Chapter 11 — 27 September (Minggu) Asamura Yuuta
Rasanya seperti perjuangan
terakhir di musim panas. Pancaran terik matahari yang bersinar langsung ke bumi
membuat suhu naik secara drastis, dan pada saat aku sampai di sekolah les, suhu
udara setidaknya naik menjadi 30°C. Demi menghindari panas ini, aku buru-buru
masuk ke dalam gedung. Setelah pintu otomatis tertutup di belakangku,
memisahkanku dari panas luar, akhirnya aku merasa bisa bernapas. Setelah
menghirup udara sejuk dalam-dalam, aku mulai berjalan.
Aku membuka pintu dengan plat 'Ruang belajar mandiri' tergantung di
atasnya. Meski aku tiba di waktu yang hampir sama dengan kemarin, ruangan
tersebut sudah jauh lebih ramai. Aku melihat sekeliling ruangan dan melihat
Fujinami-san duduk di tempat yang sama seperti kemarin. Untungnya, kursi di
sebelahnya sedang kosong, jadi aku mengambil kesempatan untuk menempatinya. Dia
sudah mengerjakan buku teks dan catatannya untuk sementara waktu, menilai dari
seberapa fokusnya dia.
Secara alami, aku tidak menyapanya.
Aku hanya mengeluarkan peralatan belajarku, dan fokus pada buku latihan fisikaku,
yang membuatku kehilangan beberapa poin dalam ujian UAS terakhir kali, sehingga
nilai akhirku hanya 70 poin. Namun, itu tidak sesuai dengan aku tidak memahami
apa yang mereka ajarkan kepada kami di kelas —pikirku. Dengan asumsi semua
pernilaian yang adil, mencapai poin 70% seperti itu merupakan pencapaian yang
sangat bagus.
Walau begitu, aku merasa kesulitan
menemukan rumus yang tepat untuk menghitung soal ini. Fenomena fisik yang
diajarkan di sekolah menengah sebagian besar adalah hal yang dapat kamu
bayangkan saat membaca buku, dan aku mencoba yang terbaik untuk mengingatnya
sebelum mencapai kelas yang dimaksud. Aku terus tertinggal dalam hal kecepatan
dalam hal melakukan perhitungan.
Sekarang… Hmm, tuliskan
kecepatan akselerasi yang dialami suatu benda di lereng licin ya? Biasanya, dan
tidak hanya terbatas pada fisika, saran paling umum dalam soal ujian adalah
membaca soal terlebih dahulu dengan cermat. Misalnya, yang menonjol adalah
ungkapan 'Lereng licin'. Dengan kata
lain, ini adalah kemiringan di mana kamu tidak perlu mempertimbangkan gaya
gesekan.
Alasan mengapa kotak karton
biasa, ketika diletakkan di puncak bukit, tidak meluncur ke bawah seperti balok
es adalah karena adanya gaya gesek antara tanah dan kotak. Namun, rata-rata
soal fisika SMA biasanya tidak mengikuti pendekatan pragmatis seperti itu.
Secara spontan, aku mulai berpikir tentang bagaimana ini akan terjadi di
universitas. Lalu perkataan Ayase-san dari kemarin melayang-layang di
pikiranku.
‘Dan
bukan dalam arti bahwa seseorang menyuruhmu untuk memikirkannya, melainkan
untuk menemukan proses pemikiranmu sendiri, dan memasukkannya ke dalam
kalimatmu sendiri.’
Dengan kata lain, saat menghadiri
kuliah, kamu menciptakan masalah yang kemudian harus kamu selesaikan sendiri.
Misalnya, bagaimana jika lereng ini benar-benar mengalami gesekan? Bagaimana
jika kemiringan ini bahkan tidak ada di planet seperti bumi? Jujur saja, kedengarannya
cukup menyenangkan. Oh ya, kira-kira hal seperti itu ada dalam novel fiksi
ilmiah yang aku baca. Jika hal seperti ini terjadi di permukaan bulan, hampir
tidak ada gravitasi yang bisa diukur, dan bahkan setetes air mengalir di kulitmu
jauh lebih lambat daripada di bumi. Astaga, aku bahkan tidak bisa membayangkan
seperti apa adegan mandi jika dianimasikan… Akselerasi, ya. Kembali ke soal akselerasi.
um…
Aku mendengar suara pensil
mencoret-coret di atas kertas, diikuti oleh suara kertas dibalik. Setiap kali aku
menyelesaikan pertanyaan dan membalik halaman, hampir seolah-olah menanggapi
kesuksesanku, orang lain juga ikut membalik halaman mereka. Rasanya seperti
semacam kompetisi. Perasaan solidaritas yang aneh memenuhi diriku dan membuatku
menyeringai.
Namun, aku masih terus menjawab
soalku dalam diam, dengan Fujinami-san di sebelahku. Tiba-tiba, aku mendengar
suara geser, dan saat mengangkat kepala, Fujinami-san telah bangkit dari tempat
duduknya dan melihat ke arahku. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia meraih
tasnya dan menunjuk ke arah pintu.
…Hah? Apa sudah waktunya? Aku
sedikit panik dan memeriksa smartphone-ku, dan aku melihat bahwa waktunya sudah
lewat pukul 12. Aku sangat fokus sehingga waktu makan siang telah tiba tanpa aku
sadari. Setelah melangkah ke arah lorong, Fujinami-san angkat bicara.
“Ayo makan siang di restoran
keluarga hari ini.”
“Restoran keluarga?”
“Aku tahu tempat yang tidak
menguras isi dompet. Bagaimana?”
“Tidak masalah …”
Makan di suatu tempat
seharusnya tidak ada salahnya untuk sesekali.
“Kalau begitu mari pergi.”
Saat kami keluar dari gedung,
panas luar ruangan langsung menerpa kami dengan kekuatan penuh.
“Hari ini panas sekali, ya.”
“Yah, karena sebentar lagi
musim gugur, aku yakin kalau panas yang menyesakkan ini cuma berlangsung
beberapa saat.”
Saat mengobrol tentang cuaca,
kami berdua sampai di restoran keluarga yang dimaksud. Seperti yang dikatakan
Fujinami-san, itu adalah tempat yang sering dikunjungi siswa lain karena harganya
yang cukup murah dan ramah untuk dompet. Sebuah restoran ritel makanan Italia.
Setelah melewati interior
restoran yang sejuk, Fujinami-san dan aku duduk di area kotak kecil yang dekat
jendela, saling berhadapan. Karena kami
tidak bisa membuang banyak waktu, kami berdua segera memesan. Aku memilih carbonara sederhana, sedangkan
Fujinami-san memilih peperoncino.
“Aku suka makan makanan pedas
dengan banyak minyak zaitun di dalamnya.”
“Aku biasanya menikmati makanan
pedas, tapi… aku belajar terlalu keras hari ini, jadi aku merasa lapar.”
“Lagipula, kamu bahkan tidak
menyadarinya.”
“Menyadari apa, tepatnya?”
“Sebelumnya, aku melihat ke
arah Asamura-kun sebentar… dan aku menunggu sampai kamu menyadarinya.”
Jadi itulah yang terjadi tadi?
Kupikir aku ditarik kembali ke dunia nyata karena suara kursinya yang bergerak,
tapi mungkin aku hanya merasakan tatapannya padaku?
“Padahal kamu bisa saja
mengatakan sesuatu.”
“Aku tidak ingin mengganggu siswa
lain.”
“Oh ya, mengapa kamu memutuskan
untuk datang ke restoran keluarga ini hari ini?”
“Saat aku melihatmu, aku
merasakan suatu dorongan. Aku ingin berbicara denganmu. Tapi karena ada banyak
orang di sekitar kita di ruang tunggu. Ah, aku akan mengambilkan air untuk kita
berdua. Tempat ini memiliki layanan minuman ambil sendiri.”
“Kalau begitu, aku akan pergi
juga.”
“Tidak, kamu bisa tinggal di sini.”
“Setidaknya aku akan membawa
bagianku sendiri.”
Kami membahas ini bolak-balik
untuk sesaat tetapi akhirnya pergi bersama. Dengan handuk basah dan air di
tangan, kami kembali ke meja kami. Beberapa saat kemudian, kami juga menerima pesanan
makanan kami. Fujinami-san pergi ke depan dan menaruh banyak minyak zaitun,
yang ada di meja restoran sebagai bumbu, di makanannya. Dia melakukan hal yang
sama dengan lada hitam. Sambil menggunakan garpu, dia mengambil pasta dan mulai
makan. Sepertinya dia sudah terbiasa dengan makanan seperti ini. Mungkin dia
sering ke sini?
Tetap saja, kira-kira apa yang
membuat Fujinami-san begitu penasaran sehingga dia menatapku kembali di ruang
belajar mandiri. Mungkin aku melakukan sesuatu yang aneh? Oh, benar, aku juga
perlu melakukan yang terbaik untuk membantu hubungan ini tumbuh.
“Katakan, Fujinami-san, apa
kamu membaca buku?”
“Membaca buku? Yah, aku tidak
membencinya.”
Sungguh respon yang aneh.
“Jadi itu artinya … kamu juga
tidak terlalu menyukainya?”
“Ah. Yah, tidak juga sih. Aku
memang suka membaca buku, tetapi jika menyangkut hiburanku sendiri, aku
biasanya melihat dari segi biaya yang dikeluarkan. Aku pikir aku sudah pernah
menyebutkannya, tapi aku tidak punya banyak uang untuk dihamburkan, jadi sulit
bagiku untuk benar-benar fokus pada hobi seperti itu.”
“Jadi begitu…”
“Misalnya saja tempat golf itu.
Pada malam di hari-hari biasa, aku bisa berlatih sebanyak sepuasnya dengan
biaya yang setara dengan nilai dua buku paperback,
jadi itu terasa jauh lebih sepadan bagiku.”
Belum lagi dia akan membuat
keluarganya bahagia jika dia menjadi lebih baik dalam hal itu.
“Buku apa yang kamu baca,
Asamura-kun?”
“Um… Yah, apa saja yang menarik
minatku. Aku beralih dari sastra populer hingga ke novel luar negeri, dan
bahkan fiksi ilmiah atau novel ringan.”
“Novel ringan? Itu bukan genre,
‘kan?”
Aku tersenyum. Tentu saja dia mengetahui
itu.
“Yah, kamu memang tidak salah.
Ada fiksi ilmiah, cerita misteri, serpihan kehidupan, aksi, dan bahkan
kadang-kadang olahraga… Ini bukan genre, kurasa. Sebelum kita lahir, buku
semacam itu disebut novel remaja.”
“Benarkah?”
“Remaja dalam konteks ini
berarti 'Ditargetkan pada laki-laki dan
perempuan muda', pikirku.”
Dengan kata lain, apa pun yang
ditujukan untuk penonton seusia kita dianggap remaja. Novel ringan, dalam konteks
ini, adalah novel yang mudah dibaca dan ditujukan untuk kalangan yang lebih
muda—atau begitulah yang pernah aku dengar.
“Jika kamu menyukai fiksi
ilmiah, apa itu berarti kamu pandai
fisika?”
“Aku takkan berani bilang begitu.
Yang ada justru, aku terkadang merasa kesulitan dengan pelajaran itu. ”
“Benarkah? Tapi mata pelajaran
yang kamu kerjakan pagi ini adalah fisika, bukan? Mengingat kamu begitu cepat
dalam mengerjakannya, aku mengira kamu cukup pandai dalam hal itu.”
Aku terkejut mendengarnya. Dia
sepertinya memperhatikanku dengan cukup cermat.
“Yah, setidaknya aku suka genre
itu.”
“Apa kamu pernah membaca novel
bagus akhir-akhir ini?”
Setelah berpikir sebentar, aku
memberitahunya tentang novel fiksi ilmiah yang aku baca. Ini adalah satu set
yang diterjemahkan di masa depan yang jauh ketika perjalanan ke ruang angkasa
menjadi hal yang lumrah . Rupanya bahkan presiden Amerika telah membaca novel
ini sebelumnya. Yah, bukan berarti kalau ada orang lain yang membacanya akan
meningkatkan kesenanganku sendiri, tapi rasanya terlihat keren saat bagaimana
negara dan budaya lain bereaksi terhadapnya.
“Aku pernah melihatnya di toko
buku, tapi itu versi hardcover, jadi aku tidak mampu membelinya…”
“Ya, itu masuk akal.”
Ini sebenarnya novel yang direkomendasikan
Yomiuri-senpai kepadaku. Jika bukan karena itu, aku juga takkan menggunakan
gajiku untuk membeli hardcover yang mahal.
“Apa ada sesuatu yang sedikit
lebih mudah untuk dibeli?”
“Mungkin yang baru-baru ini menjadi
film? Buku versi paperback, dan ini adalah kisah tentang seekor kucing yang
mencari musim panas.”
“Ah, ya, aku sedang membacanya.
Ini awalnya novel fiksi ilmiah luar negeri klasik, ya? Bahkan aku tahu tentang
yang satu itu. Kucingnya juga sangat imut. Aku menonton trailer untuk film
tersebut, dan kucingnya juga sangat imut.”
Dia mengatakan 'imut' sampai dua kali. Kurasa dia suka
kucing.
“Ngomong-ngomong soal kucing,
ada juga cerita tentang kucing yang meninggal.”
“Ya…”
Mulai dari situ, kami mulai
berbicara tentang buku yang bertemakan kucing. Oh ya, Yomiuri-senpai sebenarnya
suka novel misteri dengan detektif kucing itu. Aku memberitahu Fujinami-san
mengenai hal itu. Dia bertanya kepadaku apakah itu menarik, dan meski aku hanya
membaca pratinjaunya, aku memberitahunya bahwa novel itu setidaknya terdengar
menjanjikan. Novel itu bercerita tentang kucing yang lebih pintar dari manusia
mana pun yang membantu orang memecahkan kejahatan, jadi tentu saja ini cukup
menarik. Ketika aku mengatakan hal itu padanya, dia tampaknya sangat tertarik.
Minat kami terhadap buku cukup
selaras, dan sudut pandang kami dalam banyak hal juga sangat mirip. Rasanya
nyaman bagiku, seakan-akan aku sedang berbicara dengan Ayase-san. Memikirkan
tentang bagaimana mengenal orang baru tidak seburuk yang aku duga, aku kemudian
dengan santai melirik ke luar jendela.
—Aku
kebetulan melihat Ayase-san. Dia berdiri di depan minimarket dan
berusaha menghindari sinar matahari, dia dengan riang berbicara dengan seorang
cowok. Kenapa dia ada di sini? Dan siapa anak cowok yang bersamanya itu? Aku
segera mengalihkan pandanganku dari jendela. Meskipun sulit untuk membedakannya
dari kejauhan, wajah cowok itu terasa tidak asing. Aku pikir Ayase-san
menyebutkan kalau dia mengikuti kelompok belajar dengan beberapa orang. Aku
ingin tahu apa yang mereka lakukan di sana? Kenapa cuma ada mereka berdua? Di
mana teman sekelasnya yang lain?
“… Haaaa.”
Aku mendengar desahan dan
mengangkat kepalaku.
“Ah ... maaf, apa yang barusan
tadi kita bicarakan?”
“Um, kami tidak membicarakan
apapun."
Ugh… rasanya canggung sekali.
Aku tidak bisa mengatakan padanya kalau aku merasa sedikit terganggu oleh
Ayase-san yang berada di luar jendela.
“Begitu, yah… Um…”
“Kamu tidak perlu memaksakan
diri untuk mencoba dan menemukan sesuatu untuk dibicarakan. Yah, sebenarnya aku
penasaran dengan hal itu. Maksudku, aku tiba-tiba mengungkit ruang belajar
mandiri di tempat golf, tapi kemarin, ketika kamu datang ke ruangan itu, kamu
terlihat seperti…” Dia ragu-ragu sejenak dan membuat ekspresi tidak pasti.
“Kamu seperti sedang melarikan diri dari sesuatu.”
…Melarikan diri? Saat dia
mengatakan itu, dadaku terasa sesak.
“Apa aku terlihat seperti itu
di matamu?”
“Ya.” Ucap Fujinami-san dengan
tegas, dan sepertinya sorot matanya sedikit berubah.
Matanya yang hitam kecoklatan
seolah-olah menatap langsung ke jiwaku. Rasanya seperti dia sedang melakukan
pemindaian MRI padaku.
“Wajahmu saat itu terasa terlalu familiar bagiku, itulah sebabnya aku tidak bisa menahan rasa penasaran. Karena kamu sebenarnya belajar di ruangan itu, aku menyadari bahwa kamu adalah orang yang rajin. Jadi, jika kamu bukan mencoba untuk melakukan PDKT denganku, kupikir kamu sedang berusaha melarikan diri dari sesuatu, atau seseorang.”
“Mungkin…”
Aku pribadi tidak punya niatan
untuk begitu, tapi setelah dia mengatakan semua itu, aku mendapati diriku tidak
dapat menyangkalnya. Aku mengambil langkah maju, mencari hubungan dan koneksi
baru ... atau begitulah yang kukatakan pada diriku sendiri, tapi mungkin aku
hanya berpura-pura menerima kenyataan dan melarikan diri. Jika demikian, maka aku
pasti sudah berlaku sangat kasar padanya. Lagipula, aku memperlakukan
Fujinami-san sebagai tempat pelarian.
“Maaf.”
“Kamu tidak perlu meminta maaf
segala. Kamu bahkan tidak melakukan kesalahan apa-apa. Belum lagi, aku mengerti
bagaimana perasaanmu.”
Aku penasaran apa sebenarnya
yang dia maksud dengan itu.
“Aku punya pengalaman mencari
orang lain demi melarikan diri dari kenyataan… Ah, maaf, boleh aku memesan
puding? Puding di sini sangat enak.” Dia berkata dan mengambil tablet untuk
memesan.
“Ini adalah satu-satunya hal
yang aku nantikan. Kemewahan kecil yang aku rasakan dengan gaji kecilku. Bahkan
sampai aku rela memakan kotak makan siang setiap hari. Namun, dengan
mempertimbangkan kelelahan dari pekerjaan, tidur yang cukup juga penting. Jika aku
bilang kalau aku makan di luar, itu akan mengurangi ketegangan. ”
Mengurangi ketegangan … untuk
siapa? Aku hendak bertanya tapi kembali ingat. Baru kemarin, saat aku bertanya
apakah dia sedang berlatih golf, dia berkata bahwa dia ingin melihat-lihat
lapangan golf bersama keluarganya. Namun, dia menyebut keluarganya dengan 'orang-orang ini'. Aku mengingatnya
dengan jelas karena ada sesuatu yang tidak beres dengan itu.
Cara ungkapan ini terdengar
sangat acuh, mungkin menunjukkan bahwa dia tidak terlalu dekat dengan orang
tuanya. Tapi dia juga sepenuhnya tidak membenci mereka. Rasanya lebih seperti ...
dia merasa sungkan tentang hal itu? Ketika aku mempertimbangkan hal tersebut, aku
menyadari bahwa itu mungkin mirip dengan apa yang kurasakan terhadap Akiko-san.
Mungkin 'orang-orang ini' akan
memaksa diri mereka untuk menyiapkan kotak makan siang untuknya, sama seperti
Akiko-san ingin memaksa dirinya untuk menghadiri pertemuan orang tua-guru untuk
Ayase-san dan aku. Jadi dia tidak ingin orang tuanya melakukan itu, tapi dia
juga tidak mampu membuat kotak makan siang untuk dirinya sendiri.
Itu sebabnya dia memberitahu
mereka bahwa dia akan makan di luar, dan itulah sebabnya dia menjadi pelanggan
tetap di restoran ini. Dia segera mengambil puding yang dia pesan, menjejali
pipinya sambil menyipitkan matanya seperti kucing yang bahagia. Pada saat itu,
Fujinami-san yang tinggi tampak seperti anak kucing kecil.
“Mmm, rasa kebahagiaan~
Semuanya cuma seharga setengah dari koin 500 yen.”
Mengetahui betapa terpakunya
dia pada pengeluaran biaya, kata-kata ini tampak sangat sesuai dengannya.
Setelah dia selesai makan puding, dia tiba-tiba memperbaiki posturnya.
“Jadi, kembali ke topik kita
tadi … Apa yang kamu hindari, apa itu mungkin terkait dengan cinta?” Karena dia
bertanya padaku dengan tatapan lurus, aku tidak bisa bertele-tele.
“Bagaimana kamu—?”
“Bagaimana aku bisa tahu?
Karena kamu mencari seorang gadis sebagai pelarianmu, aku cuma menebaknya saja.
Itu cukup sering terjadi, bukan? Karena cintamu hanya bertepuk sebelah tangan,
kamu mati-matian mencari yang baru untuk mengalihkan perhatianmu.”
“Bukannya itu pada dasarnya
sama dengan melakukan PDKT?”
“Jika kamu melakukannya dengan
sengaja, ya. Namun, tidak banyak orang yang sadar bahwa mereka berusaha
melarikan diri dari sesuatu. Mereka hanya sadar bahwa mereka menghindari
sesuatu atau seseorang, yang hanya membuat mereka lebih tertekan. Yah, jika kamu
mengikuti proses pemikiran ini, kamu akhirnya akan menyadarinya, aku yakin.”
Dia tersenyum, yang mana ucapannya terasa lebih menyakitkan daripada jika dia
hanya menyalahkanku untuk itu.
“Aku benar-benar bukan seperti itu.”
Kupikir Ayase-san selalu sangat
cuek terhadap orang lain, tapi Fujinami-san lebih dari itu. Aku selalu merasa
mirip dengan Ayase-san dengan betapa dinginnya dia. Bukannya dia tidak memiliki
harapan apa pun dari orang lain. Lebih tepatnya, dia mempertahankan sikap di
mana dia tidak memiliki harapan dari lawan jenis. Dia tidak suka penjelasan
atas penjelasan yang diberikan padanya, dan dia tidak pernah berusaha mencapai
kesamaan dengan siapa pun.
Selama pertemuan pertama kami,
Ayase-san mengatakan hal ini untuk menyaring kepribadian asliku, dan aku
menyangkalnya. Ketika aku melihatnya hanya tersenyum tanpa marah, aku tahu dia
sama denganku. Tapi senyum Fujinami-san sekarang berbeda. Dia jelas-jelas
mencelaku.
“…Kamu tahu, aku jatuh cinta
pada seseorang yang seharusnya tidak boleh aku cintai.”
“Sangat klise.”
“Dan balasanmu tepat menikamku
di tempat yang menyakitkan.”
“Kamu sepertinya ingin aku menikammu,
jadi aku melakukannya.”
Tanpa sadar aku menyentuh
pipiku… Serius? Ah, sepertinya begitu. Fujinami-san menyalahkanku. Ekspresinya
menyerupai seorang dokter yang siap menusukkan pisau bedahnya ke pasien. 'Di sinilah bagian burukmu, jadi aku
membuangnya'—sesuatu seperti itu. Maksudku, aku hanya melihat wajah seorang
dokter selama operasi di drama TV dan sebagainya, tetapi jika itu adalah
seorang dokter profesional yang tidak membuat kesalahan, mereka akan memiliki ekspresi
dingin dan rasional seperti ini, tidak diragukan lagi.
“Jika aku memprioritaskan
perasaan egoisku sendiri, hal itu akan menyakiti keluargaku. Aku benar-benar harus
melupakan perasaan ini, tapi sepertinya hal tersebut tidak berhasil sama
sekali...”
“Kedengarannya cukup serius,
jadi begitu rupanya.”
Aku sendiri hanya bisa menunjukkan
senyum masam. Kurasa itu sangat serius bagiku. Fujinami-san menyilangkan
tangannya, mengamatiku dari dekat sambil menggumamkan 'Hmmmm.'
“Apa kamu punya waktu hari ini setelah
selesai pelajaran lesmu?”
“Aku punya giliran kerja.”
“Kalau begitu mari kita bertemu
setelah itu.”
“Aku tidak keberatan, tapi…
bolehkah aku bertanya kenapa?”
“Ayo bersenang-senang, oke? Kamu
pasti takkan menyesalinya.”
Sejujurnya, karena aku baru saja
jalan-jalan malam bersama Yomiuri-senpai… sebenarnya, aku tidak terlalu
terganggu dengan itu. Aku merasa ragu-ragu, berpikir untuk menolak ajakannya,
tapi kemudian pemandangan Ayase-san dan teman sekelasnya yang cowok itu kembali
terlintas di pikiranku. Perasaan suram dan kabur dari dalam dadaku mencapai ke
tenggorokanku dan membuatku tidak bisa berkata apa-apa.
“Jika kamu membutuhkan alasan,
maka kamu bisa menggunakanku sebagai tempat untuk melarikan diri dari kenyataan.
Bagaimana menurutmu?”
“…Sekarang aku tidak punya
alasan untuk menolaknya.”
“Bagus. Sudah diputuskan kalau
begitu. ”
Kami bertukar ID LINE dan
kembali ke sekolah les.
Pada saat jam kerjaku selesai,
waktunya sudah jam 9 malam. Meski begitu, jalanan Shibuya tetap ramai seperti
biasanya. Bayangan pejalan kaki menari sepanjang malam, diterangi oleh lampu
jalan. Fujinami-san dan aku berjanji untuk bertemu—bukan di patung Hachiko yang
terkenal, melainkan tepat di depan toko buku tempatku bekerja, hanya melewati
persimpangan di dekat patung itu.
“Maaf sudah membuatmu menunggu.”
ucapku.
Meski kami sudah memutuskan
waktu dan lokasi, kurasa aku tidak membuatnya menunggu selama itu.
“Aku sendiri baru sampai di
sini.” Fujinami-san menjawab.
“Jadi kita mau kemana?”
“Tidak perlu terburu-buru.
Malam masih sangat panjang.”
“Aku tidak berencana untuk
begadang, oke?” kataku dengan nada tegas.
Fujinami-san tertawa
terbahak-bahak, dia lalu memberitahuku kalau dia cuma meledekku saja.
“Jadi kamu bekerja paruh waktu
di sini, Asamura-kun?”
“Ah, ya. Kamu cukup sering
datang sebagai pelanggan, bukan? ”
“Ya. Kamu bisa saja
memberitahuku. ”
Aku tidak bermaksud
menyembunyikannya, tetapi kami berdua tidak cukup dekat untuk membuatku berbagi
informasi itu.
“Aku sering datang ke sini
sebelum bekerja, tepat setelah mereka buka toko.”
“Ahh, itu sebabnya aku belum
pernah melihatmu meskipun kamu biasa berkunjung sebagai pelanggan.”
Semuanya jadi masuk akal.
Lagipula, dia akan selalu datang ketika aku di sekolah.
“Jadi kenapa kita tidak jalan-jalan
sebentar? Aku takkan membawamu ke tempat berbahaya, jadi kamu tidak perlu
terlalu waspada begitu.”
“Aku bersyukur untuk itu. Aku
tidak terlalu percaya diri dengan kekuatan fisikku.”
“Kejujuranmu sangat dihargai,”
kata Fujinami-san dan mulai berjalan di depanku.
Dari pusat kota, kami kembali
ke area stasiun kereta. Dan kemudian, tur malam di Shibuya bersama Fujinami Kaho dimulai.
“Untuk anak SMA yang sehat dan
energik seperti Asamura-kun, hal seperti karaoke mungkin cukup umum untukmu,
bukan?”
Jadi pergi karaoke dianggap sehat?
Jika demikian, lalu ke mana perginya semua anak SMA berandal di zaman sekarang
kalau ingin menghabiskan waktu mereka?
“Hmm, aku bukan orang yang
biasa pergi karaoke.”
Aku biasanya pergi setiap tiga
bulan sekali dengan Maru. Alasannya karena Maru ingin melatih semua lagu anime
untuk anime yang sedang tayang. Ia akan menghafal liriknya dulu, dan kemudian
membiarkan aku mendengarkannya untuk melihat apakah kedengarannya sudah benar. Padahal,
Maru sebenarnya cukup berbakat untuk nyanyi. Belum lagi Ia punya volume suara
untuk mendukungnya. Kurasa Ia sudah terbiasa berteriak sesekali selama
pertandingan bisbolnya.
“Sungguh murid teladan sekali.
Lalu bagaimana dengan tempat yang di sebalah sana? Pernah mencobanya?”
Aku melihat ke seberang jalan,
melihat sebuah bangunan hitam yang diterangi oleh lampu-lampu terang.
“Tempat bowling?”
“Bukan hanya itu. Di sana adalah
fasilitas hiburan gabungan, kurasa. Bowling, biliar, karaoke, tenis meja, dan
bahkan pusat gim.”
Kami berdua lalu berjalan ke
sana, dan ternyata itu adalah bangunan yang sering aku lewati beberapa kali tapi
tidak pernah kumasuki.
“Tempat yang lumayan besar.”
“Dan juga sangat aman.
Omong-omong, dulu, bowling dan biliar dianggap sebagai kesenangan orang dewasa.
Bowling berkembang pesat di tahun 70-an, dan biliar di tahun 80-an.”
“Tunggu, tunggu sebentar.”
Aku dipaksa untuk memilah
pikiranku.
“Itu hampir membuatnya setengah
abad yang lalu. Orang-orang yang memainkannya selama waktu itu bahkan lebih tua
dari orang tuaku.”
“Pastinya. Aku lahir di abad
ke-21, jadi orang-orang semacam itu berasal dari generasi kakek-nenekku.
Fasilitas ini sendiri masih baru, dan karena dekat dengan stasiun kereta, jadi
mudah diingat. Tempat ini bahkan masih buka sampai kereta pertama keesokan
paginya, jadi kamu bisa bermalam di sana jika ketinggalan kereta terakhir.”
Apa ini berarti dia pernah
menginap di tempat itu sebelumnya?
“Aku akan mencoba
mengingatnya.”
Meski informasi tersebut tidak
terlalu penting buatku, karena aku bisa mencapai rumahku baik setelah berjalan
kaki singkat atau dengan mengendarai sepedaku. Setelah itu, kami kembali ke
stasiun kereta, menuju Shibuya Hikarie*. Saat ini pukul 21:27. Restoran sushi
dan warung kari masih menghasilkan uang seperti biasa, tidak kekurangan
pelanggan sama sekali. Sebelum Ayahku menikah lagi dan Keluarga Ayase pindah
bersama kami, aku pernah makan malam di tempat ini saat dalam perjalanan
pulang. (TN :
gedung pencakar langit Tokyo dan kompleks ritel)
Dalam konteks itu, itu mungkin
pemandangan yang familiar bagiku, tapi Fujinami-san memberitahuku tentang
segala macam tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya.
“Asamura-kun adalah siswa SMA,
jadi hal terbaik yang bisa kulakukan adalah menunjukkan bagian luar bar dan
klub…”
“Bukannya kamu sebaya denganku,
Fujinami-san?”
“Mungkin saja, tapi pengalaman hidup
yang kita alami benar-benar berbeda, Asamura-kun.”
Dia terdengar seperti karakter
utama dari sebuah cerita yang telah melalui beberapa cobaan kehidupan. Aku takkan
pernah membayangkan untuk benar-benar mendengar ungkapan semacam ini dalam
kenyataan.
“Sesuatu seperti itu.”
Saat kami berjalan di sekitar
stasiun kereta (pada dasarnya melewati dari gerbang Timur ke gerbang Selatan),
Fujinami-san tidak mengikuti jalan Tamagawa, melainkan berjalan menyusuri gang
kecil.
“Ketika kamu tinggal di
Shibuya, Kamu cenderung melupakan keheningan malam. Di daerah pinggiran, begitu
jam 7 malam tiba, bahkan distrik hiburan di kebanyakan kota akan menjadi
gelap.”
“Apa kamu pernah pergi ke
sana?”
“Terkadang, kamu pasti ingin
mengunjungi tempat di mana tidak ada yang mengenalmu, kan?”
Bukannya aku tidak memahami perkataannya.
Jika kamu bertanya apa aku pernah melakukan hal seperti itu, paling banter
hanyalah menendang kaleng kosong di taman umum saat larut malam. Yang paling
menjernihkan perasaanku adalah membuang kaleng-kaleng di wadah kecil di sebelah
mesin penjual otomatis dengan benar.
“Kamu tidak melakukan hal
buruk, jadi kupikir kamu harus lebih percaya diri tentang dirimu sendiri.”
“Mungkin itu menunjukkan kalau
aku tidak punya nyali saja?”
“Bahkan jika kamu mempunyai
nyali untuk bertindak tidak bermoral atau melakukan kejahatan, keberanian
semacam itu takkan membantumu dalam hidup. Ah, di sini. Jika kamu menyukai
buku, sebaiknya kamu mengingat tempat ini.” Tutur Fujinami-san, berdiri di
depan gedung rata-rata tiga lantai.
“Tempat apa ini?”
“Ruang perpustakaan.”
“Hah?”
“Atau begitulah mereka
menyebutnya, tapi ini merupakan tempat di mana kamu juga bisa minum alkohol.
Tempat yang memperbolehkanmu membaca buku sambil menikmati minuman, jadi tempat
ini populer di kalangan pecinta buku dan penikmat alkohol. Setelah kamu lulus
dan menjadi dewasa, aku sarankan sesekali melihatnya. ”
“…Aku benci menanyakan hal yang
sama lagi, tapi kamu masih di bawah umur, kan, Fujinami-san?”
“Tentu saja. Aku hanya mengetahuinya,
cuma itu saja.”
Meski begitu, dia benar-benar
tahu banyak tempat semacam ini walaupun masih di bawah umur. Namun, tempat mana
pun yang dia tunjukkan padaku, dia tidak pernah mencoba masuk. Tentu saja, itu
melegakan bagiku (Juga karena semuanya terlihat
sangat mahal, dan aku merasa takkan mampu membayarnya dengan gajiku). Kami
hanya berjalan menyusuri jalan-jalan di distrik hiburan, saat dia menggambar
peta mental untukku.
Kami terus berjalan-jalan di
daerah Shibuya di malam hari. Karena dia mengatakan kami akan bersenang-senang,
aku pikir dia memiliki lokasi yang pasti dalam pikirannya, tapi kami hanya
melihat berbagai jenis tempat, dan tidak pernah berhenti sekali pun. Namun,
hanya berjalan-jalan di Shibuya, melihat berbagai orang yang kamu lewati, rasanya
cukup menyenangkan. Dan aku menyadari bahwa kota ini memiliki lebih banyak hal
untuk ditawarkan daripada yang kukira. Selama periode ini, kami merasa seperti
ikan yang berenang di lautan luas.
Distrik hiburan adalah fenomena
umum di kota-kota besar, tetapi itu tidak menjadikannya daerah yang sangat
aman. Hanya berjalan di sepanjang jalan membuatku merasa gugup. Fujinami-san
terus berjalan dengan berani ke depan, meskipun ada kemungkinan terjadi sesuatu
setiap kali kami masuk ke gang kecil. Hal yang sama juga terjadi di jalan
utama.
Di salah satu sudut, aku
melihat seorang gadis yang seumuranku berpegangan pada lengan seorang pria
paruh baya yang terlihat seusia Ayahku. Aku membayangkan dia masih di bawah
umur, tapi wajahnya memerah karena alkohol, dan dia meminta lebih dengan suara
gemetar. Seorang pekerja kantoran lain dengan dasi kendor tergeletak di tanah
seperti pohon yang tumbang, tertidur lelap, dan ada wanita lain yang muntah di
bawah lampu jalan.
“Mereka semua terlihat berbeda
di malam hari, kan? Namun mereka memiliki topeng yang mereka kenakan,
bertingkah serius di siang hari. ” Dia berkomentar.
“Yah, kurasa begitu? Bahkan
Ayahku juga terkadang pulang dalam keadaan mabuk.”
Sekarang dia menyebutkannya,
alasan Ayahku bisa bertemu Akiko-san ialah karena Ia diseret ke bar tempat
Akiko-san bekerja oleh atasannya, berakhir mabuk dalam prosesnya.
“Saat berjalan di gang sempit
Shibuya,” Fujinami-san melanjutkan, “Dunia terlihat penuh dengan orang jahat
dan salah jalan. Namun, terkadang aku berpikir mengenai kriteria apa yang baru dianggap
benar atau salah.”
“Yah, memiliki Om-Om hidung
belang memang patut dipertanyakan.”
Tentu saja, itu tidak berarti aku
menerima adanya tante-tante girang juga.
“Kamu perlu memahami bahwa ada
orang yang hanya bisa hidup semacam itu. Bahkan diriku sendiri, ketika aku
masih SMP—” Dia melirik ke arah seorang gadis yang memasuki gang sempit.
“Aku berada di tengah-tengah
semua orang jahat ini. Saat ini, aku berusaha menjalani hidup dengan benar,
bekerja di pagi hari, dan menghadiri sekolah paruh waktu di malam hari.”
“… Um.” Aku hanya bisa
memiringkan kepalaku dengan bingung.
Jadi pada dasarnya, apa yang ingin
dia perlihatkan padaku bukanlah tempat-tempat wisata di Shibuya pada malam
hari, melainkan orang-orang yang hidup di bawah lampu jalan yang
berwarna-warni?
“Mereka sadar bahwa mereka
tidak normal, mereka tahu kalau mereka
bukanlah orang normal saja di mata masyarakat. Namun, setiap orang, tidak
peduli dari sisi mana kamu melihatnya, dibentuk oleh lingkungan tempat mereka
berada, jadi tidak ada yang mutlak benar atau salah…”
Aku akhirnya mengerti apa yang
ingin dia coba katakan kepadaku. Namun, bagian yang masih membuatku bingung ialah—
“Kenapa kamu memberitahuku hal
ini?”
“Melihatmu membuatku merasa
seperti sedang melihat diriku di masa lalu, dan itu membuatku kesal.”
“Aku terlihat seperti dirimu di
masa lalu?”
“Orang-orang seperti itu.”
Ujarnya dan menunjuk sekelompok orang tertentu.
Orang-orang mabuk berjalan
terhuyung-huyung dengan wajah merah padam. Seorang pria muda mengenakan mantel happi sedang mencoba untuk mengiklankan toko di belakangnya, dan di belakangnya
adalah seorang wanita dengan belahan dada terbuka membagikan selebaran.
“Kamu—dibesarkan dengan cara
yang membuatmu tidak banyak berharap pada wanita, ‘kan?”
Aku menelan ludah.
“Kamu tetap memiliki pandangan
yang setara dan acuh. Ini mungkin poin kekuatanmu, tapi mengingat alasanmu
dibesarkan dengan cara ini, itu juga merupakan kelemahannya.”
“Kelemahan…”
“Aku sempat bertanya padamu, ‘kan?
Apa yang kamu pikirkan tentang seorang gadis yang pergi ke sekolah paruh waktu
di siang hari, lalu pergi ke pusat permainan di larut malam.”
“Ya, aku ingat.”
“Saat itu, kamu hanya
menerimanya begitu saja. Itu sangat mengagumkan, menunjukkan bahwa kamu dapat
memiliki sudut pandang yang tidak bias. Namun, jika aku menebak alasan mengapa kamu
mempunyai sudut pandang seperti itu—” Fujinami-san menghela nafas dan berhenti
seperti sedang mencari kata yang tepat.
Dia lalu melihat ke arah jalan
dan tidak melirikku, saat dia terus melanjutkan.
“Itu karena kamu tumbuh tanpa
mengharapkan apapun terhadap wanita.”
Kata-katanya tersebut membuatku
teringat kembali beberapa kenangan lama ketika aku masih kecil. Suara album
yang telah berhenti kudengar, dan wajah ibuku yang tidak pernah tersenyum.
Fujinami-san menjelaskan bahwa alasan kenapa aku memperoleh kepribadian datar
ini adalah karena aku dipaksa untuk menonton orang yang tidak berguna. Dalam
hal ini, seorang wanita. Dan dia bilang dia mengerti perasaanku karena dia
pernah mengalami hal yang sama sebelumnya.
“Meskipun dalam kasusku, itu
bukan masalah khusus pada pria atau wanita. Hanya pada manusia secara umum.”
Setelah itu, dia mulai
bercerita tentang masa lalunya tanpa ragu sedikit pun. Peristiwa itu terjadi
saat dia masih duduk di bangku SMP. Dia kehilangan kedua orang tuanya secara
bersamaan karena sebuah kecelakaan. Meskipun dia pantas mendapatkan simpati dan
dukungan dari orang-orang di sekitarnya, mereka malah menghujaninya dengan tatapan
dan cemooh. Pernikahan orang tuanya tampaknya tidak mendapat restu dari seluruh
kerabat mereka, jadi ketika pemakaman terjadi, kata-kata yang didengar
Fujinami-san bukanlah kesedihan dan penyesalan, melainkan makian dan mereka
bilang kalau orang tuanya pantas menerima nasib ini.
Lebih parahnya lagi, bibi yang
mengadopsinya tidak pernah menunjukkan kasih sayang padanya. Dia selalu
berbicara kasar tentang orang tua Fujinami-san. Tentu saja, tidak secara
langsung, melainkan dengan cara yang bertele-tele.
“Kejam sekali…”
“Yah, jika kamu mengalami hal
semacam itu, kamu akhirnya akan terjerumus ke jalan yang salah, bukan?”
Aku tidak bisa melakukan
apa-apa selain tetap diam dan mengangguk.
“Yah, tentu saja. Namun, emosi
yang kurasakan terhadap bibiku bukanlah kemarahan, melainkan kepasrahan, dan
hal tersebut tidak bisa dihindari.”
Rupanya itulah saat di mana dia
berhenti memiliki harapan dari orang lain. Sejak saat itu, dia mulai melarikan
diri dari rumah, atau keluar hingga larut malam, untuk memprotes dan memberontak
terhadap bibinya, menjalani kehidupan yang sunyi. Karena alasan mental ini,
kondisi fisiknya tidak pernah membaik, dan dia akhirnya sering bolos sekolah.
Aku mengerti maksudnya.
Bukannya masa laluku setragis dirinya, tapi aku juga tidak pernah menerima
apapun dari ibu kandungku. Jadi sambil berjalan di samping Fujinami-san, aku
bercerita tentang masa laluku sendiri. Walaupun kata-kataku jelas dibayangi
oleh monolognya sebelumnya.
Sambil berbicara, kami berhasil
melakukan perjalanan pulang pergi melalui Shibuya, dan mencapai Dougenzaka. Seharusnya tidak butuh waktu
lama lagi sampai tanggal berganti. Dengan kedua tangannya di saku, Fujinami-san
menatap ke atas langit. Karena dia bahkan lebih tinggi dariku, banyak orang
yang lewat berbalik untuk melihatnya, menunjukkan tatapan kekaguman dan
keterkejutan. Beberapa orang bahkan menatapku dengan pandangan meragukan.
Permisi. Bukan aku yang menyeretnya ke sini. Aku cuma mengikutinya.
“Ahh, sangat disayangkan.”
“Apanya?”
“Kita seharusnya bisa melihat
bulan purnama malam ini.”
Aku sendiri melihat ke langit,
menatap bulan yang cerah di balik awan tipis. Jadi begitu. Jadi malam ini bulan
purnama, ya. Ketika aku berjalan pulang dari Shibuya dengan Ayase-san pada hari
itu, ada juga bulan yang cerah seperti ini.
“Mulai sekarang, bulan akan
naik lebih tinggi lagi.”
“Benarkah?”
“Saat musim panas, matahari
akan terbit tinggi, sedangkan bulan memiliki orbit rendah. Bulan purnama,
maksudnya. Sebaliknya di musim dingin, bulan terbit lebih tinggi. Selama waktu
ini, bulan masih menggantung rendah, tapi akan mulai naik lebih dan lebih
sekarang.”
“Seperti yang diharapkan dari
seseorang yang menyukai fisika.”
“Yang ada justru, kamu akan
menyebut pengetahuan itu tentang astronomi. Yah, aku menyukainya, sih.”
Fujinami-san melihat ke bawah
dari langit dan langsung ke arahku. Aku benar-benar tidak tahu mengapa dia
begitu peduli padaku.
“Kamu bilang kalau kamu tidak
memiliki harapan untuk wanita, tapi itu mungkin bohong.”
“Bukan ...”
“Begitu kasusnya, ya? Aku pun
memikirkan hal yang sama.” Fujinami-san menebak apa yang akan kukatakan dan
melanjutkan. “Sampai nenekku menunjukkannya, aku takkan pernah tahu kalau aku
membohongi diriku sendiri. Bahwa aku menipu diriku sendiri.”
“Nenek—”
“Keluargaku yang sekarang.
Seseorang yang berbeda dari bibiku. Aku diadopsi.”
Saat dia keluyuran hingga larut
malam, manajer wanita dari sebuah tempat berorientasi s*ks ilegal menemukannya.
Orang itu ahli dalam merawat orang lain, dan tampaknya melindungi gadis yang
terbuang dari masyarakat agar tidak terlibat dalam tindakan kriminal. Dia tidak
bisa meninggalkan Fujinami-san sendirian setelah mendengar lingkungan
keluarganya yang rumit.
Setelah mendiskusikan berbagai
hal dengan keluarga Fujinami-san, termasuk bibinya, serta seorang spesialis,
Fujinami-san akhirnya diadopsi oleh orang itu. Jadi pada hari pertama mereka
mulai hidup bersama, wanita itu memberitahu Fujinami-san kata-kata berikut.
"'Kamu tahu, kamu mungkin harus mencapai pemahaman yang sama dengan
hatimu sendiri', katanya.”
“Pemahaman yang sama?”
“Kompromi, atau penyesuaian.
Pada dasarnya, untuk tidak mengabaikan perasaanku sendiri. Meski aku bilang
kalau aku tidak memiliki harapan apapun dari bibiku, bahwa aku tidak marah,
bahwa ini benar-benar tidak dapat dihindari—apa aku baik-baik saja dengan itu?
Itulah yang dia tanyakan padaku.” Apa alasan dia bersandar di lampu jalan
sambil mengatakan ini karena dia tidak bisa berdiri tanpa penyangga?
Mungkin aku cuma berpikir
terlalu berlebihan.
“‘Bagaimana jika kamu benar-benar ingin memiliki harapan dari seseorang, tapi
harapanmu dikhianati sekali. Kamu pasti marah, kan?’ Dia memberitahuku,
tetapi aku tidak setuju, mengatakan bukan itu masalahnya.”
“Lalu…?”
“Dia bertanya kepadaku mengapa aku
bahkan bertingkah seperti berandalan. Pada saat itulah aku sadar. Aku mulai
menangis. Aku terus menangis sejadi-jadinya sepanjang malam.”
Tepat pada saat itu, lampu
dimatikan. Mungkin sudah kehabisan energi. Namun, pada saat yang sama, awan di
atas kepala kami menghilang, memperlihatkan rembulan terang tepat di atas kami.
Pemandangan bulan purnama yang indah.
“Apa kamu mencoba memendam
perasaanmu dengan paksa, berharap suatu hari nanti perasaan itu akan menghilang
sendiri, Asamura-kun?”
Suaraku tidak mau keluar.
Cahaya buatan Shibuya yang terang menerangi area itu, senyumnya diterangi oleh
jendela toko yang dia hadapi, namun rasanya seperti bulan terang di atas
kamilah yang menciptakan cahaya tersebut.
“Maksudku… aku tidak bisa
mengungkapkan perasaanku… apapun yang terjadi.”
“Akan sangat bagus jika
perasaan akan hilang setelah kamu bisa menekannya cukup lama. Setelah orang
tuaku meninggal ... sudah lima tahun. Malam itu, untuk pertama kalinya, aku
menyadari bahwa perasaan yang seharusnya sudah lama hilang ini masih
menggangguku.”
“Lima tahun?”
“Perasaan tidak bisa hilang
begitu saja. Itulah pemicunya, dan orang itu menjadi orang tua angkatku,
membebaskanku dari bibiku. Kondisi fisikku yang labil menghilang seperti tidak
pernah ada. Aku menyadari bahwa aku tidak pernah memaafkan bibiku dan kerabat
kami, dan aku masih terpaku pada hal itu.”
Gumpalan awan menutupi bulan
sekali lagi, dan hanya cahaya dari bangunan di sekitar kami yang menerangi
ekspresi Fujinami-san.
“Aku masih percaya bahwa
kemampuanmu untuk melihat orang lain dengan cara yang tidak memihak adalah poin
lebihmu, dan sesuatu yang langka pada orang. Namun, melihat seseorang secara
datar dan acuh berbeda dengan tidak mengharapkan mereka. Bagaimanapun juga,
kita adalah manusia. Kita tidak bisa lepas dari perasaan mengharapkan sesuatu
terhadap orang lain ”
Tidak peduli seberapa banyak kamu
memohon, jika kamu tidak dapat mendapat apa yang benar-benar kamu inginkan dari
lubuk hatimu, bekasnya akan tetap ada. Bagaimanapun juga, kita adalah manusia,
ya? Percakapanku dengan Ayase-san pada hari kami bertemu pertama kali kembali
munvul di benakku. Saat itu dia mengatakan sesuatu kepadaku ketika cuma ada
kami berdua.
‘Aku
takkan mengharapkan apapun darimu, jadi aku ingin kamu melakukan hal yang sama
padaku.’
Aku ingat ekspresi menyelidik
Ayase-san. Dia mengatakan ini kepadaku, karena kami akan mulai hidup bersama
sejak saat itu, dan aku merasa lega mendengarnya. Itu karena aku pikir bahwa
kami berdua memiliki sifat yang sama. Jika dilihat secara objektif, kata-kata
tersebut terdengar sangat kasar sehingga kamu takkan berani mengatakannya
selama pertemuan pertama. Itu adalah kata-kata yang bahkan bisa menimbulkan
kemarahan, tapi meski begitu, dia menunjukkan padaku niatnya yang sebenarnya.
Dia mencari konfrontasi langsung ... mungkin aku tidak menyadarinya sama
sekali.
Apa dia benar-benar tidak
mengharapkan sesuatu? Dan aku juga bisa menanyakan pertanyaan yang sama pada
diriku sendiri. Aku hanya melihatnya sebagai Ayahku yang menikah lagi. Atau
mungkin aku mencoba melihatnya seperti itu, tapi apa aku serius tidak
mengharapkan apa-apa?
“Dengar, Asamura-kun. Jika kamu
benar-benar bertindak dengan cara yang datar dan acuh, Kamu takkan terus
mengatakan 'Aku tidak memiliki ekspektasi
apa pun terhadap wanita' jauh di lubuk hatimu. Saat kamu terus menekankan itu,
kamu berhenti bertingkah datar. Kamu menjadi sadar akan hal itu, dan semakin
terguncang karenanya.”
Aku dibuat terdiam. Aku tidak
bisa menemukan apapun untuk membantah apapun yang Fujinami-san katakan.
“Maaf karena membicarakan
sesuatu yang begitu suram. Aku hanya merasa seperti itu saat melihatmu. Kamu terlihat
menyerah pada perasaanmu sendiri, berhenti memprioritaskan diri sendiri, dan
hanya berharap yang terbaik dari orang lain. Kamu tipe orang yang seperti itu,
kan? Tipe orang yang langsung tersandung ketika akal sehat dan etika terlibat.
”
“Aku merasa dipertanyakan jika
seorang manusia tidak memiliki akal sehat.”
“Itulah yang aku maksud. Kamu
benar-benar tidak berdaya. ” Fujinami-san menghela nafas.
Dan kemudian dia melanjutkan
menjelaskan. Tidak memiliki ekspektasi apapun terhadap orang lain. Bahkan jika kamu
terus mengatakan pada diri sendiri bahwa ini adalah norma, dan terus menipu
diri sendiri, kamu masih mengharapkan beberapa hal dan marah jika harapan
tersebut tidak terpenuhi, terus-menerus menerima kerusakan dari itu bahkan
tanpa menyadarinya.
“Pada dasarnya, ini lebih
seperti 'Kamu sendiri yang salah karena
terlalu berharap', ‘kan?”
“Tapi marah pada seseorang
karena mereka tidak memenuhi harapan sepihakmu sangatlah egois.”
“Ya, itu memang egois, tetapi
begitu juga perasaan orang. Itu sebabnya aku berpikir kalau kamu tidak perlu membohongi
dirimu sendiri. Kebohongan takkan bisa berlangsung selamanya.” Dia meninggalkan
kata-kata ini, melambaikan tangannya, dan berjalan pergi.
Di bawah cahaya lampu jalan
yang menghilang, aku melihatnya berjalan ke kejauhan. Aku tidak bisa membantahnya.
Aku menjawab dengan diam. Bahkan setelah waktu tengah malam berlalu, kebisingan
dan suara Shibuya tidak pernah lenyap. Tidak pernah berakhir, tidak pernah bergerak,
sama seperti diriku yang berdiri mematung pada saat ini. Walau rasanya, bulan
di langit seakan-akan sedang tersenyum padaku.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya