebelah sekolah les. Aku membeli beberapa roti isi dan sebotol teh, sementara Fujinami-san meraih onigiri terlebih dahulu, tapi kemudian beralih memilih sandwich buah serta jus sayuran. Kami membawa semuanya ke ruang santai, berhasil menemukan meja kosong, dan makan siang sambil mengobrol. Meski bukannya aku punya banyak topik yang dapat kami bicarakan, jadi kami kehabisan hal untuk didiskusikan dengan cukup cepat.

“Kamu benar-benar tidak punya apa-apa untuk dibicarakan denganku, ya.”

Ketika Fujinami-san mengatakan itu, sejujurnya aku cukup tertekan. Yah, dia benar. Aku sendiri bertanya-tanya apa sebenarnya yang aku lakukan.

“Yah, kurasa begitu.”

“Aku sedang berpikir untuk menolakmu, tahu. Mengatakan sesuatu seperti 'Aku datang ke sini untuk belajar, jadi ini agak berlebihan.'”

Dengan kata lain, dia mengira aku mendekatinya karena aku berusaha PDKT dengannya.

“Niatku bukan begitu. Walaupun aku memang tertarik untuk berbicara denganmu, hanya itu saja. ”

“Bukankah itu ungkapan klise yang biasa kamu gunakan ketika mencoba untuk merayu seseorang? Memberitahu kalau kamu cuma sedikit tertarik pada mereka.”

“… Benarkah?”

“Ya.”

“Benar, aku minta maaf soal itu. Aku tidak bermaksud untuk terlihat seperti itu. Aku benar-benar minta maaf.” Aku menundukkan kepalaku saat meminta maaf.

“Tidak apa-apa. Aku juga tidak menganggapnya seperti itu. Meski aku sudah muak terlihat seperti gadis semacam itu lagi.”

“Gadis semacam itu… Tunggu.”

“Tipe gadis yang gampang didekati. Karena aku tidak pergi ke sekolah pada umumnya, aku tampaknya terlihat seperti tipe gadis yang cuma bermain-main. Yah, fakta bahwa itu tidak sepenuhnya salah membuatku ingin menangis, tapi tetap saja.”

“Kamu tidak sekolah? Ah, maaf, aku tidak bermaksud mencampuri urusan pribadimu.”

“Tidak masalah. Lebih tepatnya, aku tidak bersekolah sampai sore.”

“Sore … Ahh, jadi kamu pergi ke tempat semacam sekolah paruh waktu*?” (TN : Kalau di Indonesia mungkin setara dengan sekolah kejar paket C, yang mana jam pelajarannya enggak full kayak sekolah biasa, CMIIW)

“Karena ini berbeda dari sekolah pada umumnya, banyak orang berpikir aku tidak menganggap serius sekolah. Jadi, Asamura-san, jika kamu mendengar kata 'sekolah paruh waktu', 'gadis', dan 'pergi ke pusat permainan larut malam' dalam satu kalimat, bagaimana menurutmu?”

Kata-kata ini terdengar sangat mirip denganku.

“Aku akan berpikir bahwa seorang gadis yang menghadiri sekolah paruh waktu ingin bersantai di pusat permainan di malam hari, itu saja.”

Dia menyipitkan matanya.

“Kamu serius berpikiran begitu? Kamu takkan memandangku sebagai gadis yang memiliki banyak masalah? Kamu takkan melihatku sebagai gadis yang mudah didekati dan dirayu?”

Jadi begitu rupanya. Itu sebabnya dia berpikir kalau aku sedang berusaha merayunya.

“Maaf. Aku tidak mengenal siapa pun yang dekat denganku yang bersekolah di sekolah dengan sistem seperti itu, jadi begitulah pendapatku. Aku minta maaf jika aku menyinggungmu, tapi aku benar-benar tidak melihatmu seperti itu. ”

“Hmmm. Nah… jika itu benar, maka itu akan menjadi cara pemahaman yang sangat apresiatif. Dan sangat menyenangkan.”

“Aku rasa begitu. Jika ada satu hal yang membuatku penasaran, maka—”

Dan ini cuma prasangka aku.

“Aku penasaran kenapa kamu terlihat sangat menyukai golf, Fujinami-san.”

Matanya terbuka lebar.

“Bagian itu?”

“Maksudku, aku juga tidak menyangkanya, dan mau tak mau aku jadi merasa penasaran tentang itu. Tidak disangka-sangka melihat seorang gadis pergi ke tempat simulasi golf begitu larut malam.”

“Pada dasarnya aku pergi pada waktu tertentu karena mau saja. Waktunya di antara bekerja dan sepulang sekolah. Itulah satu-satunya saat di mana aku benar-benar memiliki kebebasan, jadi tentu saja aku akan pergi.”

“Ya, ketika aku mendengar bahwa kamu menghadiri sekolah paruh waktu, aku juga kurang lebih bisa menebaknya.”

Sistem sekolah paruh waktu ada bagi orang untuk mendapatkan kesempatan pendidikan di samping pekerjaan mereka yang sebenarnya. Jadi, setelah pekerjaannya selesai, dia akan sekolah, yang kemudian akan berlangsung hingga larut malam, dan cuma menyisakan sedikit waktu untuk pergi ke tempat golf itu. Padahal, aku sedikit tidak jelas tentang motifnya di balik itu.

“Masalahnya, keluargaku sangat menikmati golf, jadi aku pikir mereka akan ikutan senang jika aku bisa bermain dengan mereka.”

“Oh wow.”

“Keluargaku sebenarnya tidak terlalu kaya. Namun, orang-orang ini bertemu di UKM golf di universitas, dan mereka masih sering suka bermain bersama. Jika aku bisa bermain lebih baik, lebih baik kami pergi ke lapangan golf, kata mereka.”

“Jadi begitu. Kedengarannya bagus juga.” Aku berkomentar, tetapi aku merasa tidak nyaman ketika dia memanggil keluarganya 'orang-orang ini'.

Tentu saja, aku tidak ingin mengganggu privasinya dengan menanyakan hal semacam itu padanya. Meski, saat dia duduk tepat di depanku seperti ini, tinggi badannya benar-benar menonjol. Tingginya mungkin setidaknya kisaran 180cm. Karena dia mengenakan pakaian sederhana bahkan di hari akhir pekan, dia memberikan perasaan polos. Dia sangat berhati-hati dengan pilihan kata-katanya, dan dia bilang kalau  banyak orang akan melihatnya sebagai sasaran empuk untuk diserang, tetapi jika kamu bertanya kepadaku, dia tampak seperti siswa teladan di Suisei. Aku bisa tahu betapa pintarnya dia hanya dengan berbicara dengannya. Tapi aku juga bisa melihat dua lubang di telinganya, mungkin bekas lubang anting-anting.

 “Yah, fakta bahwa itu tidak sepenuhnya salah membuatku ingin menangis, tapi tetap saja.”

Karena tidak ada apa-apa di dalam lubang itu, aku merasakan rasa tidak nyaman lagi. Mungkin dia memiliki beberapa keadaan khusus.

“Asamura-kun, kamu menjaga pandangan yang adil tentang segalanya, ya?”

“Entah. Aku ingin berpikir bahwa begitulah caraku menangani sesuatu, tapi ...”

Alasanku tidak memiliki pandangan dunia yang dibuat-buat, dan alasanku tidak terlihat terlalu arogan atau narsis, mungkin semua berkat aku membaca banyak buku.

“Begitukah? Secara pribadi, menurutku kamu sangat perhatian ketika berbincang dengan orang lain.”

“Terima kasih. Aku senang kamu merasa seperti itu,” jawabku, dan Fujinami-san menunjukkan senyum tipis.

“Aku selalu berpikir bahwa tidak ada gunanya berbicara dengan siswa lain di sekolah les, tapi berbicara denganmu seperti ini rasanya menyenangkan juga, Asamura-kun.”

“Mungkin.”

“Apa kamu akan datang ke ruang belajar mandiri besok juga?”

“Aku ada kelas pada sore hari Sabtu dan Minggu, tapi aku mungkin bisa datang di pagi hari… kurasa.”

“Kalau begitu mari makan siang bersama lagi.” Nada suaranya dan pilihan ekspresinya terdengar sedikit lebih terbuka dan ramah dari sebelumnya.

“Oke.”

Dia mengumpulkan semua sampahnya dan berdiri. Aku pun mengikutinya, dan kemudian angkat bicara.

“Ngomong-ngomong, ada sesuatu yang membuatku penasaran.”

“Eh… ada apa?”

“Di minimarket tadi, kamu awalnya meraih onigiri tetapi memutuskan untuk tidak mengambilnya. Apa itu karena kamu tidak menyukai isiannya?” Anehnya, saat aku menanyakan pertanyaan santai ini, dia menunjukkan reaksi terkejut.

“Kamu melihat itu?”

“Yah, aku cuma kebetulan melihatnya.”

“Jadi begitu. Maksudku, aku mempertimbangkan untuk membeli onigiri, tetapi pada akhirnya memutuskan untuk tidak membelinya. Bagaimanapun juga, ini adalah onigiri. ”

Apa yang dia maksud dengan itu?

“Rumput laut mungkin akan menempel di gigiku. Itu sebabnya aku tidak melakukannya.”

“Ohh.”

“Pokoknya, sampai jumpa besok!”

Seakan-akan mencoba untuk melarikan diri, dia dengan cepat berjalan kembali ke ruang belajar mandiri. Sambil melihatnya pergi, aku merenungkan sesuatu. Belajar mandiri di pagi hari dan mengikuti pelajaran les di sore hari cukup efisien, bukan?

Sore pun tiba, dan dunia kehilangan banyak panasnya. Aku sekali lagi mengendarai sepedaku dari sekolah les ke toko buku, karena aku memiliki jadwal  kerja hari itu. Aku mengganti seragamku dan masuk ke dalam toko utama, lalu segera menerima permintaan dari manajer toko. Ia memberitahuku untuk menangani meja kasir bersama dengannya. Sungguh kejadian yang langka.

“Baik Yomiuri-kun maupun Ayase-kun tidak ada jadwal kerja hari ini, jadi sepertinya kamu terjebak dengan pak tua ini. Maaf tentang itu ya, Asamamura-kun.”

“Tidak, tidak, tolong jangan bilang seperti itu. Jadi tak satu pun dari mereka memiliki jadwal hari ini, ya? ”

Aku tahu kalau Ayase-san akan libur hari ini, tapi aku tidak mengira kalau Yomiuri-senpai juga ikutan libur.

“Ya, Yomiuri-kun sedang sibuk membantu di kampusnya.”

“Kira-kira apa anda tahu alasannya?”

“Dia mengatakan bahwa hari ini ada acara kampus terbuka.”

“Oh, begitu.”

“Awalnya, dia berencana untuk datang setelah selesai. Aku tidak mendengarnya langsung darinya, tapi dia mengatakan sesuatu seperti 'Ada seorang profesor yang benar-benar membuatku lelah~ Aku tidak bisa mengumpulkan tenaga untuk bekerja bahkan setelah itu!' jika aku mengingatnya dengan benar.”

Pak Manajer, anda tidak perlu meniru suaranya juga kali... Seorang profesor yang membuat Yomiuri-senpai lelah, ya? Pasti orang yang kulihat dengannya bulan lalu di toko pancake itu. Hal ini jadi mengingatkanku, Ayase-san bilang kalau dia akan pergi ke acara kampus terbuka juga, tapi aku tidak tahu kalau acaranya dilaksanakan di hari yang sama. Kebetulan seperti ini benar-benar terjadi, ya? Kemudian lagi, jika kamu ingin menghindari dilaksanakan selama liburan panjang, hari-hari terbaik adalah hari Sabtu, Minggu, dan hari libur lainnya, jadi aku membayangkan sebagian besar universitas mengadakannya pada jangka waktu yang sama.

Menurut pak manajer, kehilangan dua pekerja berbakat akan menurunkan efisiensi secara keseluruhan. Ketika mesin kasir penuh sesak, tidak ada waktu untuk memikirkan hal lain. Jadi, aku dipaksa untuk melalui jam sibuk yang melelahkan bersama beliau. Setelah kembali ke rumah, aku memasuki ruang tamu, dan aku melihat bahwa ada seseorang berada di sana duluan. Aku pikir itu kalau itu adalah Ayahku, dan bukan—

“Selamat datang di rumah, Nii-san.”

“…Aku pulang. Hah? Bagaimana dengan makan malam?”

“Aku belum makan. Kamu juga belum, ‘kan?” Dia bertanya sambil menuangkan sup miso ke dalam mangkuk kecil.

Aku membuka pintu kulkas, lalu mengeluarkan beberapa salad, dan meletakkannya di atas meja bersamaan dengan beberapa saus. Dari instruksi yang akan diberikan Ayase-san pada catatan kecil, tubuhku sudah mulai mengingat setiap detail kecil. Natto, lalu—

“Aku selesai memanggang makarel.”

“Kalau begitu aku akan memarut lobak.”

Karena melakukannya dengan tangan akan memakan waktu, jadi aku memutuskan untuk menggunakan parutan lobak dengan lubang tabung untuk memarut lobak hari ini.

“Mau berapa banyak nasi yang kamu inginkan?"

“Tolong semangkuk kecil saja.”

“Bagaimana dengan minumannya?” Aku bertanya pada Ayase-san sambil mengeluarkan piring dan menyiapkan dua pasang sumpit.

“Aku akan minum teh hangat. Belakangan ini suhunya jadi lebih dingin, sih.”

“Oke.”

Aku memasukkan beberapa daun teh ke dalam teko kecil, menuangkan air panas ke dalamnya dari teko berinsulasi. Semenara menunggu proses penyeduhan selesai, aku menyiapkan dua cangkir teh.

“Terima kasih.”

“Kamu mengurus makanan, dan bahkan menghadiri acara kampus terbuka hari ini, jadi aku bisa mengurus sisanya. Kamu pasti merasa lelah, kan?”

“Tidak sebanyak kamu yang selesai bekerja.”

Setelah menyelesaikan semua persiapan, kami berdua kemudian duduk bersama, menikmati makan malam kami yang sedikit telat. Setelah keheningan singkat berlalu, kami berdua mulai saling bercerita tentang kejadian hari ini. Aku mulai bercerita tentang sekolah les, tentang ruang belajar mandiri yang belum aku ketahui, dan mengenai bagaimana hal tersebut banyak membantu meningkatkan belajarku.

“Hah, jadi sekolah les punya tempat semacam itu?”

“Apa kamu pernah mengunjungi sekolah itu sebelumnya?”

“Tidak pernah. Biayanya agak terlalu mahal.”

Ayase-san kemudian menceritakan pengalamannya selama di kampus terbuka.

“Tunggu, kamu benar-benar bertemu dengan Yomiuri-senpai?!”

Ayase-san mengangguk.

“Tapi kenapa kamu terdengar sangat terkejut?”

“Aku mendengar dari pak manajer kalau Yomiuri-senpai juga sibuk karena ada acara kampus terbuka, itulah sebabnya dia mengambil cuti. Saat itulah aku mengetahui kalau kalian berdua cuti karena alasan yang sama. ”

“Ahhh, jadi itu sebabnya …”

“Jadi, bagaimana rasanya di universitas itu?”

“Aku capek.”

“Apa?”

“Ah, tunggu, bukan itu maksudku. Kampus terbukanya sendiri sangat menarik. Itu membuatku sadar bahwa kamu bisa belajar segala macam hal di universitas… meskipun menyebutnya 'belajar' mungkin tidak sepenuhnya akurat.”

“Aku pikir sekolah atau universitas adalah tempat untuk belajar?”

“Ya, tentang itu… Bagaimana cara menjelaskannya ya? Aku menyadari kalau itu  lebih seperti tempat untuk berpikir. Dan bukan dalam arti bahwa seseorang menyuruhmu untuk memikirkannya, melainkan untuk menemukan proses pemikiranmu sendiri, dan memasukkannya ke dalam kalimatmu sendiri.”

Aku tidak bisa dengan yakin menyatakan bahwa aku segera memahami apa yang dia bicarakan. Tempat yang aku kenal sebagai sekolah dan tempat yang disebut universitas yang Ayase-san gambarkan sepertinya sedikit berbeda.

“Dan ada seorang profesor yang sangat aneh.”

“Aneh dalam hal apa?”

“Hanya itulah yang bisa aku gambarkan … tapi pada akhirnya aku justru melakukan sedikit diskusi dengannya.”

Tunggu ... dia berdiskusi dengan seseorang selama pertemuan pertama mereka? Aku benar-benar terkejut. Ayase-san mungkin seseorang yang terus-menerus memberontak terhadap ketidakadilan dunia, tapi aku tidak pernah mengira dia adalah tipe orang yang benar-benar berdiri berhadapan dengan seseorang dan berdiskusi secara verbal.

“Diskusi menjadi panas, dan aku hampir kelelahan ketika selesai.”

“…Tapi, itu menyenangkan, bukan?” tanyaku, dan mata Ayase-san melebar sebagai tanggapan.

“Hah? Ah, ya… aku… pikir begitu. Kamu bisa tahu? ”

“Kamu memiliki ekspresi yang cukup gembira ketika mengatakan betapa lelahnya kamu, jadi kurasa itu rasanya menyenangkan untukmu.”

“…Begitu, jadi kamu mengetahuinya, ya.” Ayase-san mengalihkan pandangannya, bergumam pada dirinya sendiri.

“Apa kamu tertarik dengan Tsukinomiya sekarang?”

“Aku tidak tahu apakah aku bisa masuk di sana, tapi ... kurasa setidaknya aku akan mencoba yang terbaik untuk mewujudkan itu.”

Jadi begitu ya. Aku senang mendengarnya. Ayase-san mencoba sesuatu yang baru dan bertemu dengan seseorang yang menarik minatnya. Dia berhasil mendapatkan pertemuan baru. Yah, aku tidak bisa mengatakan aku tidak terganggu oleh fakta bahwa ini terjadi tanpa sepengetahuanku, dan dengan seseorang yang tidak aku kenal.

“Jadi, A—Nii-san, apa kamu akan mengunjungi ruang belajar mandiri itu secara teratur?”

“Yah… kurasa begitu. Aku sudah berjanji dengan seseorang untuk pergi ke sana besok juga. ”

“Janji?”

“Hm? Ya, dengan orang yang memberitahuku tentang itu. Dia akan berada di sana besok juga, jadi kami berjanji untuk makan siang bersama lagi.”

“Oh begitu. Bagus untukmu, Nii-san.”

Benar sekali, ini merupakan sesuatu yang baik—untuk kita berdua. Sama seperti Ayase-san memiliki pertemuan yang meningkatkan motivasinya untuk pergi ke universitas, aku juga mengalami pertemuan baru di sekolah lesku, jadi kami berdua membuat kenalan baru. Beginilah seharusnya—bagaimana seharusnya antar saudara berinteraksi.

“Aku tidak bisa memasak makan malam besok,” kata Ayase-san. Dia memberi tahuku tentang kelompok belajar yang dia rencanakan dengan beberapa teman sekelasnya.

“Baiklah. Besok, aku juga akan sibuk, jadi… Kurasa kita bisa membeli makanan yang sudah jadi.”

Aku ada les di sekolah les besok, serta jadwal kerja nanti. Kami berdua memiliki urusan masing-masing, dan jadwal kami tidak akan tumpang tindih sedikit pun. Aku merasa bahwa kami perlahan-lahan sudah menjadi tipikal saudara yang normal pada umumnya.

 

 

Sebelumnya ||  Daftar isi  || Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama